Anda di halaman 1dari 46

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat
derajat kesehatan perempuan. Organisasi kesehatan dunia (WHO)
memperkirakan diseluruh dunia lebih dari 585.000 ibu meninggal tiap tahun
saat hamil atau bersalin. Artinya setiap menit ada 1 perempuan yang
meninggal di Indonesia menurut survey demografi kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2009 angka kematian ibu (AKI) masih cukup tinggi, yaitu 390
per 100.000 kelahiran hidup. Tinggi nya angka kematian ibu itu
menempatkan Indonesia pada urutan teratas di Asean dalam hal tersebut.2
Survey kesehatan rumah tangga 2001 menyebutkan angka
kematian ibu di Indonesia 396 per 100.000 kelahiran hidup. Jumlah itu
meningkat dibandingkan hasil survey 1995, yaitu 373 per 100.000
kelahiran hidup. Departemen kesehatan menargetkan tahun 2010 angka
kematian ibu turun menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup, namun target
tersebut masih jauh untuk dicapai.2
Penyebab terpenting kematian maternal di Indonesia adalah
pendarahan (40 60%) infeksi (2030 %) keracunan kehamilan (20-30%)
sisanya sekitar 5 % disebabkan penyakit lain yang memburuk saat
kehamilan atau persalinan. Pendarahan sebagai penyebab kematian ibu
terdiri atas pendarahan antepartum dan pendarahan post partum. Pendarahan
antepartum merupakan kasus gawat darurat yang kejadiannya berkisar 3 %
dari semua persalinan, penyebabnya antara lain plasenta previa, solusio
plasenta dan pendarahan yang belum jelas sumbernya.2
Pendarahan sebenarnya dapat terjadi bukan saja pada masa
kehamilan tetapi dapat juga pada masa persalinan maupun pada masa nifas.
Setiap pendarahan dalam kehamilan harus dianggap sebagai keadaan akut
berbahaya dan serius dengan resiko tinggi karena dapat menimbulkan
kematian ibu dan janin.2
Pada trimester kedua kehamilan pendarahan sering disebabkan
partus prematurus, solusio plasenta, mola dan inkompetensi serviks. Pada
trimester ketiga (pendarahan antepartum) adalah pendarahan setelah 29
minggu atau lebih yang dapat menyebabkan terjadinya solusio plasenta atau
plasenta previa. Pendarahan ini lebih berbahaya dibandingkan umur
kehamilan kurang dari 28 minggu, sebab faktor pelasenta dimana
pendarahan plasenta biasanya hebat. Sehingga menggangu sirkulasi 02 dan
CO2 serta nutrisi dari ibu kepada janin.2
Plasenta previa merupakan plasenta yang terletak pada segemen
bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri
internum. bila usia kehamilan 37 minggu, pendarahan sedikit sedangkan
keadaan ibu dan anak baik maka dapat dipertahankan sampai aterm. Bila
pendarahan banyak hendaknya segera mengakhiri kehamilan misalnya
sectio caesaria.2
Sedangkan mioma uteri adalah tumor jinak otot polos yang terdiri
dari sel-sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid, dan kolagen.
Mioma uteri merupakan tumor pelvis yang terbanyak pada organ reproduksi
wanita. Kejadian mioma uteri sebesar 20-40% pada wanita yang berusia
lebih dari 35 tahun dan sering menimbulkan gejala klinis berupa
menorrhagia dan dismenorea. Selain itu mioma uteri juga dapat
menimbulkan kompresi pada traktus urinarius, sehingga dapat menimbulkan
gangguan berkemih maupun tidak dapat menahan berkemih.
Terjadinya plasenta previa dan mioma uteri dalam kehamilan
merupakan penyulit dalam kehamilan. Hal ini menyebabkan terjadinya fetal
distress pada kasus ini.

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Melengkapi tugas laporan kasus pada departemen Obstetri dan Ginekologi
RSUP HAM Medan.
2. Memperdalam pengetahuan mengenai Plasenta Previa, Mioma Uteri dan
Fetal Distress.
3. Memperdalam pemahaman mengenai penanganan Plasenta Previa, Mioma
Uteri dan Fetal Distress.

1.3. Manfaat Laporan Kasus


Manfaat dari penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Meningkatkan ketajaman pemahaman mengenai definisi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, terapi, komplikasi, dan
prognosis Plasenta Previa, Mioma Uteri dan Fetal Distress.
2. Mampu mengaplikasikan landasan teori Plasenta Previa, Mioma Uteri dan
Fetal Distress dengan kasus yang terjadi pada pasien di lapangan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Plasenta Previa
2.1.1. Definisi
Plasenta previa adalah keadaan plasenta berimplantasi rendah pada
segmen bawah rahim, menutupi atau tidak menutupi ostium uteri internum pada
usia kehamilan lebih dari 20 minggu dan janin mampu hidup di luar rahim.1

Gambar 2.1. Plasenta Previa

2.3 Insiden Plasenta Previa

Plasenta previa lebih banyak pada kehamilan dengan paritas tinggi dan pada usia
di atas 30 tahun. Juga lebih sering terjadi pada kehamilan ganda daripada
kehamilan tunggal. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah dilaporkan
insidennya berkisar 1,7% sampai dengan 2,9%. Di negara maju insidennya lebih
rendah yaitu kurang dari 1% mungkin disebabkan berkurangnya perempuan hamil
paritas tinggi. Dengan meluasnya penggunaan ultrasonografi dalam obstetrik yang
memungkinkan deteksi lebih dini, insiden plasenta previa bisa lebih tinggi.3
2.1.3. Etiologi Plasenta Previa
Etiologi plasenta previa sampai saat ini belum diketahui secara pasti,
namun ada beberapa teori dan faktor risiko yang berhubungan dengan plasenta
previa, diantaranya:4
1) Ovum yang dibuahi tertanam sangat rendah di dalam rahim, menyebabkan
plasenta terbentuk dekat dengan atau di atas pembukaan serviks.
2) Lapisan rahim (endometrium) memiliki kelainan seperti fibroid atau jaringan
parut (dari previa sebelumnya, sayatan, bagian bedah sesar atau aborsi).
3) Hipoplasia endometrium : bila kawin dan hamil pada umur muda.
4) Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima
hasil konsepsi.
5) Tumor-tumor, seperti mioma uteri dan polip endometrium.
6) Plasenta terbentuk secara tidak normal.
7) Kejadian plasenta previa tiga kali lebih sering pada wanita multipara daripada
primipara. Pada multipara, plasenta previa disebabkan vaskularisasi yang
berkurang dan perubahan atrofi pada desidua akibat persalinan masa lampau.
Aliran darah ke plasenta tidak cukup dan memperluas permukaannnya
sehingga menutupi pembukaan jalan lahir.1
8) Ibu merokok, risiko relatif untuk plasenta previa meningkat dua kali lipat
akibat merokok. Ini terjadi karena timbulnya hipoksemia akibat
karbonmonoksida menyebabkan hipertrofi plasenta kompensatorik.
9) Ibu dengan usia lebih tua. Risiko plasenta previa berkembang 3 kali lebih
besar pada perempuan di atas usia 35 tahun dibandingkan pada wanita di
bawah usia 20 tahun.4
10) Riwayat sectio caesaria. Peningkatan insiden plasenta previa lima kali lipat
pada wanita dengan riwayat sectio caesaria.5

2.1.4. Klasifikasi Plasenta Previa


Klasifikasi plasenta previa sebagian besar akan bergantung pada
pembukaan serviks saat diperiksa, menurut Prawirohardjo (2008) plasenta previa
dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:2
1) Plasenta previa totalis atau komplit: plasenta yang menutupi seluruh ostium
uteri internum.
2) Plasenta previa parsialis: plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri
internum.
3) Plasenta previa marginalis: plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium
uteri internum.
4) Plasenta previa letak rendah : plasenta yang berimplantasi pada segmen
bawah rahim demikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih
kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih dari 2 cm dianggap
plasenta letak normal.

