Anda di halaman 1dari 45

PEMBAHASAN

A. PEMASARAN SAGU

Dalam kurun waktu yang lama, sagu (Me-troxylon sp.) hanya dipandang sebagai
tanaman pangan tradisional. Pada masa kini dalan kurun waktu 27 tahun terakhir, perhatian
terhadap sagu menurun sangat pesat, padahal sagu memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya, pohon sagu berpotensi dan menghasilkan
produksi yang sangat tinggi. Pada keadaan lingkungan yang baik, mampu berproduksi 15-25
ton/hektar tepung sagu ker-ing, terbaik bila dibandingkan dengan tanaman penghasil pangan
yang lain (Stanton, 1986). Selain efisien dalam memproduksi karbohidrat, kunggulan lain dari
tanaman sagu adalah: 1) secara ekonomi dan budaya diterima; 2) ramah lingkungan, mampu
berproduksi memadai pada lahan gambut dangkal maupun tanah mineral ba-sah tanpa input
produksi yang berbasis kimiawi; dan 3) membentuk agroforestry yang stabil. Sagu merupakan
komoditas potensial sebagai bahan substitusi dan bahan baku untuk industri. Sebagai salah
satu sumber karbohidrat, potensinya belum dimanfaatkan secara maksimal. Berdasarkan dapat
Perhimpunan Pendayagunaan Sagu Indonesia (PPSI), produksi sagu nasional saat ini
mencapai 200.000 ton per hektar atau baru mencapai sekitar lima persen dari potensi sagu
nasional (BPPT, 2004).

Indonesia adalah pemilik areal sagu terbesar, dengan luas areal sekitar 1.128 juta Ha
atau 51,3% dari 2.201 juta Ha areal sagu dunia, disusul oleh Papua New Guinea (43,3%).
Namun dari segi pemanfaatannya, Indonesia masih jauh tertinggal dibadingkan dengan
Malaysia dan Thailand yang masing-masing hanya memiliki areal seluas 1,5 dan 0,2%.
Daerah potensial peng-hasil sagu di Indonesia antara lain Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua (Abner dan Miftahorrahman, 2002).

Upaya pengembangan diversifikasi usaha pertanian maka industri rumahtangga adalah


sebagai salah satu kegiatan yang banyak dilakukan oleh petani di daerah pedesaan untuk

1
peningkatan pendapatan keluarga. Industri ke cil dan rumahtangga sangatlah penting sebab
dapat menyerap kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian dan memacu pertumbuhan ekonomi
pedesaan. Itulah sebabnya pemerintah tetap mempertahankan program-program pembinaan
bagi industri kecil dan industri rumahtangga di pedesaan. (Suratiyah dkk., 1994).
Industri kecil mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1) menggunakan teknologi sederhana atau madia
2) padat karya
3) relatif menyerap banyak tenaga kerja
4) pada umumnya tumbuh secara berkelompok menurut jenisnya atau membentuk sentra dan
5) berakar dari bakat keterampilan atau bakat seni.
Usaha kecil dan rumahtangga yang terdapat di semua sektor ekonomi merupakan usaha
yang banyak menjaring tenaga kerja tanpa harus mempunyai jenjang pendidikan maupun
keahl-ian khusus. Industri kecil dan rumahtangga ini, mempunyai empat manfaat penting:

1) menciptakan peluang kerja dengan pembiayaan yang relatif murah; 2) berperan


dalam meningkatkan mobilitas tabungan domestik; 3) mempunyai kedudukan komplementer
terhadap industri besar dan sedang karena dapat menghasilkan barang yang murah dan
sederhana, yang biasanya tidak dihasilkan oleh industri besar dan sedang; dan 4) dapat
menyediakan barang-barang yang menca-pai para konsumen dengan harga murah karena letak
industri kecil dan rumahtangga menyebar dan dekat dengan konsumen (Saleh, 1991 dalam de
Quelyoe dkk., 1994).

Pembangunan di bidang industri dituju-kan untuk mewujudkan struktur ekonomi yang


seimbang antara sektor industri dan sektor perta-nian. Demikian pula pembangunan sektor
indus-tri diperlukan untuk menciptakan keserasian di antara subsektor industri besar dengan
subsektor industri kecil. Industri kecil terutama industri rumahtangga yang proses produksi
berlangsung di dalam rumah, teknologi yang digunakan seder-hana, tidak membutuhkan
keterampilan khusus, serta modal yang digunakan relatif kecil. Oleh karena itu industri
rumahtangga sebagian besar berlokasi di rumah.

2
Dalam melaksanakan kebijakan pangan khususnya diversifikasi pangan, pemerintah berupaya
terus. Salah satu yang perlu dikembangkan dan mempunyai potensi yang cukup be-sar ada
sagu. Sagu merupakan komoditi pangan non beras yang mengandung sumber karbohidrat.
Selain itu sagu juga mempunyai peranan penting dalam industri pangan.

Karakteristik Sagu Populasi dan Produksi Sagu

Pada umumnya tanaman sagu tumbuh secara liar, namun ada juga yang
sengaja ditanam oleh petani meskipun jarak tanam dan tata ruang-nya belum
memenuhi syarat agronomis. Populasi sangat tergantung pada jenis, daerah
produksi dan perlakuan yang diberikan selama masa pertum-buhan.
Pertumbuhan sagu yang diusahakan atau dibudidayakan populasinya lebih
padat daripada yang tumbuh secara liar. Demikian juga jumlah pohon yang
dapat dipanen dalam satu hektar pun setiap tahunnya berbeda-beda.

Potensi produksi tepung sagu ditentukan berdasarkan jumlah pohon masak tebang dan
produksi tepung per pohon. Di Maluku, rata-rata jumlah pohon masak tebang tercatat 82,12
pohon/ha dengan produksi tepung basah rata-rata antara 100 -500 kg/pohon atau 292
kg/pohon tergantung jenisnya (Alfons et al, 2004). Ber-dasarkan potensi lahan dan jumlah
pohon masak tebang, maka potensi produksi sagu di Maluku dapat mencapai 71.532 ton
tepung basah atau 46,4958 ton tepung kering. Dengan demikian prospek dan peluang
pengembangan sagu baik sebagai bahan pangan maupun industri cukup menjanjikan.

Menurut perkiraan jumlah pohon sagu yang siap dipanen di daerah Maluku berkisar
antara 15 - 60 batang per hektar, tergantung jenisnya (Tim Sagu Maluku,1980). Pendapat
peneliti lain melaporkan bahwa jumlah tana-man sagu yang dapat ditebang setiap tahunnya
rata- rata 20 batang per hektar, sedangkan di Riau populasi sagu per hektar cukup padat, yaitu
mencapai 125 batang/ha, dan per hektarnya per tahun mencapai 60 batang yang siap dipanen
per tahun. Sedangkan di Irian Jaya, populasi dan produktivitas sagu per hektar per tahun lebih
rendah dari Riau, yaitu sekitar 30 batang per hektar (Dipertan Riau, 1980).

3
PENGELOLAAN HASIL

Komponen yang paling dominan dalam aci sagu adalah pati. Pati merupakan karbohidrat
yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Pati merupakan butiran atau
granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa (Brautlecht,
1953). Bentuk granula pati sagu adalah oval, elips dan kadang-kadang bulat, komponen yang
besar sering membentuk kerucut dengan ujung yang datar dan mempunyai ukuran diameter
15-65 mm. Pati sagu akan terlihat seperti terpotong pada bagian ujung, apabila berasal dari
pohon sagu yang sudah masuk fase generatif, hal ini menunjukkan penggunaan pati untuk
keperluan fase tersebut (Phillips dan Williams, 2000).

Petani harus mengetahui bentuk, struktur, ukuran, granula, komposisi kimia dan sifat-
sifat lain dari pati sagu, supaya mengetahui pula perubahan-perubahan yang terjadi selama
proses pengolahan, misalnya dalam perlakuan pemanasan. Dengan pengetahuan dan pengena-
lan sifat-sifat pati sagu, maka pengolahan atau penggunaan lebih lanjut dapat diarahkan sesuai
dengan kebutuhan dan sifat-sifat tersebut.

Pemanfaatan sagu secara tradisional su-dah lama dikenal oleh penduduk di daerah-
daerah penghasil sagu. Produk-produk tradisional sagu di daerah Maluku antara lain papeda,
sagu lem-peng, buburne, sinoli, bagea, serut, sagu tumbuh, kue sagu dan lain sebagainya.
Selain sebagai bahan pangan, sagu dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai macam
industri, industri pangan, industri perekat, industri kosmetika dan berbagai macam industri
kimia. Dengan demikian pemanfaatan dan pendayagunaan sagu dapat menunjang berbagai
macam industri, baik industri kecil, menengah maupun industri teknologi tinggi.

Proses pengolahan sagu mulai dari mene-bang pohon sagu, membelah pohon sagu,
meno-kok sagu, mengangkut ela sagu (hasil parutan empelur sagu) ke tempat pengolahan,
perolehan hasil olahan berupa pati sagu yang dimasukkan ke dalam wadah atau tempat

4
penampungan tepung sagu (goti). Dari tepung sagu ini akan diolah menjadi bermacam-macam
makanan yang dapat diproduksi dalam skala industri kecil dan rumahtangga.

Pemanfaatan sagu di Propinsi Maluku yang dilakukan saat ini umumnya masih bersifat
tradisional dan mayoritas dilakukan oleh ma-syarakat desa, sehingga kualitas maupun kuan-
titasnya terutama rendemennya masih relatif ren-dah. Dengan demikian walaupun ada
kelebihan produksi, belum dapat dipasarkan dengan baik, sehingga hanya terjadi perdagangan
antar desa, dan ada yang dipasarkan ke ibukota propinsi, sedangkan untuk diekspor ke luar
negeri belum dapat dilakukan karena kualitas dan kuantitasnya belum memenuhi syarat yang
ditentukan.

Pemanfaatan dan pendayagunaan sagu oleh masyarakat pedesaan masih rendah disebab-
kan oleh berbagai kendala. Budidaya sagu yang telah diterapkan petani masih berlatar
belakang subsisten, hal ini berkaitan dengan kebutuhan pangan pokok dan belum mengarah
pada sistem komersial. Selain itu banyak aspek teknik belum ditangani secara sistematis dan
tuntas serta peng-gunaan teknologi yang masih sangat sederhana. Teknologi yang digunakan
umumnya secara manual tradisional dan sebagian kecil secara semi mekanis. Hal demikian
menyebabkan ma-sih banyak tepung sagu yang terbuang karena proses ekstraksi yang kurang
efisien, sehingga produktivitas rendah serta mutu tepung sagu yang dihasilkan rendah
(Haryanto dan Pangloli, 1998). Selain kendala-kendala yang disebut, ma-sih terdapat kendala
sosial ekonomi yaitu dalam hal ketersediaan tenaga kerja yang terampil yang dilibatkan dalam
pemeliharaan, pemanenan, proses produksi, pengepakkan, pemasaran dan lain-lain. Padahal
diketahui bahwa di daerah tempat sagu, kepadatan penduduk relatif jarang. Ketersediaan
sarana dan prasarana transportasi merupakan faktor yang penting dalam sistem produksi.
Akan tetapi dalam kenyataannya bahwa hutan sagu berada pada lokasi yang sangat terbatas
sarana dan prasarananya.

