Anda di halaman 1dari 95

Contoh Kasus-kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia :

1. Tragedi Semanggi

Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan
agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal
dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi
Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi
Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa
dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban luka - luka.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar
jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat
melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah
penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu
juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah Teddy
Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban meninggal
pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat
kawan-kawan seklaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah
Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas
Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong
rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam
3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di
kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya.
Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang
mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru
dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal
mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru
Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko
(Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi,
Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban,
yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar
SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4
orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami
luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul.
Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat
lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil
berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala.
Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan
kepada aksi-aksi mahasiswa.
Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat
memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan
militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama
menentang diberlakukannya UU PKB.
Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan
Universitas Atma Jaya.

Upaya pencegahan dari kasus ini adalah selalu menjaga perdamaian dan kebersamaan satu sama
lain.

Upaya mengatasinya :

Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia


Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II.

Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia peristiwa Trisakti,


Semanggi I, dan Semanggi II didasarkan atas:

1.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak AsasiManusia.

2.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

3.Keputusan Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001.

4.Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/2001 tanggal 27Agustus


2001 tentang Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak AsasiManusia peristiwa
Trisakti, Semanggi I & II.

Pembenahan akan jiwa pemerintah agar menghargai hak-hak asasi dari warga Indonesia,
melalui mengusahakn secara maksimal agar hak mereka untuk hidup dijunjung tinggi, begitu
pula hak asasi lain seperti hak mereka untuk memperoleh penghidupan yang layak,
perekonomian yang baik, kebebasab individu diakui sesuai nilai Pancasila yangberkembang
dalam masyarakat. Maka pemerintah Indonesia harus memperbaiki hidup bangsa ini.
2. Kasus Marsinah

Marsinah (10 April 1969?Mei 1993) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra
Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada
8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong
Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai
kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik
RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan
berat.Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.Kasus ini
menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992
yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan
memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut
dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban
pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT.
CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS
memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700
menjadi Rp 2250.
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk
rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat
yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.

3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil)
setempat turun tangan mencegah aksi buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus
menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per
hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam
kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15
orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa
digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa
mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah
karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan
keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul
10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya
ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim
Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan
penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk
Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap,
mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian
diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah
membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi
Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim
dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi,
mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh
Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan
tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS)
menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu
dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu
dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan
Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah
Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni).
Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah
pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".

Upaya yang dilakukan agar kejadian ini tidak terulang kembali adalah menerima pendapat
dengan lapang dada dan sabar dan berusaha menentukan pilihan terbaik tanpa melakukan
perbuatan keji.

3. Kasus Munir ( Pejuang HAM )


Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 meninggal di Jakarta
jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun) adalah pria keturunan Arab yang
juga seorang aktivis HAM Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga
Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
Saat menjabat Koordinator Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-
orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi
korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi
alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim
Mawar.Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Kota Batu.
Istri Munir, Suciwati, bersama aktivis HAM lainnya terus menuntut pemerintah agar
mengungkap kasus pembunuhan ini.
Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot
Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G
menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor
kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan
berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan menuju Amsterdam menempuh
waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu
Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik
Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi
oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang
menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara
atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda
yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik
pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus
menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen
senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim
investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.
Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang dekat Prabowo
Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia
adalah otak pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya.Namun
demikian, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan
kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa

Upaya yang dapat dilakukan agar kejadian ini tidak terulang kmbali adalah dengan tidak
menaruh dendam kepada orang lain.

\
4. Kasus Babeh Baekuni

Nama Bakeuni alias Babe, mendadak terkenal. Setelah ditangkap polisi, lelaki berusia 50 tahun
itu diduga menjadi pelaku pembunuhan dan mutilasi anak-anak jalanan di Jakarta. Ada yang
dibuang di Jakarta, sebagian dikubur di sawah milik keluarganya di tepi Kali Gluthak Desa
Mranggen, Magelang, Jawa Tengah. Babe memang berasal dari desa itu.
Sebelum namanya terkenal karena kasus pembunuhan itu, nama Babe sebetulnya hanya dikenal
di kalangan terbatas: Anak-anak jalanan dan beberapa penggiat anak-anak jalanan. Di mata anak-
anak itu, yang sebagian kini beranjak dewasa, Babe adalah dewa penolong. Bukan saja dia
menyediakan tempat menginap di kontrakannya di Gang Mesjid RT 06/02, Pulogadung, Jakarta
Timur tapi Babe juga melindungi anak-anak itu. Pernah suatu hari, teman saya bernama Diki,
dipalak laki-laki bernama Gomgom. Laki-laki itu lebih tua dan lebih besar dibandingkan Diki.
Ketika Diki mengadu ke Babe, Gomgom langsung didatangi Babe dan diancam, kata Anggi
Setiawan, 17 tahun, yang pernah ikut dan tinggal bersama Babe. Perkenalan Anggi dengan Babe
terjadi 10 tahun silam, saat usia Anggi baru tujuh tahun. Anggi ingat, saat itu dia sedang
mengamen di pintu tol Cakung, ketika melihat banyak anak-anak pengamen lainnya akrab
dengan seorang pria penjual rokok. Anak-anak itu memanggilnya Babe, kenang Anggi.
Sejak itu Anggi kemudian tinggal di rumah Babe. Di kontrakan itu, setiap hari empat hingga lima
anak jalanan menginap. Kalau akhir pekan, jumlahnya bisa bertambah hingga 15 anak. Kata
Anggi, semua anak diperlakukan sama. Anggi ingat, Babe selalu memotong pendek, rambut
anak-anak jalanan itu. Potongannya seragam: Bagian depan dibiarkan panjang, dan dipangkas
habis di bagian belakang. Karena air untuk mandi terbatas, bergiliran anak-anak itu dimandikan
Babe.
Biasanya kata Anggi, dimulai dengan guyuran dari atas lalu tangan anak-anak itu direntangkan.
Babe kemudian menyabuni tubuh anakanak dengan deterjen. Sabun cuci itu juga digunakan
sebagai sampo. Nunduk, nunduk, Anggi masih ingat kata-kata Babe saat 10 tahun lalu
memandikannya. Ketika anak-anak itu sudah terlelap, jam dua pagi, Babe biasanya bangun dan
mencuci baju anakanak. Dia keluar rumah sekitar jam lima pagi untuk berjualan rokok, dan
kembali ke rumah sekitar jam 10 pagi untuk membangunkan anakanak. Sarapan pagi sudah
disediakan Babe.
Menunya menu ikan cuek goreng, sayur sawi dan satu baskom sambal. Malam hari, Babe
mengajak patungan membeli mi instan. Dia juga memasak nasi goreng untuk kami, kata
Anggi. Begitu seterusnya, setiap hari. Kalau misalnya ada anak yang sakit, Babe pula yang
mengobati mereka. Biasanya, kata Anggi, Babe ngerokin anak-anak itu. Dia disayangi
anakanak, dan saya menganggap sebagai orang tua sendiri, kata Anggi yang masih punya orang
tua, dan tinggal di Tanjung Priok. Sumber Unicef Deni 13 tahun yang juga pernah tinggal di
kontrakan Babe bercerita, Babe selalu mengajarkan anak-anak itu agar uang hasil mengamen
dikumpulkan dan diberikan kepada orang tua masing-masing.
Sebagian anak-anak jalanan yang tinggal di rumah Babe, memang masih memiliki orang tua,
termasuk Anggi. Kalau anak-anak itu tidak menurut, misalnya, Babe mengancam mereka agar
tidak tinggal bersamanya. Sering pula Babe mengajak anakanak itu ke Magelang, tempat asal
Babe. Sebelum berangkat, Babe meminta mereka menabung, untuk bekal ongkos. Sehari lima
ribu rupiah. Saya pernah ikut Babe, Desember lalu, setelah menabung selama satu bulan, kata
Deni.
Mungkin karena semua perhatiannya kepada anak-anak itu, beberapa tahun lalu Babe pernah
menjadi sumber Unicef. Badan PBB itu mencoba mengangkat kehidupan anakanak jalanan
termasuk yang ada di Jakarta dan di tempat Babe. Kini semua berubah. Babe ditangkap polisi
dan diduga sebagai pelaku pembunuhan terhadap anak-anak jalanan itu. Kepada polisi, Babe
mengaku membunuh 10 anak sejak 1995 tapi Arist Merdeka Sirait meragukan keterangannya.
Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak itu menduga korban Babe bisa lebih 15 orang.
Alasan Arist, ada sekitar 15 foto anak jalanan yang dikoleksi Babe.
Menurut keterangan anak jalanan, foto-foto yang disimpan itu yang disenangi dia (Babe), kata
Arist. Benarkah Babe yang melakukan semua pembunuhan sadis itu? Polisi menunjukkan foto-
foto korban. Babe enggak mengakui kalau memang tidak kenal. Dia akan bilang enggak kenal,
kata Rangga B. Rikuser, pengacara Babe. Mengutip keterangan Babe, Rangga bercerita, Babe
membunuh anakanak itu dengan cara dijerat menggunakan tali plastik. Biasanya, Babe
membelakangi korban, lalu leher mereka dikalungi tali plastik. Tangan kanan Babe kemudian
mendorong kepala korban ke depan, dan tangan kirinya menarik tali ke belakang.
Dia menikmati erangan bocah-bocah yang dijerat lehernya itu. Detik-detik bocah itu meregang
nyawa menjadi sensasi tersendiri bagi Babe, kata Rangga. Jika korban sudah meninggal,
barulah Babe menggauli bocah-bocah itu. Korbannya pasti berkulit bersih dan putih, karena
sewaktu anak-anak, kulit Babe juga bersih, kata Rangga. Babe bukan tidak menyesal
melakukan pembunuhan itu. Masih menurut Rangga, usai memotong tubuh korbannya, Babe
selalu menyesal tapi dia juga sulit menghentikan nafsunya. Babe, karena itu, juga seolah selalu
memberi tanda ke polisi agar kelakuannya segera terungkap.
Caranya, setiap korban yang dibunuh, selalu dia letakkan dalam kardus air mineral. Sehari-hari
dia kan berdagang rokok, dan air mineral, kata Rangga. Dan tanda dari Babe itu baru diketahui
polisi, awal Januari silam: Sebuah kardus air mineral ditemukan berisi potongan tubuh seorang
bocah, yang belakangan diketahui bernama Ardiansyah 10 tahun. Babe atau yang dikenal juga
dengan sebutan Bungkih ditangkap dan diduga sebagai pelakunya. Dari mulut Babe, belakangan
muncul pengakuan, jumlah korban yang dibunuhnya bisa lebih 10 orang. Semuanya dimasukkan
dalam kardus air mineral. Saya percaya dan tidak percaya dia jadi pembunuh, kata Anggi. _
rangga prakoso.

5. Kontroversi G30S PKI


Di antara kasus-kasus pelang garan berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR bakal
menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR untuk memangani
kasus pembersihan para aktivis PKI.
Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang
memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah
rekonsiliasi. Anggaplah kasus ini selesai, jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba
menyesaikan pembantaian yang terjadi pasca G30S.
Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore
harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar terbit kecuali
Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.
Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI
sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu
kemudian diserap oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak sumber
yang memberitakan perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah
diketahui secara persis. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban
berkisar antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.
Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. Mereka menggunakan
alat pisau atau golok, urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga
tidak dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya.
Ciri lain, menurutnya, Kejadian itu biasanya malam. Proses pembunuhan berlangsung cepat,
hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah
melakukannya dalam tempo empat tahun.
Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama, budaya
amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis
dengan para pemuka agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang
diduga berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang
menyebabkan masyarakat geram.
Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula
menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal,
menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu
hanya mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok
sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.
Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu
dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara.
Pertikaian antar masyarakat, meski memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah
adalah kejahatan yang dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan
militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan.
Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan elit
militer di tempat kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. Atau militer setidaknya
memberi contoh, ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk
menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam
penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang kebangkitan kembali
PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai sponsor pembantaian.
Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia
23 September 2000 dengan tema Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah,
secara tegas menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara
peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada
taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini.
Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan
banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih hidup.
Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide
dengan hasil pertemuan Belgia. Biar adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.
Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. saya pernah mewawancarai seorang
putera dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang
anggota PGRI itu dibunuh awal November 1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan
dibiarkan melahirkan putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari
rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh.
Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku
pembunuhan orang tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan
pembunuhan karena diperintah atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan
menangkap orang tuanya mengatakan bahwa mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika
tidak merekalah yang akan dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya
meneruskan perintah yang berwajib.
Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, Apakah Anda menyimpan dendam? Sang anak
menjawab, Semula Ya. Tapi setelah kami mempelajari masalahnya, dendam saya hilang.
Mereka hanyalah pelaksana yang sebenarnya tak tahu menahu masalahnya. Mereka, tambah
Hardoyo, juga bagian dari korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya.
Bisa jadi memang benar, dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran KKR kelak harus
memilah secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1 Oktober.

Upaya yang dilakukan agar kejadian ini tidak terjadi lagi adalah dengan menjaga perdamaian
dan kebersamaan antara satu sama lain.

6. Bom Bali I ( 12 Oktober 2002 )


Faktor utama penyebab kegiatan terorisme akan semakin marak di sekitar kita karena kejahatan
tersebut merupakan kejahatan yang bisa dibilang sangat kompleks. Banyak sekali faktor
penyebab yang dapat mendasari dan melatarbelakangi seseorang untuk menjadi teroris. Inilah
yang menyebabkan sulitnya pencegahan terorisme. Pada saat seperti sekarang ini, kegiatan-
kegiatan terorisme hampir seluruhnya dikaitkan dengan islam. Islam dipandang sebagai salah
satu agama yang keras dan menggunakan cara-cara seperti aksi terorisme untuk menjalankan
beberapa tujuan misalnya jihad. Dengan dalih menjalankan syariat Islam, terror demi terror
dilakukan. Sama seperti terror yang dilakukan oleh pelaku Bom Bali I maupun Bom Bali II yang
samasama mengatasnamakan agama sebagai alasan untuk melakukan aksi terror. Mereka
bertujuan untuk mencelakai turis mancanegara yang mereka anggap sebgai musuh mereka,
karena dianggap tidak sepaham dengan ajaran yang mereka miliki.Bom Bali terjadi pada malam
hari tanggal 12 Oktober 2002 di kota kecamatan Kuta di pulau Bali, Indonesia, mengorbankan
202 orang dan mencederakan 209 yang lain, kebanyakan merupakan wisatawan asing. Peristiwa
ini sering dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.
Beberapa orang Indonesia telah dijatuhi hukuman mati karena peranan mereka dalam
pengeboman tersebut. Abu Bakar Baashir, yang diduga sebagai salah satu yang terlibat dalam
memimpin pengeboman ini, dinyatakan tidak bersalah pada Maret 2005 atas konspirasi serangan
bom ini, dan hanya divonis atas pelanggaran keimigrasian.

Korban Bom Bali I :

* Australia 88
* Indonesia 38 (kebanyakan suku Bali)
* Britania Raya 26
* Amerika Serikat 7
* Jerman 6
* Swedia 5
* Belanda 4
* Perancis 4
* Denmark 3
* Selandia Baru 3
* Swiss 3
* Brasil 2
* Kanada 2
* Jepang 2
* Afrika Selatan 2
* Korea Selatan 2
* Ekuador 1
* Yunani 1
* Italia 1
* Polandia 1
* Portugal 1
* Taiwan 1

Pelaku Bom Bali I :

* Abdul Goni, didakwa seumur hidup


* Abdul Hamid (kelompok Solo)
* Abdul Rauf (kelompok Serang)
* Abdul Aziz alias Imam Samudra, terpidana mati
* Achmad Roichan
* Ali Ghufron alias Mukhlas, terpidana mati
* Ali Imron alias Alik, didakwa seumur hidup
* Amrozi bin Nurhasyim alias Amrozi, terpidana mati
* Andi Hidayat (kelompok Serang)
* Andi Oktavia (kelompok Serang)
* Arnasan alias Jimi, tewas
* Bambang Setiono (kelompok Solo)
* Budi Wibowo (kelompok Solo)
* Dr Azahari alias Alan (tewas dalam penyergapan oleh polisi di Kota Batu tanggal 9 November
2005)
* Dulmatin
* Feri alias Isa, meninggal dunia
* Herlambang (kelompok Solo)
* Hernianto (kelompok Solo)
* Idris alias Johni Hendrawan
* Junaedi (kelompok Serang)
* Makmuri (kelompok Solo)
* Mohammad Musafak (kelompok Solo)
* Mohammad Najib Nawawi (kelompok Solo)
* Umar Kecil alias Patek
* Utomo Pamungkas alias Mubarok, didakwa seumur hidup
* Zulkarnaen

Upaya mengatasi kejadian ini adalah dengan menyadarkan apa arti jihad sebenarnya dan
mengurangi tempat-tempat yang biasanya menjadi tempat berbuat maksiat

7. Bom Bali II ( 1 Oktober 2005 )

Pengeboman Bali 2005 adalah sebuah seri pengeboman yang terjadi di Bali pada 1 Oktober
2005. Terjadi tiga pengeboman, satu di Kuta dan dua di Jimbaran dengan sedikitnya 23 orang
tewas dan 196 lainnya luka-luka.
Pada acara konferensi pers, presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan telah
mendapat peringatan mulai bulan Juli 2005 akan adanya serangan terorisme di Indonesia. Namun
aparat mungkin menjadi lalai karena pengawasan adanya kenaikan harga BBM, sehingga
menjadi peka.
Tempat-tempat yang dibom:
* Kaf Nyoman
* Kaf Menega
* Restoran R.AJAs, Kuta Square

Menurut Kepala Desk Antiteror Kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan
(Menko Polhukam), Inspektur Jenderal (Purn.) Ansyaad Mbai, bukti awal menandakan bahwa
serangan ini dilakukan oleh paling tidak tiga pengebom bunuh diri dalam model yang mirip
dengan pengeboman tahun 2002. Serpihan ransel dan badan yang hancur berlebihan dianggap
sebagai bukti pengeboman bunuh diri. Namun ada juga kemungkinan ransel-ransel tersebut
disembunyikan di dalam restoran sebelum diledakkan.
Komisioner Polisi Federal Australia Mick Keelty mengatakan bahwa bom yang digunakan
tampaknya berbeda dari ledakan sebelumnya yang terlihat kebanyakan korban meninggal dan
terluka diakibatkan oleh shrapnel (serpihan tajam), dan bukan ledakan kimia. Pejabat medis
menunjukan hasil sinar-x bahwa ada benda asing yang digambarkan sebagai "pellet" di dalam
badan korban dan seorang korban melaporkan bahwa bola bearing masuk ke belakang tubuhnya
Korban Bom Bali II
23 korban tewas terdiri dari:
* 15 warga Indonesia Flag of Indonesia.svg
* 1 warga Jepang Flag of Japan.svg
* 4 warga Australia Flag of Australia.svg
* tiga lainnya diperkirakan adalah para pelaku pengeboman.

Pelaku Bom Bali II


Inspektur Jenderal Polisi Ansyaad Mbai, seorang pejabat anti-terorisme Indonesia melaporkan
kepada Associated Press bahwa aksi pengeboman ini jelas merupakan "pekerjaan kaum teroris".
Serangan ini "menyandang ciri-ciri khas" serangan jaringan teroris Jemaah Islamiyah, sebuah
organisasi yang berhubungan dengan Al-Qaeda, yang telah melaksanakan pengeboman di hotel
Marriott, Jakarta pada tahun 2003, Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tahun 2004, Bom
Bali 2002, dan Pengeboman Jakarta 2009. Kelompok teroris Islamis memiliki ciri khas
melaksanakan serangan secara beruntun dan pada waktu yang bertepatan seperti pada 11
September 2001.
Pada 10 November 2005, Polri menyebutkan nama dua orang yang telah diidentifikasi sebagai
para pelaku:
* Muhammad Salik Firdaus, dari Cikijing, Majalengka, Jawa Barat - pelaku peledakan di Kaf
Nyoman
* Misno alias Wisnu (30), dari Desa Ujungmanik, Kecamatan Kawunganten, Cilacap, Jawa
Tengah - pelaku peledakan di Kaf Menega.
Kemudian pada 19 November 2005, seorang lagi pelaku bernama Ayib Hidayat (25), dari
Kampung Pamarikan, Ciamis, Jawa Barat diidentifikasikan.

8. Pembantaian di Indonesia 19651966

Pembantaian di Indonesia 19651966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang


dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September di Indonesia.
Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara
dalam peristiwa tersebut. Pembersihan ini merupakan peristiwa penting dalam masa transisi
ke Orde Baru: Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan jatuhnya
presiden Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada Soeharto.

Kudeta yang gagal menimbulkan kebencian terhadap komunis karena kesalahan dituduhkan
kepada PKI. Komunisme dibersihkan dari kehidupan politik, sosial, dan militer, dan PKI
dinyatakan sebagai partai terlarang. Pembantaian dimulai pada Oktober 1965 dan memuncak
selama sisa tahun sebelum akhirnya mereda pada awal tahun 1966. Pembersihan dimulai dari ibu
kota Jakarta, yang kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, lalu Bali.
Ribuanvigilante (orang yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri) dan tentara angkatan
darat menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Meskipun
pembantaian terjadi di seluruh Indonesia, namun pembantaian terburuk terjadi di basis-basis PKI
di Jawa Tengah, Timur,Bali, dan Sumatera Utara.

Usaha Soekarno yang ingin menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme


melalui Nasakom telah usai. Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara efektif dilenyapkan
oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis; dan militer berada pada jalan menuju kekuasaan.
Pada Maret 1967, Soekarno dicopot dari kekuasaannya oleh Parlemen Sementara, dan Soeharto
menjadi Presiden Sementara. Pada Maret 1968 Soeharto secara resmi terpilih menjadi presiden.

Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya
memperoleh sedikit perhatian dari orang Indonesia maupun warga internasional.[3][4]
[5] Penjelasan memuaskan untuk kekejamannya telah menarik perhatian para ahli dari berbagai
prespektif ideologis. Kemungkinan adanya pergolakan serupa dianggap sebagai faktor dalam
konservatisme politik "Orde Baru" dan kontrol ketat terhadap sistem politik. Kewaspadaan
terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari masa kepresidenan Soeharto. Di Barat, pembantaian
dan pembersihan ini digambarkan sebagai kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis terbesar ketiga di


dunia.Kadernya berjumlah sekitar 300.000, sementara anggotanya diperkirakan sebanyak dua
juta orang. Selain itu PKI juga mengatur serikat-serikat buruh.

