Anda di halaman 1dari 22

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017

MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN


ANTROPOLOGI

BAB IV
MEMAHAMI KESAMAAN DAN KEBERAGAMAN
BAHASA DAN DIALEK

Drs. Martinus Legowo, M.A


Drs. FX. SRi Sadewo, M.Si
Arief Sudrajat, S.Ant, M.Si

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2017
BAB IV

MEMAHAMI KESAMAAN DAN KEBERAGAMAN BAHASA DAN DIALEK

A. Kompetensi Inti Guru (KI) :


Memahami kesamaan dan keberagaman bahasa dan dialek
B. Kompetensi Guru Mata Pelajaran (KD) :
Mengamati bahasa dan dialek yang digunakan oleh masyarakat
Menjelaskan keterkaitan antara bahasa dan dialek
Menjelaskan keberadaan dan perkembangan tradisi lisan dalam masyarakat
setempat
Mengidentifikasi bahasa-bahasa yang terdapat di Indonesia serta menunjukkan
karakteristik dan wilayahnya
Mengembangkan sikap kepedulian terhadap bahasa, dialek dan tradisi lisan
C. KKD
D. MATERI

Semua manusia normal dilahirkan dengan bekal kemampuan untuk berkomunikasi


dengan sesama melalui bahasa. Besar kemungkinannya, manusia akan menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk melakukan komunikasi setiap hari. Tidak bisa dipungkiri
bahwa bahasa merupakan unsur budaya yang menjadi bagian paling dominan dalam
kehidupan manusia. Bahasa menjadi bagian inti dari setiap kehidupan kita yang
melibatkan setiap-hal yang kita lakukan. Segala sesuatu yang kita lakukan pasti akan
melibatkan bahasa dalam proses berlangsungnya aktifitas tersebut.

Kami mendefinisikan bahasa sebagai sebuah sistem komunikasi yang menggunakan


suara dan atau gerakan (gesture) yang disatukan melalui aturan tertentu, sehingga
makna yang disampaikan dapat dimengerti semua orang yang berbagi bahasa tersebut.
Suara dan gerak tubuh umumnya dimasukan ke dalam kategori simbol (didefinisikan
sebagai tanda, suara, gerakan atau hal lain yang dibentuk secara sewenang-wenang
terkait dengan hal lain untuk membutuk atau mewakili sesuatu yang berarti atau
bermakna). Sebagai contoh adalah kata marah/menangis adalah simbol, kombinasi
suara yang telah kita sisipkan untuk mengiringi kata tersebut akan mengacu pada makna
dari suatu tindakan tertentu. Kita dapat menggunakannya untuk berkomunikasi
mengenai makna tersebut di sekitar mengenai makna sebenarnya tentang kita menangis
atau marah. Ungkapan sinyal, tidak seperti simbol yang perlu dipelajari secara budaya,
adalah suara naluriah dan gerakan yang memiliki makna alamiah atau jelas, mengacu

1
pada karakteristik kondisi yang nyata. Sebagai contoh adalah, jeritan, tanda-tanda, atau
batuk, adalah sinyal nyata yang dapat menyampaikan semacam keadaan emosional atau
fisik yang sebenarnya.

Oleh sebab itu, bahasa merupakan salah satu unsur budaya yang sangat penting dan
mendasar. Tanpa kehadirannya, unsur budaya lainnya seperti agama, hubungan
keluarga, proses penciptaan teknologi atau yang lain, menjadi sesuatu yang tidak
mungkin diadakan. Sebagai contoh, prosesi agama apapun tidak akan berjalan tanpa
kehadiran bahasa dalam bentuk doa-doa atau kategorisasi mengenai benda-benda
sakral dan profan. Kita juga tidak dapat membedakan anggota keluarga yang lain beserta
aturan perkawinannyas tanpa adanya bahasa. Dengan menggunakan kode-kode simbol
yang sudah disepakati bersama, bahasa menjadi medium dalam mempertukarkan
berbagai ide-ide dan pikiran yang ada di dalam benak individu atau masyarakat. Dalam
jangka waktu yang lama, bahasa merupakan alat yang dapat digunakan untuk
mengakumulasikan, menyimpan, memanipulasi dan mewariskan pengetahuan yang
diperoleh masyarakat. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana eksistensi budaya
hingga saat ini tanpa kehadiran bahasa.

Secara umum, keberadaan bahasa yang kita temukan di seluruh kebudayaan yang
ada di dunia memiliki karakteristik yang sama yaitu terdiri dari seperangkat sistem
simbol mengenai suara, aturan-aturan dan makna. Kaitan antara simbol bahasa (tulisan
maupun ujaran) dan makna terjadi mengacu pada watak bahasa itu sendiri yaitu secara
arbiter (manasuka). Artinya, kaitan-kaitan tersebut terjadi begitu saja secara bebas
tanpa didasarkan pada sistem logika atau rasional tertentu. Mengapa sosok binatang
yang memiliki suara "meong" disimbolkan dengan tulisan "kucing" bukan "sapi". Apakah
salah kalau binatang bersuara "meong" itu disimbolkan dengan tulisan "daun". Dalam
proses arbiter (manasuka), kaitan-kaitan tersebut dapat terjadi secara bebas dan liar
karena lebih didasarkan pada konsensus seluruh anggota masyarakat. Jika masyarakat
sepakat, bahwa makna binatang yang bersuara "meong" disimbolkan dengan tulisa
"daun", maka kaitan itu tetap sah dan menjadi rujukan utama. Oleh sebab itu, makna
yang sama seperti keberadaan binatang yang bersuara "meong" dapat diwujudkan
dalam bentu simbol tulisan yang berbeda seperti "cat" dalam Bahasa Inggris. Atau
contoh yang lain adalah simbol tulisan "cow", kalau dalam bahasa inggris mengacu pada

2
binatang yang besar, dipelihara di rumah dan diambil manfaatnya berupa susu. Namun
bagi masyarakat di Afrika Timur, tulisan "cow" mengacu pada nama anak-anak yang
diberikan oleh kakek mereka bukan sosok binatang dalam pemahaman Bahasa Inggris.