Dengan memperhatikan kendala-kendala yang ada, maka hal ini merupakan tantangan
berat bagi petani produsen untuk meningkatkan produktivitas sagu. Apabila kendala-kendala

5
ini dapat diatasi, maka sagu dapat dikembangkan sebagai komoditi ekspor atau jalan pasaran
internasional.

Nilai Sosial - Ekonomi Sagu

Ditinjau dari aspek sosial perubahan pola konsumsi masyarakat Maluku dari sagu ke
beras mulai tahun 1980 -an menunjukkan perubahan yang cukup drastis tertama penduduk
yang hidup di daerah perkotaan. Peralihan ini ada kaitannya dengan persediaan bahan pangan
sagu, nilai jual beras relatif rendah dan tingkat pendapatan pen-duduk di daerah perkotaan,
selera serta pilihan penduduk sebagai konsumen.

Secara tradisonal sagu masih rendah nilai ekonomisnya. Jumlahnya yang melimpah dan
kualitas pengolahan yang rendah menyebabkan nilai ekonominya rendah pula. Dalam peng-
olahannya dihasilkan sagu basah dengan kualitas rendah. Pendapatan petani yang berasal dari
penjualan sagu basah Rp. 300.000-400.000,- per bulan. Dari pendapatan yang diterima
ternyata masih sangat rendah. Dengan demikian dalam pengembangan teknologi menjadikan
sagu sebagai bahan baku industri mempunyai potensi ekonomi yang penting. Sebagai bahan
baku industri pangan, sagu merupakan salah satu komponen dalam pembuatan berbagai
macam jenis produk yang mempunyai nilai tambah dan dapat memperbaiki pendapatan yang
diterima. Daerah pedesaan, industri yang kemungkinan dapat dikembangkan adalah industri
tepung sagu basah dan industri berbagai jenis makanan dengan teknologi sederhana, modal
yang terbatas sedangkan untuk proses pengolahan menjadikan tepung sagu kering dengan
mutu yang lebih baik harus dilaksanakan oleh industri menengah dimana mereka sebagai
penampung tepung sagu basah yang dihasilkan oleh produsen.

Peranan industri pengolahan sagu dalam diversifikasi pangan adalah untuk mengurangi
ketergantungan akan tepung-tepungan atau mensubtitusi beras, tepung terigu dan tepung
tapioka. Tepung sagu dapat diolah menjadi berbagai macam produk sehingga memperkaya
keanekaragaman makanan tradisional Indonesia. Peranan industri dalam pengolahan sagu
meliputi pemasaran produk, teknologi, penciptaan iklim dan organisasi.

6
Diversifikasi Produk Sagu dan Jumlah Produksi

Bahan baku untuk pembuatan berbagai jenis produk sagu adalah sagu mentah. Sagu
mentah ini dapat diperoleh dari berbagai tempat yaitu pulau Seram, Saparua, dan Pulau
Ambon. Hampir seluruh desa di kecamatan Saparua sebagai penghasil produk sagu lempeng
dan desa Piru di Kecamatan Seram Bagian Barat. Sedangkan daerah penghasil produk serut
kenari, serut kelapa, bagea kenari bulat, bagea kenari panjang (Ternate), bagea kelapa besar,
bagea ke-lapa kecil, sagu tumbuk dan sagu lempeng adalah Desa Ihamahu. Desa Ihamahu
sangat terkenal dengan produk-produk diversifikasi ini karena merupakan usaha turun
temurun dari orang tua. Daerah lain belum bisa menghasilkan produk-produk ini karena
keterbatasan pengetahuan untuk pengolahan dan peralatan yang dimiliki.

Kegiatan produksi berlangsung selama bahan baku dan bahan pembantu tersedia. Sagu
dapat diolah menjadi tujuh macam produk antara lain serut kenari, serut kelapa, bagea kenari
bulat, bagea kenari panjang (Ternate), bagea ke-lapa besar, bagea kelapa kecil, sagu tumbuk
dan sagu lempeng. Jumlah produksi yang dihasilkan tergantung bahan yang tersedia, dan
kemampuan peralatan untuk mendukung proses produksi relatif tetap. Peningkatan produksi
merupakan tambahan hasil yang diperoleh produsen sagu. Produk yang dihasilkan mempunyai
kualitas yang baik dan menarik bagi pihak konsumen maupun langganan (pedagang). Jenis
produk dan jumlah produksi sagu dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa produk yang paling banyak dihasilkan adalah sagu
lempeng. Produk yang lebih mudah diker-jakan dan tidak membutuhkan pengetahuan ban-
yak adalah sagu lempeng, karena semua daerah di Maluku dapat menghasilkan produk ini.
Cara pembuatannya lebih mudah dan tidak dicampur dengan bahan pembantu lainnya. Biaya
untuk pembuatan sagu lempeng sangat rendah bahkan sama sekali tidak ada karena hanya
membutuh-kan bahan baku utama yaitu sagu mentah untuk proses pengolahannya.
Masyarakat penghasil sagu lempeng lebih mudah dan cepat untuk men-gadopsi cara
pembuatan produk ini. Sedangkan Tabel 1. Jenis Produk dan Jumlah Produksi Sagu

7
Sumber : Analisis Data Produsen, 2004

produk lain membutuhkan keahlian khusus untuk proses pembuatannya, hanya satu daerah
saja yang menghasilkan produk-produk ini sehingga produksinya lebih sedikit.

Produk-produk sagu yang dihasilkan kemudian dijual. Produsen menjual produk-produk


ini dengan harga yang ditentukan sendiri oleh produsen. Harga ini ditentukan berdasarkan
perhitungan semua biaya yang dikeluarkan untuk berproduksi. Konsumen yang membeli
produk sagu yaitu rumahtangga dan para pedagang. Pedagang-pedagang ini kemudian akan
menjual kembali ke konsumen akhir di Kota Ambon bah-kan di luar Ambon. Tabel 2
ditampilkan harga jual produk-produk sagu.

Tabel 2. Harga Jual Produk - Produk Sagu di Tem-pat Pengolahan

Sumber : Analisis Data Produsen, 2004 Pemasaran

Pemasaran adalah sistem pertukaran, artinya memperoleh barang dan jasa dengan jalan
membayar dengan alat tukar (uang, cek, dan seb-againya). Sistem pertukaran barang dan jasa
dapat berhasil dengan baik kalau di dukung oleh faktor pendukungnya seperti transportasi,
perbankan, asuransi, peraturan-peraturan pemerintah, kelembagaan (pedagang, tengkulak,
pengecer, eksportir, importir) dan sebagainya (Soekartawi, 2002). Pemasaran terjadi karena
diperlukan un-tuk memenuhi kebutuhan rumahtangga, tingkat komersialisasi produsen dan
keadaan harga yang menguntungkan (Soekartawi, 2003).

8
Diversifikasi produk sagu sangat mem-bantu masyarakat pedesaan untuk meningkatkan
pendapatan rumahtangga. Hal ini dapat dilihat bahwa produsen sagu dapat memproduksi berb-
agai jenis produk sagu yang kemudian dipasarkan ke beberapa tempat. Produk sagu
dipasarkan dengan rantai pemasaran yang bervariasi dan tingkat harga rata-rata sama untuk
semua produ-sen sagu. Jika terjadi kenaikan harga bahan baku dan bahan lainnya maka
produsen akan secara otomatis menaikkan harga jual untuk menutupi biaya produksi yang
dikeluarkan dan tetap mem-peroleh keuntungan. Sifat produk adalah tidak mudah rusak dan
dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama yaitu Bagea kelapa, bagea kenari, bagea kenari
ternate, serut kelapa, serut kenari dan sagu lempeng. Sedangkan produk yang mudah rusak
dan tidak tahan lama adalah sagu tumbuk, dan biasanya dibuat berdasarkan pesanan
langganan. Umumnya produsen sendiri yang menawarkan produknya ke pasar-pasar terdekat.

Hampir semua pasar di Kota Ambon dapat dijumpai pedagang-pedagang yang menjual
produk-produk olahan sagu. Pasar-pasar tersebut antara lain pasar Batu Meja, pasar Mardika,
pasar Benteng, pasar Tagalaya dan pasar Passo. Biasanya pedagang pada kelima pasar ini
langsung membeli produk sagu di tempat produksi atau ada juga produsen yang mengantarkan
produk sagu langsung ke pasar. Produsen yang mengantar langsung ke pedagang di pasar
karena ada kesepakatan bersama yaitu pedagang dan produsen sama-sama menanggung biaya
transportasi. Dari hasil penjualan, produsen sagu merasa bahwa mereka tetap memperoleh
keuntungan karena, jika pedagang langsung membeli produk sagu di tempat produksi berarti
tidak ada biaya transportasi, tetapi apabila ada produsen yang mengantar langsung produknya
ke pedagang berarti biaya transportasi ditanggung secara bersama.

Pembayaran dalam transaksi pemasaran produk dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu
dibayar tunai, sebagian dibayar tunai, sebagian dibayar di kemudian hari, seluruhnya dibayar
kemudian jika produk laku terjual atau seluruhnya dibayar secara kredit. Resiko berupa
produk jadi yang tidak laku terjual jarang terjadi, karena produk produk sagu yang dihasilkan
bisa disimpan dan bertahan dalam waktu lama. Rantai pemasaran produk jadi dapat dijabarkan
pada gambar berikut :

9
Gambar 1 : Rantai Pemasaran Produk Sagu.

Rantai pemasaran produk sagu ini sangat pendek. Ini terjadi karena produk sagu hanya
di jual di Kota Ambon, belum dipasarkan ke luar daerah Maluku. Salah satu produk sagu yang
dijual di luar Ambon yaitu sagu lempeng. Sagu lempeng ini biasanya dibeli pedagang
pengum-pul dari desa- desa penghasil kemudian dijual diluar Ambon yaitu Maluku Tenggara,
Maluku Tenggara Barat, sedangkan di luar Maluku yaitu

Sorong (Papua). Orang Sorong sering membeli sagu lempeng dari Maluku karena rasanya
lebih enak, bentuknya lebih menarik dan kualitasnya lebih baik.

PENDAPATAN

Mosher (1991) mengemukakan bahwa pendapatan adalah selisih antara penerimaan yang
diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan dalam suatu proses produksi. Produsen pada
umumnya mengharapkan penerimaan dari hasil usahanya akan selalu lebih besar dari biaya
tunai yang dikeluarkan selama berlangsungnya proses produksi. Pendapatan yang sebesar-be-
sarnya merupakan sasaran akhir dari produsen. Selanjutnya Todaro (1993) mengatakan bahwa
pendapatan adalah suatu konsep arus, yang dalam prakteknya diukur dengan jelas mencatat
dan menjumlahkan transaksi-transaksi pendapatan individu yang terjadi selama satu periode
waktu tertentu.

Pendapatan yang diterima produsen sagu sangat tinggi yaitu Rp. 35.468.655/tahun.
Tabel 3 menunjukkan pendapatan yang diterima produsen sagu.

Tabel 3 menunjukkan bahwa usaha di-versifikasi produk olahan sagu layak diusahakan oleh
produsen penghasil karena rasio R/C > 1. Produsen sagu akan terus mengembangkan usa-

10
hanya karena sangat menguntungkan. Produsen merasakan bahwa usaha diversifikasi produk
sagu ini sangat bermanfaat karena pohon sagu ditanam kemudian diolah menghasilkan bahan
baku dan bahan baku ini digunakan untuk meng-hasilkan produk-produk sagu yang
mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi. Jika sagu mentah yang dihasilkan langsung dijual,
keuntungan yang diperoleh tidaklah tinggi jika dibandingkan dengan keuntungan yang
diperoleh dari penjua-lan produk-produk olahan sagu. Ini disebabkan karena produk sagu
yang dihasilkan sangat bervariasi dan nilai jualnya berbeda-beda untuk masing-masing
produk.

