Anda di halaman 1dari 72

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Program Kesehatan Ibu dan Anak merupakan salah satu prioritas

Departemen Kesehatan dan keberhasilan program KIA menjadi salah satu

indikator utama dalam RPJMN periode 2005-2009. Departemen Kesehatan

sebagai sektor yang bertanggung jawab langsung dalam percepatan penurunan

Angka Kematian Ibu (AKI) telah melakukan berbagai upaya terfokus. AKI di

Indonesia saat ini telah menunjukkan terjadinya penurunan dari 307/100.000

kelahiran hidup (KH) pada tahun 2002 menjadi 228/100.000 KH pada tahun

2007 (SDKI, 2007). Angka ini sudah mendekati target sasaran RPJMN 2004-

2009 (226/100.000 kelahiran hidup). Namun demikian masih perlu upaya keras

untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) 102/100.000 KH

pada tahun 2015. (Depkes RI, 2009).

Berbagai faktor berkontribusi terhadap kematian ibu, yang secara garis

besar dapat dikelompokkan menjadi penyebab langsung dan penyebab tidak

langsung. Penyebab langsung kematian ibu adalah berbagai faktor yang

berhubungan dengan adanya komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. Oleh

karenanya tenaga medis mempunyai peranan utama dalam penanggulangannya.

Penyebab tidak langsung kematian ibu adalah beberapa keadaan/ faktor yang

1
2

memperberat keadaan ibu hamil, mempersulit proses penanganan kedaruratan

kehamilan, persalinan dan nifas. (Depkes RI, 2009).

Penyebab langsung kematian ibu antara lain perdarahan (28%), hipertensi

dalam kehamilan (24%), infeksi (11%), abortus tidak aman (5%) dan persalinan

lama (5%) (SKRT, 2001). penyebab tidak langsung kematian ibu antar lain

Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada Wanita Usia Subur yang mencapai

13,60% (Riskesdas, 2007) dan Anemia Gizi pada Ibu Hamil yang mencapai

40,1% (SKRT, 2001).

Indikator antara yang digunakan untuk menggambarkan keberhasilan

program pelayanan kesehatan ibu adalah akses ibu hamil terhadap pelayanan

kesehatan yang diukur dengan cakupan pelayanan antenatal (K1 dan K4). Secara

nasional angka cakupan pelayanan antenatal saat ini sudah tinggi, walaupun

masih terdapat di beberapa kabupaten/kota. Cakupan K1 (kunjungan antenatal

ke-1) sudah mencapai 92,65% dan K4 (kunjungan antenatal ke-4) sudah

mencapai 86,04% (Laporan Tahunan Direktorat Binkes Ibu, 2008), tetapi

persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn) baru mencapai 80,36%. (Depkes RI,

2009).

Pelayanan Antenatal Terintegrasi adalah pelayanan antenatal yang

diitegrasikan dengan pelayanan program lain yaitu Gizi, Imunisasi, IMS, HIV,

Frambusia, TB, Kusta, Malaria, Kecacingan, dan Pemicu Intelegensia dengan

pendekatan yang responsif gender dan untuk menghindari kemungkinan

kehilangan kesempatan (missed opportunity) yang ada. Selanjutnya akan menuju


3

pada pemenuhan hak reproduksi bagi setiap orang khususnya ibu hamil. Untuk

itu perlu adanya perbaikan standar pelayanan antenatal yang terpadu, yang

mengakomodasi kebijakan, strategi, kegiatan dari program terkait. Dalam

pelaksanaannya perlu dibentuk tim pelayanan, Pelayanan Antenatal Terintegrasi,

bidan dengan sistem rujukan yang jelas, dilengkapi fasilitas pendukung dari

masing-masing program guna mewujudkan Making Pregnancy Safer. (Depkes

RI, 2009).

Bila ANC Terintegrasi ini tidak terlaksana akibatnya akan menurunkan

efektifitas pola kerja sama antar unit atau program yang diintegrasikan di masa

mendatang, dan menurunkan efek sinergi dalam rangka mencapai target

penurunan angka kematian ibu dan perinatal, maka dari itu ANC Terintegrasi

sangat diperlukan dan dilakukan selama kehamilan agar meningkatnya kualitas

pelayanan Antenatal.

Hasil yang peneliti dapatkan dengan melakukan wawancara pada 10

bidan di Puskesmas Krueng Barona Jaya bahwa ANC Terintegrasi ini baru

dilaksanakan pada tahun 2012 di Aceh Besar sebagai percobaan, sampai

sekarang ANC Terintegrasi belum 100% terlaksana, di Puskesmas Krueng

Barona Jaya tingkat pengetahuan bidan tentang ANC Terintegrasi ini masih

kurang diketahui, dan sikap bidan merespon tentang ANC Terintegrasi masih

kurang sehingga ANC Terintegrasi ini belum 100 % terlaksana, dari tingkat

pendidikan jumlah bidan yang telah mengikuti DIII kebidanan berjumlah 20


4

orang sedangkan yang telah mengikuti jenjang DI kebidanan yang belum

melanjutkan pendidikan berjumlah 15 orang.

Berdasarkan fenomena diatas peneliti tertarik melakukan penelitian

dengan judul Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pelaksanaan ANC

Terintegrasi Di Wilayah Kerja Puskesmas Krueng Barona Jaya.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pelaksanaan ANC Terintegrasi

Di Wilayah Kerja Puskesmas Krueng Barona Jaya.

C. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum :

Untuk mengetahui Faktor Yang Berhubungan Dengan Pelaksanaan ANC

Terintegrasi Di Wilayah Kerja Puskesmas Krueng Barona Jaya.

b. Tujuan Khusus.

1. Untuk mengetahui Faktor Yang Berhubungan Dengan Pengetahuan Bidan

Dalam Pelaksanaan ANC Terintegrasi

2. Untuk mengetahui Faktor Yang Berhubungan Dengan Sikap Bidan

Dalam Pelaksanaan ANC Terintegrasi.

3. Untuk Mengetahui Faktor Yang Berhubungan Dengan Pendidikan Bidan

Dalam Pelaksanaan ANC Terintegrasi.


5

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1. Bagi peneliti

Dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti dalam penulisan

Karya Tulis Ilmiah sebagai penerapan ilmu yang didapat dengan

proses pembelajaran secara nyata membuat suatu karya.

2. Bagi Lahan Penelitian

a. Sebagai bahan masukan dalam pengembangan pelayanan di Puskesmas.

b. Sarana untuk meningkatkan mutu pelayanan ANC Terintegrasi.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pelayanan Antenatal Terintegrasi

1. Pengertian

Pelayanan Antenatal Terintegrasi adalah pelayanan Antenatal yang

diberikan secara terintegrasi dengan beberapa program lain yang diperlukan

dan dilakukan selama kehamilan (Depkes RI, 2009).

Pelayanan Antenatal Terintegrasi adalah seperangkat rekomendasi

tentang penyelenggaraan pelayanan asuhan Antenatal pada fasilitas

kesehatan, mulai dari tingkat unit pelayanan Antenatal dan jaringannya

(Department of Making Pregnancy Safer, 2007)

Pelayanan Antenatal Terpadu adalah pelayanan Antenatal komprehensif

dan berkualitas yang diberikan kepada semua ibu hamil serta terpadu dengan

program lain yang memerlukan intervensi selama kehamilannya (Dinkes

Magetan)

2. Tujuan

Depkes RI, (2009) mengatakan tujuan ANC Terintegrasi adalah :

a. Meningkatkan kualitas pelayanan antenatal

b. Menghilangkan "miss opportunity" ibu hamil dalam mendapatkan

pelayanan secara komprehensif.


7

c. Deteksi dini kelainan/ penyakit gangguan yang mungkin terjadi selama

kehamilan, yang termasuk dalam pelayanan antenatal terintegrasi.

d. Intervensi kelainan/ penyakit/ gangguan yang termasuk dalam pelayanan

antenatal terintegrasi dan mungkin dapat mengancam ibu atau janin.

3. Manfaat

Depkes RI, (2009) mengatakan manfaat dari ANC Terintegrasi adalah :

a. Meningkatkan efektivitas pola kerjasama antar unit atau program yang

akan diintegrasikan dalam model pelayanan antenatal terintegrasi di

masa mendatang.

b. Meningkatkan efek sinergi dalam rangka mencapai target penurunan

angka kematian ibu dan perinatal melalui berbagai kegiatan intervensi

yang ada dalam model pelayanan antenatal terintegrasi sesuai dengan

karakteristik kebutuhan dan potensi yang tersedia di daerah atau fasilitas

kesehatan.

4. Sasaran

Depkes RI, (2009) mengatakan sasaran penggunaan buku pedoman ANC

Terintegrasi ini adalah:

a. Pengambil kebijakan

b. Manajer Program KIA dan program terkait serta Perencana Kesehatan

pada kabupaten/kota dan tingkatan di bawahnya.

c. Institusi pendidikan.

d. Organisasi profesi manajemen.


8

5. Bentuk Kegiatan

Depkes RI, (2009) mengatakan ANC Terintegrasi ini terdiri dari beberapa

bentuk kegiatan antara lain meliputi

1. Penetapan jenis pelayanan/ program terkait yang dianggap paling

mendesak dan/ atau layak untuk diintegrasikan dalam pelayanan

antenatal antara lain:

a. Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE)

b. Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan (Andika)

c. Pencegahan dan Pengobatan IMS/ISK dalam Kehamilan (PIDK)

d. Eliminasi Sifilis Kongenital (ESK) dan Frambusia

e. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (PMTCT)

f. Pencegahan Malaria dalam Kehamilan (PMDK)

g. Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC) dan Kusta

h. Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK)

i. Peningkatan Intelegensia Janin pada Kehamilan (BRAIN

BOSSTER )

Catatan: Program yang masuk dalam Antenatal Terintegrasi dapat

disesuaikan kebutuhan spesifik daerah, berdasarkan data epidemiologis.

2. Penetapan standarisasi persyaratan untuk pelayanan Antenatal

Terintegrasi pada sarana/ penyelenggara pelayanan kesehatan terkait.

