Anda di halaman 1dari 36

TUGAS

MAKALAH INFEKSI NOSOKOMIAL

Dosen Pembimbing :
Virgianti Nur Faridah, S.Kep,. Ns,. M.Kes

Di Susun Oleh :
Dewi Rosinta Anggraini
Kelas : 8C Keperawatan
Nim : 1302011286

PROGRAM STUDY S-1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
LAMONGAN
2017
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Istilah infeksi pada umumnya digunakan untuk mengartikan penumpukan
dan pelipatgandaan bakteri, serta mikro organisme lain dalam jaringan atau pada
permukaan tubuh tempat mereka dapat menyebabkan efek merugikan. Jika respon
tuan rumah kecil atau tidak ada, biasanya disebut kolonisasi. Sepsis berarti
hadirnya radang, pembentukan nanah, dan tanda kesakitan lain dalam luka yang
dikolonisasi oleh mikroorganisme serta dalam jaringan yang padanya infeksi itu
telah menyebar.
Nosokomial berasal dari kata Nosos yang berarti penyakit dan kooeo yang
berarti merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat penyakit atau rumah
sakit, sehingga nosokomial berarti yang berhubungan dengan rumah sakit dan
infeksi nosokomial berarti infeksi yang berasal dari atau terjadi di rumah sakit .
Infeksi Nosokomial merupakan infeksi banyak terjadi pada penderita yang
dirawat di rumah sakit dan merupakan penyebab penyakit kesakitan dan kematian
terutama pada penderita dengan imuno compromise. Secara umum, pasien yang
masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam
menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk
rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien
berada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun
luar tubuh. Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula
memang sudah ada didalam tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut
dengan self infection atau auto infection, sementara infeksi eksogen (cross
infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan dari
satu pasien ke pasien lainnya (Siregar, 2004).
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departement Kesehatan, 1997
diungkapkan seluruh rumah sakit di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996
tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 Rumah Sakit di Jawa dan Bali
menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 kg pertempat tidur
perhari. Analisa lebih jauh menunjukkan produksi sampah (Limbah Padat) berupa
limbah domestic sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infeksius sebesar 23,2
persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (Limbah Padat) Rumah
Sakit sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton
per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi Rumah
Sakit untuk mencemari lingkungan dan kemungkinan menimbulkan kecelakaan
serta penularan penyakit.
Rumah Sakit menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar, beberapa
diantaranya membahayakan kesehatan dilingkungannya. Di negara maju,
jumlahnya diperkirakan 0,5-0,6 kg per tempat tidur rumah sakit perhari.
Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika dilakukan
dengan memilah-milah limbah kedalam kategori untuk masing-masing jenis
kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip umum
pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko
kontaminasi antrauma (Injuri) (KLMNH, 1995).
Pengelolaan limbah rumah sakit yang sudah lama diupayakan dengan
menyiapkan perangkat lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-
pedoman dan kebijakan-kebijakan yng mengatur pengelolaan dan peningkatan
kesehatan dilingkungan rumah sakit. Disamping peraturan-peraturan tersebut
secara bertahap dan berkesinambungan Departemen Kesehatan terus
mengupayakan dan menyediakan dan untuk pembangunan insilasi pengelolaan
limbah rumah sakit melalui anggaran pembangunan maupun dari sumber bantuan
dana lainnya. Dengan demikian sampai saat ini sebagai rumah sakit pemerintah
telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan limabah, meskipun perlu untuk
disempurnakan. Namun disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit masih
perlu ditingkatkan permasyarakatan terutama dilingkungan masyarakat rumah
sakit. (Depkes RI, 1992).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Infeksi Nosokomial (Nosocomial Infections atau Hospital-Acquired
Infections) adalah suatu infeksi yang diperoleh/dialami pasien selama dia
dirawat di rumah sakit dan infeksi itu tidak ditemukan/diderita pada saat
pasien masuk rumah sakit
Infeksi Nosokomial sangat nyata merupakan penyebab kesakitan dan
kematian. Infeksi nosokomial dapat terjadi oleh karena tindakan
instrumenisasi ataupun intervensi pada saat dirawat di rumah sakit, misalnya
pemasangan kateter, infus, tindakan-tindakan operatif lainnya.
Infeksi oportunistik terjadi pada penderita yang mengalami immuno
compromise yang dirawat di rumah sakit, infeksi biasa berasal dari luar dan
dari dalam penderita sendiri yang disebabkan oleh kerusakan barier mukosa.
Infeksi nosokomial transmisi berasal dari dokter, perawat dan pelayan
medik yang lain bisa berasal dari tangan yang tidak steril, infeksi dari
makanan, minuman atau ventilasi, kateter dan alat endoscope ataupun
tindakan invasif yang lain.
Infeksi Nosokomial mempunyai angka kejadian 2 12% (rata-rata
5%) dari semua penderita yang dirawat di rumah sakit. Angka kematian 1-2
% dari semua kasus yang dirawat di rumah sakit di USA 1,5 juta pertahun
dan meninggal 15.000 orang.
Organisasi utama yang menyebabkan infeksi nosokomial meliputi
Pseudomonas aeruginosa (13%), Staphylococcus aereus (12%),
staphylococcus koagulase-negatif (10%), Candida (10%), enterococci (9%),
dan enterobacter (8%). Di negara berkembang angka kejadian infeksi
Nosokomial belum bayak diketahui dengan pasti (Siregar, 2004).
2.2 PENTINGNYA INFEKSI NOSOKOMIAL
Survei prevalensi (jumlah pasien penyakit tertentu) infeksi rumah
sakit pada banyak negara, menunjukkan bahwa kira-kira seorang dalam
sepuluh pasien di rumah sakit telah memperoleh infeksi dan sejumlah
infeksi yang serupa yang diperoleh masyarakat. Infeksi nosokomial utama
yang diperoleh adalah saluran urin, luka bedah, saluran nafas bagian bawah,
pneumonia, bakterimia dan kulit. Frekuensi dan keparahan beragam dengan
umur pasien, jenis operasi dalam kasus bedah, lama waktu katerisasi (urin
dan vaskular), pengobatan imuno supresif (penghambatan reaksi imunitas,
pencegahan atau usaha pengurangan respon rentan, misalnya dengan
penyinaran).
Pentingnya infeksi rumah sakit dapat dipertimbangkan, berkenaan
dengan kesakitan pasien dan dengan perpanjangan hospitalisasi. Kesakitan
disebabkan infeksi rumah sakit dewasa ini jarang menyebabkan kematian,
walaupun hal ini dapat trejadi pada pasien dengan resistensi yang lemah
(misalnya, pasien dengan luka bakar yang luas) atau dari organisme sangat
patogen (misalnya, beberapa strain virus hepatitis B). Biaya suatu
perpanjangan tinggal di rumah sakit adalah suatu ukuran biaya infeksi yang
baik, walaupun itu menunjukkan pengurangan sejumlah tempat tidur yang
tersedia bagi pasien daftar tunggu daripada suatu biaya sebenarnya yang
meningkat pada rumah sakit (Siregar, 2004).

