Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1. Pengantar
Dalam dunia yang semakin jenuh dengan berbagai tumpukan persoalan yang semakin rumit,
kehidupan ( dan implikasinya dalam bidang pendidikan) pun baik bersifat konseptual maupun
empirik, tampaknya harus semakin bijak disiasati. Sebagian besar dari persoalan tidak lagi mampu
dihadapi secara linier, fragmentaris, sektoral atau terpisah-pisah satu dengan yang lainnya. Persoalan
atau masalah yang dihadapi dewasa ini, dipandang sebagai fenomena yang saling berkaitan satu
dengan yang lainnya sebagai masalah yang sistemik. Satu masalah merupakan bagian dari
serangkaian masalah lain yang secara global menantang dan bahkan mengancam ruang hidup dan
kehidupan manusia. "Kepak sayap kupu-kupu di California bisa menimbulkan badai di belahan
benua lain". Ungkapan retorik itu untuk menunjukkan butterfly effect yang memperlihatkan betapa
rumit kaitan suatu fenomena dengan fenomena lainnya, seperti yang dikemukakan oleh Capra
(1996) dalam bukunya "The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems".
Untuk memahami persoalan sebagai masalah sistemik, dipersyaratkan satu perubahan
yang asasi dalam persepsi, pikiran, dan nilai-nilai yang kita miliki. Perubahan cara memandang
ini -dari linier ke holistik, dan kemudian ke budaya- merupakan sebah proses menuju paradigma
baru; yaitu paradigma budaya. Paradigma budaya merupakan suatu pandangan holistik dan
sistemik yang memandang dunia sebagai keseluruhan yang terintegrasi bukan kelompok yang
terceraiberai. Paradigma budaya memperluas pandangan manusia dengan memasukkan
lingkungan alam dan lingkungan sosio-budaya dalam lingkup yang luas. Kesadaran budaya
adalah kesadaran religius atau spiritual; bentuk kesadaran yang di dalamnya individu merasa
memiliki dan terkait dengan alam kosmos sebagai suatu keseluruhan.
Dalam konteks kehidupan masyarakat, khususnya pendidikan, masyarakat atau negara
yang sedang membangun, dihadapkan pada tantangan-tantangan besar yang mesti dihadapi
secara seksama. Tantangan penting pertama yang harus dihadapi adalah globalisasi dengan
berbagai produk atau jiwa ikutannya yaitu antara lain ilmu pengetahuan, teknologi, informasi,
media, ekonomi, dan kekuatan politik yang masuk seperti belitan gurita ke dalam berbagai sendi
kehidupan masyarakat. Globalisasi diasumsikan sebagai pengaruh yang tak dapat dicegah, dan
kemudian diterima sebagai suatu pandangan yang sah yang harus diterima; sesuatu yang,
sesungguhnya, merupakan mistifikasi dari kesadaran budaya menjadi ideologi. Tantangan m1
lebih bersifat tantangan ekstemal. Tantangan penting yang kedua bagi masyarakat yang memiliki
sejarah yang panjang, yang juga terdiri dari aneka ragam masyarakat etnik dan bangsa, dan aneka
ragam budaya sebagai warisan --dan sekaligus menjadi strategi dasar untuk mengembangkan
kehidupan-- adalah menemukan dan membentuk identitasnya sendiri &ebagai sarana untuk
meraih tujuan dan masa depan yang dicita-citakan. Tantangan kedua lebih bersifat tantangan
internal. Kedua tantangan itu dalam realitasnya, saling berkaitan, dan bahkan dalam berbagai hal
seringkali salah satunya mendominasi yang lainnya, yang berdampak pada pelestarian,
peningkatan, dan penurnnan kuantitas dan kuantitas lingkungan hidup.
