Ruptur Uteri

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 13

Referat

RUPTURA UTERI

PEMBIMBING:
dr. M Farid Sp.OG

Penyusun:
Kent Chandra 030.06.138
Wulan Mega Gustira 030.06.279
Vrenda Alia 030.07.268

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


PERIODE 5 MARET 2012 12 MEI 2012
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN

Ruptura uteri pada kehamilan, merupakan salah satu dari komplikasi obstetri yang
sangat serius. Komplikasi ini berhubungan erat dengan angka kematian dan angka
kesakitan dari bayi dan ibu bersalin. Jika pasien dapat selamat, fungsi reproduksinya
dapat berakhir dan proses penyembuhannya sering kali memakan waktu yang cukup
lama. Angka kejadian ruptura uteri di negara-negara yang sedang berkembang sangat
tinggi, bila dibandingkan dengan Negara-negara maju yaitu 1 : 1.250 hingga 1 : 1.2000.1
Hal ini disebabkan karena rumah sakit rumah sakit di Indonesia menampung banyak
kasus-kasus darurat dari luar. 1
Sebagai penyebab utama terjadinya ruptura uteri adalah trauma dorongan, yang
biasanya dilakukan oleh para dukun saat menolong persalinan. Hal ini sesuai dengan
kesimpulan dari Hassel pada penelitian tentang ruptura uteri di daerah Jawa Tengah.1
Berdasarkan kepustakaan yang ada beberapa faktor yang merupakan penyebab
terjadinya ruptura uteri di antaranya adalah : 1) parut uterus (seksio sesaria, miomektomi,
abortus sebelumnya), 2) trauma (kelahiran operatif: versi, ekstraksi bokong, forceps
perangsangan oksitosin yang berlebihan, kecelakaan, pemasangan misoprostol yang
berlebihan), 3) ruptura uteri spontan yang tidak berparut (disproporsi kepala panggul,
malpresentasi janin, anomaly janin, leiomioma uteri dan distosia bahu), 4) faktor-faktor
lain (plasenta akreta, inkreta,panyakit trofoblas invasif).1
Dari beberapa kepustakaan disebutkan bahwa multipara merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya ruptura uteri. Hal ini mungkin disebabkan karena pada
multipara dinding uterus sudah lemah, karena persalinan sebelumnya menyebabkan luka-
luka kecil sehingga di tengah-tengah miometrium terdapat penambahan jaringan ikat
yang mengakibatkan kekuatan dinding uterus menjadi berkurang; akibat selanjutnya pada
waktu terjadi regangan saat persalinan berikutnya lebih mudah terjadi ruptura uteri.1
Sebagai tindakan terapi terdapat 2 pilihan yakni: histerektomi atau histerorafi.
Yang lebih banyak dikerjakan adalah histerektomi dibandingkan dengan histerorafi.
Alasan dipilih histerektomi adalah adanya kekhawatiran terjadinya ruptura uteri kembali
pada kehamilan berikutnya.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Lazimnya kita membedakan antara ruptura uteri yang lengkap dan tidak lengkap,
tergantung apakah laserasi tersebut berhubungan dengan kavum peritonei (lengkap)
atau dipisahkan dari kavum tersebut oleh peritoneum viseralis uterus atau oleh
ligamentum kardinale (tidak lengkap). Tentu saja ruptura uteri yang tidak lengkap bisa
saja menjadi lengkap.2
Kita juga harus membedakan antara ruptura jaringan parut bekas seksio sesarea
dan dehisensi jaringan parut bekas seksio sesarea. Ruptura paling tidak berarti
pelepasan atau pemisahan luka insisi lama di sepanjang uterus dengan robeknya selaput
ketuban sehingga kavum uteri berhubungan langsung dengan kavum peritoneum. Pada
keadaan ini seluruh atau sebagian janin mengalami ekstrusi ke dalam kavum
peritoneum. Disamping itu, biasanya terjadi perdarahan yang masif dari tepi jaringan
parut atau dari perluasan robekan yang mencapai bagian uterus yang tadinya tidak apa-
apa. Sebaliknya, pada dehisensi jaringan parut bekas seksio sesarea, selaput ketuban
tidak pecah dan janin tidak mengalami ekstruksi ke dalam kavum peritoneum. Ciri khas
dari dehisensi adalah pemisahan tersebut tidak mengenai seluruh jaringan parut yang
sudah ada sebelumnya pada uterus, sehingga peritoneum yang melapisi defek masih
utuh dan perdarahan minimal atau tidak ada.2

