LAPORAN KASUS
I. STATUS PENDERITA
Nomor Rekam Medik : 10.10.24
Tanggal dan Pukul Masuk RS DKT : 17 Mei 2017 /13.00 WIB
I. ANAMNESIS
a. Identitas Pasien
Nama : Nn. M
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 20 tahun
Agama : Islam
Suku : Lampung
Alamat : Jalan Sultan Haji, Sukabanjar II
Nama Ayah : Tn. I
Umur : 42 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Nama Ibu : Ny.Z
Umur : 40 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
b. Riwayat Penyakit
Keluhan Utama :
Nyeri tenggorokan dan sulit menelan
Keluhan Tambahan :
Demam, sulit membuka mulut, nyeri saat mengunyah, tidak nafsu makan, lemas,
nyeri kepala, nyeri telinga sebelah kanan, nyeri pada leher atas kanan.
1
Pasien datang dengan keluhan nyeri pd tenggorokan dan sulit menelan
sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga kesulitan membuka
mulut dan hanya dapat makan makanan yang lunak dan air serta terasa nyeri saat
mengunyah sejak 4 hari terakhir. Pasien mengeluhkan demam sejak 1 minggu,
terus menerus sepanjang hari yang turun jika meminum obat penurun panas.
Demam tidak disertai menggigil dan berkeringat. Demam juga tidak disertai
dengan kekakuan otot dan kejang.
Pasien juga mengeluhkan lemas, tidak nafsu makan, serta nyeri kepala
yang dirasakan di seluruh kepala, berdenyut dan hilang timbul, nyeri telinga
sebelah kanan.Sejak 2 hari terakhir pasien juga mengeluhkan kesulitan untuk
menoleh kanan dan disertai rasa nyeri di leher bagian atas kanan.
Riwayat digigit binatang (-) mual muntah (-), riwayat epistaksis (-), , perdarahan
gusi (-), hematuria (-), riwayat perjalanan ke pantai (-).
Riwayat Keluarga :
Tidak ada riwayat penyakit di keluarga
B. Pemeriksaan Fisik
a. Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Suhu : 37,7oC
Frekuensi nadi : 96 x/menit (kuat, regular)
2
Frekuensi nafas : 24 x/ menit
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Berat Badan : 55 kg
Panjang Badan : 159 cm
Lingkar Lengan : 19 cm
Status gizi : IMT/U
IMT = BB/ (TB)
= 55/ 2,53
= 21,74
Umur 20 tahun
(-1SD median) = gizi normal
b. Status generalis
Kelainan Mukosa Kulit / Subkutan yang Menyeluruh
Pucat : Tidak ada
Sianosis : Tidak Ada
Ikterus : Tidak Ada
Oedem : Tidak Ada
Turgor : Normal
Pembesaran KGB : Tidak terdapat pembesaran
KEPALA
Muka : Normal
Rambut : Tumbuh Normal, warna hitam
Ubun ubun Besar : Lunak, tidak cekung
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : Simetris, tidak ada serumen
Hidung : Septum Deviasi (-), sekret (-), nch (-)
Mulut : derajat trismus II Tonsil T3-T2 hiperemis (+/-)
uvula terdorong ke kiri, bibir kering (-) , faring
hiperemis (-), lidah kotor (-)
3
LEHER
Leher : Simetris,
Trachea : Deviasi trakea (-), tanda infeksi (-), massa (-),
KGB : Pembesaran (-)
THORAKS
Bentuk : Simetris
Retraksi suprasternal : Tidak ada
Retraksi substernal : Tidak ada
Retraksi intercostal : Tidak ada
Retraksi subcostal : Tidak ada
JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat, massa (-)
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I dan BJ II reguler, murmur (-), gallop (-)
PARU
Inspeksi : Pernapasan simetris, massa (-)
Palpasi : Fremitus taktil kanan= kiri, NT (-)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+), wheezing (-), rhonki (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Datar dan lemas, massa (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-) Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus normal
GENITALIA EKSTERNA
Tidak dilakukan pemeriksaan
4
EKSTREMITAS
Superior : Edema tidak ada, sianosis tidak ada, CRT <2
Inferior : Edema tidak ada, sianosis tidak ada, crt< 2
c. Status Neurologis
c) Reflek Fisiologis: Patella +/+, Achilles +/+, Bisep +/+, Trisep +/+
Reflek Patologi: Babinski -/-, Chaddock -/-, Gordon -/-, Gonda -/-,
Oppenheim -/-
e) Otonom
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
Salivasi : Normal
D. Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin tanggal 17 Mei 2017
Hemoglobin : 10.5 gr/dl
Hematokrit : 30%
Trombosit : 390.000/ul
Leukosit : 12.700/ Ul
LED : 8%
Hitung jenis
5
Basofil 0%
Eosinofil 1%
Batang 0%
Segmen 76%
Limfosit 18 %
Monosit 5%
E. Resume
Pasien Nn. M umur 20 tahun datang bersama orang tua ke DKT dengan
keluhan nyeri tenggorokan dan sulit menelan sejak 1 minggu SMRS, demam (+),
sulit membuka mulut, sakit kepala, tidak nafsu makan, lemas, nyeri saat
mengunyah, nyeri telinga sebelah kanan, kesulitan menoleh ke kanan dan nyeri
pada leher kanan atas.
