Anda di halaman 1dari 9

BAB III

INTEGRAL RIEMANN-STIELTJES

3.1 Pendahuluan

Pada Bab 2, telah disinggung bahwa ukuran menghitung merupakan salah

satu pendekatan untuk membentuk proses titik. Berkaitan dengan masalah

perhitungan, ada hal menarik yang perlu amati, disebut dengan fungsi intensitas

proses. Secara teoritis, ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk

menaksir fungsi intensitas, dan salah satunya adalah metode penaksir maksimum

likelihood. Untuk itu pada Bab 3 ini, dibahas tentang integral Riemann-Stieltjes

disertai contoh aplikasi untuk ilmu statistika. Integral Riemann-Stieltjes

digunakan untuk menganalisis fungsi likelihood Poisson nonhomogen, dimana

fungsi ini dapat digunakan untuk menaksir fungsi intensitas melalui metode

maksimum likelihood.

3.2 Integral Riemann-Stieltjes

Dalam pembahasan integral Riemann-Stieltjes, akan disinggung tentang partisi

sebuah interval. Karenanya, dengan mengacu pada pembahasan Subbab 2.2,

partisi sebuah interval diulas kembali pada bab ini. Misal didefinisikan interval

A = [0,T] seperti pada Gambar 2. Maka partisi interval A, dinotasikan dengan ,

berupa subinterval Ai = (ti-1, ti] untuk i = 1,2,,n yang memenuhi 0 = t0 < t1 <

< tn = T. Dengan kata lain, partisi interval A adalah = (t0, t1, t2,, tn)

(Bartle, 1976, h.213).

33
Definisi 3.1:

Misalkan fungsi u dan fungsi v bernilai riil dan terbatas pada interval A = [0,T].

Jika = (t0, t1, t2,, tn) adalah partisi interval A, maka penjumlahan Riemann-

Stieltjes fungsi u terhadap fungsi v yang berkaitan dengan partisi adalah

bilangan riil S(; u,v) yang didefinisikan melalui

n
S (; u , v) = u ( si ){v(t i ) v(t i 1 )} (3.1)
i =1

dengan t i 1 s i t i untuk i = 1,2,,n (Bartle, 1976, h.213). Jika fungsi v pada

persamaan (3.1) didefinisikan melalui v(ti) = ti, maka diperoleh

n
R (; u , v) = u ( si ){t i t i 1 } (3.2)
i =1

dengan t i 1 si t i untuk i = 1,2,,n. Persamaan (3.2) ini menyatakan

penjumlahan Riemann (Bartle, 1976, h.213).

Pada persamaan (3.2), selisih t i t i 1 menyatakan panjang subinterval (ti-1, ti].

Sedangkan, selisih v(t i ) v(t i 1 ) pada persamaan (3.1) menyatakan ukuran lain

dari jarak subinterval (ti-1, ti] (Bartle, 1976, h.213). Pada Subbab 3.3, ukuran lain

itu menyatakan selisih N(ti) N(ti-1) atau selisih banyaknya kejadian di interval

[0,ti] dan interval [0,ti-1]. Jadi, dapat dikatakan bahwa integral Riemann-Stieltjes

merupakan perumuman dari integral Riemann (Ross, 1980, h.203).

Definisi 3.2:

Misalkan fungsi u dan fungsi v didefinisikan di daerah definisi yang sama, yaitu

interval A = [0,T]. Fungsi u dikatakan terintegralkan terhadap fungsi v, jika

suatu bilangan riil B(;u,v) > 0 sebuah partisi dari interval A jika

34
partisi adalah sembarang partisi yang lebih halus daripada dan S(;u,v)

sembarang penjumlahan Riemann-Stieltjes yang berkaitan dengan partisi ,

maka S (; u , v) B(; u , v) < (Bartle, 1976, h.214).

Jika nilai dari bilangan riil B(;u,v) ada, maka nilainya ditentukan secara tunggal

(Bartle, 1976, h.214) dan dinotasikan dengan

T T
B(; u , v) = u (t )dv(t ) = udv (3.3)
0 0

Persamaan (3.3) menyatakan integral Riemann-Stieltjes, mengingat notasi t

adalah peubah boneka (dummy variable) dan dapat diganti dengan notasi yang

lain (Apostol, 1957, h.193).