II. ETIOLOGI 3
A. Ruptur jaringan parut uterus
1. Jaringan parut seksio sesarea ( merupakan penyebab terbanyak)
2. Riwayat kuretase atau perforasi uterus
3. Trauma abdomen
B. Persalinan yang terhambat akibat disproporsi cephalopelvik

C. Stimulasi yang berlebihan pada uterus pada induksi persalinan


1. Pematangan serviks ( Misoprostol atau Dinoprostone)
2. Penggunaan kokain pada masa kehamilan

3
D. Faktor-faktor lain
1. Peregangan uterus yang berlebihan
2. Amnioinfusion
3. Neoplasia Trofoblastik Gestasional
4. Pelepasan plasenta yang sulit secara manual
E. Penemuan yang tidak berhubungan dengan ruptura uteri
1. Infus oksitosin dengan dosis berlebihan
2. Kontraksi 5x atau lebih dalam 10 menit
3. Kontraksi tetanik selama lebih dari 90 detik

III. TIPE RUPTURA UTERI 3


A. Ruptura uteri pada jaringan parut bekas seksio sesaria klasik (vertikal)
1. Terjadi pada kehamilan lewat waktu atau persalinan prematur
2. Terjadi pada kasus nyeri akut abdomen dan syok
3. Resiko ruptura uteri pada proses persalinan sangat tinggi, hampir 9%
B. Ruptura uteri pada jaringan parut di segmen bawah uterus
Terjadi pada persalinan percobaan pada pasien bekas seksio sesarea
C. Ruptura uteri spontan
1. Resiko rupture uteri spontan pada persalinan kurang dari 0,0125%
2. Multipara dengan persalinan dengan penyulit
a. Malpresentasi janin
b. Disproporsi cephalopelvik
3. Kontraksi yang terlalu kuat
4. Pada nyeri akut abdomen dan perdarahan

\
RUPTURA UTERI SPONTAN 4
Yang dimaksudkan ialah ruptura uteri yang terjadi secara spontan pada uterus
yang utuh (tanpa parut). Faktor pokok di sini ialah bahwa persalinan tidak maju karena
rintangan, misalnya panggul sempit, hidrosefalus, janin dalam letak lintang, dan
sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin diregangan. Pada suatu

4
regangan yang terus bertambah melampaui batas kekuatan jaringan miometrium:
terjadilah ruptura uteri. Faktor yang merupakan predisposisi terhadap terjadinya ruptura
uteri ialah multiparitas; di sini di tengah-tengah miometrium sudah terdapat banyak
jaringan ikat yang menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga
regangan lebih mudah menimbulkan robekan. Banyak juga dilaporkan bahwa kebiasaan
yang dilakukan oleh dukun-dukun memudahkan terjadinya ruptura uteri. Pada persalinan
yang kurang lancar, dukun-dukun itu biasanya melakukan tekanan keras ke bawah terus
menerus pada fundus uteri; hal ini dapat menambah tekanan pada segmen bawah uterus
yang regang dan mengakibatkan terjadinya ruptura uteri. Pemberian oksitosin dalam
dosis yang terlampau tinggi dan/ayau atas indikasi yang tidak tepat, bisa pula
menyebabkan ruptura uteri.

Gejala-gejala
Sebelum terjadi ruptura uteri umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala rupture
uteri membakat. Pasien akan gelisah, pernapasan dan nadi menjadi cepat serta dirasakan
nyeri terus menerus di perut bawah. Segmen bawah uterus tegang, nyeri pada perabaan
dan lingkaran retraksi (Bandl) tinggi sampai mendekati pusat, ligamentum rotundum
tegang. Pada saat terjadinya ruptura uteri penderita kesakitan sekali dan merasa seperti
ada yang robek dalam perutnya; tidak lama kemudian ia menunjukkan gejala-gejala
kolaps dan jatuh dalam syok. Pada waktu robekan terjadi perdarahan; pada ruptura uteri
kompleta untuk sebagian mengalir ke rongga perut dan untuk sebagian keluar per
vaginam. Sering seluruh atau sebagian janin masuk ke dalam rongga perut. Pada
pemeriksaan vaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau teraba tinggi dalam jalan
lahir. Pada ruptura uteri inkompleta perdarahan yang biasanya tidak seberapa banyak,
berkumpul di bawah peritoneum atau mengalir keluar. Janin umumnya tetap tinggal di
uterus. Pada pemeriksaan ditemukan seorang wanita pucat dengan nadi yang cepat dan
dengan perdarahan pervaginam. Segera setelah ruptura uteri terjadi dan janin masuk ke
dalam rongga perut, ia dapat diraba dengan jelas pada pemeriksaan luar, dan di
sampingnya ditemukan uterus sebagai benda sebesar kepala bayi. Lambat laun perut
menunjukkan meteorismus kadang-kadang disertai defense muskulaire dan janin lebih
sukar diraba. Pada ruptura uteri kompleta kadang-kadang juga pada pemeriksaan vaginal,
robekan dapat diraba, demikian pula usus dalam rongga perut melalui robekan.