Dukungan terhadap kepresidenan Soekarno bergantung pada koalisi "Nasakom" antara militer,
kelompok agama, dan komunis. Perkembangan pengaruh dan kemilitanan PKI, serta dukungan
Soekarno terhadap partai tersebut, menumbuhkan kekhawatiran pada kelompok Muslim dan
militer. Ketegangan mulai menyelimuti perpolitikan Indonesia pada awal dan pertengahan tahun
1960-an. Upaya PKI untuk mempercepat reformasi tanah menggusarkan tuan-tuan tanah dan
mengancam posisi sosial para kyai.

Pada sore tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal dibunuh oleh kelompok
yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September. Maka pemimpin-pemimpin utama militer
Indonesia tewas atau hilang, sehingga Soeharto mengambil alih kekuasaan angkatan bersenjata.
Pada 2 Oktober, ia mengendalikan ibu kota dan mengumumkan bahwa upaya kudeta telah gagal.
Angkatan bersenjata menuduh PKI sebagai dalang peristiwa tersebut. Pada tanggal 5 Oktober,
jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan. Propaganda militer mulai disebarkan, dan
menyerukan pembersihan di seluruh negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang
Indonesia dan pemerhati internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah
PKI. Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh. Maka ketegangan dan kebencian yang
terpendam selama bertahun-tahun pun meledak.

9. Tanjung Priok

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12


September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban
tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile
sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian
menembaki mereka. Setidaknya 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang
tewas oleh tindakan aparat. Pada tahun 1985, sejumlah orang yang terlibat dalam defile tersebut
diadili dengan tuduhan melakukan tindakan subversif, lalu pada tahun 2004 sejumlah aparat
militer diadili dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa tersebut.[4]

Peristiwa ini berlangsung dengan latar belakang dorongan pemerintah Orde Baru waktu itu agar
semua organisasi masyarakat menggunakan azas tunggal Pancasila . Penyebab dari peristiwa ini
adalah tindakan perampasan brosur yang mengkritik pemerintah di salahsatu mesjid di kawasan
Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat.

Tanjung Priok merupakan daerah paling padat, di mana setiap meter persegi dihuni oleh
sembilan orang. Apakah sensus ini benar atau salah, yang pasti daerah ini dipadati oleh penduduk
yang aktivitasnya non stop dua puluh empat jam. Warung-warung dan barbar buka setiap
malam.
Koja, sebuah lokasi di mana peristiwa Tanjung Priok terjadi, merupakan daerah hunian kaum
buruh galangan kapal, buruh-buruh pabrik, bangunan dan buruh-buruh harian yang dikenal
dengan pekerja serabutan. Kerja perbaikan kapal merupakan kerja pokok di tempat ini.
Tanjung Priok sangat terpengaruh oleh gejolak ekonomi dan mudah sekali tersulut berbagai issu.
Penduduknya yang sangat padat, perputaran barang-barang keluar masuk yang dikirim ke
tempat-tempat lain di pulau Jawa demikian banyak. Selain itu, tempat yang sangat miskin ini
berdampingan pula dengan rumah-rumah mewah yang dijaga oleh anjing-anjing galak. Padahal
daerah ini dihuni oleh berbagai golongan penduduk yang berbeda-beda kulturnya, seperti
Banten, Jawa Barat, Madura, Bugis, Sulawesi. Dan semua daerah yang telah disebutkan, sangat
dipengaruhi oleh kultur Islam.
Di daerah semacam Tanjung Priok, masjid merupakan barometer kehidupan, tempat
berkumpulnya orang-orang tua dan anak-anak serta tempat melepas lelah dari kepenatan kerja di
jalan-jalan dan lorong-lorong. Segala keruwetan masalah menjadi pusat pembicaraan dan
omongan diantara para jamaah masjid. Pada pertengahan 1984, beredar issu tentang RUU
organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan asas tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi
yang luas. Di antara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat seorang muballigh terkenal,
menyampaikan ceramah pada para jamaahnya dengan menjadikan masalah tersebut sebagai
topik pembahasan, sebab rancangan undang-undang tersebut telah lama menjadi masalah yang
kontroversial.

10. Peristiwa Kekerasan di Timor Timur

Peristiwa kekerasan di Timor Timur sekitar tahun 1999, akibat adanya jajak pendapat bagi
masyarakat disana untuk menentukan nasib sendiri. berdasarkan hasil jajak pendapat, sebagian
masyarakat Timor Timur menginginkan Provinsi termuda Indonesia itu untuk membentuk negara
yang merdeka dan berdaulat.Militer Indonesia yang telah bertahun-tahun bertugas di sana marah
dengan melakukan berbagai tindakan anarki berupa penghangusan bangunan dan kekerasan bagi
masyarakat di sana.

Aksi Militer Indonesia tersebut mendapat reaksi dan kecaman dari negara lain serta PBB.Media
asing dari berbagai penjuru dunia pun ikut memberitakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di
Timor Timur. Karena dianggap telah melanggar hak asasi manusia. PBB awal Misi Bantuan ke
Timor Timur (UNAMET) sejak September 1999 mencatat bahwa anggota milisi menteror dan
membunuh warga sipil tak bersenjata, rumah terbakar, menggusur sejumlah besar orang. anggota
staf UNAMET menyaksikan 'milisi bertindak dengan kekerasan dalam tampilan penuh
bersenjata, polisi dan personel militer yang baik berdiri dan menyaksikan atau secara aktif
membantu milisi. Laporan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia pada bulan
September 1999 menemukan bukti bahwa Timor Timor telah melihat kampanye yang disengaja
dan sistematis merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Pelanggaran-pelanggaran
tersebut disertakan.:

pembunuhan sadis, termasuk penargetan pendukung pro-kemerdekaan, tokoh masyarakat


dan anggota klerus;

Pengusiran yang disengaja dan sudah lama direncanakan secara paksa antara 120.000 dan
200.000 orang (meskipun perkiraan kemudian setinggi 500.000 orang pengungsi, atau hampir 60
persen dari populasi, 250.000 dari mereka yang menjadi pengungsi) ;

kekerasan terhadap, dan intimidasi dan penyiksaan, mahasiswa, intelektual dan aktivis;
pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan;

penghilangan paksa, dan pemisahan anggota keluarga;

intimidasi dan kekerasan terhadap pengungsi di kamp-kamp pengungsian;

perekrutan paksa orang muda Timor Timur ke dalam milisi, dan

perusakan dan penjarahan harta benda (Human Rights Watch) kemudian memperkirakan
bahwa 70 persen bangunan di Timor Timur hancur).

Laporan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia merekomendasikan pembentukan
sebuah komisi internasional untuk mengumpulkan dan menganalisis bukti kejahatan yang
dilakukan. Para Sekretaris Jenderal PBB yang didirikan Komisi Penyelidik Internasional
mengenai Timor Timur untuk mengumpulkan informasi tentang kemungkinan pelanggaran hak
asasi manusia dan pelanggaran hukum kemanusiaan internasional yang dilakukan di Timor
Timur sejak Januari 1999.

11. Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian umum bernas (1996)

Empat Belas tahun lalu, tepatnya tanggal 16 Agustus 1996, wartawan BERNAS Fuad
Muhammad Syafrudin alias Udin meninggal dunia di RS Bethesda Yogyakarta. Udin meninggal
setelah dianiaya orang tidak dikenal pada 13 Agustus 1996 malam, dirumahnya dusun Samalo Jl
Parangtritis KM 13 Patalan Bantul Yogyakarta. Orang tidak dikenal yang berlagak sebagai tamu
itu menghantam kepala Udin dengan sebatang besi satu kali. Namun, walaupun dengan sekali
hantam, ternyata Udin mengalami cidera yang cukup parah pada kepalanya. Analisa dari
berbagai kalangan menyimpulkan bahwa pembunuh Udin adalah orang terlatih yang paham betul
dengan titik-titik mematikan pada anatomi tubuh seseorang.

Banyak pihak meyakini bahwa kematian Udin berkaitan dengan berita yang diwartakannya
melalui harian BERNAS. Namun dalam proses selanjutnya, Dwi Sumaji alias Iwik didudukkan
sebagai tersangka pembunuh Udin karena motif asmara atau perselingkuhan. Pengadilan
akhirnya mampu membongkar rekayasa ini, dan Iwik dibebaskan dari segala tuntutan. Namun
hingga saat ini, kasus pembunuhan Udin masih belum dapat diungkap dan menjadi X File.
Bahkan berita yang dilansir Kompas.com tanggal 16 Agustus 2010 kemarin, menunjukkan
adanya niatan sementara pihak yang menghendaki kasus Udin dinyatakan kedaluwarsa.

Kisah Udin di atas adalah penggalan perjalanan seorang jurnalis yang mencoba mewartakan
kebenaran, dalam rangka memberikan kontribusi bagi penegakan hukum. Banyak pihak
meyakini bahwa kematian Udin disebabkan berita yang ditulisnya.

12. Kasus POSO

Tahun 1997 indonesia dilanda krisis moneter disertai dengan fluktuasi kondisi ekonomi dan
politik yang tidak menentu, telah mengiring indonesia menuju konflik nasional, baik secara
struktural maupun horizontal. semenjak runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 yang di gantikan
oleh oleh B.H habibie yang diharapakan dapat menata sisitem politik yang demokrasi
berkeadilan.
Pada waktu itu indonesia sangat rentan dengan perpecahan, terjadi berbagai gejolak konflik di
berbagai daerah, salah satunya konflik yang terjadi di poso yang di sinyalir oleh banyak kalangan
adalah konflik bernuansa SARA. Adalah pertikaian suku dan pemeluk agama islam dan kristen.
Peristiwa kerusuhan diawali dengan pertikaian antardua pemuda yang berbeda agama sehingga
belarut dan berhujung dengan terjadinya kerusuhan. Impliksasi implikasi kepentingan politik
elite nasional, elite lokal dan miiter militer juga diduga menyulut terjadinya konflik horizonttal
sehingga sulit mencari penyelesaian yang lebih tepat. Bahkan, terkesan pihak keamanan porli
lamban menangani konflik tersebut. Sehigga konflik terjadi belarut larut yang memakan
korban jiwa dan harta.
Secara umum konflik di poso sudah berkangsung tiga kali. Peristiwa pertama terjadi akhir 1998,
kerusuhan pertama ini denga cepat di atasi pihak keamanan setempat kemudian di ikuti oleh
komitmen kedua belah pihak yang berseteru agar tidak terulang lagi. Kan tetapi berselang kurang
lebih 17 bulan kemudian tepatnya pada 16 april 2000 konflik kedua pun pecah. Pada kerusuhan
ini ada dugaan bahwa ada oknum yang bermain di belakang peristiwa ini yaitu : Herman Parimo
dan Yahya Patiro yang beragama kristen. Keduua oknum ini adalah termasuk elite politik dan
pejabat pemerintah daerah kabupaten poso.
Menjelang pemilihan kepala detrah pada waktu itu, kader kader dari pihak umat kristiani yang
bermunculan sebagai kandidat kuat yang menjadi rival buapati saat itu, Sekwan DPRD 1
Sulawaesi tengah dan Drs. Datlin Tamalagi Kahumas Pemda Sulawesi tengah. Keduan belah
pihak memilki koneksi yang rill yang amat potensial sehingga sewaktu waktu dapat dengan
mudah muncul letupan ketidaksenangan yang akhirnya pada berhujung pada kerusuha. Oleh
karena itu, potensi potensi kerusuhan pada waktu itu boleh jadi karena kekecewaan dari elite
politik yang beragama kristen yang merasa termarjinalisasi dalam hal politik.

Wapres menjelaskan bahwa kasus Poso terjadi bukan karena masalah agama namun adanya rasa
ketidak adilan. awal mula terjadinya konflik karena adanya demokrasi yang secara tiba-tiba
terbuka dan membuat siapapun pemenangnya akan ambil semua kekuasaan. Padahal, pada masa
sebelumnya melalui muspida setempat selalu diusahakan adanya keseimbangan. contohnya, jika
Bupatinya berasal dari kalangan Kristen maka Wakilnya akan dicarikan dari Islam. Begitu pula
sebaliknya. Dengan demikian terjadi harmonisasi, namun dengan demokrasi tiba-tiba the winner
take all," kata Wapres. Karena pemenang mengambil alih semua kekuasaan, tambah Wapres
maka pihak yang kalah merasa telah terjadi ketidak adilan.
Keluar dari pendapat Wapres, konflik sosial yang terjadi di poso adalah bagian dari konflik
individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan dan bertalian satu
sama lain. Pendapat mengenai akar dari masalah yang bertumpu pada subsistem budaya dalam
hal ini menyangkut soal suku dan agama.
Argumen yang mengemuka bahwa adanya unsur suku dan agama yang mendasari konflik sosial
itu adalah sesuai dengan fakta yaitu bahwa asal mula kerusuhan poso 1 berawal dari :
a) Pembacokan Ahmad yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren Darusalam
pada bulan ramadhan.
b) Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku suku pendatang seperti bugis, jawa, dan
gorontalo, serta kaili pada kerusuhan ke III.
c) Pemaksaan agama kristen kepada masyarakat muslim di daerah pedalaman kabupaten
terutama di daerah tentena dusun III salena, sangira, toinase, Boe, dan meko yang memperkuat
dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang mengindikasikan
keterlibatan Sinode GKSD tentena.
d) Peneyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol simbol perjuangan ke agamaan
kristiani pada kerusuhan ke III.
e) Pembakaran rumah rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan III. Pada
kerusuhan ke I dan II terjadi aksi saling bakar ruamh penduduk antara pihak kristen dan islam.
f) Terjadi pembakaran rumah ibdah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua belah pihak,
pembakaran rumah penduduk asli poso di lombogia, sayo, kasintuvu.
g) Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku flores, toraja dan manado.
h) Adanya pelatihan militer kristen di desa kelei yang berlangsung 1 tahun 6 bulan sebelum
meledak kerusuhan III.
Dampak kerusuhan poso dapat di bedakan dalam beberapa segi :
1. Budaya dampak sosial yang terjadi adalah :
di anut kembali budaya pengayau dari masyarakat pedalaman (suku pamona dan suku
mori).
Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam mencapai tujuan
politiknya.
Runtuhnya nilai nilai kesepakatan bersama sintuwu maroso yang menjadi bingkai dalam
hubungan sosial masyarakat poso yang pluralis.
2. Hukum dampak sosial yang terjadi adalah :
Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat poso ke dalam dua kelompok yaitu kelompok
merah dan kelompok putih.
Tidak dapat di pertahankan nilai- nilai kemanusiaan akibat terjdi kejahatan terhadap manusia
seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan terhadap anak serta orang tua dan
pelecehan seksual.
Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan kewibawaan hulum di masyarakat kabupaten
poso.
Muculnya perasaan dendam dari korban korban kerusuhan terhadap pelaku.
3. Politik dampak sosial yang terjadi adalah :
Terhentinya roda pemerintahan.
Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah terhadap masyarakat.
Hilanggnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat masing
masing kelompok kepentingan.
Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok kepentingan dalam pencapaian tujuannya.
4. Ekonomi dampak sosial yang terjadi adalah :
Lepas dan hilangnya faktor dan sumber produksi ekonomi masyarakat, seperti sawah,
tanaman kebun, mesin gilingan padi, traktor tangan, rumah makan, hotel dan lain sebagainya.
Eksodus besar besaran penduduk muslim poso.
Terhentinya roda perekonomian.
Rawan pangan.
Munculnya pengangguran dan kelangkaankesempatan kerja.

Konflik sosial yang terjadi di poso ini sangat berdampak pada masyarakat khususnya masyarakat
poso itu sendiri, Mulai dari segi Budaya, Hukum, Politik, Ekonomi, selain kehilangan nyawa dan
harta benda, secara psikologis juga bendampak besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan
itu.
Cara yang mesti kita lakukan adalah melakukan kerja sama mulai dari kalangan pengusaha
hingga tingkat mahasiswa harus ikut berperan menangani konflik yang terjadi di Poso dengan
melakukan tindakan nyata agar masyarakat setempat tidak hanya terfokus pada masalah politik.
Jangan hanya bergantung pada aparat keamanan. Tetapi pengusaha, ekonom, budayawan,
anggota masyarakat, mahasiswa harus bersatu membangun secara paralel.
13. Kerusuhan Sambas

Kerusuhan Sambas adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di wilayah Kabupaten Sambas dan
sekitarnya. Kerusuhan di Sambas sudah berlangsung sekitar tujuh kali sejak 1970, namun yang
terakhir ini (tahun 1999) merupakan terbesar dan akumulasi dari kejengkelan suku
Dayak dan Melayu terhadap ulah oknum-oknum pendatang dari Madura. Akibatnya, orang-orang
keturunan Madura yang sudah bermukim di Sambas sejak awal 1900-an itu ikut menanggung
dosa perusuh. Korban akibat kerusuhan Sambas terdiri dari: 1.189 orang tewas, 168 orang luka
berat, 34 orang luka ringan, 3.833 rumah dibakar dan dirusak, 12 mobil dan 9 motor
dibakar/dirusak, 8 masjid/madrasah dirusak/dibakar, 2 sekolah dirusak, 1 gudang dirusak, dan
29.823 warga Madura mengungsi.

Awal peristiwa dilatar belakangi kasus pencurian ayam oleh seorang warga suku Madura yang
ditangkap dan dianiaya oleh warga masyarakat suku melayu. Peristiwa berkembang dengan
bergabungnya ratusan warga suku Madura dan menyerang warga suku Melayu yang berakibat 3
orang suku Melayu meninggal dunia dan 2 orang luka-luka.Selain itu terjadi pula kasus
perkelahian antara kenek angkot warga suku Melayu dengan penumpang angkot warga suku
Madura yang tidak mau membayar ongkos. Akibatnya terjadi saling balas membalas antara
warga suku Melayu dibantu suku Dayak menghadapi warga suku Madura dalam bentuk
perkelahian, penganiayaan dan pengrusakan. Peristiwa berkembang dengan terjadinya
kerusuhan, pembakaran, pengrusakan, perkelahian, penganiayaan dan pembunuhan antara warga
suku Melayu dibantu warga suku Dayak menghadapi warga suku Madura, yang meluas sampai
kedaerah sekitarnya.Telah terjadi pengungsian warga suku Madura secara besar-besaran.
Kemudian isu ini dieksploitir oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingannya.Peristiwa
ini adalah kejadian yang kesepuluh sejak tahun 1977 dan juga pernah terjadi terhadap etnis yang
lain.
Berikut proses terjadinya kerusuhan Sambas:

Pada tanggal 17 Januari 1999 pukul 01.30 WIB telah ditangkap dan dianiaya pelaku pencurian
ayam warga suku Madura oleh warga suku Melayu. Pada tanggal 19 Januari 1999 sekitar 200
orang suku madura dari suatu desa menyerang warga suku Melayu desa lainnya. Hari berikutnya
terjadi perkelahian antara warga suku Madura dan warga suku Melayu karena tidak membayar
ongkos angkot. Kejadian ini berkembang menjadi perkelahian antara kelompok dan antara desa
yang disertai pembakaran, pengrusakan dan tindak kekerasan lainnya.Warga suku Melayu
dibantu suku Dayak melakukan penyerangan, pembakaran, pengrusakan, penganiayaan dan
pembunuhan terhadap warga suku Madura dan selanjutnya saling membalas. Peristiwa
berkembang dengan terjadinya pengungsian warga Madura dalam jumlah cukup besar menuju
Singkawang dan Pontianak.

Tindakan aparat keamanan antara lain :

- Melokalisir dan mencegah meluasnya kejadian,

- Membantu mengevakuasi para pengungsi, melakukan pencarian dan penyelamatan suku


Madura yang melarikan diri kehutan,

- Membantu para pengungsi ditempat penampungan,

- Mengadakan dialog dengan tokoh masyarakat dan pemuka agama, serta

- Melakukan upaya penegakan hukum terhadap para pelaku kriminal.

Pelaku yang ditangkap 208 orang dan dalam proses peradilan sebanyak 59 orang, yang terdiri
dari suku Madura 13 orang, suku Melayu 42 orang dan suku Dayak 4 orang. Barang bukti disita
607 pucuk senjata api rakitan, 2.336 senjata tajam, 76 bom molotov, 86 ketapel, 969 anak panah,
8 botol dan 8 toples obat mesiu, 443 butir peluru timah, 79 peluru pipa besi, 349 butir peluru
setandard ABRI dan 441 butir peluru gotri.
14. Konflik Sampit

Konflik Sampit adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia, berawal pada Februari 2001
dan berlangsung sepanjang tahun itu. Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan Tengah dan
meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku
Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura.[1] Konflik tersebut pecah pada 18
Februari2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak.[2] Konflik Sampit
mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan
tempat tinggal.[3] Banyak warga Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku
Dayak

Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi, karena telah terjadi beberapa
insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir terjadi antara
Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas.[5] Penduduk Madura
pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh
pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia.[6] Tahun 2000,
transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah.[3] Suku Dayak merasa tidak puas
dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif. Hukum-hukum
baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri
komersial di provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan.

Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi mengklaim
bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor mengatakan
bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku
Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura.

Profesor Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak
dilakukan demi mempertahankan diri setelah beberapa anggota mereka diserang. Selain itu, juga
dikatakan bahwa seorang warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura
setelah sengketa judi di desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000.Versi lain mengklaim bahwa
konflik ini berawal dari percekcokan antara murid dari berbagai ras di sekolah yang sama.

Sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak selama konflik ini. Suku
Dayak memiliki sejarah praktik ritual pemburuan kepala (Ngayau), meski praktik ini dianggap
musnah pada awal abad ke-20.Skala pembantaian membuat militer dan polisi sulit mengontrol
situasi di Kalimantan Tengah. Pasukan bantuan dikirim untuk membantu pasukan yang sudah
ditempatkan di provinsi ini. Pada 18 Februari, suku Dayak berhasil menguasai Sampit. Polisi
menahan seorang pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu otak pelaku di belakang serangan
ini. Orang yang ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk memprovokasi kerusuhan
di Sampit. Polisi juga menahan sejumlah perusuh setelah pembantaian pertama. Kemudian,
ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya sambil meminta pelepasan para
tahanan. Polisi memenuhi permintaan ini dan pada 28 Februari, militer berhasil membubarkan
massa Dayak dari jalanan,[11] namun kerusuhan sporadis terus berlanjut sepanjang tahun.

15. Peristiwa 27 Juli

Peristiwa 27 Juli 1996, disebut sebagai Peristiwa Kudatuli (akronim


dari KERUSUHAN DUA PULUH TUJUH JULI) atau Peristiwa Sabtu Kelabu (karena memang
kejadian tersebut terjadi pada hari Sabtu) adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa
kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu
dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa
pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari
kepolisian dan TNI.Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta,
khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung
terbakar.

Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru
kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman
Sudjatmikomendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara. Peristiwa ini terjadi
disebabkan Soeharto dan pembantu militernya merekayasa Kongres PDI di Medan dan
mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru
untuk menggulingkan Megawati itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar
bebas di Kantor DPP PDI. Mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan aktivis
penentang Orde Baru, telah mampu membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik
Orde Baru. Sehingga ketika terjadi pengambilalihan secara paksa, perlawanan dari rakyat pun
terjadi.

Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: 5 orang meninggal dunia, 149 orang
(sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah
terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.

Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pertemuan
tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang
Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto,
Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono
memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya. Dokumen
tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan
Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul
Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf.
Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video
peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan
menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa terungkap dalam dokumen
Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni
2000.[1]

16. Kasus Sum Kuning (1970)


Gambar 4.1 Buku tentang Sum Kuning

Kasus Sum Kuning adalah kasus getir dan pahit dari seorang gadis muda bernama Sumarijem
seorang gadis muda dari kelas bawah seorang penjual telur dari Godean Yogyakarta yang
diperkosa oleh segerombolan anak pejabat dan orang terpandang di kota Yogyakarta kala itu.
Kasus ini merebak menjadi berita besar ketika pihak penegak hukum terkesan mengalami
kesulitan untuk membongkar kasusnya hingga tuntas. Pertama-tama Sum Kuning disuap agar
tidak melaporkan kasus ini kepada polisi. Belakangan oleh polisi tuduhan Sum Kuning
dinyatakan sebagai dusta. Seorang pedagang bakso keliling dijadikan kambing hitam dan dipaksa
mengaku sebagai pelakunya. Tanggal 18 September 1970 Sumarijem yang saat itu berusia 18
tahun tengah menanti bus di pinggir jalan dan tiba-tiba diseret masuk kedalam sebuah mobil oleh
beberapa pria, didalam mobil Sumarijem (Sum Kuning) diberi bius (Eter) hingga tak sadarkan
diri, Ia dibawa ke sebuah rumah di daerah Klaten dan diperkosa bergilir hingga tak sadarkan
diri. Kasus ini cukup pelik karena menurut Jendral Pur Hoegeng mantan Kapolri bahwa para
pelaku pemerkosaan adalah anak-anak pejabat dan salah seorang diantaranya adalah anak
seorang pahlawan revolusi (Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para
pemimpin bangsa, penerbit Bentang). Dalam bukunya juga disebutkan bahwa Sum Kuning
ditinggalkan ditepi jalan, Gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah
dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu. Dalam pengakuannya kepada
wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita yang berbeda dari versi sebelumnya. Dia
diancam akan disetrum jika tidak mau menurut. Sum pun disuruh membuka pakaiannya, dengan
alasan polisi mencari tanda palu arit di tubuh wanita malang itu.Karena melibatkan anak-anak
pejabat yang berpengaruh, Sum malah dituding anggota Gerwani. Saat itu memang masa-
masanya pemerintah Soeharto gencar menangkapi anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk
Gerwani.Kasus Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang ganjil
ini tertutup untuk wartawan. Belakangan polisi menghadirkan penjual bakso bernama Trimo.
Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo menolak mentah-mentah.
Jaksa menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan. Tapi majelis hakim menolak
tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti
memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum harus dibebaskan.Dalam putusan hakim
dibeberkan pula nestapa Sum selama ditahan polisi. Dianiaya, tak diberi obat saat sakit dan
dipaksa mengakui berhubungan badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga
membeberkan Trimo dianiaya saat diperiksa polisi. Hoegeng terus memantau perkembangan
kasus ini. Sehari setelah vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta
AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu memerintahkan
Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta soal
pemerkosaan Sum Kuning."Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang
gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita
tindak," tegas Hoegeng.Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya
'Tim Pemeriksa Sum Kuning', dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti
bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah
lewat media massa.Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum
Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Team
pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa. Kopkamtib adalah lembaga negara yang
menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara.
Kenapa kasus perkosaan ini sampai ditangani Kopkamtib?? Dalam kasus persidangan perkosaan
Sum, polisi kemudian mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Semuanya anak
orang biasa, bukan anak penggede alias pejabat negara. Para terdakwa pemerkosa Sum
membantah keras melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar
memerkosa. Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi
bias. Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai
Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini. Sum sendiri kemudian bekerja di
Rumah Sakit Tentara di Semarang. Dia kemudian menikah dengan seorang pria yang sudah
dikenalnya saat masih dirawat. Tapi siapakah pelaku pemerkosaan sebenarnya dari Sum Kuning
masih menjadi tanda tanya besar sampai saat ini sebab baik Sum Kuning tetap pada pendiriannya
bahwa pemerkosanya adalah sekumpulan anak pejabat maupun 10 pemuda anak orang biasa
yang diajukan ke pengadilan dan membantah habis-habisan tuduhan yang diajukan kepada
mereka dan dijadikan sebagai kambing hitam untuk menutupi para pelaku sebenarnya.

17. Menghilangnya 13 Aktifis menjelang Reformasi


Menjelang Reformasi di tahun 1998 ada sekitar 13 orang aktivis yang diculik paksa oleh militer
dan hingga kini keberadaan mereka masih menjadi misteri, jika mereka sudah meninggal
dimanakah mereka dikuburkan dan alasan apa yang menyebabkan sehingga militer menculik ke-
13 orang aktivis ini. Mereka adalah Yanni Afri, Sonny, Herman Hendrawan, Dedy Umar, Noval
Alkatiri, Ismail, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Petrus Bima Anugerah, Widji Tukul, Hendra
Hambali, Yadin Muhidin dan Abdun Nasser. Pasukan Kopassus dari tim mawar dianggap
bertanggung jawab atas peristiwa menghilangnya ke-13 aktivis tersebut dimana ada 24 orang
yang diculik namun 9 orang berhasil bebas yakni Aan Rusdiyanto, Andi Arief, Desmon J
Mahesa, Faisol Reza, Haryanto Taslam, Mugiyanto, Nezar Patria, Pius Lustrilanang dan Raharja
Waluya Jati. Sementara 1 orang lagi yakni Leonardus Nugroho (Gilang) yang sempat dinyatakan
hilang lalu 3 hari kemudian ditemukan telah meninggal dunia di Magetan dengan luka tembak
dikepalanya. Karena kasus ini sempat membuat heboh di tahun 1998 dan atas desakan berbagai
pihak didalam maupun luar negri pada tanggal 3 Agustus 1998 Panglima ABRI saat itu, Jend
Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira yang diketuai oleh Jend TNI Soebagyo HS
yang saat itu menjabat sebagai KSAD, dan wakil ketua terdiri dari Let Jen TNI Fahrur Razi
(Kasum ABRI), Let Jen Yusuf Kartanegara (Irjen Dephankam) dan anggota yang terdiri dari : Let
Jen Soesilo Bambang Yudhoyono yang kini menjadi Presiden RI (Kassospol ABRI), Let Jen
Agum Gumelar (Gubernur Lemhanas), Let Jen Djamiri Chaniago (Pangkostrad) dan Laksdya
Achmad Sutjipto (Danjen AKABRI). Pada tanggal 24 Agustus 1998 Letnan Jendral Prabowo
Subianto selaku Panglima Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad) diberhentikan dari dinas
kemiliteran. Menindaklanjuti keputusan dari Menteri Pertahana/Panglima ABRI Jendral Wiranto,
dilakukan penyelidikan oleh PUSPOM ABRI dan selanjutnya diketahui bahwa tim mawar dari
Kopassus diduga bertanggung jawab terhadap kasus penculikan dan penghilangan secara paksa
para aktivis 1998 tersebut. 11 anggota Kopassus diadili secara militer namun KONTRAS dalam
siaran pers nya menyebutkan :"Proses peradilan terhadap 11 anggota Kopassus terdakwa
penculikan itu tidak lebih hanya sebuah rekayasa hukum untuk memutus pertanggung jawaban
Letnan Jendral Prabowo Subianto yang sebenarnya paling bertanggung jawab atas operasi ini.
Hal tersebut jelas bertolak belakang dengan hasil pemeriksaan DKP yang membuktikan bahwa
Letjen Prabowo lah yang bertanggung jawab atas penculikan itu, karena itulah akhirnya ia
dipensiunkan. Jadi secara keseluruhan kami berkesimpulan bahwa persidangan itu tidak lebih
dari sebuah pertunjukan dagelan yang tidak lucu. Oleh sebab itu KontraS bersama keluarga
korban tetap menuntut Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR serta Kolonel Chairawan
segera diseret ke pengadilan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus penculikan
ini
Pembacaan putusan pengadilan Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) II Jakarta dengan nomor
perkara PUT. 25 16 / K- AD / MMT II/ IV/ 1999. Isi dari keputusan pengadilan menyatakan ;
Pembacaan putusan pengadilan Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) II Jakarta dengan nomor
perkara PUT. 25 16 / K- AD / MMT II/ IV/ 1999. Isi dari keputusan pengadilan
menyatakan ; No Nama Terdakwa Vonis / Hukuman 1 Mayor (Inf) Bambang Kristiono 22 bulan /
dipecat, 2 Kapten (Inf) F.S Multhazar 20 bulan / dipecat, 3 Kapten (Inf) Nugroho Sulistyo 20
bulan / dipecat, 4 Kapten (Inf) Yulius Stevanus 20 bulan / dipecat, 5 Kapten (Inf) Untung Budi
Harto 20 bulan / dipecat, 6 Kapten (Inf) Dadang Hendra Yuda 16 bulan / dipecat, 7 Kapten (Inf)
Djaka Budi Utama 16 bulan / dipecat, 8 Kapten (Inf) Fauka Noor Farid 16 bulan / dipecat, 9
Sersan Kepala Sunaryo 12 bulan / dipecat, 10 Sersan Kepala Sigit Sugianto 12 bulan / dipecat,
11 Sersan Satu Sukadi 12 bulan / dipecat Namun proses pengadilan tersebut tetap saja tidak
memberikan kepastian dimanakah mereka menahan para aktivis tersebut dan jika sudah
meninggal dimanakah mereka menguburkan atau membuang mayat ke-13 aktivis yang hilang
tersebut.

18. Penembak Misterius (Petrus) 1982-1985

Petrus atau juga dikenal sebagai operasi clurit dianggap oleh banyak orang sebagai sebuah
operasi rahasia dimasa pemerintahan Orde Baru untuk menghabisi para Gali (Gabungan anak
liar) dan Preman yang dianggap meresahkan dan mengganggu keamanan dan ketentraman
masyarakat kala itu. Hingga kini para pelaku Petrus tidak pernah tertangkap dan tidak jelas siapa
pelakunya. Kemungkinan besar adanya operasi ini karena instruksi dari Presiden Soeharto di
tahun 1982 saat memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Anton Soedjarwo atas
keberhasilannya membongkar kasus perampokan yang meresahkan masyarakat, lalu ditahun
yang sama Soeharto kembali meminta Polisi dan ABRI dihadapan RAPIM ABRI untuk
mengambil langkah pemberantasan yang efektif dalam menekan angka kriminalitas.Karena
permintaan atau perintah Soeharto disampaikan pada acara kenegaraan yang istimewa, sambutan
yang dilaksanakan oleh petinggi aparat keamanan pun sangat serius. Permintaan Soeharto itu
sontak disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat koordinasi bersama
Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta yang berlangsung di
Markas Kodam Metro Jaya 19 Januari 1983. Dalam rapat yang membahas tentang keamanan di
ibukota itu kemudian diputuskan untuk melaksanakan operasi untuk menumpas kejahatan
bersandi Operasi Celurit di Jakarta dan sekitarnya. Operasi Celurit itu selanjutnya diikuti oleh
Polri/ABRI di masing-masing kota serta provinsi lainnya. Para korban Operasi Celurit pun mulai
berjatuhan. Petrus pada awalnya beraksi secara rahasia namun lambat laun aksi mereka seperti
sebuah teror menakutkan bagi para bromocorah dan preman di kota-kota besar, pada tahun 1983
berhasil menumbangkan 532 orang yang dituduh sebagai pelaku kriminal. Dari semua korban
yang terbunuh, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 korban Petrus
(Penembak Misterius) yang tewas sebanyak 107 orang, tapi hanya 15 orang yang tewas oleh
tembakan. Sementara tahun 1985, tercatat 74 korban Petrus (Penembak Misterius) tewas dan 28
di antaranya tewas karena tembakan. Secara umum para korban Petrus saat ditemukan dalam
kondisi tangan dan leher terikat. Kebanyakan korban dimasukkan ke dalam karung dan ditinggal
di tepi jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, hutan-hutan, dan kebun. Yang pasti pelaku
Petrus terkesan tidak mau bersusah-susah membuang korbannya karena bila mudah ditemukan
efek shock therapy yang disampaikan akan lebih efektif. Sedangkan pola pengambilan para
korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal atau dijemput aparat keamanan. Akibat berita
yang demikian gencar mengenai Petrus yang berhasil membereskan ratusan penjahat, para
petinggi negara pun akhirnya berkomentar.ketika berita serupa hampir tiap hari muncul di
seantero Jakarta dan massa mulai membicarakan masalah penembakan misterius, Benny
Moerdani sebagai Panglima Kopkamtib seusai menghadap Presiden Soeharto lalu memberi
pernyataan kepada pers bahwa penembakan gelap yang terjadi mungkin timbul akibat
perkelahiaan antar geng bandit. Seiauh ini belum pernah ada perintah tembak di tempat bagi
peniahat yang ditangkap komentar Benny. Dan tak ada seorang pun wartawan yang saat itu
berani melaniutkan pertanyaan kepada jenderal yang dikenal sangat tegas dan garang itu. Kepala
Bakin saat itu, Yoga Soegama juga memberikan pernyataan yang bernada enteng bahwa
masyarakat tak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati secara misterius. Tapi pernyataan
yang dilontarkan man-tan Wapres H. Adam Malik justru bertolak belakang sehingga membuat
kasus penembakan misterius tetap merupakan peristiwa serius dan harus diperhatikan oleh
pemerintah RI yang selalu menjunjung tinggi hukum. Jangan mentangmentang penjahat dekil
langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat
sebagai negara hukum sudah terpenuhi, kecam Adam Malik sambil menekankan, Setiap usaha
yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran. Tindakan tegas
para Penembak Misterius (Petrus) pada akhirnya memang menyulut pro dan kontra. Pendapat
yang pro, Petrus pantas diterapkan kepada target yang memang jelas-jelas penjahat. Sebaliknya
pendapat yang kontra menyatakan keberatannya jika sasaran Petrus hanya penjahat kelas teri
atau mereka yang hanya memiliki tato tapi bukan penjahat beneran. Pendapat atau komentar
yang cukup kontroversial adalah yang dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Hans
van den Broek, yang secara kebetulan sedang berkunjung ke Jakarta pada awal Januari tahun
1984. Setelah bertemu dengan Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Broek secara mengejutkan
berharap bahwa pembunuhan yang telah mejnakan korban jiwa sebanyak 3.000 orang itu pada
waktu mendatang diakhiri dan Indonesia juga diharapkan dapat melaksanakan konstitusi dengan
tertib hukum. Menlu Mochtar sendiri menjawab bahwa peristiwa pembunuhan misterius itu
terjadi akibat meningkatnya angka kejahatan yang mendekati tingkat terorisme sehingga
masyarakat merasa tidak aman dan main hakim sendiri. Atas pernyataan Menlu Belanda itu,
Benny yang merasa kebakaran jenggot sekali lagi harus tampil untuk meluruskan tuduhan tadi. Ia
kembali menegaskan bahwa pembunuhan yang terjadi karena perkelahian antar geng. Ada
orang-orang yang mati dengan luka peluru, tetapi itu akibat melawan petugas. Yang berbuat itu
bukan pemerintah. Pembunuhan itu bukan kebijaksanaan pemerintah, tegasnya. Namun
persoalan penembakan itu akhirnya tidak lagi misterius meskipun para pelakunya hingga saat ini
tetap misterius dan tidak terungkap. Beberapa tahun kemudian Presiden Soeharto justru
memberikan uraian tentang latar belakang permasalahannya dimana ia mengatakan Tindakan
keamanan tersebut memang terpaksa dilakukan sesudah aksi kejahatan yang terjadi di kota-kota
besar Indonesia semakin brutal dan makin meluas. Seperti tertulis dalam bukunya Benny
Moerdani hal 512-513 Pak Harto berujar : Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment
therapy, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan kekerasan. Tetapi
kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor! Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan,
ya mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak. Lalu ada yang
mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang
banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan
mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah
melampui batas perikemanusiaan. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan
ituNamun jika para petinggi militer maupun presiden sendiri menyatakan bahwa penembakan
terhadap para preman karena melawan saat hendak ditangkap bagaimana Moerdani menjelaskan
para korban Penembakan Misterius yang ditemukan dalam goni-goni dengan tangan terikat atau
yang dihanyutkan di sungai? atas kordinasi siapakah para Penembak Misterius itu menjalankan
perintah?

19. Kasus Kematian Peragawati Terkenal Dietje Diera

tahun 1980an ada seorang peragawati ternama yang cantik bernama Dietje yang bernama
lengkap Dietje (Dice) Budimulyono/Dice Budiarsih, ia tewas dibunuh dengan tembakan
berulang kali oleh seorang yang ahli dalam menembak kemudian mayat nya dibuang disebuah
kebun karet dibilangan kalibata yang sekarang menjadi komplek perumahan DPR. Setelah kasus
tersebut marak di media massa, Polisi akhirnya menangkap seorang tua renta yang nama aslinya
tidak diketahui dan hanya dikenal dengan panggilan Pakde dikenal juga sebagai Muhammad
Siradjudin, konon ia adalah seorang dukun. Yang entah dengan alasan dan motif apa yang tidak
jelas ia dianggap sebagai pembunuh Dietje. Bagi Polis Motif tidak begitu penting karena Polisi
mengungkapkan bahwa "katanya" mereka "Memiliki bukti yang kuat". Pak De membantah
sebagai pembunuh Ditje seperti yang tercantum dalam BAP yang dibuat polisi. Pengakuan itu,
menurut Pak De dibuat karena tak tahan disiksa polisi termasuk anaknya yang menderita patah
rahang. Ketika itu, Pak De mengajukan alibi bahwa Senin malam ketika pembunuhan terjadi, dia
berada di rumah bersama sejumlah rekannya. Saksi-saksi yang meringankan untuk memperkuat
alibi saat itu juga hadir di pengadilan. Namun, saksi dan alibi yang meringankan itu tak
dihiraukan majelis hakim. Akhirnya Pakde dijatuhi hukuman penjara seumur hidup namun
publik saat itu sudah mengetahui rumor bahwa Dietje menjalin hubungan asmara dengan
menantu dari orang paling berkuasa di Indonesia saat itu. Dan tentu saja kasus seperti ini tidak
akan pernah terungkap dengan benar. Karena pemilik informasi satu-satunya kepada media atau
publik berasal dari polisi. Dan bisa jadi, publik digiring dengan sekuat tenaga, untuk meyakini
bahwa benarlah yang membunuh Dietje adalah Pakde. Dietje disebutkan dipakai sebagai "Jasa"
oleh seorang eks petinggi militer yang terjun ke dunia usaha dan untuk memuluskan bisnisnya
Dietje dipakai oleh sang eks petinggi militer untuk menyenangkan menantu orang paling
berkuasa di Indonesia, Hasil dari jasa Dietje, sang jenderal pengusaha mendapat satu kontrak
besar pembangunan sebuah bandar udara modern. Tapi hubungan Dietje berlanjut jauh dengan
sang menantu. Ketika perselingkuhan itu bocor ke keluarga besar, keluar perintah memberi
pelajaran kepada Dietje, hanya saja kebablasan menjadi suatu pembunuhan. Dietje ditembak di
bagian kepala pada suatu malam tatkala mengemudi sendiri mobilnya di jalan keluar kompleks
kediamannya di daerah Kalibata. Pak De Siradjuddin yang dikenal sebagai guru spiritualnya
dikambinghitamkan, ditangkap, dipaksa mengakui sebagai pelaku, diadili dijatuhi hukuman
seumur hidup dan sempat dipenjara bertahun-tahun lamanya, Hingga akhirnya Pak De mendapat
grasi dari Presiden BJ Habibi dimana hukuman Pak De dirubah dari seumur hidup menjadi 20
tahun di tahun 1999.Akhirnya 27 Desember 2000 Pak De dapat meninggalkan hotel prodeo
setelah pemerintah memberikan kebebasan bersyarat. Setelah menghirup udara bebas, Pak De
lebih sering mengurusi ayam-ayamnya. Tubuhnya telah lama layu. Kumis tebalnya juga sudah
berwarna kelabu. Kepada setiap orang kembali Pak De menyatakan: Pak De tidak membunuh
Ditje". Pak De dalam kasus pembunuhan itu merasa menjadi kambing hitam oleh polisi dan
Polda Metro Jaya. "Sebenarnya saat itu polisi tahu pembunuhnya," kata Pak De. Siapakah
pelakunya? Pak De menyebut-nyebut sejumlah nama yang saat itu dekat dengan kekuasaan.
Entahlah, sebab di negeri ini keadilan tidak berlaku bagi rakyat kecil.
20. Kasus Menghilangnya Edy Tansil

Edy Tansil adalah seorang pengusaha keturunan yang memiliki nama asli Tan Tjoe Hong/Tan Tju
Fuan yang menjadi narapidana dan harus mendekam selama 20 tahun di penjara Cipinang atas
kasus kredit macet Bank Bapindo yang merugikan negara senilai 565 juta dollar (1.5 T rupiah
dengan kurs dollar saat itu). Edy Tansil dilaporkan kabur dari penjara pada tanggal 4 Mei 1996
dan 20 petugas LP Cipanang dijadikan tersangka karena dianggap membantu Edy Tansil
melarikan diri dan sejak itu keberadaan dari Edy Tansil seperti raib ditelan bumi. Sebuah LSM
pengawas anti-korupsi bernama Gempita melaporkan bahwa Edy Tansil tengah menjalankan
bisnis sebuah perusahaan bir yang mendapat lisensi dari perusahaan bir Jerman bernama Becks
Beer Company di kota Pu Tian Provinsi Fujian China. Di tahun 2007 Tempo interactive
melaporkan bahwa tim pemburu koruptor (TPK) berdasarkan temuan dari PPATK menyatakan
akan segera memburu Edy Tansil dimana PPATK menemukan bukti bahwa buronan tersebut
telah melakukan transfer uang ke Indonesia setahun sebelumnya. Namun hingga kini keberadaan
Edy Tansil tetap masih menjadi misteri. Ada beberapa koruptor yang juga melarikan diri ke luar
negri dan hingga kini keberadaan mereka tidak terungkap atau belum tertangkap seperti Adelin
Lis, Sjamsul Nursalim, David Nusa Wijaya, Maria Pauline, Djoko S Tjandra, Marimutu
Sinivasan, Hendra Rahardja, Sukanto Tanoto dan masih banyak lainnya.

