Anda di halaman 1dari 3

Legenda Gatot Kaca

Alkisah dalam pengasingannya selama dua belas tahun Pandawa sempat mengembara
sampai di sekitar Pegunungan Dieng. Dua belas tahun bukan waktu yang singkat untuk berputar-
putar hanya di sekeliling India. Bhima dapat menaklukkan Raja Raksasa Harimba, penguasa
hutan di pusat pulau Jawa. Adik sang raja, Harimbi jatuh cinta kepada Bhima, ksatria tinggi
besar kuat berotot layaknya raksasa tetapi gagah penampilannya, tidak seperti raksasa yang
rewo-rewo. Harimbi adalah raksasa wanita, akan tetapi hatinya sudah lembut, evolusi jiwanya
mendahului penampilannya. Dewi Kunti, ibu Bhima yang waskita memahami wanita yang cocok
sebagai pendampingi sang putra, maka dia memoles Harimbi dengan operasi plastik zaman
kuna menjadi wanita yang cantik, sehingga Bhima jatuh cinta. Dewi Kunti mendapatkan banyak
ilmu dari Resi Durwasa, termasuk ilmu mendatangkan Dewa dan mempercantik wanita. Dewi
Kunti juga ingat nasehat dari keponakannya, Prabu Kresna untuk menggunakan perkawinan
sebagai pengikat persaudaraan. Sehingga seluruh Nusantara akan mendukung Koalisi Pandawa
dalam berperang melawan Koalisi Korawa. Gatot kaca mempunyai benih bawaan unggul
kombinasi dari Bhima dan Harimbi. Sebagai raja muda di Pringgadani, Gatot kaca dalam
Wayang Kulit Purwa digambarkan berujud raksasa, lengkap dengan taringnya. Namun sejak
Susuhunan Paku Buwana II memerintah Kartasura, penampilan peraga wayang Gatotkaca dalam
seni kriya Wayang Kulit Purwa diubah menjadi ksatria tampan dan gagah, dengan wajah mirip
Bima. Penampilan Gatotkaca yang khas adalah kumisnya yang lebat, sehingga di Jawa seseorang
yang berkumis lebat dipuji sebagai keren bak Gatotkaca. Banyak nama Gatot di Jawa, karena
orang tua sang anak berharap puteranya menjadi pahlawan Nusantara. Di tahun enampuluhan
seorang anak yang melakukan sunatan sering diberi pakaian Gatotkaca dengan topi wayang, baju
kotang bergambar bintang delapan, memakai badong, semacam hiasan punggung dan tentu saja
kumis hitam dari bubuk arang.
Konon nama Kali Serayu sendiri berasal dari Sir Ayu, cinta kepada wanita ayu yaitu
cintanya Bhima kepada Harimbi. Mata Air Kali Serayu berasal dari daerah sekitar Wonosobo
yang bernama Tuk Bimo Lukar, Mata Air Bhima Lepas Pakaian. Arca Kunto Bimo bahkan
ditempatkan di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang sebagai tanda bahwa Raja pembangun
Candi Borobudur yang beragama Buddha pun menghormati Bhima, idola masyarakat setempat.
Arca Bimo atau Kunto Bimo menggambarkan Bhima duduk bersila dengan sikap tangan
dharmacakramudra. Ini isyarat pergerakan roda dharma. Bhima dalam perjalanan spiritualnya di
Samudera Hindia menemukan jati dirinya setelah bertemu Dewa Ruci yang lidahnya berupa
Acyntia, Yang Tak Dapat Diserupakan, kemudian dirinya digambarkan berada di dalam stupa
dan telah mencapai ke-Buddha-an. Setiap ada kunjungan tamu negara, selalu ada acara merogoh
stupa Kunto Bimo. Merogoh Kunto Bimo bahkan dianggap sebagai kepercayaan dalam tradisi
setempat. Jika wanita berhasil menyentuh jempol kaki patung Buddha, atau pria menyentuh
kelingking patung Buddha, maka keinginannya akan terkabul.
Di dataran tinggi Dieng terdapat Candi Bhima, Candi Arjuna dan Candi Gatotkaca, selain
juga ada Candi Semar. Juga terdapat Kawah Candradimuka, konon kawah tempat Gatotkaca
digembleng menjadi ksatria perkasa. Terdapat juga legenda masyarakat sekitar Banyumas,
bahwa kaum Korawa selalu memata-matai kegiatan Pandawa dalam pengasingannya. Dalam
salah satu perkelahian mereka kemudian berlomba membuat kali sudetan ke Samudera Hindia.