5
RUPTURA UTERI TRAUMATIK 4
Ruptura uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan
seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi pada setiap saat
dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup tahan terhadap trauma
dari luar. Yang lebih sering terjadi ialah ruptura uteri yang dinamakan ruptura uteri
violeta. Di sini karena distosia sudah ada regangan segmen bawah uterus dan usaha
vaginal untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya ruptura uteri. Hal ini misalnya
terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang dilakukan bertentangan dengan syarat-
syarat untuk tindakan tersebut. Kemungkinan besar yang lain ialah ketika melakukan
embriotomi. Berhubungan dengan itu, setelah tindakan-tindakan tersebut di atas dan juga
setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar, perlu dilakukan pemeriksaan kavum uteri
dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi ruptura uteri. Gejala-gejala ruptura uteri
violeta tidak berbeda dengan ruptura uteri spontan.

RUPTURA UTERI PADA PARUT UTERUS 4


Ruptura uteri demikian ini terdapat paling sering pada parut bekas seksio sesaria;
peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk mengangkat mioma
(miomektomi), dan lebih jarang lagi pada uterus dengan parut karena kerokan yang
terlampau dalam. Diantara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang telah terjadi
sesudah seksio sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptura uteri daripada parut
bekas seksio sesarea profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal ini disebabkan oleh
karena luka pada segmen bawah uterus yang menyerupai daerah uterus yang lebih tenang
dapat masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat. Ruptura
uteri pada bekas parut seksio sesaria klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua
sebelum persalinan dimulai, sedang peristiwa tersebut pada parut bekas seksio sesaria
profunda umumnya terjadi pada waktu persalinan. Ruptura uteri pasca seksio sesarea bisa
menimbulkan gejala-gejala seperti telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi bisa juga
terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak terjadi
robekan yang mendadak, melainkan lambat laun jaringan di sekitar bekas luka menipis
untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah ruptura uteri. Di sini biasanya
peritoneum tidak ikut serta, sehingga terdapat ruptura uteri inkompleta. Pada peristiwa ini
ada kemungkinan arteri besar terbuka dan timbul perdarahan yang untuk sebagian

6
berkumpul di ligamentum latum dan untuk sebagian keluar. Biasanya janin masih tinggal
dalam uterus dan his kadang-kadang masih ada.
Sementara itu penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan tempat
bekas luka. Jika arteri besar terluka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok;
janin dalam uterus meninggal pula.

IV. MEKANISME TERJADINYA RUPTURA UTERI 5


Mekanisme utama dari ruptura uteri disebabkan oleh peregangan yang luar biasa
dari uterus. Sebab mekanisme karena uterus yang cacat mudah dimengerti, karena adanya
lokus minorus resistentiae.
Anatomi uterus tidak hamil dan uterus hamil:
Pada umumnya uterus terbagi atas dua bagian besar: korpus uteri dan serviks
uteri. Batas keduanya disebut ismus uteri (2-3cm) pada uterus yang tidak hamil. Bila
kehamilan sudah kira-kira kurang lebih 20 mg, dimana ukuran janin sudah lebih besar
dari ukuran kavum uteri, maka mulailah terbentuk SBR dari ismus ini.

