Anda di halaman 1dari 14

Gerakan dan Bacaan Shalat (Tasyahud Awal Dan Tasyahud Akhir)

25 Juni 2010arieskyeidaTinggalkan komentarGo to comments


16. Tasyahud Awal Dan Tasyahud Akhir

Tasyahud Awal adalah duduk setelah sujud kedua pada rakaat kedua. Sedangkan Tasyahud Akhir
adalah duduk sebelum salam pada rakaat terakhir
a) Cara Duduk Tasyahud Awal

Pada tasyahud awal, duduknya adalah secara Iftirasy, yaitu: duduk dengan melipat kaki kiri,
meletakkan pantat di atas kaki kiri, menegakkan telapak kaki kanan serta menghadapkan jari-jari kaki
kanan ke arah kiblat. Cara duduk seperti ini dilakukan oleh Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah.
# Beliau menjelaskan bahwa bila duduk dalam tasyahud awal, hendaklah dilakukan dengan
thumaninah dan membentangkan paha kiri, lalu bertasyahud. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan
sanad jayyid)
# Dari Abi Humaid As-Saidiy, dia berkata:
Maka apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam duduk di rakaat kedua (tasyahud awal) beliau
duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Dan apabila duduk di rakaat yang terakhir
(tasyahud akhir), beliau memajukan kaki kirinya dan menegakkan kaki (kaki kanan) dan duduk di atas
tempat duduknya. (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

b) Cara Duduk Tasyahud Akhir

Pada tasyahud akhir, duduknya adalah secara tawaruk, yaitu: duduk dengan menghamparkan kaki kiri
ke samping kanan, mendudukkan pantat di atas lantai, menegakkan kaki kanan serta menghadapkan
jari-jari kaki kanan ke arah kiblat. Cara duduk seperti ini dilakukan oleh Imam Syafii.
# Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata:
Dulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalatnya, meletakkan kaki kirinya di
antara paha dan betisnya, dan meluruskan posisi kaki kanannya tepat di atas paha kanannya sambil
mengangkat jari telunjuknya. (HR. Muslim)
# Di dalam tasyahud akhir, Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukannya dengan duduk tawaruk.
(HR. Bukhari)
# Duduk tawaruk yang dicontohkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu dengan cara
membentangkan paha sebelah kiri di atas lantai, lalu mengeluarkan kedua telapak kaki dari arah yang
sama. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi)
# Duduk tawaruk tersebut yaitu meletakkan kaki kiri di bawah paha dan betisnya. (HR. Muslim dan
Abu Awanah)
# Nabi shallallahu alaihi wa sallam menegakkan kaki kanannya. (HR. Bukhari)
# Beliau terkadang membentangkannya. (HR. Muslim dan Abu Awanah)
c) Letak Duduk Tasyahud Awal Dan Tasyahud Akhir Dalam Shalat Dua Rakaat

Para ulama berbeda pendapat tentang letak duduk tasyahud dalam shalat dua rakaat, seperti shalat
Shubuh, shalat Jumah, dan shalat sunnah rawatib. Sebahagian ada yang menyatakan bahwa duduk
yang harus dilakukan adalah duduk iftirasy sebagaimana halnya ketika duduk dalam tasyahud awal,
karena duduk tersebut dilaksanakan di rakaat yang kedua.
1) Duduk Iftirasy Di Rakaat Kedua Dan Dalam Shalat Dua Rakaat

# Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian duduk tasyahud setelah rakaat kedua. Bila shalat yang
dilakukannya hanya dua rakaat, seperti shalat Shubuh, beliau duduk iftirasy (HR. An-Nasai dengan
sanad shahih), yaitu seperti ketika duduk antara dua sujud. Begitulah keadaan duduk pada tasyahud
awal (HR. Bukhari dan Abu Dawud) dalam shalat tiga rakaat atau empat rakaat.
# Pendapat ini diperkuat dengan hadits yang menceritakan orang yang salah dalam melaksanakan
shalatnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata padanya:
Dan apabila kamu duduk dipertengahan shalat, maka tumaninahlah dan duduklah di atas paha
kirimu kemudian bertasyhadudlah (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad jayyid)
Pendapat ini dipegang oleh ulama Hanabilah, mereka menyatakan bahwa seseorang tidak
diperbolehkan melakukan duduk tawaruk kecuali di rakaat yang terakhir dari shalat yang di dalamnya
dilakukan dua kali tasyahud. Mereka berlandaskan dalil dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata:

# Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda: Setiap dua rakaat; tasyahud dan beliau biasa
membentangkan kaki kirinya dan menegakkan yang kanan. (HR. Muslim)
Dan dalam tasyahud kedua, pelaksanaan duduk tawaruk tiada lain adalah bertujuan untuk
membedakan dua macam tasyahud, dan setiap shalat yang hanya memiliki satu tasyahud tidak ada
kesamaran (keserupaan) lagi, maka tidak perlu ada pembeda lagi (duduk tawaruk tidak perlu
dilakukan).

