Anda di halaman 1dari 83

TK-4081 PENELITIAN TEKNOLOGI KIMIA I

Semester 2 − 2009/2010

Judul
REAKSI HIDROGENASI PARSIAL UNTUK MENINGKATKAN
STABILITAS OKSIDASI BIODIESEL

Kelompok B.0910.3.23

Agung Satriyadi Wibowo (13007001)


Laras Wuri Dianningrum (13007075)

Pembimbing
Dr. Tirto Prakoso
Imam Paryanto, M.Sc.

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Mei 2010

1
LEMBAR PENGESAHAN
TK-4081 PENELITIAN TEKNOLOGI KIMIA I
Semester 2 − 2009/2010

Reaksi Hidrogenasi Parsial untuk Meningkatkan Stabilitas Oksidasi


Biodiesel

Kelompok B.0910.3.23

Agung Satriyadi Wibowo (13007001)


Laras Wuri Dianningrum (13007075)

Catatan

Bandung, Mei 2010


Disetujui Pembimbing

Dr. Tirto Prakoso

TK-4081 PENELITIAN TEKNOLOGI KIMIA I

2
Reaksi Hidrogenasi Parsial untuk Meningkatkan Stabilitas Oksidasi Biodiesel
Kelompok B.0910.3.23
Agung Satriyadi Wibowo (13007001) dan Laras Wuri Dianningrum (13007075)
Pembimbing
Dr. Tirto Prakoso

ABSTRAK

Sebagian besar energi yang dikonsumsi di seluruh dunia berasal dari bahan bakar fosil.
Bahan bakar fosil adalah bahan bakar yang tidak terbarukan sehingga ketersediannya
semakin menipis. Biodiesel yang berasal dari minyak nabati adalah salah satu solusi
bagi masalah ini. Namun, penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar juga memiliki
kendala, diantaranya adalah rendahnya nilai stabilitas oksidasi dari biodiesel. Oksidasi
akan mengakibatkan turunnya indeks stabilitas biodiesel yang akan mengakibatkan
naiknya sifat korosif biodiesel dan menambah kecenderungan terjadinya polimerisasi.

Oleh karena itu, diperlukan suatu cara yang dapat meningkatkan nilai stabilitas oksidasi
dari biodiesel. Salah satu caranya adalah dengan hidrogenasi parsial yang dilakukan
dengan mereaksikan rantai tak jenuh asam lemak pada biodiesel dengan hidrogen.
Hidrogen akan mengganti (substitusi) ikatan rangkap pada biodiesel sehingga akan
mengurangi tingkat kejenuhan yang akan meningkatkan nilai stabilitas oksidasi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana reaksi hidrogenasi parsial
akan berlangsung pada kondisi operasi tertentu untuk meningkatkan stabilitas oksidasi
dari biodiesel. Penelitian ini menggunakan minyak jarak pagar dan minyak sawit
sebagai sumber bahan baku biodiesel. Jalur hidrogenasi parsial yang digunakan adalah
jalur transesterifikasi-hidrogenasi parsial dan hidrogenasi parsial-transesterifikasi yang
dilakukan pada temperatur 60O C, 120O C, dan 170O C dan tekanan 1 atm, 2 atm, dan 3
atm. Uji – uji yang dilakukan untuk mengetahui komposisi dan stabilitas oksidasi dari
biodiesel ini adalah uji: angka asam; angka sabun; kandungan gliserol total, bebas, dan
terikat; iodium; viskositas; densitas; titik awan; titik tuang; dan stabilitas oksidasi.

Kata kunci : Stabilitas oksidasi, hidrogenasi parsial, transesterifikasi

3
TK-4081 RESEARCH PROJECT
Partial Hydrogenation Reaction to Increase Oxidative Stability of Biodiesel
Kelompok B.0910.3.23
Agung Satriyadi Wibowo (13007001) and Laras Wuri Dianningrum (13007075)
Advisor
Dr. Tirto Prakoso

ABSTRACT

Most energy consumed in the world comes from fossil fuels. Fossils fuels are non-
renewable resources, which means that they diminish faster than they renew and they
will eventually run out. In order to guarantee the availability of energy, alternative
sources must be sought. One example is biodiesel which comes from vegetable oil.
However, this also implies that biodiesel is abundant in unsaturated fatty acids and
therefore has a low oxidative stability. This means that biodiesel can quickly lose its
quality to the oxidation process that makes its corrosiveness increases and easier to
polimerize.

