Anda di halaman 1dari 11

Down Syndrome (DS)

Pendahuluan
Pertama kali dikenal oleh Dr. John Longdon Down
Individu dengan Down Syndrome (DS) dapat dikenali dengan fenotipnya dan mempunyai
kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang berlebih
(Soetjiningsih, 2010)..
Diperkirakan bahwa materi genetik yang berlebih tersebut terletak pada bagian lengan bawah
dari kromosom 21 dan interaksinya dengan fungsi gen lainnya menghasilkan suatu perubahan
homeostasis yg memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik dan susunan
saraf pusat.

Pengertian
Down Syndrome (DS) adalah gangguan genetik yang sering dijumpai pada kelahiran hidup
akibat adanya trisomi 21 yang disebabkan oleh nondisjungsional kromosom ibu saat meiosis
(Corwin, 2009).
Down Syndrome (DS) adalah kelainan genetik yg memiliki tiga kromosom 21 dimana pada
umumnya orang normal hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini akan mengubah
keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik dan kemampuan
intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologis tubuh (Pathol, 2003).

Anatomi dan Fisiologi


Sel adalah bagian terkecil dari manusia secara struktural dan fungsional.
Bagian dari inti sel adalah nucleus, yang berisi benang-benang kromatin.
Saat pembelahan, kromatin akan menjadi pilinan padat, lalu saling bergabung yang dinamakan
kromosom.
Kromosom memegang peranan penting dalam hereditas (penurunan sifat dari induk kepada
anaknya), mutasi, menimbulkan variasi dan perkembangan evolusi makhluk hidup.
Kromosom tersusun atas nukleo protein -> suatu senyawa campuran asam nukleat dengan
protein seperti histon dan/atau protamin.
Asam nukleat berperan sebagai bahan genetik. 2 macam asam nukleat yaitu DNA dan RNA
Sel tubuh manusia memiliki 23 pasang kromosom tubuh yg disebut sebagai autosom dan 1
pasang kromosom seks yang disebut fgn genom.
Pada awal pembelahan, kromatin membentuk struktur yang sangat padat dan terjadi duplikasi
kromosom sehingga terbentuk lengan kromosom yang disebut kromatid
Kromatid terhubungkan pada suatu simpul sentromer.
Kromosom yang terdiri dari 2 kromatid disebut kromosom duplex.
Selama pembelahan sel, kromatid dari setiap kromosom akan terpisah pada dua buah anak sel
sehingga menghasilkan kromosom simplex.

Berdasarkan letak sentromer, kromosom dapat dikelompokkan menjadi:


Metasentrik sentromer terletak di tengah-tengah dan kromosom tampak membentuk huruf
V (lengan kromosom hampir sama panjang).
Submetasentrik letak sentromer mendekati bagian tengah kromosom (lengan kromosom
yang satu lebih pendek dari yg lainnya)
Akrosentrik letak sentromer mendekati salah satu ujung kromosom
Telosentrik sentromer terletak di ujung kromosom

Penyebab Down Syndrome (DS) :


Sejak tahun 1959 penyebab Down Syndrome (DS) adalah kejadian non disjunctional, yaitu:
1. Genetik -> peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan Down
Syndrome (DS)
2. Radiasi -> 30% ibu yang melahirkan anak dgn Down Syndrome (DS) pernah mengalami
radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi (Uchida, 1981 seperti dikutip Pueschel,
dkk).
3. Infeksi
4. Autoimun -> autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dgn tiroid. Adanya perbedaan
autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan Down Syndrome (DS) dengan ibu
kontrol yang umurnya sama.
5. Umur ibu -> umur ibu di atas 35 tahun terdapat perubahan hormonal yang berdampak pada
kromosom. Perubahan endokrin, spt meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar
hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi
reseptor hormon dan peningkatan secara tajam kadar LH (Luteinizing Hormone) dan FSH
(Follicular Stimulating Hormone) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause
6. Umur ayah -> sitogenetik pada orang tua dari Down Syndrome (DS) bahwa 20-30% kasus
ekstra kromosom bersumber dari ayah