2) Duduk Tawaruk Setiap Tasyahud Yang Diakhiri Dengan Salam

Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa disunnahkan untuk melakukan duduk tawaruk setiap
tasyahud yang diakhiri dengan salam meskipun bukan tasyahud yang kedua (akhir) sebagaimana
halnya tasyahud Shubuh dan shalat Jumah, karena ia merupakan tasyahud yang disunnahkan untuk
dipanjangkan pelaksanaannya sehingga disunnahkan untuk melakukan duduk tawaruk sebagaimana
halnya ketika tasyahud kedua (tasyahud akhir). (Mausuah Fiqhiyyah XV/268)
d) Cara Meletakkan Tangan Ketika Duduk Tasyahud

Baik pada tasyahud awal maupun tasyahud akhir, tangan kanan diletakkan di atas paha dan lutut
kanan dan tangan kiri di atas paha dan lutut kiri dengan cara berikut:
1) Menggenggam Jari-Jari Tangan Kanan Dengan Meletakkan Ibu Jari Di Bagian Tengah Di
Bawah Jari Telunjuk

# Dari Ibnu Umar, katanya:


Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila duduk tasyahud, beliau meletakkan tangan
kirinya di atas lututnya yang kiri dan meletakkan tangan kanannya di atas lututnya yang kanan dan
beliau membuat ikatan nomor 53 (Menggenggam jari-jarinya dan menaruh ibu jarinya pada
pergelangan tengah di bawah jari telunjuk) serta menunjuk dengan jari telunjuknya. Dan dalam
riwayat lain dikatakan: Dan beliau menggenggam semua jarinya dan menunjuk dengan anak jari yang
ada di samping ibu jari. (HR. Muslim)
2) Menggenggam Jari-Jari Tangan Kanan Hingga Menyerupai Lingkaran (Meletakkan Ibu
Jari Di Atas Jari Tengah)

# Dari Wail bin Hujr radhiyallahu anhu, dia berkata:


Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meletakkan kedua tangan dan sikunya di atas pahanya, dan
meletakkan kedua ujung jarinya di atas kedua lututnya, dengan posisi menggenggam jarinya dan
membentuk lingkaran. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan berdoa sambil
menggerakkannya. (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, An-Nasai, Ad-Darimi, Ibnul Jarud, Ath-
Thabarani, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bahaqi dan Ibnul Jauzi)
# Dari Zubair, dia berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika duduk tasyahud, meletakkan tangan kanannya di atas
paha kanannya dan tangan kirinya di atas paha kirinya, dan beliau berisyarat dengan telunjuknya, dan
beliau meletakkan ibu jarinya pada jari tengahnya, dan beliau menutupkan telapak tangan kirinya
pada lutut kirinya. (HR. Muslim)
# Ketika beliau mengacungkan telunjuknya, ibu jarinya memegang jari tengah. (HR. Muslim dan
Abu Awanah)
# .Ibu jari dan jari tengahnya membentuk bulatan. (HR. Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Jarud, Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hibban dengan sanad shahih)
# Beliau menunjuk dengan jari telunjuknya, dan meletakkan ibu jarinya di atas jari tengahnya. (HR.
Muslim dan Abu Awanah)
# Beliau melebarkan telapak tangan kirinya di atas pahanya yang sebelah kiri, dan
menggenggamkan jari-jari telapak tangannya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah
kanan, sambil mengarahkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah kiblat, sementara pandangan mata
tertuju pada jari telunjuk tersebut. (HR. Muslim, Abu Awanah dan Ibnu Khuzaimah)
3) Tangan Kanan Diletakkan Tanpa Digenggam

# Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata:


Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam duduk tasyahhud, maka beliau meletakkan tangan
kanannya di atas paha yang kanan dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya yang kiri serta
memberi isyarat dengan telunjuknya, sedangkan pandangan matanya tidak melampaui telunjuknya
tersebut. (HR. Ahmad, Muslim dan an-Nasai)
# Dari Ibnu Umar, ia berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bila duduk di dalam shalat meletakkan dua tangannya pada
dua lututnya dan mengangkat telunjuk yang kanan lalu berdoa dengannya sedang tangannya yang
kiri diatas lututnya yang kiri, beliau hamparkan padanya. (HR. Muslim dan An-Nasai)
# Apabila duduk tasyahud, Nabi shallallahu alaihi wa sallam meletakkan telapak tangan kanannya di
atas paha kanannya -dalam riwayat lain disebutkan: pada lutut kanannya- dan meletakkan telapak
tangan kirinya pada paha kirinya -pada riwayat lain disebutkan pada lutut kirinya-. (HR. Muslim dan
Abu Awanah)
e) Pandangan Mata Ketika Duduk Tasyahud

Baik pada tasyahud awal maupun tasyahud akhir, pandangan mata tertuju pada jari telunjuk tangan
kanan yang sedang memberikan isyarat, dimana pandangan matanya tidak melampaui jari
telunjuknya tersebut, yaitu berdasarkan hadits:
# Beliau melebarkan telapak tangan kirinya di atas pahanya yang sebelah kiri, dan
menggenggamkan jari-jari telapak tangannya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah
kanan, sambil mengarahkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah kiblat, sementara pandangan mata
tertuju pada jari telunjuk tersebut. (HR. Muslim, Abu Awanah dan Ibnu Khuzaimah)
# Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata:
Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam duduk tasyahhud, maka beliau meletakkan tangan
kanannya di atas paha yang kanan dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya yang kiri serta
memberi isyarat dengan telunjuknya, sedangkan pandangan matanya tidak melampaui telunjuknya
tersebut. (HR. Ahmad, Muslim dan an-Nasai)
f) Cara Dan Saat Memberi Isyarat Dengan Jari Telunjuk