3. Penetapan standarisasi pelaksanaan pelayanan, pemantauan dan

penilaian.
9

a) Buku pedoman Pelayanan Antenatal Terintegrasi tidak terpisahkan

dengan pedoman lain yang telah diterbitkan oleh Departemen

Kesehatan seperti ; Pedoman Pencegahan dan Penanganan Malaria

Pada Ibu Hamil dan Nifas (2009), Pedoman Penatalaksanaan Kasus

Malaria di Indonesia (2008), Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi

(2005), Modul Pelatihan Program P2 Kusta bagi UPK (2009),

Pedoman Pemberian tablet besi-folat dan sirup besi bagi petugas

(1999) Pencegahan Penularan HIV dan Ibu ke Bayi (PMTCT),

Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC), Eliminasi Sifilis

Kongenital (ESK), Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan

(Andika), Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK),

Pedoman Peningkatan Intelegensia Janin pada Kehamilan (BRAIN

BOSSTER )

Untuk institusi (rumah sakit) yang telah memberikan pelayanan

sekunder atau tersier, maka pedoman Pelayanan Antenatal Terintegrasi

adalah pedoman minimal pelayanan antenatal (Depkes RI, 2009).

B. Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu Dan Anak (PWS KIA)

1. Pengertian

Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA)

adalah alat manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA di suatu

wilayah kerja secara terus menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang
10

cepat dan tepat. Program KIA yang dimaksud meliputi pelayanan ibu hamil,

ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, keluarga

berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan komplikasi, bayi, dan

balita. Kegiatan PWS KIA terdiri dari pengumpulan, pengolahan, analisis

dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara

program dan pihak instansi terkait untuk tindak lanjut (Depkes RI, 2009).

Definisi dan kegiatan PWS tersebut sama dengan definisi Surveilens.

Menurut WHO, Surveilens adalah suatu kegiatan sistematis

berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan

menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan landasan yang

esensiai dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan

kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan surveilens dalam

kesehatan ibu dan anak adalah dengan melaksanakan PWS KIA.

Dengan PWS KIA diharapkan cakupan pelayanan dapat ditingkatkan

dengan menjangkau seluruh sasaran di suatu wilayah kerja. Dengan

terjangkaunya seluruh sasaran maka diharapkan seluruh kasus dengan faktor

risiko atau komplikasi dapat ditemukan sedini mungkin agar dapat

memperoleh penanganan yang memadai.

Penyajian PWS KIA juga dapat dipakai sebagai alat advokasi,

informasi dan komunikasi kepada sektor terkait, khususnya aparat setempat

yang berperan dalam pendataan dan penggerakan sasaran. Dengan demikian

PWS KIA dapat digunakan untuk memecahkan masalah teknis dan non
11

teknis. Pelaksanaan PWS KIA akan lebih bermakna bila ditindaklanjuti

dengan upaya perbaikan dalam pelaksanaan pelayanan KIA, intensifikasi

manajemen program, penggerakan sasaran dan sumber daya yang diperlukan

dalam rangka meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan KIA. Hasil

analisis PWS KIA di tingkat puskesmas dan kabupaten kota dapat digunakan

untuk menentukan puskesmas dan desa/kelurahan yang rawan. Demikian

pula hasil analisis PWS KIA di tingkat provinsi dapat digunakan untuk

menentukan kabupaten/kota yang rawan (Depkes RI, 2009).

2. Tujuan

Depkes RI, (2009) mengatakan tujuan PWS KIA adalah :

a. Tujuan umum

Terpantaunya cakupan dan mutu pelayanan KIA secara terus menerus di

setiap wilayah kerja.

b. Tujuan Khusus

a) Memantau pelayanan KIA secara Individu melalui Kohort

b) Memantau kemajuan pelayanan KIA dan cakupan indikator KIA

secara teratur (bulanan) dan terus menerus.

c) Menilai kesenjangan pelayanan KIA terhadap standar pelayanan

KIA.

d) Menilai kesenjangan pencapaian cakupan indikator KIA terhadap

target yang ditetapkan.


12

e) Menentukan sasaran individu dan wilayah prioritas yang akan

ditangani secara intensif berdasarkan besarnya kesenjangan.

f) Merencanakan tindak lanjut dengan menggunakan sumber daya

yang tersedia dan yang potensial untuk digunakan.

g) Meningkatkan peran aparat setempat dalam penggerakan sasaran

dan mobilisasi sumber daya.

h) Meningkatkan peran serta dari kesadaran masyarakat untuk

memanfaatkan pelayanan KIA.

3. Prinsip Pengelolaan Program KIA

Depkes RI, (2009) mengatakan Prinsip Pengelolaan Program KIA antara lain

meliputi :

a. Pengelolaan program KIA bertujuan memantapkan dan meningkatkan

jangkauan serta mutu pelayanan KIA secara efektif dan efisien.

Pemantapan pelayanan KIA dewasa ini diutamakan pada Kegiatan

pokok sebagai berikut :

a) Peningkatan pelayanan antenatal sesuai standar bagi seluruh ibu

hamil di semua fasilitas kesehatan.

b) Peningkatan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan

kompeten diarahkan ke fasilitas kesehatan.

c) Peningkatan pelayanan bagi seluruh ibu nifas sesuai standar di

semua fasilitas kesehatan.


13

d) Peningkatan pelayanan bagi seluruh neonatus sesuai standar di

semua fasilitas kesehatan.

e) Peningkatan deteksi dini faktor risiko dan komplikasi kebidanan

dan neonatus oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat.

f) Peningkatan penanganan komplikasi kebidanan dan neonatus secara

adekuat dan pengamatan secara terus-menerus oleh tenaga

kesehatan.

g) Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh bayi sesuai standar

di semua fasilitas kesehatan.

h) Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh anak balita sesuai

standar di semua fasilitas kesehatan.

i) Peningkatan pelayanan KB sesuai standar.

b. Pelayanan Antenatal

Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga

kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai

dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar

Pelayanan Kebidanan (SPK). Pelayanan antenatal sesuai standar

meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan),

pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus, serta intervensi umum dan

khusus (sesuai risiko yang ditemukan dalam pemeriksaan). Dalam

penerapannya terdiri atas :

a) Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.


14

b) Ukur tekanan darah.

c) Nilai Status Gizi (ukur lingkar lengan atas).

d) Ukur tinggi fundus uteri.

e) Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ).

f) Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus

Toksoid (TT) bila diperlukan.

g) Pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan.

h) Test laboratorium (rutin dan khusus).

i) Tata laksana kasus

j) Temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan Persalinan dan

Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan.

Pemeriksaan laboratorium rutin mencakup pemeriksaan golongan

darah, hemoglobin, protein urine dan gula darah puasa. Pemeriksaan

khusus dilakukan di daerah prevalensi tinggi dan atau kelompok

berrisiko, pemeriksaan yang dilakukan adalah hepatitis B, HIV, Sifilis,

malaria, tuberkulosis, kecacingan dan thalasemia.

Dengan demikian maka secara operasional, pelayanan antenatal

disebut lengkap apabila dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memenuhi

standar tersebut. Ditetapkan pula bahwa frekuensi pelayanan antenatal

adalah minimal 4 kali selama kehamilan, dengan ketentuan waktu

pemberian pelayanan yang dianjurkan sebagai berikut :

a. Minimal 1 kali pada triwulan pertama.


15

b. Minimal 1 kali pada triwulan kedua.

c. Minimal 2 kali pada triwulan ketiga

Standar waktu pelayanan antenatal tersebut dianjurkan untuk

menjamin perlindungan kepada ibu hamil, berupa deteksi dini faktor

risiko, pencegahan dan penanganan komplikasi.

Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan

antenatal kepada Ibu hamil adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter,

bidan dan perawat.

c. Pertolongan Persalinan

Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan

persalinan yang aman yang di lakukan oleh tenaga kesehatan yang

kompeten. Pada kenyataan di lapangan, masih terdapat penolong

persalinan yang bukan tenaga kesehatan dan dilakukan di luar fasilitas

pelayanan kesehatan. Oleh karena itu secara bertahap seluruh persalinan

akan ditolong oleh tenaga kesehatan kompeten dan diarahkan ke fasilitas

pelayanan kesehatan.

Pada prinsipnya, penolong persalinan harus memperhatikan hal-

hal sebagai berikut:

a) Pencegahan infeksi

b) Metode pertolongan persalinan yang sesuai standar.

c) Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke tingkat pelayanan yang

lebih tinggi.
16

d) Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).

e) Memberikan Injeksi Vit K 1 dan salap mata pada bayi baru lahir.

Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan

pertolongan persalinan adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter dan

bidan.

d. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas

Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai

standar pada ibu mulai 6 jam sampai 42 hari pasca bersalin oleh tenaga

kesehatan. Untuk deteksi dini komplikasi pada ibu nifas diperlukan

pemantauan pemeriksaan terhadap ibu nifas dengan melakukan

kunjungan nifas minimal sebanyak 3 kali dengan ketentuan waktu:

a) Kunjungan nifas pertama pada masa 6 jam sampai dengan 3 hari

setelah persalinan.

b) Kunjungan nifas ke dua dalam waktu 2 minggu setelah persalinan (8

- 14 hari).

c) Kunjungan nifas ke tiga dalam waktu 6 minggu setelah persalinan

(36 - 42 hari).

Pelayanan yang diberikan adalah :

a. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu.

b. Pemeriksaan tinggi fundus uteri (involusi uterus).

c. Pemeriksaan lochea dan pengeluaran pervaginam lainnya.

d. Pemeriksaan payudara dan anjuran ASI eksklusif 6 bulan.


17

e. Pemberian kapsul Vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali,

pertama segera setelah melahirkan, kedua diberikan setelah 24

jam pemberian kapsul Vitamin A pertama.

f. Pelayanan KB pasca satin

Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan

kesehatan ibu nifas adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter,

bidan dan perawat.

e. Pelayanan Kesehatan Neonatus

Pelayanan kesehatan neonatus adalah pelayanan kesehatan sesuai

standar yang diberikan oteh tenaga kesehatan yang kompeten kepada

neonatus sedikitnya 3 kali, selama periode 0 sampai dengan 28 hari

setelah lahir, balk di fasilitas kesehatan maupun melalui kunjungan

rumah.