Melalui kajian terhadap proses bagaimana bahasa dibentuk, maka tidaklah


mengherankan bilamana jumlah bahasa yang ada saat ini sangat beragam mengacu pada
jumlah masyarakat yang ada. Menurut ahli bahasa, jumlah bahasa yang tersebar di
seluruh dunia diperkirakan sejumlah enam ribu bahasa. Kriteria yang digunakan adalah
mengacu pada jarak jangkauan bahasa tersebut dapat saling dipahami. Bila di lapangan
ditemukan masyarakat yang anggota-anggotanya dapat saling memahami terhadap
berbagai simbol yang diucapkan atau dituliskan maka dapat disimpulkan bahwa anggota
masyarakat tersebut menggunakan bahasa yang sama. Namun sebaliknya, bila satu
dengan yang lain tidak saling memahami, maka dapat disimpulkan bahwa mereka
menggunakan bahasa yang berbeda.

Keberadaan bahasa yang sangat beragam adakalanya dapat kita gunakan sebagai
cara yang sangat efektif untuk mengidektifikasi mengenai asal-usul jatidiri individu. Bila
kita bertemu individu yang memiliki ciri biologi yang sama karena masih dalam satu ras,
maka cara mudah untuk menentukan budaya yang dianutnya adalah melalui bahasa
yang diucapkan. Sebagai contoh, individu yang mengaku sebagai orang yang berbudaya
Jawa, Madura, Betawi dan Bali, secara biologis tidak dapat dilihat secara cepat dan
tepat, siapa yang berbudaya Jawa atau Bali tersebut. Namun ketika mereka mulai
berbicara, maka kita dapat menentukan mana individu yang berbudaya Jawa, Bali atau
yang lain secara cepat dan tepat.

Jumlah bahasa yang sangat beragam, seringkali memicu pertanyaan dibenak kita.
Apakah bahasa tertentu memiliki kedudukan yang lebih "superior" dibandingkan dengan
bahasa yang lain. Terlebih, ditengah kondisi saat ini dimana banyak masyarakat yang
mencoba mengklasifikasi bahasa tertentu merupakan bahasa yang lebih baik. Atau ada
juga yang mengkaitkan kedudukan bahasa dengan kemampuan teknologi yang mereka
miliki. Masyarakat yang memiliki teknologi sederhana maka kedudukan bahasanya juga
sederhana. Adanya pemahaman-pemahaman seperti ini merupakan pemahaman yang
tidak tepat. Bila kita tilik bagaimana proses pembentukan bahasa, kita dapat

3
menyatakan bahwa keberadaan bahasa tidak ada kaitannya dengan kedudukannya. Hal
ini disebabkan bahasa dibentuk berdasarkan kesepakatan diantara pengguna secara
arbiter (acak), jika ada yang mengkaitkan dengan kedudukan suatu bahasa dengan
bahasa yang lain, maka dapat disimpulkan bahwa pernyataan tetrsebut lebih banyak
disebabkan faktor-faktor diluar fenomena kebahasaan. Menurut Franz Boas, mengacu
pada risetnya mengenai bahasa Indian Amerika, sesederhananya masyarakat bukan
berarti mereka tidak dapat menciptakan abstraksi pemikiran melalui bahasa yang
dimilikinya seluas masyarakat yang hidup dalam teknologi yang sangat maju.

Menurut S.J Esser (1938) dalam bukunya yang berjudul Atlas Van Tropisch Nederland
pada bab Talen, secara umum bahasa-bahasa yang ada di wilayah nusantara masuk
kedalam keluarga besar Bahasa Austronesia atau Melayu Polinesia1. Dengan begitu,
dapat disimpulkan bahwa bahasa-bahasa etnik yang ada di negara Indonesia pada
dasarnya masih satu kerabat. Bukti-bukti adanya kekerabatan bahasa dapat dilihat
adanya kosakata-kosakata tertentu yang mirip namun bermakna sama atau
menggunakan perbedaan vokal. Sebagai contoh, kata "soca" dalam bahasa Jawa dan
kata "socah" dalam bahasa Madura bermakna sama yaitu "mata".

Secara garis besar, semua bahasa memiliki jalur kekerabatannya sendiri-sendiri.


Bilamana kedua bahasa tersebut tidak memiliki fakta-fakta kemiripan atau kombinasi
yang memungkinkan mereka dapat saling memahami, dapat dikatakan bahwa kedua
bahasa tersebut tidak masuk dalam satu kekerabatan. Salah satu peta kekerabatan
bahasa dapat dilihat dari peta dibawah ini.

1
Esser, S.J, 1938, "Talen", in, Atlas van tropisch Nederland, 9-9b (Amsterdam: Koninklijk Nederladsch
Aardrijkskundig Genootschap)

4
Dialek dan bahasa

Kajian mengenai fenomena kebahasaan selalu mencakup kajian terhadap


keberadaan dialek, yaitu bentuk-bentuk variasi kebahasaan yang seringkali mengacu
pada wilayah tertentu, profesi dan kelas sosial. Ditambah lagi, Ketika berbicara
mengenai dialek tertentu dalam konteks masyarakat multibahasa, adalah jamak
perbincangan tersebut lebih sering dikaitkan dengan kedudukan dialek tersebut di
tengah variasi kebahasaan yang lain. Kaitan antara dialek dengan kedudukan bukanlah
bersandar pada kacamata kebahasaan namun lebih pada sudut pandang politik dan
sosial. Terlebih jika dialek tertentu tersebut digunakan oleh sebagian kecil anggota
masyarakat seringkali dianggap sebagai dialek minoritas.

Posisi dialek yang minoritas akan didesain sebagai simbol status yang inferior.
Dengan tujuan untuk mempertahankan posisi subordinat baik di ranah politik, ekonomi
maupun sosial. Sebaliknya, dialek yang memiliki anggota pembicara yang mayoritas
diposisikan sebagai simbol status yang superior. Bahkan dijadikan sebagai acuan utama
dalam dunia berbahasa yang bisa jadi mengacu pada kesopanan dan martabat. Sebagai
contoh, variasi dialek Bahasa Jawa yang bertebaran dari wilayah Jawa bagian tengah
hingga ke timur sangatlah banyak dan sangat dijaga kelestarian oleh masyarakatnya.
Namun, ketika faktor kekuasaan ikut berkecimpung di ranah ini, maka kekuasaan
berperan besar menjadikan posisi berbagai dialek Bahasa Jawa tertentu menjadi tidak

5
setara lagi. Oleh sebab itu, tidaklah mengagetkan jika Bahasa Jawa standard yang
dianggap baik, halus dan sopan selalu mengacu pada dialek Bahasa Jawa yang sangat
dekat dengan kekuasaan yaitu dialek Bahasa Jawa yang digunakan dalam kehidupan
yang lekat dengan kehidupan kraton. Namun Bahasa Jawa yang jauh dari kekuasaan
seperti Bahasa Jawa dialek Suroboyoan, seringkali dianggap sebagai Bahasa Jawa yang
kurang halus/kasar dan tidak standard.