21. Peristiwa Holocaust

Holocaust adalah genosida terhadap kira-kira enam juta penganut Yahudi Eropa selama Perang
Dunia II, suatu program pembunuhan sistematis yang didukung oleh negara Jerman Nazi,
dipimpin oleh Adolf Hitler, dan berlangsung di seluruh wilayah yang dikuasai oleh Nazi. Dari
sembilan juta Yahudi yang tinggal di Eropa sebelum Holocaust, sekitar dua pertiganya tewas.
Secara khusus, lebih dari satu juta anak Yahudi tewas dalam Holocaust, serta kira-kira dua juta
wanita Yahudi dan tiga juta pria Yahudi.
Beberapa pakar berpendapat bahwa definisi Holocaust harus meliputi pula genosida Nazi
terhadap jutan orang dalam kelompok lain selain Yahudi, di antaranya orang Rom, komunis,
tawanan perang Soviet, warga Polandia dan Soviet, homoseksual, orang cacat, Saksi Yehuwa dan
musuh politik dan keagamaan lainnya, yang menjadi korban terlepas apakah mereka berasal dari
etnis Jerman atau bukan.Ini adalah definisi yang paling umum digunakan sejak akhir Perang
Dunia II hingga tahun 1960-an jumlah keseluruhan korban Holocaust adalah 11 hingga 17 juta
jiwa.
Nazi memerintahkan orang Yahudi dan Rom untuk dikurung di ghetto sebelum dipindahkan
dengan kereta barang ke kamp pemusnahan. Di sana, jika mereka selamat dalam perjalanan,
sebagian besar dari mereka secara sistematis dibunuh di dalam kamar gas.

22. Pembunuhan Holly

Nama Holly, wanita cantik yang meninggal dunia akibat pembunuhan kejam di Apartemen
Kalibata, ternyata menjadi korban pembunuhan berencana dari suaminya. Kasubdit Jatanras
Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Herry Heryawan, Rabu (16/10/2013) menyatakan
"Berdasarkan hasil gelar perkara para penyidik Subdit Jatanras, Gatot pada hari ini sudah kita
tingkatkan statusnya dari saksi menjadi tersangka," katanya.

Gatot Supiartono yang kemudian diketahui sebagai suaminya adalah pejabat eselon I Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) itu kini resmi menjadi tersangka atas dugaan keterlibatannya dalam
pembunuhan Holly Angela Ayu (37). (Foto yang dirilis Polda Metro Jaya Rabu, 16/10/2013
merupakan foto pernikahan, sumber; detik.com). Nama Gatot yang diselidiki muncul setelah
salah satu dari empat tersangka, Surya Hakim (45) ditangkap polisi di Karawang pada tanggal 7
Oktober lalu. Dia mengaku kenal baik dengan Gatot dan sering menjadi sopir pribadinya.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Slamet Riyanto di Mapolda
Metro Jaya menyatakan bahwa, "Korban (Holly) terlalu banyak menuntut mulai dari minta
apartemen, mobil, rumah." Selain menuntut Gatot dengan soal harta, Slamet Riyanto
menyebutkan dari keterangan saksi-saksi, bahwa Holly juga menuntut agar Gatot menceraikan
isteri pertamanya.

Setelah dirinya dijadikan tersangka, Gatot dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan
berencana jo Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan jo Pasal 55 KUHP.

Dari kasus yang berakhir dengan pembunuhan suami terhadap isteri mudanya, secara psikologis
kemungkinan besar disebabkan karena kemarahan Gatot sebagai akibat tertekan dengan
demikian banyaknya permintaan Holly. Yang fatal dan kemudian menyebabkan terjadinya
perencanaan dan eksekusi pembunuhan, adalah terutama saat Holly meminta Gatot menceraikan
isteri pertamanya. Ini sebuah pelajaran dimana apabila bermain dengan cinta dan cinta itu sudah
merasuk kedalam jiwa seorang wanita, kemudian dia menjadi pendamping resmi, maka si pria
harus siap dengan segala konsekwensinya. Si Isteri muda yang benar-benar kasmaran akan
menuntut jantung hatinya selalu berada disebelahnya.

Didalam pelajaran sekolah pengamanan personil, kasus pernikahan kedua atau mengambil isteri
muda adalah kasus khusus yang harus didalami oleh analis. Karena biasanya banyak terjadi rasa
bersaing dari yang muda kepada yang tua. Dari beberapa kasus dahulu yang penulis selidiki,
penyebab pernikahan kedua terjadi diantaranya karena isteri berubah setelah sekian tahun
menjalani pernikahan, misalnya menjadi galak, terlalu mengatur, pencuriga berat, parno dan
menyebabkan rasa tidak nyaman. Atau bisa juga, si pria menemukan wanita yang lebih muda dan
lebih menarik, yang menggoda hatinya, kemudian dia jatuh hati. Dan banyak lagi penyebab
lainnya.

Bagi para suami yang kemudian nekat mengambil isteri kedua, selama dia mampu, maka
permintaan isteri keduanya meminta harta atau lainnya masih akan dipenuhi. Tetapi pada
umumnya mereka akan marah apabila isteri mudanya meminta untuk menceraikan isteri
pertamanya. Pada umumnya si suami sudah mempunyai anak, sehingga akan berat memenuhi
permintaan tersebut. Hubungan akan menjadi berbahaya apabila si isteri muda terus memaksa
dan terus menuntut, terlebih dengan marah atau emosional. Maka bisa saja terjadi seperti kasus
Gatot dan Holly ini. Ini yang perlu diingat bagi kedua belah pihak.

Pesan moralnya, penyesalan tidak pernah di depan tetapi selalu berada di belakang, karena itu
berfikirlah dahulu sebelum bertindak terlebih soal cinta. Wanita apabila jatuh cinta akan sulit
disadarkan, pria apabila disentuh ketenangan hidupnya berumah tangga bisa menggila dan
bertindak nekat, itulah yang terjadi.
23. Pelanggaran HAM di Mesir
Gambar 6.3 Salah satu contoh pelanggaran HAM di Mesir Mantan presiden
Mesir

Rezim Hosni Mubbarak yang sudah beumur lebih dari empat dekade akhirnya harus terhenti di
tangan rakyat mesir sendiri. Selama berminggu-minggu ratusan ribu warga Mesir turun ke jalan
dan menyerukan pencopotan Mubbarak dari jabatannya sebagai presiden Mesir. Hal ini dipicu
oleh ketidak puasan warga karena krisis ekonomi dan politik yang dialami Mesir. Presiden ini
dianggap oleh sebagian warga Mesir sebagai presiden yang baik karena selalu memperhatikan
rakyat kecil. Namun sikap glamor dan otoriternya membuat sebagian besar lainnya tidak
menghendaki Mubbarak memimpin Mesir lagi. Selama berminggu-minggu ratusan warga
menjadi korban, banyak dari mereka yang akhirnya meninggal dunia. Tentara membubarkan
domonstrasi dengan pasukan berkuda, menabrakan mobil kearah dan menembakkan peluru tajam
pengunjuk rasa. Namun akhirnya, wilayah-wilayah yang dikuasai pemerintah dapat diambil alih
oleh demonstran setelah militer membelot untuk membela oposisi di banding membela
Mubbarak. Tak lama Hosni Mubbarak yang terkepung oleh ratusan warga Mesir dan
bersembunyi di dalam selokan ditemukan warga dan akhirnya meninggal di tangan rakyat yang
pernah ia pimpin sendiri.

Dalam kasus ini terdapat dua pelanggaran HAM, yang pertama pelanggaran oleh presiden Mesir
sendiri dan yang kesua adalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rakyat Mesir karena tidak
memberi kesempatan Mubbarak untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di hadapan
hukum dengan menyiksa dan membunuhnya

24. pembantaian Rawagede


Gambar 6.4 korban Pembantaian Rawagede

Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung Rawagede (sekarang


terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang), di antara Karawang dan Bekasi, oleh
tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 sewaktu melancarkan agresi militer pertama.
Sejumlah 431 penduduk menjadi korban pembantaian ini.

Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang.
Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi, mengakibatkan
jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil. Pada tanggal 4 Oktober 1948, tentara Belanda
melancarkan pembersihan. Dalam peristiwa ini 35 orang penduduk Rawagede dibunuh tanpa
alasan jelas. Peristiwa dikira menjadi inspirasi dari sajak terkenal Chairil Anwar berjudul Antara
Karawang dan Bekasi, namun ternyata dugaan tersebut tidak terbukti.

Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan pemerintah Belanda harus
bertanggung jawab dan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya.

Di Jawa Barat, sebelum Perjanjian Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang
juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember melancarkan pembersihan unit pasukan TNI dan laskar-
laskar Indonesia yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan Belanda yang
ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang. Sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim ke
bekas Hindia Belanda, sekarang Indonesia.Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara
Belanda memburu Kapten Lukas Kustaryo, komandan kompi Siliwangi - kemudian menjadi
Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi - yang berkali-kali berhasil
menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai
laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok.

Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di bawah
pimpinan seorang mayor mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun
mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk
keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki
diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang
Republik. Namun tidak satu pun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang
tersebut.

Pemimpin tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk
laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan,
walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan bahwa dia bersama
ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara
Belanda memberondong dengan senapan mesin istilah penduduk setempat: "didrdt"- ayahnya
yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun
dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.

Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan
ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga
melakukaneksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties), sebuah tindakan yang jelas
merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431 jiwa, karena
banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.

Seorang veteran tentara Belanda yang tidak mau disebutkan namanya dari desa Wamel, sebuah
desa di propinsi Gerderland, Belanda Timur mengirim surat kebata korban perang sebagai
berikut: Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar
desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung.
Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air
sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata dll)Jam setengah enam pagi,
ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau
melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. Setelah desa dibakar, tentara
Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan
tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Belanda menganggap Rawa Gedeh
telah menerima pelajarannya.Semua lelaki ditembak mati oleh pasukan yang dinamai Angkatan
Darat Kerajaan. Semua perempuan ditembak mati, padahal Belanda negara demokratis. Semua
anak ditembak mati.

Desa Wamel pada tanggal 20 September 1944 diserbu tentara Jerman. 14 warga sipil tewas
dibunuh secara keji oleh tentara Jerman. Nampaknya dari peristiwa Wamel ini, sang veteran
menulis surat penyesalan tersebut.

Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa
hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa
tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu
menguburkan suami dan dua orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat
menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secara Islam, yaitu
jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian
diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.
Pimpinan Republik kemudian mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of
Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan
Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai
deliberate and ruthless, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk
memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).

25. Krisis suriah di bawah pimpinan bassar al ashad


Gambar 6.5 Proses terjadinya krisis Suriah Korban dari krisis Suriah

Seperti halnya di Mesir. Beberapa warga suriah ingin mereformasi pemerintahan yang mereka
anggap sudah tidak berjalan semestinya. Namun perjuangan rakyat terbilang sangat sulit dan
mustahil. Karena kali ini pemerintah benar-benar menguasai militer. Oposisi yang memimpin
aksipun kesulitan untuk melawan dan akhirnya mereka terdesak dan keluar dari pusat kota.
Kerusuhan ini berubah menjadi sebuah perang saudara yang menurut penghitungan PBB telah
menelan korban jiwa lebih dari 60.000 warga suriah, dan sekitar 500 warga asing meninggal
dunia. Selain itu di pihak pemerintah sekitar 12.000 tentara meninggal dunia.
Perang saudara ini juga membuat negara lain ikut berperang seperti Turki yang telah kehilangan
2 pilot F-4 setelah pesawatnya ditembak. Kemudian Jordania yang ikut merasakan dampak
perang dan mengancam akan menyerang Suriah. Sampai sekarang krisis yang sedang dihadapi
Suriah sedang dalam perbincangan oleh bangsa Eropa dan Amerika. Mereka mengusahakan
berbagai cara untuk menghentikan peperangan ini karena dianggap telah melanggar HAM rakyat
Suriah.
26. Pelanggaran HAM Israel di Palestina

Gambar 7.1 Peristiwa terjadinya serangan dari Israel

Israel yang merupakan sebuah wilayah yang terbentuk dari perkumpulan orang-orang Yahudi
yang mengungsi kewilayah palestina. Orang-orang Yahudi yang diterima baik oleh bangsa
Palestina kemudian membentuk sebuah negara bernama Israel. Israel kemudian sedikit demi
sedikit mulai memperluas wilayahnya dengan mengusir penduduk asli. Dengan bantuan Amerika
Serikat sekarang Israel menguasai sebagian besar wilayah palestina, sedangkan palestina sendiri
sekarang hanya memiliki wilayah kecil yang terletak ditengah negara Israel. Israel mengembargo
Palestina dari segala bentuk bantuan dan komunikasi dengan luar. Israel beberapa kali
melakukan penyerangan langsung terhadap Palestina.
Sudah ribuan bahkan ratusan ribu warga Palestian menjadi korban. Bahkan relawan yang ingin
membantupun ikut menjadi korban. Palestina yang sekarang ini sedang berjuang untuk
mendapatkan pengakuan dari PBB sebagai suatu negara dan lemudian menjadi anggota PBB
menghadapi sebuah kehidupan yang sangat memprihatinkan. Mulai dari anak-anak dan wanita
yang seharusnya dilindungi menurut Hukum Internasional tentang peperangan kemudian ikut
berperang.

27. Kasus Pembunuhan oleh Mujianto


Gambar 7.2 Mujianto ditangkap

Kasus pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Mujianto (MJ) dari Nganjuk yang diduga
adalah seorang gay saat ini menjadi perbincangan dimana-mana. Koran, majalah, surat kabar
bahkan stasiun televisi telah menempatkan berita ini menjadi headline berita mereka. Kisah
pembunuhan yang mirip dengan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Ryan ini telah menelan
korban minimal 15 orang sampai saat ini. Korban masih dimungkinkan akan bertambah
mengingat kasus ini belum selesai sampai saat ini dan para tersangka terus bertambahn sejak
Mujianto ditangkap beberapa waktu yang lalu.

Kronologis Pembunuhan Oleh Mujianto dari Nganjuk :

Aksi pembunuhan yang dilakukan oleh Mujianto telah dimulai sejak 2011 dengan alasan karena
cemburu, karena para korban pembunuhan adalah merupakan orang dekat pasangan sesama
jenisnya (gay). Dalam melakukan aksinya, Mujianto menggunakan racun tikus yang dimasukkan
ke dalam makanan maupun minuman. Bahkan tak hanya itu saja, menurut pengakuannya,
Mujianto juga menyodomi para korbannya juga.

Pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Mujianto bisa terkuak ke permukaan setelah dua
korban yang selamat melaporkan kejadian yang baru saja menimpa mereka kepada pihak yang
berwajib yaitu M Faiz dan Sumartono. Keduanya menceritakan kepada polisi mengenai pelaku
yang belakangan diketahui adalah Mujianto (24) yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Mujianto yang menjadi tersangka pun kemudian ditangkap di rumah JS di Desa Sonopatik,
Kecamatan Berbek, Nganjuk, Jatim, pada Selasa malam 14 Februari 2012. Dan setelah
penangkapan, diketahui bahwa Mujianto adalah seorang penyuka sesama jenis atau gay. JS yang
dalam hal ini merupakan majikan Mujianto sekaligus menjadi kekasihnya. JS sendiri pernah
menikah dengan seorang perempuan pada tahun 1992-1996 namun tidak dikaruniai anak.

Salah satu warga yang merupakan tetangga JS mengungkapkan bahwa pada awalnya Mujianto
merupakan PRT di rumah JS. Tapi akhirnya mereka berpacaran. JS sebagai perempuannnya,
sedangkan MJ sebagai lelakinya. Keduanya sudah menjalin kisah asmara sesama jenis selama
dua tahun, sejak 2011. Namun, di tengah perjalanannya, tersangka MJ cemburu karena JS
diketahui memiliki banyak pacar yang juga pria.

Karena dibakar api cemburu, MJ nekat mencari tahu nomor ponsel pacar-pacar JS melalui
handphone milik JS. MJ kemudian menghubungi korban-korban yang menurutnya pacar atau
teman dekat JS. Dihubungi dan diajak ketemuan di suatu tempat di Nganjuk, diajak mutar-mutar.
Lalu dikasih makan dan minum yang sudah diracuni, racun tikus timex.

Setelah korbannya pingsan, MJ kemudian menitipkan para korban kepada masyarakat setempat
dengan alasan akan mencari pertolongan medis dan kemudian dia menghilang. Dari 6 korban
(Ahyani 46 tahun, Romadhon (55), Sudarno alias Basori (42) dan seorang lagi belum diketahui
identitasnya, pria berusia 32 tahun) yang diracun pada tahun 2012, hanya dua yang masih hidup
yakni, M Faiz dan Sumartono dan keterangan kedua korban itulah kasus pembunuhan yang
dilakukan MJ terkuak.
28. Penembakan Cebongan

Gambar 7.3 korban penembakan Cebongan

Penembakan Cebongan adalah peristiwa penembakan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan


Cebongan, Sleman,Daerah Istimewa Yogyakarta pada 23 Maret 2013. Penembakan dilakukan
oleh beberapa orang tak dikenal dan menyebabkan empat orang tewas.

Empat korban tewas merupakan pelaku pengeroyokan seorang anggota Kopassus bernama Heru
Santosa hingga tewas di Hugos Caf beberapa hari sebelumnya.

Pada Selasa, 19 Maret 2013, pukul 02.30 terjadi pengeroyokan yang dilakukan oleh beberapa
orang terhadap seorang sersan satu Kopassus Kandang Menjangan Kartasura bernama Heru
Santosa di tempat hiburan Hugo's Cafe di Jalan Adisucipto, Depok, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Heru Santosa tewas dalam pengeroyokan tersebut.

Keributan itu sendiri terjadi antara salah seorang pelaku dengan teman-temannya tak lama
setelah Heru beserta rekan rekannya sesama anggota Kopassus bernama Alen tiba di tempat
hiburan tersebut sekitar pukul 02.20 WIB. Awalnya, Heru beserta rekannya didatangi oleh
seseorang bernama Diki bersama sekitar tujuh temannya. Mereka bertanya asal daerah korban.
Heru menjawab bahwa dirinya adalah anggota Kopassus. Setelah itu, tiba-tiba terjadi keributan
antara Heru dengan kelompok Diki.

Perkelahian awalnya terjadi di halaman cafe, namun karena tak kunjung selesai, keributan
kembali terjadi di dalam kafe. Beberapa orang sempat berupaya melerai. Akan tetapi, Heru tetap
dikeroyok dan tewas setelah ditikam dengan pecahan botol di bagian dadanya. Setelah Heru
terkapar, para pelaku segera melarikan diri. Dalam kondisi luka parah, Heru dilarikan ke Rumah
Sakit Bethesda, namun meninggal dalam perjalanan. Jenazah korban lalu diterbangkan ke
kampung halamannya di Palembang.

Empat pelaku pengeroyokan berhasil ditangkap oleh kepolisian. Sebagian pelaku ditangkap di
sebuah asrama di kawasan Lempuyangan, Yogyakarta, yang sering dijadikan tempat mangkal ke-
lompok tersebut. Para pelaku awalnya ditahan di Mapolda DIY sebelum kemudian dipindahhkan
Lembaga Pemasyarakatan Cebongan pada Jumat 22 Maret 2013 siang dengan alasan sel di
Mapolda DIY sedang direnovasi.

Pada Sabtu 23 Maret 2013, sekitar pukul 01.30 WIB, satu kelompok yang terdiri atas sekitar 17
orang tak dikenal mendatangi Lapas Cebongan. Mereka berhasil masuk setelah mengancam
petugas lapas dengan senjata api. Pelaku juga melakukan tembakan ke udara agar sipir dan napi
yang lain tiarap. Mereka lalu meminta sipir menunjukkan sel di mana terdapat tahanan yang
terlibat kasus penganiayaan anggota Koppasus hingga tewas di Hugo's Cafe. Mereka juga
meminta sipir memberikan kunci sel tempat para tersangka ditahan. Dalam prosesnya, mereka
sempat melukai sipir,[4] dan melakukan ancaman dengan menunjukkan granat. Akhirnya sipir
memberitahu bahwa para tahanan tersebut ditempatkan di sel 5A serta memberikan kunci
selnya. Setelah memperoleh informasi tersebut, kelompok itu kemudian pergi menuju sel para
tersangka.

Dalam prosesnya, ketika mereka semakin mendekati sasaran, jumlah pelaku yang ikut serta
semakin sedikit. Dari 17 orang yang melakukan penyerangan, hanya satu orang yang melakukan
penembakan. Begitu tiba di sel 5A, mereka menyuruh para tahanan yang berada di sana untuk
berkumpul. Kemudian salah seorang pelaku bertanya di mana kelompok Diki. Ia berkata, "Yang
bukan kelompok Diki, minggir!". Sempat ada tahanan yang berkata bahwa Diki tidak ada,
namun pelaku mengancam bahwa mereka akan menembak semua tahanan itu jika tidak
diberitahu. Akhirnya para tahanan memisahkan diri hingga tersisa tiga orang. Mereka disuruh
untuk berkumpul, kemudian langsung ditembak hingga tewas. Setelah itu, pelaku menembak
satu orang tahanan lagi.

Setelah menembak mati para tahanan, para penembak memaksa sebanyak 31 tahanan di sel
tersebut yang menyaksikan eksekusi itu untuk bertepuk tangan. Begitu selesai, para pelaku pun
pergi meninggalkan sel. Untuk menghilangkan barang bukti, mereka merusak kamera CCTV dan
mengambil rekaman CCTV lapas.

Penyerangan berlangsung selama kurang lebih 15 menit, sementara penembakannya berlangsung


selama 5 menit. Salah satu saksi melaporkan bahwa, selama peristiwa berlangsung, ada seorang
pelaku yang terus-menerus melihat jam di tangannya.
29. Insiden Dili

Gambar 7.4 Proses terjadinya Insiden Dili


Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz atau Peristiwa 12 November)
adalah penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12
November 1991.

Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap


pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastio Gomes, yang ditembak mati
oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan
delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa
administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill
Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang
mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.

Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri
dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat
prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang
berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang
meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik
dan aktivis HAM berbasis di Australia.

Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn;
dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman
untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita
video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk
menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah
diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru
kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First
Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania
pada Januari 1992.

Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan


permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor
Timur yang cukup besar, terjadi protes keras.

Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah
meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan
orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang
Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang
menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor
Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.

Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik


mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth
Evans, 'suatu penyimpangan'.
Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan
dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada 1960, yang menyebabkan penembakan
mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata, dan yang menyebabkan
rezim apartheid mendapatkan kutukan internasional.

