Anda di halaman 1dari 8

Iman kepada hari Akhir merupakan salah satu rukun dari rukun iman, dan salah satu aqidah

dari
aqidah Islam yang pokok, karena masalah kebang-kitan di negeri akhirat merupakan landasan
berdirinya aqidah setelah masalah keesaan Allah Taala.

Iman kepada segala hal yang terjadi pada hari Akhir dan tanda-tandanya merupakan keimanan
terhadap hal ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh akal, dan tidak ada jalan untuk mengetahuinya
kecuali dengan nash melalui wahyu.
Karena pentingnya hari yang agung ini, kita dapati (di dalam al-Qur-an) bahwa Allah Taala
seringkali menghubungkan iman kepada-Nya dengan iman kepada hari Akhir, sebagaimana
Allah berfirman:

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian. [Al-Baqarah: 177]

Juga seperti firman-Nya:

Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari
Akhir. [Ath-Thalaaq: 2]

Dan masih banyak ayat yang lainnya.

Jarang sekali Anda membuka lembaran-lembaran al-Qur-an kecuali Anda akan dapati padanya
pembicaraan tentang hari Akhir dan apa yang ada di dalamnya berupa pahala dan siksa.

Kehidupan menurut pandangan Islam bukanlah sekedar kehidupan di dunia yang sangat pendek
dan terbatas, bukan pula sebatas umur manusia yang sangat pendek.

Sesungguhnya kehidupan menurut pandangan Islam sangatlah panjang, berlanjut sampai tidak
ada batasnya. Tempatnya pun berlanjut menuju tempat yang lain di dalam Surga yang luasnya
seluas langit dan bumi atau di dalam Neraka yang semakin meluas karena banyaknya generasi
yang menghuni bumi selama berabad-abad.[1]

Allah Taala berfirman:

Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabb-mu dan Surga yang
luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Rasul-Nya. [Al-Hadiid: 21]

Dan Allah berfirman:



(Dan ingatlah akan) hari (yang pada hari itu) Kami bertanya kepada Jahan-nam, Apakah kamu
sudah penuh? Dia menjawab, Masih ada tambahan? [Qaaf: 30]

Sesungguhnya beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan beriman ke-pada apa yang ada di
dalamnya berupa pahala dan siksaan adalah sesuatu yang benar-benar mengarahkan prilaku
manusia kepada jalan yang benar. Tidak ada satu undang-undang pun yang dibuat manusia,
mampu menjadikan prilaku manusia lurus dan istiqamah sebagaimana yang dihasilkan oleh iman
kepada hari Akhir.

Oleh karenanya, ada perbedaan yang sangat nampak antara prilaku orang yang beriman kepada
Allah dan hari Akhir, dia mengetahui bahwasanya dunia adalah ladang bagi kehidupan akhirat,
juga mengetahui bahwasanya amal shalih adalah bekal hari Akhir, sebagaimana difirmankan
oleh Allah Subhanahu wa Taala:

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. [Al-Baqarah: 197]

Juga sebagaimana dikatakan oleh seorang Sahabat yang mulia Umair bin Humam Radhiyallahu
anhu [2] :

Berlari (menghadap) Allah tanpa bekal


kecuali ketakwaan dan amal untuk hari Akhir.

Juga kesabaran dalam berjuang di jalan Allah,


Dan setiap bekal pasti akan hancur.

Kecuali ketakwaan, kebaikan dan petunjuk. [3]

Terdapat perbedaan antara prilaku orang yang keadaannya seperti itu dengan prilaku orang yang
tidak beriman kepada Allah, hari Akhir dan apa yang ada di dalamnya berupa pahala dan
siksaan. Maka orang yang membenarkan adanya hari Akhir akan beramal dengan melihat
timbangan langit bukan dengan timbangan bumi, dan dengan perhitungan akhirat bukan dengan
perhitungan dunia. [4] Dia memiliki prilaku yang istimewa di dalam kehidupannya, kita bisa
menyaksikan keistiqamahan di dalam dirinya, luasnya pandangan, kuatnya keimanan, keteguhan
di dalam segala cobaan, kesabaran di dalam setiap musibah, dengan mengharap pahala dan
ganjaran, serta yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal.

Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Shuhaib z, dia berkata, Rasulullah Shallallahu


alaihi wa sallam bersabda:





.

Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, semua urusannya adalah baik (baginya),
hal itu tidak akan didapatkan kecuali oleh orang yang beriman. Jika dia mendapatkan
kenikmatan, dia bersyukur maka hal itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia tertimpa musibah,
dia bersabar maka hal itu adalah kebaikan baginya. [5]

Manfaat seorang muslim tidak terbatas hanya untuk manusia saja, akan tetapi dirasakan pula oleh
hewan, sebagaimana ungkapan yang sangat terkenal dari Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu
anhu :

Seandainya ada seekor keledai terjatuh di Irak, sungguh aku yakin bahwa Allah akan bertanya
kepadaku (di hari Kiamat) tentangnya, Kenapa engkau tidak membuatkan jalan untuknya wahai
Umar? [6]

Perasaan seperti ini adalah buah dari keimanan kepada Allah dan hari Akhir, perasaan beratnya
beban dan besarnya amanah yang dipikul manusia. Di mana langit, bumi, dan gunung merasa iba
untuk menerimanya, karena dia tahu bahwa segala hal; baik yang kecil atau yang besar akan
dimintai pertanggungjawaban, akan diperhitungkan dan akan dibalas. Jika baik maka baik pula
balasannya, jika jelek maka jelek pula balasannya:

Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu
(juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada
masa yang jauh [Ali Imran: 30]

Dan diletakkanlah Kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa
yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, Aduhai celaka kami, Kitab apakah ini yang
tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya;
dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak
menganiaya seorang pun juga. [Al-Kahfi: 49]

Adapun orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir serta apa yang ada di dalamnya,
baik perhitungan maupun pembalasan, maka dia akan selalu berusaha dengan keras untuk
mewujudkan segala keinginannya dalam kehidupan dunia, terengah-engah di belakang
perhiasannya, rakus dalam mengumpulkannya, dan sangat pelit jika orang lain ingin
mendapatkan kebaikan melaluinya. Dia telah menjadikan dunia sebagai tujuannya yang paling
besar, dan puncak dari ilmunya (pengetahuannya). Dia mengukur setiap perkara dengan
kemaslahatannya semata, tidak mempedulikan orang lain dan tidak pernah melirik sesamanya
kecuali dalam batasan-batasan yang dapat mewujudkan manfaat bagi dirinya pada kehidupan
yang pendek dan terbatas ini. Dia bergerak dengan menjadikan bumi dan umur sebagai
batasannya saja. Oleh karena itu, sistem perhitungan dan pertimbangannya pun berubah-ubah
dan akan berakhir dengan hasil yang salah [7]; karena dia menganggap bahwa hari Kebangkitan
itu tidak mungkin terjadi:

Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus-menerus. Ia berkata, Bilakah hari Kiamat
itu? [Al-Qiyaamah: 5-6]

Inilah cara pandang Jahiliyyah, terbatas dan sangat sempit. Cara pandang ini telah menjadikan
mereka berani melakukan pembunuhan, merampas harta, dan merampok. Hal ini disebabkan
karena mereka tidak beriman kepada hari Kebangkitan dan hari Pembalasan, sebagaimana yang
digambarkan Allah Taala tentang keadaan mereka dalam firman-Nya:

Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja,
dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan. [Al-Anaam: 29]

Persis seperti ungkapan mereka, Ia (kehidupan) hanyalah rahim-rahim yang melahirkan dan
bumi yang menelan.