Diagnosis Kerja:
Abses peritonsil dextra
Diagnosis Banding:
1. Abses retrofaring
2. Abses parafaring
3. Abses submandibula
4. Angina ludovici
Penatalaksanaan
- IVFD RL makro 20 tpm
- Inj. Ceftizoxime 1gr/12 jam
6
- Inj. Dexamethason 1amp/ 8 jam
- Inj. Tramadol 1 amp/ 8 jam drip
- Inj. Ranitidine 1amp/12 jam
Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungtionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
FOLLOW UP PASIEN
7
1amp/ 8 jam
O/ - Inj. Tramadol 1
Status Present amp/ 8 jam drip
Inj. Ranitidine
KU : Tampak sakit sedang
1amp/12 jam
Kes : Compos mentis
T : 37,6oC
HR : 96x/menit,
RR : 24x/menit,
TD : 110/70 mmhg
Status Generalis
Kepala : Ubun-ubun cekung (-)
Muka : Simetris
Mata : Anemis (-)
Hidung : Septum deviasi (-)
Mulut : trismus derajat II
Perdarahan gusi (-) tonsil
T3-T2, hiperemis (+),
uvula terdorong ke kiri.
Leher : Pembesaran KGB (-)
Dada : Simetris, retraksi (-)
Paru
I : Simetris
P : Ekspansi Simetris, NT (-)
P : Sonor
A : Vesikuler (+), Ronkhi
(-/-) Wheezing (-/-)
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba
P : Pembesaran jantung (-)
A : BJ I/II Reguler, Murmur
(-)
Abdomen
I : Datar
A : Bising usus (+)
P : Organomegali (-), NT (-)
P : Timpani (+)
8
Ekstremitas
Superior : CRT >2, edema (-),
akral hangat
Inferior : CRT >2, edema (-), akral
hangat
A/
Abses peritonsil dextra
18 Mei 2017 S/ Os mengeluh nyeri tenggorokan P/
09.00 WIB berkurang, sulit menelan berkurang, - IVFD RL makro
sulit membuka mulut berkurang, 20 tpm
- Inj. Cefotaxime
nyeri kepala (-) demam (-) nafsu
1gr/12 jam
makan meningkat, lemas
- Inj.
berkurang, leher dapat digerakkan
Dexamethason
dengan bebas, nyeri saat
1amp/ 8 jam
menggerakkan leher berkurang - Inj. Tramadol 1
amp/ 8 jam drip
O/
- Inj. Ranitidine
Status Present 1amp/12 jam
KU : Tampak sakit sedang
Kes : Compos mentis
T : 36.5 oC
HR : 80x/menit,
RR : 20x/menit,
TD : 110/80 mmhg
Status Generalis
Kepala : Ubun-ubun cekung (-)
Muka : Simetris
Mata : Anemis (-)
Hidung : Septum deviasi (-)
Mulut : trismus derajat III
Perdarahan gusi (-) tonsil
T2-T1, hiperemis (+),
9
uvula terdorong ke kiri.