Isyarat selama duduk tasyahud awal maupun tasyahud akhir, hanya dilakukan dengan satu jari
tangan saja, yaitu jari telunjuk tangan kanan dengan sedikit membungkukkannya.
# Nabi pernah melihat seorang sahabat berdoa sambil mengacungkan dua jarinya, lalu sabdanya
kepada orang itu: Satu saja! Satu saja! [Seraya mengacungkan jari telunjuk]. (HR. Ibnu Abi
Syaibah dan An-Nasai disahkan oleh Hakim dan disetujui Dzahabi)
# Dari Numeir al-Khuzai, katanya:
Saya melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika sedang duduk dalam shalat, beliau
meletakkan tangan kanannya di atas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya,
dengan membungkukkannya sedikit ketika berdoa. (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah
dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang cukup baik)
Tentang bagaimana cara dan saat memberi isyarat dengan jari telunjuk tangan kanan tersebut,
terdapat beberapa pendapat. Sebagian mengatakan bahwa jari telunjuk itu digerak-gerakkan,
sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa jari telunjuk itu tidak digerak-gerakkan. Sebagian
mengatakan bahwa jari telunjuk tersebut digerak-gerakan secara terus menerus, sedangkan yang lain
mengatakan hanya digerak-gerakkan pada saat tertentu saja.

1) Memberi Isyarat Dengan Menggerakkan Jari Telunjuk

Mereka yang berpendapat harus menggerakkan jari telunjuk, berdalil dengan hadits:
# Dari Wail bin Hujr radhiyallahu anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meletakkan kedua tangan dan sikunya di atas pahanya, dan
meletakkan kedua ujung jarinya di atas kedua lututnya, dengan posisi menggenggam jarinya dan
membentuk lingkaran. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan berdoa sambil
menggerakkannya. (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, An-Nasai, Ad-Darimi, Ibnul Jarud, Ath-
Thabarani, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bahaqi dan Ibnul Jauzi)
# (Gerakan jari telunjuk) lebih ditakuti setan daripada (pukulan) besi. (HR. Ahmad, Bazzar, Abu
Jafar, Bukhtari, Ath-Thabarani, Abdul Ghani Al-Muqaddasi, Rauyani dan Baihaqi)
# Sebagian sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang tidak mengetahui perbuatan ini meniru
perbuatan sahabat yang mengetahuinya, yaitu menggerakkan telunjuknya sambil mengucapkan doa.
(HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad hasan)
# Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menggerakkan jari telunjuknya seraya berdoa dengannya.
(HR. An-Nasai)
# Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan perbuatan ini dalam dua tasyahudnya -tasyahud awal
dan tasyahud akhir-. (HR. An-Nasai dan Baihaqi dengan sanad shahih)
i) Menggerakkan Secara Terus Menerus Dari Awal Tasyahud

Dalam kitabnya Fi Shifat Ash-Shalat, Syaikh Al-Albani berkata: Disunnahkan untuk terus berisyarat
dengan telunjuk dan menggerak-gerakannya sampai salam karena doa dilaksanakan sebelum salam
dan ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan yang lainnya,.
Dalam madzhab Imam Maliki, jari telunjuk digerakkan ke kiri dan ke kanan ketika duduk tasyahud
hingga selesai shalat.

ii) Menggerakkan Pada Waktu Berdoa

Sebagian ulama berpendapat bahwa menggerakkan jari telunjuk tidak dimulai dari awal tasyahud,
akan tetapi dimulai dari awal doa. Pendapat ini juga dipegang oleh Syaikh Ibnu Utsaimin.
Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam bukunya Fatawa Arkanul Islam:
Menggerakkan jari telunjuk dilakukan pada waktu berdoa, bukan di semua waktu tasyahud. Jika kamu
berdoa di waktu tasyahud, maka gerakkan jari telunjukmu, seperti yang dijelaskan dalam sebuah
hadits, Menggerakkannya seraya berdoa dengannya.
.Tempat-tempat berdoa dalam tasyahud adalah:
Assalamu alaika ayyuha an-nabiyu wa rahmatullah wa barakatuhu. Assalamu alaina wa ala
ibadillahi Ash-Shalihin. Allahumma shalli ala Muhammad wa ala ali Muhammad. Allahumma barik ala
Muhammad wa ala ali Muhammad. Audzu billahi min Adzabi Jahannam, wa min adzabi al-qabr, wa
min fitnati al-mahya wa al-mamat, wa min fitnati masihi ad-dajjal.
Di delapan tempat itulah yang perlu kita gerakkan jari telunjuk kita ke arah langit. Di sunnahkan juga
ketika berdoa di selain delapan tempat itu untuk mengangkatnya; karena kaidah umumnya adalah
disunnahkan mengangkat jari telunjuk pada setiap doa.

2) Memberi Isyarat Dengan Tidak Menggerakkan Jari Telunjuk

Yang berpendapat tidak menggerakkan jari telunjuk berpegangan pada hadits:


# Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata:
Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menunjuk dengan jari saat berdoa dan tidak
menggerakkannya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai dan Ibnu Hibban, hadits ini didhaifkan oleh
syaikh Al-Albani)
Dalam kitab Zaadul Maad, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, Hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dari Abdullah bin Az-Zubair, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat jari
telunjuknya ketika berdoa dan tidak menggerakkannya. Tambahan hadits ini (dan tidak
menggerakkannya) masih perlu ditinjau keshahihannya.