Masa terus berlalu, dan datanglah suatu keanehan, maka pengingkaran terjadi semakin besar.
Kita dapat menyaksikan pengingkaran yang menyeluruh terhadap sesuatu yang ada di belakang
materi yang dirasakan panca indera, sebagaimana dinyatakan oleh kaum komunis marxis (atheis)
yang mengingkari adanya pencipta, tidak beriman kepada Allah dan tidak mengimani adanya
hari Akhir. Faham ini mengatakan bahwa kehidupan hanyalah materi belaka! Tidak ada hal lain
di belakang materi yang bisa dirasakan ini; karena pemimpin mereka (Marxis) berpendapat tidak
adanya tuhan! Dan kehidupan hanya sebatas materi! Oleh karena itu, keberadaan mereka
bagaikan hewan; tidak bisa memahami makna kehidupan dan tujuan mereka diciptakan, bahkan
mereka tersesat lagi binasa. Jika mereka bersatu pun, maka sebenarnya mereka berada di bawah
bayangan rasa takut dari kekuasaan hukum.

Anda dapati golongan manusia seperti ini masuk ke dalam golongan manusia yang sangat rakus
terhadap kehidupan dunia, karena mereka tidak mengimani adanya kebangkitan setelah
kematian. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Taala ketika mensifati orang-orang musyrik
dari kalangan Yahudi dan yang lainnya:

Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling tamak (rakus) terhadap
kehidupan (di dunia), bahkan (lebih rakus lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing
mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan
menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. [Al-Baqarah:
96]

Orang musyrik tidak mengharapkan adanya kebangkitan setelah kematian. Dia menginginkan
kehidupan dunia yang terus-menerus, sementara orang Yahudi mengetahui segala kehinaan yang
akan mereka dapatkan di akhirat, disebabkan apa yang mereka perbuat terhadap ilmu yang
mereka ketahui [8]. Manusia seperti ini dan yang serupa dengannya adalah manusia yang paling
buruk. Sehingga Anda akan dapati sesuatu yang menyebar di kalangan mereka berupa
keserakahan, ketamakan, memaksa rakyat dan menjadikannya budak, dan mengambil kekayaan
mereka karena kerakusan untuk menikmati kehidupan dunia. Karena itulah nampak dari mereka
hilangnya akhlak, dan prilaku yang seperti hewan.

Jika mereka memandang kehidupan dunia, bertambahlah rasa lelah dan rasa sakit atas apa yang
mereka harapkan dari kenikmatannya yang segera. Sementara tidak ada satu pun penghalang
yang bisa menahan mereka dari kematian, karena mereka tidak yakin sama sekali akan adanya
pertanggungjawaban di akhirat dan mereka tidak memiliki beban apa pun untuk mengakhiri
kehidupannya.

Karena itulah Islam sangat memperhatikannya. Terdapat penekanan dalam al-Qur-an tentang
keimanan terhadap hari Akhir, dan penetapan adanya kebangkitan, hisab serta balasan. Allah
mengingkari sikap mereka yang menganggap bahwa hari Akhir itu mustahil, dan Dia
memerintahkan Nabi-Nya agar bersumpah bahwa hal ini adalah haq (benar):

Katakanlah (Muhammad), Memang, demi Rabb-ku, benar-benar kamu akan dibangkitkan,


kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah. [At-Taghaabun: 7]

Dan Allah menyebutkan keadaan hari Kiamat, pahala yang dijanjikan bagi para hamba-Nya yang
bertakwa, juga siksa yang diancamkan kepada orang-orang yang melakukan kemaksiatan. Dia
mengarahkan pandangan orang-orang yang mengingkarinya kepada bukti-bukti kebenarannya
agar keraguan hati terhadapnya benar-benar hilang dan menjadikan hati mereka yakin tentang
hari Kiamat dan kengeriannya yang menggetarkan badan. Hal itu agar prilaku mereka dalam
kehidupan ini menjadi lurus dengan mengikuti agama yang haq yang dibawa oleh Rasul mereka
Shallallahu alaihi wa sallam. Berikut ini beberapa bukti kebenaran tersebut.