Bhima dengan kuku pancanakanya yang seakan menjadi kapal keruk berhasil menang menyudet
kali dari pusar tanah Jawa ke Samudera Hindia melalui daerah Banyumas dan Cilacap.
Sedangkan Korawa salah arah sehingga sungai yang digalinya malah bermuara di kali buatan
Pandawa. Oleh Resi Bhisma kali Pandawa di sebut Serayu sedangkan kali Kurawa disebut
Klawing. Tempat Bhima melepas pakaian bekerja bakti disebut Tuk Bimo Lukar.
Kelahiran Gatotkaca menimbulkan kejadian yang menggemparkan. Tali pusarnya tidak
dapat diputus dengan berbagai macam senjata keris dan panah. Alkisah Arjuna dan Karna sedang
bertapa di tempat berbeda untuk mendapatkan senjata sakti sebagai persiapan perang di
kemudian hari. Bathara Narada pembawa karunia senjata panah Kuntawijayadanu pun sulit
membedakan kedua satria putra Dewi Kunthi tersebut. Dewa Surya memberi penerangan kepada
tempat Karna bertapa, sehingga Narada memberikan senjata tersebut kepada Karna. Akan tetapi
karena dia melihat tersirat semacam ketidak baikan dalam diri Karna, maka dia hanya
memberikan Panahnya, sedangkan Sarungnya diberikan kepada Arjuna yang bertapa di tempat
lain. Dengan berbekal sarung senjata Kuntawijayadanu tersebut, Arjuna memotong tali pusar
Gatotkaca, akan tetapi sarung tersebut hilang masuk ke dalam diri Gatotkaca, sehingga Bayi
Gatotkaca menjadi sakti. Setelah dewasa Gatotkaca tidak lupa kepada kebaikan sang paman,
Arjuna dan pada hari ke lima belas perang Bharatayuda, dia mengorbankan diri untuk
melenyapkan senjata Karna, agar pamannya dapat memenangkan pertarungan.
Setelah tali pusarnya putus, Gatotkaca dibawa Bathara Narada ke kahyangan untuk
melawan Raksasa Kala Sakipu dan Kala Pracona. Karena Gatotkaca telah menyatu dengan
sarung Kuntawijayadanu, maka Bayi Gatotkaca tidak dapat dibunuh mereka bahkan sempat
menggigit mereka sehingga kedua raksasa itu mati.
Oleh Bathara Guru, Gatotkaca diberi tiga karunia. Karunia pertama adalah Kotang
Antakusuma yang membuat Gatotkaca dapat terbang dengan cepat. Karunia kedua adalah topi
bernama Caping Basunanda, yang mempunyai kesaktian apabila kena panas tidak terasa panas
dan apabila kena hujan tidak menjadi basah. Karunia ketiga, berupa sepatu Pada Kacarma
yang mempunyai kesaktian tidak akan terkena pengaruh dari suatu tempat.
Sejak kecil Gatotkaca dirawat Arya Kalabendana, adik ibunya yang paling kecil.
Kalabendana yang berwujud raksasa kunthing, cebol mempunyai karakter sangat jujur, setia,
suka berterus terang dan tidak bisa menyimpan rahasia. Dia sangat mencintai Gatotkaca
keponakannya. Pada suatu hari, Gatotkaca bepergian bersama Abimanyu, sedangkan Dewi Siti
Sundari putri Prabu Kresna yang menjadi istri Abimanyu ditinggalkan bersama Arya
Kalabendana. Karena perginya berhari-hari tidak kembali, Dewi Siti Sundari meminta Arya
Kalabendana mencari mereka. Dengan membaui keringat keponakannya Gatotkaca, Arya
Kalabendana dapat menemukan Abimayu dan Gatotkaca yang sedang berada di kerajaan Wirata.
Abimanyu sedang berkasih mesra berselingkuh dengan Dewi Utari. Begitu melihat hal tersebut,
Arya Kalabendana berteriak, agar Gatotkaca dan Abimanyu cepat pulang, Dewi Siti Sundari di
rumah amat cemas karena mereka belum pulang.
Dewi Utari, paham kalau Abimanyu sudah punya istri, dan sangat kecewa karena telah
mengelabui dirinya. Dewi Utari memberikan laknat sumpah bahwa besok dalam perang
Bharatayuda Abimanyu akan mati mendapatkan luka arang kranjang, banyak luka bersamaan
pada tubuhnya. Gatotkaca marah dan menampar Arya Kalabendana, dan tanpa sadar tangan
dengan kesaktian Bajramusti, Vajra Shakti, Tangan Geledek nya langsung mematikan
pamannya. Sebelum meninggal, mata Arya Kalabendana berair, berkata lirih, Dalam perang
Bharatayuda kamu pun akan terbunuh oleh pamanmu sendiri. Gatotkaca menyesal, akan tetapi
dia menyadari bahwa seserorang yang menanam benih, pada waktunya tentu akan memanen
hasilnya. Gatotkaca sadar paman yang dimaksudkan arya Kalabendana adalah Adipati Karna,
putera Eyang Putri Dewi Kunti lain kakek.