Syaikh Muhammad Bayumi dalam kitab Akhthaa Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim, berasumsi
bahwa tambahan tersebut (dan tidak menggerakkannya) menyimpang. Ini bisa dilihat dari:
Pertama, Muhammad bin Ijlan tidak menetapkan hadits yang menyatakan, Tidak adanya gerakan.
Kedua, pendapat Ibnu Ijlan berseberangan dengan riwayat mereka yang tidak menyebutkan redaksi
Tanpa gerakan. Mereka itu adalah Utsman bin Hakim, dan Ashim bin Kulaib. Ashim lebih tsiqah
daripada Muhammad bin Ijlan, seperti terlihat dari hasil terjemahannya dalam At-Tahzib.
Syaikh Muhammad Bayumi juga melihat bahwa pendapat Ibnul Qayyim dalam Zaadul Maad,
kemudian riwayat Abu Dawud yang tidak menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
melakukan hal itu dalam shalat, maka secara umum argumentasinya menjadi batal dengan riwayat
dari Wail bin Hujr.

Syaikh Al-Albani dalam kitab Fi Shifat Ash-Shalat, Hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam tidak menggerakkannya tidak bisa ditetapkan, ditinjau dari segi
sanadnya. Kalaupun hadits ini ditetapkan, akan tetapi bertentangan (nafi), sedangkan hadits utama
tetap (mustbit), yaitu hadits Wail bin Hujr. Dan seperti yang lazim terjadi dikalangan ulama, yang
mutsbit didahulukan dari yang nafi.

3) Memilih Antara Menggerakkan Atau Tidak Menggerakkan

Ada lagi pendapat yang ketiga, yaitu kita disuruh memilih antara menggerakkan atau tidak, karena
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terkadang menggerakkan telunjuknya dan terkadang tidak
menggerakkannya. (Lihat: Subulus Salam dan Nailul Authar).
Adapun pendapat pertama yang mengatakan bahwa telunjuk selalu digerakkan adalah berdasarkan
hadits shahih seperti yang telah disebutkan di atas, sedangkan hadits yang menjelaskan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam tidak menggerakkan telunjuknya ketika shalat adalah hadits dhaif, juga
berdasarkan sebuah kaidah yang berbunyi: al-mutsbat muqaddamun alal manfi, yaitu nash yang
menetapkan (menunjukkan adanya perbuatan) didahulukan dari nash yang menafikan (menolak
adanya suatu perbuatan). Maksudnya, dalil yang menunjukkan adanya gerakan telunjuk didahulukan
dari pada dalil yang menunjukkan tidak adanya gerakan telunjuk.

Kalau terdapat dua dalil yang seolah-olah bertentangan, seperti riwayat tentang menggerakkan
telunjuk, yaitu menggerakkanya atau tidak menggerakkannya, maka cara pertama yang harus kita
lakukan adalah menggabungkan antara kedua dalil tersebut. Kalau kedua dalil tersebut kita
gabungkan maka yang dimaksud adalah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menggerakkan
namun tidak terus menerus, bahkan dilakukan hanya sekali, yaitu ketika berdoa, ini pemahaman
yang terbaik seperti yang dikatakan imam Baihaqi, yaitu bahwa yang dimaksud dengan
menggerakkan jari telunjuk adalah bukan dengan cara menggerak-gerakkannya naik turun, melainkan
dari semula menggenggam kemudian menunjuk ke arah kiblat.

Kalau ini tidak bisa dilakukan baru kita memakai kaidah seperti yang disebutkan di atas, yaitu dalil
yang menunjukkan adanya gerakan telunjuk didahulukan dari pada dalil yang menunjukkan tidak
adanya gerakan telunjuk. Namun seperti yang telah dijelaskan di atas, hadits yang menunjukkan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam tidak menggerakkan telunjuknya adalah hadits dhaif.

4) Memberi Isyarat Hanya Pada Bacaan Tertentu Saja

Madzhab Imam Asy-Syafii berpendapat bahwa memberi isyarat dengan jari telunjuk hanya dilakukan
sekali saja, yaitu waktu membaca Illallahu ketika syahadah. Sementara Madzhab Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa mengangkat jari telunjuk itu ketika dalam syahadah, yaitu ketika membaca La
Ilaha dan meletakkannya kembali ketika membaca Illallahu. Sedangkan madzhab Imam Ahmad bin
Hanbal berpendapat memberi isyarat dengan jari telunjuk ketika menyebut nama Allah tanpa
menggerakkannya.
Sebagian orang cukup mengangkat jari telunjuk hanya pada saat mengucapkan dua kalimat syahadat
dalam tahiyyat. Hal ini tidak ada dasarnya dalam sunnah (Syaikh Muhammad Bayumi dalam kitab
Akhthaa Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim & Sayyid Sabiq dalam buku Fiqh as-Sunnah)

g) Bacaan Pada Tasyahud

Dalam hadits-hadits yang menjelaskan tentang bacaan tasyahud, tidak dibedakan antara doa
tasyahud awal dan tasyahud akhir, seperti yang terdapat dalam hadits berikut:
# Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ia berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajari kami tasyahud sebagaimana beliau mengajari kami
surat Al-Quran. (HR. Jamaah)
# Abdullah berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda:
Apabila di antara kamu duduk tahiyyat, maka hendaknya ia membaca At-Tahiyyatu lillah
kemudian hendaknya ia memilih doa sesukanya yang berkaitan dengan persoalan yang sedang
dihadapi. (HR. Muslim)
Hadits-hadits di atas menunjukkan tidak adanya perbedaan doa dalam duduk tasyahud, baik pada
tasyahud awal dan tasyahud akhir, sebagaimana juga dikatakan oleh Ibnu Hazm [Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Sifat Shalat Nabi]. Hanya saja nanti, pada tasyahud akhir ada doa-doa
tertentu yang disarankan oleh Nabi untuk dibaca.