Kesimpulan

1. Sagu mempunyai potensi yang cukup besar. Dalam pengolahan tanaman sagu baik
prosessing maupun pemasaran serta konsumsi sagu ternyata mengalami ham-batan-
hambatan. Hambatan pengolahan sagu baik prosessing maupun pemasaran masih
menggunakan cara tradisional. Untuk itu pemerintah harus memberikan perhatian agar
cara tradisional dapat dirubah menjadi lebih modern sehingga produk sagu mem-punyai
kualitas yang lebih baik. Hambatan lain adalah konsumsi sagu sebagai bahan pokok hanya
terbatas di beberapa daerah
saja. Ternyata lambat laun hingga sekarang daerah-daerah yang tadiya mengkonsumsi
sagu beralih untuk konsumsi beras aki-batnya intervensi beras dilakukan secara besar-
besaran.

2. Sagu sebagai pangan pokok kurang menggembirakan dan bila sagu telah dijasi-kan
pangan olahan maka hanya dijadikan pangan selingan. Oleh karena itu perlu ada cara
untuk mengatasinya sehingga sagu dapat dimanfaatkan sebagai pangan non be-ras yang
akan digunakan sebaagi substitusi beras.
3. Pemasaran produk sagu di Maluku hanya terjadi antar daerah di Maluku dan sebagian
kecil hanya dipasarkan ke luar Maluku. Per-lu adanya pengembangan produk-produk

11
olahan sagu yang lebih berkualitas sehingga sagu sebagai produk pangan nasional dapat
bersaing di pasaran dengan produk-produk lainnya.
Gelondong tanaman sagu ( Metroxylon sp.) yang berukuran 1-2 meter dapat langsung
dibawa kesumber air terdekat kemudian langsung di ekstraksi, potongan pohon sagu dibelah
dua kemudian ditokok sedikit demi sedikit dari ujung sampai ke pangkalnya dengan catatan
empulur dijaga jangan sampai kering.
Hasil tokokan empulur dikumpulkan kemudian disaring sekaligus disiram dengan air bersih,
maka aci akan keluar bersama dengan air siraman selanjutnya disaring lagi, air hasil siraman
diendapkan dan hasilnya dipisahkan dari air yang sudah mulai mengendap. Hasil endapan
dipisahkan dari air yang sudah mulai jernih sehingga diperoleh aci sagu basah.
Aci sagu basah dimasukkan dalam suatu wadah dari batang sagu untuk disimpan atau
diproses lebih lanjut. Untuk mendapatkan sagu yang putih diproses dengan menggunakan
larutan kaporit 3 %,caranya 300 gram kaporit dilarutkan dalam 10 liter air bersih.Aci sagu
dimasukan dalam larutan kaporit dengan perbandingan 1 :2 bagian kemudian diaduk sampai
homogen selama 1 menit dan diendapkan selama jam.
Cairan bening yang terdapat diatas tepung dikeluarkan dan ditampung dalam suatu tempat,
cairan ini dapat dipergunakan lagi untuk mencuci 2-3 kali. Netralkan aci sagu tersebut dengan
memasukkan air bersih dalam aci lalu diaduk sampai rata kira-kira selama 1 menit.Pencucian
aci sagu ini diulangi sampai 4 kali sehingga didapatkan sagu putih yang tidak berbau kaporit,
segera dilakukan pengeringan dengan para-para yang dialasi lembaran plastik sampai kering.
Pati sagu mengandung sekitar 27% Amilosa,dan sekitar 73% amilopektin.perbandingan
amilosa akan mempengaruhi sifat pati itu sendiri. Apabila kadar amilosa tinggi maka pati akan
bersifat kering,kurang lekat dan cenderung meresap lebih banyak air. Sagu merupakan
penghasil karbohidrat yang paling produkstif sebagai persediaan bahan makanan. Komposisi
kimia dalam 100 gram aci sagu terdiri dari 355 kal kalori,0.7 gr protein,0,2 gr lemak, 84,7 gr
karbohidrat, 14 gr air, 13 mgr fosfor, 11 mgr kalsium dan 1,5 gr besi.
Pasar Ekspor yang potensial adalah Jepang, Kanada, Amerika Serilkat,Inggris, Thailand dan
Singapura begitu juga permintaan dalam negeri untuk bahan makanan ,farmasi
maupunindustri lainnya .Klasifikasi dan standar mutu sagu :(1). Keadaan bau normal,warna

12
normal putih, rasa normal (2) Benda asing tidak boleh ada, (3) Serangga/ bentuk stadia dan
potongannya tidak boleh ada. (4) Jenis pati selain pati sagu tidak boleh ada. (5) kadar air
maksimal 13 %, (6) Kadar Abu maksimum 0,5 %, (7) Serat kasar maksimum 0,1 %, (8)
Derajat asam ( MI NaOH 1 N/100 gram ) maksimum4 (9) SO2 ( Mg/Kg ) maksimum 30, (10)
Bahan tambahan makanan ( bahan pemutih ) sesuai SNI 01-0222-1995, (11) Kehalusan, lolos
ayakan 100 mesh (%) : minimum 95, (12) Cemaran logam :Timbal(Pb) Mg/kg maksimum 1,0
, Tembaga (Cu) Mg/kg maksimum 10,0, Seng ( Zn) Mg/kg maksimum 0,05, (13) Cemaran
Arsen(As) Mg/kg maksimum 0,5, (14) Cemaran mikroba : Angka lempengan total
koloni/gram maksimum 10, E koli APM/gram maksimum 10, Kapang koloni maksimum 10.

PERMASALAHAN PEMASARAN SAGU DI RIAU

Pengolahan Sagu

Pengembangan dan pemasaran tanaman sagu terdapat permasalahan yang dapat


menurunkan potensi ekonomi sagu. Permasalahan tersebut bisa berdampak pada masalah lain,
seperti Penyuluhan Budidaya Sagu Minim, Kurangnya Pemberian Bibit dan Obat-Obatan,
Pemasaran Sagu Masih Bersifat Lokal dan Nasional, dan permasalahan dalam Kegiatan
Industri lainnya.

Apalagi masalah harga pohon sagu per tual (batang) dinilai terlalu murah. Harga
pohon sagu dihitung berdasarkan tual. Satu pohon hanya berisikan 5 7 tual sagu ukuran 42

13
inci. Satu tual sagu di lokasi tanaman sagu hanya dihargai Rp 13.000, jika sampai pabrik
hanya dihargai sebesar Rp 16.000. Inilah penyebab dan permasalahan di lapangan.

Sementara, pengembangan dan pemasaran tanaman sagu di Riau, khususnya di Kepulauan


Meranti, adalah sebagai berikut:

Penyuluhan Budidaya Sagu Minim

Kegiatan penyuluhan yang dilakukan untuk kegiatan pengembangan tanaman sagu di


Kabupaten Bengkalis ini sangat jarang dilakukan. Kondisi ini menyebabkan banyak petani
sagu hanya mengandalkan pengetahuan tradisional dalam mengembangkan tanaman sagunya.
Masih rendahnya ilmu pengetahuan masyarakat tentang pengembangan tanaman sagu,
pengunaan bibit unggul dan bagaimana pemberantasan hama menyebabkan hasil yang didapat
dari pengelolaan tanaman sagu menjadi tidak maksimal, bahkan cenderung masih rendah.

Kurangnya Pemberian Bibit dan Obat-Obatan

Program yang sampai saat ini masih belum berjalan dengan baik adalah kegiatan
pemberian bibit-bibit sagu yang unggul dan pemberian obat-obatan pemberantasan hama dan
penyakit. Para petani sagu sudah sangat mengeluhkan tentang kebutuhan bantuan bibit unggul
dan kebutuhan obat-obatan.

Pemasaran Sagu Masih Bersifat Lokal dan Nasional

Saat ini kegiatan pemasaran hasil produksi sagu di Bengkalis masih bersifat lokal dan
nasional. Belum ada kegiatan pemasaran yang bersifat ekspor. Kondisi ini disebabkan karena
adanya keterbatasan tentang kualitas hasil olah sagu yang masih kurang baik serta masih
rendahnya kapasitas produksi sagu yang dihasilkan dari Kabupaten Bengkalis ini.

Permasalahan dalam Kegiatan Industri

Sebagai contoh permasalahan yang ditemukan dalam kegiatan pengolahan industri


sagu di Riau, adalah Pabrik Pengolahan Sagu Masih Sangat Jarang. Akibatnya industri sagu

14
berpusat di Kecamatan Tebing Tinggi Barat dan Tebing Tinggi. Sedangkan di Kecamatan lain
belum ada, atau masih sangat kurang.

Kondisi ini berdampak pada masalah angkutan tual-tual sagu yang dihasilkan. Jauhnya jarak
pabrik menyebabkan masyarakat kesulitan untuk menjual tual sagunya. Karena ada banyak
industri yang mau membayar tual sagu yang sudah sampai pabrik sagu. Kondisi harus
secepatnya sipecahkan dengan membangun pabrik-pabrik sagu di setiap kecamatan yang
berpotensi untuk pengembangan tanaman sagu.

Penipuan Jumlah Tual dalam Kegiatan Pengiriman Tual. Penipuan penjualan tual sagu sering
terjadi di Kabuapten Bengkalis. Para pengelola industri sagu sering ditipu dalam hal jumlah
tual yang dipesan dengan jumlah tual yang dikirim. Kadang-kadang jumlah trip pesanan tual
tidak sama dengan jumlah trip tual yang masuk.

Hal ini jelas akan merugikan bagi para pengelola industri sagu. Kondisi ini pula yang
menyebabkan banyak kilang-kilang sagu tradisional yang tutup. Persaingan Antar Kilang
Sangat Tinggi, seperti Industri sagu di Kabupaten Meranti di Provinsi Riau, khususnya Tebing
Tinggi Barat dan Tebing Tinggi, pada tahun-tahun lalu cukup banyak. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya persaingan yang sangat ting

Salah satu persaingan yang tidak sehat adalah pencurian tual-tual sagu yang dimiliki
oleh kilang industri sagu yang lain. Bahkan yang lebih parah adalah pencurian aset-aset pabrik
baik berupa mesin atau sparepart mesin lainnya. Kondisi ini jelas akan merugikan kilang-
kilang sagu tersebut. Karena kondisi ini pula telah menyebabkan banyak kilang-kilang sagu
yang telah tutup.

Potensi Bahan Baku Berkurang

Potensi bahan baku untuk industri sagu saat ini telah berkurang. Hal ini sdah banyak
dirasakan oleh banyak kilang-kilang sagu di Bengkalis. Banyak kilang sagu yang harus
mencari bahan baku sagu sampai ke luar Bengkalis. Faktor yang mempengaruhinya adalah

15
banyak areal tanaman sagu yang sudah terkonversi menjadi areal untuk tanaman lainnya
seperti karet, kelapa dan kelapa sawit dan juga untuk lahan pertanian

Hal yang juga sangat sulit dicegah adalah pengkonversian areal sagu menjadi pemukiman
penduduk. Kegiatan konversi ini semakin hebat terjadi sehingga potensi areal sagu menjadi
berkurang. Konversi tanaman sagu telah menyebabkan suplai bahan baku untuk industri sagu
juga telah berkurang secara drastis. Berkurangnya bahan baku sagu akan berdampak kepada
menurunnya hasil sagu.

