Anda di halaman 1dari 11

Rumah Adat Suku baduy - Kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia tidak

terlepas dari suku bangsa yang ada di Indonesia. Kebudayaan tersebut mencakup beberapa aspek
salah satunya adalah Rumah adat. Di provinsi Banten tersedapat sebuah suku yang masih
menerapkan isolasi dari luar dan tidak tergerus oleh zaman yang sudah maju seperti sekarang ini,
suku tersebut adalah Suku Baduy.
Suku baduy adalah suatu kelompok adat sur-etnis Sunda yang berada diwilayah
Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Namun, masyarakat suku baduy sendiri lebih suka menyebut
mereka dengan sebutan Urang Kanekes atau Orang Kanekes. Populasi mereka sekitar 5.000
hingga 8.000 orang. Secara umum masyarakat Kanekes terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu
Tangtu, Panamping, dan Dangka. Kelompok Tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai
Kanekes Dalam (Badus Dalam). Tangtu merupakan kelompok yang paling ketat mengikuti adat
Baduy. Ciri khas kelompok Tangtu dapat dilihat dari pakaiannya yang berwarna putih alami dan
biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan
orang asing.
Kelompok Panamping dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar) dan tinggal di
berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam. Masyarakat kenekes luar
berciri khas mengenakan pakaian dab ikat kepala berwarna hitam. Kakekes luar merupakan
orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Sementara itu, kelompok
dangka merupakan mayarakat Kanekes yang tinggal di luar wilayah Kanekes. Kampung Dangka
tersebut berfungsi sebagai semacam daerah penyangga atas pengaluh dari luar. Suku baduy
bermukim di kaki Pegunungan Kendes di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak Banten.
Secara umum, rumah adat suku Baduy merupakan rumah panggung yang hampir secara
keseluruhan rumah yang menggunakan bahan baku dari bambu. Rumah adat Baduy ini sendiri
terkenal dengan kesederhanaan, serta dibangun berdasarkan naluri manusia yang ingin
mendapatkan perlindungan dan kenyamanan. Proses pembangunan rumah adat suku baduy
sendiri selalu dilakukan dengancara gotong royong, hal ini menunjukan bahwa suku Baduy
masih menjunjung rasa kebersamaan. Karena berada di bahah kaki pegunungan, bangunan
rumah adat Baduy dibuat tinggi, berbentuk panggung, mengikuti tinggi rendahnya permukaan
tanah. Pada tanah yang miring dan tidak rata permukaannya, bangunan disangga menggunakan
tumpukan batu. Batu yang digunakan adalah batu kali yang berfungsi sebagai tiang penyangga
bangunan dan menahan agar tanah tidak longsor.
Atap rumah adat baduy terbuat dari daun yang disebut sulah nyanda. Nyanda berarti
sikap bersandar. Sandarannya tidak lurus, tetapi agak merebah ke belakang. Salah satu sulah
nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah
rangka atap. Sementara itu, bilik rumah dan pintu rumah terbuat dari anyaman bamboo yang di
anyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut dikenal dengan nama Sarigsig. Anyaman ini
dibuat hanya dengan berdasarkan perkiraan, tidak diukur terlebih dahulu. Kunci rumah dibuat
memalangkan dua buah kayu yang ditarik atau didorong dari bagian luar rumah.
Ada tiga ruangan dalam bangunan rumah adat ini, yaitu ruangan yang dikhususkan untuk
ruangan tidur kepala keluarga juga dapur yang disebut imah, ruang tidur untuk anak-anak
sekaligus ruangan makan yang disebut tepas, dan ruangan untuk menerima tamu yang disebut
sosoro. Seluruh bangunan dibangun menghadap satu dengan yang lainnya. Secara adat rumah
baduy hanya diperbolehkan menghadap ke utara dan selatan saja.
Semua hal yang berhubungan dengan Rumah Adat Baduy ini merupakan sudah menjadi
adatnya yang benar-benar harus terus dilestarikan karena semuanya memiliki filosofi dan
mengandung makna tertentu yang membuat masyarakat Suku Baduy mampu bertahan hingga
sekarang. Dan suku Baduy juga menambah banyaknya budaya yang ada di negara kita ini.

Secara umum rumah adat Baduy merupakan rumah panggung yang hampir secara
keseluruhan rumah menggunakan bahan bambu. Rumah adat baduy ini sendiri terkenal
dengan kesederhanaan, dan dibangun berdasarkan naluri manusia yang ingin
mendapatkan perlindungan dan kenyamanan.