Gambar 2.2. Klasifikasi Plasenta Previa


2.1.5. Patofisiologi Plasenta Previa
Letak plasenta biasanya umumnya di depan atau di belakang dinding
uterus, sedikit ke atas ke arah fundus uteri. Hal ini adalah fisiologis karena
permukaan bagian atas korpus uteri lebih luas, sehingga lebih banyak tempat
untuk berimplantasi. Di tempat-tempat tertentu pada implantasi plasenta terdapat
vena-vena yang lebar (sinus) untuk menampung darah kembali. Pada pinggir
plasenta di beberapa tempat terdapat suatu ruang vena yang luas untuk
menampung darah yang berasal dari ruang interviller di atas. Darah ibu yang
mengalir di seluruh plasenta diperkirakan naik dari 300 ml tiap menit pada
kehamilan 20 minggu sampai 600 ml tiap menit pada kehamilan 40 minggu.
Perubahan-perubahan terjadi pula pada jonjot-jonjot selama kehamilan
berlangsung. Pada kehamilan 24 minggu lapisan sinsitium dari vili tidak berubah
akan tetapi dari lapisan sitotropoblast sel-sel berkurang. Dan hanya ditemukan
sebagai kelompok-kelompok sel-sel; stroma jonjot menjadi lebih padat,
mengandung fagosit-fagosit, dan pembuluh-pembuluh darahnya lebih besar dan
lebih mendekati lapisan tropoblast.3
Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa umumnya
terjadi pada triwulan ketiga karena saat itu segmen bawah uterus lebih mengalami
perubahan berkaitan dengan semakin tuanya kehamilan. Implantasi plasenta di
segmen bawah rahim dapat disebabkan:
a. Endometrium di fundus uteri belum siap menerima implantasi.
b. Endometrium yang tipis sehingga diperlukan perluasan plasenta untuk
mampu memberikan nutrisi janin.
c. Villi korealis pada korion leave yang persisten.
Dengan bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih
melebar lagi, dan serviks mulai membuka. Apabila plasenta tumbuh pada segmen
bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat
diikuti oleh plasenta yang melekat disitu tanpa terlepasnya sebagian plasenta dari
dinding uterus. Pada saat itu mulailah terjadi perdarahan.7
Sumber perdarahannya ialah sinus uterus yang terobek karena terlepasnya
plasenta dari dinding uterus, atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta.
Perdarahannya tak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot
segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan itu. Tidak
sebagaimana serabut otot uterus menghentikan perdarahan pada kala III dengan
plasenta yang letaknya normal. Makin rendah letak plasenta, makin dini
perdarahan terjadi. Oleh karena itu, perdarahan pada plasenta previa totalis akan
terjadi lebih dini daripada plasenta letak rendah.8

2.1.6. Gambaran Klinis Plasenta Previa (lapkas pp)


Keluhan perdarahan per vaginam yang pertama sekali umumnya terjadi
pada trimester ketiga dari kehamilan yaitu pada usia kehamilan diatas 28 minggu,
namun pada beberapa kasus gejala perdarahan juga dapat terjadi pada kehamilan
diatas 20 minggu. Sifat perdarahannya tanpa sebab (causeless), tanpa rasa nyeri
(painless), dan berulang (recurrent). Perdarahan pertama umumnya tidak terlalu
banyak dan berwarna merah segar13.
Hal diatas adalah yang paling khas pada plasenta previa, perdarahan yang
tidak nyeri dan biasanya timbukl menjelang akhir trimester kedua atau setelahnya.
Perdarahan dapat terjadi selagi penderita tidur atau bekerja biasa. Dengan
bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi dan
serviks mulai membuka. Apabila plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus,
pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh
plasenta yang melekat. Pada saat inilah terjadi perdarahan. Darahnya berwarna
merah segar, berbeda dengan darah yang disebabkan oleh solusio plasenta yang
berwarna kehitaman. Sumber perdarahannya adalah sinus uterus yang terobek
karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus atau karena robekan sinus
marginalis dari plasenta. Perdarahanya tidak dapat dihindarkan karena
ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi
menghentikan perdarahan perdarahan itu, tidak sebagaimana serabut otot uterus
menghentikan perdarahan pada kala III dengan plasenta yang letaknya normal14.

2.1.7. Diagnosis Plasenta Previa


Jika plasenta previa terdeteksi pada akhir tahun pertama atau trimester
kedua, sering kali lokasi plasenta akan bergeser ketika rahim membesar. Untuk
hal ini dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan USG. Beberapa wanita mungkin
bahkan tetap tidak terdiagnosis sampai persalinan, terutama dalam kasus-kasus
plasenta previa parsial.9
1) Anamnesis
Pada anamnesis dapat dinyatakan beberapa hal yang berkaitan dengan
perdarahan antepartum seperti umur kehamilan saat terjadinya perdarahan, apakah
ada rasa nyeri, warna dan bentuk terjadinya perdarahan, frekuensi serta
banyaknya perdarahan. Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu
berlangsung tanpa rasa nyeri, tanpa alasan, terutama pada multigravida.1
2) Pemeriksaan luar
Inspeksi
Dapat dilihat perdarahan yang keluar pervaginam: banyak atau sedikit,
darah beku dan sebagainya. Jika terjadi banyak perdarahan maka kemungkinan
ibu telah mengalami anemi dan harus segera dilakukan koreksi setelah konfirmasi
melalui pemeriksaan darah dilakukan.
Palpasi
Janin sering belum cukup bulan, jadi fundus uteri masih rendah. Sering
dijumpai kesalahan letak janin, bagian terbawah janin belum turun. Apabila letak
kepala, biasanya kepala masih goyang atau terapung (floating) atau mengolak di
atas pintu atas panggul.4
3) Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan ini merupakan senjata dan cara paling akhir yang paling
ampuh dalam bidang obstetrik untuk diagnosa plasenta previa. Walaupun ampuh
namun harus berhati-hati karena dapat menimbulkan perdarahan yang lebih hebat,
infeksi, juga menimbulkan his yang kemudian akan mengakibatkan partus yang
prematur. Indikasi pemeriksaan dalam pada perdarahan antepartum yaitu jika
terdapat perdarahan yang lebih dari 500 cc, perdarahan yang berulang, his telah
mulai dan janin sudah dapat hidup di luar janin.9
4) Ultrasonografi
Menegakkan diagnosa plasenta previa dapat pula dilakukan dengan
pemeriksaan ultrasonografi. Penentuan letak plasenta dengan cara ini memiliki
kelebihan yaitu tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya, dan
tidak rasa nyeri.9
Dengan USG dapat ditentukan implantasi plasenta atau jarak tepi plasenta
terhadap ostium. Bila jarak tepi kurang dari 5 cm disebut plasenta letak rendah.
Bila tidak dijumpai plasenta previa, dilakukan pemeriksaan inspekulo untuk
melihat sumber perdarahan lain.10
5) Pemeriksaan inspekulo
Dengan menggunakan spekulum secara hati-hati dilihat dari mana sumber
perdarahan, apakah dari uterus, ataupun terdapat kelainan pada serviks, vagina,
varises pecah, dll. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah
perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan
vagina. Apabila perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum, maka dapat
dicurigai ini kejadian plasenta previa.11

2.1.8. Penatalaksanaan Plasenta Previa


Penatalaksanaan plasenta previa terbagi atas 2, yaitu:
1) Terapi ekspektatif (pasif)
Tujuan ekspektatif ialah supaya janin tidak terlahir prematur, penderita
dirawat tanpa melakukan pemeriksaan dalam melalui kanalis servisis. Upaya
diagnosis dilakukan secara non invasif. Pemantauan klinis dilakukan secara ketat
dan baik.
Syarat-syarat terapi ekspektatif:
a. Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti.
b. Belum ada tanda-tanda in partu.
c. Keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas normal).
d. Janin masih hidup.12

Penanganan berupa:12
Bed rest total
Pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta, usia kehamilan,
profil biofisik, letak dan presentasi janin.
Pemberian antibiotik profilaksis
Pemberian tokolitik bila ada kontraksi:
MgSO4 4 gram IV dosis awal, dilanjutkan 4 gram tiap 6 jam
Nifedipin 3 x 20 mg/ hari
Bila janin preterm, diberikan Betametason 24 mg IV dosis tunggal atau
dexamethason 15 mg IV dosis tunggal untuk pematangan paru janin.
Uji pematangan paru dengan tes kocok dari hasil amniosintesis.
Awasi vital sign dan denyut jantung janin
Bila tidak ada perdarahan dalam 3 hari perawatan, dan waktu untuk
mencapai 37 minggu masih lama, pasien dapat dipulangkan untuk rawat jalan
(kecuali apabila rumah pasien diluar kota atau jarak untuk mencapai rumah
sakit lebih dari 2 jam) dengan pesan untuk segera kembali ke rumah sakit jika
terjadi perdarahan ulang. Sebelum dipulangkan, pasien diajurkan untuk
berjalan jalan disekitar tempat tidur. Bila tidak ada perdarahan, pasien dapat
dipulangkan.