1. Pelaksanaan pelayanan kesehatan neonatus

a. Kunjungan Neonatal ke-1 (KN 1) dilakukan pada kurun waktu 6 -

48 Jam setelah lahir.

b. Kunjungan Neonatal ke-2 (KN 2) dilakukan pada kurun waktu

hari ke 3 sampai dengan had ke 7 setelah lahir.

c. Kunjungan Neonatal ke-3 (KN 3) dilakukan pada kurun waktu

hari ke 8 sampai dengan had ke 28 setelah lahir.

Kunjungan neonatal bertujuan untuk meningkatkan akses neonatus

terhadap pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila


18

terdapat kelainan/masalah kesehatan pada neonatus. Risiko terbesar

kematian neonatus terjadi pada 24 jam pertama kehidupan, minggu

pertama dan bulan pertama kehidupannya. Sehingga jika bayi lahir di

fasilitas kesehatan sangat dianjurkan untuk tetap tinggal di fasilitas

kesehatan selama 24 jam pertama

Pelayanan Kesehatan Neonatal dasar dilakukan secara

komprehensif dengan melakukan pemeriksaan dan perawatan Bayi baru

Lahir dan pemeriksaan menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu

Bayi Muda (MTBM) untuk memastikan bayi dalam keadaan sehat, yang

meliputi :

a. Pemeriksaan dan Perawatan Bayi Baru Lahir

a) Perawatan Tali pusat

b) Melaksanakan ASI Eksklusif

c) Memastikan bayi telah diberi Injeksi Vitamin K1

d) Memastikan bayi telah diberi Salep Mata Antibiotik

e) Pemberian Imunisasi Hepatitis B-0

b. Pemeriksaan menggunakan pendekatan MTBM

Pemeriksaan tanda bahaya seperti kemungkinan infeksi

bakteri, ikterus, diare, berat badan rendah dan Masalah pemberian

ASI.

a) Pemberian Imunisasi Hepatitis BO bila belum diberikan pada

waktu perawatan bayi baru lahir


19

b) Konseling terhadap ibu dan keluarga untuk memberikan ASI

eksklusif, pencegahan hipotermi dan melaksanakan perawatan

bayi baru lahir di rumah dengan menggunakan Buku KIA.

c) Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan.

Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan kesehatan

neonatus adalah : dokter spesialis anak, dokter, bidan dan perawat.

f. Deteksi dini faktor risiko dan komplikasi kebidanan dan neonatus oleh

tenaga kesehatan maupun masyarakat.

Deteksi dini kehamilan dengan faktor risiko adalah kegiatan yang

dilakukan untuk menemukan ibu hamil yang mempunyai faktor risiko

dan komplikasi kebidanan. Kehamilan merupakan proses reproduksi

yang normal, tetapi tetap mempunyai risiko untuk terjadinya

komplikasi. Oleh karenanya deteksi dini oleh tenaga kesehatan dan

masyarakat tentang adanya risiko dan komplikasi, serta penanganan

yang adekuat sedini mungkin, merupakan kunci keberhasilan dalam

penurunan angka kematian ibu dan bayi yang dilahirkannya.

1. Faktor risiko pada ibu hamil adalah

a. Primigravida kurang dari 20 tahun atau lebih dan 35 tahun.

b. Anak lebih dari 4.

c. jarak persalinan terakhir dan kehamilan sekarang kurang dan 2

tahun.
20

d. Kurang Energi Kronis (KEK) dengan Iingkar lengan atas kurang

dari 23,5 cm, atau penambahan berat badan < 9 kg selama masa

kehamilan.

e. Anemia dengan dari Hemoglobin < 11 g/dl.

f. Tinggi badan kurang dari 145 cm, atau dengan kelainan bentuk

panggul dan tulang belakang

g. Riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya atau sebelum

kehamilan ini.

h. Sedang pernah menderita penyakit kronis, antara lain:

tuberkulosis, kelainan jantung-ginjal-hati, psikosis, kelainan

endokrin (Diabetes Mellitus, Sistemik Lupus Eritematosus, dll),

tumor dan keganasan

i. Riwayat kehamilan buruk: keguguran berulang, kehamilan

ektopik terganggu, mola hidatidosa, ketuban pecah dini,. bayi

dengan cacat congenital

j. Riwayat persalinan dengan komplikasi : persalinan dengan

seksio sesarea, ekstraksivakum/ forseps.

k. Riwayat nifas dengan komplikasi : perdarahan paska persalinan,

Infeksi masa nifas, psikosis postpartum (postpartum blues).

l. Riwayat keluarga menderita penyakit kencing manis, hipertensi

dan riwayat cacat kongenital.

m. Kelainan jumlah janin : kehamilan ganda, janin dampit, monster.


21

n. Kelainan besar janin : pertumbuhan janin terhambat, Janin besar.

o. Kelainan letak dan posisi janin : lintang/oblique, sungsang pada

usia kehamilan lebih dari 32 minggu.

Catatan : penambahan berat badan ibu hamil yang normal adalah

9 - 12 kg selama masa kehamilan.

2. Komplikasi pada ibu hamil, bersalin dan nifas antara lain :

a. Ketuban pecah dini.

b. Perdarahan pervaginam :

a) Ante Partum : keguguran, plasenta previa, solusio plasenta

b) Intra Partum : robekan jalan lahir

c) Post Partum : atonia uteri, retensio plasenta, plasenta

inkarserata, kelainan pembekuan darah, subinvolusi uteri

d) Hipertensi dalam Kehamilan (HDK): Tekanan darah tinggi

(sistolik > 140 mmHg, diastolik > 90 mmHg), dengan atau

tanpa edema pre-tibial.

e) Ancaman persalinan prematur.

c. Infeksi berat dalam kehamilan : demam berdarah, thus

abdominalis, Sepsis.

d. Distosia: Persalinan macet, persalinan tak maju.

e. Infeksi masa nifas.


22

Sebagian besar kematian ibu dapat dicegah apabila mendapat

penanganan yang adekuat di fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor waktu

dan transportasi merupakan hal yang sangat menentukan dalam merujuk

kasus risiko tinggi. Oleh karenanya Deteksi faktor risiko pada ibu baik

oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat merupakan salah satu upaya

penting dalam mencegah kematian dan kesakitan ibu.

Faktor risiko pada neonatus adalah sama dengan faktor risiko pada

ibu hamil. Ibu hamil yang memiliki faktor risiko akan meningkatkan

risiko terjadinya komplikasi pada neonatus. Deteksi dini untuk

3. Komplikasi pada Neonatus dengan melihat tanda-tanda atau gejala

gejala sebagai berikut:

1) Tidak Mau Minum/menyusu atau memuntahkan semua

2) Riwayat Kejang

3) Bergerak hanya jika dirangsang/Letargis

4) frekwensi Napas < = 30 X/menit dan >= 60x/menit

5) Suhu tubuh <= 35,5 C dan >= 37,5 C

6) Tarikan dinding dada ke dalam yang sangat kuat

7) Merintih

8) Ada pustul kulit

9) Nanah banyak di mata

10) Pusar kemerahan meluas ke dinding perut.

11) Mata cekung dan cubitan kulit perut kembali sangat lambat
23

12) Timbul kuning dan atau tinja berwarna pucat

13) Berat badan menurut umur rendah dan atau ada masalah

pemberian ASI

14) BBLR : Bayi Berat Lahir Rendah < 2500 gram

15) Kelainan Kongenital seperti ada celah di bibir dan langit-langit.

4. Komplikasi pada neonatus antara lain

1) Prematuritas dan BBLR (bayi berat lahir rendah < 2500 gr)

2) Asfiksia

3) Infeksi Bakteri 4. Kejang

4) Ikterus

5) Diare

6) Hipotermia

7) Tetanus neonatorum

8) Masalah pemberian ASI

9) Trauma lahir, sindroma gangguan pernapasan, kelainan

kongenital, dll.

g. Penanganan Komplikasi Kebidanan

Penanganan komplikasi kebidanan adalah pelayanan kepada

ibu dengan komplikasi kebidanan untuk mendapat penanganan

definitive sesuai standar oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat

pelayanan dasar dan rujukan. Diperkirakan sekitar 15-20 % ibu hamil

akan mengalami komplikasi kebidanan. Komplikasi dalam kehamilan


24

dan persalinan tidak selalu dapat diduga sebelumnya, oleh karenanya

semua persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan agar komplikasi

kebidanan dapat segera dideteksi dan ditangani.

Untuk meningkatkan cakupan dan kualitas penanganan

komplikasi kebida an maka diperlukan adanya fasilititas pelayanan

kesehatan yang mampu memberikan pelayanan obstetri dan neonatal

emergensi secara berjenjang mulai dari bidan, puskesmas mampu

PONED sampai rumah sakit PONED 24 jam.

Pelayanan medis yang dapat dilakukan di Puskesmas mampu

PONED meliputi

1. Pelayanan obstetri :

a. Penanganan perdarahan pada kehamilan, persalinan dan nifas.

b. Pencegahan dan penanganan Hipertensi dalam Kehamilan (pre-

eklampsi dan eklampsi)

c. Pencegahan dan penanganan infeksi.

d. Penanganan partus lama/macet.

e. Penanganan abortus.

f. Stabilisasi komplikasi obstetrik untuk dirujuk dan transportasi

rujukan.

2. Pelayanan neonatus

a. Pencegahan dan penanganan asfiksia.

b. Pencegahan dan penanganan hipotermia.


25

c. Penanganan bayi berat lahir rendah (BBLR).

d. Pencegahan dan penanganan infeksi neonatus, kejang neonatus,

ikterus ringan-sedang

e. Pencegahan dan penanganan gangguan minum.

f. Stabilisasi komplikasi neonatus untuk dirujuk dan transportasi

rujukan.

h. Pelayanan neonatus dengan komplikasi

Pelayanan Neonatus dengan komplikasi adalah penanganan

neonatus dengan penyakit dan kelainan yang dapat menyebabkan

kesakitan, kecacatan dan kematian oleh dokter/bidan/perawat terlatih di

polindes, puskesmas, puskesmas PONED, rumah bersalin dan rumah

sakit pemerintah/swasta.