Demikianlah, dalam beberapa masyarakat seperti masyarakat Jawa, Eropa, Amerika


dan banyak masyarakat lain dengan hierarki sosial, beberapa penggunaan kosa-kata,
gramatika tertentu atau yang lain akan dianggap yang paling "benar" sedangkan
beberapa penggunaan yang lain akan diambil untuk menjadi contoh mengenai kosa-kata
atau tata bahasa yang buruk. Contoh yang paling umum dapat diambil dalam kasus
bahasa Inggris di Amerika adalah sebagai berikut, penggunaan "aint" dan penggunaan
"negatif" ganda, Dalam kasus ini, nampak bahwa tidak ada alasan ilmiah mengapa kosa
kata "is not" lebih unggul daripada kosa kata "ain't" atau mengapa kalimat "I dont have
any money" diposisikan lebih unggul daripada kalimat "I dont got no money". Dengan
cara dan situasi yang berbeda, kasus seperti ini juga dilakukan melalui pola konstruksi
yang logis dan konsisten. Menanggapi persoalan tersebut, jelaslah bahwa tidak ada
alasan linguistik yang digunakan sebagai argumen untuk memilih salah satu dari
konstruksi kalimat di atas.

Fakta-fakta seperti yang digambarkan di atas menunjukan bahwa dalam setiap kasus
dimana ada satu kosa-kata atau konstruksi kalimat diberi label "benar, standar, sopan
atau yang lain" dan yang lain dianggap "salah, tidak standar, kasar" merupakan
fenomena yang umumnya merupakan konstruksi yang dibangun secara sosial daripada
linguistik. Kasus di Indonesia bisa dilihat dengan adanya kanonisasi seperti EYD (ejaan
yang disempurnakan). Dalam masyarakat yang hirarkis, pada umumnya kelompok yang
paling kuat menentukan apa yang "tepat" untuk digunakan dalam bahasa. Konstruksi
tata bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial yang dominan dianggap satu bahasa,
dan penyimpangan dari mereka yang sering disebut dialek. Dengan alasan ini, berarti
bahwa apakah sesuatu dianggap bahasa atau dialek ditentukan oleh kekuatan orang-
orang yang berbicara itu bukan dengan kriteria linguistik objektif.

6
Penggunaan bahasa selalu terkait erat dengan isu hierarki dan kekuasaan. Dalam
sebuah studi klasik, William Labov (1972)2 mencatat bahwa kaum elit dan orang-orang
kelas pekerja memiliki kosakata yang berbeda-beda dan cara mengucapkan kata-kata
yang juga berbeda. Bahasa sangat khas sesuai dengan lingkaran keberadaan kelompok
tersebut. Akan tetapi, bentuk kosa-kata maupun cara pengucapan yang berhubungan
dengan status sosial ekonomi kelompok yang lebih tinggi selalu dianggap sebagai bahasa
yang "tepat." Sebaliknya, kosa-kata yang terkait dengan status sosial ekonomi rendah
selalu diberi stigma dan dianggap sebagai kosa kata dan bahasa yang tidak benar.

Dalam pengamatannya, Labov juga menemukan bahwa seseorang juga seringkali


menggunakan berbagai variasi kosakata dan pengucapan mereka dalam konteks yang
berbeda. Mengapa mereka melakukan hal tersebut? Ternyata semua ragam atau tingkat
variasi tersebut, keberadaannya berhubungan dengan kelas sosial mereka. Masyarakat
yang berada pada posisi bawah memiliki lebih banyak variasi, sedangkan masyarakat
yang berada pada hirarki sosial yang lebih tinggi hanya memiliki sedikit variasi. Elit
menggunakan bahasa dalam bentuk yang istimewa dalam berbicara dan golongan kelas
bawah menggunakan berbagai bentuk gaya bahasa yang sudah distigma atau diberi
label.

Anggota masyarakat dari kelas menengah ke bawah sering menunjukkan variasi yang
besar dalam pola bicara, menggunakan pola-pola yang sudah distigma dalam
percakapan santai namun merubahnya menjadi pola-pola tertentu secara hati-hati
ketika melakukan percakapan formal. Kondisi ini menunjukan bahwa masyarakat yang
berada di strata bawah atas hirarki sosial yang ada di sana melakukan percakapan
dengan hati-hati agar lebih baik dan tidak menjadi lebih buruk dan memalukan,
sedangkan kelas atas cenderung melakukan percakapan dengan gaya yang stabil.
Dengan begitu mereka percaya bahwa mereka memiliki banyak kesempatan untuk
bangkit, dan orang kaya merasa aman diposisi mereka. Anggota dari kelas menengah ke
bawah mencoba mengangkat posisi sosial mereka dengan menggunakan pola bicara
orang kaya dalam beberapa situasi sosial agar dianggap bagian dari kelompok orang
kaya. Namun, mereka juga peduli dengan asal-usul mereka dengan cara menjaga koneksi

2
Labov, William, 1972, Sociolinguistic Patterns, University of Pennsylvania

7
dengan keluarga dan teman-teman, dan tentu saja menggunakan pola percakapan yang
sudah terstigma dengan posisi sosial mereka.

Dalam kasus apapun, studi yang dilakukan oleh Labov ini semakin memperjelas
bahwa kita mengetahui namun tidak mengajui jika kita melakukan penghakiman
terhadap status seseorang atau kelompok masyarakat melalui cara mereka berbicara.
Fungsi percakapan tidak terbatas untuk mengkomunikasikan informasi, namun juga
menginformasikan mengenai apa yang kita katakan dan bagaimana kita mengatakan
serta memberitahu kepada orang-orang mengenai diri kita tentang status sosial atau,
mungkin, yang kita ingin menjadi apa yang dimimpikan.

Hubungan antara berbicara dan hirarki sosial telah menjadi isu penting dalam
masyarakat Amerika. Pada 1950-an dan 1960-an, psikolog pendidikan berpendapat
bahwa orang miskin, dan khususnya anggota etnis minoritas, terhambat oleh bahasa
yang mereka gunakan. Para ahli menyarankan bahwa perlu praktek perampasan budaya
secara umum terhadap orang-orang seperti mereka yang menggunakan bahasa dengan
ciri-ciri kasar, sederhana, dan tidak rasional. Penggunaan bahasa seperti itu lah yang
mengabadikan kemiskinan secara ekonomi dan marjinalisasi sosial. Para ahli
berpendapat bahwa jika orang-orang tersebut dapat diajarkan untuk berbicara dengan
menggunakan bahasa Inggris standar, pasti mereka akan mampu berpikir logis, dan
kemampuan ini akan mengangkat mereka dari kemiskinan (Engelmann dan Engelmann)3.

