Pesan moral yang lebih penting dari kutipan itu: tidak ada paksaan dalam melakukan korupsi. Artinya,
kalau seseorang melakukan korupsi, ia tidak boleh berdalih melakukannya karena terpaksa, katakanlah
karena gaji rendah. Hal lain yang juga ingin ditegaskan kutipan di atas: korupsi itu suatu tingkah laku
yang disengaja, bukan faktor kebetulan, yaitu tingkah laku yang dilandasi niat atau motivasi tertentu.
Bahkan kalau kita lihat dari hasil investigasi terhadap suatu perilaku korupsi, jelas sekali bahwa
perbuatan itu sudah direncanakan jauh hari sebelumnya.Tulisan ini ingin menyoroti perilaku korupsi dari
sudut pandang psikologi sebagai ilmu yang menjelaskan tingkah laku manusia. Pertama harus diperjelas
dulu apa pengertian korupsi tersebut.
Ada banyak pengertian dan definisi tentang korupsi, tergantung dari perspektif mana kita mau
mendefinisikannya. Bisa dari perspektif legal, ekonomi, atau politik.Secara umum pengertian korupsi
harus diletakkan dalam ranah publik.Artinya kalau Anda menggelapkan uang ayah atau paman Anda, itu
tidak bisa digolongkan sebagai korupsi, itu namanya penipuan atau pencurian biasa.Pengertian korupsi
sebenarnya selalu melekat dalam konteks publik.
Arrigo dan Claussen (2003) misalnya mendefinisikan korupsi sebagai mengambil atau menerima suatu
keuntungan buat diri sendiri yang tidak sah secara hukum dikarenakan individu tersebut mempunyai
otoritas dan kekuasaan. Jadi jelas dalam pengertian ini,segala bentuk penggelapan,pencurian terhadap
dana publik untuk menguntungkan diri sendiri adalah perbuatan korupsi.
Termasuk juga dalam pengertian ini ketika Anda menerima gratifikasi, suap dari orang lain supaya
kepentingan orang yang memberikannya Anda dahulukan (kepentingan publik diabaikan). Jadi otomatis
Anda bersikap tidak adil buat orang lain atau publik. Inti dari perbuatan korupsi adalah Anda
menyalahgunakan kekuasaan publik (abuse of political power or authority).
Tingkah laku yang tampak adalah semata-mata hasil respons seseorang terhadap stimulus dari
lingkungannya. Misalnya Anda berperilaku ikut antrean karena lingkungan (sebagai stimulus)
mengarahkan Anda untuk antre. Kalau tidak ikut antre,Anda akan menerima konsekuensi tidak
menyenangkan dalam bentuk hukuman dan sanksi.
Begitu pula sebaliknya kalau Anda ikut antre akan menerima konsekuensi menyenangkan (dalam bentuk
hadiah atau pujian). Pola tingkah laku akan stabil mengikuti logika konsekuensi dari imbalan dan
hukuman ini. Pandangan ini dianggap terlalu pasif sehingga timbul pandangan lain yang bernama socio-
cognitive approach.
Pandangan ini menambahkan, selain ditentukan oleh mekanisme imbalanhukuman (reward and
punishment) dari lingkungan yang terkesan sangat sederhana, dalam bertingkah laku individu juga
ditentukan oleh struktur kognitif yang banyak ia pelajari lewat proses sosial. Teori yang lain, teori
kepribadian, menambahkan bahwa individu adalah insan yang mempunyai sifat-sifat (traits) unik
tertentu yang membedakan suatu orang dengan orang lain.
Dalam kasus korupsi,secara psikologis, tentu menjadi jelas bahwa perbuatan menyalahgunakan
wewenang tersebut bisa saja terjadi karena individu tersebut sudah memiliki kecenderungan (sifat)
untuk berbuat curang. Ini kalau penjelasannya kita alamatkan kepada karakteristik kepribadian.
Pertanyaannya: mengapa orang yang katanya baik-baik ternyata korupsi juga? Kaum behavioris
mengatakan, berarti lingkunganlah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi
dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini
malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan
kekuasaannya.