Bangunan rumah adat Baduy dibuat tinggi, berbentuk panggung, mengikuti tinggi
rendahnya/kontur permukaan tanah. Pada tanah yang miring dan tidak rata
permukaannya, bangunan disangga menggunakan tumpukan batu. Batu yang
digunakan adalah batu kali, berfungsi sebagai tiang penyangga bangunan dan
menahan agar tanah tidak longsor.

Atap rumah adat baduy terbuat dari daun yang disebut sulah nyanda. Nyanda berarti
sikap bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agah merebah ke belakang.
Salahsatu sulah nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih
rendah pada bagian bawah rangka atap.

Bilik rumah dan pintu rumah terbuat dari anyaman bambu yang dianyam secara
vertikal. Teknik anyaman tersebut dikenal dengan nama sarigsig tersebut dibuat hanya
dengan berdasarkan perkiraan, tidak diukur terlebih dahulu. Kunci rumah dibuat dengan
memalangkan dua buah kayu yang ditarik atau didorong dari bagian luar rumah.

Ada tiga ruangan dalam bangunan rumah adat ini, yaitu ruangan yang dikhususkan
untuk ruang tidur kepala keluarga juga dapur yang disebut imah, ruang tidur untuk
anak-anak sekaligus ruang makan yang disebut tepas, dan ruang untuk menerima tamu
yang disebut sosoro.

Seluruh bangunan dibangun menghadap satu dengan yang lainnya. Secara adat rumah
Baduy hanya diperbolehkan menghadap ke utara dan selatan saja.

Secara spesifik Henry H Loupias menyusun sebuah tulisan Mengenal Arsitektur Rumah
Adat Baduy dalam upayanya memperkenalkan kearifan dan sinergisitas masyarakat
Baduy. Seperti yang saya kutip secara keseluruhan di bawah ini:

Imah dalam Arsitektur Baduy Dalam

Pada umumnya kehidupan sehari-hari suku-suku di pedalaman mengandalkan naluri,


termasuk dalam upaya menyesuaikan serta menyelaraskan diri dengan lingkungan
alam sekitarnya. Banyak teknik atau cara yang digunakannya tergolong berteknologi
cukup tinggi dan mampu memprediksi kebutuhan hidupnya hingga masa depan.

Kecenderungan tersebut diperlihatkan secara jelas pada arsitektur vernakular suku


Baduy Dalam di Kampung Cibeo. Bentuk dan gaya bangunan rumah tinggalnya sangat
sederhana, dibangun berdasarkan naluri sebagai manusia yang membutuhkan tempat
berlindung dari gangguan alam dan binatang buas. Kesan sederhana tersebut tersirat
dalam penataan eksterior dan interiornya.

Seluruh bangunan rumah tinggal suku Baduy menghadap ke utara-selatan dan saling
berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak diperkenankan berdasarkan
adat. Di samping itu, ada hal yang cukup menarik dan penting di kalangan suku Baduy,
yaitu cara mereka memperlakukan alam atau bumi. Mereka tidak pernah berusaha
mengubah atau mengolah keadaan lahannya-misalna ngalelemah taneuh, disaeuran,
atawa diratakeun-untuk kepentingan bangunan yang akan didirikan di atasnya.

Sebaliknya, mereka berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan dengan keadaan dan


kondisi lahan yang ada. Hasilnya memperlihatkan permukiman yang alami. Bangunan-
bangunan tersebut bagaikan sebuah kesatuan dari alam itu sendiri, berdiri berumpak-
umpak mengikuti kontur atau kemiringan tanahnya.

Rumah tinggal suku Baduy Dalam termasuk jenis bangunan knock down dan siap
pakai, yang terdiri dari beberapa rangkaian komponen. Selanjutnya, komponen-
komponen tersebut dirakit atau dirangkai dengan cara diikat menggunakan tali awi
temen ataupun dengan cara dipaseuk.

Konstruksi utamanya yang berfungsi untuk menahan beban berat, seperti tihang-tihang,
panglari, pananggeuy, dan lincar, dipasang dengan cara dipaseuk karena alat paku
dilarang digunakan. Justru teknik tersebut bisa memperkuat karena kedua kayu yang
disambungkan lebih menyatu, terutama ketika kedua kayunya sudah mengering.

Sementara komponen seperti bilik (dinding), rarangkit (atap), dan palupuh (lantai)
hanya sekadar diikat atau dijepit pada bambu atau kayu konstruksi. Oleh karena itu,
bangunan rumah tinggal suku Baduy termasuk jenis bangunan tahan gempa karena
konstruksinya bersifat fleksibel dan elastis.