2) Terapi aktif
Wanita hamil di atas 22 minggu dengan perdarahan pervaginam yang aktif
dan banyak, harus segera ditatalaksana secara aktif tanpa memandang maturitas
janin. Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa:
a. Sectio caesaria
Prinsip utama dalam melakukan sectio caesaria adalah untuk
menyelamatkan ibu. Tujuan sectio caesaria adalah melahirkan janin dengan
segera sehingga uterus dapat segera berkontraksi dan menghentikan perdarahan
dan menghindarkan terjadinya robekan serviks uteri jika janin dilahirkan. Indikasi
sectio caesaria pada plasenta previa antara lain:
(1) Semua plasenta previa sentralis, janin hidup atau meninggal.
(2) Semua plasenta lateralis posterior, karena perdarahan yang sulit di
kontrol.
(3) Semua plasenta previa dengan perdarahan yang banyak dan tidak
berhenti dengan tindakan-tindakan yang ada.
(4) Plasenta previa pada pasien dengan panggul sempit, atau pada
kejadian letak lintang.12
b. Melahirkan pervaginam.
Melakukan tekanan pada plasenta supaya pembuluh-pembuluh darah yang
terbuka dapat tertutup kembali (tamponade pada plasenta).
Penekanan tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu:
1. Amniotomi (pemecahan selaput ketuban)
Cara ini merupakan cara yang dipilih untuk melancarkan persalinan
pervaginam. Cara ini dilakukan apabila plasenta previa lateralis, plasenta
previa marginalis atau plasenta letak rendah, namun bila ada pembukaan pada
primigravida telah terjadi pembukaan 4 cm atau lebih. Juga dapat dilakukan
pada plasenta previa lateralis/marginalis dengan janin yang sudah
meninggal.12
2. Versi Braxton Hicks
Cara ini dapat dilakukan pada janin letak kepala, untuk mencari kakinya
sehingga dapat ditarik keluar. Cara ini dilakukan dengan mengikatkan kaki
dengan kain kasa, dikatrol, dan juga diberikan beban seberat 50-100 gr. Versi
Braxton Hicks tidak dilakukan pada janin yang masih hidup.12

Gambar 2.3. Versi Braxton Hicks


3. Memasang cunam Willet Gausz
Pemasangan cunam Willet Gausz dapat dilakukan dengan mengklem kulit
kepala janin dengan cunam Willet Gausz. Kemudian cunam diikat dengan
menggunakan kain kasa atau tali yang diikatkan dengan beban kira-kira 50-
100 gr atau sebuah batu bata seperti katrol. Tindakan ini biasanya hanya
dilakukan pada janin yang telah meninggal dan perdarahan yang tidak aktif
karena seringkali menimbulkan perdarahan pada kulit kepala janin.12
2.1.9. Komplikasi Plasenta Previa
1) Pertumbuhan janin lambat karena pasokan darah yang tidak
mencukupi.
2) Anemia janin.
4) Shock dan kematian ibu jika pendarahan berlebihan.
5) Infeksi dan pembentukan bekuan darah.
6) Kehilangan darah yang membutuhkan transfusi.
7) Prematur, pengiriman sebelum minggu ke-37 kehamilan, yang
biasanya menimbulkan risiko terbesar pada janin.
8) Cacat lahir. Cacat lahir terjadi 2,5 kali lebih sering pada kehamilan yang
dipengaruhi oleh plasenta previa daripada kehamilan tidak terpengaruh.
Penyebab saat ini tidak diketahui.7

2.1.10. Prognosis Plasenta Previa


Prognosis ibu dan anak pada plasenta previa dewasa ini lebih baik jika
dibandingkan dengan masa lalu. Hal ini berkat diagnosis yang lebih dini dan tidak
invasif dengan USG di samping ketersediaan transfusi darah dan infus cairan telah
ada di hampir semua rumah sakit. Rawat inap yang lebih radikal ikut berperan
terutama bagi kasus yang pernah melahirkan dengan sectio caesaria atau
bertempat tinggal jauh dari fasilitas yang diperlukan. Penurunan jumlah ibu hamil
dengan paritas tinggi dan usia tinggi berkat sosialisasi program keluarga
berendana menambah penurunan insiden plasenta previa. Dengan demikian
banyak komplikasi maternal dapat dihindarkan.2
Prognosis ibu pada plasenta previa dipengaruhi oleh jumlah dan kecepatan
perdarahan serta kesegeraan pertolongannya. Kematian pada ibu dapat dihindari
apabila penderita segera memperoleh transfusi darah dan segera lakukan
pembedahan sectio caesaria. Prognosis terhadap janin lebih buruk oleh karena
kelahiran yang prematur lebih banyak pada penderita plasenta previa melalui
proses persalinan spontan maupun melalui tindakan penyelesaian persalinan.
Namun perawatan yang intensif pada neonatus sangat membantu mengurangi
kematian perinatal.7
2.2. Mioma Uteri

2.2.1. Definisi 13
Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos yang terdiri dari sel-sel jaringan
otot polos, jaringan fibroid dan kolagen. Beberapa istilah untuk mioma uteri
antara lain fibromioma, miofibroma,leiofibroma,fibroleiomioma,fibroma,dan
fibroid.

2.2.2. Insidensi 14
Dilaporkan sebanyak 1,4 % dari lebih 6700 kehamilan merupakan
komplikasi dari mioma uteri dan dilaporkan 1 dari 500 wanita hamil mempunyai
komplikasi yang berhubungan dengan leiomioma. Mioma sering ditemui sekitar 1
hingga 2 % pada kehamilan yang didiagnosis menggunakan ultrasonografi.
Risiko mioma mulai berkurang dengan peningkatan jumlah paritas dan
peningkatan usia kehamilan.

2.2.3. Faktor Resiko 14


Terdapat beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan pertumbuhan
dari fibroid, yaitu :
1. Umur
Wanita pada umur 30-40 an sering mengalami pertumbuhan fibroid.
Namun begitu, sebanyak 30 % dari seluruh wanita mengalami
pertumbuhan fibroid apabila umur mereka mencapai 35 tahun.
2. Riwayat keluarga
Adanya riwayat keluarga dengan fibroid meningkatkan faktor resiko,
resiko yang dihadapinya sekitar 3 kali lebih tinggi berbanding dengan
tiada riwayat keluarga.
3. Ras dan etnik
Statistik menggabarkan wanita dari Afrika-Amerika mempunyai 3-5 kali
lipat resiko mengalami fibroid berbanding wanita kulit putih.

4. Obesitas
Obesitas akan menjurus kepada peningkatan BMI sekaligus meningkatkan
resiko kejadian dan perkembangan fibroid.

