Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:

1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu


yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.1

Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan kolesistitis kronik.
Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut dan kronik.
Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan gejala yang lebih
nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik
merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat
hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.1

2.2 Patogenesis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis
akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan
stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya
batu empedu. Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu
empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan drainase
limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan banyak faktor
yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin
yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan
supurasi.1,2

Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan empedu, stasis
empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor
terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hati
penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol
yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti
sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan
kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme
sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada
kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih lambat. Infeksi
bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui
peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih
sering sebagai akibat adanya batu empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu
empedu.4

Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa teori telah
diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini. Penyebab utama penyakit ini
dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam
kondisi kritis lebih mungkin terkena kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu
akibat demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam jangka
waktu lama sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin
untuk kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin
merupakan hasil dari tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada
pasien dengan puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan
stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung empedu,
sehingga empedu pekat tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang
terjadi akibat lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga
berperan dalam patogenesis kolesistitis akalkulus.5

Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan endotoksin


dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang luas, dan hilangnya
mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang menyertai. Endotoksin juga
menghilangkan respons kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan
stasis kandung empedu.5

2.3 Diagnosis

Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian atas yang
bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari pertolongan ke unit gawat
darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut juga sering merasa mual dan muntah serta
pasien melaporkan adanya demam. Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada
beberapa pasien menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula
dari regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ). Meskipun
nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan menetap pada semua
kasus kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit yang didapatkan sangat
terbatas. Seringkali, banyak pasien sangat kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik)
dan tidak bisa menceritakan riwayat atau gejala yang muncul.6,7

Gambar 2.1 Algoritma diagnosis kolesistitis8

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan atas abdomen,
dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran kanan atas saat inspirasi
seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat yang menyebabkan pasien berhenti
menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis
lokal dan demam.6,7

Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan


leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien, ditemukan
peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase
(ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di duktus biliaris.2,6,7

Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi (USG),


computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran empedu. Pada USG, dapat
ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu, adanya cairan di perikolesistik,
dan tanda Murphy positif saat kontak antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas.
Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.1,7

Gambar 2.2 Pemeriksaan USG pada kolesistitis9

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu memperlihatkan
adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat dengan pemeriksaan
USG. Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99m Tc6
Iminodiacetic acid mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih rendah daripada USG dan
juga lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya
gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau skintigrafi sangat
menyokong kolesistitis akut.1,3
Gambar 2.3 Koleskintigram normal9

Gambar 2.4 Gambaran 99mTc-HIDA scan yang memperlihatkan tidak adanya pengisian
kandung empedu akibat obstruksi duktus sitikus9
Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis adalah:10

Gejala dan tanda lokal


o Tanda Murphy
o Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
o Massa di kuadran kanan atas abdomen
Gejala dan tanda sistemik
o Demam
o Leukositosis
o Peningkatan kadar CRP
Pemeriksaan pencitraan
o Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi

Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil USG atau skintigrafi
yang mendukung.10

2.4 Diagnosis Banding


Diagnosis banding untuk kolesistitis diantaranya adalah:
Aneurisma aorta abdominal
Iskemia messenterium akut
Apendisitis
Kolik bilier
Kolangiokarsinoma
Kolangitis
Koledokolitiasis
Kolelitiasis
Mukokel kandung empedu
Ulkus gaster
Gastritis akut
Pielonefritis akut3

2.5 Komplikasi
Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang tersumbat.
Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin dan ditandai dengan lebih
tingginya demam dan leukositosis. Adanya empiema kadang harus mengubah metode
pembedahan dari secara laparoskopik menjadi kolesistektomi terbuka.
Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu berukuran
besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum terminal atau di
duodenum dan atau di pilorus.
Kolesistitis emfisematous, terjadi pada 1% kasus dan ditandai dengan adanya udara
di dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil gas seperti Escherichia
coli, Clostridia perfringens, dan Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada
pasien dengan diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus
(28%). Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan
kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.
Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis. 3