Melihat fenomena seperti ini, ahli bahasa Noam Chomsky menyerukan bahwa sudah
seharusnya dialek merupakan bentuk bahasa tanpa tentara "a language without an
army". Sebagai suatu bahasa, dialek tidak membutuhkan posisi. Fungsi dialek seperti
bahasa pada umumnya, yaitu untuk berkomunikasi atau menyampaikan pesan dan
makna. Dengan begitu, semua dialek memiliki posisi yang setara satu dengan yang
lainnya. Hal ini disebabkan, semua kelompok manusia dimanapun pasti memiliki bahasa
atau dialek, dan semua bahasa atau dialek sama-sama menjadi medium yang canggih
dan setara dalam melayani seluruh kebutuhan individu atau kelompok dalam proses

3
Bereiter C & Engelmann S. Teaching disadvantaged children in the preschool. Englewood Cliffs. NJ: Prentice
HalI,1966. 312 p.

8
penyampaian pesan dan penciptaan ide. Dengan menggunakan bahasa yang berbeda
tersebut, posisi mereka sama-sama baik.

Noam Chomsky4

Sebuah bahasa tidak akan membuat penggunanya menjadi lebih atau kurang cerdas,
canggih atau biasa, seksi atau tidak, intelek atau pasaran atau apa pun. Hal ini
disebabkan, stok pengetahuan individu mengenai kosakata dapat sangatlah bervariasi,
seperti mungkin nampak sejenis dengan bahasa kelicikan atau keindahan seseorang
yang sedang berkomunikasi atau bermain kata-kata, namun pastinya setiap manusia
akan berbicara dengan menggunakan kecanggihan tata bahasa yang sama-sama
rumitnya.

Di samping keberadaan dialek, beberapa model bahasa yang paling sering disalah-
pahami adalah Bahasa Pidgins dan Creol. Apa itu Bahasa Pidgin?. Bahasa Pidgin adalah
bahasa yang seringkali terbentuk akibat dari kontak antar bangsa melalui perdagangan.
Ketika dua masyarakat yang berbicara dengan bahasa yang berbeda bertemu untuk
melakukan kegiatan perdagangan, mereka mencoba untuk mengembangkan sebuah
bahasa baru yaitu dengan menggabungkan fitur dari masing-masing bahasa asli mereka.
Pada umumnya, tidak ada individu yang menguasi atau berbicara Bahasa Pidgin sebagai

4
http://www.rawstory.com/2016/07/noam-chomsky-wants-to-make-america-great-again-but-youll-never-
guess-how/

9
bahasa pertama. Hal ini disebabkan kosakata Pidgin yang terbentuk sering terbatas pada
kata-kata yang sesuai dengan jenis interaksi yang terlibat dalam oleh orang-orang
berbicara itu.

Peta Bahasa Pidgin dan Creol5

Keberadaan Bahasa Pidgin merupakan bagian dari proses sejarah perubahan bahasa.
Sebagai produk dari kontak budaya yang terjadi secara mendalam dan melewati waktu
yang sangat panjang, keberadaan Bahasa Pidgin kadang-kadang hilang begitu saja.
Mengapa...? Orang-orang cenderung berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang
memiliki kekuatan dominan. Di samping itu, bahasa Pidgins dapat berubah menjadi
Bahasa Creole. Berbeda dengan Bahasa Pidgin, Bahasa Creoles merupakan bahasa yang
terdiri dari unsur-unsur yang berasal dari dua atau lebih bahasa yang berbeda. Di
samping itu, orang yang berbicara menggunakan Bahasa Creole seringkali menetapkan
bahasa tersebut sebagai bahasa pertama mereka. Kosakata Bahasa Creole bercirikan
sangat kompleks dan kaya sebagaimana bahasa - bahasa yang lain. Proses terbentuknya
Bahasa Creole umumnya akibat sejarah yang panjang dimana orang - orang Eropa
melakukan ekspansi di daerah Asia dan Amerika. Dalam banyak kasus, anggota

5
http://www.eva.mpg.de/linguistics/past-research-resources/typological-surveys/atlas-of-pidgin-and-creole-
language-structures-apics.html

10
masyarakat dari kelas atas senantiasa berbicara menggunakan bahasa yang dibawa
orang Eropas sebagai kelompok yang memiliki kekuatan dominan di wilayah tersebut
sedangkan masyarakat kelas bawah berbicara dengan menggunakan Bahasa Creole.
Negara Haiti merupakan contoh yang baik untuk menjelaskan fenomena tersebut. Di
negara tersebut, hampir 70 sampai 90 persen dari populasi berbicara dengan
menggunakan Bahasa Creole namun hampir semua fungsi pemerintahan dan
administrasi digerakan dengan menggunakan Bahasa Prancis, sebagai bahasa elit.

Bahasa, dan Identitas Etnik

Harus diakui bahwa bahasa memainkan peran simbolik yang sangat penting dalam
pengembangan identitas nasional dan etnis. Dalam beberapa situasi pemimpin politik
yang kuat atau faksi berusaha untuk menekan bahasa daerah demi standardisasi di
seluruh negara-bangsa. Negara Indonesia, India, Philipina dan Tanzania adalah sebuah
contoh kasus yang terjadi. Misalnya, ketika Tanzania merdeka pada tahun 1960-an, para
pemimpinnya dihadapkan dengan tugas menjalankan negara yang berisi 120 bahasa
yang tidak dapat dipahami satu dengan yang lain. Dalam rangka untuk mengelola negara
secara efisien dengan keragaman bahasa tersebut, pemerintah mengadopsi Swahili
sebagai bahasa nasional resmi. Ini berarti bahwa Swahili menjadi bahasa pengantar di
sekolah-sekolah, birokrasi pemerintah, dan parlemen. Meskipun menggunakan Bahasa
Swahili, bahasa pertama tidak ada, bahasa itu telah menjadi sebagai lingua franca
pemersatu (bahasa umum) untuk banyak komunitas-komunitas linguistik yang berada di
Tanzania. Kasus di Indonesia adalah digunakannya bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar. Untuk memastikan bahwa Bahasa Swahili hanya sebagai bahasa pengantar,
kita dapat melihat bahwa setiap kelompok linguistik lebih suka memiliki bahasa sendiri
dan menyatakan bahwa bahasa miliknya adalah bahasa resmi. Namun, karena telah
menjadi keputusan awal karena telah menjadi komitmen sebagai bangsa yang berdaulat
memungkinkan negara untuk membakukan bahasa nasional dan melanjutkan bisnis
pembangunan bangsa.