Diperkirakan sekitar 15% dari bayi lahir hidup akan mengalami

komplikasi neonatal. Hari Perama kelahiran bayi sangat penting, oleh

karena banyak perubahan yang terjadi pada bayi dalam menyesuaikan

diri dari kehidupan di dalam rahim kepada kehidupan di luar rahim.

Bayi baru lahir yang mengalami gejala sakit dapat cepat memburuk,

sehingga bila tidak ditangani dengan adekuat dapat terjadi kematian.

Kematian bayi sebagian besar terjadi pada hari pertama, minggu

pertama kemudian bulan pertama kehidupannya.

Kebijakan Departemen Kesehatan dalam peningkatan akses dan

kualitas penanganan komplikasi neonatus tersebut antara lain


26

penyediaan puskesmas mampu PONED dengan target setiap

kabupaten/kota harus mempunyai minimal 4 (empat) puskesmas mampu

PONED.

Puskesmas PONED adalah puskesmas rawat inap yang memiliki

kemampuan serta fasilitas PONED siap 24 jam untuk memberikan

pelayanan terhadap ibu hamil, bersalin dan nifas serta kegawatdaruratan

bayi baru lahir dengan komplikasi baik yang datang sendiri atau atas

rujukan kader/masyarakat, bidan di desa, Puskesmas dan melakukan

rujukan ke RS/RS PONED pada kasus yang tidak mampu ditangani.

Untuk mendukung puskesmas mampu PONED ini, diharapkan

RSU Kabupaten/Kota mampu melaksanakan pelayanan obstetri dan

neonatal emergensi komprehensif (PONED) yang siap selama 24 jam.

Dalam PONED, RSU harus mampu melakukan pelayanan emergensi

dasar dan pelayanan operasi seksio sesaria, perawatan neonatus level ll

serta transfusi darah.

Dengan adanya puskesmas mampu PONED dan RS mampu

PONEK maka kasus - kasus komplikasi kebidanan dan neonatal dapat

ditangani secara optimal sehingga dapat mengurangi kematian ibu dan

neonatus.
27

i. Pelayanan Kesehatan Bayi.

Pelayanan kesehatan bayi adalah pelayanan kesehatan sesuai

standar yang diberikan oleh tenaga kesehatan kepada bayi sedikitnya 4

kali, selama periode 29 hari sampai dengan 11 bulan setelah lahir.

Pelaksanaan pelayanan kesehatan bayi adalah :

1. Kunjungan bayi satu kali pada umur 29 hari - 2 bulan.

2. Kunjungan bayi satu kali pada umur 3 - 5 bulan.

3. Kunjungan bayi satu kali pada umur 6 - 8 bulan.

4. Kunjungan bayi satu kali pada umur 9 - 11 bulan.

Kunjungan bayi bertujuan untuk meningkatkan akses bayi

terhadap pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila

terdapat kelainan pada bayi sehingga cepat mendapat pertolongan,

pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit melalui pemantauan

pertumbuhan, imunisasi, serta peningkatan kualitas hidup bayi dengan

stimulasi tumbuh kembang. Dengan demikian hak anak mendapatkan

pelayanan kesehatan terpenuhi. Pelayanan kesehatan tersebut meliputi

a. Pemberian imunisasi dasar lengkap (BCG, Polio 1,2,3,4, DPT/HB

1,2,3, Campak) sebelum bayi berusia 1 tahun.

b. Stimulasi deteksi intervensi dini tumbuh kembang bayi (SDIDTK).

c. Pemberian vitamin A 100.000 IU (6 - 11 bulan).


28

d. Konseling ASI eksklusif, pemberian makanan pendamping ASI,

tanda - tanda sakit dan perawatan kesehatan bayi di rumah

menggunakan Buku KIA.

e. Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan.

j. Pelayanan kesehatan anak balita

Lima tahun pertama kehidupan, pertumbuhan mental dan

intelektual berkembang pesat. Masa ini merupakan masa kecemasan

atau golden period dimana terbentuk dasar-dasar kemampuan keindraan,

berfikir, berbicara serta pertumbuhan mental intelektual yang intensif

dan awal pertumbuhan moral. Pada masa ini stimulasi sangat penting

untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organ tubuh dan rangsangan

pengembangan otak. Upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan dan

perkembangan pada anak usia dini menjadi sangat penting agar dapat

dikoreksi sedini mungkin dan atau mencegah gangguan ke arah yang

lebih berat .

Bentuk pelaksanaan tumbuh kembang anak di lapangan

dilakukan dengan mengacu pada pedoman Stimulasi, Deteksi dan

Intervensi Tumbuh Kembang Anak (SDIDTK) yang dilaksanakan oleh

tenaga kesehatan di puskesmas dan jajarannya seperti dokter, bidan

perawat, ahli gizi, penyuluh kesehatan masyarakat dan tenaga kesehatan

lainnya yang peduli dengan anak.


29

Kematian bayi dan balita merupakan salah satu parameter derajat

kesejahteraan suatu negara. Sebagian besar penyebab kematian bayi dan

balita dapat dicegah dengan teknologi sederhana di tingkat pelayanan

kesehatan dasar, salah satunya adalah dengan menerapkan Manajemen

Terpadu Balita Sakit (MTBS), di tingkat pelayanan kesehatan dasar.

Bank Dunia, 1993 melaporkan bahwa MTBS merupakan intervensi

yang cost effective untuk mengatasi masaiah kematian balita yang

disebabkan oleh Infeksi Pernapasan Akut (ISPA), diare, campak,

malaria, kurang gizi dan yang sering merupakan kombinasi dari keadaan

tersebut.

Sebagai upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian

balita, Departemen Kesehatan RI bekerja sama dengan WHO telah

mengembangkan paket pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit

(MTBS) yang mulai dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1996 dan

implementasinya dimulai 1997 dan saat ini telah mencakup 33 provinsi.

Pelayanan kesehatan anak balita meliputi pelayanan pada anak

balita sakit dan sehat. Pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan

sesuai standar yang meliputi :

a. Pelayanan pemantauan pertumbuhan minimal 8 kali setahun yang

tercatat dalam Buku KIA/KMS. Pemantauan pertumbuhan adalah

pengukuran berat badan anak balita setiap bulan yang tercatat pada

Buku KIA/KMS. Bila berat badan tidak naik dalam 2 bulan


30

berturut-turut atau berat badan anak balita di bawah garis merah

harus dirujuk ke sarana pelayanan kesehatan.

b. Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang

(SDIDTK) minimal 2 kali '4alam setahun. Pelayanan SDIDTK

meliputi pemantauan perkembangan motorik kasar, motorik halus,

bahasa, sosialisasi dan kemandirian minimal 2 kali pertahun (setiap

6 bulan). Pelayanan SDIDTK diberikan di dalam gedung (sarana

pelayanan kesehatan) maupun di luar gedung.

c. Pemberian Vitamin A dosis tinggi (200.000 IU), 2 kali dalam

setahun.

d. Kepemilikan dan pemanfaatan buku KIA oleh setiap anak balita

e. Pelayanan anak balita sakit sesuai standar dengan menggunakan

pendekatan MTBS.

k. Pelayanan KB Berkualitas.

Pelayanan KB berkualitas adalah pelayanan KB sesuai standar

dengan menghormati hak individu dalam merencanakan kehamilan

sehingga diharapkan dapat berkontribusi dalam menurunkan angka

kematian Ibu dan menurunkan tingkat fertilitas (kesuburan) bagi

rangsangan yang telah cukup memiliki anak (2 anak lebih baik) serta

ineningkatkan fertilitas bagi pasangan yang ingin mempunyai anak.

Pelayanan KB bertujuan untuk menunda (merencanakan)

kehamilan. Bagi Pasangan Usia Subur yang ingin menjarangkan


31

dan/atau menghentikan kehamilan, dapat menggunakan metode

kontrasepsi yang meliputi :

a. KB alamiah (sistem kalender, metode amenore laktasi, coitus

interuptus).

b. Metode KB hormonal (pil, suntik, susuk).

c. Metode KB non-hormonal (kondom, AKDR/IUD, vasektomi dan

tubektomi).

Sampai saat ini di Indonesia cakupan peserta KB aktif

(Contraceptive Prevalence Rate/CPR) mencapai 61,4% (SDKI 2007)

dan angka ini merupakan pencapaian yang cukup tinggi diantara negara-

negara ASEAN. Namun demikian metode yang dipakai lebih banyak

menggunakan metode jangka pendek seperti pil dan suntik. Menurut

data SDKI 2007 akseptor KB yang menggunakan suntik sebesar 31,6%,

pil 13,2 %, AKDR 4,8%, susuk 2,8%, tubektomi 3,1%, vasektomi 0,2%

dan kondom 1,3%. Hal ini terkait dengan tingginya angka putus

pemakaian (DO) pada metode jangka pendek sehingga perlu

pemantauan yang terus menerus. Disamping itu pengelola program KB

perlu memfokuskan sasaran pada kategori PUS dengan "4 terlalu"

(terlalu muda, tua, sering dan banyak).

Untuk mempertahankan dan meningkatkan cakupan peserta KB

perlu diupayakan pengelolaan program yang berhubungan dengan

peningkatan aspek kualitas, teknis dan aspek manajerial pelayanan KB.


32

Dari aspek kualitas perlu diterapkan pelayanan yang sesuai standar dan

variasi pilihan metode KB, sedangkan dari segi teknis perlu dilakukan

pelatihan klinis dan non-klinis secara berkesinambungan. Selanjutnya

aspek manajerial, pengelola program KB perlu melakukan revitalisasi

dalam segi analisis situasi program KB dan sistem pencatatan dan

pelaporan pelayanan KB.

Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan KB kepada

masyarakat adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan

perawat.

4. Indikator Pemantauan

Indikator pemantauan program KIA yang dipakai untuk PWS KIA

meliputi indikator yang dapat menggambarkan keadaan kegiatan pokok

dalam program KIA (Depkes RI, 2009).

Sasaran yang digunakan dalam PWS KIA berdasarkan kurun waktu 1

tahun dengan prinsip konsep wilayah (misalnya: Untuk provinsi memakai

sasaran provinsi, untuk kabupaten memakai sasaran kabupaten).

A. Akses pelayanan antenatal (cakupan K1)

Adalah cakupan ibu hamil yang pertama kali mendapat pelayanan

antenatal oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu

tertentu.
33

Indikator akses ini digunakan untuk mengetahui jangkauan

pelayanan antenatal serta kemampuan program dalam menggerakkan

masyarakat.