Uterus sewaktu tidak hamil:


Fundus-------------------------------
Korpus--------------------------------

Ismus---------------------------------
Serviks-------------------------------

Uterus sewaktu hamil:


----------------- Fundus

Aktif dan kontraktil


------------------ Corpus

----------------- Lingkaran dari Bandl


----------------- Segmen bawah rahim : pasif

------------------ Serviks

7
Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran dari Bandl.
Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila dijumpai 2-3 jari di atas simfisis, bila
meninggi maka kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya ruptura uteri
mengancam (RUM).
Rumus mekanisme terjadinya Ruptura Uteri:
R=H+O dimana R = Ruptura
H = His kuat (tenaga)
O = Obstruksi (halangan)

Pada waktu in partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap pasif dan
serviks menjadi lembek (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus
tidak dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his
kuat), maka SBR yang pasif akan tertarik ke atas menjadi bertambah regang dan tipis-
lingkaran Bandl ikut meninggi, sehingga suatu waktu terjadilah robekan pada SBR tadi-
Ruptura Uteri.

V. GEJALA RUPTURA UTERI MENGANCAM 5

1. Partus telah lama berlangsung

2. Pasien nampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri di perut.

3. Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang kesakitan
bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.

4. Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa.

5. Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged labor), yaitu mulut
kering, lidah kering dan haus, badan panas (demam).

6. His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.

7. Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan keras,
terutama sebelah kiri atau keduanya.

8
8. Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan SBR
teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.

9. Di antara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan melintang
yang bertambah lama bertambah tinggi, menunjukkan SBR yang semakin tipis dan
teregang. Sering lingkaran Bandl ini dikelirukan dengan kandung kemih yang
penuh, untuk itu lakukan kateterisasi kandung kemih. Dapat peregangan dan
tipisnya SBR terjadi di dinding belakang sehingga tidak dapat kita periksa,
misalnya terjadi pada asinklitismus posterior atau letak tulang ubun-ubun belakang.

10. Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan teregang ke
atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka pada kateterisasi
ada hematuri.

11. Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia).

12. Pada pemeriksaan dalam dapat dijumpai tanda-tanda obstruksi seperti edema
porsio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar.

VI. PEMERIKSAAN FISIK PADA RUPTURA UTERI 5

Bila ruptura uteri yang mengancam dibiarkan terus, maka suatu saat akan terjadilah
ruptura uteri.

I. Anamnesis dan Inspeksi

1. Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa,
menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut, pucat,
keluar keringat dingin sampai kolaps.

2. Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.

3. Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum.

4. Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tak terukur .

5. Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak, lebih-lebih kalau
bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun, dan menyumbat jalan lahir.

6. Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah dan di bahu.

9
7. Kontraksi uterus biasanya hilang.

8. Terdapat defans muskuler dan kemudian menjadi kembung dan meteorismus.

II. Palpasi

1. Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema subkutan

2. Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu atas panggul.

3. Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada di rongga perut maka
teraba bagian-bagian janin langsung di bawah kulit perut, dan di sampingnya
kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar kelapa.

4. Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.

III. Auskultasi .

Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit setelah
ruptur, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk ke rongga perut.

IV. Pemeriksaan Dalam.

1. Kepala janin yang tadinya sudah turun ke bawah, dengan mudah dapat
didorong ke atas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak
banyak.

2. Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim
dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba
usus, omentum, dan bagian-bagian janin. Kalau jari tangan kita yang di dalam
kita temukan dengan jari luar, maka terasa seperti dipisahkan oleh bagian yang
tipis sekali dari dinding perut, juga dapat diraba fundus uteri.

V. Kateterisasi.

Hematuri hebat menandakan adanya robekan kandung kemih.

10
VII. DIAGNOSA BANDING 6

1. Solusio plasenta

2. Plasenta Previa

3. Kehamilan Andominal

VIII. KOMPLIKASI 7

1. Infeksi post operasi

2. Kerusakan ureter

3. Emboli cairan amnion

4. DIC

5. Kematian maternal

6. Kematian perinatal

IX. PENATALAKSANAAN

Pada kasus ruptura uteri harus dilakukan tindakan segera. Jiwa wanita yang
mengalami ruptura uteri paling sering tergantung dari kecepatan dan efisiensi dalam
mengoreksi keadaan hipovolemia dan mengendalikan perdarahan.2 Perlu ditekankan
bahwa syok hipovolemik mungkin tidak bisa dipulihkan kembali dengan cepat sebelum
perdarahan arteri dapat dikendalikan, karena itu, dengan adanya alasan ini, keterlambatan
dalam tindakan pembedahan tidak bisa diterima. Sebaliknya, darah harus ditransfusi
dengan cepat dan seksio sesarea atau laparatomi segera dimulai.2 Malahan penderita
hendaknya dirawat 3 minggu sebelum jadwal persalinan.4 Dapat dipertimbangkan pula
untuk melakukan seksio sesarea sebelum jadwal persalinan dimulai,asal kehamilannya
benar-benar lebih dari 37 minggu.4