Bidang pendidikan, sesungguhnya Juga dihadapkan dengan tantangan-tantangan itu,
yang merangsang tumbuhnya ilmu pengetahuan barn, teoriteori barn, paradigm-paradigma barn,
yang akan menjadi Jtwa dari pendidikan itu sendiri, ditinjau dari kepentingan akademiknya dan
kepentingan nyata masyarakatnya. Berkaitan dengan _masalah yang hendak dibahas dalam
bagian ini, dalam hubungannya dengan pendidikan seni, muncul pertanyaan: Bagaimana posisi
dan peranan pendidikan seni di dalam perbincangan ilmu pengetahuan dan pernbahan zaman
Yfil!& berlangsung sekarang ini?
Tulisan pada bagian ini tidak berpretensi untuk menjawab pertanyaan itu secara
menyeluruh, tuntas,, dan mendalam, melainkan untuk mengajak dan melihat kembali dan
merefleksi posisi dan peranan pendidikan seni, kemudian mencoba menegaskannya (sebagai
sebuah paradigma) dalam konteks pernbahan-pernbahan yang sedang terjadi. Pembahasan akan
dilakukan dengan meletakkan permasalahan dalam konteks kebudayaan. Kebudayaan dalam
tulisan ini hendak dipandang sebagai keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, dan nilai-nilai
yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial. Kebudayaan berfungsi sebagai pedoman
hidup, yang berupa blueprint atau desain menyeluruh, bagi kehidupan warga masyarakat
pendukungnya. Ia Juga merupakan sistem simbol dan pemberian makna yang ditransmisikan
melalui kode-kode simbolik, yang juga berfungsi sebagai strategi adaptif bagi pelestarian dan
pengembangan kehidupan dalam rangka menyesuaikan dan menyerap sumber daya lingkungan
yang dihadapinya. (lihat Geertz, 1973:89; Suparlan, 1985:3-5; Rohidi, 200:6-7).
Secara ringkas, uraian dalam kertas kerja ini mencakup pembahasan tentang pendidikan
dalam konteks kebudayaan, seni dan Pendidikan Seni sebagai sarana pendidikan yang berfungsi
bagi pemuliaan nilai kemanusiaan, tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pendidikan dan
pendidikan seni, serta terakhir yaitu penegasan mengenai paradigma pendidikan seni dan
implikasinya dalam rnenganggapi tantangan-tantangan yang rnuncul baik secara umum rnuapun
khusus.
2. Pendidikan
Dalam pengertian kebudayaan senantiasa terkandung tiga aspek penting, yaitu bahwa:
(1) kebudayaan dialihkan dari satu generasi ke generasi lainnya, (2) kebudayaan dipelajari,
bukan dialihkan dari keadaan jasmaniah manusia yang bersifat genetik, dan (3) kebudayaan
dihayati dan dimiliki bersama oleh para masyarakat pendukungnya. Dalam pengertian ini tersirat
bahwa pengalihan kebudayaan senantiasa terjadi melalui proses pendidikan.
Pendidikan adalah proses budaya. Dalam konteks ini, pendidikan dipandang sebagai
upaya pengalihan, pengembangan, dan penciptaan nilai-nilai, pengetahuan, dan keyakinan,
melalui suatu tradisi yang disepakati bersama oleh anggota masyarakat pendukungnya, baik
dilakukan bersama-sama atau antarpribadi, dengan tujuan agar anggota masyarakat didikannya
dapat memainkan pera:nan (sebagai individu di dalam kerangka sistem sosial-budayanya) di
dalam kehidupan dan dunia yang dihadapinya.
Pendidikan di satu pihak dipandang sebagai upaya pelestarian bagi mempertahankan sifat
tradisional kebudayaan, yaitu suatu proses yang bersifat konservatif. Di segi lain, dalam
pendidikan pun terkandung maksud adanya proses bagi pengembangan kebudayaan yang
dihubungkan dengan dinamika pernbahan masyarakat dan kebudayaannya. Pendidikan juga
membawa misi pembaharuan kebudayaan, yaitu suatu proses yang bersifat kreatif. Tegasnya,
pendidikan menunjukkan dua fungsi penting, yaitu melestarikan dan mengembangkan
kebudayaan sesuai dengan kebutuhan (individu, sosial, dan budaya) para anggota
masyarakatnya, yang hasilnya terwujud di dalam cara berfikir, bersikap (menghayati), berbicara,
dan bertindak dari mereka yang menjadi peserta didikan.