2.3 BATASAN-BATASAN YANG DIPAKAI UNTUK INFEKSI


NOSOKOMIAL
Infeksi Nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita selama/oleh
karena dia dirawat di rumah sakit. Suatu infeksi pada penderita baru bisa
dinyatakan sebagai infeksi nosokomial bila memenuhi beberapa
kriteria/batasan tertentu :
1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan
tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.
2. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam
masa inkubasi dari infeksi tersebut.
3. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya
setelah 3 x 24 jam sejak mulai perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya.
5. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan
terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit
yang sama pada waktu lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai
infeksi nosokomial (Siregar, 2004).
2.4 Dampak
Infeksi nosokomial memberikan dampak sebagai berikut :
1. Meningkatnya lama hari rawat
2. Biaya perawatan semakin besar
3. Morbiditas dan mortalitas semakin tinggi
4. Penurunan mutu pelayanan rumah sakit
5. Adanya tuntutan secara hukum
6. Penurunan citra rumah sakit
2.5 Rantai penularan
Infeksi nosokomial mulai dengan penyebab (di bagian tengah gambar
berikut), yang ada pada sumber. Kuman keluar dari sumber melalui tempat
tertentu, kemudian dengan cara penularan tertentu masuk ke tempat tertentu
di pasien lain. Karena banyak pasien di rumah sakit rentan terhadap infeksi
(terutama ODHA yang mempunyai sistem kekebalan yang lemah), mereka
dapat tertular dan jatuh sakit tambahan. Selanjutnya, kuman penyakit ini
keluar dari pasien tersebut dan meneruskan rantai penularan lagi.
2.6 BERBAGAI FAKTOR YANG TERLIBAT DALAM INFEKSI RUMAH
SAKIT
Kejadian dan berbagai efek infeksi rumah sakit, pada dasarya bergantung
pada mikrorganisme, tuan rumah (pasien dan staf), lingkungan dan
pengobatan.
1. Mikroorganisme agen infeksi
Walaupun sebenarnya, setiap infeksi dapat diperoleh dari pasien atau staf
rumah sakit, ada beberapa organisme patogen tertentu yang terutama
berkaitan dengan infeksi rumah sakit dan beberapa yang jarang
menyebabkan infeksi dalam lingkungan lain. Peranan mereka sebagai
penyebab infeksi rumah sakit, bergantung pada patogenitas aau virulensi
(kemampuan dari spesies atau strain menyebabkan penyakit), dan pada
jumlah mereka, juga bergantung pada ketahanan pasien, dan karena banyak
pasien dalam rumah sakit yang resistensinya kurang, disebabkan oleh
penyakit atau pengobatan mereka, organisme yang relatif tidak berbahaya
pada orang sehat dapat menyebabkan penyakit dalam rumah sakit.
Organisme oportunistik demikian (misalnya Pseudomonas aeruginosa)
biasanya resisten terhadap banyak antibiotik dan mampu tumbuh dengan
subur dibawah kondisi yang di dalamnya kebanyakan organisme penyebab
penyakit tidak dapat berkembang.
Pada pasien yang sangat rentan, pasien yang menglami
transplantasi, pasien yang terinfeksi virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus) dan pasien yang memerlukan kemoterapi yang diperpanjang,
beberapa mycobacteria, fungi (misalnya, Candida albicans, Aspergilli, dan
Cryptococcus neoformans), virus (misalnya, Herpes simplex dan
cytomegalovirus) dan protozoa (misalnya, Pneumocystis carinii) adalah
penyebab infeksi berat dan sering menimbulkan kematian. Cryptosporidia
adalah penyebab diare berat pada pasien dengan infeksi HIV.
Perjangkitan infeksi (infeksi epidemik) dapat disebabkan oleh agen (zat,
kekuatan atau prinsip yang dapat menimbulkan efek) penyakit infeksi
tertentu, biasanya disebabkan masuknya pasien terinfeksi atau hadirnya
suatu pembawa dalam ruang perawatan. Perjangkitan infeksi ini dapat juga
terjadi melalui kesalahan luar biasa dalam suplai aseptis atau steril (misalnya
kontaminasi tetes mata atau cairan infus).
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia rawat
di rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme
ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain
yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan
terjadinya infeksi tergantung pada:
karakteristik mikroorganisme
resistensi terhadap zat-zat antibiotika
tingkat virulensi
banyaknya materi infeksius
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat
menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh
mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau
disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection).
Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena
faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan
udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat
dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang
umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang
menyebabkan penyakit pada orang normal.
a. Bakteri
Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia
yang sehat. Keberadaan bakteri disini sangat penting dalam melindungi
tubuh dari datangnya bakteri patogen. Tetapi pada beberapa kasus dapat
menyebabkan infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi yang
rendah terhadap mikroorganisme. Contohnya Escherichia coli paling
banyak dijumpai sebagai penyebab infeksi saluran kemih. Bakteri
patogen lebih berbahaya dan menyebabkan infeksi baik secara sporadik
maupun endemik. Contohnya :
Anaerobik Gram-positif, Clostridium yang dapat menyebabkan
gangren
Bakteri gram-positif: Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di
kulit dan hidung dapat menyebabkan gangguan pada paru, pulang,
jantung dan infeksi pembuluh darah serta seringkali telah resisten
terhadap antibiotika.
Bakteri gram negatif: Enterobacteriacae, contohnya Escherichia coli,
Proteus, Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas sering sekali
ditemukan di air dan penampungan air yang menyebabkan infeksi di
saluran pencernaan dan pasien yang dirawat. Bakteri gram negatif ini
bertanggung jawab sekitar setengah dari semua infeksi di rumah sakit.
Serratia marcescens, dapat menyebabkan infeksi serius pada luka
bekas jahitan, paru, dan peritoneum.
b. Virus
Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai
macam virus, termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan
dari transfusi, dialisis, suntikan dan endoskopi. Respiratory syncytial
virus (RSV), rotavirus, dan enteroviruses yang ditularkan dari kontak
tangan ke mulut atau melalui rute faecal-oral. Hepatitis dan HIV
ditularkan melalui pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah. Rute
penularan untuk virus sama seperti mikroorganisme lainnya. Infeksi
gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius, penyakit kulit dan dari
darah. Virus lain yang sering menyebabkan infeksi nosokomial adalah
cytomegalovirus, Ebola, influenza virus, herpes simplex virus, dan
varicella-zoster virus, juga dapat ditularkan.
c. Parasit dan Jamur
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan
mudah ke orang dewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit
dapat timbul selama pemberian obat antibiotika bakteri dan obat
immunosupresan, contohnya infeksi dari Candida albicans, Aspergillus
spp, Cryptococcus neoformans, Cryptosporidium.
d. Infection by direct or indirect contact
Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau tidak
langsung dengan penyebab infeksi. Penularan infeksi ini dapat melalui
tangan, kulit dan baju, seperti golongan staphylococcus aureus. Dapat
juga melalui cairan yang diberikan intravena dan jarum suntik, hepatitis
dan HIV. Peralatan dan instrumen kedokteran. Makanan yang tidak
steril, tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang
menyebabkan terjadinya cross infection.
2. Tuan Rumah (Pasien atau Anggota Staf)
Kerentanan tuan rumah dan virulensi (derajat patogenitas suatu
mikroorganisme, diukur dengan derajat kemajuan menimbulkan
penyakit). Seorang pasien dapat memiliki resistensi umum yang lemah,
misalnya pada bayi, sebelum antibodi terbentuk dan apabila jaringan
yang menghasilkan antibodi belum sempurna dikembangkan, atau
resistensi lemah mungkin berhubungan dengan penyakit (seperti diabetes
atau leukemia yang tidak terkendali atau luka bakar yang parah), atau
dengan gizi yang buruk, atau dengan bentuk pengobatan tertentu, seperti
penggunaan obat-obat imunosupresif yang diberikan untuk mencegah
penolakan organ yang ditransplantasi atau kemoterapi kanker. Resistensi
umum juga dapat dikurangi oleh infeksi, contoh ekstrim adalah infeksi
HIV.
Pasien dapat juga mempunyai resistensi lokal yang lemah karena
suplai darah yang tidak sempurna ke jaringan, atau karena kehadiran
jaringan mati atau pembekuan darah dan bakteri dapat hidup tanpa
gangguan pertahanan alami, benda asing termasuk benang bedah dan
prosthesis (pengganti alat tubuh yang hilang dengan alat palsu) juga
meningkatkan kerentanan jaringan terhdap sepsis lokal. Operasi bedah
dan operasi instrumentasi (misalnya kateterisasi) memungkinkan
masuknya bakeri ke jaringan yang biasanya dilindungi terhadap
kontaminasi. Beberapa dari ini, terutama dalam rongga mata, meninges,
tulang sendi, endokardium, dan saluran urin, mempunyai resisensi yang
rendah terhadap infeksi dengan organisme oportunistik.
Tidak saja pasien, tetapi staf (termasuk staf laboratorium) dapat
terpapar pada bahaya khusus infeksi dengan organisme virulen. Resiko
infeksi diantara anggota staf melalui kontaminasi dengan darah dan
eksudat (campuran serum, sel atau sel yang rusak yang keluar dari
pembuluh darah ke dalam jaringan, biasanya akibat radang), pasien
dengan hepatitis B (HBV) atau HIV telah mendapat perhatian dalam
tahun-tahun terakhir ini. Risiko dalam kebanyakan rumah sakit sangat
rendah, tetapi ketakutan terhadap AIDS telah dikaitkan dengan suatu
respon yang berlebihan.

Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon


tubuh pasien adalah:
Umur
status imunitas penderita
penyakit yang diderita
Obesitas dan malnutrisi
Orang yang menggunakan obat-obatan immunosupresan dan
steroid
Intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa
dan terapi.
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi
tubuh terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita
penyakit kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal
ginjal dan AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh
terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-
obatan yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi
seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan
juga meningkatkan resiko infeksi.

Tabel 1. Penyebab Infeksi Nosokomial


Bakteri Gram Positif Staphylococcus aureus
Staphylococcus Koagulase
Enterococcus
Bakteri Gram Negatif Escherichia coli
Proteus mirabilis
Klebsiella enterobacter
Pseudomonas sp
Bacteriosies sp
Jamur Cardioda sp
Aspergillus sp
Virus Hepatitis A,B, C
HIV
Sitomegalo
Virus saluran pernafasan
Herpes simplek

3. Lingkungan
Tempat ketika pasien ditangani mempunyai suatu pengaruh penting
pada kemungkinan infeksi yang diperolehnya serta pada sifat infeksi
demikian. Suatu keragaman mikroorganisme yang luas, termasuk strain
virulen, mungkin ditemui dalam rumah sakit tempat banyak orang,
termasuk beberapa dengan infeksi, dikumpulkan. Organisme ini
kemungkinan mencakup sebagian besar bakteri resisten antibiotika yang
dapat tumbuh dengan subur yang penggunaan antibiotika ditujukan untuk
penindasan bakteri yang peka.
Berbagai lokasi rumah sakit yang berbeda mempunyai bahaya
infeksi tersendiri. Dalam meja bedah, terdapat suatu bahaya khusus infeksi
luka karena pemaparan sering dalam beberapa jam dan jaringan yang
rentan, dan kehadiran sejumlah kemungkinan sumber manusia serta benda
mati. Dalam ruangan, pasien dapat terpapar pada kontaminan untuk
beberapa minggu, luka bedah terbuka, biasanya dilindungi oleh suatu
bentuk tutup. Walaupun hal ini tidak sempurna pada banyak pasien,
terutama pasien dengan drainase (suatu bahan kasa atau selang karet untuk
mengeluarkan cairan keluar dari suatu luka atau rongga).
Bahaya khusus terdapat dalam ruang neonatus melalui kemungkinan
kontaminasi makanan, alat penyedotan dan resusitasi (usaha
menghidupkan kembali dengan nafas buatan atau pijat dan rangsang
jantung), dll., dan karena penanganan bayi yang sering dan berbagai
masalah yang sama terdapat dalam unit pelayanan intensif dan ruang
perawatan luka bakar. Dalam rumah sakit penyakit infeksi, terdapat suatu
bahaya khusus infeksi rumah sakit dengan agen penyakit menular akut.
Suatu tujuan dalam pengendalian infeksi rumah sakit adalah untuk
memaparkan semua pasien kepada lingkungan yang paling sedikit bebas
dari bahaya mikrobia, seperti yang mereka dapati di luar rumah sakit.

2.7 PENCEGAHAN TERJADINYA INFEKSI NOSOKOMIAL


Pencegahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu rencanan
yang terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk:
Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan cara
mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan dan aseptic,
strerilisasi dan desinfektan.
Mengontrol resiko penularan dari lingkungan
Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi
yang cukup dan vaksinasi.
Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur
invasive.
Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol
penyebarannya.

1) Dekontaminasi tangan
Transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan
hiegene dari tangan. Tetapi pada kenyataannya, hal ini sulit dilakukan
dengan benar, karena banyaknya alasan seperti kurangnya peralatan,
alergi produk pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai
pentingnya hal ini, dan waktu mencuci tangan yang lama. Selain itu,
penggunaan sarung tangan sangat dianjurkan bila akan melakukan
tindakan atau pemeriksaan pada pasien dengan penyakit-penyakit
infeksi. Hal yang perlu diingat adalah: memakai sarung tangan ketika
akan mengambil atau menyentuh darah, cairan tubuh, atau keringat,
tinja, urin, membrane mukosa dan bahan yang kita anggap telah
terkontaminasi, dan segera mencuci tangan setelah melepas sarung
tangan.
2) Instrumen yang sering digunakan Rumah Sakit
Simonsen et al (1999) menyimpulkan bahwa lebih dari 50% suntikan
yang dilakukan di Negara berkembang tidaklah aman (contohnya jarum,
tabung atau keduanya yang dipakai berulang-ulang) dan banyaknya
suntikan yang tidak penting (misalnya penyuntikan antibiotika). Untuk
mencegah penyebaran penyakit melalui jarum suntik maka diperlukan:
Pengurangan penyuntikan yang kurang diperlukan
Pergunakan jarum steril
Penggunaan alat suntik yang disposable.
Masker, sebagai pelindung terhadap penyakit yang ditularkan
melalui udara. Begitu pun dengan pasien yang menderita infeksi saluran
nafas, mereka harus menggunakan masker saat keluar dari kamar
penderita
Sarung tangan, sebaiknya digunakan terutama ketika menyentuh
darah, cairan tubuh, feses maupun urine. Sarung tangan harus selalu
diganti untuk tiap pasiennya. Setelah membalut luka atau terkena benda
yang kotor, sarung tangan harus segera diganti.
Baju khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan pakaian
selama kita melakukan suatu tindakan untuk mencegah percikan darah,
cairan tubuh, urin dan feses.
3) Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit
Pembersihan yang rutin sangat penting untuk meyakinkan bahwa
rumah sakit sangat bersih dan benar-benar bersih dari debu, minyak dan
kotoran. Perlu diingat bahwa sekitar 90 % dari kotoran yang terlihat
pasti mengandung kuman. Harus ada waktu yang teratur untuk
membersihkan dinding, lantai, tempat tidur, pintu, jendela, tirai, kamar
mandi, dan alat-alat medis yang telah dipakai berkali-kali.
Pengaturan udara yang baik sukar dilakukan di banyak fasilitas
kesehatan. Usahakan adanya pemakaian penyaring udara, terutama bagi
penderita dengan status imun yang rendah atau bagi penderita yang dapat
menyebarkan penyakit melalui udara. Kamar dengan pengaturan udara
yang baik akan lebih banyak menurunkan resiko terjadinya penularan
tuberkulosis. Selain itu, rumah sakit harus membangun suatu fasilitas
penyaring air dan menjaga kebersihan pemrosesan serta filternya untuk
mencegahan terjadinya pertumbuhan bakteri. Sterilisasi air pada rumah
sakit dengan prasarana yang terbatas dapat menggunakan panas
matahari.
Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama pada unit perawatan
pasien diare untuk mencegah terjadinya infeksi antar pasien. Permukaan
toilet harus selalu bersih dan diberi disinfektan.
Disinfektan akan membunuh kuman dan mencegah penularan antar
pasien.
Disinfeksi yang dipakai adalah:
Mempunyai kriteria membunuh kuman
Mempunyai efek sebagai detergen
Mempunyai efek terhadap banyak bakteri, dapat melarutkan
minyak dan protein
Tidak sulit digunakan
Tidak mudah menguap
Bukan bahan yang mengandung zat yang berbahaya baik untuk
petugas maupun pasien
Efektif
tidak berbau, atau tidak berbau tak enak
4) Perbaiki ketahanan tubuh
Di dalam tubuh manusia, selain ada bakteri yang patogen oportunis,
ada pula bakteri yang secara mutualistik yang ikut membantu dalam
proses fisiologis tubuh, dan membantu ketahanan tubuh melawan invasi
jasad renik patogen serta menjaga keseimbangan di antara populasi jasad
renik komensal pada umumnya, misalnya seperti apa yang terjadi di
dalam saluran cerna manusia. Pengetahuan tentang mekanisme
ketahanan tubuh orang sehat yang dapat mengendalikan jasad renik
oportunis perlu diidentifikasi secara tuntas, sehingga dapat dipakai
dalam mempertahankan ketahanan tubuh tersebut pada penderita
penyakit berat. Dengan demikian bahaya infeksi dengan bakteri
oportunis pada penderita penyakit berat dapat diatasi tanpa harus
menggunakan antibiotika.