The oxidation of biodiesel can be reduced by increasing its oxidative stability. One
method is partial hydrogenation, in which hydrogen react with unsaturated chain in
biodiesel molecules. Hydrogen atom will substitute the double bond and therefore
increase their oxidative stability.

This research is about the use of partial hydrogenation and the conditions in which it
can increase the oxidative stability of biodiesel. The biodiesel used is Jathropa curcas l.
and palm oil, whereas the methodology are partial hydrogenation followed by
transesterification and partial hydrogenation followed by esterification. Operating
condition are at temperatures of 60O C, 120O C, and 170O C and at H2 pressures of 1
atm, 2 atm, dan 3 atm. The tests used in analyzing the composition of biodiesel and the
value of oxidative stability are: the acid value, saponification value, total composition
of glycerol, iodium value, viscosity, density, peroxide value, cloud point, pour point,
and oxidative stability.

Keywords : oxidative stability, partial hydrogenation, transesterification

4
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. atas selesainya penyusunan proposal
penilitian ini. Proposal ini disusun sebagai prasyarat melakukan mata kuliah TK – 4801
Penelitian 1.

Penulis memperoleh banyak bantuan dan masukkan dari berbagai pihak dalam
menyusun laporan ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada :

1. Dr. Tirto Prakoso sebagai dosen pembimbing penulisan laporan penelitian atas
bimbingan dan saran yang membantu penulis selama penyusunan laporan ini.
2. Imam Paryanto, M.Sc. dan para staf Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) atas masukan, saran, dan fasilitas yang disediakan selama
penyusunan laporan.
3. Dr. Ir. IDG Arsa Putrawan sebagai dosen koordinator mata kuliah TK – 4801
Penelitian 1 atas petunjuk yang diberikan dalam proses penyusunan laporan ini.
4. Mbak Yanti, Mbak Meiti, dan semua anggota Laboratorium Termofluida dan
Sistem Utilitas Teknik Kimia ITB.
5. Dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Penulis berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dan bidang keilmuan
teknik kimia secara luas. Penulis juga meminta maaf apabila ada hal-hal yang kurang
berkenan dalam laporan ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
dari
pembaca untuk perbaikan laporan ini.

Bandung, 18 Mei 2010

Penulis

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut Dermibas, sebagian besar energi yang dikonsumsi di seluruh dunia berasal
dari bahan bakar fosil seperti petroleum, batu bara, dan gas alam. Bahan bakar ini
terbatas keberadaannya dan telah diprediksi akan habis dalam waktu dekat (Ramos
dkk., 2008). Hal ini menyebabkan berbagai negara, khususnya negara maju berlomba-
lomba untuk mencari dan meneliti bahan bakar baru yang dapat menggantikan fungsi
bahan bakar fosil dari sumber yang dapat diperbarui dan lebih ramah lingkungan.
Proyeksi pengunaan energi dunia dapat dilihat dari tabel berikut

Tabel 1.1 Proyeksi penggunaan energi dunia sampai tahun 2025

(Sumber : http://sugiyono.webs.com/paper/p0201.pdf)

Pada dasawarsa terakhir ini, terdapat minat yang cukup besar dalam bidang biodiesel
(metil ester asam lemak/fatty acid methyl ester atau FAME) karena memiliki sifat yang
mirip dengan bahan bakar mesin diesel (Prakoso, 2009). Biodiesel memiliki banyak
keuntungan dibandingkan bahan bakar fosil, diantaranya adalah emisi yang rendah,
mempunyai efek pelumasan baik, ramah lingkungan karena emisinya hampir tidak
mengandung SO2, juga tarikannya lebih besar untuk rpm (rotation per minute) yang
rendah. Namun pengunaan biodiesel memiliki keterbatasan yang berkaitan dengan
stabilitas oksidasi dan cold-flow properties.

6
Stabilitas oksidasi berkaitan dengan kandungan dari rantai FAME (Fatty Acid Methyl
Ester). Semakin tinggi kandungan asam lemak tak jenuh, semakin rendah stabilitas
oksidasi biodiesel. Hal ini akan mengakibatkan biodiesel tidak dapat disimpan dalam
waktu yang lama dan harus terhindar dari cahaya dan udara bebas yang menjadi
penyebab utama oksidasi. Jika tidak, kualitas biodiesel akan mengalami penurunan
signifikan seperti terjadi gumming dan peningkatan angka asam dan viskositas
(Wadumesthrige, 2009).