Pendidikan dilakukan melalui sebuah tradisi yaitu sistem norma dan peranan yang
mengatur bagaimana sepatutnya anggota masyarakat berperilaku--, yang melalui jejaring atau
matriksnya dapat ditunjukkan kedudukan hari ini dan harapan kehidupan manusia di masa depan
yang jelas. Sebagai sebuah tradisi, pendidikan sepatutnya mengandung nilai-nilai fitrah manusia
yang dapat membedakan semangat dari angkara murka, yang mampu mengaitkan belajar dan
mengaJar sekaligus dan mengidentifikasinya dengan cermat, memadukan berpikir dan
berbuat, dan memahami nilai-nilai yang berada di balik pemberian dan penerimaan.
Pendidikan sebagai sebuah tradisi dapat berlangsung di mana dan kapan saja. Pendidikan
bisa berlangsung di rumah, di dalam lembaga keluarga, antara orang tua dengan anak-anaknya,
kakak dengan adik-adiknya, atau kakek dengan cucunya, atau juga di antara anggota keluarga
sekerabat lainnya. Pendidikan bisa juga berlangsung di dalam masyarakat, di antara anggota
masyarakat, kawan sebaya, dan anggota minat. Pendidikan juga dapat berlangsung di lembaga
khusus, yang disebut sekolah; suatu tempat atau lembaga yang diberi kepercayaan, kewenangan,
dan kebenaran oleh orang tua, masyarakat, dan pemerintahan untuk menyelenggarakan
pendidikan secara lebih teratur dan lebih terancang.
Pendidikan juga bedangsung dengan berbagai sifatnya. Pendidikan dapat berlangsung
sacara formal, yaitu apabila dilaksanakan secara teratur, terstruktur, dan terancang dalam jangka
masa tertentu secara bertahap. Pendidikan formal umumnya berlamgsung di sekolah, walaupun
juga dapat berlangsung di rumah dan di masyarakat. Pendidikan berlangsung juga secara
nonformal. Pendidikan nonformal biasanya diselenggarakan di lingkungan masyarakat, yang
berlangsung bagi pencapaian suatu kemahiran tertentu saja, dan lazirnnya dirancang dalam
jangka waktu yang singkat. Pendidikan ndnformal umumnya dilaksanakan di kalangan
masyarakat, walaupun mungkin saja dilakukan di sekolah atau di dalam keluarga. Jenis
pendidikan yang lain, yang ditentukan karena sifatnya, yaitu pendidikan informal. Pendidikan
informal ialah segala sesuatu aktivitas, yang melibatkan dua atau lebih individu, yang tak
terancang namun justru berdampak pada perubahan perilaku. Pendidikan informal berlangsung
sebagai sebuah peristiwa, baik disadari ataupun tak disadari, lebih membentuk perilaku-perilaku
tertentu. Keteladanan adalah peristiwa yang dapat menjadi contoh yang baik dari pendidikan
informal.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan dapat berlangsung di berbagai
tempat dan dalam berbagai sifatnya. Pendidikan berlangsung sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat dan kebudayaannya secara menyeluruh. Dengan
demikian, seyogianya dipahami bahwa pendidikan merupakan refleksi dari masyarakat atau
bangsa yang tersurat dan tersirat dalam seluruh perancangan dan pelaksanaannya.
3. Seni dan Pendidikan Seni
Pendidikan Seni adalah upaya pendidikan dengan menggunakan seni sebagai medianya.