Kejadian ini kini diperingati sebagai Hari Pemuda oleh negara Timor Leste yang merdeka.
Tragedi 12 November ini dikenang oleh bangsa Timor Leste sebagai salah satu hari yang paling
berdarah dalam sejarah mereka, yang memberikan perhatian internasional bagi perjuangan
mereka untuk merebut kemerdekaan.
30. Kasus Penyiksaan TKI di Malaysia

Gambar 8.1 korban penyiksaan TKI di Malaysia

Kasus penyiksaan Nirmala Bonet, TKI asal Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) di Malaysia,
menjadi pemberitaan utama sejumlah media .

Sebagian besar media cetak di Malaysia juga memberitakan kasus itu, dan menampilkan foto
Nirmala Bonet dengan wajah dan dada terluka dan tampak ketakutan. Harian Kompas, Warta
Kota, dan Republika edisi hari ini (Jumat, 21/5) menampilkan berita dan foto Nirmala di
halaman pertama.

Nirmala mengalami penyiksaan penganiayaan, disetrika dan disiram air panas oleh majikannya
di Malaysia. Kantor Berita AFP dalam laporannya Kamis menyebutkan, penyiksaan yang dialami
TKI berumur 19 tahun dan bekerja di rumah tangga tersebut dialaminya secara berulang-ulang
sejak dia bekerja di Malaysia lima bulan lalu.

Menurut laporan wartawan setempat, Nirmala mengatakan semua itu dialaminya setelah
memecahkan sebuah mangkok yang tengah dicucinya. "Dia (majikan, red) kemudian menyiram
air panas ke saya. Dia pun pernah menyetrika dada saya dengan gosokan panas," katanya.
Kepolisian telah menahan majikan Nirmala, seorang wanita berusia 35 tahun dan istri seorang
direktur perusahaan, untuk kepentingan penyelidikan kasus ini. Keterangan sementara yang
diperoleh polisi, wanita tersebut melakukan penyiksaan terhadap Nirmala setiap hari sejak lima
bulan lalu, seperti dibakar, disiram dengan air panas dan dipukuli.

Pada 2001, dilaporkan telah terjadi serangkaian aksi protes terhadap Kedubes Malaysia di
Indonesia atas kasus-kasus pelecehan terhadap TKI. Di Malaysia ada sekitar 100 ribu TKW
Indonesia. Mereka banyak yang dipekerjakan sejak matahari terbit hingga malam dengan
perlindungan yang amat minim.

31. Genosida suku Indian atas kedatangan orang berkulit putih

Gambar 8.2 Suasana genosida suku Indian

Sejak kedatangan Colombus, orang-orang kulit putih berdatangan ke Amerika untuk kemudian
tinggal dan menetap di sana. Kedatangan orang-orang kulit putih ini awalnya disambut baik oleh
suku Indian. Mereka mengadakan penghormatan khusus secara sakral atas keadatangan kaum
kulit putih tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, orang-orang kulit putih mulai merampas
tanah-tanah milik orang Indian. Mereka diperlakukan tidak adil dan kejam, tak jarang terjadi
pertumpahan darah.Suku Indian dipaksa menyingkir dari tanah kelahirannya, mereka sering
dikejar dan diusir dari wilayah teritorialnya. Karena teribat perang akhirnya suku Indian
menyerah dan dibunuh sehingga populasi nya tinggal hanya sekitar 11.000 jiwa saja.

32. Kasus Kekerasan terhadap Penyandang Cacat

Gambar 8.2 Salah satu kekerasan terhadap penyandang cacat


Hanya karena tak mau mempermalukan anak-anaknya yang sehat, sepasang suami istri warga
Tepi Barat, Palestina, menyembunyikan dua anak mereka yang cacat selama 40 tahun.
Hanya segelintir warga desa kecil Beit Awwa yang tahu soal Bassam Musalmeh (38) dan kakak
perempuannya, Nawal (42). Mereka berdua dikurung di dalam ruang berdinding beton yang
kotor dan bau pesing di belakang rumah keluarga. Polisi menemukan mereka dalam
penggerebekan pada Selasa (26/8) malam, saat memburu anggota Hamas dan sejumlah penjahat
di kota itu. Otoritas Palestina membantah penggerebekan itu untuk memburu anggota Hamas.
Kepala polisi setempat, Samih Saify, mengatakan, ketika anggotanya masuk ke rumah itu,
mereka mendengar suara-suara aneh dari bawah dan tergerak untuk menyelidikinya. Mereka
kemudian menemukan Bassam dalam keadaan telanjang dan Nawal mengenakan daster tipis.
Polisi mengambil gambar mereka. Ibrahim, ayah kedua anak itu, ditangkap meski belum jelas
alasan dia mengurung anaknya atau karena terlibat dalam organisasi Hamas.
Karena perhatian media sudah begitu besar, Rabu (27/8), Bassam dan Nawal dimandikan dan
diberi pakaian yang pantas. Ruang penyekapan pun sudah dibersihkan dan dirapikan meski bau
pesing masih menyengat.
Menurut paman mereka, Mohammed Musalmeh, kedua orang itu belum pernah didiagnosis
menderita gangguan mental tertentu. Mereka juga tidak bisa bicara atau mengenal orang lain.
Seorang reporter Associated Press masuk ke ruangan Nawal, tempat dia duduk di ranjang besi.
Tampaknya perempuan itu tidak menyadari kehadiran orang lain di ruang itu.
Bassam dan Nawal dikurung dalam ruang terpisah yang berhadapan. Ruang itu cukup terang
karena mendapat pencahayaan matahari yang cukup, tetapi dikelilingi tembok tinggi sehingga
tidak bisa dilihat dari luar. Satu pintu yang menghubungkan ruang itu dengan bangunan utama
jarang dibuka.
Kasus ini menyorot kembali rasa malu pada keluarga yang memiliki anak cacat dalam
masyarakat Palestina. Kondisi ini semakin parah karena buruknya pelayanan kesehatan dan
praktik perkawinan dengan sepupu pertama. Ibrahim menikahi sepupu pertamanya dan
menghasilkan delapan anak. Tujuh dari delapan anak mereka cacat dan lima di antaranya
meninggal saat masih kecil. Sekarang tinggal Bassam, Nawal, dan satu putra lagi yang sudah
menikah.
Banyak komunitas Arab lebih memilih menikah antarsepupu pertama untuk menjaga keturunan
dalam keluarga. Ini tidak digolongkan dalam inses. Namun, kurang kesadaran di antara mereka
bahwa perkawinan dengan saudara yang terlalu dekat meningkatkan kemungkinan lahir anak
dengan cacat bawaan.
Mohammed mengatakan, Ibrahim dan istrinya mengurung kedua anak itu untuk mengindari rasa
malu terhadap lingkungan sekitarnya. Banyak orang Arab memberi stigma negatif pada
penyandang cacat dan menolak menikah dengan saudara mereka karena takut mendapatkan
keturunan cacat pula.
Menurut Mohammed, keluarga itu juga tidak ingin anak-anak mereka menjadi sasaran cemooh
dan ejekan yang lazim di desa itu. Ini terlihat ketika wartawan Associated Press minta
ditunjukkan arah rumah keluarga itu, warga desa menggambarkan mereka sebagai domba.
Jika mereka keluar rumah, orang-orang pasti menertawakan, kata pria berusia 67 tahun itu.
Mohammed juga mengatakan, keluarga itu tidak bisa mendapatkan perawatan jangka panjang
untuk kedua bersaudara yang malang itu. Sedangkan Saify berharap Pemerintah Israel bisa
menyediakan perawatan itu.
Imad Abumohr, aktivis pembela penyandang cacat Palestina, mengatakan, tidak mungkin mereka
mendapatkan perawatan profesional dalam jangka panjang di wilayah Palestina karena fasilitas
untuk itu nyaris tidak ada. Ini menyedihkan, memalukan, sekaligus mengerikan, katanya.
Menurutnya, kasus keluarga Musalmeh sangat dramatis, tapi bukan tidak pernah terjadi
sebelumnya. Kata Abumohr, tahun lalu, organisasinya dipanggil untuk menyelamatkan seorang
remaja cacat mental berusia 17 tahun yang dicampakkan ke tempat sampah. Remaja malang itu
mengalami luka lecet di perut, leher, tangan, dan kaki yang tampaknya akibat diikat. Saya yakin
banyak kasus orang-orang yang disembunyikan di kawasan pedesaan, katanya.

33. Penyiksaan terhadap Sylvia Likens

Gambar 8.3 korban dan Pembunuh korban

Sylvia Likens (3 Januari 1949 - 26 Oktober 1965) adalah seorang gadis warga Amerika bagian
Indiana yang menjadi korban penyiksaan sampai mati oleh Ibu Gertrude Baniszewski dan 7
anaknya ( 1.Paula Baniszewski 2.Stephanie Baniszewski 3.John Baniszewski Jr 4.Marie
Baniszewski 5.Shirley Baniszewski 6.James Baniszewski 7.Dennis Lee Wright Jr.) tidak hanya
keluarga tersebut, anak-anak muda di lingkungan keluarga Gertrude (Ricky Hobbs ,Coy Hubbard
dll) juga ikut serta dalam penyiksaan terhadap gadis malang ini.
Orang tua Sylvia adalah pekerja sirkus karnaval sehingga sibuk untuk touring di beberapa kota.
akhirnya mereka memutuskan untuk menitipkan Sylvia dan adiknya Jenny di keluarga Gertrude
Baniszewski yang kebetulan Gertrude adalah seorang janda yang sedang mencari uang
tambahan, dan mereka setuju untuk membayar 20$ per minggu.
Penyiksaan ini dimulai ketika orang tua mereka terlambat mengirimkan cek senilai 20$, dan ibu
Gertrude pun kesal yang ahirnya mereka berdua dihukum dengan cara memecut punggung
mereka, padahal ke esokan harinya cek itu sudah tiba di tangan ibu Gertrude.
Pada hari-hari berikutnya Sylvia dituduh oleh Paula karena telah mencemarkan nama dia sebagai
pelacur di sekolah mereka sehingga membuat ibu gertrude terpancing emosi untuk memukulnya
dengan cara membiarkan Paula memukulnya di depan anak-anak Gertrude.
Sebelum Sylvia di bawa ke basement (ruang bawah tanah) tiba-tiba ibu asuh ini sangat emosi
melihat Sylvia pulang bersama teman lelakinya . lalu ibu Gertrude menyuruhnya memasukan
botol soda ke anusnya dan menyuruh John dan Coy untuk membawanya ke basement hingga
ahirnya Sylvia pun pingsan karena dilempar dari lantai atas.
Selama di basement (Agustus-Oktober 1965), gadis malang ini melalui cobaan-cobaan yg sangat
tragis dan kejam. anak-anak Gertrude selalu membawa teman-temanya ke basement dan juga
menjadi ajang perkumpulan untuk menyiksa Sylvia dengan cara di sundut , di pukul pakai
tongkat sapu, di tonjok, di tendang (macem-macem kekerasan deh) alhasil dia menerima
sundutan rokok dan luka bakar yg jumlahnya lebih dari 100 selain itu ada lapisan kulit yg banyak
terkelupas. tapi cedera yang sangat luar biasa adalah ditemukannya kata-kata dalam huruf balok
yang telah dibakar (jarum panas) secara langsung ke perutnya "I'M A PROSTITUTE AND
PROUD OF IT!" yang dilakukan oleh ibu Gertrude dan diteruskan oleh Ricky Hobbs.
Ketika Stephanie Hobbs Baniszewski menyadari bahwa Sylvia tidak bernapas, Stephanie
berusaha untuk memberikan Sylvia resusitasi (pernafasan dari mulut ke mulut), sebelum
menyadari ternyata semua itu sia-sia.
34. Kerusuhan di Flores

Gambar 8.4 Suasana kerusuhan di Flores

Kasus Tibo adalah sebuah kasus mengenai penyelesaian Kerusuhan Poso. Tibo sendiri
merupakan salah satu terdakwa dari tiga terdakwa dalam kasus ini. Tiga orang terdakwa dalam
kasus ini adalah Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Mereka ditangkap pada
Juli dan Agustus 2000. Dan dijatuhi vonis mati pada April 2001 di Pengadilan Negeri Palu, dan
ditegaskan kembali dengan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 17 Mei 2001. Pengadilan
memutuskan bahwa mereka bersalah atas tuduhan pembunuhan, penganiayaan, dan perusakan di
tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko Baru.

Kasus vonis mati mereka menimbulkan banyak kontroversi sehingga menyebabkan rencana
vonis mati mereka tertunda beberapa kali. Ketiganya dieksekusi mati pada dinihari 22
September 2006 di Palu.

Terdakwa :

Fabianus Tibo

Fabianus Tibo lahir di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur pada 5 Mei 1945. Tibo yang
berpendidikan kelas 2 Sekolah Rakyat sehari-harinya bekerja sebagai petani.

Ketika berumur 17 tahun, Tibo merantau ke Sulawesi Tengah dan berusaha membangun
kehidupan dan rumah tangga di desa Beteleme. Menikah dengan wanita setempat, dan dikaruniai
3 orang anak. Di samping menunjang kehidupan keluarganya sebagai seorang petani sederhana,
Tibo juga bekerja sampingan sebagai pengrajin topi dan rotan. Semuanya itu dilakukannya
dengan tangan yang memiliki jari-jari yang tidak lengkap. Ia tidak memiliki ibu jari (jempol)
tangan kanannya, padahal segala sesuatu dikerjakan dengan tangan kanan sebagai tumpuan
utama.

Dominggus da Silva

Dominggus da Silva lahir di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur tanggal 17 Agustus 1967.
Setamat STM ia merantau ke Sulawesi Tengah pada tahun 1987. Mendengar ada banyak
transmigran asal Flores di Beteleme, Dominggus berusaha mengadu nasib ke Dusun Jamur Jaya.
Sehari-hari Dominggus, yang sampai akhir hayatnya membujang, bekerja sebagai sopir angkutan
umum jurusan Beteleme Jamur Jaya.

Marinus Riwu

Marinus Riwu lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 27 Juli 1957. Tahun 1987
lelaki yang hanya bersekolah sampai kelas 2 Sekolah Dasar itu bersama istri dan anak-anaknya
transmigrasi ke Sulawei Tengah, persisnya ke Dusun Molores Kecamatan Lembo yang berjarak
sekitar 250 Km dari Kota Poso. Untuk menghidupi keluarganya Marinus sehari-hari bekerja
sebagai petani.

Desa Jamur Jaya, Kecamatan Lembo, Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah tempat tinggal
Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Don Marinus Riwu berjarak sekitar 250 Km dari kota
Poso. Sebelum kerusuhan Poso I (1998), Poso II (1999) dan Poso III (2000), Dusun Jamur Jaya
dalam suasana aman. Masyarakat yang sebagian besar petani hidup dalam ketenteraman tanpa
terusik sedikitpun dengan berbagai bentuk friksi sosial dan politik. Mereka hidup berdampingan
dalam semangat kebersamaan dan toleransi. Ketenteraman penduduk Jamur Jaya baru mulai
terusik ketika pada tanggal 15 Mei 2000 datang seorang tamu tak diundang yang mengaku
berasal dari Poso bernama Yanis Simangunsong memprovokasi dengan mengabarkan berita
bahwa Gereja Santa Theresia Poso dan Komplek Sekolah/Asrama akan dibakar serta anak-anak
penghuni Asrama (85 orang berasal dari Desa Beteleme), pastor, para suster, dan para guru akan
dibunuh. Informasi tersebut menggerakkan hati Tibo untuk menyelamatkan anak-anak sekolah di
asrama tersebut (anak-anak yang berasal dari Beteleme, kampung Tibo) dan juga para suster,
pastor dan guru yang tinggal di asrama St. Theresia Poso.

Petani ini ditangkap Satuan Tugas TNI Cinta Damai di Desa Jamur Jaya, Beteleme, Kabupaten
Morowali, pada akhir Juli 2000. Lima hari kemudian Dominggus da Silva (42 tahun) dan
Marinus Riwu (48 tahun) menyerahkan diri di Polsek Bateleme.
35. Kerusuhan Koja
Gambar 8.5 Suasana kerusuhan Koja

Kerusuhan Koja terjadi pada 14 April 2010 yang dipicu oleh rencana eksekusi tanah kawasan
makam Mbah Priok yang ada di dalam area Terminal Peti Kemas Tanjung Priok oleh Pemerintah
Daerah DKI Jakarta. Tindakan ini ditentang oleh warga yang kemudian berubah menjadi
bentrokan antara warga dengan Satpol PP.

Kejadian ini dilatarbelakangi oleh sengketa antara ahli waris Mbah Priok dengan Pelabuhan
Indonesia II, pihak ahli waris mengklaim kepemilikan tanah dengan mendasarkan pada
Eigendom Verponding no 4341 dan No 1780 di lahan seluas 5,4 Ha. Namun PN Jakarta Utara
pada tanggal 5 Juni 2002 telah memutuskan tanah tersebut secara sah adalah milik PT Pelindo II.
Hal ini sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 145,2 hektar.

Pemerintah Daerah DKI Jakarta kemudian berencana mengeksekusi tanah sengketa, tetapi
ditentang oleh warga yang berakhir dengan pecahnya bentrokan antara aparat dengan warga.

Akibat bentrokan yang terjadi antara aparat dengan warga menewaskan 3 anggota Satpol PP dan
menyebabkan, menurut sumber masing-masing, dari 130 sampai 231orang mengalami luka-luka.
Korban luka-luka terdiri, menurut sumber masing-masing, dari 66 sampai 112 orang Satpol PP,
dari 10 sampai 26 anggota POLRI dan masyarakat umum dari 54sampai 90 orang. Korban
masing-masing akan diberikan santunan

Selain itu akibat bentrokan menyebabkan seorang fotografer mengalami luka, serta dua orang
jurnalis turut menjadi korban bentrokan. Akibat bentrokan ini juga menyebabkan terputusnya
arus lalu lintas dari pelabuhan Tanjung Priok menuju Cilincing dan arah sebaliknya.

Kerusuhan Koja juga mengakibatkan kerugian kepada pengusaha, akibat terhambatnya arus
barang dan jasa dari Terminal Peti Kemas Koja. Kerugian akibat bentrokan diperkirakan
mencapai ratusan milyar rupiah. Selain itu, kerusuhan ini berlanjut pada penjarahan barang-
barang pada salah satu kantor Terminal Peti Kemas Koja.

Pada 4 Juni 2010, Harianto Badjoeri diganti oleh Effendi Anas sebagai kepala Satpol PP DKI
Jakarta

36. Kerusuhan Situbondo


Pada tanggal 10 Oktober 1996, terjadi kerusuhan anti-Kristen dan anti-orang
keturunan Tionghoa di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Peristiwa itu mulai karena massa
tidak puas dengan hukuman penjara lima tahun untuk terdakwa Saleh, (yang beragama Islam)
yaitu tuntutan maksimal yang dapat dijatuhkan atas kasus penghinaan terhadap agama Islam.
Oleh karena ketidakpuasan itu serta kesalahpahamannya bahwa Saleh disembunyikan di dalam
gereja, massa mulai merusak dan membakar gereja-gereja di Kabupaten Situbondo. Pada
akhirnya, 24 gereja di lima kecamatan dibakar atau dirusak, serta beberapa
sekolah Kristen dan Katolik, satu panti asuhan Kristen, dan toko-toko yang milik orang
keturunan Tionghoa. Dalam kerusuhan itu telah tewas terpanggang api 5 orang keluarga pendeta
Ischak Christian di dalam komplek Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) yang terletak di Jl.
Basuki Rachmat Situbondo. Dipikir bahwa peristiwa itu direkayasa untuk
mendiskreditkan Nahdlatul Ulama dan pemimpinnya pada saat itu, Abdurrahman Wahid.

Kronologi peristiwa sebelum 10 Oktober 1996

12 September 1996

Sidang pengadilan Saleh, 28 tahun, yang dianggap menghina agama dan melanggar pasal 156 (a)
KUHP dimulai di PN Situbondo. Saleh dilaporkan oleh KH Achmad Zaini, pimpinan pondok
Nurul Hikam yang juga tetangga Saleh di Kecamatan Kapongan, Situbondo. Kepada KH Zaini,
Saleh menyatakan Allah itu mahluk biasa dan KH Asad Syamsul Arifin, pendiri pondok
pesantren Salafiyah Assyafiiyah, Situbondo, dan ulama NU yang amat dihormati, meninggalnya
tidak sempurna, atau dalam bahasa Madura disebut mate takacer.

3 Oktober 1996

Dalam sidang keempat kasus ini, Saleh membantah tuduhan menodai agama Islam. Saya datang
hanya untuk musyawarah dan saya ingin tahu tanggapan Kyai Zaini apakah pendapat saya betul
atau tidak, kata lulusan SMAN II Situbondo ini. Massa yang antara lain datang dari Besuki,
Panarukan, dan Asembagus yang mencapai 1000 orang itu marah.

Seusai sidang, teriakan Bunuh Saleh pun terdengar. Massa berusaha mengeroyok Saleh, tapi
diamankan puluhan petugas dengan memasukkannya dalam tahanan PN Situbondo. Massa yang
sudah kalap kemudian merusak pintu dan jendela tahanan. Sekitar 10 orang membongkar
genteng, menjebol plafon, dan berhasil menghajar Saleh dalam selnya. Tindakan ini bisa
dihentikan dengan bantuan Ny.Aisyah, putri Kyai Asad. Tapi, massa yang ada di luar tahanan,
tak mau beranjak. Mereka menuntut Saleh dihukum mati dan merekalah yang akan
mengeksekusinya. Teriakan Kapolres Situbondo Letkol Endro Agung sudah tak didengar. Baru
setelah Ny.Aisyah berteriak-teriak lewat megaphone mengajak pulang dalam bahasa Madura,
massa pun bubar. Saleh diantar ke rutan dalam satu mobil bersama Ny.Aisyah.

10 Oktober 1996
Sidang Saleh yang dijaga oleh 100 orang aparat dari Kodim sudah sampai pada tuntutan jaksa.
Ribuan pengunjung dari luar kota hadir. Mayoritas adalah Madura pendatang. Selama sidang,
massa tetap tenang. Jaksa menuntut Saleh hukuman 5 tahun penjara sesuai pasal 156 A KUHP
tentang penodaan agama.

Tindakan brutal baru terjadi seusai sidang. Sebagian massa yang tak puas dengan tuntutan jaksa
dan ingin Saleh dihukum mati, mulai melempari gedung pengadilan dengan batu. Suasana jadi
kacau. Seorang petugas Kodim terkena lemparan batu. Teriakan peringatan Komandan Kodim
Letkol Imam Prawoto tidak digubris. Batu-batu terus berjatuhan setelah ada aparat yang
membalas aksi massa ini. Karena terdesak, aparat masuk ke dalam gedung. Massa yang sudah
kalap terus merangsek. Aparat dan para hakim, termasuk Erman Tanri, ketua PN Situbondo yang
keningnya luka kena lemparan batu, melarikan diri lewat sungai di belakang gedung PN. Saleh
pun diselamatkan ke arah belakang.