Sitogenetik
Tahun 1950 pada Down Syndrome (DS) ditemukan adanya jumlah kromosom yang
akrosentris.
Tahun 1959, Leujene, dkk menemukan bahwa pada semua penderita Down Syndrome (DS)
mempunyai 3 kromosom 21 -> trisomi 21.
Selanjutnya ditemukan adanya translokasi dan mosaik terkait Down Syndrome (DS).
92-95% anak Down Syndrome (DS) memiliki trisomi 21.
Prevalensi translokasi Down Syndrome (DS) diturunkan secara herediter, berkisar antara 4,8-
6,3%. Kebanyakan adanya tanslokasi Robertsonian yaitu adanya perlekatan pada lengan
panjang kromosom 21 ke lengan panjang kromosom 14, 21 dan 22.
Bentuk mosaik terdapat pada 1-3% penderita Down Syndrome (DS).

Gejala Klinis :
1. BBL kurang dari normal sekitar 20%.
2. Memiliki rangka tubuh yang pendek
3. Tangan pendek dan melebar, clinodactily pada jari kelima mempunyai satu lipatan, sendi jari
hiperekstensi
4. Dislokasi tulang pinggul
5. Kulit -> xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir
6. Hipotonia
7. Gangguan artikulasi
8. Fenotip karakteristik & paling sering terdapat pada bayi dengan Down Syndrome (DS), yaitu:
Sutura sagitalis yang terpisah
Fisura palpebralis yang miring
Jarak yang lebar antara jari kaki I dan II
Fontanela palsu.
plantar crease jari kaki I dan II.
Hiperfleksibilitas.

Patofisiologi
Kromosom 21 yang lebih akan memberi dampak pada semua sistem organ & menyebabkan
perubahan sekuensi spektrum fenotip.
Menyebakan survival prenatal dan morbiditas
Gangguan pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan tulang dan gigi terlambat
Kelebihan kromosom 21 memberikan tampilan fisik yang tipikal seperti RM, struktur fasial yang
khas, anomali pada ekstremitas atas & penyakit jantung kongenital.
Hasil analisis molekular menunjukkan bahwa kromosom 21 bertanggungjawab menimbulkan
penyakit jantung kongenital
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme tiroid dan malabsorbsi
intestinal

Pemeriksaan diagnostik
Adanya gejala yang khas
Pemeriksaan kromoson.
Radiologi -> brachycephalic (sutura dan fontanela yang lambat menutup.
Kariotiping -> melihat adanya translokasi kromosom
Dermatogfilik -> melihat sidik jari, sebagian besar memiliki pola sidik jari whorl
USG -> ketebalan nachal (bagian belakang leher)
Diagnosis antenatal -> pemeriksaan cairan amnion, Alfafetoprotein (AFP) menurun dalam
serum ibu, hCG meningkat, inhibin A meningkat
Chorionic Villus Sampling (CVS) -> dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta.
Sampel tersebut akan diuji untuk melihat kromosom janin.

Pencegahan :
Konseling genetik
Amniosentesis pada kehamilan yang dicurigai
Gene targeting/homologous recombination -> menonaktifkan sebuah gen

Komplikasi :
Penyakit jantung kongenital -> ASD/Endocardial Cushion Defect, VSD, Secundum Atrial Septal
Defect, TOF, PDA, Stenosis Pulmonalis
Resiko Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Myeloid akibat adanya mutasi pada
kromosom X pd faktor transkripsi
Immunodefisiensi
Gangguan gastrointestinal -> biasanya ditemukan atresia, stenosis seperti Hirschprung,
Meckel Diverticulum, omphalocele, anus imperforata
Alzheimer
Gangguan sistem endokrin
Gangguan psikologis
Sekitar 20% janin sindrom down mengalami abortus spontan antara masa kehamilan 10-16
minggu

Prognosis :
44% penderita Down Syndrome (DS) dapat hidup s/d usia 60 tahun.
14% hidup s/d usia 68 tahun.
80% penderita Down Syndrome (DS) meninggal akibat Penyakit Jantung Bawaan (PJB).
Meningkatnya angka kejadian Leukemia pada Down Syndrome (DS) sebesar 15x dari
populasi normal
Rentan terhadap infeksi

Penatalaksanaan :
Memerlukan penanganan secara multidisiplin dan membutuhkan dukungan keluarga.
Usaha yang dilakukan akan dapat memperbaiki kualitas hidup & memperpanjang usia dgn
cara:
Pembedahan -> mengoreksi anomali kongenital dan kemungkinan cacat fisik
Evaluasi penglihatan dan pendengaran, pengobatan otitis media untuk mencegah kehilangan
pendengaran yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif.