Pendidikan Seni merupakan bagian penting dalam sistem pendidikan secara menyeluruh, ia
merupakan unsur yang strategis dan fungsional bagi upaya pemuliaan kemanusiaan.
Hal ini bekaitan dengan sifat-sifat yang melekat pada seni. Seni bersifat imajinatif. Sifat
imajinatif merangsang orang yang terlibat di dalamnya untuk mengkombinasikan berbagai
perasaan yang ada dengan relalitas yang diabstraksikan dalam suatu komunikasi yang memberi
kenikmatan estetik. Kenikmatan estetik itu tersusun dan diperoleh dalam cara yang sangat tidak
diduga, baik sadar maupun tidak sadar. Kenikmatan estetik tidak tunduk pada "aturan kepastian
mutlak", ia bukanlah realitas; dan memang bukan realitas. Dunia seni adalah dunia imajinasi,
dan dunia imajinasi adalah dunia mimpi dari permainan mental yang tidak ada batasnya.
Seni seri sering kali dibandingkan dengan suatu permainan,; memang kedua kegiatan itu
sangat erat berkaitan. Apabila kita bermain, sama dengan jika kita menikmati karya seni. Kita
menjalani suatu kehidupan imajiner yaitu suatu kehidupan kehilangan daya tariknya seandainya
tidak ada bedanya dengan kehidupan sesungguhnya. Imajinasilah yang membuat suatu
permainan menjadi sangat menarik. Permainan dan seni memungkinkan kita hidup di dunia
khayal. Kombinasi berbagai khayalan inilah yang membentuk kenikmatan permainan dan
kenikmatan seni. Alam tidak pemah ditiru secara membabi-buta. Konsekuensinya imajinasilah
yang mentransformasikan alam, dan menentukan keindahannya melalui kesan dan emosi tertentu
yang ditimbulkannya (sui generis) .
Seni adalah suatu permainan, justru keduanya merupakan suatu bagian dari kehidupan.
Manusia tidak dapat bekerja sepanjang masa., karena manusia pun tidak akan mampu
melakukannya. Konsekuensi energi hanya untuk mencapai suatu tujuan saja adalah sesuatu yang
hampir abnormal dan tidak bisa bertahan lama. Kerja keras harus diimbangi dengan kesantaian.
Di sini, seni sebagai permainan mempunya1 signi fikansinya. Permainan dalam bentuk seni
adalah permainan yang menjanjikan karekter tingkat tinggi, menyiratkan suatu sikap tanpa
pamrih, mandiri, menjaga jarak dari kepentingan..:kepentingan material yang terlalu kasar, dan
memberi wama spiritual tertentu terhadap perasaanperasaan dan hasrat kita.
Dari uraian di atas, kemudian dapat dilihat relevansi seni sebagai media untuk
pengembangan kreativitas. Sifat imajinatif dan permainan yang tnelekat pada seni menegaskan
suatu kebebasan berkhayal dan dalam bentuk pengungkapannya. Disiplin seni adalah disiplin
yang "membebaskan", disiplin yang senantiasa lebih baik daripada tidak disiplin dan/atau
disiplin ketat tanpa hati nurani. Itulah sebebnya mengapa pendidikan seni ditempatkan sebagai
bagian yang tak terpisahkan dalam pendidikan secara umum. Pendidikan seni adalah pendidikan
yang akan membawa kebanggaan dan keagungan jasmaniah dan rohaniah, dan justru itu seni
seharusnya menjadi dasar pendidikan; that art should be the basis of education, demikian kata
Herbert Read (1970) mengutip tesis plato, pemikir Yunani Klasik, berabad-abad yang lalu.
Di dalam pendidikan umum, yaitu proses pendidikan yang diselenggarakan 4i sekolah
rendah dan sekolah menengah, Pendidikan Seni merupakan bagian yang bukan hanya dapat ada,
melainkan harus ada. Pendidikan Seni fungsional bagi menjaga keseimbangan dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan sem memberikan keseimbangan manus1aw1 bagi
pendidikan logika rasional, etik-moral, dengan menekankan pada pendidikan estetik-emosional.