1.Penciptaan yang Pertama


Allah Taala berfirman:

Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah)
sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian
dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sem-purna kejadiannya dan yang
tidak sempurna. [Al-Hajj: 5]
Barangsiapa sanggup menciptakan manusia dalam beberapa tahapan, niscaya tidak akan
menyulitkan dia untuk menghidupkannya kembali (setelah mati), bahkan menghidupkan kembali
lebih mudah daripada memulainya menurut hukum akal, sebagaimana difirmankan oleh Allah
Subhanahu wa Taala:

Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa pada kejadiannya; ia berkata, Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh? Katakanlah, Ia akan
dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui
tentang segala makhluk. [Yaasiin: 78-79]

2. Bukti-Bukti Alam yang Bisa Dirasakan Menunjukkan Adanya Hari Kebangkitan


Allah Taala berfirman:

Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya,
hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang
indah. Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang haq dan sesungguhnya Dia-
lah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu, dan sesungguhnya hari Kiamat itu pastilah datang, tidak ada ke-raguan padanya; dan
bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur. [Al-Hajj: 5-7]

Menghidupkan tanah yang telah mati dengan hujan dan munculnya tumbuh-tumbuhan di atasnya
merupakan bukti kekuasaan al-Khaliq k untuk menghidupkan yang telah mati dan adanya hari
Kiamat.

3. Kebesaran dan Keagungan Kekuasaan Allah dalam Menciptakan Makhluk-Nya yang Besar
Allah Taala berfirman:

Bukankah Rabb yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa men-ciptakan yang serupa
dengan itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dia-lah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui.
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya,
Jadilah! maka terjadilah ia. [Yaasiin: 81-82]

Maka, Pencipta langit dan bumi dengan segala kebesaran keduanya sanggup untuk
mengembalikan penciptaan manusia yang kecil, sebagaimana diungkap dalam firman-Nya:





Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Ghaafir: 57]

4. Hikmah Allah Taala yang Nampak Jelas oleh Mata dalam Seluruh Ciptaan-Nya bagi Orang
yang Diberikan Kenikmatan Memandang dan Berfikir yang Lepas dari Sikap Fanatik juga
(Mengikuti) Hawa Nafsu
Allah Yang Mahabijaksana tidak akan pernah membiarkan manusia dalam keadaan sia-sia. Tidak
juga menciptakan mereka main-main, tanpa perintah, larangan juga tanpa balasan atas amal yang
mereka lakukan.

Allah Taala berfirman:

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main
(saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Mahatinggi Allah, raja
yang sebenarnya [Al-Mu-minuun: 115-116]

Allah Taala berfirman:

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan
main-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan
mereka tidak mengetahui. [Ad-Dukhaan: 38-39]

Maka jelaslah bahwa orang yang mengarahkan pandangannya pada keajaiban-keajaiban


penciptaan ini, mentadabburi (mengamati) keteraturan yang ada di dalamnya, dan (meyakini)
segala sesuatu diciptakan dengan ukurannya masing-masing dan dengan tujuan tertentu serta
waktu yang membatasi dalam mewujudkan tujuan ini. Jika seperti itu keadaannya berarti ia
berjalan di atas jalan (manhaj) yang dikehendaki oleh Allah kepadanya.

