Anda di halaman 1dari 4

1.

pH
pH (potential of Hydrogen) merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang
menyatakan keasaman suatu larutan. pH sebuah perairan menyatakan tingkat keasaman pada
sebuah perairan. pH air sungai berkisar 4 - 9. Kisaran pH yang cocok buat organism akuatik
tidak sama tergantung pada jenis organisma tersebut (Cech 2005). Perubahan pH menjadi hal
yang peka bagi sebagian besar biota akuatik. Organisma akuatik lebih menyukai pH mendekati
pH netral. Pada musim hujan, nilai pH cenderung lebih tinggi mungkin akibat akumulasi
senyawa karbonat dan bikarbonat sehingga air sungai lebih basa (Sundra, 2010).

pH mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi proses kimia dan biologi. Jika
nilai pH berada di bawah standar baku mutu maksimum maka kualitas air/ sedimen bersifat
acid (asam). Begitupun jika nilai pH berada di atas standar baku mutu maksimum maka kualitas
air/sedimen bersifat alkali (basa). Perubahan keasaman pada air, baik ke arah alkali (pH naik)
maupun ke arah asam (pH turun), akan sangat mengganggu kehidupan organisme air di
sekitarnya, baik langsung maupun tidak langsung. Akibat langsung adalah kematian ikan,
burayak, telur, dan lain-lainnya, serta mengurangi produktivitas primer. Selain itu, air dengan
pH rendah bersifat sangat korosif terhadap baja dan sering menyebabkan pengkaratan pada
pipa-pipa besi.

Fluktuasi nilai pH dipengaruhi oleh adanya buangan limbah organik dan anorganik ke
sungai (Yuliastuti, 2011). Nilai pH air yang normal adalah sekitar normal, yaitu 6 hingga 8,
sedangkan air yang terpolusi, misalnya air buangan, berbeda-beda tergantung dari jenis
buangannya. Sebagai contoh, air buangan pabrik pengalengan mempunyai pH 6.2 7.6, air
buangan produk susu biasanya memiliki pH 5.3 7.8, air buangan pabrik bier mempunyai pH
5.5 7.4, sedangkan air buangan pabrik pulp dan kertas biasanya memiliki pH 7.6 9.5
(Fardiaz, 1992).

Pada industri-industri makanan, peningkatan keasaman air buangan umumnya


disebabkan oleh kandungan asam-asam organik. Air buangan industri-industri bahan anorganik
pada umumnya mengandung asam mineral dalam jumlah yang tinggi sehingga keasamannya
juga tinggi atau pHnya rendah. Adanya komponen besi sulfur (FeS2) dalam jumlah tinggi di
dalam air juga akan meningkatkan keasamannya karena FeS2 dengan udara dan air akan
membentuk H2SO4 dan besi (Fe) yang larut (Fardiaz, 1992).
2. Suhu
Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya panas yang terkandung
dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama panas dalam air laut adalah matahari. Setiap
detik matahari memancarkan panas sebanyak 1026 kalori dan setiap tempat di bumi yang tegak
lurus ke matahari akan menerima panas sebanyak 0,033 kalori perdetik (Hutagalung, 1988).
Suhu terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah panas yang diterimanya
dari matahari. Daerah-daerah yang paling banyak menerima panas dari matahari adalah daerah-
daerah yang terletak pada lintang 0. Tinggi rendahnya suhu berkaitan dengan interaksi udara
dan air, bila udara panas dan banyaknya air panas yang dibuang ke sungai maka akan
menyebabkan suhu menjadi naik (Hary dan Yulianti, 2010).
Suhu sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Suhu perairan akan
mempengaruhi kelarutan oksigen, komposisi substrat, kekeruhan maupun kecepatan reaksi
kimia di dalam air. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air.
Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan metabolisme dan respirasi organisme air dan
selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen (Effendi, 2003). Kisaran suhu
optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 200C 300C (Effendi, 2003). Air
sebagai lingkungan hidup organisme air relatif tidak begitu banyak mengalami fluktuasi suhu
dibandingkan dengan udara, hal ini disebabkan panas jenis air lebih tinggi daripada udara.
Artinya untuk naik 1C, setiap satuan volume air memerlukan sejumlah panas yang lebih
banyak dari pada udara. Pada perairan dangkal akan menunjukkan fluktuasi suhu air yang lebih
besar dari pada perairan yang dalam. Sedangkan organisme memerlukan suhu yang stabil atau
fluktuasi suhu yang rendah. Agar suhu air suatu perairan berfluktuasi rendah maka perlu
adanya penyebaran suhu.
Kebanyakan organisme air bersifat poikilotermik (berdarah dingin) artinya tidak dapat
mengatur suhu tubuhnya sendiri. Suhu tubuh organisme poikilotermik ini sangat tergantung
pada suhu air tempat hidupnya. Oleh karena itu adanya perubahan suhu air akan berakibat
buruk terhadap organisme perairan. Perubahan suhu air yang lebih tinggi dari suhu ambang
batas atas (upper lethal limit) atau lebih rendah dari ambang batas bawah (lower lethal limit)
akan mengakibatkan kematian massal organisme. Kematian massal berbagai organisme
perairan akibat perubahan suhu yang besar sudah sering terjadi. Sebagai contoh adalah
kematian 11 spesies dari 13 spesies binatang karang di Hawaii akibat kenaikan suhu air laut
sekitar 5 6C.
Kenaikan suhu air akan menimbulkan beberapa akibat seperti berikut (Fardiaz, 1992).:
a. Kadar oksigen terlarut di perairan menurun
b. Kecepatan reaksi kimia meningkat
c. Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu
d. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, akan menyebabkan kematian
3. DO (Dissolved Oxygen)