Pendidikan seni menawarkan aktivitas yang memberi peluang untuk memandang persoalan
secara multi perspektif. Dengan melalui aktivitas seni ditawarkan dimensi-dimensi makna yang
baru. Seni memeberikan suatu epistemology pililhan lain suatu cara memahami yang
mentranseden bentuk-bentuk pengetahuan yang deklaratif. Dengan seni sebagai cara, seseorang
didorong untuk melihat dan mendengar, menerobos lapisan permukaan "apa yang terlihat dan
terdengar". Dengan seni kita disadarkan dari penampilan satu dimensi kehidupan yang
membelenggu alam pikiran kita. Seni akan bersifat transformatif ketika diterapkan dalam
pendidikan.
Sekalipun demikian, pendidikan seni Juga mengajarkan bahwa manusia sekreatif
apapun, ia tidak hanya merupakan subjek perajut makna saja, melainkan pada waktu yang sama
ia terstruktur dalam jejaring atau matriks tradisi budaya. Di dalamnya, kebebasan berkreasi atau
berekspresi dihadapkan pada kesepakatan-. kesepakatan masyarakat pengguna makna. Dengan
kata lain, seni atau estetika ketika berkomunikasi dan menyentuh kesadaran serta intuisi rasa
indah sesama manusia, maka secara intrinsik (from within) harus mematuhi kode-kode simbolik
yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaannya. Seni, dan demikian juga
pendidikan seni, tidak akan pemah lepas dari masalah keseluruhan kebudayaan, cara berpikir,
suasana cita rasa, diafragma pandangan kesejagatan, dan politik mengurus kehidupan masyarakat
dan bangsanya.
4. Tantangan bagi Dunia Pendidikan dan Pendidikan Seni
Pandangan yang menekankan pada akal pikiran yang diawali oleh Copernicus, kemudian
Galileo hingga Newton, menjadi awal bagi kokohnya pemikiran yang didasarkan pada
objektivitas ilmiah empiris. Hal ini rriendapatkan tempat yang lebih baik lagi bagi pandangan
Descartes yang mengemukakan corgito ergo sum; yaitu kesadaran dan aka] pikiran manusia,
dengan rumusan-rumusan yang pasti dan ketat, untuk memecahkan berbagai fenomena alam
yang dihadapi manusia (Lavine, 1984:125; Mahoney dan Lyddon, 1988:192). Selanjutnya
Augustus Comte mempertegasnya dengan "rasionalistik-positif'. Ia menegaskan bahwa
perkembangan harus ditujukan pada kemajuan bagi mendapat signifikannya secara positif.
Dampak dari pandangan positivistik itu kemudian melahirkan modet-model ilmu pengetahuan
positif beserta hukum-hukumnya yang umum, dan dinyatakan berlangsung bagi segala macam
hal atau benda, yang bebas dari jangkauan spekulatif (van Peursen, 1985; Wibisono, 1982).
Inilah tampaknya yang dimaknai sebagai hakikat pandangan modem, yang telah
berkembang menjelajah (dan juga menjajah) seluruh peloksok dunia, yang seakan-akan tak
dapat dicegah dan harus dan diterima sebagai satu pandangan yang sah. Modemisasi, dalam
hal ini juga berarti globalisasi, dengan alat tumpangannya yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi,
ekortomi dan politik, serta informasi dan media, yang datang searah (dari Barat ke Timur atau
Utara ke Selatan, dari global ke lokal, dari homogen ke heterogen, dari yang tunggal ke yang
beraneka ragam) menjadi tantangan yang hams dihadapi secara arif dan bijak.