5) Ruangan Isolasi
Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah dengan
membuat suatu pemisahan pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan
terutama untuk penyakit yang penularannya melalui udara, contohnya
tuberkulosis, dan SARS, yang mengakibatkan kontaminasi berat.
Penularan yang melibatkan virus, contohnya DHF dan HIV. Biasanya,
pasien yang mempunyai resistensi rendah eperti leukimia dan pengguna
obat immunosupresan juga perlu diisolasi agar terhindar dari infeksi.
Tetapi menjaga kebersihan tangan dan makanan, peralatan kesehatan di
dalam ruang isolasi juga sangat penting. Ruang isolasi ini harus selalu
tertutup dengan ventilasi udara selalu menuju keluar. Sebaiknya satu
pasien berada dalam satu ruang isolasi, tetapi bila sedang terjadi kejadian
luar biasa dan penderita melebihi kapasitas, beberapa pasien dalam satu
ruangan tidaklah apa-apa selama mereka menderita penyakit yang sama.

2.8 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA INFEKSI


NOSOKOMIAL
Secara umum di bagi dua :
1. Faktor endogen antara lain umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, daya
tahan tubuh, dan kondisi-kondisi lokal.
2. Faktor eksogen antara lain lama penderita dirawat, kelompok yang
merawat, alat medis, serta lingkungan.

2.9 PRINSIP PENGENDALIAN INFEKSI


Pasien dilindungi terhadap infeksi dalam rumah sakit oleh suatu sistem
berbagai metode, termasuk bedah asepsis dan higienen rumah sakit.
1. Untuk menghilangkan berbagai sumber atau smber infeksi yang
mungkin, hal ini mencakup penanganan pasien yang terinfeksi, demikian
juga mensterilkan, mendisinfeksi dan membersihkan bahan serta
permukaan yang terkontaminasi.
2. Untuk merintangi rute perpindahan bakteri dari sumber dan reservoir,
mungkin pada pasien yang tidak terinfeksi, mencakup mengisolasi
pasien yang terinfeksi atau pasien yang rentan, operasi aseptik dan
terutama mencucu tangan.
3. Untuk meningkatkan resistensi pasien terhadap infeksi (misalnya selama
operasi dengan penanganan jaringanyang teliti serta menghilangkan
bagian tubuh yang mengelupas dan asing, juga dengan meningkatkan
pertahanan umum, seperti pengendalian diabetes, pemberdayaan
imunitas terhadap tetanus, serta penggunaan profilaksis antibiotik jika
dan bila hal ini diusulkan.
Adanya pemahaman yang meningkat, pentingnya faktor pribadi
dalam mencegah infeksi rumah sakit, dan perlunya pengertian yang tepat
tentang fakta itu oleh semua anggota staf rumah sakit. Walaupun subjek
itu rumit dan melibatkan banyak disiplin, pemikiran dasar adalah
sederhana dan banyak rincian asepsis dapat dibuat lebih mudah oleh
berbagai bentuk standardisasididasarkan pada bukti keefektifan dan
kepraktisan.