Entah siapa yang menyulut, ada massa yang berteriak bahwa Saleh dilarikan ke Gereja Bukit
Sion yang terletak sekitar 200 meter sebelah barat gedung PN. Isu bahwa hakim yang mengadili
ada yang Kristen pun merebak. Padahal 3 hakim dan jaksa yang mengadili Saleh semua beragam
Islam. Massa yang marah kemudian membakar 3 mobil di depan gedung PN milik kejaksaan dan
anggota Polres serta sebuah sepeda motor. Pesawat televisi pun dibakar. Akhirnya, gedung PN
pun membara. Massa pun bergerak ke Gereja Bukit Sion. Berbekal bensin dari pom bensin di
depan gereja dan dari kendaraan-kendaraan bermotor yang dihentikan, mereka membakar gereja
setelah lebih dulu menguras isinya.

Ribuan massa yang puas dengan aksinya ini pun lalu mencari sasaran lainnya. Gereja GPIB
(Gereja Protestan Indonesia Barat) yang terletak di sebelah Polres semula akan jadi sasaran
berikutnya, tapi pembakaran gagal karena dicegah oleh petugas anti huru-hara. Hanya pagar dan
papan nama gereja saja yang sempat dirusak.

Karena diblokir, massa lalu bergerak ke Jalan WR Supratman. Mereka membakar bangunan SD
dan SMP Katholik dan Gereja Maria Bintang Samudra. Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan
gedung TK/SD/SMP Kristen Imanuel jadi sasaran berikutnya.

Massa bergerak lagi ke arah timur. Gereja Pantekosta dan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di
Jalan A.Yani jadi sasaran berikutnya. Tak hanya gereja dan bangunan sekolah Kristen saja yang
diincar, rumah makan Malang dan pertokoan Tanjungsari pun tak luput dari perusakan.

Malapetaka terjadi pada sasaran berikutnya, yaitu rumah pendeta dan Gereja Pantekosta Pusat
Surabaya (GPPS) Bahtera Kasih. Di dalam rumah itu tinggal pendeta Ishak Kristian, 71 tahun,
isterinya Ribka Lena, 68 tahun, dan anaknya Elisabeth Kristian, 23 tahun. Juga keponakannya
Nova Samuel dan Rita Karyawati yang sedang magang pendeta di sana. Mereka tak berani
keluar dan akhirnya terbakar di dalam rumah.
Setelah membakar gereja, sebagian massa naik 3 truk ke arah timur. Diduga menuju Asembagus.
Lainnya menyebar ke Jalan Argopuro dan membakar salah satu rumah pendeta yang juga
dijadikan gereja. Massa masih bergerak menuju pertokoan Mimbaan Baru di depan terminal
Situbondo. Selain rumah bilyar, mereka juga merusak gedung bioskop.

Ketika merusak pertokoan inilah, satu kompi senapan Yonif 514 datang. Petugas yang langsung
memukuli dan mengangkut orang yang dianggap sebagai biang kerusuhan membuat massa lari
tunggang langgang. Sebagian lari ke Gang Karisma dan masih sempat-sempatnya membakar
rumah anak yatim di bawah asuhan Yayasan Buah Hati. Sebagian massa lainnya lari ke Jalan
Jakas Agung Suprapto dan di sana membakar TK Santa Theresia dan sebuah susteran. Tragedi
Situbondo ini baru benar-benar berhenti pada pukul 15.00.

Namun, aksi massa menjalar ke daerah sekitarnya. Di Asembagus dan Besuki, yang jaraknya
lebih dari 30 kilometer ke arah timur Situbondo, mereka membakar 3 gereja, sedang di
Kecamatan Banyuputih ada 6 gereja dan sebuah rumah pendeta yang dibumi hanguskan. Massa
juga bergerak ke arah barat. Sejak pukul 15.00 sampai magrib, massa beraksi di Panarukan -6
kilometer dari Situbondo- dan membakar 2 gereja. Dari sana, mereka bergerak ke Besuki yang
jaraknya hampir 30 kilometer dari Situbondo dan membakar 2 gereja, sebuah klenteng, serta
merusak sebuah toko di alun-alun. Aksi bakar hangus ini baru benar-benar reda pada pukul
23.00.

Aparat keamanan dari lokasi seputar kerusuhan baru berdatangan ke Situbondo menjelang
magrib. Malam itu juga 120 orang ditangkap dan diseleksi menjadi 46 orang. Dari jumlah sekian,
11 diantaranya pelajar dari STM, SMA, dan SMEA Ibrahimi yang ketua yayasannya dipegang
oleh KH Fawaid, salah satu putra KH Asad. Selain pelajar, juga ditahan sejumlah santri dari
pondok Wali Songo, Mimbaan dan anjal alias anak jalanan, sebuah perkumpulan bekas
preman yang dibina oleh KH Cholil, juga salah satu putra KH Asad.

Malam itu diadakan pertemuan antara Kasdam Brawijaya Brigjen Muchdi, kapolwil Besuki,
Danrem Malang, Muspida Situbondo, dan para ulama. Kasdam meminta ulama untuk
menenangkan suasana. Pertemuan serupa diadakan oleh Pangdam Imam Oetomo esok harinya.
37. Kerusuhan mei 1998

Gambar 9.2 Suasana kerusuhan mei 1998

Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998,
khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali
oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswaUniversitas
Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.

Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massaterutama milik
warga Indonesia keturunan Tionghoa[1]. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi
di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa
dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut[2][3]. Sebagian bahkan diperkosa
beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak
warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang
aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita
Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa,
dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam
Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.

Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka
toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi". Sebagian masyarakat
mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal9
November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan
berpuncak pada pembunuhan massal yangsistematis atas mereka di hampir seluruh
benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.

Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun


terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah
mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan
atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, namun pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.

Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari
ini. Namun demikian umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa
ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama
pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap orang
Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa
yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan
tertentu hingga menyebar ke masyarakat.

38. Kerusuhan Tarakan

Gambar 9.3 Suasana kerusuhan Tarakan


Kerusuhan Tarakan adalah sebuah insiden keamanan yang melibatkan dua kelompok warga
di Kota Tarakan yang dimulai pada tanggal 26 September 2010.

Pada tanggal 26 September 2010, terjadi perselisihan antara dua kelompok pemuda di kawasan
Perumahan Juata Permai[1] yang mengakibatkan seorang pemuda bernama Abdul Rahmansyah
terluka di telapak tangan. Abdul pulang ke rumah untuk meminta pertolongan dan diantar pihak
keluarga ke RSU Tarakan untuk berobat.

Pada 27 September sekitar pukul 00.30 Wita, Abdullah (56), orangtua Abdul Rahmansyah,
beserta enam orang yang merupakan keluarga dari suku Tidung berusaha mencari para pelaku
pengeroyokan dengan membawa senjata tajam berupa mandau, parang, dan tombak. Mereka
mendatangi sebuah rumah yang diduga sebagai rumah tinggal salah seorang dari pengroyok di
Perum Korpri.

Penghuni rumah yang mengetahui rumahnya akan diserang segera mempersenjatai diri dengan
senjata tajam berupa badik dan parang. Setelah itu, terjadilah perkelahian antara kelompok
Abdullah dan penghuni rumah tersebut yang adalah warga suku Bugis Letta. Abdullah meninggal
dengan kondisi kedua tangannya terpotong akibat ditebas senjata tajam.[2][3][4][5]

Pukul 01.00 Wita, sekitar 50 orang dari kelompok suku Tidung menyerang Perum Korpri. Para
penyerang membawa mandau, parang, dan tombak. Mereka merusak rumah Noordin, warga suku
Bugis Letta.

Pukul 05.30 Wita terjadi pula aksi pembakaran rumah milik Sarifudin, warga suku Bugis Letta,
yang juga tinggal di Perum Korpri. Pukul 06.00 Wita, sekitar 50 orang dari suku Tidung mencari
Asnah, warga suku Bugis Letta. Namun, ia diamankan anggota Brimob. Pukul 10.00 Wita, massa
kembali mendatangi rumah tinggal Noodin, warga suku Bugis Letta dan langsung membakarnya.
Pukul 11.00 Wita, massa kembali melakukan perusakan terhadap empat sepeda motor yang
berada di rumah Noodin. Pukul 14.30 Wita, Abdullah, korban tewas dalam pertikaian dini hari,
dimakamkan di Gunung Daeng, Kelurahan Sebengkok, Tarakan Tengah, Tarakan. Pukul 18.00
Wita, terjadi pengeroyokan terhadap Samsul Tani, warga suku Bugis, warga Memburungan,
Kecamatan Tarakan Timur, Kota Tarakan, oleh orang tidak dikenal. Pukul 18.00 Wita, personel
gabungan dari Polres Tarakan (Sat Intelkam, Sat Reskrim, dan Sat Samapta) diperbantukan untuk
mengamankan tempat kejadian perkara.

Pukul 20.30 Wita hingga 22.30 Wita, berlangsung pertemuan yang dihadiri unsur pemda
setempat, seperti Wali Kota Tarakan, Sekda Kota Tarakan, Dandim Tarakan, Dirintelkam Polda
Kaltim, Dansat Brimob Polda Kaltim, Wadir Reskrim Polda Kaltim, serta perwakilan dari suku
Bugis dan suku Tidung. Pertemuan berlangsung di Kantor Camat Tarakan Utara.

Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa masalah yang terjadi adalah masalah individu. Para
pihak bertikai sepakat menyerahkan kasus tersebut pada proses hukum yang berlaku. Polisi
segera bergerak mencari pelaku. Semua tokoh dari elemen-elemen masyarakat memberikan
pemahaman kepada warganya agar dapat menahan diri.

28 September

Pada tanggal 28 September pukul 11.30 Wita, polisi menangkap dua orang yang diduga kuat
sebagai pelaku dalam pembunuhan Abdullah. Mereka adalah Baharudin alias Bahar (20) dan
Badarudin alias Ada (16).

Namun, pada Selasa pukul 20.21 Wita, terjadi lagi bentrokan yang melibatkan sekitar 300 warga
dan aksi pembakaran terhadap rumah milik Sani, salah seorang tokoh suku Bugis Latte Pinrang.
Dua orang tewas adalah Pugut (37) dan Mursidul Armin (15), sementara empat orang lainnya
terluka sehingga korban tewas akibat Bentrok Tarakan sebanyak 3 orang.[6]

Mabes Polri telah mengirimkan 172 personel brimob dari Kelapa Dua untuk mendukung pasukan
Polres Tarakan. Pasukan diberangkatkan pukul 04.00 WIB dari Bandara Soekarno-Hatta dan tiba
di Tarakan pukul 07.30 Wita.

29 September

Kota Tarakan. Bentrokan kembali terjadi di antara warga yang bertikai. Perkelahian yang
mulanya terjadi di pinggir kota kini meluas ke dalam kota.

Awalnya, bentrokan hanya berlangsung di pinggiran kota, mulai di kawasan Juwata hingga ke
Jalan Gajah Mada dan Yos Sudarso. Namun, pagi ini (Rabu) bentrokan sudah meluas ke pusat
kota hingga ke Selumit Dalam. Bentrokan kali ini merenggut 2 korban jiwa. Bentrokan yang
terjadi di kawasan Jl Yos Sudarso itu berlangsung sekitar pukul 08.00 pagi. Dua korban terakhir
diketahui bernama Iwan (31) dan Unding (30). Kedua korban dibawa mobil polisi untuk
kemudian diangkut ke RSUD Tarakan.[7]

Sejak Selasa hingga Rabu salah satu kelompok yang bertikai telah memblokir akses dari bandara
dan Pelabuhan Juwata. Situasi Kota Tarakan masih sangat mencekam. Kedua kubu masih saling
serang secara seporadis dengan menggunakan beberapa jenis senjata tajam. Sementara personel
Polri dibantu TNI masih terus berupaya mengendalikan kedua massa agar menghentikan
bentrokan tersebut.

Akibat

Akibat bentrokan ini, suasana kota Tarakan mencekam. Warga di penjuru Tarakan yang dilanda
ketakutan berbondong-bondong menuju tempat pengungsian. Titik-titik pengungsian ada di
Yonif 613 Raja Alam, Juata Permai, Bandara Juwata dan Lanud, Kompi C Yonif 613 Raja Alam,
di Mamburungan, Mapolres Tarakan yang menampung lebih dari 1.000 orang, Lanal Tarakan Jl
Yos Sudarso dan SD 029 Juata Permai dan beberapa tempat lainnya. Dari catatan Polda Kaltim,
jumlah pengungsi mencapai 40.170 jiwa. Mereka memenuhi sejumlah fasilitas militer dan polri,
guna menyelamatkan diri dari amukan massa. Bahkan ribuan warga Tarakan diungsikan keluar
pulau seperti di Pulau Nunukan.

Upaya perdamaian

Pada malam harinya, diadakan mediasi mengenai kesepakatan damai antara pihak Suku Tidung
dengan pihak pendatang Suku Bugis di ruang VIP Bandara Juata dan yang menjadi mediator
adalah Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Dalam keterangan kepada pers mempersilakan
kedua pihak untuk menyampaikan hasil kesepakatan.

Hasil kesepakatan itu dibacakan secara bergantian oleh dua kelompok dari Tidung dan Sulawesi
Selatan. Berikut ini adalah 10 butir kesepakatan damai antara kedua belah pihak:[11][12]

1. Masyarakat diminta mengakhiri konflik

2. Masyarakat diminta memahami bahwa peristiwa di Tarakan adalah kriminal murni

3. Polisi diminta membubarkan massa yang bergerombol

4. Polisi diminta tegas dan melarang warga membawa senjata tajam

5. Masyarakat diminta menghormati adat-istiadat setempat

6. Para warga yang sempat mengungsi diminta kembali untuk beraktivitas normal

7. Polisi diminta memproses secara hukum para pelaku yang diduga terlibat

8. Masyarakat diminta tidak mudah terprovokasi

9. Kedua kelompok masyarakat akan menggelar halal bihalal yang difasilitasi pemerintah
daerah

10. Kesepakatan ini agar segera disosialisasi kepada seluruh warga.Intinya adalah bahwa kedua
belah pihak sepakat untuk menghentikan aksi dan sepakat untuk berdamai

Hasil kesepakatan ini juga akan disosialisasikan ke kedua kelompok dan pihak Muspida yang
hadir dalam pertemuan itu. Selain itu, kesepakatan ini juga meminta kepada pihak massa untuk
meletakkan senjata. Jika tidak, akan dilakukan tindakan hukum dalam 24 jam ke depan dan
massa juga diminta untuk membubarkan diri.

Sementara pihak Muspida Kaltim gubernur, Panglima, Ketua DPRD Kaltim, Wali Kota
berkunjung ke pengungsian, salah satunya di Polres Tarakan.

Tarakan rusuh bukan dipicu oleh bentrokan etnis ataupun konflik SARA. Faktor
pemicu peristiwa kerusuhan di Tarakan murni karena persoalan individu namun terlalu dibesar-
besarkan sehingga merembet kepada kerusuhan antar etnis.
39. Peristiwa Talangsari 1989
Gambar 9.4 terungkapnya dalang dari peristiwa Talangsari

Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan aparat
keamanan di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabutapen
Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa ini terjadi pada 7
Februari 1989.

Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari,
Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena tergolong
senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada
awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.

Nurhidayat, dalam catatan, pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara
Islam Indonesia) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal dan
membentuk kelompok sendiri di Jakarta. Di Jakarta inilah, Nurhidayat, Sudarsono dan kawan-
kawan merencanakan sebuah gerakan yang kemudian terkenal dengan peristiwa
Talangsari,Lampung .

Gerakan di Talangsari itu, tercium oleh aparat keamanan. Oleh karenanya pada 6 Februari 1989
pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin
oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi
dan pengikutnya. Namun kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan
perlawanan golok. Kapten Soetiman pun tewas dan dikuburkan di Talangsari.

Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung
Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan tegas terhadap kelompok Warsidi. Sehingga
pada 7 Februari 1989, terjadilah penyerbuan Talangsari oleh aparat setempat yang mendapat
bantuan dari penduduk kampung di lingkungan Talangsari yang selama ini memendam antipati
kepada komunitas Warsidi. Akibatnya korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak, 27 orang
tewas di pihak kelompok Warsidi, termasuk Warsidi sendiri. Sekitar 173 ditangkap, namun yang
sampai ke pengadilan 23 orang.

40. Peristiwa Woyla


Gambar 9.5 insiden Woyla

Tragedi Woyla

Garuda Indonesia Penerbangan 206 atau juga dikenal dengan sebutan Peristiwa Woyla adalah
sebuah penerbangan maskapai Garuda Indonesia dari pelabuhan udara sipil Talangbetutu,
Palembang ke Bandara Polonia, Medan yang mengalami insiden pembajakan pesawat pada 28
Maret 1981 oleh lima orang teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein, dan
mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok Islam ekstremis "Komando Jihad". Penerbangan
dengan pesawat DC-9 Woyla tersebut berangkat dari Jakarta pada pukul 08.00 pagi, transit di
Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam
penerbangan, pesawat tersebut tiba-tiba dibajak oleh lima orang teroris Komando Jihad yang
menyamar sebagai penumpang.

Pembajakan

28 Maret 1981. Pesawat Garuda DC-9 Woyla bernomor penerbangan 206 tujuan Jakarta-
Medan dengan Captain Pilot Herman Rante dan Co-Pilot Hendy Juwantoro lepas landas dari
Bandara Internasional Kemayoran, Jakarta menuju Bandara Polonia, Medan. Saat itu belum ada
penerbangan langsung Jakarta-Medan, sehingga pesawat harus transit (stop over) di Palembang.
Setelah pesawat take off dari Bandara Talang Betutu Palembang dan sedang berada di atas Pekan
Baru, mendadak 5 orang menyerbu kokpit, menyandera pilot dan seluruh awak pesawat.
Pembajak seluruhnya orang Indonesia bersenjatakan granat, senjata api, dan dinamit memberikan
tuntutan kepada pemerintah Indonesia. Berita pertama pembajakan tersebut mulai diketahui pada
pukul 10.18, saat Kapten Pilot A. Sapari dengan pesawat F28 Garuda yang baru tinggal landas
dari Bandara Simpang Tiga, Pekan Baru mendengar panggilan radio dari Garuda Indonesia 206
(Woyla) yang berbunyi ..being hijacked, being hijacked. Berita tersebut langsung diteruskan ke
Jakarta.
Pembajak memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat ke luar negeri, pokoknya sejauh mungkin
meninggalkan Indonesia. Permintaan ini jelas tidak bisa dipenuhi pilot, karena sebagai pesawat
penerbangan domestik, jumlah bahan bakar yang dibawa terbatas. Pada awalnya pembajak
meminta pesawat diterbangkan ke Kolombo, Sri Lanka. Tetapi akhirnya pesawat dibawa ke
Pulau Penang, Malaysia untuk mengisi bahan bakar dan selanjutnya dibawa menuju Thailand.
Kepada otoritas penerbangan Thailand, pembajak meminta supaya mereka boleh mendarat di
Pangkalan Udara U Tapao. Tetapi karena minimnya fasilitas disana, kemudian mereka diijinkan
mendarat di Bandara Don Muang, Bangkok dan ditempatkan pada jarak sekitar 2,5 km dari
landasan utama.

Para teroris juga menuntut kepada pemerintah untuk membebaskan sejumlah tahanan dari
Peristiwa Cicendo 11 Maret 1981, Teror Warman serta Kasus Komando Jihad serta meminta
tuntutan tambahan berupa uang sebesar 1,5 juta dollar AS. Mereka juga meminta pesawat untuk
pembebasan tahanan, untuk diterbangkan ke suatu tempat yang dirahasiakan. Para teroris yang
seluruhnya bersenjata api itu juga mengancam jika tuntutan itu tidak dipenuhi akan meledakkan
Woyla dan seluruh penumpangnya. Mereka telah menanam bom di pesawat.
Menghadapi keinginan tersebut, TNI dan Pemerintah tidak menyerah. Berita ini kemudian
diterima oleh Wakil Panglima ABRI/ Panglima Komkamtib, Laksamana Sudomo. Saat itu
kekuatan pasukan ABRI sedang tidak terpusat di Jakarta karena sedang diadakan Latihan
Gabungan (latgab) di Ambon. Berita mengenai pembajakan ini oleh Sudomo diteruskan ke
Ambon dan diterima langsung oleh Assisten I Intelejen Hankam, Letnan Jendral Leonardus
Benjamin Moerdani, yang lebih dikenal dengan nama Benny Moerdani. Informasi ini oleh Benny
Moerdani disampaikan langsung kepada Panglima ABRI, Jendral Andi Muhammad Yusuf, yang
lebih dikenal dengan nama M.Yusuf. Jendral M.Yusuf kemudian mempercayakan kepada Benny
untuk menyelesaikan masalah ini bersama Kepala BAKIN, Jendral Yoga Soegama. Mereka
kemudian diperintahakan untuk kembali ke Jakarta dan menghadap Presiden Soeharto untuk
membicarakan tidakan selanjutnya. Yoga mendapat tugas untuk segera terbang ke Thailand,
menjemput sandera sambil bernegosiasi dengan para pembajak, dengan tujuan mengulur-ulur
waktu. Sementara Benny bertugas menyiapkan pasukan dan menyusun rencana operasi
penumpasan pembajak.

Melalui berbagai upaya diplomasi dengan pembajak juga Pemerintah Thailand, Kabakin dan
Letjen L. Benny Moerdani berhasil mengulur waktu dan mendapat ijin dari Pemerintah Thailand.

Penyergapan dan Pembebasan

Pada tanggal 31 Maret, 30 Prajurit Kopassandha TNI AD (Korp pasukan sandhi Yudha) yang
kini bernama Kopassus di bawah Komandan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan
mendekati Woyla secara diam-diam. Namun beberapa saat sebelumnya Pemimpin CIA di
Thailand menawarkan pinjaman jaket Anti-Peluru, namun ditolak karena pasukan Kopassandha
Indonesia telah membawa perlengkapan mereka sendiri dari Jakarta.
Pukul 02.30 semua tim akan masuk ketika kode diberikan. Pada pukul 02.43, Tim Thailand ikut
bergerak ke landasan, menunggu di landasan agar tidak ada teroris yang lolos. Ketika
penyerbuan pada Selasa dini hari pukul 02.45 WIB seluruh pintu pesawat Woyla didobrak 30
prajurit Kopassandha, ternyata tak semuanya sesuai dengan skenario yang direncanakan. Saat
menyerbu kokpit, pembajak menembak pilot Herman Rante hingga terluka parah pada bagian
kepala. Ketika pasukan menyerbu pintu belakang, terdapat waktu sela supaya pintu dapat terbuka
sepenuhnya, karena mekanismenya buka-tutup pintu dilakukan secara elektris. Setelah pintu
terbuka, pasukan masuk. Karena sebelumnya terdapat waktu sela saat pintu membuka, pembajak
yang ada di dekat pintu sudah bersiap menembakkan senjatanya.