Meskipun demikian, apa yang Sesungguhnya berlangsung di dalam wacana dunia global
ini bukanlah wacana yang berdiri bersaingan, melainkan wacana yang bersilang, saling mengisi,
saling melengkapi, dan saling memperkuat satu dengan yang lainnya, yang menumbuhkan
fenomena "kompleksitas budaya (cultural complexity). Kompleksitas ini karena wujud dari
berperannya bentuk-bentuk pandangan lain dalam kehidupan masyarakat yang memiliki sejarah
dan kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat yang merasa atau yang dipandang sebagai
"asal" globalisasi.
Upaya-upaya untuk melindungi, mengembangkan, dan melestarikan warisan budaya dan
identitas pengelompokan etnik, ras, agama, dan bangsa acapkali menjadi sikap resistensi,
permusuhan, dan penentangan terhadap budaya luar. Akibatnya terjadilah pertentangan atau
perbenturan budaya, yang dapat menimbulkan berbagai situasi ketidakamanan, dan
ketidakstabilan pada masyarakat yang sedang menerima pengaruh global. Hal yang lebih
mengkhawatirkan lagi adalah pertentangan atau perbenturan budaya dianggap sebagai suatu
ancaman bagi keberlangsungan sekelompok masyarakat dan kebudayaannya, serta
kesinambungan "identitas budaya" yang diterima dan dipertahankan di dalamnya. Pertemuan
budaya lebih dipandang sebagai "padang pertempuran", yaitu sebuah medan yang di dalamnya
suatu kebudayaan berupaya mempertahankan keaslian, originalitas, dan keutuhan budaya dari
berbagai pengaruh luar.
Pikiran-pikiran modem telah mempengaruhi pendidikan modern dengan penerapan asas-
asas pengembangan rasional dan pengawalan tata kehidupan masyarakat, yang dilandasi oleh
pandangan positivistik. Penyelenggaraan sekolah urnurn, dan juga pelatihan dan/atau pendidikan
guru, telah dipengaruhi dengan kuat oleh pandangan modern. Lembaga persekolahan telah
rnernasukkan strategi pengelolaan yang "hiperasional" ke dalam konsepsi-konsepsi
paedagoginya saat rnenuju abad ke 21 ini (Kincheloe, 1993 :7). Pengaruh "ilmiah" yang
rnengubah objek rnelalui perilakunya.
Selanjutnya, ketika psikologi perilaku (behaviorisrne) diterima sebagai bagian penting
dalam paedagogi, guru-guru pun rnulai dipandang sebagai satuan-satuan atau angka-angka yang
dapat dikendalikan dan diatur. Pikiran rnanusia mernpakan suatu instrumen yang pasti untuk
mengukur perilaku setepat-tepatnya. Guru-guru dianggap tidak mampu untuk melakukan
pengukuran semacam itu, oleh sebab itu rumusan-rumusan strategi pengajaran dan
pengembangan kurikulum hams diserahkan pada pakar psikologi yang berpengalaman. Tentu
tidak mengejutkan jika kemudian para pakar psikologi behaviorisme menguasai jiwa
pelaksanaan pendidikan di sekolah, membentuk kecakapan dengan rnengendalikan rnelalui
desain instruksional. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemudian menjadi pengagungan terhadap
strategi, daya dorong efisiensi, produktivitas dan pengelolaan pengajaran dari satu hal saja; yaitu
dari pandangan modern yang positivistik.
Hal tersebut, seakan-akan menjadi perkara global setelah ilmu pengetahuan rnodern-
dengan dasar metode natural sciences -dengan pisau analisisnya yang tajam dan berlangsung
urnum, memperlihatkan keampuhannya dalam bidang-bidang sains mumi. Ironisnya,
tuntutantuntutan itu dengan daya paksa yang sangat kuat melanda bidang-bidang ilmu yang ipso
facto sangat sukar menerapkan dasar-dasar yang bersifat reduksionistik dan rasionalisasi
dengan kebenaran tunggal. Dalam posisi seperti inilah pendidikan seni sekarang ini hadir dan
dilaksanakan sebagai media dalam pendidikan umum. Jargon yang muncul "think globally act
locally" menambah kekalutan yang telah berlangsung dengan penyamarataan metodik pada
semua bidang ilmu; yang sepatutnya harus kita pikirkan secara arif dan bijak, dan jika perlu
haru_s segera dihentikan. Akibat yang tampak adalah pendidikan seni amat terkungkung,
sedemikian rasionalnya sehingga menjadi pendidikan kognitifyang tidak bercita rasa.