2.10 TIM PENGENDALI INFEKSI


1. Anggota Tim Pengendali Infeksi
Tim pengendali infeksi terdiri atas anggota staf rumah sakit yang
berminat dan berpengetahuan khusus pada pengendalian infeksi dalam
rumah sakit.. Tim terdiri atas dokter pengendali infeksi, perawat pengendali
infeksi, apoteker rumah sakit, dan bila tersedia seorang anggota dari staf
ilmiah atau staf teknis yang bertanggung jawab dalam pengendalian infeksi.
Dalam rumah sakit yang besar, lebih dari seorang dokter atau perawat dapat
diangkat menjadi anggota. Ketua tim adalah dokter pengendali infeksi yang
biasanya adalah mikrobiologis.
2. Dokter Pengendali Infeksi
Dokter pengendali infeksi, hendaknya seorang anggota senior staf medis
yang dengan mudah berakses ke berbagai komite di rumah sakit dan
mempunyai otoritas yang cukup untuk memberi perintah pada semua
kategori staf. Ia harus mempunyai minat dan pelatihan khusus dalam infeksi
rumah sakit dan hendaknya memahami perkembangan mutakhir dalam
masalah ini. Mikrobiologis, biasanya adalah pilihan yang logis karena
memenuhi syarat: dan dalam suatu posisi yang ideal untuk memelihara
sistem rekaman di bawah penelitian yang cermat dan tetap. Fungsi dokter
pengendali infeksi bersama-sama dengan anggota tim lain adalah mengkaji
resiko infeksi ,memberi nasihat tentang tindakan pencegahan dan memeriksa
efikasinya dalam semua bagian rumah sakit, termasuk katering, binatu,
bagian pelayanan steril, IFRS, bagian engineering, ruang perawatan, klinik,
dan semua lokasi bagian rumah sakit.
3. Tanggung Jawab Tim Pengendali Infeksi
Tanggung jawab tim pengendali infeksi adalah, antara lain untuk:
1. Memantau infeksi dan dan metode pengendalian,
mengidentifikasi, dan mengidentifikasi dengan cepat perjangkitan
(outbreak)atau berbagai prosedur bahaya yang mungkin;
2. Menyediakan petunjuk tentang mengisolasi pasien terinfeksi dan
berbagai prosedur bahaya atau prosedur yang tidak efektif;
3. Memberi petunjuk, membuat keputusan dari hari ke hari, dan
menjalin hubungan dengan staf di semua lokasi dalam rumah sakit
tempat resiko infeksi yang mungkin terjadi.
4. Menyediakan kebijakan pemantauan dan evaluasi untuk
pencegahan infeksi dan penyebarannya.
5. Mengomunikasikan dan menyediakan informasi yang segera
tersdia bagi staf, tentang tindakan dari pengendalian infeksi.
4. Tugas Sehari-Hari Perawat Pengendali Infeksi
Tugas sehari-hari perawat pengendali infeksi dapat mencakup berbagai
hal berikut
1. Mengidentifikasi secepat mungkin bahaya infeksi yang mngkin
dalam pasien, staf, atau peralatan.
2. Mengumpulkan berbagai rekaman pasien yang terinfeksi dari
pemberitahuan ruang, catatan kasus, laporan laboratorium, dan
informasi yang dikumpulkan dalam unjungan dan diskusi rutin.
3. Mengatur pengisolasian dengan cepat, pasien yang terinfeksi
(bekerja sama dengan perawat petugas ruang dan konsultan yang
mempunyai tanggung jawab mula) sesuai dengan kebijakan rumah
sakit dan memastikan bahwa ada fasilitas yang memadai untuk
mengisolasi pasien, melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk
mencegah penyebaran infeksi atau organisme yang sangat resisten
terhadap antibiotika.
4. Mengecek dengan menginspeksi bahwa prosedur pengendalian
infeksi dan aseptik telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan
rumah sakit.
5. Menghubungkan antara laboratorium dan staf ruang; memberi
informasi pada kepala bagian dan memberikan nasihat tentang
masalah pengendalian infeksi.
6. Melakukan kerjasama dengan staf kesehatan okupasi (occupational
health staf) dalam pemeliharaan rekaman infeksi staf medis, perawat,
katering, domestik, dan berbagai golongan staf lainnya yang
terinfeksi; memastikan spesimen bersihan (Clearance spesiments)
diambil sebelum staf terinfeksi kembali bertugas.
7. Melakukan kerjasama dengan dan memberi petunjuk kepada
perawat komunitas tentang berbagai masalah infeksi.
8. Memberi informasi segera melalui telepon, tentang penyakit yang
harus diberitahukan (notifiable) kepada petugas kesehatan
masyarakat.
9. Memberitahu berbagai rmah sakit lain, praktisi lain, dan lain-lain
yang berkepentingan ketika pasien yang terinfeksi dibebaskan dari
rumah sakit atau dipindahkan ke tempat lain, dan menerima
informasi yang relevan dari rumah sakit lain atau dari komunitas
apabila perlu.
10. Melakukan partisipasi dalam edukasi dan demonstrasi praktis
tentang teknik pengendalian infeksi kepada staf medis, perawat
domestik, katering, pembantu, dan staf lainnya.
11. Memberitahu perawat tentang masalah dan kesulitan praktis dalam
melaksanakan prosedur rutin yang berkaitan dengan aspek perawatan
pengendalian infeksi.
12. Menghadiri berbagai komite relevan yang biasanya mengendalikan
infeksi dari berbagai komite prosedur perawatan.
13. Melakukan perundingan dengan pimpinan pelayanan steril, tentang
infeksi tertentu dalam rumah sakit (misalnya HBV = Hepatitis B
virus).
14. Perawat pengendali infeksi bekerjasama dengan berbagai komite
anggota tim investigasi perjangitan (outbreak) penyakit, mengadakan
survey, mengunjungi dapur dan perusahaan katering, memantau unit
khusus, mengumpulkan sampel mikrobiologi, menyiapkan laporan
untuk komite pengendalian infeksi, klinis, pimpinan rumah sakit, dan
membantu dalam proyek penelitian.
2.11 KOMITE PENGENDALI INFEKSI
Komite Pengendali Infeksi dari suatu rumah sakit umum yang besar,
misalnya rumah sakit kelas A dan B, hendaknya mempunyai perwakilan dari
semua bagian dan SMF utama yang bersangkutan dengan pengendalian
infeksi, yakni medis, keperawatan, kesehatan okupasi, bagian enginering,
IFRS, bagian suplai, sentra sterilisasi, katering, mirobiologi, administrasi,
kesehatan masyarakat, dan juga tim pengendali infeksi. Ketua komite dapat
juga kepala pengendali infeksi, tetapi dapat seorang klinisis yang berminat
dalam pengendalian infeksi. keuntungan utama suatu komite yang besar
adalah edukasi dan memastikan komunikasi yang memadai antara berbagai
departemen (bagian) yang berbeda. Namun, keputusan utama akan diambil
oleh tim pengendali infeksi tentang masalah rumah sakit. Tugas dan fungsi
komite adalah sebagai berikut;
1. Mendiskusikan setiap masalah yang dibawa kepada kepada komite oleh
dokter pengendali infeksi, perawat, apoteker, atau oleh anggota komite
lainnya.
2. Mengambil tanggung jawab utuk keptusan besar.
3. Menerima laporan tentang masalah mutakhir dan tentang timbulnya
infeksi, serta mengevaluasi berbagai laporan lain yang mencakup resiko
infeksi (misalnya, infeksi dapur)
4. Mengatur koordinasi dan edukasi antar departemen dalam pengendalian
infeksi (karena itu adalah bermanfaat mempunyai seorang anggota
perwakilan dengan berbagai minat).
5. Mengajukan, memelihara dan apabila perlu memodifikasi berbagai
kebijakan, (misalnya, desinfektan, antibiotika dan isolasi)
6. Memberi petunjuk tentang seleksi peralatan untuk pencegahan infeksi
(misalnya, kotak pembuangan benda tajam).
7. Membuat rekomendasi kepada berbagai komite lain dan berbagai bagian
lain (SMF) tentang tekhnik pengendalian infeksi.
8. Memberi petunjuk /masukan kepada pejabat kesehatan tentang semua
aspek pengendalian infeksi dan membuat rekomendasi untuk
penggunaan berbagai sumber.
9. Mengembangkan standar terdokumentasi untuk sanitasi dan asepsis ruah
sakit.
10. Mengembangkan, menyebarkan berbagai prosedur dan tekhnik untuk
memenuhi standar, serta memantau kepatuhan pada prosedur dan tekhni
tersebut.
11. Mengembangkan dan menerapkan suatu sistem untuk memperoleh,
pelaporan dan mengevaluasi data tentang infeksi pada pasien serta
populasi personl rumah sakit.
12. Mengembangkan dan menerapkan, dengan bekerja sama dengan PFT,
suatu sistem untuk surveilan rutin dan mengkaji penggunaan
antimikroba dalam rumah sakit.

2.12 PENGUNJUNG (TAMU) PASIEN


Infeksi dapat dibawa ke dalam rumah sakit oleh pengunjung,atau
dipindahkan oleh mereka dari seorang pasien ke yang lain, atau diperoleh
oleh mereka dari pasien yang terinfeksi. Walaupun pengunjung tidak tampak
memainkan suatu peranan penting dalam infeksi rumah sakit, beberapa
tindakan pencegahan diperlukan untuk mencegah bahaya yang telah
diketahui.
Calon pengunjung hendaknya ditunjukkan suatu pemberitahuan yang
memperingatkan mereka, agar tidak memasuki ruangan jika mereka sedang
menderita salesma, sakit tenggorokan, diare, borok, atau penyakit menular
lain. Tindakan pencegahan khusus (pakaian, gerakan terbatas, tidak
menyentuh) hendaknya dilakukan jika pengunjung hendaknya diterima
pasien dengan kerentanan meningkat terhadap infeksi.
Pemberitahuan hendaknya menginstruksikan pengunjung membatasi
kunjungan pada seorang pasien, Jika instruksi ini dilakukan, kunjungan oleh
orang sehat (misal, ibu dari anak) tidak memberikan bahaya khusus dari
infeksi silang.Adalah perlu bagi perawat ruangan mengusir atau
mengeluarkan mereka dari ruangan jika mengabaikan instruksi ini atau
dilanggar.
Kunjungan ini hendaknya dilarang bagi orang yang tidak imun
(khususnya anak-anak) kepada pasien dalam isolasi dengan penyakita yang
sangat menular. Apabila kunjungan harus diizinkan, pengunjung kepada
pasien, dengan demikian, hendaknya diinstruksikan untuk melakukan
tindakan melindungi diri sendiri, seperti mengenakan pakaian, dan mereka
hendaknya menahan diri untuk tidak menyentuh pasien, tempat tidur pasien
dan barang-barang miliknya. Apabila kontak tidak dapat dihindarkan
(misalnya, dalam kunjungan ibu pada anak kecil), pengunjung dianjurkan
menggunakan sarung tangan. Kontak yang intim hendaknya dihindari.
Tangan hendaknya dicuci sepenuhnya pada waktu meninggalkan pasien.