Berdasarkan beberapa hadis Nabi, inti bacaan yang harus dibaca dalam tasyahud awal dan akhir
adalah: bacaan tahiyyat dan bacaan syahadat

Yang menjadi perbedaan di kalangan ulama hanyalah redaksi bacaannya. Ada yang berdasarkan
riwayat Umar Bin Khattab, riwayat Ibnu Masud, riwayat Ibnu Abbas dan lain-lainnya.

1) Menurut Riwayat Umar Bin Khatab


ATTAHIYYAATU LILLAAHIZ ZAKIYYATU LILLAAHITH THAYYIBAATUSH SHALAWAATU LILLAAH.
ASSALAAMUALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUH. ASSALAAMUALAINA
WA ALAA IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN. ASYHADU ANLAA ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA
MUHAMMADAN ABDUHU WA RASUULUHU.

[Artinya]: Segala penghormatan bagi Allah, segala kesucian bagi Allah, segala kebaikan dan
kesejahteraan bagi Allah. Semoga keselamatan, rahmat dan barakah Allah senantiasa dilimpahkan
kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Semoga juga dilimpahkan kepada kami dan kepada semua
hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi
sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. (HR. Malik dalam Muwaththa dengan
sanad yang shahih)
Tahiyyat ini dipraktekkan oleh Imam Malik. Menurut Ibnu Abdil Barr sungguhpun hadis ini mauquf,
tetapi dihukumi marfu [Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sifat Shalat Nabi].

2) Menurut Riwayat Ibnu Abbas

ATTAHIYYAATUL MUBAARAKAATUSH SHALAWAATUTH THAYYIBAATU LILLAAH. ASSALAAMUALAIKA


AYYUHAN NABIYYU WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUH. ASSALAAMUALAINA WA ALAA
IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN. ASYHADU ANLAA ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA
MUHAMMADAN ABDUHU WA RASUULUHU.

[Artinya]: Segala penghormatan, keberkahan, kesejahteraan dan kebaikan bagi Allah. Semoga
keselamatan, rahmat dan barakah Allah senantiasa dilimpahkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad).
Semoga juga dilimpahkan kepada kami dan kepada semua hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi
sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah
utusan-Nya. (HR. Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-
Baihaqi, Ad-Daruqutni, Ahmad, dan Syafii)
Bacaan ini dipraktikkan oleh Imam Syafii dan para pengikutnya.

3) Menurut Riwayat Ibnu Umar

AT-TAHIYYAATU LILLAHI WASH SHALAWAATU WATH THAYYIBAATU. ASSALAAMUALAIKA AYYUHAN


NABIYYU WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUH. ASSALAAMUALAINA WA ALAA IBAADILLAAHISH
SHAALIHIIN. ASYHADU ANLAA ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ABDUHU WA
RASUULUHU.

[Artinya]: Segala penghormatan bagi Allah, segala kesejahteraan dan kebaikan bagi Allah. Semoga
keselamatan, rahmat dan barakah Allah senantiasa dilimpahkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad).
Semoga juga dilimpahkan kepada kami dan kepada semua hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi
sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya. (HR. Bukhari, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Bacaan ini dipraktekkan Imam Ats-Tsauri, Ulama Kufah dan para ahli Hadits.

h) Shalawat Nabi

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca shalawat Nabi dalam Shalat. Sebagian
mengatakan wajib, di antaranya adalah Imam Syafii. Beliau mengatakan bahwa membaca shalawat
Nabi dalam shalat hukumnya wajib. Beliau beralasan dengan firman Allah berikut:
# Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. Al-
Ahzab: 56)
Imam Syafii berkata, kewajiban membaca shalawat tidak ada tempat yang lebih tepat kecuali dalam
shalat. [Asy-Syafii, Al-Umm]. Maka orang yang tidak membaca shalawat dalam tasyahudnya,
shalatnya tidak sah, ia harus mengulang.

Namun sebagian besar ulama yang lain mengatakan bahwa membaca shalawat hukumnya sunnah. Di
antaranya ialah Ibnu Mundzir, Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri dan ulama Madinah serta kalangan
rasionalis.
Alasan mereka adalah berdasarkan tidak adanya hadits yang secara eksplisit memerintahkan seorang
yang shalat membaca shalawat Nabi.
Beberapa hadits yang ada hanya seputar persoalan pertanyaan sahabat mengenai bagaimana mereka
membaca salawat ketika shalat, dan kemudian Nabi mengajarkannya. Menurut ulama yang
berpendapat shalawat hukumnya sunnah, penjelasan tentang shalawat ini sangat berbeda dengan
ketika nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan tasyahud. Pada saat mengajarkan
tasyahud para sahabat bersaksi:

# Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ia berkata,


Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajari kami tasyahud sebagaimana beliau mengajari kami
surat Al-Quran. (HR. Jamaah)
Bahkan apa yang dipraktekkan oleh Nabi dalam mengajarkan tasyahud juga dipraktekkan oleh Abu
Bakar dan Umar. Dan dalam pengajaran itu baik Nabi maupun para sahabat sama sekali tidak
mengajarkan shalawat. Karena itulah para ulama ini menyimpulkan bahwa hukum membaca shalawat
ketika tasyahud adalah sunnah [Al-Qurthubi]

1) Letak Shalawat Nabi Pada Tasyahud

Semua ulama sepakat bahwa Shalawat Nabi dibaca pada tasyahud akhir, tetapi ada perbedaan
pendapat tentang apakah Shalawat Nabi dibaca/tidak dibaca pada tasyahud pertama (tasyahud awal).
i) Shalawat Nabi Tidak Dibaca Pada Tasyahud Pertama