Tentunya menjadi jelas ketika sistem tidak secara kuat memberikan hukuman terhadap pelanggaran dan
imbalan terhadap sebuah prestasi, tingkah menyimpang (korupsi) malah akan diulangulang karena akan
memberikan konsekuensi yang menyenangkan. Kedua,pengaruh dari iklim koruptif di tingkat meso
(misalnya kelompok, departemen). Ketiga karena faktor kepribadian.(*)
New.
c) Dampak Politik
Terjadinya distorsi kepentingan pada lembaga politik tempat proses legislasi berlangsung. Karena para
wakil rakyat yang dipilih melalui proses pemilu yang tidak sepenuhnya jujur, adil dan sikap koruptif
menjadi bagian tak terpisahkan di dalamnya. Karena itu, elit dan lembaga politik punya kecenderungan
mengabaikan aspirasi rakyat dan konstituennya. Dalam konteks ini, menarik untuk memperhatikan
sinyalemen yang diajukan ICW, kini, tengah terjadi, korupsi oligarki ke korupsi multipartai dan situasi ini
menjadi faktor penghambat utama proses reformasi untuk keluar dari krisis multidemensi.
Fakta di atas membuat lembaga legislatif menjadi tidak kredibel dan rakyat menjadi distrust. Karena itu,
tidaklah mengherankan bila ada banyak kasus yang sulit dibantah, ada dugaan terjadinya politik uang
pada berbagai pemilihan kepala daerah.
Berbagai kasus di atas menunjukan beberapa hal lain yang selalu menyertai isu korupsi, yaitu: adanya
proses "tarik-menarik" kepentingan antara elit partai di pusat dan kepentingan elit partai di daerah,
proses pembelajaran politik di dalam mengelola konsolidasi partai, tiadanya kewenangan yang tidak
jelas antara pusat dan daerah serta sejauhmana mekanisme kontrol terhadap penggunaan kewenangan
bisa dilakukan. Dalam sisi inilah, argumen Klitgaard untuk mengatur otoritas, diskresi dan akuntabilitas
secara jelas dan tegas menjadi relevan.
Secara keseluruhan, di dalam perspektif politik, korupsi mendistorsi proses-proses politik, menggantikan
kebijakan yang berfokus pada persaingan politik dengan hubungan pelindung-klien. Dampak utama lain
dari proses di atas, berbagai kebijakan yang dihasilkan lembaga politik akan kehilangan moralitasnya,
tidak berpihak pada daulat rakyat dan rakyat kian tidak percaya pada proses politik. Pada titik ini, kisruh
dan rusuh akan kian meningkat, distabilitas makin meluas dan kekuasaan tinggal menunggu saat untuk
dilengserkan.
d) Dampak Hukum
Dalam konteks hukum, dampak yang paling nyata adalah makin meluasnya ketidakpercayaan rakyat
pada lembaga penegak hukum. Karena itu tidaklah mengherankan bila penyelesaian sepihak dengan
menggunakan kekerasan menjadi salah satu modus yang kerap dipakai oleh masyarakat untuk
mewujudkan keadilan versi mereka. Lembaga peradilan terus menerus mendapat tekanan dan
cemoohan dari publik, karena justru membebaskan para koruptor, memberi peluang untuk tidak
diperiksa hanya dengan alasan kesehatan, diperiksa di pengadilan tanpa hadirnya terdakwa atau in
absentia. Pendeknya hukum dituding menjadi diskriminatif dan keadilan potensial "diperjual-belikan".
Ketidakmampuan serta proses penegakan hukum menegakkan eksistensinya juga berdampak langsung
pada peningkatan kecemasan masyarakat dan peningkatan angka kriminalitas. Nyawa manusia menjadi
kian "murah' saja, karena hanya dengan ratusan ribu saja, orang rela melakukan tindak kriminal untuk
membunuh orang lain. Akibat yang paling mengkhawatirkan, setiap masalah atau pertikaian pendapat
yang muncul diselesaikan dengan kekerasan sehingga kerusuhan terjadi di mana-mana.