Bangunan rumah tinggalnya berbentuk rumah panggung. Karena konsep rancangannya


mengikuti kontur lahan, tiang penyangga masing-masing bangunan memiliki ketinggian
berbeda-beda. Pada bagian tanah yang datar atau tinggi, tiang penyangganya relatif
rendah. Adapun pada bagian yang miring, tiangnya lebih tinggi. Tiang-tiang penyangga
tersebut bertumpu pada batu kali agar kedudukannya stabil.

Batu kali merupakan komponen yang cukup penting pula di lingkungan kampung suku
Baduy. Selain digunakan untuk tumpuan tiang penyangga, batu kali juga digunakan
sebagi penahan tanah agar tidak longsor. Caranya dengan ditumpuk membentuk
benteng, atau dipakai untuk membuat anak tangga, selokan, ataupun tempat berjalan
yang sangat berguna terutama jika musim hujan tiba.

Jenis atapnya disebut sulah nyanda. Pengertian dari nyanda adalah posisi atau sikap
bersandar wanita yang baru melahirkan. Sikap menyandarnya tidak tegak lurus, tetapi
agak merebah ke belakang. Jenis atap sulah nyanda tidak berbeda jauh dengan jenis
atap julang ngapak. Jika jenis atap yang disebutkan terakhir memiliki dua atap
tambahan di kedua sisinya, atap jenis sulah nyanda hanya memiliki satu atap tambahan
yang disebut curugan. Salah satu atap pada sulah nyanda lebih panjang dan memiliki
kemiringan yang rendah.

Rumah tinggal suku Baduy hanya memiliki satu pintu masuk yang ditutup dengan
panto, yaitu sejenis daun pintu yang dibuat dari anyaman bilah-bilah bambu berukuran
sebesar ibu jari dan dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig.
Orang Baduy tidak mengenal ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu,
mereka pun tidak pernah tahu ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka
sendiri.

Semuanya dibuat dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Dalam menentukan ukuran
lebar pintu masuk, mereka cukup menyebutnya dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu
diukur selebar ukuran alat untuk menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci
ketika ditinggalkan penghuninya. Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk
mengunci pintu dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau ditarik dari
samping luar bangunan. Ruangan Inti

Pembagian interiornya terdiri dari tiga ruangan, yaitu sosoro, tepas, dan imah. Sosoro
dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu. Letaknya memanjang ke arah bagian
lebar rumah. Selanjutnya, ruang tepas yang membujur ke arah bagian panjang atau ke
belakang digunakan untuk acara makan atau tidur anak-anak. Antara ruangan sosoro
dan tepas tidak terdapat pembatas. Keduanya menyatu membentuk huruf L terbalik
atau siku.

Tampaknya bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada ruangan yang disebut
imah karena ruang tersebut memiliki fungsi khusus dan penting. Selain berfungsi
sebagai dapur (pawon), imah juga berfungsi sebagai ruang tidur kepala keluarga
beserta istrinya.

Mereka tidak memiliki tempat tidur khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas
tersebut digunakan hanya sewaktu tidur, setelah itu dilipat kembali dan disimpan di atas
rak. Cara tersebut menunjukkan bahwa kegunaan imah sangat fleksibel dan
multifungsi. Di sekeliling ruangan imah terdapat rak-rak untuk menyimpan peralatan
dapur dan tikar untuk tidur.

Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah sebuah ruangan atau bagian inti dari
tata ruang dalam rumah tinggal suku Baduy. Hampir seluruh kegiatan berpusat pada
ruangan tersebut, baik hal-hal yang bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan
minuman, maupun hal-hal yang batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai
pasangan suami-istri dan kepala keluarga.

Melalui kegiatan bergotong royong seluruh kampung, dalam sehari mereka dapat
menyelesaikan sekitar sepuluh bangunan rumah tinggal yang luasnya lebih kurang 100-
120 meter persegi. Hal ini dapat terlaksana karena mereka tinggal memasang seluruh
komponennya.

Di Desa Cibeo terdapat 80 rumah tinggal dengan 100 kepala keluarga. Saat
pelaksanaan program, seluruh warga turun bergotong royong, bahu-membahu
membantu tanpa pamrih. Mereka menyumbangkan bahan bangunan, komponen
rumah, atau tenaganya. Hal itu merupakan bentuk kebersamaan kolektif yang masih
kuat dan dipelihara di kalangan suku Baduy Dalam hingga kini.