Dalam perang Baratayuda Gatotkaca diangkat menjadi senapati dan gugur pada hari ke-
15 oleh senjata Kuntawijayadanu yang dipanahkan oleh Adipati Karna. Senjata Kunta
Wijayadanu itu melesat menembus perut Gatotkaca melalui pusarnya dan masuk ke dalam
sarungnya yang menyatu di perut Gatotkaca. Saat berhadapan dengan Adipati Karna sebenarnya
Gatotkaca sudah tahu akan bahaya yang akan mengancam jiwanya. Dia ingat hutang nyawanya
terhadap pamannya yang akan segera dilunasinya. Ketika Adipati Karna memanahkan senjata
Kuntawijayadanu, dia terbang amat tinggi. Namun senjata sakti itu terus saja memburunya, bak
peluru kendali, seakan dibantu ruh paman Kalabendana yang pernah dizaliminya, sehingga
akhirnya Gatotkaca gugur. Gatotkaca ingat pelajaran dari Kumbakarna yang sebelum matipun
perlu memusnahkan musuhnya sebanyak mungkin. Ketika jatuh ke bumi, Gatotkaca berusaha
agar jatuh tepat pada tubuh Adipati Karna, tetapi senapati Kurawa itu waspada dan cepat
melompat menghindar sehingga kereta perangnya hancur berkeping-keping dan semua senjata
yang berada di dalam keretanya meledak dan membunuh banyak pasukan Kurawa.
Sebenarnya, sewaktu berhadapan dengan Gatotkaca, Adipati Karna enggan
menggunakan senjata Kuntawijayadanu. Ia merencanakan hanya akan menggunakan senjata
sakti itu bila berhadapan dengan Arjuna. Namun ketika Raja Duryudana menyaksikan betapa
Gatotkaca telah menimbulkan banyak korban dan kerusakan di pihak Kurawa, ia mendesak agar
Karna menggunakan senjata pamungkas itu. Hal itu tidak lepas dari strategi Prabu Kresna untuk
melenyapkan Senjata Kuntawijayadanu yang hanya dapat digunakan sekali saja, sehingga Arjuna
dapat memenangkan pertempuran.
Pada waktu perang Bharatayuda, Gatotkaca sudah mempunyai tingkat spiritual yang
tinggi akibat didikan Harimbi dan Bhima serta ajaran dari Prabu Kresna. Gatotkaca sudah sadar
bahwa sebagai abdi, sebagai hamba, yang yakin akan keilahian Prabu Kresna, maka dia wajib
patuh terhadap apapun perintah Kendra-nya, Prabu Kresna. Di Nusantara, Gatotkaca sudah
mendapat pelajaran dari ibunya tentang bagaimana Raden Sumantri melakukan bakti kepada
seorang Prabu Arjuna Sasrabahu titisan Batara Wisnu. Kini dia akan mengulanginya kepada
Prabu Kresna, titisan Batara Wisnu juga. Bagi seorang abdi atau hamba hanya ada one
pointedness, eka grata, satu fokus sehingga dia bekerja tanpa pamrih pribadi lagi. Dalam bahasa
musik karawitan, seluruh niyaga, penabuh gamelan dengan berbagai alat musiknya wajib patuh
mengikuti alunan suara Sang Pembawa Vokal dalam irama yang harmoni. Para perwira, para
menteri yang patuh dengan komandan sangat diperlukan dalam mempertahankan kewibawaan
suatu negara. Gatotkaca ingat nasehat para leluhurnya di Nusantara yang berpesan bahwa setiap
warga harus: Melu handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sariro hangroso waniterhadap
negaranya. Nasehat leluhur tersebut dirumuskan secara resmi oleh Sri Mangkunagara I setelah
5.000 tahun kemudian. Setiap warga harus bertanggung jawab: merasa memiliki, membela
dengan penuh pengorbanan, serta mengadakan intropeksi terhadap tindakan bangsanya. Bangsa
Indonesia dapat dikatakan mempunyai genetik bawaan Gatotkaca yang diwariskan secara turun-
temurun.