Modal Industri Kurang

Permasalahan klasik selalu muncul dalam pengembangan industri yang berbasis masa.
Masalah tersebut adalah masalah modal industri yang kurang. Saat ini di Kabupaten Bengkalis
para pengelola industri sagu kesulitan untuk mendapatkan dana segar dalam menjalankan dan
meningkatkan kapasitas industrinya. Bahkan justru sebaliknya banyak industri sagu yang
tutup karena ketiadaan modal.

Kurangnya Industri Pasca Industri Sagu

Saat ini potensi ekonomi sagu baru sampai dalam tahap pengolahan dari tanaman sagu
menjadi sagu. Pengolahan tersebut dilakukan melalui kilang-kilang sagu. Potensi ekonomi
sagu belum sampai kedalam produksi pasca industri sagu. Di Bengkalis industri-industri
pengolahan bahan baku sagu masih kurang. Sehingga hasil industri sagu dijual dalam bentuk
tepung sagu yang jelas nilai ekonominya lebih rendah dibandingkan dalam bentuk olahan
sagu.

PEMANFAATAN SAGU

Apabila kamu tinggal di Wilayah Indonesia Timur, pasti tidak asing dengan pohon
sagu atau rumbia. Pohon sagu adalah pohon penghasil tepung sagu, makanan pokok sebagian
besar masyarakat Indonesia Timur. Diperkirakan asal dari pohon sagu adalah daerah Maluku
dan Papua, Indonesia. Kemudian menyebar ke seluruh wilayah Nusantara.

16
Bagian bagian pohon sagu dapat dimanfaatkan bagi kehidupan manusia. Beberapa manfaat
pohon sagu dari daun, kulit, batang, buah dan olahannya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Daun pohon sagu dapat digunakan sebagai bahan bangunan, khususnya pembuatan
atap rumah. Daun pohon sagu dapat dijadikan anyaman seperti keranjang atau tikar.
2. Pelepah daunnya dapat dijadikan tali atau dinding rumah
3. Getah dari pelepah pohon sagu dapat digunakan sebagai lem
4. Pohon sagu merupakan penghasil oksigen terbesar dibandingkan dengan tumbuhan
lain.
5. Daun mudanya dapat digunakan sebagai puntung rokok.
6. Buahnya yang menyerupai buah salak dapat dimakan.
7. Serangga yang hidup pada batang pohon sagu juga dapat menjadi lauk dibeberapa
daerah Indonesia.
8. Kulit dan batang pohon sagu dapat dijadikan kayu bakar.

Selain dimanfaatkan secara langsung, bentuk olahan dari pohon sagu juga bermanfaat bagi
tubuh. Bentuk olahan utama pohon sagu adalah sagu, sejenis tepung yang menjadi salah satu
makanan pokok di Indonesia. Manfaat tepung sagu antara lain:

1. sagu kaya kandungan pati namun miskin zat gizi lainnya. Akibatnya sagu sangat baik
dikonsumsi oleh orang yang ingin mengurangi berat badannya karena dapat
menimbulkan rasa kenyang namun tidak menyebabkan gemukPeningkatan indeks gula
darah lebih sedikit dibandingkan dengan nasi atau makanan pokok lainnya. Sehingga
baik untuk diet penderita diabetes
2. Baik untuk kesehatan pencernaan, dapat mengurangi resiko kanker usus. Merupakan
salah satu makanan pokok bagi masyarakat IndonesiaBaik untuk kesehatan tulang dan
gigi. Ini karena sagu memiliki kandungan fosfor yang cukup banyak. Selain sebagai
makanan untuk manusia, ampas sagu juga dapat dijadikan makanan ternak.

17
3. Dapat meredakan penyakit yang berhubungan dengan pencernaan seperti muntah
darah, mencret, dan sebagainya
4. Serat sagu yang dicampur dengan semen dapat dimanfaatkan menjadi bricket untuk
bahan bangunan

Pemanenan sagu dilakukan dengan cara:

Pohon sagu dirubuhkan


Potong pelepah hingga tersisa batangnya saja
Belah batang memanjang menjadi 2 bagian
Bagian teras batang dicacah dan diambil.
Teras batang yang diambil ini lalu dihaluskan dan disaring.
Hasil saringan dicuci dan patinya diambil.
Pati diolah untuk dijadikan tepung atau dikemas dengan daun pisang

Demikian manfaat pohon sagu bagi kehidupan manusia. Perlu diperhatikan bahwa meskipun
sagu sebagai olahan pohon sagu memiliki banyak manfaat untuk pencernaan, zat gizi
didalamnya masih kurang mencukupi kebutuhan gizi harian. Sehingga perlu didampingi
dengan konsumsi sayur, buah, dan daging yang cukup.

POTENSI DAN PROSPEK SAGU

Sagu memiliki potensi yang paling besar untuk digunakan sebagai pengganti beras.
Keuntungan sagu dibandingkan dengan sumber karbohidrat lainnya adalah tanaman sagu
atau hutan sagu sudah siap dipanen bila diinginkan. Pohon sagu dapat tumbuh dengan baik
di rawa-rawa dan pasang surut, dimana tanaman penghasil karbohidrat lainnya sukar
tumbuh. Syarat-syarat agronominya juga lebih sederhana dibandingkan tanaman lainnya
dan pemanenannya tidak tergantung musim.

Kandungan kalori pati sagu setiap 100 gram ternyata tidak kalah dibandingkan dengan
kandungan kalori bahan pangan lainnya. Perbandingan kandungan kalori berbagai sumber

18
pati adalah (dalam 100 g): jagung 361 Kalori, beras giling 360 Kalori, ubi kayu 195
Kalori, ubi jalar 143 Kalori dan sagu 353 Kalori.

Pohon sagu banyak dijumpai diberbagai daerah di Indonesia, terutama di Indonesia


bagian timur dan masih tumbuh secara liar. Diperkirakan luas areal tanaman sagu di dunia
kurang lebih 2.200.000 ha, 1.128.000 ha diantaranya terdapat di Indonesia. Jumlah
tersebut setara dengan 7.896.000 12.972.000 ton pati sagu kering per tahun.

Umumnya teknologi pengolahan pohon sagu menjadi pati sagu, di Indonesia masih
dilakukan secara tradisional dan hanya beberapa daerah seperti Riau, Jambi dan Sumatra
Selatan yang menggunakan cara semi mekanis dalam mengekstraksi pati sagu. Pengolahan
empulur pohon sagu secara tradisional menghasilkan pati sagu bermutu lebih rendah
dibandingkan dengan pengolahan secara semi mekanis dan mekanis, padahal komoditi pati
sagu juga dapat dijadikan komoditi ekspor. Negara pengimpor membutuhkan puluhan ribu
ton pati sagu tiap-tiap tahunnya untuk dibuat sirup glukosa, sirup fruktosa, sorbitol dan
lain-lain.

Luas areal tanaman sagu di dunia lebih kurang 2.187.000 hektar, tersebar mulai dari
Pasifik Selatan, Papua Nugini, Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Sebanyak 1.111.264
hektar diantaranya terdapat di Indonesia. Daerah yang terluas adalah Irian Jaya, menyusul
Maluku, Sulawesi, Riau, Kalimantan, Kepulauan Mentawai, dan daerah lainnya. Perkiraan
luas areal tanaman sagu di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Luas areal sagu adalah
850.000 hektar dengan potensi produksi lestari 5 juta ton pati sagu kering pertahun. Luas
areal sagu tidak kurang dari 740 ribu hektar dengan perkiraan produksi 5.2 8.5 juta ton
pati sagu kering per tahun.

Tabel 1. Perkiraan Kasar Areal Tanaman Sagu di Indonesia

Luas (Hektar)

Wilayah Non Budidaya Budidaya

19
Irian Jaya 980 000 14 000

Cendrawasih 100 000 20 000

Daerah Aliran Sungai 400 000 -

Irian Selatan 350 000 20 000

Daerah lainnya 130 000 10 000

Maluku 20 000 10 000

Sumatra - 30 000

Kalimantan - 20 000

Riau Kepulauan - 20 000

Sulawesi - 10 000

Kepulauan Mentawai - 10 000

Sebagai sumber pati, sagu mempunyai peranan penting sebagai bahan pangan.
Pemanfaatan sagu sebagai bahan pangan tradisional sudah sejak lama dikenal oleh
penduduk di daerah penghasil sagu, baik di Indonesia maupun di luar negeri seperti Papua
Nugini dan Malaysia. Produk-produk makanan sagu tradisional dikenal dengan nama
papeda, sagu lempeng, buburnee, sagu tutupala, sagu uha, sinoli, bagea, dan sebagainya.
Sagu juga digunakan untuk bahan pangan yang lebih komersial seperti roti, biskuit, mie,
sohun, kerupuk, hunkue, bihun, dan sebagainya.

Pati sagu dalam industri digunakan sebagai bahan perekat. Pati sagu juga dapat diolah
menjadi alcohol. Alcohol dapat digunakan untuk campuran bahan bakar mobil, spirtus,

20
dan campuran lilin untuk penerangan rumah. Alcohol juga dapat digunakan dalam bidang
kedokteran, industri kimia, dan sebagainya. Pati sagu dapat juga digunakan untuk
makanan ternak, bahan pengisi dalam industri plastik, diolah menjadi protein sel tunggal,
dekstrin ataupun Siklodekstrin untuk industri pangan, kosmetik, farmasi, pestisida, dan
lain-lain.

Selain untuk bahan bangunan dan bahan bakar, limbah batang sagu dapat diolah
menjadi briket untuk industri kimia. Ampasnya dapat pula menjadi bahan bakar, medium
jamur, hard board, dan sebagainya

Permintaan komoditi pati sagu selain untuk konsumsi dalam negeri juga berpotensi
menjadi komoditi ekspor. Permintaan pasar di luar negeri terhadap sagu asal Indonesia
cukup besar jumlahnya. Pada tahun 1985, jumlah permintaan pasar di luar negeri telah
dipenuhi sebesar 50 ton, kemudian pada tahun 1987 adalah sebesar 80 ton. Pada tahun
1988 naik tajam menjadi 120 ton. Permintaan pasar di luar negeri tersebut berasal dari
Singapura, Belanda, Jepang, Amerika Serikat, dan Australia.

Sebelum tahun 1990-an, Indonesia pada tahun 1930 sempat menggarap sagu sebagai
komoditi ekspor, yakni berupa ampas serat sagu untuk makanan ternak sebanyak 15 000
ton, pati sagu kasar 9 000 ton, dan pati sagu halus 27 000 ton. Tahun 1936 dikabarkan
masih terus meningkatkan ekspor sagu sebanyak 9 000 ton pati kasar dan 37 000 ton pati
halus. Tahun-tahun berikutnya cenderung menurun, seperti pada tahun 1954 hanya 2 ton
pati sagu kasar, tetapi pada tahun 1974 melonjak pesat mencapai 115 ton.

