Ajaran kausalitas adalah suatu ajaran yang berusaha untuk mencari jawaban dari masalah seperti peristiwa tertentu, yang mencari timbulnya hubungan sebab akibat. Ajaran kausalitas dapat membantu para praktisi hukum terutama hakim untuk mencari dan menentukuan ada atau tidak adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat yang timbul. Bahwa ajaran kausalitas selain penting dalam hal mencari dan untuk menentukan adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dan akibat dalam tindak pidana materiil, juga penting dalam hal mencari dan menentukan adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat dalam tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur akibatnya. Tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur akibatnya ialah suatu tindak pidana bentuk pokok yang ditambahkan dengan suatu unsur khusus yakni unsur akibat yang timbul dari perbuatan, baik unsur akibat yang menjadikan tindak pidana lebih berat maupun menjadi lebih ringan.
B. MACAM-MACAM AJARAN KAUSALITAS
Dalam rangka untuk mencari faktor mana yang terjadi dalam suatu peristiwa yang ada hubungan sebab akibatnya, maka digunakanlah ajaran kausalitas. Ada beberapa macam ajaran kausalitas, yang dapat dikelompokan kedalam 3 teori yang besar, yaitu :
1. Teori conditio sine qua non.
Teori ini berasal dari Von Buri, seorang ahli hukum Jerman yang pernah menjabat sebagai Presiden Reichtsgericht (Mahkamah Agung Jerman). Tentang ajaran yang pertama kali dicetuskan oleh beliau dalam tahun 1873 ini, menyatakan bahwa penyebab adalah semua faktor yang ada dan tidak dapat dihilangkan untuk enimbulkan suatu akibat. Menurut teori ini, tidak membedakan mana faktor syarat dan yang mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya. Teori ini disebut juga dengan teori ekivalensi atau bedingungtheorie. Disebut dengan teori ekivalansi, oleh karena ajaran Von Buri ini menilai semua fakor adalah sama pentingnya terhadap timbulnya suatu akibat. Disebut dengan bedingungtheorie oleh karena dalam ajaran ini tidak membedakan antara faktor syarat (bedingung) dan mana faktor penyebab (Causa)
2. Teori Yang Mengindividualisir
Teori yang mengindividualisir, ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan. Dengan kata lain setelah peristiwa itu besarta akibatnya benar-benar terjadi secara konkrit. Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi, maka di antara sekian rangkaian faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupakan faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah hanya berupa faktor yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat, sedangkan faktor lain adalah dinilai sebagai faktor syarat saja dan bukan sebagai faktor penyebab.
3. Teori Yang Menggeneralisir
Teori yang menggeneralisir adalah teori yang dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat adalah dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Jadi mencari faktor penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman pada umumnya menurut akal kewajaran manusia atau disebut secara abstracto, tidak secara inconcret. Teori yang menggeneralisir, kemudian dibagi menjadi dua yaitu teori Adequat Subyektif, dan Teori Adequat Obyektif. Teori Adequat Subyektif, Teori ini menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian yang normal adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul, yang faktor mana diketahui atau disadarai oleh si pembuat sebagai adequat untuk menimbulkan akibat tersebut. Sedangkan dalam teori Adequat Obyektif, tidak memperhatikan bagaimana sikap batin si pembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada faktor-faktor yang ada setelah (post factum) peristiwa senyawanya beserta akibat terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal (obyektif) faktor- faktor itu dapat menimbulkan akibat. C. AJARAN KAUSALITAS DALAM HAL PERBUATAN PASIF Dilihat dari macam unsur tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan antara tindak pidana aktif atau tindak pidana positif (tindak pidana comisi) dan tindak pidana pasif atau tindak pidana negatif (tindak pidana omisi). Tindak pidana omisi adalah tindak pidana yang wujudnya oleh sebab perbuatan pasif atau tidak berbuat aktif, tidak berbuat mana melanggar suatu kewejiban hukum (rechtsplicht) untuk berbuat sesuatu. Apakah ajaran kausalitas berlaku juga pada tindak pidana pasif ? untuk tindak pidana pasif murni tidaklah merupakan persoalan, oleh sebab tindak pidana pasif murni tersebut adalah murni berupa tindak pidana formil, yang dalam hal terwujudnya tindak pidana tidak penting akibat atau tidak bergantung pada akibat. Tindak pidana pasif yang tidak murni adalah berupa tindak pidana pasif yang terjadi pada tindak pidana materiil. Sebagaimana diketahui bahwa pada tindak materiil tertentu dapat terjadi dengan tidak berbuat. Mengenai ajaran sebab akibat (kausalitas) dengan perbuatan pasif terdapat beberapa pandangan a. Pandangan pertama, pada mulanya timbul pandangan yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan alam. Berdasarkan pandangan ini maka tidak mungkin ada hubungan antara sebab akibat dengan tidak melakukan perbuatan (aktif) atau tidak mungkin tidak berbuat apapun dapat menimbulkan suatu akibat. b. Pandangan kedua. Pandangan yang disebut dengan theorie van anders doen atau teori berbuat lain, yaitu didasarkan bahwa perbuatan aktif itu adalah perbuatan apa yang dilakukan pada saat terwujudnya suatu akibat terlarang. c. Pandangan ketiga, pandangan yang ketiga ini adalah apa yang dimaksud dengan theorie van bet voorafgaande doen atau teori berbuat sebelumnya. Menurut teori ini, yang harus dipandang sebagai sebab daripada akibat adalah perbuatan yang mendahukui pada saat terwujudnya akibat. d. Pandangan keeempat, pandangan keempat ialah didasarkan pada kewajiban hukum yang dimiliki seseorang yang pada waktu dan keadaan terentu diwajibkan oleh hukum harus berbuat. Apabila karena hukum seseorang wajib berbuat, dan kemudian dia tidak berbuat yang menimbulkan akibat, maka sebab dan akibat itu adalah terletak pada dimilikinya kewajiban hukum tersebut.