Para ulama yang berpendapat bahwa Shalawat Nabi tidak dibaca pada tasyahud pertama, maka
bacaan mereka pada tasyahud pertama dibatasi hanya sampai bacaan dua kalimat syahadat saja,
kemudian berdiri. Hal ini didasarkan hadits Ibnu Masud yang berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam ketika duduk setelah dua rakaat pertama seperti duduk di atas radhf.
Berdasarkan hadits dari Ibnu Masud tersebut, Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitab Zaadul Maad
berpendapat, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat membatasi bacaan
tasyahudnya, sehingga (ketika beliau duduk tasyahud) seperti duduk di atas radhf -yaitu batu panas-
dan tidak ada satu hadits pun yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bershalawat untuknya dan keluarganya dalam tasyahud ini (setelah dua rakaat pertama).
Hadits Ibnu Masud yang diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafii, Ahmad dan imam yang empat, Imam
Al-Hakim dari riwayat Ubaidah bin Abdullah bin Masud dari bapaknya tersebut lemah menurut Ibnu
Daqiqil Ied dalam At-Talkhis 1/163. Hadits ini terputus sanadnya (munqathi), karena Abu Ubaidah
tidak mendengar langsung dari bapaknya. Dan Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu,
diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai. At-Tirmidzi berkata, Hadits tersebut
hasan. Hal ini kontradiktif (bertolak belakang) dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Daqiqil Ied,
karena Abu Ubaidah tidak mendengar dari bapaknya, dan juga tidak bertemu dengannya. Ini
merupakan hadits yang terputus sanadnya.

Imam Al-Albani berkata, Dalil yang tidak bisa dijadikan landasan hukum, tidak bisa digunakan untuk
membatasi keumuman dan kemutlakan yang ditunjukkan pada tasyahud pertama, keumuman hadits
ini sangat layak. Adapun dalil terkuat yang dijadikan argumentasi oleh mereka yang menentang ini
adalah hadits Ibnu Masud. Hadits ini tidak tergolong shahih karena terputus sanadnya.

ii) Shalawat Nabi Dibaca Juga Pada Tasyahud Pertama

Para ulama yang berpendapat bahwa Shalawat Nabi juga dibaca pada tasyahud pertama berdasarkan
pada:
# Nabi shallallahu alaihi wa sallam membaca shalawat untuk dirinya pada tasyahud awal dan
lainnya. (HR. Abu Awanah dalam Shahihnya dan An-Nasai)
# Keumuman hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk para sahabat ketika mereka
bertanya,
Ya Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana memberi salam kepadamu, tetapi bagaimana kami
bershalawat atasmu? Maka beliau bersabda, Ucapkanlah Allahumma shalli ala Muhammad wa ala
ali Muhammad dan seterusnya hingga selesai. (HR. Muttafaq alaih)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak membedakan antara tasyahud pertama
dan tasyahud kedua. Karena itu, maka dibolehkan bershalawat atas Nabi pada tasyahud yang
pertama. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Asy-Syafii dalam kitab Al-Umm 1/102, ia berkata,
Bacaan tasyahud dan shalawat atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak dipisahkan satu dengan
lainnya. Pendapat inilah yang sah di kalangan murid-murid beliau seperti dijelaskan oleh Imam
Nawawi dalam kitab Majmu 3/460 dan yang dengan jelas dinyatakan dalam kitab Raudhah 1/263.

Ini juga merupakan pendapat Ibnul Daqiqil Ied dalam kitab Talkhis Al-Habir 1/236. Dia dikenal dengan
nama Al-Wazir bin Hubairah Al-Hambali dalam kitab Al-Ifshah. Begitu pula yang dikutip oleh Ibnu
Rajab dalam kitab Zail Ath-Thabaqat 1/280 dan dalam hal ini menjadi ketetapan.

2) Bacaan Shalawat Nabi

Riwayat tentang bacaan shalawat ada bermacam-macam, di antaranya sebagai berikut:


i) Riwayat Imam Syafii Dari Kaab Bin Ajrah
ALLAAHUMMA SHALLI ALAA MUHAMMAD, WA ALAA AALI MUHAMMAD. KAMAA SHALLAITA ALAA
IBRAAHIIM, WA ALAA AALI IBRAAHIIM. WA BAARIK ALAA MUHAMMAD WA ALAA AALI MUHAMMAD.
KAMAA BAARAKTA ALAA IBRAAHIIM, WA ALAA AALI IBRAAHIIM. INNAKA HAMIIDUM MAJIID.

[Artinya]: Ya Allah limpahkanlah kebahagiaan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya,


sebagaimana Engkau telah memberi kebahagiaan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dan
limpahkanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah
memberi keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan
Maha Mulia. (HR. Imam Syafii)
ii) Riwayat Imam Ahmad

ALLAAHUMMA SHALLI ALAA MUHAMMAD, WA ALAA AALI MUHAMMAD. KAMAA SHALLAITA ALAA
AALI IBRAAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID. WA BAARIK ALAA MUHAMMAD WA ALAA AALI
MUHAMMAD. KAMAA BAARAKTA ALAA AALI IBRAAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID.