II. BOTANI DAN JENIS SAGU

Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga (famili) Palmae, Marga


(genus) Metroxylon dari ordo Spadiciflorae. Di kawasan Indo Pasifik terdapat lima
marga Palma yang zat tepungnya telah dimanfaatkan, yaitu Metroxylon, Arenga,
Corypha, Euqeissona, dan Caryota. Pohon Arenga pinnata dikenal dengan sagu aren,
kandungan seratnya sangat besar dan hampir seluruh batangnya diliputi serat kasar.

21
Borassus caryota dikenal dengan pohon lontar, cairannya dapat dibuat minuman
beralkohol, buahnya disebut silawan dan batangnya dijadikan kayu.

Palma sagu (Metroxylon sp.) dalam botani sagu digolongkan menjadi dua, yaitu palma
sagu yang berbunga dua kali atau lebih (pleonanthic) dan palma sagu yang berbunga
hanya sekali (hapaxanthic). Pohon sagu yang berbunga hanya satu kali selama hidupnya
mempunyai kandungan pati yang tinggi. Golongan ini terdiri dari Metroxylon longispinum
Mart, Metroxylon microcanthum Mart, Metroxylon rumphii Mart, Metroxylon sagu Rott,
dan Metroxylon sylvester Malt. Pohon sagu yang berbunga lebih dari satu kali selama
hidupnya mempunyai kandungan karbohidrat yang rendah, sehingga kurang disukai. Jenis
sagu yang termasuk golongan ini adalah Metroxylon filare dan Metroxylon elantum.

Palma sagu tumbuh membentuk rumpun di daerah dan rawa-rawa. Tinggi pohon sagu
dapat mencapai 15 meter, tebal kulitnya sekitar 3 5 sentimeter. Pada bagian dalam
batang pohon sagu terdapat empulur yang mengandung karbohidrat.

Batang sagu merupakan bagian yang terpenting, karena merupakan tempat


penyimpanan pati atau karbohidrat yang lingkup pemanfaatannya dalam industri sangat
luas, seperti industri pangan, pakan, sorbitol, dan bermacam-macam industri kimia
lainnya. Ukuran batang sagu berbeda-beda, tergantung dari jenis, umur dan lingkungan
atau habitat pertumbuhannya. Pada umur 3 11 tahun tinggi batang bebas daun sekitar 3
16 meter bahkan dapat mencapai 20 meter. Batang sagu terdiri dari lapisan kulit bagian
luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat-serat dan pati.
Tebal kulit luar yang keras sekitar 3 5 sentimeter. Pohon sagu yang umurnya masih
muda, kulitnya lebih tipis dibandingkan dengan sagu.

Selama pertumbuhan, sagu menyimpan pati dalam batangnya sehingga apabila bobot
batang sagu semakin bertambah sesuai dengan pertambahan tinggi diameternya,
kandungan patinya pun bertambah. Secara makroskopis, struktur batang sagu dari arah
luar terdiri dari lapisan sisa-sisa pelepah daun, lapisan kulit luar yang tipis dan berwarna

22
kemerah-merahan, lapisan kulit dalam yang keras dan padat berwarna coklat kehitam-
hitaman, kemudian lapisan serat dan akhirnya empulur yang mengandung pati dan serat.

Kandungan pati dalam empulur batang sagu berbeda-beda tergantung dari umur, jenis,
dan lingkungan tempat sagu tersebut tumbuh. Makin tua umur tanaman sagu, kandungan
pati dalam empulur makin besar, dan pada umur tertentu kangungan pati tersebut akan
menurun. Penurunan kandunga pati dalam batang sagu biasanya ditandai dengan mulai
terbentuknya primodia bunga. Karena itu para petani sagu dengan mudah dapat mengenal
saat rendemen pati sagu mencapai maksimum. Pada umur 3 5 tahun, empulur batang
banyak mengakumulasi pati, akan tetapi pada umur 11 tahun ke atas, sekitar umur panen,
empulur sagu mengandung pati 15 20 persen.

Penebangan pohon sagu dilakukan bila pohon telah berumur 10 15 tahun, tetapi
criteria umur sukar sekali digunakan untuk menentukan apakah pohon sagu sudah dapat
ditebang. Ciri-ciri pohon sagu yang kandungan patinya mencapai maksimum dan siap
untuk dipanen adalah apabila pangkal daun yang terletak di sebelah bawah pelepah daun
berwarna kelabu biru).

Daun merupakan bagian sagu yang peranannya sangat penting karena merupakan
tempat pembentukan pati melalui proses fotosintesis. Apabila pertumbuhan dan
perkembangan daun berlangsung dengan baik, maka secara keseluruhan pertumbuhan dan
perkembangan organ lain seperti batang, kulit dan empulur akan berlangsung dengan baik
pula dan proses pembentukan pati dari daun yang kemudian disimpan di dalam batang
sagu akan berlangsung secara optimal.

Palma sagu (Metroxylon sp.) dalam botani sagu digolongkan menjadi dua, yaitu palma
sagu yang berbunga dua kali atau lebih (pleonanthic) dan palma sagu yang berbunga
hanya sekali (hapaxanthic). Kedua golongan palma sagu tersebut adalah sebagai berikut :

Pohon sagu yang berbunga hanya satu kali selama hidupnya terdiri dari :

23
(1). Metroxylon longispinum MART, terdapat di Maluku. Jenis ini kurang
disukai karena produksi tepungnya rendah sekitar 200 kg tiap pohon.
Pohon sagu tersebut dikenal dengan sagu merah (red sago) atau sagu
makanaru. Patinya tidak enak, walaupun dapat dimakan.

(2). Metroxylon microcanthum MART, sagu ini dikenal dengan sagu rotan dan

terdapat di daerah Maluku dan Pulau Seram. Tepungnya kurang disukai.

(3). Metroxylon rumphii MART, sagu ini dikenal dengan nama sagu tuni atau
lapia tuni di Ambon. Tiap pohon dapat menghasilkan 500 kg tepung
sagu dan tepungnya enak. Spesies ini paling komersil dan paling banyak
tumbuh di Indonesia.

(4). Metroxylon sagu ROTT, jenis tanaman ini banyak dijumpai di kepulauan
Riau. Tiap pohon dapat menghasilkan 200 kg tepung sagu. Tepung ini
juga paling disukai dan mempunyai sebutan sagu perempuan atau sagu
molat (lapia mulat).

(5). Metroxylon Sylvester MART, tepung sagu dari jenis ini kurang disukai dan
kurang enak. Pohon sagu jenis ini banyak terdapat di Halmahera dan
mempunyai nama lain sagu ihur.

2. Pohon sagu yang berbunga lebih dari satu kali selama hidupnya. Tepung
sagunya kurang disukai dan kandungan karbohidratnya rendah. Jenis sagu ini
ialah Metroxylon filare dan Metroxylon elatum.

III. PRODUKSI PATI SAGU

A. PEMANENAN SAGU

Sampai saat ini para petani sagu belum dapat menentukan dengan pasti umur sagu
yang tepat untuk dipanen dengan hasil yang optimum. Pada umumnya para petani sagu

24
kurang menaruh perhatian terhadap pertumbuhan sagu sejak anakan sampai siap dipanen.
Namun demikian petani sagu di daerah sentra sagu yang biasa menangani sagu,
menggunakan criteria atau ciri-ciri tertentu yang dapat menandakan bahwa sagu tersebut
siap dipanen.

Ciri-ciri pohon sagu siap panen pada umumnya dilihat dari perubahan yang terjadi
pada daun, duri, pucuk dan batang. Umumnya tanaman sagu siap panen menjelang
pembentukan primodia bunga atau kucup bunga sudah muncul tetapi belum mekar. Pada
saat tersebut daun-daun terakhir yang keluar mempunyai jarak yang berbeda dengan daun
sebelumnya dan daun terakhir juga agak berbeda, yaitu lebih tegak dan ukurannya kecil.
Perubahan ini adalah pucuk menjadi agak menggelembung. Di samping itu duri semakin
berkurang dan pelepah daun menjadi lebih bersih dan licin dibandingkan dengan pohon
yang masih muda.

Masyarakat Irian Jaya mengenal ciri-ciri pohon sagu yang siap dipanen
berdasarkan pelepah daun yang menjadi pendek bila dibandingkan dengan pelepah
sebelumnya. Tanda kedua adalah kuncup bunga mulai tampak dan puncuk pohon
mendatar bila dibandingkan pohon sagu yang lebih muda. Untuk memastikan bahwa sagu
telah mengandung pati yang cukup banyak, ada juga yang melakukan pengujian dengan
melubangi batang sagu kira-kira satu meter di atas tanah. Kemudian diambil empulurnya
dan dikunyah serta diperas. Apabila air perasannya keruh berarti kandungan patinya sudah
cukup dan pohon siap dipanen.

Pada umumnya pemanenan sagu masih dilakukan secara sederhana dan dengan
tenaga manual. Setelah dipilih pohon sagu yang akan ditebang, dilakukan persiapan
penebangan. Mula-mula dilakukan pembersihan untuk membuat jalan masuk ke rumpun
dan pembersihan batang yang akan dipotong untuk memudahkan penebangan dan
pengangkutan hasil tebangan. Biasanya penebangan dilakukan

dengan kapak. Setelah pohon tumbang, pelepahnya dibersihkan dan sebagian ujung
batang dibuang karena kandungan patinya rendah. Di daerah Irian Jaya dan Maluku,

25
pohon yang sudah dibersihkan dipotong-potong menjadi bagian-bagian yang pendek-
pendek dengan ukuran 1,5 2 m. Gelendongan tersebut kemudian dibawa ke parit-parit
atau sumber air terdekat langsung ditokok (diekstraksi). Sedangkan di Kendari kadang-
kadang pohon sagu langsung diolah di tempat penebangan dengan membuat sumur darurat
di sekitar penebangan sebagai sumber air untuk proses ekstraksi. Untuk membersihkan
anakan atau pohon lain di sekitar pohon sagu yang akan ditebang, sering dilakukan
pembakaran. Pembakaran tersebut tidak akan mematikan anakan, meskipun seluruh daun
yang ada dipermukaan tanah habis terbakar.

Di daerah Riau, batang sagu yang sudah ditebang dipotong-potong sepanjang 1


meter. Potongan batang tersebut kemudian dibawa ke kilang (pabrik) untuk diambil
patinya. Sedangkan di Maluku dan Irian Jaya, umumnya batang yang telah ditebang tidak
diangkut tetapi langsung diambil empulurnya di tempat penebangan.

B. EKSTRAKSI PATI SAGU

Ekstraksi pati sagu merupakan proses pengolahan terhadap empulur batang pohon
sagu (Metroxylon sp.) untuk mendapatkan pati yang terkandung di dalamnya. Prinsip
ekstraksi pati sagu terdiri dari pembersihan gelondongan atau batang sagu yang sudah
ditebang dari kulit serat yang kasar setebal 2 4 cm, pembelahan gelondongan menjadi
beberapa bagian dengan panjang 40 70 cm. Setelah itu dilakukan pemarutan dan
pemisahan pati sagu dari sabut serta pengeringan pati sagu.