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya dan ada tidaknya


komplikasi. Kolesistitis tanpa komplikasi seringkali dapat diterapi rawat jalan, sedangkan pada
pasien dengan komplikasi membutuhkan tatalaksana pembedahan. Antibiotik dapat diberikan
untuk mengendalikan infeksi. Untuk kolesistitis akut, terapi awal yang diberikan meliputi
mengistirahatkan usus, diet rendah lemak, pemberian hidrasi secara intravena, koreksi
abnormalitas elektrolit, pemberian analgesik, dan antibiotik intravena. Untuk kolesistitis akut
yang ringan, cukup diberikan terapi antibiotik tunggal spektrum luas. Pilihan terapi yang dapat
diberikan:3

Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin, meropenem. Pada kasus


berat yang mengancam nyawa direkomendasikan imipenem/cilastatin.
Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah dengan
metronidazol.
Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric suction.
Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin intravena.3

Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat jalan dengan
syarat:
1. Tidak demam dan tanda vital stabil
2. Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium.
3. Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.
4. Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi
imunokompromis.
5. Analgesik yang diberikan harus adekuat.
6. Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas medik.
7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.3

Gambar 2.5 Algoritma penatalaksanaan kolesistitis akut8

Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:

Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.


Antiemetik, seperti prometazin atau proklorperazin, untuk mengkontrol mual
dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit.
Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.3

Terapi pembedahan yang diberikan jika dibutuhkan adalah kolesistektomi.


Kolesistektomi laparoskopik adalah standar untuk terapi pembedahan kolesistitis. Penelitian
menunjukkan semakin cepat dilakukan kolesistektomi laparoskopik, waktu perawatan di
rumah sakit semakin berkurang.
Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:

Resiko tinggi untuk anestesi umum


Obesitas
Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses, peritonitis, atau
fistula
Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati yang
berat.3

Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan, drainase perkutaneus
dengan menempatkan selang (tube) drainase kolesistostomi transhepatik dengan bantuan
ultrasonografi dan memasukkan antibiotik ke kandung empedu melalui selang tersebut dapat
menjadi suatu terapi yang definitif. Hasil penelitian menunjukkan pasien kolesistitis akalkulus
cukup diterapi dengan drainase perkutaneus ini.3

Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi. Metode endoskopi
dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaan endoscopic retrograde
cholangiopancreatography dapat memperlihatkan anatomi kandung empedu secara jelas dan
sekaligus terapi dengan mengeluarkan batu dari duktus biliaris. Endoscopic ultrasound-guided
transmural cholecystostomy adalah metode yang aman dan cukup baik dalam terapi pasien
kolesistitis akut yang memiliki resiko tinggi pembedahan. Pada penelitian tentang endoscopic
gallbladder drainage yang dilakukan oleh Mutignani et al, pada 35 pasien kolesistitis akut,
menunjukkan keberhasilan terapi ini secara teknis pada 29 pasien dan secara klinis setelah 3
hari pada 24 pasien.3

2.7 Prognosis

Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung empedu


menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi
kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang menjadi gangren, empiema
dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum secara cepat. Hal ini
dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah
akut pada pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping
kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati


S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.
2. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary Colic in
Emergency Medicine. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.
3. Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview.
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol 1. Edisi
keempat. Jakarta: EGC, 1994.
5. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis. [Diakses pada: 1 Juni
2011]. http://emedicine.medscape.com/article/187645-overview.
6. Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et al.
Background: Tokyo guidelines for the management of acute cholangitis and
cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 1-10.
7. Vogt DP. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment. Cleveland Clinic
Journal of Medicine vol. 69 (12); 2002.
8. Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al. Flowchart for
the diagnosis and treatment of acute cholangitis and cholecystitis: Tokyo Guidelinex. J
Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 27-34.
9. Khan AN, Karani J, Patankar TA. Acute Cholecystitis Imaging. [Diakses pada: 1 Juni
2011]. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview.
10. Strasberg SM. Acute Calculous Cholecystitis. N Engl J Med 358 (26); 2008.

Anda mungkin juga menyukai