Rumus yang dipakai untuk perhitungannya adalah :

Jumlah sasaran ibu hamil daiam 1 tahun dapat diperoleh melalui

Proyeksi, dihitung berdasarkan perkiraan jumlah ibu hamil dengan

menggunakan rumus: 1,10 X angka kelahiran kasar (CBR) X jumlah

penduduk

Angka kelahiran kasar (CBR) yang digunakan adalah angka

terakhir CBR kabupaten/kuta yang diperoleh dari kantor perwakilan

Badan Pusat Statistik (BPS) di kabupaten/kota. Bila angka CBR

kabupaten/kota tidak ada maka dapat digunakan angka terakhir CDR

propinsi. CBR propinsi dapat diperoleh juga dari buku Data Penduduk

Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 2007 - 2011 (Pusat Data

Kesehatan Depkes RI, tahun 2007).

Contoh - untuk menghitung perkiraan jumlah ibu harp di desa/

kelurahan X di kabupaten Y yang mempunyai penduduk sebanyak 2

.000 jiwa dan angka CBR terakhir kabupaten Y 27, 0/1.000 penduduk,

maka
Jumlah kunjungan ibu hamil pertama (K1)
x 100 %
Jumlah sasaran ibu hamil dalam 1 tahun

Jumlah ibu hamil = 1,10 X 0,027 x 2.000 = 59,4. Jadi sasaran ibu

hamil di desa/kelurahan X adalah 59 orang.


34

B. Cakupan pelayanan ibu hamil (cakupan K4)

Adalah cakupan ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan

antenatal sesuai dengan standar, paling sedikit empat kali dengan

distribusi waktu 1 kali pada trimester ke-1, 1 kali pada trimester ke-2

dan 2 kali pada trimester ke-3 disuatu wilayah kerja pada kurun waktu

tertentu.

Dengan indikator ini dapat diketahui cakupan pelayanan antenatal

secara lengkap (memenuhi standar pelayanan dan menepati waktu yang

ditetapkan), yang menggambarkan tingkat perlindungan ibu hamil di

suatu wilayah, di samping menggambarkan,kemampuan manajemen

ataupun kelangsungan program KIA.

Rumus yang dipakai untuk perhitungannya adalah :

Jumlah kunjungan ibu hamil 4 kali (K4)


x 100 %
Jumlah sasaran ibu hamil dalam 1 tahun

C. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn)

Adalah cakupan ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan

oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan, di suatu

wilayah kerja dalam kurun waktu tertentu.


35

Dengan indikator ini dapat diperkirakan proporsi persalinan yang

ditangani oleh tenaga kesehatan dan ini menggambarkan kemampuan

manajemen program KIA dalam pertolongan persalinan sesuai standar.

Rumus yang digunakan sebagai berikut :

Jumlah pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan


x 100 %
Jumlah sasaran ibu bersalin dalam 1 tahun
1,05 X angka kelahiran kasar (CBR) X jumlah penduduk

Contoh : untuk menghitung perkiraan jumlah ibu bersalin di desal

kelurahan X di kabupaten Y yang mempunyai penduduk sebanyak 2.000

penduduk dan angka CBR terakhir kabupaten Y 27,0/1.000 penduduk

maka jumlah ibu bersalin = 1,05 X 0,027 x 2.000 = 56,7.

Jadi sasaran ibu bersalin di desa/kelurahan X adalah 56 orang.

D. Cakupan pelayanan nifas oleh tenaga kesehatan (KF3)

Adalah cakupan pelayanan kepada ibu pada masa 6 jam sampai

dengan 42 hari pasca bersalin sesuai standar paling sedikit 3 kali dengan

distribusi waktu 6 jam - 3 hari, 8 - 14 hari dan 36 - 42 hari setelah bersalin

di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

Dengan indikator ini dapat diketahui cakupan pelayanan nifas secara

lengkap (memenuhi standar pelayanan dan menepati waktu yang

ditetapkan), yang menggambarkan jangkauan dan kualitas pelayanan


36

kesehatan ibu nifas, di samping menggambarkan kemampuan manajemen

ataupun kelangsungan program KIA.

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Jumlah pelayanan ibu nifas oleh tenaga kesehatan min 3 kali


x 100 %
Jumlah sasaran ibu nifas dalam 1 tahun

E. Cakupan pelayanan neonatus pertama (KN 1)

Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai

standar pada 6 - 48 jam setelah lahir di suatu wilayah kerja pada kurun

waktu tertentu.

Dengan indikator ini dapat diketahui akses/jangkauan pelayanan

kesehatan neonatal.

Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut:

Jumlah neonatus yang mendapat pelayanan 6-48 jam setelah lahir


x 100 %
Jumlah neonarus dalam 1 tahun
Jumlah sasaran bayi bisa didapatkan dari perhitungan berdasarkan jumlah

perkiraan (angka proyeksi) bayi dalam satu wilayah tertentu dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :

Jumlah sasaran bayi = Crude Birth Rate x jumlah penduduk

Contoh: untuk menghitung jumlah perkiraan bayi di suatu desa Z 1; Kota

Y Propinsi X yang mernpunyai penduduk sebanyak 1.500 jiwa dan angka


37

CBR terakhir Kota Y24,8/1.000 penduduk, maka Jumlah bayi = 0,0248

x 1500 = 37,2.

Jadi sasaran bayi di desa Z adalah 37 bayi.

F. Cakupan pelayanan kesehatan neonatus 0 - 28 hari (KN Lengkap).

Adalah cakupan neonates yang mendapatkan pelayanan sesuai

standar paling sedikit tiga kali dengan distribusi waktu 1 kali pada 6 - 48

jam, 1 kali pada hari ke 3 -hari ke 7 dan 1 kali pada hari ke 8 - hari ke 28

setelah lahir disuatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

Dengan indikator ini dapat diketahui efektifitas dan kualitas

pelayanan kesehatan neonatal.

Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut:

Jumlah neonatus yang mendapat pelayanan min 3 kali


x 100 %
Jumlah bayi dalam 1 tahun

G. Deteksi faktor risiko dan komplikasi oleh Masyarakat

Adalah cakupan ibu hamil dengan faktor risiko atau komplikasi

yang ditemukan oleh kader atau dukun bayi atau masyarakat serta dirujuk

ke tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

Masyarakat disini, bisa keluarga ataupun ibu hamil, bersalin, nifas itu

sendiri.
38

Indikator ini menggambarkan poran serta dan keterlibatan

masyarakat dalam mendukung upaya peningkatan kesehatan ibu hamil,

bersalin dan nifas.

Rumus yang dipergunakan :

Jumlah ibu hamil, bersalin dan nifas dengan tanda


komplikasi yang dapat ditemukan oleh masyarakat x 100 %
20% dari jumlah sasaran ibu hamil dalam 1 tahun

H. Cakupan Penanganan komplikasi Obstetri (PK)

Adalah cakupan Ibu dengan komplikasi kebidanan di suatu

wilayah kerja pada kurun waktu tertentu yang ditangani secara definitif

sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat

pelayanan dasar dan rujukan. Penangaran definitif adalah penanganan/

pemberian tindakan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan setiap

kasus komplikasi kebidanan.

Indikator ini mengukur kemampuan manajemen program KIA

dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara professional kepada

ibu hamil bersalin dan nifas dengan komplikasi.

Rumus yang dipergunakan :

jumlah ibu hamil, bersalin dan nifas dengan komplikasi


yang ditangani oleh tenaga kesehatan x 100 %

20% dari jumlah sasaran ibu hamil


39

I. Cakupan Penanganan komplikasi neonatus

Adalah cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani

secara definitif oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan

dasar dan rujukan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

Penanganan definitif adalah pemberian tindakan akhir pada setiap kasus

komplikasi neonatus yang pelaporannya dihitung 1 kali pada masa

neonatal. Kasus komplikasi yang ditangani adalah seluruh kasus yang

ditangani tanpa melihat hasilnya hidup atau mati.

Indikator ini menunjukkan kemampuan sarana pelayanan

kesehatan dalam menangani kasus-kasus kegawatdaruratan neonatal,

yang kernudian ditindak lanjuti sesuai dengan kewenangannya, atau dapat

dirujuk ke tingkat pelayanan yang Iebih tinggi.

Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut

Jumlah neonatus dengan komplikasi yang ditangani


Jumlah neonatus dengan faktor resiko 15 % dari seluruh x 100 %
bayi

J. Cakupan pelayanan kesehatan bayi 29 hari - 12 bulan (Kunjungan bayi)

Adalah cakupan bayi yang mendapatkan pelayanan paripurna

minimal 4 kali yaitu 1 kali pada umur 29 hari - 2 bulan, 1 kali pada umur

3 - 5 bulan, dan satu kali pada umur 6 - 8 bulan dan 1 kali pada umur 9 -

11 bulan sesuai standar di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
40

Dengan indikator ini dapat diketahui efektifitas, ur1tinum of care

dan kualitas pelayanan kesehatan bayi.

Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut:

Jumlah bayi memperoleh pelayanan kesehatan


x 100 %
Jumlah bayi

K.Cakupan pelayanan anak balita (12 - 59 bulan)

Cakupan anak balita (12 - 59 bulan) yang memperoleh pelayanan

sesuai standar, meliputi pomantauan pertumhuhan minimal 8x setahun,

pemantauan perkembangan minimal 2 x setahun, pemberian vitamin A 2

x setahun.

Rumus yang digunakan adalah:

Jumlah anak balita yang memperoleh pelayanan


pemantauan pertumbuhan min 8 kali x 100 %
Jumlah anak balita

L. Cakupan Pelayanan kesehatan anak balita sakit yang dilayani dengan

MTBS

Adalah cakupan anak balita (umur 12 - 59 bulan) yang berobat ke

Puskesmas dan mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar

(MTBS) di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

Rumus yang digunakan adalah


41

Jumlah balita sakit yang memperoleh pelayanan


sesuai tatalaksana MTBS di Puskesmas
x 100 %
Jumlah seluruh anak balita sakit yang berkunjung ke
Puskesmas
Jumlah anak balita sakit diperoleh dari kunjungan balita sakit

yang datang ke puskesmas (register rawat jalan di Puskesmas). Jumlah

anak balita sakit yang mendapat pelayanan standar diperoleh dari format

pencatatan dan pelaporan MTBS.