Salah satu cara untuk mengatasi fenomena ini adalah dengan penambahan antioksidan
dan hidrogenasi parsial. Hidrogenasi adalah reaksi kimia antara molekul hidrogen (H2)
hidrogen dan elemen lain atau suatu senyawa yang berfungsi untuk memutuskan ikatan
rangkap yang ada dalam senyawa tersebut. Ikatan rangkap yang hilang akan menambah
kestabilan senyawa terhadap reaksi oksidasi. Hidrogenasi parsial diharapkan dapat
menghasilkan turunan asam lemak yang hanya memiliki satu ikatan rangkap (asam
oleat) sehingga masih berwujud cair dalam suhu kamar. Hal ini untuk menghindari
biodiesel menjadi padat (lilin) ketika digunakan sebagai bahan bakar.

1.2 Rumusan Masalah

Biodiesel sebagai bahan bakar alternatif ternyata memiliki stabilitas oksidasi yang
rendah. Hal ini menyebabkan penggunaan biodiesel masih terbatas. Salah satu cara
untuk mengatasi hal ini adalah dengan hidrogenasi parsial. Akan tetapi kondisi optimal
reaksi hidrogenasi untuk berbagai jenis minyak nabati (olein sawit dan minyak jarak)
dan pengaruhnya terhadap komposisi asam oleat yang dihasilkan berbeda-beda. Hal
yang ingin diketahui adalah sejauh mana hidrogenasi parsial pada kondisi tertentu dapat
berlangsung untuk membentuk rantai asam oleat yang maksimum yang akan
meningkatkan indeks stabilitas biodiesel agar dapat meningkatkan keamanan
pemakaiannya sebagai bahan bakar alternatif di masa datang.

7
1.2. Tujuan

Merujuk kepada hal yang telah dibahas pada bagian rumusan masalah sebelumnya,
tujuan penelitian ini adalah

1. Menentukan jalur hidrogenasi parsial biodiesel yang paling sesuai untuk


meningkatkan kualitas biodiesel, khususnya ketahanan terhadap oksidasi.
2. Menentukan kondisi operasi optimal proses hidrogenasi parsial biodiesel olein
sawit dan minyak jarak.

1.3. Ruang Lingkup

Penelitian ini meliputi reaksi pembuatan biodiesel dan reaksi hidrogenasi parsial. Ada
dua variasi minyak nabati yang digunakan, yaitu olein sawit dan minyak jarak
(Jatropha curcas l.). Minyak-minyak tersebut akan melalui dua jalur percobaan, yaitu :
hidrogenasi-transesterifikasi dan transesterifikasi-hidrogenasi. Pada reaksi hidrogenasi,
temperatur operasi divariasikan pada 60o, 120o dan 170oC dan tekanan gas H2
divariasikan pada 1, 2, dan 3 atm. Putaran pengaduk dibuat konstan pada 500 rpm
sepanjang reaksi berlangsung.

Pada penelitian ini juga dilakukan uji-uji yang berkaitan dengan penentuan karakteristik
produk hidrogenasi dan biodiesel serta kandungan komposisi senyawa karbon di
dalamnya. Uji-uji yang dilakukan meliputi uji: angka penyabunan, angka asam, angka
iodium, densitas, viskositas, stabilitas oksidasi, angka peroksida, titik tuang dan titik
awan, serta gliserol total dan bebas.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Biodiesel

Biodiesel mempunyai pengertian luas yang mencakup seluruh bahan bakar diesel yang
dapat berasal dari aktivitas biologi/hayati seperti minyak, lemak, pati, selulosa,
ganggang dan sebagainya1. Berdasarkan Britannica Encyclopedia, biodiesel adalah
bahan bakar yang terbuat dari bahan baku berupa minyak tumbuhan (seperti minyak
kedelai dan minyak sawit) dan digunakan pada mesin diesel dengan cara
mencampurkannya dengan diesel yang berasal dari bahan bakar fosil.