IV. MUTU DAN SIFAT PATI SAGU

Tinggi rendahnya suatu mutu ditentukan oleh banyak factor mutu seperti ukuran,
bentuk, warna, aroma, rasa, serta banyak factor lainnya. Untuk mencapai tujuan yang
diinginkan oleh konsumen dan produsen, maka perlu dikeluarkan standar mutu

26
terhadap suatu barang. Karena pati sagu merupakan sumber karbohidrat yang penting
dan diharapkan penggunaannya sebagai diversifikasi pola makanan, maka perlu
dikeluarkan standar mutu pati sagu. Badan Standarisasi Nasional (BSN) telah
mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai standar mutu pati sagu
seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Syarat Mutu Pati Sagu Menurut SNI 01 3729 1995

Karakteristik Kriteria

Kadar air, % (b/b) Maksimum 13

Kadar abu, % (b/b) Maksimum 0.5

Kadar serat kasar,, % (b/b) Maksimum 0.1

Derajat asam (ml NaOH 1 N/100 g) Maksimum 4

Kadar SO2 (mg/kg) Maksimum 30

Jenis pati lain selain pati sagu Tidak boleh ada

Kehalusan (lolos ayakan 100 mesh) % (b/b) Minimum 95

Total Plate Count (koloni/g) Maksimum 106

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1995)

Komponen kimia pati sagu sangat bervariasi. Variasi tersebut tidak banyak
dipengaruhi oleh perbedaan spesies, umur, dan habitat dimana pohon sagu tumbuh.

27
Faktor utama yang mempengaruhi variasi tersebut adalah sistem pengolahannya.
Komposisi kimia dalam setiap 100 gram pati sagu dapat dilihat pada Tabel 3. Sebagai
perbandingan juga ditunjukkan komposisi pati ubi kayu (tapioka) dan garut.

Tabel 3. Komposisi Pati Sagu, Tapioka & Garut untuk Setiap 100 g

Komponen Tapioka Pati Garut Pati Sagu

Kalori (kal) 362 355 353

Protein (g) 0.5 0.7 0.7

Lemak (g) 0.3 0.2 0.2

Karbohidrat (g) 86.9 85.2 84.7

Air 2(g) 12.0 13.6 14.0

Fosfor (mg) - 22 13

Kalsium (mg) - 8 11

Besi (mg) - 1.5 1.5

Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1979)

28
Untuk mengetahui sifat-sifat pati sagu, pada Tabel 4 dan 5 disajikan sifat
pati sagu dengan menyertakan sifat pati lain sebagai pembanding.

Tabel 4. Kadar Air, Daya Ikat Yodium, dan Kandungan Amilosa Pati
Tapioka, Garut, Sagu, dan Kentang..

Daya Ikat Yodium

Jenis Pati Kadar Air (%) Kadar Amilosa

(12 mg/100 mg)

Tapioka 9.20 3.53 18.0

Garut 17.20 3.79 19.4

Sagu 16.63 4.23 21.7

Kentang 17.02 4.54 23.3

Sumber : Kawabata et al. (1984) dalam Zulhanif (1996)

Tabel 5. Kandungan Bahan Organik pada Tapioka, Garut, Sagu, dan Kentang.

Komponen Jenis Pati

(mg/100 g bahan kering) Tapioka Garut Sagu Kentang

Abu 44.4 170.5 157.0 150.5

P 11.5 23.0 12.7 42.0

Na - 3.0 43.0 4.0

K 23.5 58.0 12.0 39.0

29
Ca 6.0 9.0 6.0 10.0

Mg 1.6 4.0 1.5 5.0

Sumber : Kawabata et al. (1984) dalam Zulhanif (1996).

Kandungan protein dalam sagu sangat rendah, yaitu hanya sekitar satu persen.
Oleh karena itu apabila sagu dikonsumsi sebagai makanan pokok, perlu ditambah
sejumlah protein yang diperlukan untuk memperbaiki nilai gizinya. Perbandingan
komposisi kimia tepung sagu dan tepung ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 6.

Komponen yang sangat penting dari tepung sagu adalah karbohidrat, kira-kira
92,5 persen dari bahan keringnya. Sagu mengandung karbohidrat yang lebih tinggi
dibanding beras merah dan jagung, yaitu sekitar 95,0 persen dari bahan keringnya.
Beras merah hanya mengandung karbohidrat sekitar 75,0 persen dan jagung hanya
sekitar 64,0 persen. Kandungan vitamin dalam sagu sangat kurang terutama vitamin
A, B dan C.

Apabila sagu, beras merah dan jagung dikonsumsi sebanyak 500 gram per hari,
maka protein yang diperoleh dari sagu hanya sekitar 3,2 gram. Protein yang
diperoleh dari beras merah sekitar 40 gram dan dari jagung sekitar 50 gram. Hal
tersebut di dasarkan pada komposisi kimia ketiga bahan tersebut (Tabel 7).

Tabel 6. Komposisi kimia tepung sagu disbanding tepung ubi kayu per
100 gram bahan*)

Komponen Tepung sagu Tepung ubi kayu

Kalori (kcal) 357 363

Air (g) 13,1 9,1

30
Protein (G) 1,4 1,1

Lemak (g) 0,2 0,5

Karbohidrat (g) 85,9 88,2

Serat (g) 0,2 2,2

Abu (g) 0,4 1,1

*)
LIE (1980)

Tabel 7. Komposisi kimia tepung sagu dibanding beras merah dan jagung*)

Komponen Sagu kering Beras merah Jagung

(%) (%) (%)

Protein 0,64 8,00 9,50

Lemak 0,20 2,50 5,20

Karbohidrat 95,00 75,00 68,00

Air + bahan lain 4,16 14,50 27,30

*)
ANONYMOUS (1979)

31
Tepung sagu pada kadar air 14,8 persen mengandung protein 1,9 persen, lemak
0,3 persen, karbohidrat 91,9 persen, serat kasar 1,7 persen dan abu 4,2 persen.
Komposisi kimia tepung sagu yang dikemukakan beberapa pustaka di atas, sangat
bervariasi. Variasi tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh perbedaan species, umur
dan habitat dimana pohon sagu tumbuh. Faktor utama yang mempengaruhi variasi
tersebut adalah system pengolahannya. Selain itu faktor yang dapat juga
mempengaruhi variasi tersebut adalah metoda analisa dan faktor konversi.

Komponen terbesar yang terdapat dalam tepung sagu (Metroxylon sp.), adalah
pati. Matz menyatakan bahwa pati adalah homopolimer yang terdiri dari molekul-
molekul glukosa melalui ikatan -glukosida dengan melepas molekul air.

Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan -1,4-glukosida, sedangkan


amilopektin mempunyai struktur lurus dan bercabang. Struktur yang lurus dengan
ikatan -1,4-glukosida dan pada cabangnya mempunyai ikatan -1,6-glukosida.
Jumlah unit glukosa dalam amilosa sekitar 25 1.300 -D-glukosa, sedangkan
amilopektin mengandung 5.000 40.000 -D-glukosa. Pati sagu mempunyai 27
persen amilosa dan 73 persen amilopektin. Kandungan kandungan amilosa pati sagu
adalah 27.4 persen dan 72.6 persen amilopektin.

Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butir) pati yang
berbeda-beda, dengan mikroskop jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai
bentuk, ukuran dan letak hilum yang unik. Pati sagu mulai mengalami gelatinisasi
pada suhu 72oC dan berakhir pada suhu 76oC.

Bentuk granula (butir) pati sagu sangat khas. Ukurannya relatif lebih besar
daripada granula jenis lainnya, yaitu sekitar 15 65 m dan yang umum 20 60
m. Bentuk granulanya oval (bulat telur). Letak hilum granula pati sagu tidak
terpusat dan bidang polarisasinya membentuk garis bersilangan secara tidak
beraturan.

32
V. PENGOLAHAN PATI SAGU SEBAGAI BAHAN PANGAN

A. PANGAN TRADISIONAL DARI SAGU

Sagu merupakan makanan pokok sebagian penduduk di Indonesia Timur.


Kurang lebih 30 persen penduduk Maluku mengkonsumsi sagu sebagai makanan
pokok. Di Irian Jaya 20 persen penduduknya yang mengkonsumsi sagu sebagai
makanan pokok.

Bentuk makanan tradisional dari sagu yang sudah dikenal di daerah Maluku dan
Irian Jaya seperti sagu lempeng, bagea, buburnee, papeda, sagu tumbuk, kue cerutu,
sinoli dan sagu tutupola.

Umumnya sagu dimakan segar dalam bentuk papeda atau sagu lempeng di Irian
Jaya, sedang di Ambon terdapat berbagai jenis pangan yang terbuat dari sagu antara
lain sagu lempeng dan buburnee.

Panganan dari sagu dapat dibuat dengan memasak tepung sagu dalam bumbu
atau dalam bungkusan daun atau dibuat kue-kue. Kue-kue tersebut dibuat dari sagu
basah yang dipres berbentuk pipih, lalu dibakar di atas wajan batu atau alat-alat
yang terbuat dari tanah atau logam.

Sagu yang dimasak dalam bungkusan daun disebut sagu ega sedang yang
dimasak dalam bambu disebut sagu bulu. Sagu yang dimasak dalam bambu
disebut sagu tutupola. Prinsip pembuatannya sama dengan pembuatan sagu
lempeng, hanya bentuk dan ukurannya yang berbeda.

Kue-kue yang dapat dibuat dari sagu seperti sagu gula, sagu tumbuk, bagea, kue
cerutu, sinoli, kue tali, bangket sagu, saku-saku dan sagu uha.

Sagu dapat dimasak dalam bentuk bubur yang disebut papeda. Papeda tersebut
umumnya dimakan bersama colo-colo dan ikan.

Sebagian sagu dikonsumsi dalam bentuk butiran sagu atau buburnee (pearl sago)
di Asia Tenggara. Butiran sagu tersebut dibuat dari campuran tepung sagu, tepung
beras (rice bran) dan parutan kelapa. Selain dibuat pangan tradisional, tepung sagu

33
digunakan juga sebagai bahan untuk membuat cendol dan bahan pencampur dalam
pembuatan permiseli (noodle) di Jawa Barat.

Sagu lempeng merupakan kue kering yang dimakan setelah dicelup ke dalam
kopi atau teh serta dapat dibuat bubur manis. Sagu lempeng tersebut dikenal dengan
nama sagu ambon di Jawa. Tepung sagu dikenal dengan nama sagu kirai di
daerah sekitar Bogor.

Sagu lempeng adalah makanan kering dan awet yang dicetak berbentuk
lempengan, berukuran 8 x 8 cm dan tebal 0,5 1,0 cm. Makanan ini besifat keras,
ringan, mempunya rasa tawar dan dapat langsung dimakan. Selain itu, sagu lempeng
dapat disimpan sampai setahun lebih, sehingga ideal untuk dijadikan makanan
persediaan.

Sagu lempeng tidak mudah rusak selama penyimpanan atau pengangkutan dan
juga belum ada laporan yang menyatakan adanya kerusakan yang disebabkan
selama sagu lempeng disimpan. Selain itu sagu lempeng relatif tidak higroskopis,
tetapi cepat mengembang kalau dicelup ke dalam cairan atau minuman, sehingga
sagu lempeng merupakan pangan yang awet dan tahan terhadap kerusakan mekanis
atau fisik. Oleh karena sifat-sifatnya yang unggul tersebut, maka sagu lempeng
merupakan produk sagu yang banyak dijual ke luar daerah Maluku dan banyak
digemari pelaut atau nelayan. Diperkirakan tidak kurang dari 100.000 ton sagu
lempeng yang terjual keluar Maluku setiap tahun.