Dalam Bhagawad Gita Percakapan Ketiga, Karma Yoga, Prabu Kresna bersabda: Alam
ini memberi apa yang kau inginkan sebagai pengganti persembahanmu. Tetapi bagi yang
menikmati pemberian alam tanpa mengembalikan sesuatu, akan dipertimbangkan sebagi seorang
pencuri. Ia yang berkarya dengan semangat persembahan menikmati hasilnya, dengan cara
demikian ia terbebaskan dari semua kejahatan. Mereka yang mementingkan diri sendiri, dengan
cara demikian mereka memperoleh ketakmurnian. Pelajaran Prabu Kresna kepada paman
Arjuna tersebut tiba-tiba meresap ke dalam hati Gatotkaca. Aku harus tidak mementingkan diri
sendiri, aku putra Bhima dari Pandawa, aku juga harus tahu balas budi kepada Paman Arjuna
yang memotong tali pusarku dan aku harus tunduk kepada Prabu Kresna, titisan Wisnu.

Keteladanan Gatotkaca
Para leluhur kita mempunyai figur-figur keteladanan, yang menjadi inspirasi bagi
generasi muda dalam berjuang membela negara dengan pengorbanan jiwa dan raganya.
Selanjutnya diperlukan tumbuhnya suatu kesadaran dalam diri bahwa hidup ini hanya
bersifat sementara, ada awal yang diikuti pertumbuhan, kemudian proses penuaan dan akhirnya
mati. Mencari kebahagiaan abadi dengan pamrih atau motivasi di luar diri kurang tepat, karena
kebahagiaan abadi hanya terdapat pada sesuatu yang abadi. Semua yang ada di alam ini
mempunyai awal dan mempunyai akhir sehingga bersifat tidak abadi. Yang abadi hanya Dia
yang bersemayam didalam dan di luar diri. Menyatukan niat, pikiran, ucapan dan tindakan
dengan Dia menimbulkan kebahagian murni. Apa pun yang terjadi di dunia ini terkena hukum
sebab-akibat. Hanya menyatu dengan Dia, yang dapat melampaui hukum sebab-akibat. Alam
telah memberikan teladan nyata dalam bertindak altruistis, penuh kasih, tidak membeda-bedakan
dan hanya bertindak sesuai dengan kodrat yang ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa.
Pendidikan budi pekerti memegang peranan penting dalam pembentukan karakter di
dalam diri, agar manusia hidup menggunakan hati nurani dan dapat mengalahkan egonya. Sudah
saatnya kita bangkit, DNA Gatotkaca, Leluhur Sriwijaya dan Majapahit masih mengalir dalam
diri kita. Para founding fathers sudah lama menunggu kebangkitan kita. Bangkit para Gatotkaca
Nusantara. Bangkitlah! Hidup adalah sebuah perjuangan. Berjuanglah terus-menerus demi
penegakan dharma, demi hancurnya adharma. Kita tidak di sini untuk saling jarah-menjarah, atau
saling rampas-merampas. Kita tidak mewarisi budaya kekerasan dan barbar seperti itu. Jangan
berjuang untuk tujuan-tujuan kecil yang tidak berguna. Jangan berjuang untuk memperoleh kursi
yang dalam beberapa tahun saja menjadi kadaluarsa. Jangan berjuang untuk memperoleh suara
yang tidak cerdas.
Berjuanglah untuk tujuan besar untuk sesuatu yang mulia. Berjuanglah untuk
memperoleh tempat di hati manusia, ya manusia, bukan di hati raksasa. Berjuanglah untuk
mencerdaskan sesama anak manusia, supaya mereka memahami arti suara mereka, supaya
mereka dapat menggunakan hak suara mereka sesuai dengan tuntutan dharma. Perjuangan kita
adalah perjuangan sepanjang hidup. Perjuangan kita adalah perjuangan abadi untuk melayani
manusia, bumi ini dengan seluruh isinya, bahkan alam semesta. Janganlah mengharapkan
pujian dari siapa pun jua. Janganlah menjadikan pujian sebagai pemicu untuk berkarya lebih
lanjut. Berkaryalah terus menerus walau dicaci, dimaki, ditolak.. Berkaryalah karena
keyakinan pada apa yang mesti kita kerjakan. (Buku Be the Change karya Bapak Anand
Krishna)
Berjuanglah Para Arjuna, Para Srikandi, Para Subadra, Para Puntadewa, Para Bhima, Para
Gatotkaca. Tegakkan Dharma di Bumi Pertiwi. Simbol di Dieng bukan bersifat suatu kebetulan
saja. Terima Kasih Guru.

Anda mungkin juga menyukai