2.2.4. Klasifikasi 14
Leiomioma dapat diklasifikasikan ke dalam subkelompok berdasarkan
hubungan anatomi terhadap lapisan dari uterus. Tiga jenis yang biasa ditemui
adalah:
1. Intramural yang terletak di bagian tengah dari dinding otot uterus;
2. Subserosal yang berada di bawah lapisan serosa uterus;
3. Submukosal yang letaknya berada di bawah endometrium.
Mioma submukosal dapat tumbuh bertangkai menjadi polips, kemudian
dilahirkan melalui saluran serviks yang dikenali sebagai myomgeburt. Mioma
subserosal dapat tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum menjadi
mioma intra ligamenter. Selain itu, mioma subserosal dapat pula tumbuh
menempel pada jaringan lain misalnya ke ligamentum atau omentum dan
kemudian membebaskan diri dari uterus, sehingga disebut sebagai wandering atau
parasitic fibroid. Mioma pada serviks dapat menonjol ke dalam saluran serviks
sehingga ostium uterus eksternum berbentuk bulan sabit.
2.2.5. Patogenesis 15
Penyebab utama mioma uteri belum diketahui secara pasti sampai saat ini,
tetapi penelitian telah dilakukan untuk memahami apakah terdapat faktor
hormonal, faktor genetic, growth factor, dan biologi molekuler untuk tumor jinak
ini. Faktor yang diduga berperan untuk inisiasi pada miometrium, peningkatan
reseptor estrogen secara kongenital pada miometrium, perubahan hormonal, atau
respon kepada kecederaan iskemik ketika haid. Setelah terjadi mioma uteri,
perubahan-perubahan genetic ini akan dipengaruhi oleh promoter (hormone) dan
efektor (growth factors).
Mioma uteri yang berasal dari sel otot polos miometrium, menurut teori
onkogenik maka patogenesa mioma uteri dibagi menjadi 2 faktor yaitu inisiator
dan promoter. Faktor-faktor yang menginisiasi pertumbuhan mioma masih belum
diketahui dengan pasti. Dari penelitian menggunakan glucose-6-phosphatase
dihydrogenase diketahui bahwa mioma berasal dari jaringan uniseluler.
Transformasi neoplastik dari miometrium menjadi mioma melibatkan
somatic dari miometrium normal dan interaksi kompleks dari hormone steroid
seks dan growth factor local. Mutasi somatic ini merupakan peristiwa awal dala
proses pertumbuhan tumor. Tidak dapat dibuktikan bahwa hormone estrogen
berperan sebagai penyebab mioma, namun diketahui estrogen berpengaruh dalam
pertumbuhan mioma.
Mioma terdiri dari reseptor estrogen dengan konsentrasi yang lebih tinggi
disbanding dari miometrium sekitarnya, namun konsentrasinya lebih rendah
disbanding endometrium. Hormon progesterone meningkatkan aktifitas mitotic
dari mioma pada wanita muda namun mekanisme dan faktor pertumbuhan yang
terlibat tidak diketahui secara pasti. Progesteron memungkinkan pembesaran
tumor dengan cara apoptosis tumor. Estrogen berperan dalam pembesaran tumor
dengan meningkatan produksi matriks ekstraseluler.
2.2.6. Gejala Klinis 13
Tanda dan gejala dari mioma uteri hanya terjadi pada 35-50% pasien.
Gejala yang dsebabkan oleh mioma uteri tergantung pada lokasi, ukuran dan
jumlah mioma. Gejala dan tanda yang paling sering adalah:
1. Perdarahan uterus yang abnormal.
Wanita dengan mioma uteri mungkin akan mengalami siklus perdaarahan
haid yang teratur dan tidak teratur. Menorrhagia dan atau metrorrhagia
sering terjadi pada penderita mioma uteri. Mekanisme perdarahan
abnormal pada mioma uteri diakibtkan (1) peningkatan ukuran permukaan
endometrium,(2) peningkatan vaskularisasi aliran vaskuler ke uterus, (3)
gangguan kontraktlitas uterus, (4) ulserasi endometrium pada mioma
submukosa,(4) kompresi pada pleksus venosus didalam miometrium.
2. Nyeri panggul
Hal ini disebabkan oleh karena degenerasi akibat oklusi vaskuler, infeksi,
torsi dari mioma yang bertangkai maupun akibat kontraksi miometrium
yang disebabkan mioma subserosum.
3. Penekanan
Pada mioma uteri yang besar dapat terjadi penekanan terhadap organ
sekitar. Penekanan mioma uteri dapat menyebabkan gangguan berkemih,
defekasi maupun dispareunia.
4. Disfungsi reproduksi
Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab infertilitas masih belum
jelas. Dilaporkan 27-40% wanita dengan mioma uteri mengalami
infertilitas. Mioma yang terletak didaerah kornu dapat menyebabkan
sumbatan dan gangguan transportasi gamet dan embrio akibatnya
terjadinya oklusi tuba.
2.2.7. Pengaruh mioma pada kehamilan dan persalinan 2
Terdapatnya mioma uteri mungkin mengakibatkan hal-hal sebagai berikut
1. Mengurangi kemungkinan wanita menjadi hamil, terutama pada mioma
uteri submukosum
2. Kemungkinan abortus bertambah
3. Kelainan letak janin dalam rahim, terutama pada mioma yang besar dan
letak subserus
4. Menghalang-halangi lahirnya bayi, terutama pada mioma yang letaknya di
serviks.
5. Inersia uteri dan atonia uteri, terutama pada mioma yang letaknya di dalam
dinding rahim atau apabila terdapat banyak mioma, dan
6. Mempersulit lepasnya plasenta , terutama pada mioma yang submukus dan
intramural.

2.2.8. Pengaruh kehamilan dan persalinan pada mioma uteri 2:


Sebaliknya, kehamilan dan persalinan dapat mempengaruhi mioma uteri
1. Tumor bertumbuh lebih cepat dalam kehamilan akibat hipertrofi dan
edema, terutama dalam bulan-bulan pertama, mungkin karena pengaruh
hormonal. Setelah kehamilan 4 bulan, tumor tidak bertambah besar lagi.
2. Tumor menjadi lebih lunak dalam kehamilan, dapat berubah bentuk, dan
mudah terjadi gangguan sirkulasi di dalamnya, sehingga terjadi perdarahan
dan nekrosis, terutama di tengah-tengah tumor. Perubahan ini
menyebabkan rasa nyeri di perut yang disertai dengan gejala-gejala
rangsangan peritoneum dan gejala-gejala peradangan. Lebih sering lagi
komplikasi ini terjadi dalam masa nifas karena sirkulasi dalam tumor
mengurang akibat perubahan-perubahan sirkulasi yang dialami oleh
wanita setelah bayi lahir.
3. Mioma uteri subserosum yang bertangkai dapat mengalami putaran
tangkai akibat desakan uterus yang makin lama makin membesar. Torsi
menyebabkan gangguan sirkulasi yang nekrosis yang menimbulkan
gambaran klinik akut abdomen.

Pada mioma, reseptor esterogen terdapat sepanjang siklus menstruasi,


tetapi mengalami supresi semasa kehamilan. Reseptor progesteron terdapat pada
miometrium dan mioma sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan. Tambahan
pula mioma berkembang pada awal kehamilan akibat dari stimulasi hormonal dan
growth factors yang sama yang memicu perkembangan uterus.
Pada trimester pertama, ukuran mioma tidak berubah atau makin
membesar sehubungan dengan peningkatan estrogen. Pada trimester kedua,
mioma yang berukuran 2 hingga 6cm selalunya tidak berubah atau membesar,
namun bagi mioma yang berukuran besar akan mengecil, kemungkinan dari
inisiasi penurunan regulasi reseptor esterogen. Pada trimester ketiga, tanpa
mengirakan ukuran mioma, selalunya mioma tidak berubah atau mengecil akibat
dari penurunan regulasi reseptor esterogen
Terdapat dua faktor yang penting dalam menentukan morbiditas yaitu
ukuran mioma dan lokasi. Jarak mioma dengan daerah implantasi sangat penting.
Terjadinya aborsi, abrupsio plasenta, kelahiran preterm dan postpartum hemoragik
dapat meningkat jika plasenta berhampiran atau diimplantasi pada mioma. Tumor
pada serviks atau bagian bawah segmen uterus dapat mengganggu persalinan.
Mioma ukuran besar dapat menyebabkan distorsi pada anatomi dan menolak
ureter ke lateral.
Efek stimulatorik kehamilan pada pertumbuhan mioma telah sejak lama
dikenali secara klinis. Efek ini kemudian diduga terjadi melalui reseptor estrogen
dan progesterone yang terdapat di jaringan uterus normal dan mioma. Sebenarnya,
ekspansi cepat uterus yang normal terjadi selama kehamilan besar
kemungkinannya melibatkan mekanisme yang lebih kompleks yang diperantarai
sebagian oleh estrogen, progesterone, dan sejumlah faktor pertumbuhan, terutama
plateleted-derived growth factor. Selama fase sekretorik siklus menstruasi dan
kehamilan, jumlah reseptor estrogen di miometrium normal berkurang. Pada
mioma, reseptor estrogen dapat ditemukan sepanjang siklus menstruasi, tetapi
ekspresi reseptor tersebut tertekan selama kehamilan. Reseptor progesterone
terdapat di miometrium dan mioma sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan.
Maka, faktor-faktor yang merangsang pertumbuhan normal uterus selama
kehamilan adalah estrogen, progesterone, berbagai faktor pertumbuhan dan
meningkatnya sel-sel dengan antigen Ki-67. Dari pengamatan ini, mendukung
konsep bahwa hormone atau faktor pertumbuhan yang sama atau serupa yang
biasanya merangsang pertumbuhan uterus

2.2.9. Penatalaksanaan 13
Secara umum penatalaksanaan mioma uteri dibagi atas 2 metode:
1. Terapi medisinal (hormonal)
Saat ini pemakaian Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis
memberikan hasil untuk memperbaiki gejala-gejala klinis yang
ditimbulkan oleh mioma uteri. Pemberian GnRH agonis bertujuan untuk
mengurangi ukuran mioma dengan jalan mengurangi produksi esterogen
dari ovarium. Efek maksimal pemberian gnRH agonis baru terlihat setelah
3 bulan. Pada 3 bulan berikutnya tidak terjadi pengurangan volume mioma
secara bermakna.
Pemberian GnRH agonis sebelum dilakukan tindakan pemberian
pembedahan akan mengurangi vaskularisasi pada tumor sehingga akan
memudahkan tindakan pembedahan. Terapi hormonal lainnya seperti
kontrasepsi oral dan preparat progesterone akan mengurangi gejala
perdarahan uterus yag abnormal namun tidak dapat mengurangi ukuran
dari mioma.

2. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan pada mioma uteri dilakuakan terhadap mioma yang
menimbulkan gejala. Menurut American Collage of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG) dan American Societ for Reproductive Medicine
(ASRM) indikasi pemebdhan pada pasien dengan mioma uteri adalah :
1. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadapa terapi konservatif.
2. Sangkaaan adanya keganasan
3. Pertumbuhan mioma pada masa menopause
4. Infertilitas karena gangguan pada cavum uteri maupun karena oklusi
tuba
5. Nyeri dan penekanan yang sangat mengganggu
6. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius
7. Anemia akibat perdarahan
Tindakan pemebdahan yang dilakukan adalah miomektomi maupun
histerektomi.

a. Miomektomi
Miomektomi sering dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan
fungsi reproduksinya dan tidak ingin dilakuakn histerektomi. Tindakan
miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi maupun dengan
laparoskopi. Pada laparoskopi, dilakukan insisi pada dinding abdomen untuk
mengangkat mioma dari uterus. Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan
terhadap mioma submukosum yang terletak pada kavum uteri
Keunggulan melakukan miomektomi adalah lapangan operasi yang lebih
luas sehingga penanganan terhadap perdarahan yang mugkin timul pada
pemebdahan miomektomi dapat ditangani sengan segera. Namun pada
miomektomi secara laparotomi resiko terjadi perlengketan lebih besar, sehingga
mempengaruhi faktor fertilitas pada pasien. Disamping itu, masa penyembuhan
paska operasi juga lebih lama. Sekitar 4-6 minggu.

Miomektomi selama kehamilan


Miometomi selama kehamilan harus dibatasi pada mioma yang jelas memiliki
tangkai yang dapat dijepit dan diikat dengan mudah. Mioma jangan dipotong dari
uterus selama kehamilan atau saat pelahiran, karena dapat terjadi perdarahan
deras dan kadang-kadang dilakuakn histerektomi.
Miomektomi sebelum kehamilan
Pengangkatan suatu leiomioma intramural sangat berbahaya bagi kehamilan
berikutnya. Setelah miomektomi, terjadi peningkatan bermakna risiko rupture
uteri pada kehamilan berikutnya. Selain itu, rupture dapat terjadi pada awal
kehamilan dan jauh sebelum persalianan. Apabila miomektomi menyebabkan
defek yang mengenai atau dekat dengan endometrium, kehamilan berikutnya
perlu diakhiri sebelum terjadi persalianan aktif.

b. Histerektomi
Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya adalah tindakan
terpilih. Tindakan histerektomi pada mioma uteri sebesar 30% dari seluruh kasus.
Histerektomi dijalankan apabila didapati keluhan menorrhagia,metrorrhagia,
keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus sebesar usia kehamilan
12-14 minggu.
Tindakan histerktomi dapat dilakukan secara abdominal (laparotomi),
vaginal dan pada beberapa kasus dilakukan laparoskopi. Histerktomi
perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total abdominal hysterectomy
(TAH) dan subtotal abdominal hysterectomy (STAH). STAH dilakukan untuk
menghindari resiko operasi yang lebih besar seperti perdarahan banyak, trauma
operasi pada ureter, kandung kemih, dan rektum. Histerektomi juga dilakukan
pervagianam, dimana tindakan operasi tidak melalui insisi pada abdomen. Secara
umum histerektomi vaginal hamper seluruhnya merupakan prosedur operasi
ekstraperitoneal, dimana peritoneum yang dibuka sangat minimal sehingga trauma
yang mungkin timbul pada usus dapat diminimalisasi. Histerektomi laparoskopi
ada bermacam-macam teknik seperti histerektomi vaginal dengan bantuan
laparoskopi (Laparoscopically assisted vaginal hysterectomy/LVAH) dan klasik
intrafascial serrated edged macromorcellated hysterectomy (CISH) tanpa
colpotomy.
2.3. Fetal Distress 16,17
2.3.1. Defenisi
Gawat janin adalah bradikardi janin persisten yang apabila tidak segera
ditangani dapat menimbulkan dekompresi respon fisiologis dan menyebabkan
kerusakan permanen pada sistem saraf pusat dan organ lain serta kematian janin.

2.3.2. Klasifikasi17
a. Gawat janin sebelum persalinan
Gawat janin kronik
Dapat timbul setelah periode yang panjang selama periode antenatal bila status
fisiologi dari ibu-janin-plasenta yang ideal dan normal terganggu.
Gawat janin akut
Suatu kejadian yang terjadi tiba tiba dan mempengaruhi oksigenasi janin.

b. Gawat janin selama persalinan


Menunjukkan hipoksia janin tanpa oksigenasi yang adekuat, denyut
jantung janin kehilangan varibilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi lanjut
pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap, glikolisis anaerob menghasilkan
asam laktat dengan pH janin yang menurun.

2.3.3. Etiologi 17
Terdapat beberapa etiologi (penyebab) dari gawat janin:
1. Etiologi fetal distress dari Ibu:
a. penurunan kemampuan membawa oksigen ibu
b. anemia yang signifikan
c. penurunan aliran darah uterin
d. posisi supine atau hipotensi lain, preeclampsia
e. kondisi ibu yang kronis
f. Hipertensi
2. Etiologi dari faktor uteroplasental:
a. Kontraksi uterus seperti hiperstimulus dan solusio plasenta
b. Disfungsi uteroplasental
infark plasental
korioamnionitis
disfungsi plasental ditandai oleh IUGR (Intrauterine Growth
Retardation), oligohidramnion.
3. Etiologi dari faktor janin:
a. Kompresi tali pusat
oligohidramnion
prolaps tali pusat
puntiran tali pusat
b. Penurunan kemampuan janin membawa oksigen
anemia berat, misal : isoimunisasi, perdarahan fetomaternal
4. anestesia blok paraservikal
5. infeksi virus toxoplasmosis
6. kehamilan postmatur
7. medikasi pada ibu (antropine, sikopolamin, diazepam, fenobarbital,
magnesium, analgesiknarkotik)

2.3.4. Tanda-Tanda Gawat 15,17


Gawat Janin dapat diketahui dari tanda-tanda sebagai berikut:
1. Frekwensi bunyi jantung janin kurang dari 120 x / menit atau lebih dari 160 x
/ menit.
2. Berkurangnya gerakan janin ( janin normal bergerak lebih dari 10 kali per
hari ).
3. Adanya air ketuban bercampur mekonium, warna kehijauan ( jika bayi lahir
dengan letak kepala ).
Indikasi-indikasi dari kemungkinan gawat janin:
1. Beradikardia, denyut jantung janin (+) yang kurang dari 120 kali/menit.
2. Takikardia, akselerasi denyut jantung janin yang memanjang lebih dari
160x/menit. Dapat dihubungkan dengan demam ibu sekunder terhadap
infeksi intrauteri. Prematuritas dan atropin juga di hubungkan dengan
denyut jantung dasar yang meningkat.
3. Variabililtas denyut jantung dasar yang menurun, yang berarti depresi
sistem syaraf anatomi janin untuk medikasi ibu (atropin, skopopamin,
diazepam, fenolbarbitas, magnesium dan analgesic naikotik)
4. Pola deselerasi, deselerasi lanjut menunjukkan hipoksia janin yang
disebabkan oleh insufisiensi uteroplasma. Deselerasi yang bervariasi tidak
berhubungan dengan uterus adalah lebih sering dan muncul untuk
menjalankan kompresi sementara waktu saja dari pembuluh darah
umbillikus. Peningkatan hipoksia janin adalah deselerasi lanjut, penurunan
variabilitas, bradikaria yang menetap dan pola gelombang sinus.

2.3.5. Diagnosis 17
Gawat janin intrapartum memerlukan diagnosis dini yang tepat, dapat
dilakukan dengan:
1. Pemantauan elektronik dengan kardiotografi
Tujuan dasar monitoring kecepatan DJJ secara elektronik untuk mendeteksi
tanda-tanda gangguan pada janin.
2. Pemeriksaan darah janin
Bila pola kecepatan DJJ mencurigai / mengancam, maka diperjelas dengan
pengukuran pH darah dari kulit kepala.
3. Pemantauan USG
Pengukuran diameter biparietal secara seri dapat mengungkapkan bukti dini
dari retardasi petumbuhan intrauterin. Gerakan pernafasan dan aktivitas janin,
dan volume cairan ketuban memberikan penilaian tambahan dari kesehatan
janin. Oligohidramnion memberi kesan anomali janin atau retardasi
pertumbuhan.
4. Pemeriksaan kadar estriol
Kadar estriol dalam darah atau urin ibu memberikan suatu pengukuran fungsi
janin dan plasenta, karena pembentukan estriol memerlukan aktivitas dari
enzim dalam hati dan kelenjar adrenal seperti dalam plasenta karena kehamilan
berlanjut, kadar estriol meningkat. Kadar estriol yang normal merupakan
indikator dari unit fungsional fetoplasental normal dan menentramkan.
5. Pemeriksaan HPL (Human Placental Lactogen)
HPL dalam darah ibu : 4 mcg / ml atau kurang setelah kehamilan 30 minggu
memberi kesan fungsi plasenta yang abnormal dan janin dalam bahaya.