[Artinya]: Ya Allah limpahkanlah kebahagiaan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya,


sebagaimana Engkau telah memberi kebahagiaan kepada Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha
Terpuji dan Maha Mulia. Dan limpahkanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya,
sebagaimana Engkau telah memberi keberkahan kepada: keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya
Enkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. (Musnad Imam Ahmad)
3) Kata Sayyidina Dalam Shalawat Nabi

# Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,


Ya Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana memberi salam kepadamu, tetapi bagaimana kami
bershalawat atasmu? Maka beliau bersabda, Ucapkanlah Allahumma shalli ala Muhammad wa ala
ali Muhammad dan seterusnya hingga selesai. (HR. Muttafaq alaih)
Dalam konteks shalat, lafal Shalawat Nabi dalam hadits di atas (tanpa lafal sayyidina) sudah baku
sebagaimana yang telah di ajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan merupakan bagian
dari praktek shalat Rasulullah.

Sedangkan di luar konteks shalat, tidak ada larangan bahwa lafal itu harus persis dengan yang
diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sebagai ummatnya, kita boleh saja menyapa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan sebutan yang baik-baik, termasuk memberikan
tambahan gelar sayyidina sebagai rasa penghormatan dan penyanjungan kepada beliau.

Dan penggunaan lafal sayyidina kepada sosok Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam secara umum
tidak bertentangan dengan posisi beliau sendiri, karena beliau memang junjungan kita. Bahkan beliau
sendiri menyebutkan dirinya dengan sayyidu waladi Adam, junjungan anak-anak Adam (umat
manusia).

i) Berdoa Sebelum Salam [Dan Berdzikir Setelah Salam]

Adanya doa sebelum salam didasarkan pada hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang
menyuruh orang yang shalat untuk berdoa setelah membaca tasyahud:
# Setelah membaca doa taawudz, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang-
orang yang shalat untuk memilih doa-doa yang dikehendakinya sebelum mengucapkan salam. (HR.
Bukhari dan Muslim)
# Dari Ibnu Masud tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarinya tasyahud, beliau
bersabda:
Kemudian hendaklah seseorang itu memilih doa yang paling disenanginya, dan berdoa [dalam suatu
lafal: kemudian hendaklah ia memilih dari permohonan yang ia kehendaki] (Muttafaq alaih)
# Dari Aisyah, ia berkata,
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdoa dalam shalatnya, Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari adzab qubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Dajjal, dan aku
berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari dosa dan hutang. (HR. Bukhari)
# Dari Abu Umamah,
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang doa yang paling didengar oleh
Allah Subhanahu wa Taala, beliau menjawab: Di pertengahan malam yang akhir dan dubur shalat-
shalat fardhu (dubura ash-shalawatil maktubah). (HR. At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh Al-
Albani).
Arti kata dubur dalam kamus Almujam Al Wasid adalah: akhir dari sesuatu (penghujungnya) dan
bukan setelah, sebab setelah dalam bahasa arab adalah bada.

Arti kata dubur jika dikaitkan dengan shalat (Fatwa Syaikh Ibnu Baz dalam Tuhfatul ikhwan
biajwibatin muhimmbatin tataallaqu bi arkanil Islam, Syaikhul Islam dalam majmu fatawa dan Syaikh
Ibnu Utsaimin dalam majmu fatawa wa rasail):

# Apabila berkaitan dengan pembacaan doa, maka arti kata dubur shalat adalah penghujung shalat
sebelum salam,
# Dan apabila berkaitan dengan pembacaan dzikir, maka arti kata dubur shalat adalah penghujung
shalat setelah salam.
Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka para ulama yang beraliran tekstual (ahli dzahir) menganggap
bahwa berdoa sebelum salam hukumnya wajib. Sedangkan menurut jumhur ulama hukumnya
sunnah.

Adapun materi doa, menurut jumhur ulama adalah sesuka orang yang shalat, baik persoalan dunia
maupun akhirat, sebagaimana dikatakan dalam hadits. Tetapi menurut Imam Hanafi, hanya dengan
doa yang ada di dalam Al-Quran dan Al-Hadits (Nail al-Authar). Sedangkan ahli dzahir menyatakan
bahwa doa yang harus dibaca haruslah mengandung kewajiban berlindung dari empat perkara, yaitu:
siksa kubur, siksa neraka, fitnah Dajjal, dan fitnah hidup dan mati (Ibnu Rusyd).

1) Berdoa Memohon Perlindungan Allah (Taawudz) Dari Empat Perkara

# Apabila seseorang telah selesai membaca tasyahud akhir maka hendaklah ia memohon
perlindungan kepada Allah dari empat perkara, yaitu:

ALLAAHUMMA INNII AUUDZUBIKA MIN ADZAABI JAHANNAMA WA MIN ADZAABIL QABRI WA MIN
FITNATIL MAHYAA WAL MAMAATI WA MIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAAL.
[Artinya]: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka jahannam, siksa kubur, fitnah
kehidupan dan kematian dan dari fitnah dajjal. [Selanjutnya, hendaklah ia berdoa memohon kebaikan
untuk dirinya sesuai kepentingan]. (HR. Muslim, Abu Awanah, An-Nasai dan Ibnul Jarud)
# Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Apabila kamu telah selesai bertasyahud maka hendaklah berlindung kepada Allah dari empat (4) hal,
yaitu:

ALLAAHUMMA INNII AUUDZUBIKA MIN ADZAABI JAHANNAMA WA MIN ADZAABIL QABRI WA MIN
FITNATIL MAHYAA WAL MAMAATI WA MIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAAL.