2.13 SURVEILAN, REKAMAN DAN PELAPORAN


Dalam kebanyakan rumah sakit, timbulnya infeksi secara menyeluruh
tidak diketahui. Metode surveilan (yakni, penemuan dan merekam infeksi)
berubah-ubah dan rekaman infeksi, apabil disimpan oleh staf ruangan, sering
tidak akurat. Surveilan telah didefinisikan sebagai penelitian cermat dari
semua aspek terjadinya dan penyebaran suatu penyakit yang berkaitan
dengan pengendalian yang efektif serta dilakukan terus-menerus.
Surveilan infeksi di rumah sakit adalah perlu untuk alasan berikut :
1. Untuk mengetahui setiap tingkat yang tidak biasa atau perubahan dalam
tingkat insiden, penyebaran yang ada atau akan datang dari suatu
perjangkitan (outbreak) dan terutama untuk mengidentifikasi setiap
organisme yang berbahaya.
2. Menilai sifat yang diinginkan dari tindakan khusus yang di ajukan untuk
mengendalikan suatu perjangkitan (outbreak), atau perjangkitan yang
mengancam dan untuk mengkaji keefektifan tindakan itu.
3. Untuk mengkaji keberhasilan tindakan pencegahan tetap yang masih
digunakan di rumah sakit.
4. Untuk mengurangi tingkat infeksi yang dapat di hindari,
mengidentifikasi pasien resiko tinggi agar tindakan selektif dapat
diajukan, dan untuk memastikan upaya pengendalian berhasil
maksimum serta hasil yang paling efektif biaya.
Dari yang paling penting adalah pengetahuan awal dari suatu
perjangkitan yang akan datang atau bahaya yang mungkin, seperti inkubator
yang telah terkontaminasi, mungkin diikuti oleh infeksi.
Surveilan dan pemeliharan rekaman, meski tidak dianggap sebagai suatu
akhir, tetapi sebagai suatu alat untuk mengukur keefektifan program
pengendalian infeksi dan untuk memberikan petunjuk dini dari lokasi
perjangkitan atau masalah. Maksud utama perekaman infeksi adalah untuk
menyediakan informasi untuk tindakan yang akan diambil.

2.14 STERILISASI DAN DESINFEKSI FISIK


Kontaminan mikroba dapat dihilangkan oleh pembersihan dengan suatu
detergen dan air, atau dimusnahkan oleh sterilisasi atau desinfeksi.
Pembersihan yang diikuti oleh pengeringan permukaan dapat hampir sama
efektif dengan penggunaan suatu disinfektan.
Sterilisasi adalah perlakuan yang mencapai pembunuhan menyeluruh
atau menghilangkan semua mikroorganisme, termasuk spora tetanus dan
basilus gangren gas yang resisten terhadap kebanyakan disinfektan serta
lebih resisten terhadap panas daripada mikroorganisme nonspora.
Desinfeksi adalah yang mengurangi jumlah mikroorganisme vegetatif
(misalnya, Staphylococci, salmonella) dan virus, tetapi tidak spora bakteri
atau virus lambat sampai tingkat aman atau tingkat relatif aman.
Disinfektan adalah suatu senyawa kimia yang dapat memusnahkan
mikroorganisme vegetatif dan virus; Antiseptik sering digunakan untuk
disinfektan yang digunakan pada kulit atau pada jaringan hidup, tetapi
karena maksud antiseptik adalah untuk mendesinfeksi (disebut desinfeksi
kulit) perkataan antiseptik nampaknya berlebihan; tetapi berguna sebagai
suatu petunjuk bahwa senyawa dapat aman digunakan pada jaringan.
Perkataan sterilan kadang-kadang digunakan rentang kecil senyawa
kimia (etilen oksida, formaldehide dan glutaraldehid) yang dibawah kondisi
terkendali dapat membunuh bakteri berspora. Semua benda (barang) yang
akan disterilkan, harus secara fisik bersih sebelum menjadi sasaran suatu
proses sterilisasi baku. Semua instrumen bedah, pembalut dan objek lain
atau larutan yang dimasukkan ke dalam luka traumatik (bersifat
menimbulkan cedera) atau luka operasi, atau oleh injeksi harus steril (yakni,
disterilkan dan dengan memadai dilindungi terhadap kontaminasi
berikutnya).
Sterilisasi dapat dicapai dengan panas lembab pada tekanan atmosfer
yang ditingkatkan; dengan panas kering pada tekanan biasa; dengan radiasi
ionisasi (radiasi gamma atau sinar elektron); dengan sterilan, seperti etilen
oksida, dan glutaraldehid atau dengan filtrasi. Jika barang yang di sterilkan
tidak rusak oleh panas, metode sterilisasi panas sebaiknya selalu digunakan
sebagai pilihan terhadap metode lain, sebab metode panas lebih andal dan
dapat lebih efektif di pantau.
Desinfeksi kebanyakan rumah sakit telah menetapkan suatu kebijakan untuk
menggunakan disinfektan, tetapi masih mungkin menemukan disinfektan
yang tidak tepat digunakan pada konsentrasi yang tidak memadai.
Disinfektan mahal dan tidak efektif masih digunakan, sedang zat yang lebih
murah atau lebih efektif ada tersedia, atau digunakan apabila suatu
disinfektan tidak dibutuhkan sama sekali. Diperlukan suatu standarisasi
disinfektan nasional dan suatu kebijakan disinfektan yang baik, hendaknya
sungguh-sungguh meningkatkan keefektifan biaya disinfektan dalam rumah
sakit.
1. Jenis Disinfektan Kimia
Disinfektan kimia terdiri atas golongan fenolik, kloroksilenols; senyawa
halogen; senyawa kuarterner amonium; klorheksidin; heksaklorofan;
triklosan, alkohol (etilalkohol 70% dan isopropil alkohol 60-70%);
senyawa aldehid (formaldehid, glutaraldehid); hidrogen peroksida;
senyawa amfolitik dan senyawa anti mikroba lainnya (akridin dan
trifenil metan).
2. Formulasi Suatu Kebijakan Desinfeksi
Komite pengendalian rumah sakit, hendaknya menyiapkan kebijakan
disinfektan dan menetapkan jenis disinfektan yang digunakan; hal ini
memerlukan konsultasi antara mikrobiologis, dokter pengendali infeksi,
perawat pengendali infeksi apoteker rumah sakit, petugas perbekalan dan
perwakilan dari staf medis, perawat dan staf administrasi. Permintaan
untuk disinfektan datang dari berbagai bagian (unit) rumah sakit dan
terdapat banyak sumber suplai. Semua permintaan disinfektan harus
disetujui oleh apoteker rumah sakit yang dapat mengecek, apakah
disinfektan yang diminta itu sesuai dengan kebijakan rumah sakit.
Prinsip Umum Untuk Memformulasikan Suatu Kebijakan Desinfeksi.
1) Buat daftar semua maksud untuk apa saja disinfektan digunakan,
kemudian cek permintaan, dan order untuk memastikan bahwa daftar
telah lengkap.
2) Eliminasi penggunaan disinfektan kimia, apabila panas dapat secara
wajar digunakan sebagai suatu alternatif, atau apabila sterilisasi
dipersyaratkan; atau pembersihan seksama saja sudah cukup, atau
alat sekali pakai dapat digunakan secara ekonomis. Hendaknya,
hanya sedikit penggunaan cairan disinfektan.
3) Pilih sejumlah terkecil disinfektan yang praktis untuk sisa
penggunaan, yakni satu disinfektan rutin untuk tiap bidang
penggunaan (lingkungan, kulit, peralatan), ditambah suatu alternatif
untuk penggunaan ketika pasien atau staf peka terhadap disinfektan
rutin, untuk instrumen yang dapat dirusak oleh disinfektan, dan
untuk penggunaan apabila disinfektan rutin kebetulan tidak tersedia,
atau tidak sesuai untuk suatu maksud tertentu.
4) Atur distribusi disinfektan yang dipilih pada pengenceran
penggunaan yang benar, atau sediakan alat untuk menyiapkan dan
mengukur disinfektan di tempat penggunaan.
5) Semua pengguna disinfektan mungkin perlu menerima instruksi yang
memadai dalam penyiapan dan penggunaannya. Hal ini hendaknya
termasuk informasi tentang:
a) Disinfektan dan konsentrasi yang benar untuk digunakan bagi
setiap tugas.
b) Usia guna (shelf-life) disinfektan pada konsenrasi yang disuplai,
jenis wadah yang digunakan, dan perubahan frekuensi larutan
dalam penggunaan.
c) Zat atau materi yang akan bereaksi atau menetralkan disinfektan.
d) Suatu pengkajian toksis atau resiko lain pada personel yang
menggunakan disinfektan atau detergen yang dipersyaratkan;
juga tindakan yang dipersyaratkan untuk melindungi personel.
Tindakan keselamatan pribadi, misalnya, hendaknya
menggunakan sarung tangan karet, cara bagaimana produk dapat
dibuka dan dicampur dengan aman; tindakan apa yang
diperlukan, jika produk masuk berkontak dengan kulit atau mata.
6) Kebijakan hendaknya dipantau untuk memastikan bahwa kebijakan
itu terus efektif. Kadang-kadang pengujian dalam penggunaan dan
estimasi konsentrasi dapat dipersyaratkan.
3. Seleksi Disinfektan
Sifat Antimikroba
Apabila sesuai dengan persyaratan lain, disinfektan yang digunakan
sebaiknya bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) daripada
bakteriostatik (menghentikan atau merintangi pertumbuhan bakteri),
aktif terhadapsuatu rentang mikroba yang luas dan tidak cepat
inaktivasi. Manufaktur dapat menyuplai informasi tentang sifat-sifat
disinfektan, tetapi uji anti mikroba secara bebas (dilakukan sendiri)
juga diperlukan.
Sifat-sifat lain
Sifat-sifat disinfektan yang dipilih harus dipertimbangkan
menyangkut aseptabilitas, juga aktivitas antibakteri. Stabilitas,
toksisitas, dan sifat korosif perlu dikaji oleh apoteker rumah sakit
dengan bantuan informasi yang relevan, diperoleh dari
manufakturnya. Aseptabilitas dan sifat membersihkan, hendaknya
dikaji oleh personel pengawas rumah sakit atau pengguna. Harga,
jelas penting sipertimbangkan, sebab penggunaannya cukup banyak
di rumah sakit. Untuk mengurangi harga, ada baiknya pengadaan
dilakukan dengan kontrak untuk satu atau dua disinfektan yang pada
umumnya dapat diterima.
4. Dekontaminasi Lingkungan, Peralatan, dan Kulit
Pilihan metode dekontaminasi, yakni pembersihan, desinfeksi,
sterilisasi bergantung pada banyak faktor, tetapi pilihan awal dapat
didasarkan pada pada risiko infeksi pada pasien. Hal ini dapat
dikategorikan sebagai kategori resiko tinggi, menengah, rendah, dan
minimal. Namun, terdapat tumpang tindih antara golongan ini dan
persyaratan untuk dekontaminasi dapat beragam dalam suatu kategori.
Risiko infeksi pada pasien berasal dari alat, bahan dan lingkungan.
Risiko Tinggi
Benda (barang) dalam kontak langsung dengan suatu robekan (luka)
dalam kulit atau selaput lendir atau dimaksudkan ke dalam suatu
lokasi tubuh steril {misalnya, alat bedah, pembalut, kateter, dan alat
prostetik (pengganti alat tubuh yang hilang)}, dipersyaratkan steril
(jika sterilisasi tidak praktis tercapai, disinfeksi tingkat tinggi dapat
memadai, walaupun tidak optimal) .
Risiko Menengah
Barang atau benda dalam kontak dengan selaput lendir, cairan tubuh
atau terkontaminasi dengan terutama organisme virulen atau cepat
menular atau jika benda/barang itu digunakan pada pasien atau
tempat yang sangat rentan, dipersyaratkan didesinfeksi (misalnya,
gastroskop = alat untuk memeriksa bagian dalam lambung; alat
pernapasan).
Risiko Rendah
Benda atau barang dalam kontak dengan kulit normal dan utuh.
Pembersihan dan pengeringan, biasanya memadai (misalnya,
menyuci mangkuk, toilet, dan seprai, selimut serta kain-kain tempat
tidur).
Risiko Minimal
Benda atau barang tidak dalam kontak langsung dengan pasien atau
di sekelilingnya. Tidak mungkin terkontaminasi dengan jumlah
patogen signifikan atau pada suatu tempat yang rentan. Pembersihan
untuk memindahkan organisme dan pengeringanbiasanya memadai
(misalnya lantai,dinding, dan bak cuci).