Hukum tidak lagi bersifat responsif, tetapi instrumen untuk memperluas kewenangan kekuasaan
"memeras" rakyat atas nama peraturan daerah dan melegalisasi kesewenangan. Hukum dimaknai
bekerja secara prosedural tetapi kehilangan makna substantif dan spiritualitasnya.
Akibat lebih lanjut lainnya, judicial corruption juga bisa berkaitan dengan proses investasi. Para investor
banyak yang tidak mau mengambil resiko di bidang bisnis tanpa jaminan kepastian hukum. Kepastian itu
tidak hanya di dalam relasinya dengan kepentingan kekuasaan saja dan berkaitan dengan perlindungan
usaha atas proyek yang melibatkan pemerintahan, tetapi juga jaminan kepastian hukum bila terjadi
sengketa dengan rekan bisnisnva maupun dengan para customer-nya.
Begitu luas dampak korupsi karena terjadi pembiaran terhadap kejahatan korupsi, belum maksimalnya
usaha serius dari pemerintah untuk memberantas korupsi secara sistematik, baik itu pada pemerintahan
Orde Baru (Orba) maupun saat setelah terjadinya reformasi. Baru kemudian presiden terpilih secara
langsung menyatakan secara terbuka komitmennya untuk melakukan pemberantasan korupsi.
2) Problem Hukum
Pertama bekaitan dengan aparat:
Selama ini banyak penegak hukum yang berpandangan legalistis formal sehingga dalam memeriksa dan
memutus suatu pekara korupsi sering mengabaikan rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat. Hal ini
didukung kondisi solidaritas korps (esprit de corps) yang berlebihan di antara sesama aparat penegak
hukum, jika terjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang melibatkan rekan seprofesi. Sehingga tidak
heran jika sedikit kasus KKN yang melibatkan aparat penegak hukum diselesaikan melalui mekanisme
peradilan. Apalagi tidak ada mekanisme yang jelas terhadap pemberian sanksi kepada penegak hukum
(hukumannya tidak membuat jera). Selain itu, juga tidak adanya mekanisme yang transparan untuk
menguji produk hukum yang diduga hasil KKN.
Kedua berkaitan dengan kelembagaan:
Perbedaan penafsiran tentang siapa yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan tindak pidana
korupsi masih sering terjadi. Hal ini disebabkan karena belum adanya kerjasama yang baik antara para
penegak hukum. Begitu pula dalam penyidikan korupsi antara penegak hukum sering terjadi perbedaan
penafsiran sehingga proses penyelesaian perkara korupsi menjadi lamban. Apalagi antara penyidik
korupsi belum ada koordinasi yang baik sehingga terkesan saling menunggu dan tidak proaktif. Faktor
penting lainnya adalah tindak pidana korupsi belum dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa.
Ketiga problem kultur:
Budaya patronase yang dominan dalam masyarakat berpengaruh pada terjadinya korupsi. Budaya "tepo
seliro", tenggang rasa yang tinggi mengakibatkan tidak tumbuhnya sikap kritis terhadap kondisi di
lingkungannya. Ditunjang kondisi sikap masyarakat yang permisif menganggap tidak pantas menanyakan
asal muasal "rezeki" orang di sekelilingnya. Selain hal tersebut, kentalnya budaya "sowan" dengan
membawa upeti dianggap merupakan kewajiban bagi bawahan atau orang yang memerlukan jasanya.
Dan sikap penghormatan yang salah tempat atau berlebihan dengan budaya eufemisme seperti
menghaluskan (perbuatan minta uang sogok dengan diucapkan sebagai minta uang terima kasih).
Keempat political will dari pemerintah:
- Tidak adanya sikap tegas dari pemerintah untuk menindak pelaku korupsi yang melibatkan pejabat
tinggi.
- Tidak adanya sikap keteladanan dari pemerintah pejabat tinggi yang tersangkut korupsi harus
sementara mengundurkan diri.
- Adanya keengganan pejabat tinggi untuk menyatakan menolak suap.