Apabila sudah terjadi ruptura uteri, tindakan yang terbaik adalah laparatomi. Janin
dikeluarkan lebi dahulu dengan atau tanpa pembukaan uterus (hal yang terakhir ini jika
janin sudah tidak di dalam uterus lagi), kemudian dilakukan histerektomi. Janin tidak
dilahirkan pervaginam, kecuali janin masih terdapat seluruhnya dalam uterus dengan
kepala sudah turun jauh dalam jalan lahir dan ada keragu-raguan terhadap diagnosis

11
ruptura uteri. Dalam hal ini, setelah janin dilahirkan, perlu diperiksa dengan satu tangan
dalam uterus apakah ada ruptura uteri. Pada umumnya pada ruptura uteri tidak dilakukan
penjahitan luka dalam usaha untuk mempertahankan uterus. Hanya dalam keadaan yang
sangat istimewa hal itu dilakukan; dua syarat dalam hal ini harus dipenuhi, yakni pinggir
luka harus rata seperti pada ruptura parut bekas seksio sesaria, dan tidak ada tanda-tanda
infeksi. Pengobatan untuk memerangi syok dan infeksi sangat penting dalam penanganan
penderita dengan ruptura uteri. 4

Pada kasus-kasus yang perdarahannya hebat, tindakan kompresi aorta dapat


membantu mengurangi perdarahan. Pemberian oksitosin intravena dapat mencetuskan
kontraksi miometrium, dan selanjutnya vasokonstriksi sehingga mengurangi perdarahan.2

X. PROGNOSIS

Ruptura uteri merupakan peristiwa yang gawat bagi ibu dan lebih-lebih bagi
janin.4 Angka mortalitas yang ditemukan dalam berbagai penelitian berkisar dari 50%
hingga 75%. Janin umumnya meninggal pada ruptura uteri. Tetapi, jika janin masih hidup
pada saat peristiwa tersebut terjadi, satu-satunya harapan untuk mempertahankan jiwa
janin adalah dengan persalinan segera, yang paling sering dilakukan adalh laparatomi.
Kalau tidak, keadaan hipoksia baik sebagai akibat terlepasnya plasenta maupun
hipovolemia maternal tidak akan terhindari. Jika tidak diambil tindakan, kebanyakan
wanita akan meninggal karena perdarahan atau mungkin pula karena infeksi yang terjadi
kemudian, kendati penyembuhan dapat terjadi spontan pernah pula terjadi pada kasus
yang luar biasa. 4

Diagnosis cepat, tindakan operasi cepat, ketersediaan darah dalam jumlah besar
dan terapi antibiotik sudah menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat besar bagi
wanita dengan ruptura uteri yang hamil.2

12
REFERENSI

1. Cunningham, F.G, et al. 2004. Williams Obsetrics 22nd edition. New York.
McGraw-Hill : 824-838.
2. Departemen Kesehatan RI. 2004. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta. Tridasa
Printer : 5-16.
3. Fadel, H.E. 1982. Diagnosis and Management of Obstetric Emergencies.
California. Addison-Wesley publishing company : 193-213.
4. Hanretty, K. Obstetrics illustrated 6th edition. 2003. Philadelphia. Churchill
Livingstone : 285-290.
5. Krisnadi, S.R. 2004. Kesehatan Ibu dan Anak.
http://www.pikiran_rakyat.com/cetak/1004/03/kesehatan.htm (diakses 24
November 2004).
6. Okudaira, S, et al. 2003. UterinePerforation Following Manual Removal of he
Placenta. http://www.nms.ac.jp/jnms/ (diakses 24 November 2005).
7. Sherris, J. 2002. Managing Complication in Pregnancy and Childbirth.
http://www.path.org/resources/pub_outlook.htm (diakses 24 November 2005).

13

Anda mungkin juga menyukai