Diagnosa Keperawatan :
Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan hipotonia, peningkatan kerentanan terhadap infeksi
pernafasan
Perubahan nutrisi (pada neonatus) kurang dari kebutuhan tubuh b.d kesulitan pemberian
makanan karena lidah yang menjulur dan palatum yang tinggi
Risiko tinggi cedera berhubungan dengan hiperekstensibilitas sendi
Kurangnya interaksi sosial anak berhubungan dengan keterbatasan fisik dan mental yang
mereka miliki
Kurangnya pengetahuan orang tua berhubungan dengan perawatan anak dengan Down
Syndrome (DS).
Cerebral Palsy

Definisi
Cerebral Palsy adalah suatu kondisi kerusakan jaringan otak yg menetap dan tidak progresif, terjadi
saat usia muda (sejak dilahirkan) serta menghambat perkembangan otak normal dgn gambaran klinik
dapat berubah selama hidup dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakkan, disertai
kelainan neurologis berupa kelumpuhan spastis, gangguan ganglia basalis dan cerebelum juga
kelainan mental.

Penyebab
1. Pranatal
2. Perinatal
3. Pasca natal

1. Pranatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada janin, misalnya oleh lues,
toksoplasmosis, rubela dan penyakit infeksi sitomegalik. Kelainan yg menyolok biasanya gangguan
pergerakan dan retardasi mental. Anoksia dalam kandungan, terkena radiasi sinar X dan keracunan
kehamilan dapat menimbulkan cerebral palsy.

2. Perinatal
Anoksia/hipoksia
Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah cedera otak. Keadaan inilah yg
menyebabkan terjadinya anoksia. Hal demikian terdapat pada keadaan presentasi bayi abnormal,
disproporsi sefalopelvik, parus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan
alat tertentu dan lahir dengan seksio sesar.

Perdarahan otak
Perdarahan otak dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, shg sukar membedakannya, co:
perdarahan yg mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernafasan & peredaran darah, shg terjadi
anoksia, perdarahan dapat terjadi di ruang subarachnoid & menyebabkan penyumbatan CSS, shg
mengakibatkan hydrosefalus. Perdarahan di ruang subdural dapat menekan korteks serebri sehingga
timbul kelumpuhan spastis.

Prematuritas
Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak lebih banyak dibandingkan
dengan bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, faktor pembekuan darah dan lain-lain belum
sempurna.

Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yg menetap akibat
masuknya bilirubin ke ganglia basalis, co: pada kelainan inkompatibilitas golongan darah.

Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat dalam pengobatannya akan mengakibatkan gejala
sisa berupa cerebral palsy.
3. Pasca Natal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yg mengganggu perkembangan dapat menyebabkan cerebral
palsy, misalnya pada trauma kapitis, meningitis, ensefalitis dan luka parut pada otak pasca operasi.

Patologi Anatomik
Kelainan tergantung dari berat ringannya asfiksia yg terjadi pada otak.
Pada keadaan berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemia yang menyeluruh. Pada
keadaan yang lebih ringan terjadi patchy necrosis di daerah paraventricular substantia alba dan
dapat terjadi atrofi yang difus pada substantia grisea korteks serebri. Kelainan tersebut dapat fokal
atau menyeluruh tergantung tempat yg terkena.

Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan mata & pendengaran segera dilakukan setelah penegakkan diagnosis.
Lumbal punksi dilakukan utk menyingkirkan kemungkinan penyebabnya suatu proses degeneratif.
Biasanya CSS normal.
Pemeriksaan EEG dilakukan pada pasien kejang atau pada golongan hemiparesis baik yg disertai
kejang maupun yg tidak
Foto rontgen kepala
Penilaian psikologis untuk menentukan tingkat pendidikan yang dibutuhkan
Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain & retardasi mental

Penatalaksanaan
Medik
Fisioterapi
Tindakan bedah
Obat-obatan
Keperawatan

Medik :
Tidak ada pengobatan kausal hanya simtomatik.
Perlu kerja sama dan merupakan suatu tim antara dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata,
dokter THT, ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi, occupational therapist, pekerja sosial, guru sekolah
luar biasa dan orang tua.

Fisioterapi
Tindakan ini dilakukan secara intensif dan sepanjang hidup klien.
Orang tua ikut membantu melatih di rumah
Perlu memperhatikan posisi pasien pada waktu istirahat/tidur utk mencegah kontraktur
Bagi pasien yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di pusat latihan

Tindakan bedah
Dilakukan bila terdapat hipertonus atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk dilakukan
pembedahan otot, tendon atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut.
Pembedahan stereotaktik dianjurkan pada pasien dengan pergerakan koreotetosis yang
berlebihan.
Obat-obatan
Pasien dengan gejala motorik ringan lebih baik dibandingkan dengan pasien yang memiliki
banyak gejala penyerta dan semakin berat gejala motoriknya sehingga semakin buruk
prognosisnya.
Di negara maju terdapat Institute Cerebral Palsy untuk merawat atau menampung pasien ini

Keperawatan
Masalah tergantung pada luasnya kerusakan otak yg dialami.
Pada umumnya dijumpai adanya gangguan pergerakan sampai retardasi mental, seberapa
besarnya gangguan yg terjadi jg bergantung dari berat ringannya asfiksia yang terjadi.

Tindakan perawat mencegah kelainan CP:


Mengobservasi dengan cermat bayi-bayi baru lahir yg beresiko (status bayi dalam riwayat
kehamilan/kelahirannya), terutama adanya kejang, posisi bayi saat diterlentangkan seperti
kodok terlentang).
Jika telah diketahui bayi lahir dengan resiko terjadi gangguan pada otak, perawat memberikan
pendidikan kesehatan

PENDIDIKAN
Dididik sesuai dengan tingkat intelejensinya, di sekolah luar biasa dan bila mungkin di sekolah
biasa bersama-sama dengan anak yang normal.
Sebaiknya diperlakukan sama dengan anak-anak yang lain, shg tidak merasa diasingkan.
Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan.
Askep Anak Kebutuhan Khusus Autisme

PENDAHULUAN
Autisme bukan suatu penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) dimana terjadi
penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar,
sehingga anak autisme seperti hidup dalam dunianya sendiri.
Autisme tidak termasuk golongan penyakit tetapi suatu kumpulan gejala kelainan perilaku dan
kemajuan perkembangan, pada anak autisme terjadi kelainan emosi, intelektual dan kemauan
(gangguan pervasif).

PENGERTIAN
Autisme adalah kelainan perkembangan yang terjadi pada sistem saraf yang dialami
seseorang sejak lahir atau saat balita.
Karakteristik menonjol yang terjadi pada seseorang dengan kelainan ini adalah kesulitan
membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi dan
perasaan orang lain.
Autisme merupakan gangguan perkembangan kompleks, gejalanya mulai terlihat sebelum
anak usia 3 tahun.
Autisme mempengaruhi interaksi sosial, komunikasi verbal dan non verbal, serta terjadi
gangguan perilaku pada anak.
Anak autisme memiliki masalah dalam berbahasa, membentuk hubungan dan salah
menginterprestasikan keadaan lingkungan sekitarnya.
Menurut American Pshychiatric Association, autisme dikenal sebagai Pervasive Development
Disorders.