Dalam banyak situasi lain, pembentukan bahasa resmi seringkali mengalami


pertentangan dan menjadi tidak begitu lancar. Sebagai contoh, kasus di Spanyol dimana

11
dalam upaya untuk memperkuat sumber daya bangsa Spanyol, pemerintah Franco
membuat sejumlah manuver penting terhadap posisi bahasa minoritas namun
mengalami kegagalan. Mereka mencoba untuk menekan bahasa minoritas yaitu Bahasa
Basque dan Catalan agar tidak digunakan. Mereka melarang orang Basque dan Catalan
untuk berbicara dengan menggunakan bahasa etniknya di depan umum atau
menggunakannya pada tanda-tanda atau billboard yang ada di wilayahnya sendiri.
Kenyataannya, orang Basque dan Catalan menganggap persoalan bahasa mereka
sebagai sesuatu yang sangat serius, karena bahasa mereka merupakan titik untuk
mengekspresikan identitas budaya seorang Basque dan Catalan.

Setiap pemerintah nasional yang kuat bilamana mencoba untuk menekan bahasa
minoritas atau menetapkan bahasa mayoritas sebagai seorang resmi, ada kemungkinan
bahwa masyarakat minoritas akan sangat menolak dan resisten . Pemerintah India,
misalnya, telah membatalkan beberapa upaya untuk mengesahkan Bahasa Hindi sebagai
bahasa resmi India karena berdampak pada munculnya kerusuhan yang meletus di
berbagai daerah non-berbahasa Hindi. Atau, kasus di Canada dimana provinsi berbahasa
Perancis yaitu Quebec, yang selama puluhan tahun telah memiliki undang-undang yang
membatasi penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah dan penggunaan tanda-tanda
di wilayahnya. Akibat bahasa, Quebec hampir memenangkan kemerdekaan dari Kanada,
sebagian besar dipicu atas isu kebijakan bahasa.

Hubungan Bahasa dan Kebudayaan

Di beberapa bagian dunia, pengaruh budaya pada bahasa adalah proses yang
disengaja dan umumnya bersentuhan dengan politik. Di Perancis, lembaga yang
bernama Academie Francaise, cabang resmi dari pemerintah Prancis yang dibuat oleh
Kardinal Richelieu di 1635, telah memegang peranan penting sebagai "polisi bahasa,"
yang melindungi warga Perancis dari keharusan untuk menerima kata-kata asing atau
serapan ke dalam bahasa mereka. Revolusi Internet dari tahun 1990-an telah melahirkan
sejumlah "e-kata" dari bahasa Inggris yang telah dimasukkan langsung ke dalam banyak
bahasa dunia. Misalnya, kata benda seperti web, spam, dan virus dan kata kerja seperti
surfing, chatting, dan boot telah diadopsi dalam bentuk bahasa Inggris utuh oleh

12
sebagian besar masyarakat bahasa. Namun tidak demikian dengan Perancis. Mereka
melakukan rekomendasi-rekomendasi perbaikan istilah untuk World Wide Web, tidak
lagi web, melainkan la toile. Demikian juga untuk kata "hacker", oleh Lembaga Bahasa
Perancis diterjemahkan dengan menggunakan istilah les fouineurs (orang usil) untuk
mengacu pada seseorang yang membobol sistem komputer secara ilegal.

Pemerintahan Chavez dari Venezuela pernah mengusulkan undang-undang nasional


yang akan membatasi orang tua mengenai daftar seratus nama untuk anak-anak mereka
yang baru lahir yang disetujui oleh pemerintah (Romero 2007)6. Maksud dan tujuan dari
aturan ini adalah (a) untuk melindungi anak-anak dari memiliki nama-nama yang akan
menyebabkan mereka diejek sebagai orang dewasa; (b) untuk menjaga nama-nama
asing seperti Nixon, Kennedy, dan John Wayne; (c) untuk menghilangkan keraguan
tentang gender seseorang; dan (d) untuk mengaktifkan birokrat pemerintah untuk lebih
mudah mendaftar warga untuk dokumen resmi. Selain itu Kementerian Kebudayaan
Thailand, juga termotivasi oleh hal yang tidak berbeda yaitu keinginan untuk menjaga
dan merawat bahasa dan budaya tradisional, dengan cara memproduksi sebuah buku
pegangan nama tradisional Thailand. Melalui buku ini Kondisi ini dipicu dengan semakin
meningkatnya jumlah anak-anak Thai yang diberi nama ala barat seperti Mafia, Tom
Cruise, 7-Eleven, Bank, Tuhan, dan Gateaux, menteri budaya takut bahwa budaya
Thailand akan hilang (T. Fuller 2007)7.

Menilik hal diatas, tampaklah bahwa studi tentang bahasa ini sangat penting, tidak
hanya untuk tujuan praktis seperti komunikasi saja saat melakukan praktek kerja
lapangan, tetapi juga karena hubungan dekat ada antara bahasa dan budaya. Akan sulit,
jika bukan tidak mungkin, untuk memahami budaya tanpa terlebih dahulu memahami
bahasanya, dan itu akan sama-sama tidak mungkin untuk memahami bahasa di luar
konteks budayanya. Untuk alasan ini, setiap guru bahasa perlu juga dengan efektif
mengajarkan kosakata dan tata bahasa diajarkan pada siswa melalui topik-topik yang

6
Romero, Simon. 2007. A Culture of Naming That Even a Law May Not Tame. New York Times (September
5): A-4

7
Fuller, Thomas. 2007. In Thai Cultural Battle, Name-Calling Is Encouraged. New York Times (August 29): A-4.

13
berkaitan dengan aspek budaya dimana bahasa tersebut digunakan seperti kebiasaan
makan, nilai-nilai, dan pola perilaku penutur asli.