2.3.6. Penatalaksanaan 17
Jika denyut jantung janin diketahui tidak normal, lakukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Tergantung faktor penyebab: perubahan posisi yaitu dengan posisi miring kiri
dan pemberian O2 3 L/menit membantu mengurangi demam pada maternal
dengan hidrasi anti piretik dan tindakan pendinginan.
2. Relaksasi ( menarik nafas panjang untuk menenangkan ibu dan menambah
asupan Oksigen)
3. Observasi DJJ tiap 15 menit, apabila dalam 30 menit tidak ada perbaikan
keadaan janin, segera kolaborasi dengan dokter obgyn.
4. Jika sebab dari ibu diketahui (seperti demam, obat-obatan) mulailah
penanganan yang sesuai dengan kondisi ibu:
a. Istirahat baring
b. Banyak minum (rehidrasi)
c. Kompres untuk menurunkan suhu tubuh ibu
d. Memberi obat antipiretik
5. Jika sebab dari ibu tidak diketahui dan denyut jantung janin tetap abnormal
sepanjang paling sedikit 3 kontraksi, lakukan pemeriksaan dalam untuk
mencari penyebab gawat janin:
a. Jika terdapat perdarahan dengan nyeri yang hilang timbul atau menetap,
pikirkan kemungkinan solusio plasenta.
b. Jika terdapat tanda-tanda infeksi (demam, sekret vagina berbau tajam)
berikan antibiotik untuk amnionitis.
c. Jika tali pusat terletak di bawah janin atau dalam vagina lakukan
penanganan prolaps tali pusat.
6. Jika denyut jantung janin tetap abnormal atau jika terdapat tanda-tanda lain
gawat janin (mekonium kental pada cairan amnion, rencanakan
persalinan).

Tokolisis
Suntikan dosis tunggal 0,25 mg terbutalin sulfat intarvena atau subkutan yang
diberikan untuk melemaskan uterus dilaporkan dapat digunakan sebagai tindakan
sementara dalam penatalaksanaan pola frekuensi denyut jantung janin yang tidak
menyakinkan selama persalinan. Alasan tindakan ini adalah bahwa inhibisi
kontraksi uterus dapat memperbaiki oksigenasi janin sehingga terjadi resusitasi in
utero. Nitrogliserin intravena dalam dosis kecil (60 sampai 180mg) juga
dilaporkan bermanfaat.

2.4. Aminoinfusi 18
2.4.1. Definisi
Amnioinfusi merupakan suatu prosedur melakukan infuse larutan NaCl
fisiologis atau Ringer Laktat ke dalam kavum uteri untuk menambah volume
cairan amnion. Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi masalah yang timbul
akibat berkurangnya volume cairan amnion, seperti deselerasi, variable berat dan
fibroma aspirasi mekonium dalam persalinan.

2.4.2. Indikasi
Amnioinfusi terutama ditujukan untuk mengurangi kejadian deselerasi
variable akibat kompresi tali pusat, dan mencegah terjadinya aspirasi mekonium
yang kental selama persalinan. Amnioinfusi dilakukan pada deselerasi variable
yang berat dan berulang, yang tidak menghilang dengan tindakan konvensional
(perubahan posisi ibu dan pemberian oksigen).
Indikasi lain adalah untuk mencegah terjadinya oligohidramnion. Ada juga
peneliti yang melakukan amnioinfusi untuk mempermudah tindakan versi luar
pada presentasi bokong, meskipun tindakan ini tidak popular.

2.4.3. Kontraindikasi
Terdapat beberapa kontraindikasi untuk tindakan amnioinfusi, antara lain :
1. Amnionitis
2. Polihidramnion
3. Uterus hipertonik
4. Kehamilan kembar
5. Kelainan congenital janin
6. Kelainan uterus
7. Gawat janin yang berat
8. Malpresentasi janin
9. pH darah janin < 7,2
10. Plasenta previa atau solusio plasenta

2.4.4. Teknik
Amnioinfusi dapat dilakukan dengan cara transabdominal atau
transcervical (transvaginal). Pada cara transabdominal, amnioinfusi dilakukan
dengan bimbingan USG. Cairan NaCl fisiologis (ringer laktat) dimasukkan
melalui jarum spinal yang ditusukkan ke dalam kantong amnion yang terlihat
dengan USG. Pada cara transcervical, cairan dimasukkan melalui kateter yang
dipasang ke dalam cavum uteri melaui serviks uteri.
Selama tindakan amnioinfusi, denyut jantung janin dimonitor terus dengan
alat kardiotopografi (KTG) untuk melihat perubahan pada denyut jantung janin.
Mula-mula dimasukkan 250 ml bolus cairan NaCl (ringer laktat)selama 20-30
menit. Kemudian dilanjutkan dengan infus 10-20 ml/jam sebanyak 600 ml.
Jumlah tetesan infuse disesuaikan dengan perubahan pada gambaran KTG.
Apabila deselerasi variable menghilang, infuse dilanjutkan sampai 250 ml,
kemudian tindakan dihentikan, kecuali bila deselerasi variable timbul kembali.
Jumlah maksimal cairan yang dimasukkan adalah 800-1000 ml. Apabila setelah
800-1000 ml cairan yang dimasukkan tidak menghilangkan deselerasi variable,
maka tindakan dianggap gagal.
Selama amnioinfusi dilakukan monitoring denyut jantung janin dan tonus
uterus. Bila tonus meningkat, infus dihentikan sementara sampai tonus kembali
normal dalam waktu 5 menit. Bila tonus uterus terus meningkat sampai 15-30
mmHg diatas tonus basal, maka tindakan harus dihentikan. Selama tindakan
amnioinfusi sering kali terjadi kebocoran cairan dari kavum uteri.
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
No. MR : 51.82.40
Nama : Bhutet Bangun
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Karo
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Lorong Umum Bagan Deli Belawan
Tanggal Masuk : 10 Juli 2012 (pukul 21.51)

ANAMNESIS
Ny. B, 34 tahun, G1P0A0, Ibu Rumah Tangga, Karo, Islam, i/d Tn. H, 44
tahun, Wiraswasta, Jawa, Islam, datang ke IGD RSUP H. Adam Malik Medan
dengan keluhan mules mau melahirkan.
Hal ini dialami pasien sejak tadi malam tanggal 09 juli 2012. Keluar
lendir bercampur darah (-), keluar air dari kemaluan (-). Pasien sebelumnya
dilakukan amniofusi tanggal 09 juli 2012. BAB (+) Normal, dan BAK (+)
Normal.
RPT : Hipertensi (+), DM (-).
RPO : Riwayat operasi usus buntu
HPHT : 05-12-2011
TTP : 12-09-2012
ANC : 2x Bidan, SpOG 1x
Riwayat Persalinan
1. Hamil ini
PEMERIKSAAN FISIK
Status Presens
Kesadaran : Compos Mentis Anemia (-)
Tek. Darah : 140/80 mmHg Ikterik (-)
Frek. Nadi : 92 x/min Sianosis (-)
Frek. Napas : 24 x/min Dyspnea (-)
Suhu Tubuh : 37 C Oedem (-)

Status Obstetrikus
Abdomen : Membesar simetris
TFU : 4 jari bpx (28cm)
Tegang : Kiri
Terbawah : Kepala
Gerak : (+)
His : 2 x 20/10min,teratur
DJJ : 150x/min

Status Ginekologi
Inspekulo : Tidak dilakukan pemeriksaan
VT : Tidak dilakukan pemeriksaan

Diagnosis Klinis : Plasenta Previa Totalis + Mioma Uteri + PG + KDR (30-


32 mgg) + PK + AH + B. Inpartu

Hasil USG TAS tanggal 19 juni 2012


- Tampak gambaran hiperechoic ukuran 5x4 cm
- Plasenta menutupi OUI
- BPD 5,43 cm
- HC 2,42 cm
- AC 18,53 cm
- FL 4,14 cm
- AFI 1,93 cm
Kesan : mioma uteri subserosal + plasenta previa + oligohidramnion + IUP
(22-24 mgg) + PK+ AH

Hasil Pemeriksaan Laboratorium 10 Juli 2012


Jenis Pemerisaan Hasil
Hb 12.10 gr%
Leu 22.500/mm3
Tromb 310.000/mm3
Ht 32.10%
Bleeding Time 3 sec
PT 11.9
INR 0.91
Aptt 35.1
TT 13.0
SGOT 44 U/L
SGPT 26 U/L
KGD ad Random 91.20 mg/dL
Ur 7.8 mg/dL
Cr 0.61 mg/dL
Na 134 mEq/L
K 3.5 mEq/L
Cl 104 mEq/L

Diagnosis Kerja : Plasenta Previa Totalis + Mioma Uteri + PG + KDR (30-


32)mgg+ PK + AH+ B. Inpartu

Terapi : - IVFD RL 20 gtt/i


- Inj. Ceftriaxone 1 gr / 12 jam
-Inj. Dexamethasone 6 mg / 12 jam
-Nifedipine 20mg (initial) dilanjutkan 10 mg/ 30 menit
- Rawat Ekspektatif
FOLLOW UP 11 JULI 2012