Gambar 2.1 Biodiesel

(Sumber : http://nocameranointervention.wordpress.com/2009/03/24/palm-oil-grower-
defends-expansion/)

Konsep penggunaan minyak tumbuh-tumbuhan sebagai bahan pembuatan bahan bakar


sudah dimulai pada tahun 1895 saat Dr. Rudolf Christian Karl Diesel (Jerman, 1858-
1913) mengembangkan mesin kompresi pertama yang secara khusus dijalankan dengan
minyak tumbuh-tumbuhan. Mesin diesel atau biasa juga disebut Compression Ignition
Engine yang ditemukannya itu merupakan suatu mesin motor penyalaan yang

1
http://lemigas-proses.com/biodiesel-sebagai-bahan-bakar-alternatif/

9
mempunyai konsep penyalaan diakibatkan oleh kompresi atau penekanan campuran
antara bahan bakar dan oksigen di dalam suatu mesin motor pada suatu kondisi
tertentu2. Namun diketahui bahwa kelemahan bahan bakar ini adalah
ketidakstabilannya yang diakui oleh Rudolf Diesel sendiri. Namun, pada awal dekade
80-an biodiesel mulai diperkenalkan secara luas sebagai bahan bakar alternatif. Saat itu
krisis energi tengah melanda dunia sehingga pencarian terhadap sumber daya baru
mulai digalakkan untuk mengantisipasi kelangkaan bahan bakar fosil (Knothe
dkk.,2005).

Menurut Ramadas, pada dasawarsa terakhir ini terdapat minat yang cukup besar dalam
bidang biodiesel (metil ester asam lemak / fatty acid methyl ester atau FAME) karena
memiliki sifat yang mirip dengan bahan bakar mesin diesel (Prakoso dkk., 2010).
Selain itu perkembangan biodiesel yang cukup pesat di berbagai negara juga
dipengaruhi oleh perkembangan standardisasi proses untuk mendapatkan biodiesel
dengan kualitas terbaik. Beberapa di antaranya adalah ASTM (American American
Society for Testing and Materials) D6571 dan Standard Eropa EN 14214 yang
dijadikan acuan di negara-negara Eropa (Knothe, 2005).

2.2 Sifat Fisik

Beberapa sifat fisik yang digunakan untuk mengidentifikasi kualitas biodiesel adalah

1. Viskositas (Standard Uji ASTM D-445)

Viskositas merupakan ukuran besarnya tahanan yang diberikan biodiesel saat mengalir.
Makin besar viskositas maka makin besar pula tahanan untuk mengalir.

2. Indeks Viskositas (Standard Uji ASTM D-2270)

Indeks viskositas merupakan ukuran kestabilan viskositas karena perubahan temperatur.


Biodiesel dengan indeks viskositas tinggi, berarti sedikit mengalami perubahan
viskositas dengan adanya perubahan temperatur.

3. Pour Point (Standard Uji ASTM D-97)

2
http://203.130.206.51:8081/usuocw/teknik-kimia/oleo-kimia/handout/handout-7

10
Pour point merupakan karakteristik yang berkaitan dengan kemampuan biodiesel untuk
tetap encer dan dapat memenuhi fungsinya pada suhu rendah selama suhu operasi
maupun suhu lingkungan. Pour point pelumas harus lebih rendah dari suhu operasi agar
tetap dapat mengalir.

4. Stabilitas Oksidasi (Standard Uji ASTM D-315)

Stabilitas oksidasi diartikan sebagai kemampuan biodiesel menghadapi oksidasi pada


waktu pemakaian. Oksidasi akan menyebabkan biodiesel semakin kental, terbentuk
emulsi, sludge maupun endapan lainnya.Untuk mengetahui daya tahan minyak pelumas
terhadap oksidasi, yaitu pada suhu selama waktu tertentu minyak pelumas berhubungan
dengan udara atau oksigen, kemudian diukur jumlah sludge, emulsi yang terbentuk dan
kenaikan viskositasnya.

5. Flash point dan Volatilitas (Standard Uji ASTM D-92)

Biodiesel yang banyak mengandung komponen yang volatil, maka flash point-nya
rendah sehingga banyak terjadi penguapan biodiesel selama pemakaian. Biodiesel
dengan flash point diatas 410°F dianggap cukup baik ditinjau dari konsumsi pelumas
dan volatilitas selama pemakaian.

Standar kualitas biodiesel berdasarkan EN 14214 (European Standard for Biodiesel)


dapat dilihat pada tabel berikut

11
Tabel 2.1 Standar baku mutu biodiesel berdasarkan EN 14214

(Sumber : http://www.oiltek.com.my/palm_biodiesel.html)

2.3 Bahan Baku

Sejumlah minyak nabati dengan komposisi asam lemak yang bervariasi dapat
digunakan untuk bahan baku pembuatan biodiesel. Empat di antaranya yang telah
diteliti secara luas adalah kacang kedelai (Liu dkk.,2006; Xie dkk., 2005), rapeseed
(Han dkk.,2009), sawit, dan bunga matahari (Ramos dkk.,2008). Minyak nabati
tersebut terdiri dari triacilgliserol (TAGs) –sebuah bentuk lipida yang terdiri dari tiga
molekul asam lemak yang berikatan dengan gliserol. Selain itu juga terdapat
diacilgliserol (DAGs) dan monoacilgliserol (MAGs) (Saraf dkk.,2007).