Dengan desain pengajaran, bahan pengajaran, dan periiaku diubah secara fragmentaris,
pencapaian tujuan dan penilaian yang tinier, dan terukur penuh dengan angka-angka yang
bersifat kuantitatif. Subtansi pendidikan seni sebagai upaya pendidikan melalui seni, menjadi
tenggelam digantikan dengan tujuan-tujuan yang linier. Keseluruhannya itu, dilaksanakan
sebagai akibat dari konsekuensi atau hasrat untuk merasionalisasi pendidikan seni. Akibat lebih
jauh lagi, tidaklah mengherankan jika pendidikan sem semakin lama semakin kurang mendapat
perhatian dan mendapat tempat di dalam kurikulum pendidikan secara menyeluruh. alasannya,
karena pendidikan seni kurang mendukung pendidikan rasional (karena sifat-sifatnya yang khas
irasional). Jika pun pendidikan sem dilaksanakan (dalam segala keterbatasannya) maka ia harus
tunduk pada kaidah model instruksional yang rasionalistik.
Dari jurusan lain, kita juga memahami, bahwa upaya masyarakat dan bangsa untuk
meneguhkan diri sendiri, mengemukakan dan menemukan identitas berdasarkan sejarah dan
warisan sosial-budayanya, tidak pemah hilang atau pupus begitu saja ketika berhadapan dengan
pengaruh luar. Dari berbagai bidang pengajaran, di antaranya pendidikan senilah yang dipandang
sesuai, relevan atau strategis bagi penerapan dan pelaksanaan harapan-harapan yang bersifat
budaya ini. Pendidikan seni dengan jumlah satuan waktu pengajaran yang terbatas kini menerima
beban besar bagi proses penyampaian atau pelaksanaan harapan budaya tersebut. Akibat yang
tampak adalah pendidikan seni semakin tertatih-tatih jalannya, karena sarat dengan beban.
Hampir semua jenis seni tradisional, tampaknya ingin dibebankan kepada pendidikan seni.
Pendidikan seni tidak lagi menjadi bidang pelajaran yang menyenangkan dan membanggakan,
tetapi menjadi beban demi pencapaian tujuan yang berlebihan untuk memperoleh pemahaman
dan kemahiran yang melebihi takarannya.
Beban itu menjadi semakin berat karena guru pendidikan seni tampaknya harus memikul
sendiri tanggung jawab itu. Sementara, para orang tua, memahami pendidikan sebagai investasi
bagi peningkatan kesejahteraan hidup secara ekonomi di masa depan. Bagi mereka, pendidikan
yang diharapkan dapat mendukung pencapaian cita-cita inilah yang harus diutamakan (lihat
misalnya fenomena kursus berbagai mata pelajaran yang dipandang bergengsi), sedangkan mata
pelajaran lainnya hanya dianggap sebagai pelengkap saja; boleh ada tetapi tidak harus ada.
Demikian pula media informasi yang sangat kuat pengaruhnya, seperti berbagai siaran televisi
lebih mengutamakan kebutuhan kepentingan pasar yang dipandang sangat menguntungkan
secara finansial, dengan melakukan berbagai komodifikasi dan melakukan manipulasi perilaku
manusia melalui aspek komunikasi pemasaran (marketing communication), daripada melakukan
activtas budaya yang signifikan bagi pendidikan.