Pentingnya hubungan antara bahasa dan budaya ini dimana hubungan ini
merupakan subyek dalam kajian budaya linguistik telah diakui di awal abad kedua puluh
oleh bapak antropologi budaya Amerika modern yaitu, Franz Boas: studi tentang bahasa
harus dipertimbangkan sebagai salah satu dari cabang yang paling penting dari studi
etnologis, karena, di satu sisi, sebuah wawasan yang menyeluruh etnologi tidak dapat
diperoleh tanpa yang praktis pengetahuan tentang bahasa, dan, di sisi lain, konsep dasar
yang digambarkan oleh bahasa manusia tidak berbeda dalam jenis dari fenomena nologi
etnik; dan karena, lebih jauh lagi, karakteristik khas bahasa yang jelas tercermin dalam
pandangan dan kebiasaan orang-orang dari dunia8.

Dalam penelitian terdahulu terdapat fakta bahwa ada bukti yang cukup untuk
menunjukkan bagaimana budaya suatu bangsa mempengaruhi terbentuknya suatu
kosakata dalam bahasa. Kosakata yang ditemukan dalam bahasa apapun cenderung
memiliki sisi istimewa dalam kasanah tertentu. Sisi istimewa tersebut mengarah pada
kata-kata yang dianggap penting dalam budaya itu. Konsep ini, yang dikenal sebagai
budaya penekanan, tercermin dalam ukuran dan spesialisasi kosa kata. Dalam standar
bahasa Inggris Amerika, sejumlah besar kata-kata mengacu pada kazanah gadget
teknologi (seperti traktor, microchip, dan katup intake) dan spesialisasi kerja (seperti
guru, tukang ledeng, CPA, dan dokter anak) karena alasan sederhana bahwa teknologi
menjadi poin penting dalam budaya Inggris. Jadi Bahasa Inggris di Amerika Utara
beradaptasi secara efektif dengan budaya mereka melalui penyediaan kosakata yang
cocok dengan budaya tersebut. Budaya lain yang memiliki area khusus berkenaan
dengan hal-hal yang penting akan menciptakan berbagai kosa-kata yang dominan
mengacu pada hal tersebut.

8
Boas, Franz. 1911, The Mind of Primitive Man. New York: Macmillan.

14
Kasus bahasa Suku Nuer

Sebuah contoh yang sangat baik mengenai bagaimana budaya mempengaruhi


sebuah bahasa melalui penjabaran dari kosakata digambarkan oleh Antropolog Evans-
Pritchard dengan karya etnografinya yang berjudul Nuer, orang-orang pastoral dari
Sudan, yang keasyikan kehidupan sehari-harinya dengan ternak tercermin dalam bahasa
mereka9. Orang Suku Nuer memiliki kosakata kaya untuk menggambarkan dan
mengidentifikasi ternak mereka sesuai dengan ciri-ciri fisik tertentu seperti warna,
tanda, dan konfigurasi tanduk. Mereka memiliki sepuluh warna utama untuk
menggambarkan ternak: putih (bor), hitam (mobil), coklat (Lual), cokelat (dol), cokelat
(yan), mouse-abu (lou), Teluk (Thiang), sandygray ( lith), biru dan strawberry roan (Yil),
dan coklat (gwir). Ketika kemungkinan warna tersebut digabung dengan banyak
kemungkinan pola menandai, ada beberapa ratus kombinasi. Dan ketika ini beberapa
ratus kemungkinan digabungkan dengan terminologi berdasarkan konfigurasi tanduk,
ada potensi ribuan cara menggambarkan ternak dengan presisi yang cukup besar dalam
bahasa Nuer.

Menilik kasus di atas, memang sejak tahun 1930-an, antropologi linguistik


memberikan perhatian utama pada kaitan apakah bahasa menentukan budaya. Memang
tidak ada konsensus tentang topik ini antara ethnolinguists, namun beberapa telah
menyarankan bahwa bahasa adalah lebih dari persediaan simbolis pengalaman dan
dunia fisik, dan bahwa itu benar-benar membentuk pikiran dan persepsi kita, mengenai
bagaimana cara kita melihat dunia. Edward Sapir menyatakan gagasan ini dalam bentuk
yang paling eksplisit: Dunia nyata untuk sebagian besar tidak sadar dibangun pada
kebiasaan bahasa kelompok. Tidak ada dua bahasa yang pernah cukup mirip untuk
menjadi dipertimbangkan sebagai mewakili realitas sosial yang sama. Dunia di mana
masyarakat yang berbeda hidup adalah dunia yang berbeda, bukan hanya dunia yang
sama dengan label yang berbeda terpasang10.

9
Evans-Pritchard, E. E. 1940. The Nuer. Oxford: Oxford University Press.
10
Sapir, Edward. 1929. The Status of Linguistics as a Science. Language 5: 20714.

15
Keberadaan Tradisi Lisan

Indonesia sebagai bangsa yang memiliki kekayaan kebudayaan yang luar biasa,
memiliki tradisi lisan yang tidak terhitung jumlahnya. Tradisi lisan tersebut menurut James
Danandjaya dapat berupa mitos, legenda dan dongeng yang diceritakan antar generasi
melalui dongeng maupun pementasan seni pertujukan seperti tari. Mitos seringkali disebut
sebagai prosa rakyat yang kejadiannya dianggap benar-benar terjadi. Oleh sebab itu,
seringkali mite diangap cerita suci oleh pemiliknya karena tokoh yang dihadirkan adalah
para dewa atau bidadari seperti cerita Jaka Tarub. Atau kadangkala cerita mitos berkaitan
dengan asal usul keberadaan masyarakat tersebut lahir di dunia. Kedua adalah Legenda,
seperti cerita mitos, legenda merupakan prosa rakyat juga dan kejadiannya dianggap benar-
benar terjadi di dunia namun cerita legenda ini oleh seluruh masyarakat dianggap cerita
yang bersifat profan. Hal ini disebabkan tokoh yang ada dalam cerita tersebut umumnya
adalah manusia biasa yang memiliki kekuatan tertentu yang diatas kekuatan rata-rata
manusia. Seperti cerita Maling Kundang, Tangkuban Perahu. Ketiga adalah dongeng.
Dongeng adalah prosa rakyat yang dianggap tidak pernah terjadi, tidak terikat waktu dan
tempat.