Trigliserida merupakan komponen minyak nabati terbesar. Trigliserida terlibat secara


langsung dalam reaksi pembentukan ester alkil asam lemak, yang merupakan
komponen utama dari biodiesel. Komponen lain yang juga terdapat dalam minyak
nabati adalah asam lemak bebas (FFA). Definisi asam lemak secara struktur molekul
adalah asam karboksilat beratom karbon 6-30. Asam lemak bebas adalah asam lemak

12
yang terdapat dalam minyak pangan dan gugus karboksilatnya bebas, dalam pengertian
tak terikat dalam bentuk ester, garam, dan lain-lain. Asam lemak bebas biasa terdapat
dalam minyak nabati sebagai akibat dari proses hidrolisis trigliserida (Sigit dkk., 2008).

Tabel 2.2 Komposisi asam lemak dan beberapa sifat fisik berbagai jenis minyak nabati

(Sumber : Fangrui dkk., 1999)

Tabel 2.3 Distribusi asam lemak pada berbagai minyak nabati dan lemak hewan

(Sumber : Canacki dkk., 2001)

Perbedaan minyak nabati yang digunakan akan mempengaruhi sifat fisik dari biodiesel
yang dihasilkan. Selain keempat minyak di atas, olein sawit, minyak jarak (Jatropha
curcas sp), kemiri sunan (Aleurites trisperma), dan kemiri (Aleurites moluccana) juga
menjadi salah satu pilihan bahan baku biodiesel yang akan dibahas lebih lanjut dalam
subbab berikutnya.

13
2.3.1 Olein sawit

Olein merupakan produk turunan dari CPO. Semua komponen buah sawit dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Buah sawit memiliki daging dan biji sawit (kernel),
dimana daging sawit dapat diolah menjadi CPO (crude palm oil) sedangkan buah sawit
diolah menjadi PK (kernel palm). Ekstraksi CPO rata-rata 20% sedangan PK 2.5%.
Sementara itu cangkang biji sawit dapat dipergunakan sebagai bahan bakar ketel uap.

Gambar 2.2 Kernel sawit


(Sumber : http://www.fooducate.com/blog/tag/saturated-fat/)

Minyak sawit dapat dipergunakan untuk bahan makanan dan industri melalui proses
penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau atau RBDPO (Refined, Bleached and
Deodorized Palm Oil). CPO juga dapat diuraikan untuk produksi minyak sawit padat
(RBD Stearin) dan minyak sawit cair (RBD Olein). RBD Olein terutama dipergunakan
untuk pembuatan minyak goreng. Sedangkan RBD Stearin terutama dipergunakan
untuk margarin dan shortening, di samping untuk bahan baku industri sabun dan
deterjen. Pemisahan CPO dan PK dapat menghasilkan oleokimia dasar yang terdiri dari
asam lemak dan gliserol. Secara keseluruhan proses penyulingan minyak sawit tersebut
dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% PFAD (Palm Fatty Aid Distillate) dan
0.5% buangan3.

3
http://www.asiaberjangka.co.id/BursaProduk/Olein.htm

14
Tabel 2.4 Komposisi rata-rata asam lemak dalam berbagai jenis minyak nabati

(Sumber : Joelianingsih dkk., 2006)

2.3.2 Jarak Pagar (Jatropha curcas l.)

Jarak pagar adalah tumbuhan yang tingginya mencapai 5-7 m, termasuk ke dalam
famili Euphorbiaceae, dan rata-rata memiliki usia sampai 50 tahun. Tumbuhan ini
banyak banyak berkembang di Meksiko, Amerika Tengah, Brazilia, Bolivia, Argentina,
dan Paraguay (Achten, W.M.J. dkk., 2008). Minyak jarak pagar (Jatropha curcas)
dipilih sebagai bahan baku biodiesel karena : (a) sifat fisika-kimia nya sesuai dengan
sifat bahan baku untuk memproduksi biodiesel, (b) minyak jarak tidak termasuk
minyak pangan, (c) tanaman jarak dapat tumbuh baik di lahan kering/kritis sehingga
berpotensi mengubah lahan kritis menjadi lahan yang produktif (Melanie, 2000).