Rumah bagi masyarakat Baduy dalam (kejeroan), di Kabupaten Lebak, Banten. Tidak sekedar
tempat tinggal. Ada nilai Filosofi yang di yakini sebagai kepercayaan nenek moyang mereka. Itu
sebabnya membangun rumah tidak boleh sembarangan.

Kawasan Baduy Dalam seperti daerah Kenekes, diyakini sebagai pusat alam semesta. Karena itu,
tanah di sana pantang di olah dengan cangkul. Malah, jika tanah yang digunakan untuk
membangun rumah tidak rata, mereka tidak mau meratakannya. Rumah tetap didirikan disitu.
Caranya tiang-tiang rumah disesuiakan dengan kondosi tanah. Hasilnya tentu tiang- tiang yang
tidak sama tinggi.

Secara umum rumah adat Baduy merupakan rumah panggung yang hampir secara keseluruhan
rumah menggunakan bahan bambu. Rumah adat baduy ini sendiri terkenal dengan
kesederhanaan, dan dibangun berdasarkan naluri manusia yang ingin mendapatkan perlindungan
dan kenyamanan.

Bangunan rumah adat Baduy dibuat tinggi, berbentuk panggung, mengikuti tinggi
rendahnya/kontur permukaan tanah. Pada tanah yang miring dan tidak rata permukaannya,
bangunan disangga menggunakan tumpukan batu. Batu yang digunakan adalah batu kali,
berfungsi sebagai tiang penyangga bangunan dan menahan agar tanah tidak longsor. Berikut ini
adalah beberapa ciri daripada rumah-rumah adat suku Baduy yang terletak di pedalaman
Kabupaten Lebak Propinsi Banten :

Motif Atap Rumah Suku Baduy Dalam

Atap rumah terbagi pada dua sisi kanan dan sisi kiri. Atap sebelah kiri di bangun lebih panjang di
bandingkan atap sebelah kanan. Ini di maksudkan supaya satu sisi yang lebih panjang
memberikan kehangatan yang lebih. Selain itu, juga untuk menambah ruangan yang bisa di
pakai. Karena pasti anggota keluarga akan terus bertambah. Kemudian, bagian paling atas atau
pucuk, pertemuan antara sisi kiri dan sisi kanan di buat cabik. Fungsinya untuk menahan air
hujan yang turun. Selain untuk fungsi tadi, cabik ini juga merupakan lambang lingkaran hidup
mereka.
Ciri khas berikutnya ialah, atap yang di pakai bukan seperti kebanyakan yang sering kita temui.
Mereka tidak memakai genting. Rata-rata yang di pakai sebagai atap terbuat dari bahan yang
sangat sederhana, biasanya dari ijuk atau daun kelapa yang di keringkan. Ini adalah bagian adat
yang harus di patuhi. Bagian dari kepercayaan yang sangat mereka yakini. Hal ini berhubungan
karena genting itu berbahan dari tanah. Artinya, kalau memakai atap dari genting, sama saja
mengubur diri sendiri. Sedangkan tanah hanya di peruntukan untuk orang mati saja. Seperti
peribahasa mereka terletak antara dunia bawah yaitu tanah - dan dunia atas yaitu langit -.
Karena rumah memiliki pangkat yang lebih tinggi, yaitu dunia atas, maka di larang di letakan
lebih rendah dari tanah.

Atap rumah adat baduy terbuat dari daun yang disebut sulah nyanda. Nyanda berarti sikap
bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agah merebah ke belakang. Salahsatu sulah
nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah
rangka atap.

Tanpa Jendela

Masyarakat Baduy Dalam tidak mengenal jendela. Bagi mereka jendela itu hany sebagai
berfungsi untuk melihat sesuau yang ada diluar. Karenanya, jika memang ada yang ingin dilihat
dari dalam cukup melobangi dinding yang terbuat dari bambu. Itu sebabna rumah dikawasan
Baduy Dalam hamper tidak berjendela, kecuali rumah- rumah masyarakat Luar.

Bagi orang luar Baduy, jendela merupakn ventilasi untuk menikmati udara segar. Namun untuk
orang Baduy Dalam cukup diperoleh dari lobang lantai yang terbuat dari bambu (palupuh).
Lubang dari palupuh ini memungkinkan masuknya udara dari kolong rumah.