S : Mulas bertambah
O : SP : Sens : CM Anemia (-)
TD : 140/80 mmHg Ikterik (-)
HR : 102 x/i Sianosis (-)
RR : 22 x/i Oedem (-)
Temp : 36,7C Dyspnoe (-)
SO : Gerak janin (+)
HIS (+) 3x30/10
DJJ (+) 166 x/i
Inspekulo : tampak darah di introitus vagina, dibersihkan,
kesan : mengalir.aktif dari OUE
Portio : licin , lividae (+)
VT : Tidak dilakukan pemeriksaan
A : Plasenta Previa Totalis +Mioma Uteri + PG + KDR (30-32 mgg) + PK + AH
+ Post Amnioinfusi
P : IVFD RL 20 gtt/i
R : SC Cito

LAPORAN SECTIO CAESARIA (12 JULI 2012)


Pasien dibaringkan di meja operasi dengan posisi supine, infus dan kateter terpasang
baik.
Dilakukan tindakan aseptik-antiseptik dengan betadine dan alkohol 70% pada dinding
abdomen lalu ditutup dengan doek steril kecuali lapangan operasi.
Di bawah spinal anestesi, dilakukan insisi pranensteril mulai dari kutis, subkutis, hingga
tampak fasia.
Dengan menyisipkan pinset anatomis dibawahnya, fasia digunting ke kiri dan ke kanan,
kemudian otot dipisahkan secara tumpul.
Peritoneum diangkat, lalu digunting ke atas dan ke bawah.
Identifikasi segmen bawah rahim, plika vesikouterina digunting konkaf ke kiri dan ke
kanan kemudian dibersihkan ke arah blast secukupnya.
Dilakukan insisi konkav pada uterus hingga subendometrium.
Endometrium disusur secara tumpul, kemudian diputar searah insisi uterus.
Selaput ketuban dipecahkan, tampak air ketuban jernih.
Dengan melahirkan kepala, bahu, dan seluruh badan, lahir bayi perempuan, BB :1200 gr,
PB: 25 cm, A/S 3/4, anus (+).
Tali pusat diklem di dua tempat dan digunting diantaranya. Plasenta dikeluarkan
Tampak mioma uterus sebesar 5x5x6 cm, kesan mioma subserous dengan degenerasi
kistik diaarah fundal. Uterus dijahit secara figure of eight dilanjutkan dengan continous
interlocking, peritoneum, otot, fascia dan subkutis dijahit lapis demi lapis.
Subkutis dijahit secara subkutikuler
KU ibu post SC baik

TERAPI : IVFD RL + Oksitosin 10-10-5 20 gtt/i


Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
Inj. Transamin 1 amp/8 jam (24 jam)

Anjuran : Cek darah rutin 2 jam post operasi


Awasi vital sign, kontraksi, dan tanda-tanda perdarahan

Hasil Laboratorium tanggal 12 Juli 2012


Jenis Pemerisaan Hasil
Hb 9.90 gr%
Leu 17.060/mm3
Tromb 232.000/mm3
Ht 29.20%
FOLLOW UP 13 Juli 2012

S : Nyeri pada luka operasi

O : SP : Sens : CM Anemia : (-)

TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-)

HR : 96x/i Sianosis : (-)

RR : 20x/i Dispnea : (-)

Temp : 39C Oedem : (-)

SL : Abdomen : soepel, peristaltik (+),luka operasi tertutup verband,kering

TFU : 1 jari bawah pusat, kontraksi (+)

P/V : (-)

Lochia : (+)

ASI : (-)

BAK : (+) UOP 60cc/jam, warna kuning

BAB : (-). Flatus (-)

A : Post SC a/i Plasenta previa totalis +NH1

P : - IVFD RL + Oksitosin 10-10-520 gtt/i

- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam

- Inj. Ketorolac 1 amp/ 8 jam

- Inj. Transamin 1 amp/12 jam

- Paracetamol 500 mg tab 3x1 (k/p)

R : - Mobilisasi bertahap

Hasil Pemeriksaan Laboratorium 13 Juli 2012


Jenis Pemerisaan Hasil
Hb 10.70 gr%
Leu 19.390/mm3
Tromb 230.000/mm3
Ht 30.80%
FOLLOW UP 14 Juli 2012

S : Nyeri pada luka operasi (+)

O : SP : Sens : CM Anemia : (-)

TD : 130/70 mmHg Ikterik : (-)

HR : 96x/i Sianosis : (-)

RR : 24x/i Dispnea : (-)

Temp : 36,6 C Oedem : (-)

SL : Abdomen : soepel, peristaltik (+), luka operasi tertutup verband,


kering

TFU : 2 jari bawah pusat

P/V : (-)

Lochia : (+)

ASI : (-)

BAK : (+) UOP 60 cc/ jam, warna kuning jernih

BAB : (-). Flatus (-)

A : Post SC a/i Plasenta previa totalis +NH2

P : - IVFD RL + Oksitosin 10-10-520 gtt/i

- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam

- Inj. Ketorolac 1 amp/ 8 jam

- Inj. Transamin 1 amp/12 jam

- Paracetamol 500 mg tab 3x1 (k/p)

R : Aff Kateter
FOLLOW UP 15 Juli 2012

S :-

O : SP : Sens : CM Anemia : (-)

TD : 110/70 mmHg Ikterik : (-)

HR : 94x/i Sianosis : (-)

RR : 20x/i Dyspnoe : (-)

Temp : 36,5C Oedem : (-)

SL : Abdomen : soepel, peristaltik (+), luka operasi tertutup verband (+) kering

TFU : 2 jari bawah pusat

P/V : (-)

Lochia : (+)

ASI : (-)

BAK : (+)

BAB : (+). Flatus (+)

A : Post SC a/i Plasenta previa totalis +NH3

P : - IVFD RL 20 gtt/i

- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam

- Inj. Ketorolac 1 amp/ 8 jam

- Paracetamol 500 mg tab 3x1 (k/p)


FOLLOW UP 16 Juli 2012

S :-

O : SP : Sens : CM Anemia : (-)

TD : 120/80 mmHg Ikterik : (-)

HR : 94x/i Sianosis : (-)

RR : 20x/i Dyspnoe : (-)

Temp : 36,5C Oedem : (-)

SL : Abdomen : soepel, peristaltik (+), luka tertutup verband (+) kering

TFU : 2 jari bawah pusat

P/V : (-)

Lochia : (+)

ASI : (-)

BAK : (+)

BAB : (+). Flatus (+)

A : Post SC a/i Plasenta previa totalis +NH4

P : - IVFD RL 20 gtt/i

- Cefadroxil 500 mg tab 3x1

- Paracetamol 500 mg tab 3x1

R : PBJ
ANALISIS KASUS

TEORI KASUS
Faktor risiko yang berhubungan dengan Pada pasien ini terdapat faktor risiko
plasenta previa, diantaranya: berupa mioma uteri.
1) Ovum yang dibuahi tertanam sangat
rendah di dalam rahim.
2) Riwayat P. Previa sebelumnya,
riwayat pembedahan, riwayat
section caesarea, abortus.
3) kawin dan hamil pada umur muda.
4) Korpus luteum bereaksi lambat,
dimana endometrium belum siap
menerima hasil konsepsi.
5) Tumor-tumor, seperti mioma uteri
dan polip endometrium.
6) Plasenta terbentuk secara tidak
normal.
7) Kejadian plasenta previa tiga kali
lebih sering pada wanita multipara
daripada primipara.
8) Ibu merokok, risiko relatif untuk
plasenta previa meningkat dua kali
lipat akibat merokok.
9) Ibu dengan usia lebih tua, di atas 35
tahun.
10) Riwayat sectio caesaria.
Dengan USG dapat ditentukan Hasil USG TAS tanggal 19 juni 2012
implantasi plasenta atau jarak tepi - Tampak gambaran hiperechoic
plasenta terhadap ostium. Bila jarak ukuran 5x4 cm
tepi kurang dari 5 cm disebut plasenta - Plasenta menutupi OUI
letak rendah. - BPD 5,43 cm
- HC 2,42 cm
- AC 18,53 cm
- FL 4,14 cm
- AFI 1,93 cm
Kesan : mioma uteri subserosal +
plasenta previa + oligohidramnion +
IUP (22-24 mgg) + PK+ AH