[Artinya]: Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa jahannam, siksa kubur, fitnah hidup dan
mati serta fitnah Al-Masiihid Dajjaal. (HR. Bukhari dan Muslim dengan lafadhz Muslim)
# Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca doa tersebut dalam tasyahudnya. (HR. Abu
Dawud dan Ahmad dengan sanad shahih)
# Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan doa tersebut kepada sahabat-sahabatnya seperti
halnya beliau mengajarkan suatu surah Al-Quran kepada mereka. (HR. Muslim dan Abu Awanah)
# Dari Aisyah, ia berkata,
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdoa dalam shalatnya,

ALLAAHUMMA INNII AUUDZUBIKA MIN ADZAABIL QABRI, WA AUUDZUBIKA MIN FITNATIL


MASIIHID DAJJAAL, WA AUUDZUBIKA MIN FITNATIL MAHYAA, WA FITNATIL MAMAATI ALLAAHUMMA
INNII AUUDZUBIKA MINAL MAATS TSAMI WAL MAKHRAM.

[Artinya]: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab qubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari
fitnah Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang. (HR. Bukhari)
2) Doa-Doa Sebelum Salam Lainnya

# Dari Muadz bin Jabal, ia berkata:


Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memegang tanganku, kemudia beliau berkata,
Hai Muadz! Demi Allah sungguh aku menyukaimu. Kemudian Muadz berkata, Demi Bapak dan Ibuku,
ya Rasulullah, saya sungguh mencintaimu. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata,
Aku berwasiat kepadamu ya Muadz, engkau jangan sekali-kali meninggalkan di setiap akhir shalat
untuk berdoa:

ALLAAHUMMA AINNII ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI IBAADATIKA.


[Artinya]: Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa ingat kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan
bagus ibadah kepada-Mu. (Dalam Mustadrak ala Shahihaini)
# Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada seorang sahabatnya:
Apa yang engkau ucapkan dalam shalat? Ujarnya: Aku bertasyahud, kemudian aku memohon surga
kepada Allah dan berlindung dari siksa neraka. (Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda): Demi
Allah, alangkah baiknya permohonan yang kamu ucapkan dan diucapkan oleh Muadz. Beliau
shallallahu alaihi wa sallam berkata: (Kami selalu mengucapkan kalimat-kalimat tersebut). (HR. Abu
Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad shahih)
# Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mendengar seorang sahabat dalam tasyahudnya
membaca:

ALLAAHUMMA INNII AS-ALUKA YAA ALLAHUL (BILLAAHIL) [WAAHID] AHADITSH-SHAMADI LLADZII


LAM YALID WALAM YUU LAD, WALAM YAKUL LAHU KUFUWAN AHAD, AN TAGHFIRLII DZUNUBII,
INNAKA ANTAL GHAFUURUR RAHIIM.

[Artinya]: Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu, ya Allah, [Tuhan Yang Mahatunggal], tempat makhluk
bergantung, tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, tiada sesuatu apapun yang menyamai-Nya,
ampunilah segala dosaku, karena Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersada:
(Orang ini telah diampuni, orang ini telah diampuni). (HR. Abu Dawud, An-Nasai, Ahmad dan Ibnu
Khuzaimah. Disahkan oleh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi)
# Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendengar sahabat lain dalam tasyahudnya berdoa:

ALLAAHUMMA INNI AS-ALUKA BIANNA LAKAL HAMDA, LAA ILAAHA ILLA ANTA #WAKHDAKA LA
SYARIIKA LAKA#, #AL-MANNAANU# [YA] BADII AS SAMAAWAATI WAL ARDHI, YA DZAAL JALAALI
WAL IKRAAMI, YAA HAYYU YAA QAYYUUMU, [INNII AS-ALUKA] [AL-JANNATA, WA AUDZUBIKA MINAN
NAARI].

[Artinya]: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwa segala puji adalah milik-Mu,
tiada tuhan kecuali Engkau, [tiada sekutu bagi-Mu], [Maha Pemberi karunia], [wahai] Penciapta langit
dan bumi. Wahai Tuhan Yang Mahaagung dan Maha Pemurah. Wahai Tuhan Yang Mahahidup, wahai
Tuhan Yang Mahaberdiri sendiri, [sesungguhnya aku memohon] [surga kepada-Mu dan berlindung
kepada-Mu dari siksa neraka].
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya:
Tahukah engkau apa yang dimohon orang ini? Mereka menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.
Sabdanya: [Demi Tuhan yang menggenggam jiwaku], sesungguhnya orang ini telah memohon kepada
Allah dengan menyebut nama-Nya yang agung, yang bila orang memohon dengan menyebut
keagungan-Nya itu, Dia akan mengabulkan dan bila orang itu meminta sesuatu, Dia akan
memberinya. (HR. Abu Dawud, An-Nasai, Ahmad, Bukhari, Ath-Thabrani, Ibnu Mandah dengan
sanad-sanad shahih)
# Doa antara tasyahud dan salam yang terakhir kali dibaca oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam
adalah:

ALLAAHUMMAGH FIRLII MAA QADDAMTU, WAMAA AKH KHARTU, WA MAA ASRARTU, WA MAA
ALANTU, WA MAA ASRAFTU, WAMAA ANTA ALAMU BIHI MINNII. ANTAL MUQADDIMU, WA ANTAL
MUAKH KHIRU, LAA ILAAHA ILLA ANTA.

[Artinya]: Ya Allah, ampunilah segala dosaku, baik yang lampau maupun yang akan datang, baik
yang tersembunyi maupun yang terang, serta dosa-dosaku yang berlebihan, juga dari semua yang
Engkau lebih mengetahui daripada aku. Engkaulah yang terdahulu dan Engkaulah yang terkemudian,
tidak adaTtuhan kecuali Engkau. (HR. Muslim dan Abu Awanah)

Anda mungkin juga menyukai