Oksigen terlarut dalam perairan merupakan konsentrasi gas oksigen yang terlarut di
dalam air yang berasal dari proses fotosintesis oleh fitoplankton atau tumbuhan air lainnya di
zona eufotik, serta difusi dari udara (APHA, 1998). Menurut Effendi (2003) sumber oksigen
terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer dan aktivitas fotosintesis
oleh tumbuhan air. Menurut Boyd, 1991 dalam Puspitaningrum dkk (2002) proses fotosintesis
mempunyai manfaat penting dalam akuakultur, di antaranya adalah menyediakan sumber
bahan organik bagi tumbuhan itu sendiri serta sumber oksigen yang digunakan oleh semua
organisme dalam ekosistem perairan. Oleh karena itu, jika ketersediaan oksigen tidak memadai
maka akan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan perairan dan mengganggu
kehidupan di dalamnya.
Kualitas air berdasarkan kadar oksigen terlarut ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Status Kualitas Air Berdasarkan Kadar Oksigen Terlarut
No Kadar Oksigen Status Kualitas Air
Terlarut (mg)
1 > 6.5 Tidak tercemar sampai tercemar
ringan
2 4.5 6.4 Tercemar ringan
3 2.0 4.4 Tercemar sedang
4 < 2.0 Tercemar berat
Sumber: Lee, 1978

Menurut Sutika (1989) penurunan oksigen dalam air disebabkan oleh proses kimia, fisika
dan biologi yaitu proses respirasi baik oleh hewan maupun tanaman, proses penguraian
(dekomposisi) bahan organic dan proses penguapan. Penurunan oksigen terlarut di sungai
disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah mikroorganisme yang menguraikan zat organik
yang terdapat pada air buangan, seiring dengan aliran sungainya yang tenang maka di hulu
sungai kandungan DO lebih besar dari pada di hilir sungai. Semakin kecil nilai oksigen terlarut
di dalam perairan maka sungai tersebut dapat diprediksikan sebagai sungai yang tercemar
(Hary dan Yulianti, 2010).
Referensi:

APHA. 1998. Standards Methods for The Examination of Water and Wastewater. Washington
D. C.
Boyd, C. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Alabama: Department of
Fisheries and Allied Aquacultures, Auburn University.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Hutagalung, Horas P. 1988. Pengaruh Suhu Air terhadap Kehidupan Organisme Laut. Jurnal
Oseana, Vol. XIII No. 4: 153-164

Lee. 1978. Benthic Macroinvertebrate and Fish as Biological Indicator of Water Quality With
Reference to Community Diversity Development Countries. Bangkok.
Pradiko, Hary. Yulianti. 2010. Analisis Kualitas Air dan Sedimen di Daerah Muara Sungai
Cipalabuhan. Jurnal INFOMATEK Vol. 12 No. 4
Puspitaningrum, M., Izzati, M., & Haryanti, S. 2012. Produksi dan Konsumsi Oksigen Terlarut
oleh Beberapa Tumbuhan Air. Semarang: Jurnal Biologi FMIPA Universitas
Diponegoro.
Sutika, N., 1988. Ilmu Air. Universitas Padjadjaran. UNPAD Bandung. Bandung.
Cech TV. 2005. Principles of Water Resources: History, Development, Management, and
Policy. Ed ke-2. Hoboken:John Wiley & Sons
Fardiaz, Srikandi. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius: Yogyakarta

Sundra, I. K. 2001. Studi kualitas perairan Sungai Nyuling di Karangasem ditijnjau dari aspek
fisik kima dan mikrobiologi. J Biologi 5 (1):9-20.

Yuliastuti, E. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam Upaya
Pengendalian Pencemaran Air. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro,
Semarang.

Anda mungkin juga menyukai