M. Cakupan Peserta KB aktif (Contraceptive Prevalence Rate)

Adalah cakupan dari peserta KB yang baru dan lama yang masih

aktif menggunakan alat dan obat kontrasepsi (alokon) dibandingkan

dengan jumlah pasangan usia subur di suatu wilayah kerja pada kurun

waktu tertentu.

Indikator ini menunjukkan jumlah peserta KB baru dan lama yang

masih aktif memakai alokon terus-menerus hingga saat ini untuk

menunda, menjarangkan kehamilan atau yang mengakhiri kesuburan

(Depkes RI, 2009).

Rumus yang dipergunakan:

Jumlah peserta KB aktif disuatu wilayah kerja


pada kurun waktu tertentu
x 100 %
Jumlah seluruh PLUS disuatu wilayah kerja dalam
1 tahun
42

C. Pengetahuan (Knowledge)

1. Definisi

Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil

pengguaan panca indranya dan berbeda dengan kepercayaan (beliefes),

takhayul (superstition), dan penerangan-penerangan yang keliru

(misinformation) (Soekanto, 2003).

Pengetahuan (Knowledge) juga diartikan sebagai hasil penginderaan

manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang

dimilikinya (mata, hidung dan sebagainya), dengan sendirinya pada waktu

pengindraan sehingga menghasilkan pengetahuan. Hal tersebut sangat

dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek

(Notoatmodjo, 2007).

Menurut Roger (1974). Dalam Notoatmodjo, (2007) mengatakan

bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut

terjadi proses yang berurutan, yakni : 1). Awarness (kesadaran), yakni orang

tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. 2).

Interest, yakni orang yang mulai tertarik pada stimulus. 3). Evaluation,

menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. 4).

Trial ,orang yang telah mencoba perilaku baru. 5). Adoption, yakni subjek

telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya

terhadap stimulus
43

2. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau

tingkatan yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat

pengetahuan :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah

ada sebelumnya setelah mengamati sesuatus (Notoatmodjo, 2010).

Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari

antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan, dan

sebagainya (Notoatmodjo, 2010).

b. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut,

tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat

menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut

(Notoatmodjo, 2010).

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan apabila seseorang yang telah memahami objek yang

dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang telah

diketahui tersebut pada situasi yang lain (Notoatmodjo, 2010 ).


44

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan

memisahkan, dan mencari hubungan antara komponen-komponen yang

terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa

pengetahuan seseorang telah sampai pada tingkat analisis adalah apabila

orang tersebut telah dapat membedakan, atau mengelompokan, membuat

diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut (Notoatmodjo,

2010).

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan seseorang untuk

merangkum atau meletakan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-

komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain sintesis adalah suatu

kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang

telah ada (Notoatmodjo, 2010).

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan

sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri.

(Notoatmodjo, 2010).
45

D. Sikap (attitude)

1. Definisi

Menurut Maramis (2006) sikap merupakan bentuk respon atau

tindakan yang memiliki nilai positif dan negatif terhadap suatu objek atau

orang yang disertai dengan emosi.

Sikap adalah juga diartikan sebagai respon tertutup seseorang terhadap

stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan

emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak

baik dan sebagainya). (Notoatmodjo, 2010).

2. Tingkatan Sikap

Sepertinya halnya dengan pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat-tingkat

berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut :

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau menerima stimulus

yang diberikan (objek) (Notoatmodjo, 2010).

b. Menanggapi (responding)

Menanggapi disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan

terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi (Notoatmodjo, 2010).

c. Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai

positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan


46

orang lain, bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan

orang lain merespon (Notoatmodjo, 2010).

d. Bertanggung Jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tingakatnya adalah bertanggunga jawab

terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil

sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil

resiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau ada resiko lain

(Notoatmodjo, 2010).

3. Skala Sikap

Sikap dapat diukur dengan mengguanakan Skala Likert. Skala Likert

merupakan metode pelaksanaan pernyataan sikap yang menggunakan

distribusi responden sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Kelompok uji

coba ini hendaknyamemiliki karakteristik yang semirip mungkin dengan

karakteristik individu yang hendak diungkapkan sifatnya. Skala Likert

dipergunakan untuk mengukur sikap yang terdiri dari komponen sangat

setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju (Arikunto, 2006).

E. Pendidikan

1. Definisi

Pendidikan adalah serangkaian komunikasi dengan menggunakan

media dalam rangka memberikan bantuan terhadap pengembangan individu


47

seutuhnya supaya dapat mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.

Potensi ini adalah potensi fisik, emosi, sosial, sikap, pengetahuan dan

keterampilan. Pendidikan itu dapat berupa pendidikan formal, informal dan

non formal (Notoatmojo,2003).

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang

lain terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri

bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka

menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang

dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan

menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan informasi

dan nilai-nilai baru diperkenalkan (Mubarak, 2007).

2. Tingkat Pendidikan Formal

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 di Indonesia ada dua

tingkat pendidikan dalam sistim persekolahan yaitu:

a. Pendidikan rendah terdiri dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menegah

Pertama (SMP) atau sederajat.

b. Pendidikan tinggi dalam bentuk SMA, Akademi, Perguruan Tinggi.

Tingkat pendidikan mempengaruhi kesadaran akan pentingnya arti

kesehatan diri individu dan lingkungannya yang dapat mempengaruhi atau

mendorong kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Pendidikan kesehatan

adalah suatu upaya atau kegiatan untuk menciptakan perilaku masyarakat


48

yang kondusif untuk kesehatan artinya pendidikan kesehatan berupaya agar

masyarakat menyadari atau mengetahui hal-hal yang merugikan kesehatan

mereka dan kesehatan orang lain, kemana harus mencari pengobatan bila

mana sakit. Ibu adalah faktor yang sangat penting dalam memperhatikan

status kesehatan dalam keluarga. Pendidikan kesehatan diperlukan pada

kelompok ini agar ibu menyadari atau melakukan hal-hal yang dapat

memperhatikan kesehatan yang baik untuk dirinya dan keturunan mereka

(Notoatmodjo, 2003).
49

BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

A. Kerangka konsep penelitian

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan

antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-

penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2002)

Pengetahuan dipengaruhi oleh informasi yang diberikan seseorang,

meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia mendapat

informasi yang baik maka hal itu dapat meningkatkan pengetahuan seseorang

(Notoadmodjo, 2003).

Variabel Indenpenden Variabel Dependen

PENGETAHUAN
BIDAN

PELAKSANAAN ANC
TERINTEGRASI
SIKAP BIDAN

PENDIDIKAN

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian


50

B. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Definisi Hasil Skala


variabel Cara ukur Alat ukur
operasional ukur ukur
Variable dependen
1 Pelaksanaan Pelayanan Penyebaran kusioner Kusioner Ya Ordinal
ANC Antenatal yang berisi 20 pertanyaan
Terintegrasi diberikan secara tentang ANC Tidak
terintegrasi Terintegrasi dengan
dengan beberapa kiteria :
program lain a. Ya : bila
yang diperlukan melaksanakan
dan dilakukan ANC Terintegrasi
selama 60-100 %
kehamilan. b. Tidak : bila tidak
melaksanakan
ANC Terintegrasi
dibawah 60 %.
Variable indenpenden

2 Pengetahuan Sejauh mana Penyebaran kusioner Kuisioner Baik Ordinal


bidan yang diketahui berisi 16 pernyataan
oleh bidan tentang Pengetahuan Kurang
tentang ANC dengan kiteria :
Terintegrasi a. Baik : bila
mengetahui ANC
Terintegrasi 60-
100 %
b. Kurang : bila
tidak mengetahui
ANC Terintegrasi
dibawah 60 %.
3 Sikap bidan Bagaimana Penyebaran kusioner Kuisioner Positif
bidan merespon dengan kiteria positif bila
Ordinal
tentang ANC x 39 dan negatif bila Negatif
Terintegrasi x 39
51

4 Pendidikan Bagaimana Penyebaran kusioner Kusioner DI Ordinal


prilaku bidan
tentang ANC D III
Terintegrasi

C. Hipotesa

Ha : Ada Hubungan Antara Pengetahuan Bidan Terhadap Pelaksanaan ANC

Terintegrasi.

Ha : Ada Hubungan Antara Sikap Bidan Terhadap Pelaksanaan ANC

Terintegrasi.

Ha : Ada Hubungan Antara Pendidikan Bidan Terhadap Pelaksanaan ANC

Terintegrasi
52

BAB IV

METEDOLOGI PENETILIAN

D. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik adalah penelitian yang

bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variable yang akan diteliti (Supiyudin,

2009) dengan menggunakan pendekatan cross sectional study yaitu pengumpulan

data variable independen dan variable dependen dilakukan dalam waktu bersamaan.

Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui Faktor-Faktor Yang Berhubungan

Dengan Pelaksanaan ANC Terintegrasi Di Wilayah Kerja Puskesmas Krueng Barona

Jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013.

E. Populasi Dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bidan di Puskesmas

Krueng Barona Jaya yang berjumlah 35 orang pada bulan Agustus tahun

2013.

2. Sampel

Sampel yang digunakan didalam penelitian ini adalah bidan yang bekerja

di Puskesmas Krueng Barona Jaya. Tehnik pengambilan sampel dalam

penelitian ini secara total sampling dimana jumlah sampelnya 35 orang.


53

F. Tempat Dan Waktu Penelitian

1. Tempat

Dilaksanakan di Puskesmas Krueng Barona Jaya Kab Aceh Besar

2. Waktu

a. Penelitian dimulai dari proposal.

b. Pengumpulan data dimulai dari tanggal 19 sampai 26 Agustus.

G. Metode Pengumpulan Data

1. Tehnik Pengumpulan data.

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder.

a. Data primer data yang diperoleh langsung dari responden.

b. Data sekunder data yang diperoleh langsung dari Puskesmas Krueng

Barona Jaya.