Dengan menggunakan spekulum secara Inspekulo : tampak darah di introitus


hati-hati dilihat dari mana sumber vagina, dibersihkan,
perdarahan, apakah dari uterus, ataupun kesan : mengalir.aktif dari OUE
terdapat kelainan pada serviks, vagina, Portio : licin , lividae (+)
varises pecah, dll. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mengetahui apakah
perdarahan berasal dari ostium uteri
eksternum atau dari kelainan serviks
dan vagina. Apabila perdarahan berasal
dari ostium uteri eksternum, maka
dapat dicurigai ini kejadian plasenta
previa.
Terapi pada pasien plasenta previa Pada pasien ini, dilakukan terapi
ekspektatif dikarenakan:
terdiri dari terapi ekspektatif dan terapi
a. usia kehamilan 30-32 minggu
aktif. b. perdarahan sedikit
c. belum ada tanda inpartu
Syarat-syarat terapi ekspektatif:
d.keadaan ibu cukup baik, dengan Hb
a. Kehamilan preterm dengan 12,10 gr%
e. janin masih hidup
perdarahan sedikit yang kemudian
berhenti.
b. Belum ada tanda-tanda in partu.
c. Keadaan umum ibu cukup baik
(kadar hemoglobin dalam batas
normal).
d. Janin masih hidup.12

Penanganan berupa:12
Penanganan yg diberikan selama terapi
Bed rest total ekspektatif berupa:
- Bed rest total
Pemberian antibiotik profilaksis - IVFD RL 30 gtt/i
Pemberian tokolitik bila ada - Inj. Ceftriaxone 1 gr / 12 jam
- Inj. Dexamethasone 6 mg / 12 jam
kontraksi: - Nifedipine 20mg (initial)
MgSO4 4 gram IV dosis awal, dilanjutkan 10 mg/ 30 min

dilanjutkan 4 gram tiap 6 jam


Nifedipin 3 x 20 mg/ hari
Bila janin preterm, diberikan
Betametason 24 mg IV dosis
tunggal atau dexamethason 15 mg
IV dosis tunggal untuk pematangan
paru janin.
Awasi vital sign dan denyut
jantung janin
Bila tidak ada perdarahan dalam 3
hari perawatan, dan waktu untuk
mencapai 37 minggu masih lama,
pasien dapat dipulangkan untuk
rawat jalan.

Pada kasus ini pasien telah dilakukan


aminoinfusi dari RS luar dikarenakan
terjadi oligohidramniaon.
Amnioinfusi merupakan suatu
prosedur melakukan infuse larutan
NaCl fisiologis atau Ringer Laktat
ke dalam kavum uteri untuk
menambah volume cairan amnion.
Tindakan ini dilakukan untuk
mengatasi masalah yang timbul
akibat berkurangnya volume cairan
amnion, seperti deselerasi, variable
berat dan fibroma aspirasi
mekonium dalam persalinan.
BAB IV

KESIMPULAN

Plasenta previa adalah keadaan plasenta berimplantasi rendah pada segmen bawah rahim,
menutupi atau tidak menutupi ostium uteri internum pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu
dan janin mampu hidup di luar rahim.

Plasenta previa dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu: Plasenta previa totalis atau komplit,
Plasenta previa parsialis, Plasenta previa marginalis, dan Plasenta previa letak rendah.

Gejala utama plasenta previa adalah perdarahan dari kemaluan tanpa sebab, tanpa rasa nyeri dan
biasanya berulang. Gejala perdarahan awal plasenta previa biasanya berupa bercak atau
perdarahan ringan dan umumnya berhenti spontan. Terjadi pada trimester 3 kehamilan.

Penatalaksanaan plasenta previa terbagi atas 2, yaitu, terapi ekspektatif (pasif) dan terapi aktif.
Tujuan ekspektatif ialah supaya janin tidak terlahir prematur, penderita dirawat tanpa melakukan
pemeriksaan dalam melalui kanalis servisis. Upaya diagnosis dilakukan secara non invasif.
Pemantauan klinis dilakukan secara ketat dan baik. Terapi aktif dilakukan pada wanita hamil di
atas 22 minggu dengan perdarahan pervaginam yang aktif dan banyak, harus segera ditatalaksana
secara aktif tanpa memandang maturitas janin.

Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos yang terdiri dari sel-sel jaringan otot polos, jaringan
fibroid dan kolagen. Mioma uteri dapat diklasifikasikan ke dalam subkelompok berdasarkan
hubungan anatomi terhadap lapisan dari uterus. Tiga jenis yang biasa ditemui adalah (1)
Intramural yang terletak di bagian tengah dari dinding otot uterus, (2)Subserosal yang berada di
bawah lapisan serosa uterus,(3) Submukosal yang letaknya berada di bawah endometrium.

Mioma uteri merupakan tuor pelvis yang terbanyak pada organ reproduksi wanita. Kejadian
mioma uteri sebesar 30-40% pada wanita yang lebih dari 35 tahun dan sering menimbulkan
gejala klinis berupa menorrhagia dan dismenorea. Selain itu mioma uteri dapat menimbulkan
kompresi pada traktus urinarius sehingga dapat menimbulkan gangguan berkemih maupun tidak
dapat menahan kenih.
Penatalaksaan mioma uteri dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan (medisinalis) maupun
secara operatif. Pemberian GnRH analog merupakan terapimedisialis untuk mengurani gejala
perdarahan yang terjadi dan mengurangi ukuran mioma. Penatalaksanaan operatif terhadap
gejala yang timbul atau adanya pembesaran massa mioma adalah histerektomi.

Gawat janin adalah bradikardi janin persisten yang apabila tidak segera ditangani dapat
menimbulkan dekompresi respon fisiologis dan menyebabkan kerusakan permanen pada sistem
saraf pusat dan organ lain serta kematian janin.

Gawat Janin dapat diketahui dari tanda-tanda sebagai berikut: (1)frekwensi bunyi jantung janin
kurang dari 120 x / menit atau lebih dari 160 x / menit, (2) berkurangnya gerakan janin ( janin
normal bergerak lebih dari 10 kali per hari ), (3) adanya air ketuban bercampur mekonium,
warna kehijauan ( jika bayi lahir dengan letak kepala ).
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumapraja S dan Rachimhadi T. 2005. Perdarahan Antepartum dalam: Ilmu Kebidanan.


Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp:365-85.
2. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
3. Kay HH .2003. Placenta Previa and Abruption. In JR Scott et al. (eds). Danforth's
Obstetrics and Gynecology, 9th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, pp: 365-
379.
4. Sheiner GI. Shoham-Vardi, Hallak M. Hershkowitz R. Katz M and Major M. 2001. Placenta
Previa: Obstetric Risk Factors and Pregnancy Outcome. J. Matern Fetal. Med 10: 414-419.
5. Nielsen TF, Hagberg H, Ljungblad U: Placenta Previa and Antepartum Hemorrrhage After
Previous Cesarean Section. Gynecol Obstet Invest 27:88, 1989.
6. Manuaba IBG. 2008. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana Untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
7. Cunningham FG. 2006. Obstetri William Vol. 1. Jakarta: EGC. pp: 685-704.
8. Davood S, Parviar K and Ebrahimi S. 2008. Selected Pregnancy Variables in Women with
Placenta Previa. Res. J. Obstet. Gynecol. 1: 1-5. Davood S, Parviar K and Ebrahimi S.
2008. Selected Pregnancy Variables in Women with Placenta Previa. Res. J. Obstet.
Gynecol. 1: 1-5.
9. Faiz AS and Ananth CV. 2003. Etiology and Risk Factors For Placenta Previa: An
Overview and Meta-analysis Of Observational Studies. Journal of MaternalFetal and
Neonatal Medicine. 13: 175190.
10. Oyelese Y and Smulian JC. 2006. Placenta previa, placenta accreta, and vasa previa.
Obstetrics and Gynecology. 107(4): 927941.
11. Johnson LG, Sergio F and Lorenzo G. 2003. The Relationship Of Placenta Previa and
History Of Induced Abortion. International Journal of Gynaecology and Obstetrics. 81(2):
191198.
12. Scearce J and Uzelac PS. 2007. Third-trimester vaginal bleeding. In: AH DeCherney et al.
(eds). Current Diagnosis and Treatment Obstetrics and Gynecology, 10th ed. New York:
McGraw-Hill, pp: 328-341.
13. Hadibroto Budi R, 2005. Mioma Uteri. Dalam: Majalah Kedokteran Nusatara volume 38,
no.3, September 2005: 225-260.
14. Johar Shukri M, 2011. Mioma uteri. di unduh dari www.resporitory
.usu.ac.id/../chapter%2011.pdf.
15. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et al. Reproductive tract abnormalities. In:
Williams Obstetrics. The McGraw-Hill Companies, USA.23rd Edition. Chapter 40,2010.
16. Artikel Kedokteran 2012. Diakses 25 juli 2012. Diunduh dari:
www.artikelkedokteran.com/120/gawatjanin
17. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekkologi, 1994 : 211-213)

Anda mungkin juga menyukai