Sesungguhnya pengamatan pada alam yang menakjubkan ini bisa memperlihatkan kepada kita -
selain luasnya ilmu Allah dan kebesaran kekuasaan-Nya- hikmah-Nya yang sangat tinggi,
sehingga Allah tidak akan membiarkan manusia yang kuat berlaku zhalim kepada yang lemah di
antara mereka tanpa ada ancaman/balasan, dan tidak membiarkan orang-orang yang berpaling
dari jalan yang benar tanpa ada balasan yang pantas mereka dapatkan di belakang kehidupan ini.
Demikian pula orang-orang yang telah mengkhususkan ke-sungguhan mereka dengan tidak
menahan usahanya dalam beramal mencari keridhaan Rabb mereka. Allah tidak akan biarkan
mereka tanpa mendapat keutamaan dari-Nya dan nikmat yang dilimpahkan kepada mereka di
hari Akhir atas apa yang mereka ketahui bahwa segala harta yang mereka korbankan, dan
kesulitan yang mereka pikul di kehidupan dunia mereka hanya merupakan sesuatu yang sangat
tidak berarti jika dibandingkan dengan pahala juga kenikmatan Surga yang tidak pernah
dipandang mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah terlintas di dalam hati manusia.
Sesungguhnya jika manusia menghayati Sunnatullah di alam ini, juga keagungan hikmah-Nya,
perhatian-Nya yang besar terhadap manusia dan kemuliaan yang diberikan kepadanya, niscaya
hal itu akan mendorong mereka untuk beriman kepada hari Akhir. Maka saat itu rasa egois tidak
akan betah di wajahnya yang penuh kebencian, tidak akan rakus dalam mencari kehidupan dunia,
bahkan ia akan selalu saling membantu dalam ketakwaan dan kebaikan.

[Disalin dari kitab Asyraathus Saaah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil
Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah
Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat kitab al-Yaumul Aakhir fi Zhilaalil Qur-aan (hal. 3-4) yang disusun oleh Ahmad Fa-iz,
Mathbaah Khalid Hasan ath-Tharabisyi, cet. I th. 1395 H.
[2]. Umair bin Humam bin al-Jamuh bin Zaid al-Anshari Radhiyallahu anhu. Beliau gugur pada
perang Badar, dan dialah yang melemparkan beberapa biji kurma ketika Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda:
: : . :.


. : . : .

.
Bersegeralah kalian menuju Surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Dia (Umair) berkata,
Bakhin, bakhin (ungkapan yang digunakan untuk mengagungkan sesuatu,-penj.). Lalu
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertanya, Apa yang mendorongmu untuk mengatakan
bakhin, bakhin? Dia menjawab, Demi Allah wahai Rasulullah, tidak (ada yang mendorongku)
kecuali harapan (semoga) aku menjadi penghuninya. Rasul berkata, Sesungguhnya engkau
termasuk penghuninya. Dia berkata, Jika aku masih hidup sampai aku memakan kurma-kurma
ini, maka sungguh ia adalah kehidupan yang pan-jang. Kemudian dia melemparkan kurma-
kurmanya dan berperang hingga akhirnya dia gugur.
Lihat Shahiih Muslim kitab al-Amaaraat bab Tsubuutul Jannah lisy Syahiid (XIII/ 45-46, Syarah
an-Nawawi) dan Tajriidu Asmaa-ish Shahaabah (I/422), karya Imam adz-Dzahabi, cet. Darul
Marifah, Beirut. Dan Fiq-hus Siirah (hal. 243-244), karya Syaikh Muhammad al-Ghazali, tahqiq
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Hassan, disebarluaskan oleh Darul Kutub al-
Haditsah, cet. VII th. 1976 M.
[3]. Fiq-hus Siirah (hal. 244), karya al-Ghazali.
[4]. Al-Yaumul Aakhir fii Zhilaalil Qur-aan (hal. 20).
[5]. HR. Muslim, kitab az-Zuhd, bab fii Ahaadiits Mutafarriqah (XVIII/125, Syarh an-Nawawi).
[6]. HR. Abu Nuaim dengan lafazh:



.
Seandainya seekor kambing mati di tepi sungai Furat karena tersesat, aku yakin bahwa Allah
akan bertanya kepadaku tentangnya pada hari Kiamat. Hilyatul Auliyaa wa Thabaqaatul
Ashfiyaa (I/53), cet. Darul Kutub al-Arabi.
[7]. Lihat kitab al-Yaumul Aakhir fi Zhilaalil Qur-aan (hal. 20).
[8]. Lihat Tafsiir Ibni Katsir (I/184), tahqiq Abdul Aziz Ghanim dan dua temannya, cet. asy-
Syabi Kairo.

Anda mungkin juga menyukai