Selanjutnya, jika fungsi v terhadap t pada persamaan (3.3) didefinisikan melalui

v(t) = t, maka diperoleh

T
C (; u, v) = u (t )dt (3.4)
0

dimana persamaan (3.4) menyatakan integral Riemann (Bartle, 1976, h.214).

Pada Subbab 3.3, akan ditemukan langkah pembuktian yang memerlukan

jaminan bahwa sebuah fungsi terintegralkan terhadap fungsi yang lain.

Oleh karena itu, teorema berikut ini bisa dipakai sebagai jaminannya.

Tetapi, pada tulisan ini pembuktian teorema tidak dijelaskan dan bisa dilihat pada

(Bartle, 1976, h.229).

Teorema 3.1:

Jika fungsi u kontinu dan fungsi v monoton naik pada interval [0,T], maka fungsi

u terintegralkan terhadap fungsi v pada interval [0,T].

35
Selanjutnya, akan diberikan contoh aplikasi dari penjumlahan Riemann-Stieltjes

dan perhitungan integral Riemann-Stieltjes untuk bidang ilmu statistika, yaitu

menghitung ekspektasi (rataan) suatu peubah acak.

Contoh 3.1: Misal diketahui fungsi peluang peubah acak diskrit X adalah

1 ; x = 1,2,3,4

P( X = x ) = 4
0 ; xlainnya

0 ;0 x < 1
1
4 ;1 x < 2

dengan fungsi distribusinya, F ( x) = 2 ;2 x < 3
4
3 ;3 x < 4
4
1 ;x 4

Gambar 25 Grafik fungsi distribusi peubah acak diskrit X

F(x)

1
3/4
2/4
1/4

x
0 1 2 3 4

Maka, ekspektasi (rataan) dari peubah acak diskrit X adalah

E[ x] = x.P( X = x) = xi .{F ( xi ) F ( xi 1 )} = = xi .dF ( xi ) (3.5)


x xi xi

= 1.{F (1) F (0)} + 2.{F (2) F (1)} + 3.{F (3) F (2)} + 4.{F (4) F (3)}

= 1 + 2 + 3 + 4 = 5 = 2.5
4 4 4 4 2

Persamaan (3.5) di atas menyatakan bentuk penjumlahan Riemann-Stieltjes.

Mengacu pada persamaan (3.1), maka dalam aplikasi ini, didefinisikan fungsi

u(x) = x dan fungsi v(x) sebagai fungsi distribusi peubah acak diskrit X yang

umumnya dinotasikan dengan F(x), dimana fungsi F tidak kontinu di titik x, atau

36
( )
F x = lim F (t ) lim+ F (t ) = F x +
tx tx
( ) (Ross, 1980, h.204). Dengan kata lain,

idenya adalah mengganti selisih v(xi) - v(xi-1) pada persamaan (3.1) dengan selisih

F(xi) - F(xi-1). Selanjutnya, nilai E[X] = 2.5 berkaitan dengan bilangan riil

S(; u,v) pada persamaan (3.1).

Contoh 3.2: Misal diketahui fungsi peluang peubah acak kontinu Y adalah

y2 ;0 y < 1

f ( y ) = 6 y 5
1
;1 y < 1
0 3
; ylainnya

Gambar 26 Grafik fungsi peluang peubah acak kontinu Y

f(y)

y
0 1 1 1/3 2

Maka, ekspektasi (rataan) dari peubah acak kontinu Y adalah


11
3
E[Y] = ydF ( y)
0
(3.6)

11 1 11
3 3
= yf ( y)dy = yf ( y)dy +
0 0
yf ( y)dy
1
(3.7)