Leher : Pembesaran KGB (-)
Dada : Simetris, retraksi (-)
Paru
I : Simetris
P : Ekspansi Simetris, NT (-)
P : Sonor
A : Vesikuler (+), Ronkhi
(-/-) Wheezing (-/-)
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba
P : Pembesaran jantung (-)
A : BJ I/II Reguler, Murmur
(-)
Abdomen
I : Datar
A : Bising usus (+)
P : Organomegali (-), NT (-)
P : Timpani (+)
Ekstremitas
Superior : CRT >2, edema (-),
akral hangat
O/ 1amp/ 8 jam
- Inj. Tramadol 1
Status Present amp/ 8 jam drip
KU : Tampak sakit sedang - Inj. Ranitidine
Kes : Compos mentis 1amp/12 jam
T : 36.5oC
HR : 96x/menit,
10
RR : 24x/menit,
TD : 110/80 mmhg
Status Generalis
Kepala : Ubun-ubun cekung (-)
Muka : Simetris
Mata : Anemis (-)
Hidung : Septum deviasi (-)
Mulut : trismus (-) Perdarahan
gusi (-) tonsil T2-T1,
hiperemis (-/-), uvula
tenang.
Leher : Pembesaran KGB (-)
Dada : Simetris, retraksi (-)
Paru
I : Simetris
P : Ekspansi Simetris, NT (-)
P : Sonor
A : Vesikuler (+), Ronkhi
(-/-) Wheezing (-/-)
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba
P : Pembesaran jantung (-)
A : BJ I/II Reguler, Murmur
(-)
Abdomen
I : Datar
A : Bising usus (+)
P : Organomegali (-), NT (-)
P : Timpani (+)
Ekstremitas
Superior : CRT >2, edema (-),
akral hangat
Inferior : CRT >2, edema (-), akral
hangat
A : Abses peritonsil dextra
11
membuka mulut (-), nyeri kepala (-) - As. Mefenamat
demam (-) nafsu makan (+), lemas 3x1
(-), nyeri saat menggerakkan leher - Ranitidin tab 2x1
(-)
O/
Status Present
KU : Tampak sakit sedang
Kes : Compos mentis
T : 36.5oC
HR : 96x/menit,
RR : 24x/menit,
TD : 110/80 mmhg
Status Generalis
Kepala : Ubun-ubun cekung (-)
Muka : Simetris
Mata : Anemis (-)
Hidung : Septum deviasi (-)
Mulut : trismus (-) Perdarahan
gusi (-) tonsil T2-T1,
hiperemis (-/-), uvula
tenang.
Leher : Pembesaran KGB (-)
Dada : Simetris, retraksi (-)
Paru
I : Simetris
P : Ekspansi Simetris, NT (-)
P : Sonor
A : Vesikuler (+), Ronkhi
(-/-) Wheezing (-/-)
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba
P : Pembesaran jantung (-)
A : BJ I/II Reguler, Murmur
(-)
12
Abdomen
I : Datar
A : Bising usus (+)
P : Organomegali (-), NT (-)
P : Timpani (+)
Ekstremitas
Superior : CRT >2, edema (-),
akral hangat
Inferior : CRT >2, edema (-), akral
hangat
A : Abses peritonsil dextra
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI TONSIL
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual yang ketiga- tiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. (4)
14
Gambar 2. Cincin Waldeyer (6)
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: (2)
15
1.2 Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral
adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yang tipis
ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus
glosofaringeal. (3)
1.3 Pendarahan
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal
dan bagian posterior oleh arteri palatina ascenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri
faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus
vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. (3)
16
Gambar 4. Vaskularisasi Tonsil (7)
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada. (3)
Gambar 5.
Aliran limfe kepala dan leher(8) Gambar 6. Persarafan Tonsil(7)
1.5 Persarafan
17
jaringan tonsilar.(9) Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4
area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel
limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid.(3) Tonsil merupakan organ
limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang
sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu 1) menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. (10)
2. FISIOLOGI TONSIL
18
2.1 Mekanisme Pertahanan Non Spesifik
19
hipersensitifitas tipe 1, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema. Dengan
teknik immunoperoksidase, dapat diketahui bahwa IgE dihasilkan dari plasma sel,
terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil.
Mekanisme kerja IgA adalah mencegah substansi masuk ke dalam proses
immunologi, sehingga dalam proses neutralisasi dari infekusi virus, IgA
mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu IgA merupakan barrier
untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.
3. ABSES PERITONSIL
3.1 Definisi
3.2 Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya
kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. (4) Abses peritonsil
disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme
anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan
Peptostreptococcus sp. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik. (11) Sedangkan virus
yang dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain Epstein-Barr, adenovirus,
influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.