15
Gambar 2.3 Tanaman jarak
(Sumber : http://majarimagazine.com/2009/06/potensi-pengembangan-biodiesel-di-
indonesia/)

Beberapa sifat fisik dan karakteristik dari minyak jarak dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 2.5 Karakteristik dan komposisi minyak jarak

(Sumber : W.M.J. Achten dkk., 2008)

16
Minyak jarak mengandung lebih dari 75% asam lemak tak jenuh yang dinyatakan dari
nilai cloud point dan pour point. Asam lemak yang terdapat dalam minyak jarak
didominasi oleh asam oleat (C18:1) dan asam linoleat (C18:2).

Gambar 2.4 Komposisi asam lemak pada minyak jarak


(Sumber : W.M.J. Achten dkk., 2008)

Vyas dkk. (2008) telah meneliti pembuatan biodiesel dari minyak jarak dengan
transesterifikasi dengan metanol. Konversi yang diperoleh adalah sekitar 84% pada
suhu 70oC, waktu reaksi 6 jam, dengan kecepatan pengadukan 600 rpm, serta jumlah
katalis 6% berat. Tiwari A.K menyatakan bahwa konversi maksimal untuk minyak
jarak pagar yang mengandung asam lemak bebas tinggi (14%) dan angka asam yang
sekitar 28 mgKOHg-1 membutuhkan perlakuan awal dengan metanol (perbandingan
molar metanol dengan minyak adalah 6,5:1) menggunakan H2SO4 sebagai katalis
(1,43%) selama 88 menit dan 60oC. Reaksi transesterifikasi yang berlangsung
setelahnya akan menghasilkan laju konversi lebih dari 99% (rasio molar metanol : oil =
4:1) dan 0,6% KOH selama 24 menit.

Tabel 2.6 Komposisi dan karakteristik metil ester minyak jarak berdasarkan beberapa
standard

17
(Sumber : W.M.J. Achten dkk., 2008)

2.4 Proses Pembuatan

Biodiesel secara umum dibuat dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Pencampuran

Tahap ini merupakan tahap awal di mana terjadi reaksi antara senyawa alkohol dengan
minyak pangan dengan bantuan katalis basa. Zat yang pertama kali dicampurkan adalah
metanol dengan katalis dalam wadah tertutup untuk mencegah kontak antara reaktan
dengan CO2. CO2 akan mengurangi keaktifan katalis. Campuran tersebut diaduk hingga
katalis melarut dan homogen dalam metanol. Selanjutnya campuran ini dituangkan
dalam minyak nabati dan diaduk terus-menerus selama 2 jam dalam temperatur 60oC.
Dalam campuran inilah terjadi reaksi transesterifikasi (Sigit dkk., 2008).

2. Pengendapan

Tahap berikutnya merupakan tahap pengendapan yang bertujuan untuk memisahkan


produk dari gliserol yang merupakan produk samping transesterifikasi. Pemisahan

18
dapat dilakukan dengan corong selama 1-2 jam di mana gliserol dan produk akhir akan
membentuk dua fasa yang kemudian dipisahkan.

3. Pencucian

Pada tahap ini dilakukan pencucian produk akhir untuk membersihkan etanol atau
senyawa-senyawa lain yang masih terbawa. Cara pencucian adalah dengan
mencampurkan air ke dalam campuran produk dengan perbandingan air : etil ester = 3 :
10. Campuran diaduk selama 30 menit sampai terbentuk dua fasa pada campuran : etil
ester di atas, air di bawah. Indikator pencucian dilihat dari pH air pencuci. Jika pH-nya
telah mencapai 7, berarti tidak ada lagi pengotor dalam produk.

Gambar 2.5 Skema pembuatan biodiesel dari olein sawit


(Sumber : http://www.oiltek.com.my/palm_biodiesel.html)

19
2.5 Reaksi yang Terlibat

Biodiesel secara umum dibuat berdasarkan reaksi transesterifikasi. Seperti yang telah
diketahui, biodiesel terdiri dari triester yang bergabung dengan molekul gliserol atau
lebih dikenal sebagai trigliserida. Molekul ini harus dipecah, karena itu diperlukan
katalis. Katalis akan memecah trigliserida dan melepaskan ester (Firdaus dan
Ardhyasari, 2009). Pada saat ester terpisah, mereka akan dikombinasikan dengan
alkohol. Produk dari reaksi terpisah menjadi dua fasa oleh gravitasi. Kemudian bagian
metil ester asam lemak dipurifikasi dengan proses pencucian air agar metil ester asam
lemak sesuai dengan standar biodiesel.