2.15 CONTOH INFEKSI NOSOKOMIAL


Terdapat 4 macam infeksi nosokomial yang menonjol yaitu infeksi luka
operasi (ILO), infeksi saluran kencing (ISK), pneumonia dan bakteremia.
1. Infeksi Saluran Kencing / Urinary Tract Infections (ISK/UTI)
Infeksi ini merupakan kejadian tersering, infeksinya dihubungkan
dengan penggunaan kateter urin. Walaupun tidak terlalu berbahaya,
tetapi dapat menyebabkan terjadinya bakteremia dan mengakibatkan
kematian.
Bakteri yang sering menyebabkan infeksi ini antara lain:
E. Coli
Enterococcus sp.
Klebsiella sp.
Pseudomonas aeruginosa
Proteus mirabilis
Penyebaran mikroorganisme yang terdapat pada permukaan ujung
kateter yang masuk ke dalam uretra menyebabkan terjadinya infeksi
saluran kencing. Pencegahannya antara lain dengan cara kateterisasi
dengan teknik benar dam hindari jika tidak perlu. Kemudian
pemasangan kateter secara asepsis, pengambilan sampel urin secara
steril, serta alat yang digunakan harus di sterilkan terlebih dahulu.
Dipastikan bahwa alat-alat tersebut steril dan tidak terkontaminasi oleh
alat-alat yang tidak steril. Petugas harus mencuci tangan sebelum dan
sesudah memakai sarung tangan.
2. Infeksi Luka Operasi / Surgical Site Infections (ILO/SSI)
Sebanyak 14-16% dari keseluruhan infeksi nosokomial sehingga
menempati Infeksi Luka Operasi di posisi kedua setelah Infeksi Saluran
Kencing. Infeksi Luka Operasi (ILO) atau Infeksi Tempat
Pembedahan (ITP)/Surgical Site Infection (SSI) adalah infeksi pada
luka operasi atau organ/ruang yang terjadi dalam 30 hari paska operasi
atau dalam kurun 1 tahun apabila terdapat implant. Sumber bakteri
pada ILO dapat berasal dari pasien, dokter dan tim, lingkungan,
dan termasuk juga instrumentasi.
Prinsip pencegahan ILO adalah dengan :
1. Mengurangi resiko infeksi dari pasien.
2. Mencegah transmisi mikroorganisme dari petugas, lingkungan,
instrument dan pasien itu sendiri.
Kedua hal di atas dapat dilakukan pada tahap pra operatif, intra
operatif, ataupun paska operatif. Pencegahan ILO pada pasien
dilakukan dengan perawatan praoperasi, pencukuran rambut bila
mengganggu operasi, cuci dan bersihkan daerah sekitar tempat insisi
dengan antiseptik pada kulit secara sirkuler ke arah perifer yang harus
cukup luas. Antibiotik profilaksis terbukti mengurangi kejadian ILO
dan dianjurkan untuk indakan dengan resiko infeksi yang tinggi seperti
pada infeksi kelas II dan III. Selain itu, antibiotik profilaksis juga
diberikan jika diperkirakan akan terjadi infeksi dengan resiko yang
serius seperti pada pemasangan implan, penggantian sendi, dan operasi
yang lama. Selain itu, pada saat praoperatif harus juga diperhatikan
mengenai tindakan antiseptik pada lengan tim bedah, gaun operasi dan
drapping.
Pada tahap intra operatif, yang harus diperhatikan adalah bahwa
semakin lama operasi, resiko infeksi semakin tinggi, tindakan yang
mengakibatkan terbentuknya jaringan nekrotik harus dihindarkan,
pencucian luka operasi harus dilakukan dengan baik, dan bahan yang
digunakan untk jahitan harus sesuai kebutuhan seperti bahan yang
mudah diserap atau monofilamen.
Paska operasi, hal yang harus diperhatikan adalah perawatan
luka insisi dan edukasi pasien. Perawatan luka insisi berupa penutupan
secara primer dan dressing yang steril selama 24-48 jam paska operasi.
Dressing luka insisi tidak dianjurkan lebih dari 48 jam pada penutupan
primer. Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah penggantian
dressing. Jika luka dibiarkan terbuka pada kulit, maka luka tersebut
harus ditutup dengan kassa lembab dengan dressing yang steril.
3. Pneumonia Nosokomial (PNO)
Bakteri adalah penyebab yang tersering dari Pneumonia nosokomial.
Jenis kuman penyebab ditentukan oleh berbagai faktor antara lain
berdasarkan imunitas pasien, tempat dan cara pasien terinfeksi. Kuman
penyebab PNO sering berbeda jenisnya antara di ruangan biasa dengan
ruangan perawatan intensif (ICU): infeksi melalui slang infus sering
berupa Staphylococcus aureus sedangkan melalui ventilator Ps.
aeruginosa dan Enterobacter. PNO bakteril dapat dibagi atas onset awal
yaitu 48-72 jam pemasangan intubasi trakheal, bakteri penyebabnya
adalah Staphylococcus aureus, Haemophylus influenzae, Streptococcus
pneumoniae. Onset lebih lanjut yaitu lebih dari 72 jam sering disebabkan
oleh basil gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella
pneumoniae, escherichia coli, Serratia marcescens. Penyebab lain PNO
diantaranya virus dan fungus yaitu Candida albicans, Aspergillus
fumigatus. Penyebaran Infeksi karena adanya kolonisasi bakteri pada
traktus aerodigestive dan aspirasi sekret yang terkontaminasi di saluran
napas bawah.
Faktor resiko terjadinya infeksi ini adalah:
Tipe dan jenis pernapasan
Perokok berat
Tidak sterilnya alat-alat bantu
Obesitas
Kualitas perawatan
Penyakit jantung kronis
Penyakit paru kronis
Beratnya kondisi pasien dan kegagalan organ
Tingkat penggunaan antibiotika
Penggunaan ventilator dan intubasi
Penurunan kesadaran pasien