Seorang prajurit bernama Achmad Kirang yang menerobos masuk terkena tembakan
pembajak.Peluru menembus bagian badan Kirang yang saat itu tidak terlindung rompi anti
peluru (flack jacket). Achmad Kirang terluka, tetapi pasukan yang bersamanya langsung
menembakkan senjata yang merobohkan si pembajak. Pembajak juga sempat melemparkan
granat ke arah pasukan. Tetapi karena kurang terlatih, granat tidak meletus karena cara mencabut
pen yang tidak benar.

Seorang pembajak mencoba membaur dengan penumpang lain menuruni tangga pesawat. Tetapi
penumpang lain menunjuk-nunjuk ke arahnya dan memberitahu bahwa ia adalah salah seorang
pembajak. Melihat gelagat ini, pembajak tersebut berlari menjauh daari penumpang. Melihat
gelagat mencurigakan ini tanpa ampun pasukan menghajarnya dengan berondongansenapan
serbu M16. Ia terjatuh dan tewas seketika.

Saat pembersihan dilakuakan, Benny menyusup masuk ke dalam kokpit. Ia mengambil alih radio
di pesawat. Kepada Yoga yang masih sabar berjaga, terjadi percakapan antara Benny dan Yoga.
This is two zero six, could I speak to Yoga please?
Yes, Yoga is here
Pak Yoga, Benny ini..
Diancuk, neng ngendi kowe??? (Sialan, dimana kamu??)
Akhirnya semua sandera diselamatkan dan seluruh pembajak dapat diringkus.

41. Pelanggaran HAM oleh Mantan Gubernur Tim-tim


Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi
Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi
vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga
menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa
keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat
Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa
hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.

1. Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-
Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer)
disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun
sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama
dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan
vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.

2. Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu
dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti
bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila
terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan diskriminatif dengan keputusan terhadap
terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari
anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose
Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor
Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan selama jajak
pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas. Horta mengatakan, Bagi
saya bukan fair atau tidaknya keputusan tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang
akan membayar semua dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia

42. Serangan Bom Atom di Hirosima dan Nagasaki


Gambar 10.2 Keadaan Hirosima dan Nagasaki pasca di bom atom

Serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki adalah serangan nuklir selama Perang Dunia
II terhadap kekaisaran Jepang oleh Amerika Serikat atas perintah Presiden Amerika
Serikat Harry S. Truman. Setelah enam bulan pengeboman 67 kota di Jepang lainnya, senjata
nuklir "Little Boy" dijatuhkan di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945, diikuti dengan
pada tanggal 9 Agustus 1945, dijatuhkan bom nuklir "Fat Man" di atas Nagasaki. Kedua tanggal
tersebut adalah satu-satunya serangan nuklir yang pernah terjadi.

Bom atom ini membunuh sebanyak 140.000 orang di Hiroshima dan 80.000 di Nagasaki pada
akhir tahun 1945. Sejak itu, ribuan telah tewas akibat luka atau sakit yang berhubungan dengan
radiasi yang dikeluarkan oleh bom. Pada kedua kota, mayoritas yang tewas adalah penduduk.

Enam hari setelah dijatuhkannya bom atom di Nagasaki, pada 15 Agustus, Jepang
mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, menandatangani instrumen
menyerah pada tanggal 2 September, yang secara resmi mengakhiri Perang Pasifik dan Perang
Dunia II. (Jerman sudah menandatangani menyerah pada tanggal 7 Mei 1945, mengakhiri teater
Eropa.) Pengeboman ini membuat Jepang sesudah perang mengadopsi Three Non-Nuclear
Principles, melarang negara itu memiliki senjata nuklir.

Hiroshima dipilih sebagai target pertama serangan berdasarkan pertimbangan matang militer AS
kala itu.

Selama Perang Dunia kedua, Hiroshima jarang sekali diterjang oleh aksi pengeboman. Namun
status kota tersebut sebagai markas militer Jepang, menjadikannya sasaran empuk dari para
lawannya. Hiroshima juga dikenal sebagai kota pelabuhan yang besar di Jepang.

Alasan inilah yang membuat kota ini sebagai sasaran strategis bom atom buatan Amerika.

Sementara alasan Nagasaki sendiri sebenarnya bukan target utama dari AS. Kokura merupakan
target potensial yang dipilih bersama Kyoto dan Niigata. Nagasaki dipilih sebagai pengganti
Kyoto sebagai target potensial. Kyoto sendiri dipilih karena alasan religi yang mendukung pola
militer Jepang.
Sementara target potensial ketiga Niigata, dicoret dari daftar karena jaraknya terlalu jauh dari
Pangkalan Militer Filipina, tempat pesawat pengebom lepas landas menuju Jepang.

43. Bom Candi Borobudur 1985

Gambar 10.3 Kerusakan akibat Bom tahun 1985

Bom Candi Borobudur adalah peristiwa pemboman peninggalan bersejarah Candi


Borobudur dari zaman Dinasti Syailendra yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah pada hari Senin 21 Januari 1985. [1] Peristiwa terorisme ini adalah peristiwa terorisme
bermotif "jihad" kedua yang menimpa Indonesia setelah pembajakan pesawat Garuda DC
9 Woyla oleh anggota Komando Jihad pada tahun 1981. [3]

Beberapa ledakan yang cukup dahsyat menghancurkan sembilan stupa pada candi peninggalan
Dinasti Syailendra tersebut. Otak peristiwa pemboman ini disebut sebagai "Ibrahim"
alias Mohammad Jawad alias "Kresna" yang oleh kepolisian penyidik peristiwa pemboman ini
disebut sebagai dalang pengeboman. Walaupun begitu, sosok Mohamad Jawad, otak peristiwa
peledakan Candi Borobudur ini masih belum ditemukan dan belum berhasil diringkus
oleh kepolisian Indonesia hingga saat ini. [3]
Tanggal kejadian peristiwa ini sering dikutip secara salah kaprah oleh pengguna blog di dunia
maya sebagai tanggal 15 Januari dari sumber majalah TEMPO.

Setelah penyelidikan, polisi Indonesia menangkap dua bersaudara Abdulkadir bin Ali
Alhabsyi dan Husein bin Ali Alhabsyi yang dituding sebagai pelaku peledakan Candi Borobudur
ini.

Dalam persidangan kasus ini, jaksa menuduh bahwa tindakan pengeboman terhadap Candi
Borobudur merupakan aksi balas dendam Abdulkadir dan kawan-kawan terhadap
peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 yang menewaskan puluhan nyawa pemeluk agama Islam.
Abdulkadir membenarkan motivasi peledakan itu sebagai ungkapan ketidakpuasannya atas
peristiwa berdarah tersebut. Namun keterangan itu kemudian diragukan, karena sosok
Mohammad Jawad atau "Ibrahim" yang disebut Husein sebagai dalangnya kemudian tidak
pernah ditemukan oleh kepolisian.

Menurut pengakuannya, Abdulkadir mengaku dia tidak mengetahui rencana pengeboman


tersebut. Dia dan ketiga kawan lain pada awalnya hanya sekadar diajak oleh Mohammad Jawad
untuk "berkemah" ke Candi Borobudur sebelum kemudian dibujuk oleh Mohammad Jawad
untuk mengebom candi nusantara bersejarah tersebut. [2] [3]

Sebagai pelaku di lapangan, Abdulkadir bukanlah seorang profesional karena dia mengaku
bahwa dia tidak mengetahui seluk-beluk teknikal sebuah bom dan hanya mengiyakan bujukan
"Ibrahim" rekannya. Setelah menyetujui bujukan Ibrahim, mereka kemudian diberikan
sejumlah bom waktu rakitan yang telah dirakit secara rapi. Menurut pengakuannya, Ibrahim
adalah orang yang merakit bom-bom tersebut. Bahan bom terbuat dari trinitrotoluena (TNT) tipe
batangan PE 808 / tipe produksi Dahana. Tiap bom rakitan terdiri dari dua batang dinamit yang
dipilin dengan selotip. Abdulkadir dan pelaku yang lain kemudian hanya tinggal memasangnya
di dalam stupa dan memencet tombol berupa tombol arloji untuk mengaktifkan bom waktu
tersebut. [2]

Abdulkadir kemudian divonis oleh Pengadilan Negeri Malang dengan hukuman penjara 20 tahun
setelah terbukti sebagai pelaku peledakan itu. Kakak Abdulkadir, Husein bin Ali Alhabsyi
kemudian dihukum penjara seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas
I Lowokwaru, Malang. [2] Abdulkadir bin Ali Alhabsyi memperoleh remisi Presiden RI setelah
menjalani hukuman 10 tahun, dan Husein bin Ali Alhabsyi kemudian mendapat grasi
dari Presiden BJ Habibie pada 23 Maret 1999. Husein sampai sekarang menolak tuduhan atas
keterlibatannya dalam peledakan Borobudur dan menuding Mohammad Jawad sebagai dalang
peristiwa tersebut.
44. Penculikan anak di China
Gambar 10.4 Korban penculikan anak di China

Baru-baru ini polisi Cina telah menyelamatkan 92 anak dan 2 wanita yang telah diculik oleh 301
anggota geng di Beijing. Belakangan diketahui jika mereka akan dijual. Pada hari Sabtu (28/9)
lalu, media pemerintah Cina mengumumkan penangkapan terbesar tahun ini. Namun untuk
tepatnya polisi Cina melakukan penggerebekan dan penyelamatan tidak dapat diberikan oleh
pemerintah Cina dengan alasan keamanan.
Setelah melakukan penyelidikan selama 6 bulanan di seluruh wilayah hukum polisi Cina, dalam
waktu serempak polisi menyerbu 11 provinsi dan membekuk anggota geng yang menculik dan
menangkap anak-anak serta wanita. Penyerbuan polisi ini dilansir Central Television of China
dan kantor berita Xinhua.
Disinyalir, penculikan dan perdagangan anak serta perempuan ini adalah akibat dari kebijakan
satu anak satu keluarga yang ketat diberlakukan oleh pemerintah, serta preferensi tradisional
untuk anak laki-laki yang akhirnya meningkatkan kebutuhan perdagangan anak dan perempuan
beberapa tahun belakangan.
Para perempuan yang diculik, sedianya dijual ke pria di daerah terpencil yang tak dapat
menemukan pengantin karena ketidakseimbangan gender yang diakibatkan kebijakan satu anak.
Selain itu, kebijakan ini juga mendorong praktek ilegal, aborsi selektif gender untuk
menghasilkan anak laki-laki yang lebih dibutuhkan keluarga.
Kendati demikian, atas temuan ini pemerintah Cina akan memberlakukan hukuman berat pada
orang-orang yang membeli anak-anak korban penculikan, demikian mengutip media pemerintah
Cina.
Kantor berita Xinhua juga mengatakan jika pemerintah akan menghukum orangtua yang
menjual anak-anaknya.
Pemerintah Cina memang mengumandangkan keberhasilannya menumpas secara intensif
penculikan dan penjualan anak serta perempuan baru-baru ini. Pada tahun 2011, polisi Cina
mengatakan telah menyelamatkan lebih dari 13.000 anak serta 23.000 perempuan yang diculik
selama kurun waktu 2 tahun lebih.

45. Perang Salib


Gambar 10.5 Ilustrasi kejadian Perang Salib

Perang Salib adalah gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina
secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk merebut Tanah
Suci dari kekuasaan kaum Muslim dan mendirikan gereja dan kerajaan Latin
di Timur. Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam
peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka.

Penyebab langsung dari Perang Salib Pertama adalah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus
Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim ke
dalam wilayah kekaisaran tersebut.[11][12] Hal ini dilakukan karena sebelumnya pada tahun
1071, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang dipimpin oleh
Sulthan Alp Arselan di Pertempuran Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam
peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000 orang, terdiri dari
tentara Romawi,Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Dan kekalahan ini berujung
kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan
Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik Barat dengan gereja Ortodoks
Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun, respon
yang didapat amat besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi
kekuatan invasi yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan
tetapi untuk merebut kembaliYerusalem, setelah Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul
Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir. Umat
Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah sejak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.

Ketika Perang Salib Pertama didengungkan pada 27 November 1095, para


pangeran Kristen dari Iberia sedang bertempur untuk keluar dari
pegunungan Galicia dan Asturia, wilayah Basquedan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang
tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa Moor Toledo kepada Kerajaan Len pada tahun
1085 adalah kemenangan yang besar. Ketidakbersatuan penguasa-penguasa Muslim merupakan
faktor yang penting dan kaum Kristen yang meninggalkan para wanitanya di garis belakang amat
sulit untuk dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur. Mereka tidak memiliki
taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan. Para ksatria Kristen ini merasa bahwa
mereka bertempur di lingkungan asing yang dipenuhi oleh orang kafir sehingga mereka dapat
berbuat dan merusak sekehendak hatinya. Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan kembali
di lapangan pertempuran di Timur. Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista adalah
kekuatan besar dari karakter Castilia, dengan perasaan bahwa kebaikan yang tertinggi adalah
mati dalam pertempuran mempertahankan ke-Kristen-an suatu Negara.

46. Perang Soviet-Afganistan

Gambar 11.1 Korban perang Soviet-Afganistan

Perang Soviet-Afganistan merupakan masa sembilan tahun dimana Uni Soviet berusaha
mempertahankan pemerintahan Marxis-Lenindi Afganistan, yaitu Partai Demokrasi Rakyat
Afganistan, menghadapi mujahidin Afganistan yang ingin menggulingkan pemerintahan. Uni
Soviet mendukung pemerintahan Afganistan, sementara para mujahidin mendapat dukungan dari
banyak negara, antara lain Amerika Serikat dan Pakistan.

Pasukan Soviet pertama kali sampai di Afganistan pada tanggal 25 Desember 1979, dan
penarikan pasukan terakhir terjadi pada tanggal 2 Februari 1989. Uni Soviet lalu mengumumkan
bahwa semua pasukan mereka sudah ditarik dari Afganistan pada tanggal 15 Februari 1989.
Karena banyaknya biaya dan kesia-siaan konflik ini, Perang Soviet-Afganistan sering disamakan
sebagai Perang Vietnam-nya Uni Soviet.

Perang ini memiliki dampak yang sangat besar, dan merupakan salah satu faktor leburnya Uni
Soviet pada tahun 1991.

Daerah yang kini bernama Afganistan sebagian besar merupakan wilayah Muslim sejak
tahun 882 M. Negara dengan keadaan geografisnya berupa pegunungan dan gurun pasir
mencerminkan pada komposisi etnis, budaya dan bahasanya. Populasinya pun terbagi menjadi
beberapa kelompok etnis, Pashtun adalah etnis terbesar, bersama
dengan Tajik, Hazara, Aimak, Uzbek, Turkmen dan kelompok kecil lainnya.
Keikutsertaan militer Rusia di Afganistan memiliki sejarah yang panjang, berawal pada
ekspansi Tsar yang disebut "Permainan Besar" antara Rusia dengan Britania Raya, dimulai
pada abad ke-19 dengan kejadian yang disebut insiden Panjdeh. Ketertarikan akan daerah ini
berlanjut saat era Soviet di Rusia, dengan adanya miliaran uang bantuan ekonomi dan militer
untuk Afganistan pda tahun 1955 sampai1978.[3]

Pada Februari 1979, revolusi Islam Iran telah mengusir shah yang didukung oleh Amerika
Serikat di Iran. Di Uni Soviet, tetangga Afganistan yang terletak di sebelah utara Afganistan,
lebih dari 20% populasinya adalah Muslim. Banyak Muslim Soviet di Asia Tengahmempunyai
hubungan yang baik terhadap Iran maupun Afganistan. Uni Soviet juga telah terpojok oleh fakta
bahwa sejak Februari, Amerika Serikat telah menurunkan 20 kapal, termasuk 2 pesawat
pengangkut dan ancaman konstan peperangan dari Amerika Serikat dan Iran.[4] Maret 1979 juga
ditandai Amerika Serikat yang mencanangkan perjanjian perdamaian antara Israel dan Mesir.
Pemimpin Uni Soviet melihat perjanjian damai antara Israel dan Mesir sebagai langkah
peningkatan kekuatan Amerika Serikat di daerah tersebut. Faktanya, sebuah koran Soviet
menyatakan bahwa Mesir dan Israel sekarang adalah sekutu dari Pentagon. Uni Soviet melihat
perjanjian tidak hanya perjanjian tertulis di antara dua negara tapi juga persetujuan militer.
[5] Selain itu, Uni Soviet menemukan bahwa Amerika Serikat menjual lebih dari 5.000 peluru
kendali ke Arab Saudi dan juga membantu atas kesuksesan pertahanan Yemen melawan Faksi
Komunis. Republik Rakyat Cina juga menjual RPG Tipe 69 kepada Mujahidin dalam kooperasi
dengan CIA. Kemudian, hubungan erat Uni Soviet dengan Irak mengasam, karena Irak,
pada Juni 1978, mulai membeli senjata yang dibuat Perancis dan Italia, dan bukan senjata buatan
Uni Soviet. Namun, bantuan barat membantu pemberontakan melawan Soviet dilakukan.
Beberapa partai memberikan bantuan mereka untuk membantu Mujahidin dalam alasan untuk
menghancurkan pengaruh Uni Soviet.
47. Perang Bonsia

Gambar 11.2 Korban dari perang Bonsia

Perang Bosnia (Perang Bosnia dan Herzegovina) adalah sebuah konflik bersenjata internasional
yang terjadi pada Maret 1992 dan November 1995. Perang ini melibatkan beberapa pihak.
Konflik ini melibatkan Bosnia dan Republik Federal Yugoslavia (kemudian berganti nama
menjadi Serbia dan Montenegro) begitupula Kroasia.

Perang antara etnis Serbia dengan etnis Kroasia terjadi pada awal tahun 1992 akibat tidak
menentunya situasi di wilayah Bosnia Herzegovina. Aksi-aksi dari pihak Kroasia terhadap
apihak Serbia Bosnia Herzegovina atau sebaliknya telah mengawali perang antara etnisSerbia
Bosnia dan Kroat Bosnia. Pecahnya konflik bersenjata antara pihak Serbia Bosnia dan Kroat
Bosnia dimulai dari serangan pihak Kroat Bosnia, di bawah pimpinan dari golongan ekstrem
kanan Kroasia, terhadap penduduk Serbia Bosnia di desa Sijekovac dekat kotaBosanski
Brod (bagian utara Bosnia Herzegovina) yang menewaskan 29 orang penduduk sipil Serbia
Bosnia Herzegovina, 7 orang wanita Serbia Bosnia menderita perkosaan dan 3 di antaranya
dibunuh.

Peristiwa tersebut dilakukan oleh 35 orang kelompok bersenjata Garda Kroasia/pasukan Kroasia
di bawah pimpinan Dobrosav Paraga, yang berakibat memicu terjadinya perang antara pihak
Kroat Bosnia dengan Serbia Bosnia. Selanjutnya pertempuran antara Serbia Bosnia dengan Kroat
Bosnia tidak saja terjadi di bagian utara wilayah Bosnia Herzegovina akan tetapi juga di wilayah-
wilayah lainnyadimana terdapat kepentingan yang sama antara Serbia Bosnia dan Kroat Bosnia.

48. Bom Tentena 2005


Gambar 11.3 Kerusakan akibat bom Tentena 2005

Bom seakan akrab di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sulit diprediksi, dan seringkali
datang secara tiba-tiba. Salah satunya ialah bom di Pasar Sentral Tentena tahun 2005. Bom
Tentena 2005 adalah sebuah peristiwa ledakan bom di Pasar Tentena pada 28 Mei 2005, di mana
dua buah bom berkekuatan tinggi diledakan pada sekitar pukul 08.00 dan 08.15 WITA di Pasar
Sentral Tentena, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Ledakan tersebut hingga menewaskan sedikitnya 22 orang dan melukai 53 orang lainnya.
Serangan bom tersebut, sebagai serangan yang menewaskan paling banyak orang di Indonesia
sejak Bom Bali pada Oktober 2002. Akibat bom tersebut, polisi menetapkan 15 tersangka dalam
kasus bom tersebut. Dua unit mobil, Toyota Kijang, dan Isizu Panther masing-masing menjadi
barang bukti. Ledakan ini menghancurkan beberapa bangunan semi permanen yang ada di
tengah pasar yang tengah dipenuhi para penjual dan pembeli. Beberapa orang langsung
berjatuhan dengan bersimbah darah. Tentu saja kepanikan tak terhindarkan.

Peledakan bom yang terjadi di Tentena ini merupakan pemeliharaan kekerasan di Poso dalam 7
tahun terakhir. Dalam 2 tahun terakhir saja, kekerasan di Poso berubah dari kekerasan secara
terbuka menjadi kekerasan secara tertutup dengan cara penembakan misterius dan pengeboman,
sebagaimana yang tampak dari kasus terakhir di Tentena. Dalam catatan Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada tahun 2003, telah terjadi 10 peristiwa
pengeboman dengan jumlah korban sebanyak satu orang meninggal dunia, dan 11 orang lainnya
luka-luka. Sementara, pada tahun 2004, terjadi 6 peristiwa pengeboman dengan korban 6 orang
meninggal dunia dan 2 lainnya mengalami luka-luka. Dari semua kasus pengeboman yang
terjadi, tidak satu pun aparat hukum, kepolisian, mampu menangani. Peledakan di Tentena hanya
menggambarkan bahwa proses penegakkkan hukum tidak dilakukan dalam upaya penciptaan
perdamaian di Poso. Yang terjadi hanya kegiatan-kegiatan simbolik berupa penempatan pos-pos
polisi dan TNI, dengan sandi Operasi Sintuwu Maroso, dan penangkapan-penangkapan sejumlah
orang yang kemudian dilepas karena tidak ada barang bukti.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulteng, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Rais
Adam, menjelaskan bahwa ledakan di Pasar Sentral Tentena, Kecamatan Pamona Utara,
Kabupaten Poso, Sulteng, terletak sekitar 54 kilometer Kota Poso. Bom pertama meledak sekitar
pukul 08.00 WITA disusul ledakan kedua sekitar pukul 08.15 WITA. Pada 1 Juni 2005, pihak
kepolisian telah menetapkan 15 tersangkka terkait peristiwa berdarah tersebut. Beberapa hari
kemudian, Kapolri Jenderal Pol Dai Bachtiar kepada wartawan di Poso, mengatakan, sebanyak
13 tersangka telah diamankan di Mapolres Poso, dan dua tersangka berinisial AT dan E menjadi
DPO polisi. Sementara Deputi Bidang Keamanan Nasional Menko Politik Hukum dan
Keamanan, Demak Lubis, menyatakan ada kemungkinan keterkaitan dua buronan, yakni Dr.
Azahari Husein dan Noor Din Mohammad Top, dengan peledakan di Pasar Tentena pada 28 Mei
2005 tersebut. Indikasinya, menurut Demak, dari modus pengeboman yang umumnya dilakukan
kelompok Azahari dan Noor Din. Ledakan di Tentena cukup besar, ia menjelaskan, meski bahan
peledaknya berbeda dengan bom di Hotel Marriott dan Bali, dua aksi teror yang disebut-sebut
didalangi Azahari. Tudingan bahwa bom Tentena didalangi Azahari juga diungkapkan Kepala
Unit Antiterorisme Kantor Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Ansyaad Mbay.