Gambar 2.6 Reaksi transesterifikasi biodiesel

Transesterifikasi terdiri dari beberapa reaksi reversibel. Trigliserida akan diubah


menjadi digliserida, kemudian direaksikan menjadi monogliserida dan gliserol.
Menurut Eckey, mekanisme reaksi esterifikasi dibagi menjadi tiga tahap:
1. Tahap pertama, yaitu pernyerangan gugus karbonil dari molekul trigliserida
oleh anion alkohol (ion metoksida) untuk membentuk intermediat tetrahedral.
2. Thap kedua, yaitu reaksi antara alkohol dengan intermediat untuk meregenerasi
anion alkohol (ion metoksida).
3. Tahap ketiga, yaitu penyusunan kembali ester asam lemak dan digliserida.
Saat NaOH, KOH, K2CO3, atau katalis lainnya dicampur dengan alkohol, gugus
alkoksida sebagai katalis yang sebenarnya terbentuk. Sejumlah kecil air yang dihasilkan
selama reaksi dapat menyebabkan terjadinya reaksi penyabunan selama
transesterifikasi.

20
Gambar 2.7 Tahapan reaksi transesterifikasi
(Sumber : Ma, dkk.,1999)
Metanol dan etanol menjadi jenis alkohol yang paling sering digunakan untuk reaksi
transesterifikasi. Metanol terutama digunakan karena harganya yang murah dan rantai
karbonnya pendek sehingga dapat bereaksi cepat dengan trigliserida dan NaOH. Secara

21
stoikiometri perbandingan molar antara alkohol dan trigliserida adalah 3:1. Pada
kenyataannya perbandingan yang dipakai lebih besar agar perolehan esternya dapat
maksimal.

Reaksi ini dapat dikatalisis dengan alkali, asam, atau enzim. Alkali meliputi NaOH,
KOH, karbonat, dan potasium alkoksida seperti sodium metoksida, sodium etoksida,
sodium propoksida, dan sodium butoksida. Asam sulfat, asam sulfonat, dan asam
klorida dipakai sebagai katalis asam. Lipase juga dapat dipakai sebagai biokatalis.
Katalis basa jauh lebih cepat dibandingkan dengan katalis asam dan dipakai secara
komersial.

Untuk reaksi transesterifikasi menggunakan katalis basa, gliserida dan alokohol harus
tidak mengandung air (anhidrat). Karena air membuat reaksinya mengarah menjadi
reaksi penyabunan. Pembentukan sabun menjadikan perolehan ester menjadi rendah
dan menyulitkan pemisahan antara ester dan gliserol. Menurut Keim, kandungan asam
lemak bebas pada trigliserida harus rendah.

Titik didih dan titik leleh dari produk transesterifikasi meningkat ketika jumlah atom
karbon meningkat tetapi menurun saat jumlah ikatan rangkap meningkat. Titik leleh
meningkat seiring dengan berkurangnya molekul gliserida (tri-,di-, mono-).

Freedman menyebutkan dalam jurnalnya bahwa rasio molar katalis alkali dengan
alkohol adalah 6:1 untuk mendapatkan perolehan yang sama dengan katalis asam untuk
perbandingan 30:1. alkali-catalyzed Bradshaw and Meuly (1944) menyatakan bahwa
dalam praktiknya perbandingan molar adalah 3,3 sampai 5,25:1 untuk metanol dan
minyak nabati. Rasio 4,8:1 digunakan untuk beberapa kasus, tergantung kualitas
minyaknya. Jika transesterifikasinya dilaksanakan tiga tahap, maka perbandingannnya
menurun menjadi 3,3:1. Kandungan metanol di atas 1,75 ekuivalen akan menyebabkan
gliserol susah dipisahkan secara gravitasi, yang akibatnya menyebabkan biaya produksi
menjadi lebih mahal. Tanaka (1981) dalam jurnalnya menyatakan untuk memperoleh
konversi sebesar 99,5% dari minyak kelapa, minyak sawit, dan semacamnya dapat
menggunakan perbandingan molar 6:1±30:1 dengan katalis asam.(Ma dkk.,1999)

22
Penghilangan asam lemak bebas dapat dilakukan melalui reaksi esterifikasi. Pada reaksi
ini asam lemak bebas direaksikan dengan metanol menjadi sabun sehingga tidak
mengurangi perolehan biodiesel. Definisi esterifikasi menurut Fessenden adalah reaksi
pembuatan ester dari asam karboksilat dan alkohol.