2. Instrumen penelitian

Dalam penelitian instrumen yang digunakan dalam kesimpulan data

adalah format kesimpulan data yang berbentuk kusioner yang berisi 46

pertanyaan, yang terdiri dari 20 pertanyaan tentang ANC Terintegrasi, 16

pertanyaan tentang pengetahuan dan 10 pertanyaan tentang sikap.

H. Pengolahan Data
54

Setelah dilakukan pengumpulan data, maka selanjutnya data tersebut

diolah secara manual. Pengolahan data dilakukan dengan 4 (empat) tahap

sebagai berikut:

1. Editing, yaitu seluruh kuisioner yang telah diisi oleh responden diperiksa

dengan teliti, apabila terdapat kekeliruan segera diperbaiki sehingga tidak

mengganggu pengolahan data.

2. Coding, yaitu memberikan kode berupa nomor dengan teliti pada setiap

kuisioner yang telah diisi oleh responden untuk mempermudah proses

pengolahan data.

3. Transfering, yaitu memindahkan jawaban atau kode jawaban kedalam

bentuk tabel/memindahkan data coding kedalam bentuk tabulating.

4. Tabulating, yaitu data yang telah tersedia kemudian dijumlah, disusun dan

disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

I. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa yang dilakukan hanya sampai analisa univariat saja, sesuai

dengan desain penelitian deskriptif. Data yang telah terkumpulkan akan

diolah dengan metode statistik deskriptif. Untuk menghitung tiap-tiap

variabel dengan mencari distribusi frekuensi, mean dengan rumus (Sudjana,

2005).
55

Data yang diolah kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

P = x 100%

Keterangan: P = presentase

f = frekuensi

n = jumlah responden yang menjadi sampel (Budiarto, 2002).

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dapat dilakukan dengan dua cara:

a. Dengan menggunakan computer program SPSS, melalui perhitungan

uji chi-Square selanjutnya ditarik kesimpulan, bila nilai P value lebih

kecil dari nilai alpha 5% (0,05) berarti hsil perhitungan statistic

bermakna (signifikan), dan bila P value > 0.05 berarti hasil

perhitungan statistic tidak bermakna.

b. Dengan menggunakan rumus

( )
=

Keterangan :

x2 = Chi- square

O = nilai pengamatan
56

E = nilai yang diharapkan

Adapun ketentuan yang dipakai pada uji statistic adalah :

1. Ho ditolak : jika P value hitung > 0,05, artinya menolak hipotesa

yang menyatakan bahwa ada hubungan signifikan antara variabel-

variabel yang diteliti.

2. Ha diterima : jika P value hitung 0,05, artinya menerima

hipotesa yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara variabel-variabel yang diteliti.

Dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan computer program

Statistika package for social science (SPSS) melalui perhitungan uji

Chi-Square.

Untuk menentukan p-value Chi-Square Tes (X2) tabel, memiliki

ketentuan sebagai berikut (Hastono, 2010):

1. Bila Chi-Square Tes (X2) tabel terdiri dari tabel 2x2 dijumpai nilai

ekspansi (E) <5, maka p-value yang digunakan adalah nilai yang

terdapat pada nilai Fisher Exact Test.

2. Bila Chi-Square Tes (X2) tabel terdiri dari tabel 2x2 tidak

dijumpai nilai ekspansi (E) <5, maka p-value yang digunakan

adalah nilai yang terdapat pada nilai Continuity Correction.


57

3. Bila Chi-Square Tes (X2) tabel terdiri lebih dari tabel 2x2,

contohnya tabel 3x2, 3x3, 3x4 dijumpai nilai ekspantasi (E) <5

maka harus marger (digabungkan).

4. Bila Chi-Square Tes (X2) tabel terdiri lebih dari tabel 2x2,

contohnya tabel 3x2, 3x3, 3x4 tidak dijumpai nilai ekspantasi(E)

<5 mak p-value yang digunakan adalah nilai yang terdapat pada

nilai Pearson Chi-Square.


58

BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas Krueng Barona jaya dibangun pada tahun 2003 dan mulai

digunakan pada tahun 2005. Puskesmas Krueng barona jaya mulai memiliki

PONED pada tahun 2009, dan mulai menjalankan ANC Terintegrasi pada tahun

2012.

Puskesmas Krueng barona Jaya memiliki 3 orang dokter, 35 orang bidan,

S1 perawat 2 orang, S1 kesehatan masyarakat 2 orang, S1 tehnik pangan 1 orang,

Akper 2 orang, Akl 1 orang, Akg 1 orang, Gizi 2 orang, Akk 1 orang, Spk 3 orang,

Spph 1 orang, Analis 1 orang, Sprg 1 orang, Asisten Apoteker 2 orang. Sarana

yang ada di Puskesmas Krueng barona jaya adalah Poli umum pria, Poli umum

wanita, Poli gigi, KIA, Laboraturium, MTBS,Gizi, Poli KB, IGD PONED,

Apotek, memiliki Ambulans.

Puskesmas Krueng Barona Jaya berada di jalan Ceurih, letaknya sangat

strategis karena terletak di simpang jalan besar, jadi untuk menuju Puskesmas

Krueng Barona Jaya sangatlah mudah.

Ditinjau dari segi geografisnya Puskesmas Krueng Barona Jaya dibatasi

oleh:

1. Bagian barat berbatasan dengan jalan Blang Bintang

2. Bagian timur berbatasan dengan Desa Msn intan.


59

3. Bagian selatan berbatasan dengan Desa Mns Baroe.

4. Bagian Utara berbatasan dengan Mns Baet.

B. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas

Krueng Barona Jaya Aceh Besar dilakukan pada tanggal 19 sampai 26 Agustus

2013. Adapun penelitian yang dilakukan pada bidan dengan pendidikan D-I dan

D-III dengan total 35 orang bidan, tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan

Dengan Pelaksanaan Anternatal Care Terintegrasi Di Wilayah Kerja Puskesmas

Krueng Barona Jaya Aceh Besar didapatkan sebagai berikut.

1. Analisa Univariat

Penyajian hasil penelitian memberikan gambaran mengenai distribusi

frekuensi.

a. Pengetahuan

Menurut hasil yang telah didapatkan peneliti, hasil distribusi frekuensi

dari pengetahuan bidan tentang ANC Terintegrasi adalah:

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Tentang Pelaksanaan
ANC Terintegrasi di Wilayah Kerja Krueng Barona Jaya
Aceh Besar Tahun 2013

No Pengetahuan f %
1 Baik 20 57,1
2 Kurang 15 42,9
60

Total 35 100,0
Sumber data primer (di olah tahun 2013)

Berdasarkan tabel 5.1 dari 35 responden yang memiliki pengetahuan

baik dalam pelaksanaan ANC terintegrasi di wilayah kerja Krueng Barona

Jaya Aceh Besar sebanyak 20 responden (57,1%)

b. Sikap

Menurut hasil yang telah didapatkan peneliti, hasil distribusi frekuensi

dari sikap bidan tentang ANC Terintegrasi adalah:

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Sikap Responden Tentang Pelaksanaan ANC
Terintegrasi di Wilayah Kerja Puskesmas Krueng Barona Jaya
Aceh Besar Tahun 2013

No Sikap f %
1 Positif 20 57,1
2 Negatif 15 42,9
Total 35 100,0
Sumber data primer (di olah tahun 2013)

Berdasarkan tabel 5.2 dari 35 responden yang sikap negatif dalam

pelaksanaan ANC terintegrasi di wilayah kerja Krueng Barona Jaya Aceh

Besar sebanyak 20 responden (57,1%)


61

c. Pendidikan

Menurut hasil yang telah didapatkan peneliti, hasil distribusi frekuensi

dari pendidikan bidan adalah:

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Pendididkan Responden Tentang Pelaksanaan ANC
Terintegrasi di Wilayah Kerja Puskesmas Krueng
Barona Jaya Aceh Besar
Tahun 2013

No Pendidikan f %
1 D-I 15 42,9
2 D-III 20 57,1
Total 35 100,0
Sumber data primer (di olah tahun 2013)

Berdasarkan tabel 5.3 dari 35 responden yang pendidikan D-III dalam

pelaksanaan ANC terintegrasi di wilayah kerja Krueng Barona Jaya Aceh

Besar sebanyak 20 responden (57,1%)

d. Pelaksanaan ANC terintegrasi

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Tentang Pelaksanaan ANC Terintegrasi di Wilayah
Kerja Puskesmas Krueng Barona Jaya
Aceh Besar Tahun 2013
62

No Pelaksanaan ANC f %
Terintegrasi
1 Ya 21 60

2 Tidak 14 40

Total 35 100,0

Sumber data primer (di olah tahun 2013)

Berdasarkan tabel 5.4 dari 35 responden yang melakukan pelaksanaan

ANC terintegrasi di wilayah kerja Krueng Barona Jaya Aceh Besar sebanyak

21 responden (60%)

2. Analisa Bivariat

a. Hubungan Pengetahuan dengan Pelaksanaan ANC Terintegrasi

Menurut hasil yang telah didapatkan peneliti, hasil distribusi hubungan

pengetahuan bidan dengan pelaksanaan ANC Terintegrasi adalah:

Tabel 5.5
Hubungan Pengetahuan dengan Pelaksanaan ANC Terintegrasi
di Wilayah Kerja Krueng Barona Jaya Aceh Besar
Tahun 2013

ANC Terintegrasi
p.
NO Pengetahuan Ya Tidak Total %
value
f % f %
1 Baik 17 85 3 15 20 100
2 Kurang 4 26,7 11 73,3 15 100 0,002
Total 21 60 14 14 35 100
Sumber data primer (di olah tahun 2013)
Berdasarkan tabel 5.5 didapat hasil, dari 20 responden yang memiliki

pengetahuan tinggi ada 17 (85%) yang melakukan pelaksanaan ANC


63

terintegrasi, dan dari 15 responden memiliki pengetahuan kurang ada 11

(73,3%) tidak melakukan ANC terintegrasi. Hasil analisis statistik uji chi-

square menunjukan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan

pelaksanaan ANC terintegrasi (p value= 0,002<0,05).

b. Hubungan Sikap dengan Pelaksanaan ANC Terintegrasi

Menurut hasil yang telah didapatkan peneliti, hasil distribusi hubungan

sikap bidan dengan pelaksanaan ANC Terintegrasi adalah:

Tabel 5.6
Hubungan Sikap dengan Pelaksanaan ANC Terintegrasi di Wilayah
Kerja Krueng Barona Jaya Aceh Besar
Tahun 2013

ANC Terintegrasi
p.
No Sikap Ya Tidak Total %
value
f % f %
1 Baik 14 79 6 30 20 100
2 Kurang 7 46,7 8 15 15 100 0,296
Total 21 60 14 14 35 100
Sumber data primer (di olah tahun 2013)

Berdasarkan tabel 5.6 didapat hasil, dari 20 responden yang memiliki

sikap positif terdapat 14 (70%) yang melakukan pelaksanaan ANC

terintegrasi, dan dari 15 responden yang memiliki sikap negatif terdapat 8

(53,3%) yang tidak melakukan ANC terintegrasi. Hasil analisis statistik uji
64

chi-square menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara sikap dengan

pelaksanaan ANC terintegrasi (p value= 0,296>0,05).

c. Hubungan Pendidikan dengan Pelaksanaan ANC Terintegrasi

Menurut hasil yang telah didapatkan peneliti, hasil distribusi hubungan

pendidikan bidan dengan pelaksanaan ANC Terintegrasi adalah:

Tabel 5.7
Hubungan Pendidikan dengan Pelaksanaan ANC Terintegrasi
di Wilayah Kerja Krueng Barona Jaya
Aceh Besar Tahun 2013

ANC Terintegrasi
p.
No Pendidikan Ya Tidak Total %
value
f % f %
1 D-I 13 86,7 2 13,3 20 100
2 D-II 8 40 12 60 15 100 0,015
Total 21 60 14 14 35 100
Sumber data primer (di olah tahun 2013)

Berdasarkan tabel 5.7 didapat hasil, dari 20 responden yang

berpendidikan D-I terdapat 13 (86,7%) yang melakukan pelaksanaan ANC


65

terintegrasi, dan dari 15 responden yang merpendidikan D-III terdapat 12

(60%) yang tidak melakukan ANC terintegrasi. Hasil analisis statistik uji chi-

square menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan

pelaksanaan ANC terintegrasi (p value= 0,015>0,05).

C. Pembahasan

1. Hubungan Pengetahuan dengan Pelaksanaan ANC Terintegrasi

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa, dari 20 responden yang

memiliki pengetahuan tinggi ada 17 (85%) yang melakukan pelaksanaan ANC

terintegrasi, dan dari 15 responden memiliki pengetahuan kurang ada 11

(73,3%) tidak melakukan ANC terintegrasi. Hasil analisis statistik pada tabel

5.5 diperoleh nilai kemaknaan p= 0.002 (p < 0,05), maka dapat disimpulkan

bahwa ada hubungan antara Pengetahuan dengan ANC Terintegrasi di wilayah

kerja Krueng Barona Jaya Aceh Besar

Menurut Soekarto (2003) pengetahuan adalah kesan didalam pikiran

manusia sebagai hasil penggunaan panca indranya dan berbeda dengan

kepercayaan (beliefees), takhayul (superstition), dan penerangan-penerangan

yang keliru (misinformation).

Pengetahuan (Knowledge) juga diartikan sebagai hasil penginderaan

manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang

dimilikinya (mata, hidung dan sebagainya), dengan sendirinya pada waktu

pengindraan sehingga menghasilkan pengetahuan. Hal tersebut sangat


66

dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek

(Notoatmodjo, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitrihanda (2012) di

universitas muhamadiyah semarang didapatkan bahwa dari 56 responden yang

memiliki pengetahuan yang baik ternyata 31 orang (55%) melakukan

pelayanan ANC yang baik.

Menurut asumsi peneliti responden yang melakukan pelaksanaan ANC

terintegrasi memiliki pengetahuan yang baik dan responden yang

berpengetahuan rendah juga harus tetap melaksanakan ANC terintegrasi karena

ANC terintegrasi adalah hal yang sangat penting untuk ibu hamil.

2. Hubungan Sikap dengan Pelaksanaan ANC terintegrasi

Dari hasil penelitian menunjukan bahwadari 20 responden yang memiliki

sikap positif terdapat 14 (70%) yang melakukan pelaksanaan ANC terintegrasi,

dan dari 15 responden yang memiliki sikap negatif terdapat 8 (53,3%) yang

tidak melakukan ANC terintegrasi. Hasil analisis statistik pada tabel 5.6

diperoleh nilai kemaknaan p= 0.296 (p > 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa

tidak ada hubungan antara sikap dengan ANC Terintegrasi di wilayah kerja

Krueng Barona Jaya Aceh Besar.

Menurut Notoadmodjo (2010) Sikap adalah juga diartikan sebagai respon

tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor
67

pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-

tidak baik dan sebagainya).

Menurut Maramis (2006) sikap merupakan bentuk respon atau tindakan

yang memiliki nilai positif dan negatif terhadap suatu objek atau orang yang

disertai dengan emosi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur islami dewi

(2006) di universitas diponegoro didapatkan bahwa dari 67 responden yang

memiliki sikap yang positif ternyata (89,6%) melakukan pelayanan ANC yang

baik.

Menurut asumsi peneliti sikap responden baik positif maupun negatif tidak

berhubungan dengan pelaksanaan ANC terintegrasi. Karena bagaimanapun sikap

seorang bidan, baik positif maupun negatif, bidan harus tetap dan wajib melaksanakan

ANC terintegrasi, karena ANC terintegrasi sangatlah penting bagi ibu hamil.

3. Hubungan pendidikan dengan Pelaksanaan ANC terintegrasi

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa, dari 20 responden yang

berpendidikan D-I terdapat 13 (86,7%) yang melakukan pelaksanaan ANC

terintegrasi, dan dari 15 responden yang merpendidikan D-III terdapat 12 (60%)

yang tidak melakukan ANC terintegrasi. Hasil analisis statistik pada tabel 5.7

diperoleh nilai kemaknaan p= 0.015 (p > 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa

tidak ada hubungan antara Pendidikan dengan ANC Terintegrasi di wilayah

kerja Krueng Barona Jaya Aceh Besar.


68

Menurut Mubarak (2007) pendidikan berarti bimbingan yang diberikan

seseorang kepada orang lain terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami.

Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin

mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula

pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang tingkat

pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang

terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai baru diperkenalkan.

Pendidikan adalah serangkaian komunikasi dengan menggunakan media

dalam rangka memberikan bantuan terhadap pengembangan individu seutuhnya

supaya dapat mengembangkan potensinya semaksimal mungkin. Potensi ini

adalah potensi fisik, emosi, sosial, sikap, pengetahuan dan keterampilan.

Pendidikan itu dapat berupa pendidikan formal, informal dan non formal

(Notoatmojo,2003).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aruna Ramasamy

(2009) di universitas sumatera utara didapatkan bahwa adanya hubungan

antara tingkat pendidikan dengan pelaksanaan ANC.

Menurut asumsi peneliti responden yang memiliki pendidikan tinggi,

belum tentu menunjang dia dalam melakukan pelaksanaan ANC terintegrasi,

bidan yang berpendidikan D-III kebanyakan menjadi bidan desa, jadi ANC

terintegrasi kebanyakan dilakukan oleh bidan yang berpendidikan D-I.


69

BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian di Wilayah Kerja Krueng Barona jaya Aceh

Besar pada 35 orang responden, maka disimpulkan bahwa :

1. Dari 20 responden yang memiliki pengetahuan tinggi ada 17 (85%) yang

melakukan pelaksanaan ANC terintegrasi, dan dari 15 responden memiliki

pengetahuan kurang ada 11 (73,3%) tidak melakukan ANC terintegrasi.

2. Dari 20 responden yang memiliki sikap positif terdapat 14 (70%) yang

melakukan pelaksanaan ANC terintegrasi, dan dari 15 responden yang

memiliki sikap negatif terdapat 8 (53,3%) yang tidak melakukan ANC

terintegrasi.

3. Dari 20 responden yang berpendidikan D-I terdapat 13 (86,7%) yang

melakukan pelaksanaan ANC terintegrasi, dan dari 15 responden yang

berpendidikan D-III terdapat 12 (60%) yang tidak melakukan ANC

terintegrasi

B. SARAN

1. Bagi institusi Puskesmas

Diharapkan pada Puskesmas Krueng Barona Jaya Aceh Besar untuk

memberikan dukungan dan pengarahan kepada bidan untuk lebih

mengutamakan pelayanan ANC Terintegrasi.


70

2. Bagi Responden

Diharapkan kepada bidan untuk dapat tetap mempertahankan

kemampuan dalam memberikan pelayanan pelaksanaan ANC terintegrasi.

3. Bagi Peneliti

Pada peneliti untuk menambah wawasan dan dapat mengembangkan

kemampuan berfikir secara objektif dan menjadi bahan untuk penelitian

lebih lanjut mengenai pelaksanaan ANC terintegrasi.

DAFTAR PUSTAKA
71

Arikunto, 2006. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.

Budiarto, 2001. Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. EGC. : Jakarta.

Depkes RI, 2009. Draft ANC Terintegrasi.

_________, 2009. Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Ditjen Bina Kesmas.

_________, 2009. Pemantauan Wilayah Setempat ( PWS KIA).

Dinas Kesehatan Magetan. http://dinkesmagetan.net/berita-26-anc-terpadu-di-kabupaten-

magetan.html (di kutip pada tanggal 18 april 2013).

Hastono, 2010. Statistik Kesehatan.Edisi Revisi. Jakarta

Maramis, 2006. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan.. Rineka Cipta. Jakarta.

Mubarak, 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta.

Notoatmodjo, 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta

__________ , 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta

__________ , 2010. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta

Supiyudin, 2009. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.

Soekanto, 2003. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta.
72

World Health Organization Departement of making pregnancy safer integrated

management of pregnancy and childbirth : standars for maternal and neonatal

care ganeva 2007

http://id.scribd.com/doc/30312450/DraftPedomanAsuhanAntenatal-

Terintegrasi-2009 (di kutip pada tanggal 18 april 2013).

Anda mungkin juga menyukai