Sagu lempeng dibuat dari tepung sagu setengah kering. Tepung sagu digosok-
gosok di atas ayakan untuk menghancurkan gumpalan-gumpalan tepung. Tepung
selanjutnya diayak sampai diperoleh tepung halus yang siap dimasak. Kadar air
tepung sagu untuk pembuatan sagu lempeng harus tepat. Tepung sagu yang terlalu
basah akan menghasilkan sagu lempeng yang lengket dan sulit dikeringkan.
Sebaliknya jika tepung terlalu kering, maka sagu lempeng tidak tercetak dan sagu
tidak masak.

Alat untuk mencetak sagu lempeng disebut forna yang terbuat dari tanah liat,
berbentuk balok panjang. Panjang sekitar 10 20 cm, lebarnya sekitar sepuluh

34
centimeter dan tebal sekitar sepuluh centimeter. Terdiri dari lekukan-lekukan
dengan kedalaman sekitar delapan centimeter dan lebar satu centimeter. Sebelum
digunakan, forna dipanaskan di atas tungku api sambil dibalik-balik supaya
panasnya merata. Apabila sudah tercapai panas yang diinginkan forna diangkat dari
tungku dan segera diisi tepung sagu yang sudah dipersiapkan. Proses pemasakan
berlangsung pada saat lekukan-lekukan ditutup daun pisang dan ditindih selama 10
20 menit. Sagu lempeng dianggap sudah masak jika bagian dalam sudah berwarna
kuning gelap dan sagu lempeng terlepas dari dinding forna.

Jenis pangan lain yang cara pembuatannya sama dengan pembuatan sagu
lempeng adalah sagu gula. Pada pembuatan sagu gula, tepung sagu dicampur
parutan kelapa dan gula.

Papeda adalah bentuk makanan khas Maluku, Irian dan beberapa daerah
Sulawesi yang bentuknya menyerupai gel atau pasta. Di Sulawesi Selatan,
khususnya di kalangan suku Toraja, bentuk makanan ini dikenal dengan nama
Pogalu atau Kapurung.

Prinsip pembuatan papeda ini adalah dengan memanaskan suspensi pati sagu
sampai terjadi gelatinasi. Pati sagu diaduk dalam sedikit air dingin sampai terbentuk
suspensi dengan kekentalan tertentu, yaitu suatu kekentalan yang masih dapat
diaduk dengan mudah. Suspensi tersebut disiram dengan air panas (air mendidih)
sambil diaduk sampai mengental dan terjadi perubahan warna. Pengadukan
dilakukan sampai warna gel/pasta yang terbentuk merata. Papeda biasanya dimakan
dengan lauk-pauk berupa ikan, daging, kelapa, sayur-sayuran danjenis lainnya yang
memiliki gizi tinggi.

Buburnee adalah satu bentuk pangan tradisional yang banyak ditemukan di


daerah Maluku. Cara pembuatannya sederhana adalah sebagai berikut : Pati sagu
basah dibuat menjadi remah-remah halus seperti pada pembuatan sagu lempeng.
Kemudian dibuat butiran-butiran dengan menggoyang-goyangkan pati sagu di atas
tampah atau kantong kain. Pada saat digoyang-goyangkan, pati sagu basah akan
menggelinding dan membentuk butiran-butiran. Butiran-butiran pati sagu tersebut

35
disangrai di atas wajan atau kuali sampai berwarna putih kekuning-kuningan,
atau agak kecoklatan.

Bentuk pangan dari pati sagu sejenis buburnee adalah sagu mutiara (pearl sago)
yang banyak terdapat di Malaysia.

Sagu Tutupala dibuat dengan memasak pati sagu dalam bambu. Pati basah
tumang disiapkan seperti pada pembuatan seperti sagu lempeng. Pati mawur yang
diperoleh dimasukkan dalam bambu basah yang tidak terlalu tua lalu dipanaskan
atau dibakar di atas nyala api sampai sagu di dalamnya masak. Selama pemanasan,
bambu dibolak-balik atau diputar-putar supaya pati sagu masak dengan merata.
Bentuk pangan ini berbeda dengan sagu lempeng, karena tempat masak atau
cetakannya berbeda.

Cara pembuatan bagea adalah sebagai berikut : Pati sagu dibungkus dengan
daun pisang atau daun sagu lalu dipanaskan dalam belanga. Dalam pembuatan
bagea, pati sagu dapat ditambahkan telur, kenari, garam dan sebagainya untuk
meningkatkan nilai gizi dan rasanya.

Bagea berbentuk kue yang keras dan banyak terdapat di Maluku dan Sulawesi.
Nama pangan ini bermacam-macam tergantung dari daerah tempat pembuatannya,
seperti Bagea Ternate, Bagea Saparua, Bagea Suli dan sebagainya.

B. SAGU SEBAGAI BAHAN PANGAN BARU

Jenis makanan yang terbuat dari tepung pada umumnya bahannya adalah tepung
terigu, tapioka atau tepung beras dan bahan-bahan lain semacamnya. Jenis-jenis
makanan seperti itu sudah dapat diterima dan dikenal secara luas oleh masyarakat,
bersifat lebih komersial dan diproduksi dengan alat semi mekanis atau mekanis,
misalnya : roti, biskuit, mie (noodle), sohun, kerupuk, hunkue, bihun dan
sebagainya.

Berdasarkan komposisi kimianya, pati sagu sebagian besar terdiri dari


karbohidrat sama halnya dengan tapioka, terigu, tepung beras, maizena dan lain-lain.
Hal ini menunjukkan bahwa pati sagu dapat digunakan sebagai untuk membuat

36
produk-produk tersebut di atas, baik sebagai bahan substitusi maupun sebagai bahan
utama, tergantung dari jenis produknya.

1. Roti

Roti sebagai salah satu bentuk pangan sudah popular dalam masyarakat, serta
banyak digemari di Indonesia. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya industri roti
yang tumbuh di kota-kota besar, baik dalam bentuk industri kecil maupun dalam
industri besar.

Bahan yang memegang peranan penting dalam pembuatan roti adalah jenis
protein gliadin dan glutenin yang terdapat dalam tepung terigu. Kedua jenis protein
tersebut membentuk gluten pada saat bercamupr air dan garam dalam proses
pembuatan adonan roti. Gluten ini merupakan suatu komponen yang bersifat elastis,
kokoh dan mudah direntangkan (extensibility) sehingga memegang peranan penting
dalam pengolahan dan pembentukan sifat-sifat khas suatu produk pangan. Sifat
elastis dari tepung terigu ditimbulkan oleh gliadin, sedangkan sifat kokoh dan
mudah direntangkan ditimbulkan oleh gluteinin.

Metode yang digunakan dalam pembuatan roti tawar dari campuran 70


persen terigu dan 30 persen pati sagu adalah metode pencampuran secara cepat
(rapid daugh). Metode ini dikembangkan oleh Lembaga Penelitian Roti Australia
(Bread Research Institute of Australia) dengan komposisi bahan atau resep sebagai
berikut: - Terigu hard 70%

4. Pati sagu ... 30%


5. Lemak (croma cromix) . 6%
6. Gula . 6%
7. Garam .. 1,5%
- Ragi (fermipan kemasan merah) . 1,5%

- Bread Improver .. 0,2%

- Susu skim 3%

37
- Telur (2 butir untuk setiap 2 kg tepung) .
- A i r .50%

Semua bahan tersebut dinyatakan dalam persen terhadap berat total tepung
(terigu + pati sagu). Misalnya jumlah tepung yang digunakan 1.000 gram, lemak 60
gram, ragi 15 gram, air sekitar 0,5 liter dan sebagainya.

Dari resep tersebut di atas dapat ditambahkan bahan-bahan penambah cita


rasa seperti susu skim 2 4 persen, telur 3 5 persen, vanili sekitar 0,1 persen dan
bahan-bahan penambah cita rasa lainnya.

Secara umum proses pembuatan roti meliputi tahap : pencampuran atau


pembuatan adonan (mixing), pengembangan (proofing) dan pembakaran (baking).
Akan tetapi berdasarkan cara pencampuran dan pengembangan adonan, metode
pembuatan adonan roti dikelompokkan menjadi :

- Pengembangan adonan secara mekanis (mechanical dough


development/baking)

- Metode pencampuran ganda (sponge and dough mixing)

- Metode pencampuran secara langsung (straight dough mixing)

- Metode pencampuran secara cepat (rapid dough mixing)

Keempat metode pembuatan roti tersebut masing-masing mempunyai


kelebihan dan kekurangan, terutama dalam hal jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
proses dan produk akhir yang diperoleh. Misalnya pada metode pencampuran
ganda, waktu yang diperlukan untuk pembuatan roti sekitar 6 jam 20 menit, tetapi

38
aroma roti yang dihasilkan biasanya lebih tajam. Sedangkan pada metode
pencampuran langsung, waktu yang diperlukan hanya sekitar 2 jam 20 menit, tetapi
aroma roti yang dihasilkan kurang terasa.

Berikut hanya dijelaskan pembuatan roti dengan metode pencampuran secara


cepat. Metode tersebut merupakan metode baru yang dikembangkan oleh Lembaga

Penelitian Roti Australia dan hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam 20


menit sehingga praktis untuk diterapkan.

Dalam pembuatan roti dengan metode pencampuran secara cepat, semua


bahan dicampur dan diaduk dengan mixer sambil ditamgah air sedikit demi sedikit.
Apabila tidak ada mixer, pengadukan dan pencampuran bahan dilakukan secara
manual dengan cara meremas-remas bahan dalam baskom plastik atau wadah
lainnya. Pengadukan dilakukan sampai adonan tidak lengket baik pada dinding
mixer, baskom maupun pada tangan, dan bentuk adonan menjadi halus (kalis).
Dalam keadaan kalis, adnoan membentuk lapisan tipis seperti film bila direntangkan
secara pelan-pelan dengan tangan. Adonan yang telah mengembang/kalis diangkat
dari mixer atau baskom dan langsung dipotong-potong. Untuk roti tawar atau roti
manis adonan harus dibakar dalam pan bread (loyang), berat tiap potong adonan
sekitar 1/3 dari volume adonan seluruhnya. Sebelum dipotong-potong, adonan
dapat dirol dua sampai tiga kali.

Potongan-potongan adonan tersebut dibentuk bulat-bulat dan dibiarkan


selama kurang lebih 20 menit sampai mengembang dan permukaan adonan tidak
kembali lagi bila ditekan dengan jari tangan. Selanjutnya bulatan-bulatan tersebut
dibentuk sesuai dengan keinginan. Untuk roti tawar dirol dengan menggunakan rol
kayu atau mesin lalu digulung dan dimasukkan loyang yang telah diolesi lemak.
Sedangkan untuk roti manis, gurih, dsb., bulatan adonan dikempeskan dengan
tangan dan diisi dengan keju, coklat, kismis dan bahanlain yang diingikan.
Bentuknya sesuai dengan keinginan dan dimasukkan loyang yang telah diolesi
minyak. Adonan roti yang telah dibentuk dibiarkan selama kurang lebih 60 menit
sampai adonan mengembang. Setelah mengembang, adonan tersebut dimasukkan ke

39
dalam oven yang telah dipanasi pada suhu kurang lebih 220oC, kemudian dibiarkan
selama kurang lebih 25 menit sampai roti itu masak (permukaan adonannya
berwarna kecoklatan). Sebelum dimasukkan ke dalam oven, permukaan adonan
dapat diolesi dengan telur supaya mengkilap setelah dipanaskan dalam oven.