20
Gambar 7. Dari kiri ke kanan : Abses peritonsil sinistra, Abses peritonsil
dextra (12)
3.3 Prevalensi
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun,
namun paling sering terjadi pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi
kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa
menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini
memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika insiden
tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
kemungkinan hampir 45.000 kasus setiap tahun. (1)
3.4 Patologi
21
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium
permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan
mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi
kontra lateral.(4)
Gejala klasik dimulai 3-5 hari, waktu dari onset gejala sampai terjadinya
abses sekitar 2-8 hari. Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke
arah garis tengah dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di
palatum mole. Terdapat riwayat faringitis akut, tonsilitis, dan rasa tidak nyaman
pada tenggorokan atau faring unilateral yang semakin memburuk. Kebanyakan
pasien menderita nyeri hebat.
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan odinofagia
yang menyolok dan spontan. Hot potato voice, mengunyah terasa sakit karena m.
Masseter menekan tonsil yang meradang, sakit kepala, rasa lemah, dehidrasi,
nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, mulut berbau (foetor ex orae), muntah
(regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara
(4)
sengau (rinolalia) karena oedem palatum molle yang terjadi karena infeksi
menjalar ke radix lingua dan epiglotis atau oedem perifokalis, dan kadang-kadang
sukar membuka mulut (trismus) yang bervariasi, trismus menandakan adanya
inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan
22
spasme muskulus tersebut. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari
trismus. Pernafasan terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan
submukosa faring. Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring jarang terjadi.
Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih berat dan lebih
menakutkan. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan
nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis). (14)
4.6 Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
23
3. Pemeriksaan Penunjang (14)
Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan
antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotik.
24
Gambar 8. Foto lateral
soft tissue dengan gambaran
abses peritonsil (15)
25
Gambar 10. Ultrasonografi
dari abses peritonsil (15)
1. Abses retrofaring
2. Abses parafaring
3. Abses submandibula
4. Angina ludovici
4.8 Terapi
e) Pemberian steroid.
26
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin
pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur
mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan drug of chioce pada
abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika dikombinasikan dengan
metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg IV tiap 6 jam
selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis
awal untuk dewasa 15 mg/kg dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan
infus 7,5 mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari
4 gr/hari.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
di insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan
dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan
supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera
gejala-gejala pasien.
27
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia
lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi
tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase
abses disebut tonsilektomi a tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah
drainase abses disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses. (4)
28
dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan
mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan
(throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya
diberi antibiotik parenteral. (1)
4.9 Komplikasi
4.10 Prognosis
29
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian
kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan
aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi ke intrakranial juga dapat membahayakan
nyawa pasien. (14)
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien juga kesulitan membuka mulut (trismus) dan hanya dapat makan
makanan yang lunak dan air. Trismus menandakan adanya inflamasi dinding
lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme muskulus
tersebut. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Terasa nyeri
saat mengunyah karena m. Masseter menekan tonsil yang meradang. (14)
30
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan pasien dalam keadaan tampak sakit
sedang dan kesadaran compos mentis, suhu 37,6oC, frekuensi nadi 96 x/ menit,
frekuensi nafas 24 x/ menit, berat badan 50 kg, tinggi badan 159 cm dan status
gizi baik. Pada pemeriksaan kepala, trismus derajat II, tonsil T3-T2 hiperemis
(+/-), uvula terdorong ke kiri. Leher tidak didapatkan kelainan, thorak, jantung,
dan paru tidak ditemukan kelainan, dan pada pemeriksaan abdomen tidak teraba
hepar dan lien membesar.
31
tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase
abses disebut tonsilektomi a tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah
drainase abses disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses. (4)
32
DAFTAR PUSTAKA
4. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan:
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2007.
33
7. Staff. Palatine Tonsil. Available at: http://www.webmd.com . Accessed on
September 23th, 2012.
9. Eibling, D.E. The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus dalam Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edition. New York: McGraw
Hill Medical Publishing Division; 2003.
10. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar,
H.N. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta: Health Technology
Assessment (HTA) Indonesia; 2004.
11. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi III Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1998.
13. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
IV. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994.
14. Kartosoediro S, Rusmarjono. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
34