4. Bakteremia (CRBSI)
Infeksi ini berisiko tinggi. Karena dapat menyebabkan kematian.
Organisme penyebab infeksi : Terutama disebabkan oleh bakteri
yang resistan antibiotika seperti Staphylococcus dan Candida.
Penyebaran : Infeksi dapat muncul di tempat masuknya alat-alat
seperti jarum suntik, kateter urin dan infus.
Penyebab : Panjangnya kateter, suhu tubuh saat melakukan prosedur
invasif, dan perawatan dari pemasangan kateter atau infus.

DAFTAR PUSTAKA

Siregar, Charles., 2004. Farmasi Klinik Teori dan Penerapan. Buku kedokteran
EGC, Jakarta.
Hermawan Guntur, 2004. Perspektif Masa Depan Imunologi-Infeksi. Sebelas
Maret University Press, Surakarta.
Soeparman, dkk., 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI,
Jakarta
Parhusip, 2005. Jurnal Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi
Nosokomial Serta Pengendalian di BHG. UPF. Paru RS. Dr.
Pirngadi/Lab. Penyakit Paru FK-USU Medan. e-USU Repsoitory.
Anonim, 2011. Infeksi Nosokomial dan Kewaspadaan Universal, availalbe at
http://spiritia.or.id/, diakses tanggal 13 Februari 2011.
BAPEDAL. 1999. Peraturan tentang Pengendalian Dampak Lingkungan.
Jakarta.
Arifin.M, 2008, Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Kesehatan. FKUI,
Jakarta.
Depkes RI. 2002. Pedoman Umum Hygene Sarana dan Bangunan Umum.
Jakarta
Slamet Riyadi. 2000. Loka Karya Alternatif Ekologi Pengelolaan Sanitasi dan
Sampah. Alkatiri, S. 2009. Efektivitas Hasil Pengelolan Air Limbah
Rumah Sakit. UnAir.
Sarwanto, Setyo. 2009. Pedoman Teknik Analisa Mengenai dampak Lingkungan
Rumah Sakit : Limbah Rumah Sakit Belum Dikelolah Dengan Baik .
Jakarta : UI.
Kusnoputranto, H. 1993. Kualitas Limbah Rumah Sakit dan Dampaknya
terhadap lingkungan dan kesehatan dalam Seminar Rumah Sakit. Pusat
Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan, Universitas Indonesia
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR NOSOKOMIAL

A. Pengertian
Infeksi Nosokomial (Nosocomial Infections atau Hospital-Acquired
Infections) adalah suatu infeksi yang diperoleh/dialami pasien selama dia
dirawat di rumah sakit dan infeksi itu tidak ditemukan/diderita pada saat
pasien masuk rumah sakit
Infeksi Nosokomial sangat nyata merupakan penyebab kesakitan dan
kematian. Infeksi nosokomial dapat terjadi oleh karena tindakan
instrumenisasi ataupun intervensi pada saat dirawat di rumah sakit,
misalnya pemasangan kateter, infus, tindakan-tindakan operatif lainnya.
Infeksi oportunistik terjadi pada penderita yang mengalami immuno
compromise yang dirawat di rumah sakit, infeksi biasa berasal dari luar
dan dari dalam penderita sendiri yang disebabkan oleh kerusakan barier
mukosa.

B. Tujuan
Terjaganya higiene dan sanitasi perorangan maupun lingkungan dari
infeksi nosokomial pada produksi sampai distribusi makanan.

C. Prosedur
1. Setiap bahan makanan yang diterima harus sesuai dengan
spesifikasi yang telah ditentukan.
2. Bahan makanan yang diterima harus aman untuk dikonsumsi dan
bebas dari bakteri atau mikriorganisme yang patogen.
3. Persiapan bahan makanan disiapkan terpisah menurut kelompok,
yaitu lauk hewani nabati, sayur, buah dan santan
4. Pengolahan makanan dilaksanakan secara legalitas dengan
memperhatikan kebersihan alat, kesehatan perorangan, dan cara
pemasakaan serta pengamanan terhadap kemungkinan-
kemungkinan adanya jenis binatang/hewan pengganggu (kecoa,
tikus, kucing dll) dalam wadah tertutup.
5. Sampah sisa bahan makanan yang tidak terpakai ditempatkan pada
alat pembuangan sampah yang tertutup.
6. Distribusi/penyaluran makanan dilakukan secara sentral dengan
menggunakan peralatan makan dari stainless stell serta pelayanan
makanan sistim desentralisasi yang menggunakan alat non stainless
stell dan dibawa dengan kereta makan tertutup.
7. Peralatan distribusi dan penyaji makanan dicuci menggunakan
sabun dengan air mengalir dan dibilas dengan air panas
8. Tenaga penjamah makanan adalah tenaga yang tidak menderita
penyakit menular dan setiap tenaga penjamah makanan wajib
memakai perlengkapan kerja, mencuci tangan sebelum menjamah
makanan atau menggunakan alat pembagi (sendok, plastik) pada
saat mencicipi maupun membagi makanan.

Anda mungkin juga menyukai