2. Biskuit

Menurut Whitely (1971), biskuit dikelompokkan atas dua golongan besar


yaitu biskuit jenis adonan keras (Hard Dough Biskuits) dan biskuit jenis adonan
lunak (Soft Dough Biskuits). Kelompok pertama meliputi semua jenis biskuit yang
difermentasi, seperti crackers; biskuit setengah manis (semi sweet biskuits) seperti
biskuit Marie dan semua jenis biskuit yang tidak manis. Sedangkan biskuit adonan
lunak meliputi semua jenis biskuit yang manis seperti Cookies, Snaps dan
sebagainya. Jenis biskuit ini di Indonesia dikenal dengan kue-kue kering.

Sampai saat ini bahan utama yang digunakan dalam pembuatan biskuit
adalah terigu, terutama jenis terigu soft dengan kandungan protein sekitar 8 9%
serta jenis terigu mendium dengan kandungan protein sekitar 10 11%. Akan tetapi
penelitian pembuatan biskuit dari bahan baku nonterigu sudah banyak dilakukan,
termasuk di Indonesia. Misalnya dari penelitian yang dilaporkan Pangloli dan
Royaningsih (1987), ternyata terigu jenis medium dan jenis hard dapat
disubstitusikan dengan pati sagu sampai 30 persen untuk pembuatan biskuit Marie
dan Cracker. Juga terdapat resep biskuit Marie dari campuran terigu medium dan
pati sagu yang sudah diujicobakan di Pilot Plant Pengolahan Sagu BPP Teknologi,
sebagai berikut:

- Terigu .. 100%

- Pati sagu .. 100%

- Lemak (croma biskuits) .. 14,25%

- Gula halus ... 16,13%

40
- Susu skim ... 7,13%

- Telur ... 7,13%

- Baking Powder ... 5,35%

- Garam . 1%

- A i r bervariasi

Dari resep tersebut di atas, pati sagu dapat menggantikan terigu jenis
medium sampai 30%. Bahan tambahan berupa lemak dapat ditingkatkan sampai
20% dan gula 22%. Jumlah air yang ditambahkan bervariasi sesuai dengan tingkat
substitusi pati sagu. Pada tingkat substitusi terigu dengan pati sagu 10%, jumlah air
yang ditambahkan semakin berkurang. Semua bahan tambahan, selain tepung,
dinyatakan dalam persentase terhadap berat total tepung.

Proses pembuatan biskuit Marie dari campuran pati sagu dengan terigu pada
prinsipnya meliputi : pembuatan adonan (mixing), pencetakan, pencetakan dan
pembakaran atau pemanggangan. Bahan-bahan berupa lemak, gula, garam dan susu
skim dikocok dengan mixer sampai halus berbentuk pasta. Apabila menggunakan
gula butiran, campuran bahan tersebut harus diaduk atau dikocok supaya gulanya
betul-betul halus. Butiran gula dapat menimbulkan bintik-bintik coklat yang tidak
merata pada permukaan biskuit, karena karamelisasi pada waktu pembakaran dan
akan mengurangi keindahan dari biskuit. Setelah bahan tersebut tercampur merata,
ditambahkan telur sedikit demi sedikit sambil diaduk pelan-pelan. Setelah telur
tercampur merata dengan bahan lainnya, pengadukan dipercepat sampai adonan
mengembang. Pada permulaan penambahan telur, pengadukan adonan dilakukan
pelan-pelan agar semua bahan tercampur merata sebelum telur menjadi matang atau
mengembang.

Terigu, pati sagu dan baking powder dicampur rata, kemudian dimasukkan
sedikit demi sedikit ke dalam adonan pertama sambil diaduk pelan-pelan sampai
semua bahan tercampur merata. Selanjutnya ditambahkan air sedikit demi sedikit
sambil terus diaduk sampai membentuk adonan yang sesuai. Pengadukkan berakhir

41
setelah semua bahan dalam adonan bersatu. Adonan diistirahatkan selama kurang
lebih 15 menit sebelum di roll atau digiling tipis sampai ketebalan kurang lebih
3mm. Kemudian dicetak dan diistirahatkan kembali kurang lebih 10 menit.
Permukaan cetakan adonan diolesi telur lalu dipanaskan dalam oven pada suhu
220oC selama kurang lebih 15 menit. Maksud adonan diberi waktu istirahat adalah
agar semua bahan-bahan dalam adonan dapat diserap merata dan gluten menjadi
lemah sehingga mudah ditangani dan biskuit yang dihasilkan menjadi renyah.

3. Mie

Mie (noodle) adalah salah satu produk pangan yang menyerupai tali yang diduga
berasal dari Cina. Walaupun bahan baku utama untuk pembuatan mie adalah tepung
gandum yang sampai saat ini belum dapat diproduksi di Indonesia, tetapi produk
pangan ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi masyarakat Indonesia, mulai
masyarakat golongan bawah sampai golongan atas. Hal ini tidak hanya disebabkan
oleh rasanya yang enak dan nilai gizinya yang relatif tinggi, tetapi juga oleh cara
penyajiannya yang mudah dan praktis. Konsumsi produk pangan ini akan terus
meningkat setiap tahun sejalan dengan pertambahan penduduk, yang sendirinya
akan mendorong peningkatan pemakaian dan impor terigu atau biji gandum. Akan
tetapi, dari penelitian yang dilakukan di Pilot Plant Sagu Bogor, ternyata pati sagu
dapat digunakan dalam pembuatan mie dengan mengganti terigu sampai 30%.

Resep yang digunakan untuk pembuatan mie bermacam-macam, tergantung dari


kesukaan konsumen, dan biasanya merupakan rahasia perusahaan yang
memproduksi. Akan tetapi secara umum resep dasar yang digunakan dalam
pembuatan mie adalah sebagai berikut :

- Terigu + Pati sagu . 100%

- Alkali (Na2CO3 atau K2CO3) 1,5%

- Garam 0,5%

42
- Air . 37%

- Cuka (vinegar) .. 0,5%

Alkali dalam pembuatan mie berfungsi untuk menguatkan adonan supaya


dapat mengambang dengan baik, mempercepat proses gelatinasi pati dan
meningkatkan viskositas adonan yang akan memperbaiki kekenyalan mie. Fungsi
alkali ini terutama diperlukan dalam pembuatan mie dari tepung nonterigu yang
tidak mengandung gluten. Jenis alkali yang digunakan dalam pembuatan mie
terutama Sodium atau Kalium Karbonat dan biasanya di pasaran dikenal dengan
nama air abu. Air abu biasanya dibuat dari kulit buah kapuk atau merang.

Berdasarkan proses pengolahannya, mie yang dipasarkan di Indonesia terdiri


dari mie mentah (Raw Chinese Noodles), mie basah (Boiled Noodle), mie kering
(Steamed and dried Noodle) dan mie. Proses pembuatan mie adalah sebagai berikut:

Semua bahan dicampur dan diaduk dalam mixer sampai terbentuk adonan
seperti dalam pembuatan roti. Dalam rumah tangga adonan dapat dilakukan dengan
mencampur bahan, lalu diuleni dengan tangan sampai semua bahan tercampur
dengan sempurna. Kemudian ditekan-tekan dengan bamboo sampai permukaan
adonan halus. Adonan digiling membentuk lembaran, lalu dilipat dua kali dan
digiling kembali. Proses ini dilakukan beberapa kali sampai permukaan lembaran
adonan betul-betul halus, bintik-bintik tepung atau pati tidak kelihatan lagi.
Lembaran adonan diistirahatkan selama kurang lebih 15 menit supaya semua bahan
tercampur secara sempurna, lalu diroll sampai mencapai ketebalan kurang lebih 0,5
mm. Dalam industri rumah tangga yang menggunakan Marcatto (noodle cutter),
adonan diroll mulai dari set 1 sampai ketebalan (set) 4. Akhirnya lembaran adonan
membentuk tali atau benang-benang. Sampai pada tahap ini jenis mie yang
dihasilkan adalah mie mentah (row noodle), jenis mie ini biasanya digunakan untuk
keperluan rumah tangga atau pedagang makanan yang dijajakan seperti penjual
bakso dan sebagainya.

43
Mie mentah yang diperoleh dapat diproses lebih lanjut untuk menghasilkan
jenis atau bentuk-bentuk mie lainnya. Untuk memproduksi mie basah, mie mentah
tersebut dibiarkan dulu kurang lebih 30 menit lalu direbus dalam air mendidih
selama kurang lebih 5 menit. Kemudian dicuci dengan air dingin sampai semua pati
yang tidak tergelatinasi terbuang (ditandai dengan jernihnya air pencuci). Setelah
ditiriskan, mie diolesi minyak goring supaya lembaran-lembaran mie tidak lengket.
Selain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, mie jenis ini digunakan juga di
restoran-restoran.

Proses pengolahan mie kering (steam and dred noodle) hampir sama dnegan
pengolahan mie instant. Untuk menghasilkan mie kering, mie mentah yang telah
didiamkan selama kurang lebih 30 menit dikukus lalu dikeringkan pada suhu kurang
lebih 40oC.

Sedangkan untuk mie instan, setelah proses pengukusan (steam) dilanjutkan


dengan proses penggorengan (fried). Contoh mie kering yang bnayak dikenal di
pasaran adalah mie telor, mie instan seperti supermie, Indomie, Mie, Sari Mie dan
sebagainya.

4. Sagu Mutiara

Tepung sagu dapat diolah menjadi berbagai macam produk pangan. Salah satu
produk pangan yang dibuat dari tepung sagu adalah Sagu Mutiara atau Sagu Butir.
Sagu Mutiara mempunyai bentuk bulat dengan lapisan luarnya tergelatinisasi.
Dalam pemanfaatannya, Sagu Mutiara dapat dipergunakan sebagai bahan pangan
pengganti nasi. Sagu Mutiara dapat dibuat dari tepung sagu basah atau kering.
Apabila digunakan tepung sagu kering, perlu pembasahan terlebih dahulu sebelum
dilakukan proses penghabluran. Tetapi apabila digunakan tepung sagu basah dapat
langsung dilakukan proses penghabluran. Tujuan dari penghabluran adalah untuk
menghancurkan tepung sagu yang menggumpal akibat pembasahan. Penghabluran
dapat dilakukan dengan cara meremas-remas tepung sagu di atas ayakan yang
berdiameter 1 sampai 2 milimeter atau dengan menggunakan mesin penghablur.
Setelah proses penghabluran selesai, dilanjutkan proses pembutiran.

44
Proses pembutiran dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang paling
sederhana adalah dengan memasukkan sagu hasil penghabluran ke dalam wadah
yang beralas bulat. Wadah tersebut kemudian diputar secara horizontal sehingga
sagu saling bertumbukan dan membentuk bulatan. Cara yang lebih mudah adalah
dengan menggunakan mesin pembutir yang berbentuk silinder yang dapat berputar
pada porosnya. Mesin pembutir tersebut dapat dibuat dari stainless steel atau
alumunium.

Butir-butir sagu yang telah terbentuk perlu disangrai, agar bagian luarnya
tergelatinisasi. Penyangraian selesai bila 50 sampai 75 persen bagian permukaan
butir sagu telah tergelatinisasi. Sagu Mutiara tersebut selanjutnya disortasi untuk
mendapatkan produk yang ukurannya seragam.

45

Anda mungkin juga menyukai