Etiologi
Belum diketahui secara pasti penyebab autisme.
Kemungkinan karena faktor genetik.
Jika suatu keluarga memiliki anak autisme, maka kemungkinan memiliki anak dengan autisme
lagi sebesar 3-8%, sedangkan jika salah satu anak kembar menderita autisme, kemungkinan
kembarannya juga menderita autisme 30%.
Abnormalitas kromosom DNA dan masalah pada susunan saraf ditemukan pada sebagian
besar anak autisme.
Kemungkinan adanya kaitan antara usia orangtua dengan resiko autisme.
Dihubungkan dengan penyakit sebelumnya. Contoh ibu yang terkena infeksi rubella,
toksoplasmosis atau sitomegalovirus selama hamil, adanya kelainan bawaan sejak lahir
(tuberous sclerosis, kelainan saraf, dll), infeksi pada anak setelah lahir seperti ensefalopati,
meningitis bakterialis dll.

Test Diagnostik
Pada pemeriksaan CT scanning dan pneumo encephalogram, tampak :
Ventrikel lateral otak tidak normal, terutama daerah temporal
Juga terlihat pelebaran ventrikel lateral otak.

Pada pemeriksaan histopatologi :


Pembentukan sel-sel di daerah hipocampus terlihat tidak normal dan amygdala di kedua sisi otak.

Pada pemeriksaan EEG :


Kelainan tidak khas, meskipun kadang-kadang tampak discharge temporal.
Secara laboratorium :
Diduga ada kaitannya dengan banyaknya pembuangan zat phenil keton melalui air seni (phenil
ketonuria).

Insiden
Angka kejadian autisme setiap tahun meningkat. Dilansir dari Autism Research Institute di San Diego,
pada tahun 1987 jumlah anak autis 1:5000 anak, sedangkan tahun 2005 meningkat menjadi 1:160
anak.

Manifestasi Klinis
Gejala bermacam-macam dan berbeda tiap individu, diantaranya adalah:
Kesulitan dalam berkomunikasi/adanya keterlambatan bahasa dan bicara
Kesulitan dalam memahami perkataan serta perasaan orang lain/gangguan dalam berinteraksi
sosial
Anak mengalami gangguan sensoris sehingga terlihat tidak perduli terhadap lingkungan dan
orang sekitarnya,
Anak terlihat seolah hidup dalam dunianya sendiri sehingga tidak mampu bersosilisasi dengan
orang lain atau teman sebayanya.
Perilaku emosi dan pola bermain yang berbeda dgn anak seusianya,
Perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.

Pada pemeriksaan status mental, ditemukan:


kurangnya orientasi lingkungan,
Kemampuan mengingat rendah, meskipun terhadap kejadian yang baru,
Kepedulian terhadap sekitar sangat kurang.
Berbicara cepat-cepat tetapi tanpa arti, kadang diselingi suara yang tidak jelas maksudnya,
seperti suara gemeretak gigi bila si anak menggigil karena demam.
Kebanyakan inteligensia anak autisme rendah.
Kemampuan khusus, seperti membaca, berhitung, menggambar, melihat penanggalan, atau
mengingat jalanan yang banyak liku-likunya, kurang.

Manifestasi klinis lainnya :


Sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Anak akan bereaksi secara emosional, kadang
bereaksi kasar meskipun hanya karena perubahan kecil dari kehidupan rutin, contoh
perubahan warna kursi atau baju, atau naik kendaraan yang tidak biasa.
Setiap perubahan bagi anak autisme selalu dirasakan buruk, dan perubahan yang ke arah baik
pun tidak pernah dirasakan sebagai surprise
Memperlihatkan gerakan-gerakan tubuh yang aneh, contoh saat duduk, bergerak-gerak ke
depan dan ke belakang, berjalan jinjit
Sebagian kecil anak autisme menunjukkan masalah perilaku yang sangat menyimpang, seperti
melukai diri sendiri, baik karena gigitan sendiri atau menggunakan pisau, membentur-
benturkan kepala, kadang-kadang ada yang menyerang teman bergaulnya.

Pencetus timbulnya kelainan perilaku tersebut terkadang hanya karena kecewa, marah, bosan, takut,
cemas, atau hanya karena perubahan lingkungan kesehariannya yang rutin, antara lain :
Terpaku (terlalu menyayangi) pada benda-benda mati. Contoh: apabila mainannya hilang atau
rusak maka si anak akan sangat marah, atau memperlihatkan reaksi lain yang tidak setara
dengan masalahnya
Bereaksi tidak normal terhadap rangsangan sekitar seperti bau, bunyi atau sinar
Kurang mampu berimajinasi (Daya Khayal)
Namun ada juga anak autisme yang menyenangi (memperhatikan lama-lama peralatan
berbunyi keras seperti drum dan senang meraba-raba atau mengelus-elus barang yang
permukaannya kasar).