Bagian Rumah Suku Baduy Dalam

Bagian rumah itu didasarkan kepada kepercayaan, rumah identik dengan bumi ( alam semesta).
Yang terdiri dari 3 bagian atas, tengah, bawah. Dapur pada rumah masyarakat Baduy
berlantaikan bambu. Untuk membuat tungku, biasanya bagian lantai dapur itu ditimbunin tanah
besekat kayu. Diatas tanah itu dibuat tungku. Cara ini dimaksudkan agar api tidak menjilat lantai
bambu tersebut. Pada dapur ini, ada sebuah tempat yang disebut goa. Fungsinya untuk
menyimpan padi atau beras.

Bilik rumah dan pintu rumah terbuat dari anyaman bambu yang dianyam secara vertikal. Teknik
anyaman tersebut dikenal dengan nama sarigsig tersebut dibuat hanya dengan berdasarkan
perkiraan, tidak diukur terlebih dahulu. Kunci rumah dibuat dengan memalangkan dua buah kayu
yang ditarik atau didorong dari bagian luar rumah.

Ada tiga ruangan dalam bangunan rumah adat ini, yaitu ruangan yang dikhususkan untuk ruang
tidur kepala keluarga juga dapur yang disebut imah, ruang tidur untuk anak-anak sekaligus ruang
makan yang disebut tepas, dan ruang untuk menerima tamu yang disebut sosoro. Seluruh
bangunan dibangun menghadap satu dengan yang lainnya. Secara adat rumah Baduy hanya
diperbolehkan menghadap ke utara dan selatan saja.

Rumah yang sangat sederhana adalah ciri khas masyarakat baduy. Menurut yang mereka yakini,
tempat tinggal memiliki kekuatan netral. Dalam istilahnya terletak antara dunia bawah dan
dunia atas. Kalau di perhatikan, rumah baduy pasti memiliki kolong dan tidak langsung
menyentuh tanah. Semua rumah pasti di bangun memakai alas batu (umpak). Mereka pun
percaya sepenuhnya, dengan membangunnya seperti itu, rumah mereka akan jauh lebih awet dan
tahan lama.

Perkampungan dikawasan Baduy Dalam ditanadai dengan lapangan luas. Letak lapangan itu,
ditengah deretan rumah penduduk. Sementara di daerah Baduy Luar, lapangan itu sudah agak
kabur karena digunakan untuk jalan orang- orang yang mau masuk kampung.

Diujung sebelah barat lapangan, terletak bagunan yang disebut bale(balai). Disebelah kiri balai
ini, berdiri tempat orang- orang menumbuk padi ( saung lisung). Sementara disebelah kanan
balai ada sekelompok lumbung padi yang disebut leuit. Rumah puun (tokoh tertinggi orang
Baduy Dalam), terletak disebelah timur lapangan.

Demikian ulasan mengenai ciri-ciri rumah dari masyarakat Baduy di Lebak, Banten. Tentunya
sobat penasaran jika tidak melihat seperti apa sebenarnya bentuk rumah-rumah adat ini. Namun
setidaknya dari ulasan diatas ada sedikit gambaran mengenai bentuk rumah adat tersebut.
Kehidupan masyarakat tradisional pada umumnya sangat tergantung kepada kekuatan naluri
alamiah mereka dalam menyesuaikan serta menyelaraskan diri dengan alam dan lingkungannya.
Kearifan lokal yang mereka ekspresikan memiliki nilai kemutakhiran yang sangat tinggi
sehingga masih mampu memberikan manfaat hingga dewasa ini. Salah satu bentuk apresiasi nilai
budaya masyarakat tradisional adalah pada bentuk vernakular suku Baduy Dalam di Kampung
Cibeo. Nilai kearifan budaya Sunda diinterpretasi secara jelas dalam bentuk dan gaya bangunan
rumah tinggal yang sangat sederhana tetapi begitu bersahaja.

Imah (rumah) yang dibangun berdasarkan naluri alamiah sebagai manusia yang membutuhkan
tempat berlindung dari gangguan alam dan binatang buas, serta acuan filosofi hidup yang
membuat masyarakat Baduy semakin terlihat bersahaja, pondok teu meunang disambung, nu
panjang teu meunang dipotong (yang pendek tak boleh disambung dan yang panjang tak boleh
dipotong). Maknanya, orang Baduy pada dasarnya menerima alam sebagaimana adanya. .