Kini, terdakwa peledakan bom di pasar Tentena, Poso, Sulawesi Tengah, Syaiful Anam alias
Brekele alias Mujadid alias Idris, divonis 18 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Senin, 03 Desember 2007. Sebelumnya, JPU menuntut
Mujadid dihukum 20 tahun penjara karena telah melakukan tindak pidana terorisme.

Selama dalam perburuan, Syaiful Anam alias Brekele alias Mujadid alias Idris berada dalam
lindungan Abu Dujana. Namun Brekele tidak pernah bertemu langsung dengan Abu Dujana.
Semua pesan Abu Dujana dia terima melalui perantara. Sementara tersangka lainnya, Amril
Ngiode alias Aat, buronan yang menyerahkan diri ke aparat kepolisian di Poso, pada Jumat, 2
Februari 2007 silam. Ia mengaku menyesal atas tindakannya. Didampingi tersangka lainnya,
Ridwan dan juga meminta maaf kepada seluruh korban dan keluarganya.

Pemuda kelahiran Bonesompe, 17 Oktober 1979 akhrnya oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan divonis 15 tahun penjara. Majelis hakim yang diketuai Gatot Suharnoto
menyatakan bahwa perbuatan Aat telah memenuhi unsur-unsur dalam tindak pidana terorisme,
antara lain menimbulkan kerusakan, korban, dan menyebabkan kecemasan. Unsur-unsur tersebut
sekaligus dijadikan pertimbangan memberatkan. Sementara itu, sikap Aat yang sopan dan
menyesali perbuatannya menjadi pertimbangan yang meringankan. Selain menghukum 15 tahun
penjara, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga memerintahkan agar Amril
Ngiode alias Aat tetap ditahan. Selain itu, barang bukti berupa senjata laras panjang M16 disita
untuk dijadikan bukti dalam perkara lain. Amril Ngiode alias Aat pada Oktober 2007 saat berada
di balik jeruji besi, ia tetap melasungkan pernikahannya dengan pacarnya di Polda Jakarta. Pria
berperawakan sedang itu menambahkan bahwa ia berharap masyarakat mau memaafkan atas
perbuatan yang dilakukannya. Ia mengatakan selepas dari penjara nanti, ia ingin kembali ke
masyarakat dan hidup dengan normal.
49. Kasus Pembnuhan Sadis di Magelang

Gambar 11.4 Ilustrasi Pembunuhan

Aparat kepolisian saat ini menggelar olah tempat kejadian perkara (TKP) pembunuhan sadis
yang menewaskan Ratnawati(37) di rumahnya di Perumahan Prayudan, Blok I, Nomor 12, Desa
Prajenan, Kecamayan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa tengah. Tragisnya korban
ditemukan pertama kali oleh anaknya sendiri Shelin.
Sebanyak kurang lebih 7 orang anggota polisi Polres Magelang mulai melakukan olah TKP
sekitar pukul 08.30 WIB. Pihak keluargapun sampai saat ini tidak diperbolehkan untuk masuk ke
rumah untuk mengambil pakaian.
Saat melakukan olah TKP, petugas membawa boks perlengkapan untuk mengidentifikasi secara
lengkap beberapa penemuan barang bukti seperti rambut, sidik jari, bercak darah yang tercecer di
sekitar kamar korban.
"Olah TKP ini merupakan olah TKP lanjutan setelah kemarin petugas melakukan olah TKP usai
kejadian," ungkap Kasatreskrim Polres Magelang AKP Slamet Riyadi saat ditemui merdeka.com
di lokasi, Jum'at(20/4).
Seperti yang diberitakan merdeka.com korban Ratnawati ditemukan tewas Kamis (19/4) oleh
anaknya Shelin (9) usai pulang sekolah. Dari kesaksian tetangga korban Siska (35), dirinya
dikabari oleh pegawai kantor H2 petugas les privat tempat Shelin belajar melalui telepon. Siska
kemudian bersama suaminya melihat kondisi korban yang akrab dipanggil Ratna tewas di kamar
dalam posisi terbujur kaku serta bersimbah darah.
Polisi menemukan beberapa barang bukti sebilah pisau yang telah patah dan sebagian menancap
di mulut korban. Dari hasil otopsi yang dilakukan Bidokes Polda Jateng yang berlangsung
sampai Jumat dini hari tadi korban tewas setelah pelaku menusuk korban sebanyak 20 kali pada
bagian punggung, perut, kepala, leher dan perut. Korban sempat melawan namun tidak berdaya
akibat dihujam bertubi-tubi tusukan dan akhirnya tewas karena kehabisan darah.

Polisi sampai sekarang belum bisa memastikan apa penyebab dan motif yang mengakibatkan
korban Ratnawati tewas dibunuh secara sadis di kamar tidur rumahnya sendiri. Polisi juga sudah
memeriksa sebanyak sembilan saksi dalam pembunuhan sadis di Magelang ini.

50. Kasus Ribuan Pekerja Asing Terjerumus Perbudakan Inggris


Gambar 11.5 Ilustrasi Perbudakan

Ribuan pekerja rumah tangga (PRT) asing hidup sebagai budak di Inggris, yang dilecehkan
secara seksual, fisik dan psikologis oleh majikan mereka, menurut penyelidikan yang diputar
Channel 4.

Lebih dari 15.000 buruh migran datang ke Inggris setiap tahun untuk mendapatkan uang agar
dapat mengirim kembali ke keluarga mereka. Namun menurut penyelidikan Channel 4
Dispatches, banyak dari mereka yang harus menghadapi kondisi yang menurut para aktivis
merupakan sebuah perbudakan modern.

Kalayaan, sebuah badan amal yang berbasis di London barat yang membantu dan menyarankan
pekerja rumah tangga migran, mencatat sekitar 350 tenaga kerja baru setiap tahun.

Sekitar 20% melaporkan dilecehkan atau diserang secara fisik, termasuk yang dibakar dengan
besi, diancam dengan pisau, dan air mendidih yang disiramkan kepada mereka.

"Dua pertiga dari PRT yang kita temui melaporkan adanya pelecehan psikologis," kata Jenny
Moss, penasehat komunitas untuk badan amal itu. "Itu berarti mereka telah diancam dan dihina,
diteriaki terus menerus dan disebut anjing, keledai, bodoh, buta huruf."

Sebuah proporsi yang sama mengatakan mereka tidak diperbolehkan keluar sendiri dan tidak
pernah memiliki hari libur. Hampir tiga perempat mengatakan mereka dibayar kurang dari 50
seminggu.

"Hal pertama yang harus dipahami ketika kita sedang berbicara tentang perbudakan adalah
bahwa kita tidak menggunakan perumpamaan," kata Aidan McQuade dari Anti-Perbudakan
Internasional. "Banyak contoh dari perbudakan domestik yang kita temukan di negara ini adalah
sejenis kerja paksa - klasifikasi yang meliputi retensi paspor dan upah, ancaman pembatalan dan
pembatasan gerak dan isolasi."

Kelompok Lobby dan amal mengatakan bahwa sebagian besar PRT dibayar kurang dari 50
seminggu selama 20-jam kerja per hari. Yang lainnya mengalami penahanan gaji sepenuhnya.
Dalam beberapa kasus, para pekerja adalah orang-orang muda yang diperdagangkan ke Inggris
ketika masih anak-anak dan dipaksa untuk menjalani bertahan tahun kekerasan dan kerja paksa.

Program ini juga mengkaji klaim bahwa diplomat asing sebagai salah satu pelanggar terburuk.
Pekerja mereka, tidak seperti yang masuk dengan visa pekerja rumah tangga, tidak dapat
mengubah majikan mereka dan akan menghadapi status tunawisma atau dideportasi jika mereka
melarikan diri. Penelitian Dispatches mengatakan juga sangat sulit untuk mengadili para
diplomat karena telah memperlakukan pekerja mereka sebagai budak.

Angka yang akurat sulit untuk ditentukan karena penyelewengan terjadi di balik pintu tertutup.
Tapi kampanye mengatakan bahwa setiap tahun, ratusan PRT melarikan diri dari majikan
mereka, yang diklaim telah memperlakukan mereka dengan buruk.

Marissa Begonia meninggalkan tiga anaknya yang masih muda di Filipina ketika ia datang ke
Inggris sebagai pekerja rumah tangga 16 tahun yang lalu. Sekarang menjadi kepala dari Justice 4
Domestic Workers, sebuah organisasi kampanye baru yang dijalankan oleh dan untuk buruh
migran, Begonia mengatakan sebagian besar klien mereka dipaksa untuk bekerja di luar negeri,
tanpa pernah melihat keluarga mereka, karena kemiskinan yang ekstrim di negara asal mereka.

"Ini masalah hidup dan mati," kata Begonia. "Anda memiliki dua pilihan saja: Anda melihat
anak-anak Anda mati perlahan, kelaparan, atau Anda meninggalkan mereka dan datang ke
Inggris untuk bekerja untuk memastikan anak-anak Anda bertahan hidup." unit kejahatan khusus
Polisi Metropolitan menargetkan kasus kerja paksa, termasuk pekerja rumah tangga. "Kami
sekarang punya 10 kasus perbudakan domestik yang sedang diselidiki," kata kepala detektif
Inspektur Richard Martin, yang mengepalai unit itu.

"Beberapa korban ada yang dirantai di dapur, bekerja tujuh hari seminggu, 20 jam sehari, untuk
sedikit atau bahkan tanpa bayaran. Kami memiliki kasus dimana pekerja terpaksa makan sisa-
sisa makanan dari meja, sehingga beberapa dari mereka bahkan tidak makan dengan benar, dan
diserang dan dilecehkan. Kami memiliki kasus di mana PRT perempuan telah dilecehkan."

Anak-anak juga dibeli ke Inggris untuk bekerja dalam kondisi perbudakan. Christina
diperdagangkan dari Nigeria ke London ketika dia baru berusia 12 tahun. Dia mengatakan wanita
yang bertanggung jawab atasnya berasal dari Nigeria, tetapi bekerja sebagai pegawai sipil
Inggris di Home Office dan kemudian di Bea dan Cukai.

"Saya dipukuli sepanjang waktu tapi aku tak punya pilihan: saya tak punya tempat untuk pergi,"
kata Christina, yang bekerja bagi wanita itu selama lima tahun, sampai dia melarikan diri pada
tahun 2005. "Dia memukul saya dengan penggorengan dan dengan ikat pinggang, berkali-kali.
Ini mengerikan.. Saya ingin mati."

Kasus lainnya adalah Patience. Patience adalah pekerja rumah tangga dari Afrika barat, yang
mantan bosnya adalah seorang pengacara di London. Dia mengatakan bahwa selama hampir tiga
tahun dia bekerja 120 jam seminggu untuk sedikit uang. "Saya diperlakukan seperti budak, tidak
boleh keluar untuk berteman ... dia akan mencubit saya, menampar saya. Saya tidak memiliki
siapapun untuk diajak bicara." Seorang tetangga membantu Patience melarikan diri, tapi
kemudian, katanya, polisi tidak percaya. Dia akhirnya memenangkan kasusnya di pengadilan
kerja dan mengambil tindakan terhadap polisi, yang membuka kembali penyelidikan. Pengacara
itu dihukum karena serangan tersebut.

51. Peristiwa Gejayan

''Peristiwa Gejayan'' dikenal juga dengan sebutan Tragedi Yogyakarta', adalah peristiwa
bentrokan berdarah pada Jumat 8 Mei 1998 di daerah Gejayan, Yogyakarta, dalam demonstrasi
menuntut reformasi dan turunnya Presiden Soeharto. Bentrokan ini berlangsung hingga malam
hari. Kekerasan aparat menyebabkan ratusan korban luka, dan satu orang, Moses Gatutkaca,
meninggal dunia.

Peristiwa ini berawal dari unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan beberapa Universitas di
Yogyakarta pada tanggal 8 Mei 1998.

Pukul 09.00 terjadi demonstrasi di kampus Institut Sains dan Teknologi Akprind serta di Sekolah
Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta. Sementara di kampus Universitas Kristen
Duta Wacana juga menyelenggarakan aksi keprihatinan yang berlangsung di Atrium UKDW.

Selesai salat Jumat, Pukul 13.00, sekitar 5000 mahasiswa Universitas Gajah Mada Yogyakarta
melakukan demonstrasi di bundaran kampus UGM. Demonstrasi yang berlangsung dengan tertib
tersebut menyampaikan pernyataaan keprihatinan mahasiswa atas kondisi perekonomian saat itu
yang dilanda krisis moneter, penolakan Soeharto sebagai Presiden kembali, memprotes kenaikan
harga-harga, dan mendesak untuk dilaksanakannya Reformasi.

Pada saat yang bersamaan siang itu, ratusan lainnya juga melakukan demonstrasi di halaman
kampus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan kampus IKIP Negeri Yogyakarta yang
lokasinya berseberangan. Disini para pengunjuk rasa juga memprotes kekerasan aparat yang
terjadi pada 5 Mei 1998 (baca: Massa Rakyat Bentrok dengan Aparat ABRI), di lokasi tersebut.
Menjelang sore hari mereka ingin bergerak menuju kampus UGM untuk menggabungkan diri
melakukan unjuk rasa di sana. Ternyata aparat keamanan tidak mengijinkan dan berhadap-
hadapan dengan mahasiswa yang bergabung dengan masyarakat.

Bentrokan meletus sekitar pukul 17.00. Ratusan petugas keamanan membubarkan secara paksa
dengan melakukan penyerbuan yang dibuka oleh panser penyemprot air dan tembakan gas air
mata terhadap pengunjuk rasa di depan Hotel Radison yang terletak di pertigaan antara Jl.
Gejayan dan Jl. Kolombo. Mahasiswa dan masyarakat melawan aparat dengan batu, petasan dan
bahkan bom molotov pada sore itu di sekitar Jalan Gejayan, yang membentang dari perempatan
Jalan Ring Road Utara hingga perempatan Jalan Adi Sutjipto dan Jalan Urip Sumoharjo. Tempat
ini menjadi ajang pertarungan antara pengunjuk rasa dengan aparat yang mencegah mereka
bergabung ke UGM.

Aparat secara membabi buta memukuli setiap orang yang ada di lokasi, termasuk pedagang kaki
lima dan penduduk setempat. Selama bentrokan berlangsung aparat melakukan pengejaran
terhadap mahasiswa hingga memasuki kompleks kampus Sanata Dharma dan IKIP Negeri,
sejumlah fasilitas kampus rusak saat petugas memasuki kompleks kampus.

Ketegangan ini terus berlangsung hingga malam harinya. Suasana mencekam dan letusan senjata
api masih terdengar hingga pukul 22.00. Sejumlah orang masih berlarian menyelamatkan diri,
dan sebagian yang lain masih tertahan dalam kepungan polisi dan tentara. Massa yang terkepung
ini diisolir secara ketat, dengan menutup jalan-jalan yang menuju lokasi. Pukul 00.15 WIb,
sebuah kendaraan panser kembali menyerbu massa dengan menembakkan gas air mata. Massa
mencoba membakar panser tersebut, tapi gagal. Api hanya terlihat menyala sebentar, kemudian
padam kembali.

Sekitar pukul 21.30 WIB, para mahasiswa sedang berada di posko PMI di Sanata Dharma,
menyaksikan orang berlarian dikejar aparat keamanan dan mendengar suara orang mengaduh di
lokasi yang berjarak sekitar 50 meter dari Posko PMI tersebut. Setengah jam kemudian, ketika
suasana sudah tenang kembali, petugas PMI mendatangi lokasi orang mengaduh tadi, dan
mendapati seseorang sedang sekarat di jalan. Ia tidak lagi bicara, tangannya patah menelikung ke
belakang. Dan kepalanya sudah tak berbentuk. Dari telinga dan hidungnya darah segar terus
menerus mengalir. Ketika dibawa ke rumah sakit Panti Rapih, ia tewas dalam perjalanan. Dari
identitas di dalam dompetnya, diketahui ia adalah Moses Gatutkaca.

Sementara seorang bernama Slamet, warga Bantul juga mengalami gegar otak berat di RS Panti
Rapih. Seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bernama Arief, juga
mengalami luka-luka di sekujur tubuh, setelah dianiaya aparat, ia sempat dirawat di RS Panti
Rapih. Seorang yang lain dirawat di RS Bethesda, belum terhitung yang dirawat di rumah sakit
lain.

52. Kasus Pelanggaran Ham Yang Terjadi Di Maluku

Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5 bulan;
untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil,
sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru) sampai
saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa
waktu yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi
kekerasan lagi dengan modus yang baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di
daerah daerah perbatasan kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat
biasa).

Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta pembakaran rumah.
Saat ini masyarakat telah membuat sistem pengamanan swadaya untuk wilayah pemukimannya
dengan membuat barikade-barikade dan membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi
sampai jam 20.00, suasana kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar suara
tembakan atau bom di sekitar kota.

Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka luka, ribuan
rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta terdapat 692.000 jiwa
sebagai korban konflik yang sekarang telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku.
Masyarakat kini semakin tidak percaya dengan dengan upaya upaya penyelesaian konflik yang
dilakukan karena ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya penyelesaian
konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi Militer di Ambon
dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan saling menyerang bila Darurat
Sipil dicabut.

Banyak orang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di
Ambon ditambah dengan ketidak-jelasan proses penyelesaian konflik serta ketegangan yang
terjadi saat ini.

Komunikasi sosial masyarakat tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga antar
kawasan terus ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konmflik
jalan terus. Perkembangan situasi dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang menjelaskan
kepada masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat mencari jawaban sendiri dan
membuat antisipasi sendiri.

Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam
melakukan aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada
aktifitas ekonomi seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang
muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh
kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut tetapi sekarang sering terjadi
penembakan yang mengakibatkan korban luka dan tewas; serta jalur jalur distribusi barang ini
biasa dilakukan diperbatasan antara supir Islam danKristen tetapi sejak 1 bulan lalu sekarang
tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa penguasa ekonomi baru pasca konflik.
Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak anak korban langsung/tidak langsung dari konflik
karena banyak diantara mereka sudah sulit untukmengakses sekolah, masih dalam keadaan
trauma, program PendidikanAlternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan mental
anak malah menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar bertambah) selain itu
masyarakat membuat penilaian negatif terhadap aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).
Masyarakat Maluku sangat sulit mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan obat obatan tidak
dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan harus diperoleh dengan harga yang mahal;
puskesmas yang ada banyak yang tidak berfungsi.

Belum ada media informasi yang dianggap independent oleh kedua pihak, yang diberitakan oleh
media cetak masih dominan berita untuk kepentingan kawasannya (sesuai lokasi media), ada
media yang selama ini melakukan banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa Darurat
Sipil Daerah (radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio SPMM/Suara Pembaruan
MuslimMaluku).

53. Insiden Alastlogo

Gambar 12.3 Korban dari Iniden Alastogo


Insiden Alastlogo adalah peristiwa penembakan oleh Marinir TNI AL terhadap warga petani
pada tanggal 30 Mei 2007 di Desa Alastlogo, Kecamatan Lekok,Kabupaten Pasuruan, Jawa
Timur. Peristiwa ini dipicu sengketa tanah seluas 539 hektare.

Warga Alastlogo merupakan salah satu pihak yang memperebutkan tanah seluas 539 hektare di
11 desa di dua kecamatan, Kecamatan Lekok dan Grati yang juga diklaim PT Rajawali
Nusantara.

[[Berkas:== Peristiwa == Peristiwa itu terjadi pukul 09.30. Mulanya sebuah traktor yang dikawal
sepuluh personel TNI menggarap lahan yang sudah ditanami ketela pohon oleh warga dan
hendak diganti menjadi kebun tebu. Para tentara membawa senjata laras panjang dan pistol.
Bentrokan antara warga dan marinir bermula dari upaya pembuldoseran tanaman warga di atas
tanah yang masih berstatus sengketa oleh pekerja dari PT Rajawali, sebuah
perusahaanhortikultura yang menjadi mitranya TNI AL. Untuk menjalankan aksinya itulah, para
pekerja dikawal oleh para marinir.

Kemudian sekitar 50 warga Alas Tlogo mendatangi lokasi tanah yang mau dirombak itu.
Menurut Kepala Desa Alas Tlogo Imam Sugnadi, warga hanya mau mengingatkan agar tanah
yang sudah ditanami ketela pohon itu tidak dirombak atau digarap dulu karena proses hukum
terhadap tanah belum selesai.

Melihat banyak warga mendatangi lokasi penggarapan lahan, para tentara itu gelisah, apalagi
setelah puluhan warga meneriaki tentara. Tembakan peringatan sebanyak dua kali pun
dikeluarkan tapi tidak dihiraukan, setelah itu tembakan diarahkan ke tanah. Warga berlarian,
sebagian terkena pantulan peluru dan terjatuh.

Beberapa ibu-ibu yang sedang memasak dan memotong ketela pohon di luar rumah ikut terkena
peluru nyasar. Seorang ibu bernama Mistin (25) yang sedang menggendong anaknya Khoirul (4)
ikut terkena peluru dan langsung meninggal, sedangkan anaknya yang juga terkena peluru di
dada kanan dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Sjaiful Anwar di Malang.

Melihat teman dan saudaranya terluka, warga kemudian marah dan bergerak ke jalan utama
penghubung Probolinggo-Pasuruan di Kecamatan Lekok yang berjarak dua kilometer dari desa
mereka. Beberapa pohon yang ada di pinggir jalan kemudian ditebang warga. Ratusan warga
kemudian menduduki jalan dan melarang kendaraan lewat.

Bupati Pasuruan Jusbakir yang datang ke Desa Alas Tlogo bersama PanglimaKodam V
Brawijaya Mayjen Syamsul Mapareppa membantah telah menyuruh tentara mengusir warga.

Anda mungkin juga menyukai