5. Kesimpulan
Berhadapan dengan berbagai tantangan yang : telah dikemukakan di muka, beberapa
saran dikemukakan di sini sebagai penutup dalam pembahasan ringkas ini.
Pertama, sangat penting untuk: mengubah pemahaman pendidikan seni sebagai mata
pelajaran, atau juga sebagai bagian dari pendidikan saja, menjadi suatu pemahaman
paradigmatik. Pandangan yang bersifat paradigmatik ini menduduki posisi yang esensial,
terutama jika dipandang sebagai suatu gugusan sistem, konsep, teori, metode, dan cara
pendekatan yang mendasari arah dan memandu sikap dalam mengerjakan atau mempraktekkan
sesuatu yang patut dipilih dengan sikap dan komitmen bagi pengembangan ilmu pengetahuan
dan mengembangkan sumber daya manusia (lihat Kuhn, l 970). Paradigma yang tepat dan
sesuaia dengan sifatsifat sem dan pendidikan seni adalah kebudayaan. Paradigma budaya
merupakan suatu s istem keyakinan sebagai sudut atau cara memandang dan sekaligus cara bagi
menganalisis dan mengaudit pera.ncangan, proses pelaksanaan, dan keberhasilan pendidikan
seni. Dalam paradigma budaya, pendidikan seni dipandang, dianalisis, dan diaudit sebagai suatu
sistem yang menyeluruh, yang unsur-unsurnya. terkait satu dengan yang lainnya, manusia
(peserta didikan dan pendidik) dan lingkungannya dalam jagat kecil dan jagat besarnya.
Pandangan ini menempatkan manusia clan nilai-nilainya sebagai pusatnya, dalam kaitan dengan
unsur-unsur lainnya yang secara fungsional membentuk jaringan tempatan kehidupannya, tetapi
bersangkut-paut dengan jaringan dunia dan jagat semesta. artinya, jaringan kehidupan lokal
sebagai suatu sistem kehidupan merupakan bagian dari jaringan kehidupan manusia secara
menyeluruh; dan demikian juga sebaliknya.
Pendidikan seni sudah sepatutnya juga diarahkan untuk memproduksi diri sendiri yza.ng
berdasarkan kesenangan dan sekaligus bertumpu pada aspek kemanusiaan sebagai human
agency. Para pelaksana pendidikan (guru dan murid) bukan hanya bertindak sebagai penerima
saja, melainkan sebagai sumber atau sebagai pusat, sehingga akan justru semakin . tampak
dinamika pendidikan. Para pelaksana pendidikan ibaratnya masuk ke dalam permainan, sebagai
pemain, pemerhati, penganalisis, pengaudit, dan di sinilah, atau seperti itulah, seni menjadi
fungsional dalam pendidikan. Kita tidak semata-mata mengilmiahkan pendidikan, tetapi sangat
perlu juga untuk "menyenikan pendidikan"; suatu proses pemuliaan nilai kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. 1986. Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan. Jakarta: UI Press.
Alisjahbana, S. Takdir (ed.). 1983. Kreativitas. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Arieti, S. 1976. Creativity: The Magic Synthesis. New York: Basic Books. Inc.
Aronowitz, S. dan H. Horoux. 1991. Post Modern Education; Politics, Culture, and Socialism.
Minneapolis: University of Minneasota Press.
Bachtiar, H.W. 1986. "Bhinneka Tunggal Ika dalam Kebudayaan dan MasalahPersatuan
Bangsa". Dalam: analisis kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Badcock, CR. 1987. Kegilaan dan Modernitas; Kajian dalam Psikoanalisis Sosial.
Terjemahan. Jakarta: Arcan.
Barret, M. 1982. Art Education: A Strategy for Course Design. London: Heinnemann
Educational Books. Bauman, Richard. 1992. Folklore, Cultural Pe,formance and Popular
Entertainment (A Communication Centered Handbook). New York: Oxford
University Press.
Bertens, K. 2007 Etika. Jakarta: Penerbit PT Gramedi