1 11 1 11
3 3

y. y .dy + y.(6 y 5)dy = y .dy + (6 y 5 y )dy


2 3 2
=
0 1 0 1
1 11
3
1 5
= y 4 + (2 y 3 y 2 )
4 0 2 1

27 2 (
= 1 + 8 + 1 = 1 + 43 = 226
4 4 54 216)= 1.0463

37
Persamaan (3.6) di atas menyatakan bentuk integral Riemann-Stieltjes. Tetapi,

agar perhitungan menjadi lebih mudah, bentuk integral Riemann-Stieltjes diubah

menjadi bentuk integral Riemann, seperti yang terlihat pada persamaan (3.7),

1
dimana dF ( y ) = f ( y )dy kecuali di titik y = 1 dan y = 1 .
3

Dalam aplikasi ini, persamaan (3.6) berkaitan dengan persamaan (3.3), dimana

didefinisikan fungsi u(y) = y dan fungsi v(y) sebagai fungsi distribusi peubah acak

kontinu Y yang umumnya dinotasikan dengan F(y). Selanjutnya, persamaaan

(3.7) berkaitan dengan persamaan (3.4), dimana didefinisikan fungsi u(y) = y.f(y)

dengan f(y) menyatakan fungsi peluang peubah acak kontinu Y. Selanjutnya, nilai

E[Y] = 1.0463 berkaitan dengan bilangan riil B(; u,v) pada persamaan (3.3).

Berikut ini, akan dibahas tentang pendekatan integral Riemann-Stieltjes untuk

menganalisis fungsi likelihood Poisson nonhomogen.

3.3 Fungsi Likelihood Poisson Nonhomogen

Perdefinisi, fungsi likelihood merupakan perkalian dari fungsi peluang untuk

beberapa peubah acak yang saling bebas (Hogg, Kean dan Craig, 2005, h.311).

Misalkan terdapat n pengamatan di dalam interval [0,T] dengan barisan titik

waktu pengamatan t1,t2,...,tn dan banyaknya kejadian di masing-masing waktu

pengamatan adalah peubah acak yang saling bebas, maka fungsi likelihood proses

Poisson nonhomogen dapat didefinisikan melalui persamaan (3.8) berikut ini:


n
L( (t i ) t1 ,..., t n ) = e ( 0,T ] (t i ) (3.8)
i =1

Langkah-langkah modifikasi dan pembentukan persamaan (3.8) bisa dilihat lebih

lanjut pada (Daley dan Vere-Jones, 2003. h.21-23).

38
Pada umumnya, persamaan (3.8) dinyatakan dalam bentuk lain, yaitu
T T
L( (t i ) t1 ,..., t n ) = exp{ (t i )dt i + ln (t i )dN (t i )} (3.9)
0 0

Pada Subbab 3.3 ini, permasalahan yang menarik untuk dibahas adalah

melakukan analisis matematik untuk mengubah persamaan (3.8) menjadi

persamaan (3.9). Pada tulisan ini, salah satu cara yang digunakan adalah melalui

pendekatan integral Riemann-Stieltjes. Suku kedua dari ruas kanan persamaan

T
(3.9), yaitu ln (t )dN (t ) , merupakan bentuk dari integral Riemann-Stieltjes.
0
i i

Mengacu pada persamaan (3.3), maka suku kedua ini, mendefinisikan fungsi u(t)

dengan fungsi ln (t i ) dan fungsi v(t) dengan fungsi N (t i ) , dimana pada tulisan

1 ;0 < t i t1
2 ; t1 < t i t 2

ini didefinisikan melalui: N (t i ) = 3 ; t 2 < ti t3 (3.10)
M M

n ; t n 1 < ti t n

mengingat dN(ti) = N(ti) N(ti-1) = 1 untuk i = 1,2,...,n. Definisi fungsi N (t i )

pada persamaan (3.10) merupakan bentuk khusus dan tidak berlaku secara umum.

Karenanya, untuk kasus yang berbeda bisa diperoleh bentuk fungsi N (t i ) yang

berbeda pula. Tetapi, dalam tulisan ini hal itu tidak dibahas lebih dalam.