Deteksi Dini
Cara deteksi dini yang mudah dengan melakukan pengamatan perilaku anak sehari-hari.
American Academy of Pediatrics menyarankan tehnik Rapid Attention Back dan Forth
Communication Tes atau dikenal dengan Rapid ABC, yaitu cara mendeteksi dini dgn
memberikan kegiatan sederhana pada anak yang melibatkannya secara aktif, shg dapat
menunjukkan keterlibatan dan komunikasi anak.
Gerakan berulang dan kurangnya kontak mata bisa menjadi tanda awal dimana harus
berkonsultasi pada ahli di bidang autisme.

Selain itu, cara lain mendeteksi dini adalah orangtua memperhatikan anaknya dan menjawab
pertanyaan di bawah ini.
Apakah anak anda tertarik atau mau bermain dengan anak lain?
Apakah anak anda dapat menunjuk sesuatu benda jika ia tertarik pada benda tersebut?
Apakah anak anda pernah membawa suatu benda untuk diperlihatikan pada orangtuanya?
Apakah anak anda dapat meniru tingkah laku anda?
Apakah anak merespon jika namanya dipanggil?
Bila anda menunjuk mainan yang jaraknya jauh, apakah ia akan menoleh untuk melihatnya?

Jika terdapat jawaban tidak pada lebih dari 2 pertanyaan, maka dianjurkan untuk berkonsultasi pada
profesional di bidang autisme seperti dokter maupun psikolog anak.

Penggolongan Anak Autis :

1. Menyendiri
Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungan. Meskipun bisa saja pada awalnya
kelihatan biasa dan nyaman bermain dengan teman sebayanya, tapi hal ini hanya terjadi dalam
waktu yang singkat.
Cenderung kurang menggunakan kata-kata, dan kadang-kadang sulit berubah meskipun
usianya bertambah lanjut, meskipun ada perubahan, mungkin hanya mampu mengucapkan
beberapa kata sederhana.
Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan jika berbuat sesuatu, melakukannya
berulang-ulang
Sangat tergantung pada kegiatan sehari-hari yang rutin
Gangguan perilaku pada kelompok anak autisme, termasuk bunyi-bunyi aneh, gerakan tangan,
tabiat yang mudah marah, melukai diri sendiri, menyerang teman bergaul, merusak dan
menghancurkan mainan sendiri.

2. Kelompok Anak Autisme Pasif


Lebih mampu bertahan pada kontak fisik dan agak mampu bermain dengan kelompok teman
bergaul dan sebaya.
Mempunyai perbendaharaan kata yang lebih banyak meskipun agak terlambat berbicara
dibandingkan dengan anak yang sebaya
Kadang-kadang terlihat lebih cepat merangkai kata meskipun kadang-kadang pula disertai kata
yang kurang dimengerti
Gangguan perilaku pada kelompok ini tidak seberat anak kelompok yang menyendiri

3. Kelompok Anak Autisme Aktif


Mampu bermain dan bersosialisasi dengan kelompok teman bergaul dan sebaya
Dalam berdialog, sering mengajukan pertanyaan dengan topik yang menarik, dan bila jawaban
tidak memuaskan atau pertanyaannya dipotong, akan bereaksi sangat marah
Menegakkan diagnosa anak autisme kelompok ini kadang-kadang sulit, karena kenyataannya
anak ini bisa bergaul dengan lingkungannya. Meskipun mungkin terbatas hanya di sekitar
tempat tinggalnya, cara bersosialisasinya tetap kurang menggunakan asas memberi dan
menerima (take and give) antar sesama teman bergaul.

Terapi
Terapi Fisik
Terapi Bicara
Terapi visual
Terapi bermain
Okupasi terapi
Terapi perilaku
Terapi sosial
Terapi perkembangan
Terapi biomedik
Terapi sosial

Anda mungkin juga menyukai