Berbicara mengenai tradisi lisan dan kelisanan, kata sifat yang sering digunakan
adalah "oral" atau "mulut" sebagai kriteria utama untuk menandai kajian ini. Artinya bahwa
berbagai "cerita atau prosa rakyat" umumnya didefinisikan dari segi materi secara lisan,
istilah dasar untuk studi "sastra lisan". Menurut definisi kamus kita mendapatkan
pemahaman bahwa makna lisan adalah 'diucapkan dengan kata-kata yang terucapkan;
dipertukarkan dari mulut ke mulut; diucapkan, dan verbal'. Istilah lisan sering dikontraskan
dengan istilah tertulis, sehingga muncul istilah seperti dalam 'sastra lisan' lawan-atau
paralel dari sastra tulis, atau 'sejarah lisan' sebagai acuan non sumber dokumenter. 'Lisan'
juga memenuhi syarat secara umum seperti 'teks', 'puisi' atau 'narasi', baik menekankan
perbedaan antara bentuk tertulis dan lisan atau menggambar mereka dalam perspektif
komparatif yang sama.

Adanya Istilah yang saling beroposisi antara "lisan dan tertulis" menyebabkan 'cerita
rakyat lisan' seperti cerita, lagu atau peribahasa harus dibedakan dari budaya material.
Istilah yang lebih umum 'kelisanan' telah semakin dalam popular dalam beberapa tahun

16
terakhir. Beberapa ahli tertarik untuk membangun fitur umum mengenai 'kelisanan' sebagai
lawan "keaksaraan".

Berbicara mengenai tradisi, penambahan kata 'lisan' sering menyiratkan bahwa


tradisi yang dimaksud adalah dalam beberapa cara 1) lisan atau 2) non-ditulis (belum tentu
hal yang sama), kadang-kadang juga atau alternatif 3) milik 'orang' atau 'rakyat ', biasanya
dengan konotasi non-berpendidikan, non-literate, dan / atau 4) yang mendasar dan
dihargai, sering diduga ditularkan dari generasi ke generasi, mungkin oleh masyarakat atau'
rakyat 'daripada aksi individu sadar. Dalam konteks sejarah lisan Henige11 mendefinisikan
tradisi lisan sebagai 'tegasnya ... ingatan mereka mengenai masa lalu yang umumnya atau
universal dikenal dalam budaya tertentu ... [dan] telah diturunkan untuk setidaknya
beberapa generasi'. Tidak semua mengikuti keterbatasan ini, bagaimanapun, dan bahkan di
sini ada ruang untuk perbedaan pendapat: dijatuhkan dalam bentuk apa? berapa banyak
generasi?.

Di samping itu, persoalan transmisi dan sirkulasi merupakan persoalan yang menjadi
ide sentral dalam kajian ini. Pendekatan lama seringkali mengarah pada mencari asal-usul
dari berbagai jenis atau, seperti dalam metode historis-geografis, menelusuri jalur cerita
tertentu. Atau berbicara mengenai mekanisme transmisi (pada apakah, misalnya, bentuk-
bentuk tertentu yang 'merosot' atau mengembangkan, penyaringan bawah atau naik ke
atas) dan tentang kemungkinan 'hukum' transmisi.

Teori transmisi secara implisit menggunakan beberapa teori memori. Model


sebelumnya sering agak pasif, pertama, cerita digambarkan sebagai turun secara otomatis
terlepas dari badan manusia. Sejauh tradisi memiliki peran, maka terjadi proses pengingatan
secara umum. Pendekatan ini juga kadang-kadang menciptakan asumsi mengenai sifat
ketradisionalan dan keterikatan pada masa lalu. Di sini, nampak bahwa ingatan orang-orang
di masyarakat non barat jauh lebih baik daripada masyarakat yang tingkat literasinya tinggi
di barat.

Proses pengingatan merupakan sebuah proses sosial dan konvensi budaya yang
saling berkaitan. Beberapa budaya, seperti Somalia atau Maori, memang menekankan kata

11
Henige, D. (1982) Oral Historiography, Harlow: Longman.

17
demi kata untuk menghafal, setidaknya untuk genre atau kegiatan tertentu (Andrzejewski
198112, Finnegan 1988: 10313); yang lainnya dengan berbaring dan lebih menekankan pada
aspek visual menghafal (lihat Carrier 199014) atau prihatin dengan praktek-praktek sosial
daripada keyakinan verbalised yang bisa menjadi subyek dari transmisi kognitif (Brenner
1989). Kelompok lain bahkan telah mengembangkan teknik untuk pelatihan dan
meningkatkan proses penghafalan. Semua budaya 'lisan' sebenarnya merupakan bentuk
mekanisme budaya yang tidak hanya berkutat mengenai soal kecerdasan individual saja
namun juga melalui cara-cara umum yang ditemukan melalui eksperimen psikologis. Ada
kemungkinan, proses mengingat akan dibentuk secara sosial oleh perangkat tertentu dan
nilai-nilai yang dikembangkan dalam masyarakat secara tersendiri.

Dalam memahami tradisi lisan, hal yang perlu dicermati adalah berkaitan dengan
posisi sosial dan ekonomi pemilik tradisi tersebut. Secara antropologis, kaitan antara pemilik
tradisi dengan posisi sosial akan menggambarkan mengenai keberadaan tradisi lisan
tersebut. Hal-hal tersebut berkeiatan dengan pembagian kerja, karakteristik sosial dari
pemain, pola rekruitmennya, pola dukungannya dari mana, apakah dari pemerintah, asing
atau yang lain.

Setelah memahami hal di atas, kita juga perlu melihat fungsi dari tradisi lisan.
Pertama sebagai fungsi konservasi komunal. Sebagai fungsi pertama, kita tidak dapat
mencari kekreativitasan pribadi, atau manipulasi sosial. Di sini kita bisa melihat bagaimana
orang berperilaku selama peristiwa tersebut, dan bagaimana perilaku mereka berhubungan
dengan apa yang mereka katakan tentang hal itu. Fungsi tradisi lisan menjadi semacam
sebuah piagam atau validasi mengenai pengaturan sosial yang harus dilaksanakan. Ada juga
bagian yang dimainkan oleh bentuk oral (dan yang ditulis juga) dalam penciptaan atau
pemeliharaan identitas dan validasi pengalaman. Fungsi ini dapat sebagai 'paradigma untuk
memahami masyarakat dan untuk menentukan dan mengembangkan perilaku individu dan
kepribadian dalam masyarakat.