Berikut ini, uraian analisis matematik untuk mengubah persamaan (3.8) menjadi

persamaan (3.9):

Bentuk persamaan (3.8) memuat fungsi eksponensial. Sehingga, untuk

menyederhanakan perhitungan diambil bentuk logaritmanya, dimana fungsi

logaritma tidak menghilangkan informasi apapun dari fungsi semula (Hogg, Kean

dan Craig, 2005, h.311). Jadi bentuk logaritma dari persamaan (3.8) adalah

39
n T n
ln L( (t i ) t1 ,..., t n ) = (0, T ] + ln (t i ) = (t i )dt i + ln (t i ) (3.11)
i =1 0 i =1

Oleh karena dN(ti) = 1 untuk i = 1,2,...,n, maka ln (t i ) dapat didefinisikan

dengan: ln (t i ) = ln (t i ) . dN(ti) ...(3.12)

dan persamaan (3.11) dituliskan kembali menjadi:

T n
ln L( (t i ) t1 ,..., t n ) = (t i )dt i + ln (t i ).dN (t i ) (3.13)
0 i =1

Jika diambil kembali bentuk eksponensialnya, maka persamaan (3.13) menjadi

T n
L( (t i ) t1 ,..., t n ) = exp (t i )dt i + ln (t i ).dN (t i ) (3.14)
0 i =1

suku suku
pertama kedua

Suku kedua dari persamaan (3.14) menyatakan bentuk penjumlahan Riemann-

Stieltjes. Mengacu pada Teorema 3.1 dan persamaan (3.3), maka suku kedua dari

T
persamaan (3.14) dapat dinyatakan dengan bentuk ln (t i )dN (t i ) , karena:
0

1. Fungsi ln (t i ) = C, dimana C adalah suatu konstanta, sehingga fungsi

ln (t i ) adalah fungsi kontinu

2. Fungsi N(ti) adalah fungsi tangga, sehingga fungsi N(ti) adalah fungsi

monoton naik.

Jadi, persamaan (3.14) dituliskan kembali dengan

T T
L( (t i ) t1 ,..., t n ) = exp{ (t i )dt i + ln (t i )dN (t i )} (3.15)
0 0

T
dimana suku kedua dari ruas kanan persamaan (3.15), yaitu ln (t )dN (t ) ,
0
i i

40
menyatakan bilangan riil B(;u,v) pada persamaan (3.3). Berdasarkan persamaan

(3.15), terbukti bahwa persamaan (3.8) dapat dinyatakan dengan bentuk lain

seperti persamaan (3.9).

Pada Subbab 4.3, akan diberikan sebuah contoh fungsi intensitas proses Poisson

nonhomogen yang didefinisikan melalui (t) = [1- F(t)]. Jika fungsi intensitas

ini disubstitusikan ke persamaan (3.15), dengan metode maksimum likelihood

maka taksiran intensitas proses bisa diperoleh.

Selanjutnya, menggunakan hasil pembuktian di atas, tulisan ini akan mencoba

mengambil sebuah kesimpulan. Pandang persamaan (3.13), yaitu

T n
ln L( (t i ) t1 ,..., t n ) = (t i )dt i + ln (t i ).dN (t i )
0 i =1

Jika persamaan (3.15) diambil bentuk logaritmanya, diperoleh

T T
ln L( (t i ) t1 ,..., t n ) = (t i )dt i + ln (t i )dN (t i ) (3.16)
0 0

Berdasarkan pembuktian di atas, persamaan (3.13) memiliki bentuk yang sama

dengan persamaan (3.16). Tetapi, kedua persamaan ini digunakan untuk keadaan

yang berbeda. Persamaan (3.13) digunakan ketika fungsi N(ti) berupa fungsi

tangga monoton naik, sedangkan persamaan (3.16) digunakan ketika fungsi N(ti)

berupa kurva yang tidak kontinu di beberapa titik. Jika dikaitkan dengan bidang

ilmu satistika dan mengacu pada Contoh 3.1 dan Contoh 3.2, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa penjumlahan Riemann-Stieltjes dipakai untuk menghitung

ekspektasi (rataan) peubah acak diskrit X, sedangkan perhitungan integral

Riemann-Stieltjes dipakai untuk menghitung ekspektasi (rataan) peubah acak

kontinu Y, seperti yang telah disinggung sebelumnya.

41

Anda mungkin juga menyukai