Tata Kawasan Kampung Baduy Dalam (Dok. Dahlan)


Penataan kawasan pemukiman masyarakat Baduy dilakukan tanpa merubah struktur alam.
Mereka tidak pernah berusaha mengubah atau mengolah keadaan lahan seperti ngelelemah
taneuh, disaeuran, atau diratakeun (cut and fill) untuk kepentingan pembangunan. Sebaliknya
mereka berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi lahan yang ada.
Hasil dari interaksi tersebut berupa lanskap pemukiman yang alami dan selaras dengan alam dan
lingkungannya. Imah Baduy tersusun rapi mengikuti kontur yang ada dengan kesamaan bentuk
dan struktur bagunan yang tersusun harmoni. Imah Baduy termasuk ke dalam jenis bangunan
bongkar pasang dan siap pakai (knock down and ready to use). Pembangunan diawali dengan
menyusun secara terpisah komponen rumah seperti atap, rangka bangunan, pintu, dinding, dsb.
Setelah semua siap maka pemasangan dilakukan secara bertahap dan teratur dengan keterlibatan
masyarakat sebagai cerminan kebersamaan dan gotong royong. Pemasangan tidak digunakan
paku besi sebagai penguat, tetapi diikat menggunakan tali awi temen atau dengan cara
dipaseuk/dipasak.

Konstruksi utama yang berfungsi sebagai penahan beban berat seperti tiang, panglari,
pananggeuy, dan lincar dipasang dengan cara dipaseuk menggunakan kayu. Konstruksi tersebut
memiliki kelebihan dalam kekuatan dibandingkan menggunakan paku besi, terlebih jika kondisi
kayu sudah mengering akan memberikan kekuatan lebih pada sambungan. Adapun komponen
lainnya seperti bilik untuk dinding, rarangkit untuk atap, dan palupuh untuk lantai hanya diikat
atau dijepit pada bambu atau kayu konstruksi utama. Dengan konstruksi demikian, imah Baduy
memiliki daya redam gempa yang efektif karena konstruksi yang fleksibel dan elastis.

Bangunan imah Baduy berbentuk rumah panggung dengan ketinggian tiang penyangga
disesuaikan dengan bentuk kontur. Tiang penyangga bertumpu pada batu kali untuk menjaga
stabilitas bangunan. Batu kali merupakan salah satu komponen penting dari konstruksi imah
Baduy. Batu kali digunakan sebagai alat konservasi tanah dan air yang disusun secara bertumpuk
atau membentuk anak tangga. Selain dipakai untuk menahan kaki penyangga bangunan, batu kali
digunakan untuk menahan struktur tanah pada jalur pedestrian, drainase, dsb. Imah Baduy hanya
memiliki satu pintu masuk dan keluar yang ditutup dengan panto. Panto dibuat dari anyaman
bambu dengan pola anyaman sarigsig (grid). Ukuran panto didasarkan pada kemudahan
memasukan nyiru (alat menapi beras), sehingga ukuran lebar pintu diistilahkan sebagai sanyiru
asup (masuk satu tampi). Sebagian besar masyarakat tidak mengunci pintu rumah, tetapi ada
sebagian yang menggunaka kunci berupa talang kayu (tulak).
Pembagian ruang dalam (interior) dibagi menjadi tiga ruang utama, yaitu sosoro, tepas, dan
imah. Sosoro difungsikan sebagai ruang penerima tamu. Letaknya di bagian depan bangunan dan
memanjang searah lebar bangunan. Tepas merupakan ruang yang difungsikan sebagai ruang
bersama baik untuk aktivitas makan, tidur, berbincang, bercanda, dsb. Letak tepas membujur
searah panjang bangunan atau ke belakang dengan tanpa batas antara sosoro dan tepas. Adapun
bagian inti dari imah Baduy adalah imah itu sendiri. Ruang imah memliki fungsi utama sebagai
dapur (pawon) dan ruang tidur kepala keluarga (bapak dan ambu). Imah Baduy tidak memiliki
fasilitas interior seperti tempat tidur, kursi tamu, meja makan, dsb. Masyarakat Baduy tidur
beralaskan tikar anyaman yang digunakan hanya pada saat tidur, setelahnya dilipat dan simpan
kembali. Makan, berbincang dan aktivitas indoor lainnya dilakukan langsung di lantai di atas
palupuh (bambu yang diregangkan) dengan posisi duduk sila untuk laki-laki dan emok untuk
perempuan.

Foto dari atas ke bawah:


1. Kampung Baduy Luar
2. Tata kawasan kampung Baduy Dalam
3. Tata kawasan perumahan kampung Baduy Dalam
4. Arsitektur Imah Baduy

Anda mungkin juga menyukai