12
Andrzejewski, B.W. (1981) The poem as message: verbatim memorization in Somali oral poetry, in Ryan.
13
Finnegan, R. (1988) Literacy and Orality: Studies in the Technology of Communication, Oxford: Blackwell.
14
Carrier, J. and A. (1990) Every picture tells a story: visual alternatives to oral tradition in Ponam Society, in
Finnegan and Orbell

18
Kedua sebagai fungsi katarsis dari ekspresi verbal dalam mengurangi ketegangan
sosial atau dalam mengurangi kesedihan luar biasa. Konsep disederhanakan untuk apresiasi
estetika, hiburan, atau bentuk kreativitas pribadi setidaknya aspek apa ekspresi verbal
adalah tentang adalah umum.

Bahasa - bahasa di Indonesia

Berbicara mengenai bahasa-bahasa yang ada di Indonesia, sebagaimana tulisan


Menurut S.J Esser (1938) dalam bukunya yang berjudul Atlas Van Tropisch Nederland pada
bab Talen, bahwa semua bahasa yang ada di wilayah nusantara merupakan anggota dari
keluarga besar Bahasa Austronesia atau Melayu Polinesia15. Sebagai contoh adalah Bahasa
Jawa, bahasa ini merupakan bahasa ibu yang digunakan oleh Suku Jawa yang tingal di Pulau
Jawa. Sensus tahun 1980 menunjukan bahwa bahasa Jawa digunakan di Yogyakarta oleh
97,6% dari populasi penduduk, di Jawa Tengah (96,9%), di Jawa Timur (74,5%), di Lampung
(62%), di Sumatera Utara (21%), di Sumatera Utara (17%), di Bengkulu (15,4%) di Sumatera
Selatan (12,4%), di Jawa Barat (13%), dan dituturkan oleh kurang dari 10% dari populasi
penduduk di tempat-tempat lainnya di Indonesia. Selain di Indonesia, bahasa Jawa dengan
penutur yang terbilang signifikan juga bisa ditemui di sejumlah negara, yakni di Malaysia,
Singapura, Suriname, Kaledonia Baru, dan Belanda16.

Sebagai bahasa yang memiliki penutur yang besar, ternyata Bahasa JAwa tidaklah
tunggal namun memiliki banyak dialek. Adapun dialek yang ada adalah sebagai berikut :

Pertama adalah dialek Jawa Tengahan yang terdiri dari :

1 Dialek Pekalongan, yang dituturkan di daerah Pekalongan (kabupaten dan kotamadya),


serta di Pemalang.
2 Dialek Kedu, yang dituturkan di daerah-daerah bekas keresidenan Kedu, yakni
Temanggung, Kebumen, Magelang, dan Wonosobo.
3 Dialek Bagelen, yang dituturkan di Purworejo.
4 Dialek Semarang, yang dituturkan Semarang (kabupaten dan kotamadya), Salatiga,
Demak, dan Kendal.
5 Dialek Pantai Utara, atau dialek Muria, dituturkan di Jepara, Rembang, Kudus, Pati, dan

15
Esser, S.J, 1938, "Talen", in, Atlas van tropisch Nederland, 9-9b (Amsterdam: Koninklijk Nederladsch
Aardrijkskundig Genootschap)
16
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1036/bahasa-jawa-dan-berbagai-variannya

19
juga di Tuban dan Bojonegoro.
6 Dialek Blora, yang dituturkan di Blora, bagian Timur Grobogan dan bagian Barat Ngawi.
7 Dialek Surakarta, yang dituturkan di Surakarta, Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, dan
Boyolali
8 Dialek Yogyakarta, yang dituturkan di Yogyakarta dan Klaten.
9 Dialek Madiun, yang dituturkan di Provinsi Jawa Timur, termasuk Madiun, Ngawi, Pacitan,
Ponorogo, dan Magetan

Pertama adalah dialek Jawa Kulonan yang terdiri dari :

1 Dialek Banten Utara (Jawa Serang), yang dituturkan di Serang, Cilegon, dan bagian Barat
Tangerang
2 Dialek Cirebon (Cirebonan atau Basa Cirebon), yang dituturkan di Cirebon dan Losari,
Sementara dialek Indramayu (atau Dermayon) yang dituturkan di Indramayu,
Karawang, dan Subang, oleh banyak pihak digolongkan ke dalam Cirebonan.
3 Dialek Tegal (Tegalan atau Dialek Pantura), dituturkan di Tegal, Brebes, dan bagian Barat
Kabupaten Pemalang.
4 Dialek Banyumas (Banyumasan), dituturkan di Banyumas, Cilacap, Purbalingga,
Banjarnegara, dan Bumiayu.

Pertama adalah dialek Jawa Timuran yang terdiri dari :

1 Dialek Surabaya (Suroboyoan), yang umumnya dituturkan di Surabaya, Gersik, Sidoarjo.


Banyak orang Madura juga menggunakan dialek ini sebagai bahasa kedua setelah
bahasa mereka sendiri.
2 Dialek Malang, yang dituturkan di Malang (kabupaten dan kotamadya), dan juga di
Mojokerto.
3 Dialek Jombang, yang dituturkan di Jombang.
4 Dialek tengger, yang digunakan oleh orang-orang Tengger di sekitar Gunung Bromo.
5 Dialek Banyuwangi (Basa Osing), yang dituturkan oleh orang-orang Osing di Banyuwangi.

20
BAHAN BACAAN

Gertz, 1960, The Religion of Java, Glencoe, Free Press

Geertz , 1963, Indonesian Cultural and Communities, New Haven, Conn

Haviland, William, 1988, Antropologi, Jakarta: Penerbit Erlangga

Jaspan, M.A, 1958, Daftar Sementara dari Suku bangsa-Bangsa di Indonesia (A Preliminary
List of The Ethic Groups in Indonesia), Yogyakarta: Panitya Social research, Gadjah
Mada University

Keesing, Roger M, 1986, Antropologi Budaya: Suatu perspektif Kontemporer, Jakarta:


Erlangga

Koentjaraningrat, 1961, Metode Anthopology, Jakarta: UI Press

Koentjaraningrat, 1975, Anthropology in Indonesia, Leiden: KITLV

Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: UI Press

Koentjaraningrat, 1993, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, Jakarta:UI Pres

Koentjaraningrat, 1996, Pengantar Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta

Koentjaraningrat, 1999, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan

Muhadjir (ed), 1987, Evaluasi dan Strategi Kebudayaan, Jakarta: UI Press

Nasikun, 2001, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Rajawali

Saifuddin, Achmad Fedyani, 2005, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis


Mengenai Paradigma, Jakarta: Prenada Media

Suparlan, Parsudi, 2004, Hubungan Antar Suku Bangsa, Jakarta: YPKIK

21

Anda mungkin juga menyukai