Gambar 2.8 Reaksi esterifikasi

Reaksi ini merupakan reaksi kesetimbangan endoterm, sehingga diperlukan pemanasan


untuk mempercepat reaksi ini. Pada kondisi normal, reaksi ini berjalan lambat sehingga
diperlukan katalis. Katalis yang cocok digunakan adalah katalis yang bersifat asam
kuat, seperti asam sulfat asam sulfonat organik dan resin penukar ion asam kuat.

Skema reaksi pembuatan biodieselnya dapat dilihat sebagai berikut

Gambar 2.9 Reaksi pada pembuatan biodiesel

23
2.6 Keuntungan dan Kelemahan

Bahan bakar ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan bahan bakar fosil,
diantaranya adalah :

1. Aman, karena memiliki flash point yang tinggi


2. Memiliki bilangan setana yang tinggi
3. Pembakaran sempurna (bebas sulfur dan rendah jumlah bilangan asap)
4. Memiliki efek pelumasan terhadap mesin
5. Rendah kualitas emisinya
6. Ramah lingkungan karena emisinya hampir tidak mengandung SO2
7. Pada putaran per menit yang rendah, tarikan yang dihasilkan lebih besar4 (Moser
dkk., 2007; Vyas dkk., 2008; Canacki dkk., 2001)

Biodiesel mempunyai angka cetane lebih besar daripada bahan bakar diesel, tidak
mengandung aromatik, hampir tidak mengandung sulfur, dan mengandung 10%-11%
fraksi berat oksigen. Karakteristik ini mengakibatkan pengurangan emisi CO, CH
(hidrokarbon), dan material-material partikulat pada gas buang dibandingkan bahan
bakar diesel (Canacki,M. dan Van Gerpen J., 2001).

Selain kelebihan, biodiesel juga masih memiliki sejumlah kekurangan dibandingkan


bahan bakar konvensional, yaitu :

1. Derajat kekentalan (viskositas) minyak nabati jika langsung digunakan sebagai bahan
bakar adalah sepuluh sampai dua puluh kali viskositas solar (petrodiesel). Sifat fisik ini
merupakan penyebab buruknya atomisasi dan mengakibatkan pembakaran tidak
sempurna yang telah dites sejak tahun 1920 oleh ilmuwan Madhot.

2. Nilai kalori lebih rendah, sedang titik tuang lebih tinggi dibanding minyak solar
(energi fosil), sehingga sedikit lebih boros dibanding solar.

4
http://bahasa.biodieselindonesia.com/indexxx.php?view=_biodiesel

24
3. Tenaga, torsi dan efisiensi sedikit turun dibanding solar. Sebagai contoh, biodiesel
jenis B30 (30% biodiesel vs solar) menurunkan tenaga, torsi dan efisiensi sekitar 3%
dibanding solar.5
4. Biodiesel cenderung tidak tahan terhadap oksidasi oleh udara atmosfer, terutama
pada asam lemak tidak jenuh

2.7 Stabilitas Oksidasi

Stabilitas oksidasi adalah salah satu karakteristik penting biodiesel terutama saat
penyimpanan dalam selang waktu yang lama. Stabilitas oksidasi berkaitan dengan
ketahanan biodiesel tersebut dari degradasi yang disebabkan reaksi oksidasi. Faktor
yang mempengaruhi stabilitas oksidasi diantaranya adalah kehadiran udara, panas,
logam tertentu, dan antioksidan. Beberapa studi kasus telah dilakukan untuk meneliti
pengaruh reaksi oksidasi terhadap karakteristik biodiesel dan hasilnya menunjukkan
bahwa nilai viskositas, nilai peroksida, dan nilai densitas biodiesel meningkat,
sedangkan panas pembakarannya menjadi berkurang.

Tes induksi Rancimat merupakan tes yang secara luas diterapkan untuk mengukur
kestabilan oksidasi biodiesel. Dalam metode Rancimat, aliran udara dimurnikan
melewati sampel biodiesel pada suhu tertentu dalam blok thermostat aluminium. Udara
yang mengandung sampel minyak tersebut kemudian dijadikan gelembung-gelembung
melalui sebuah bejana yang berisi air deionisasi. Konduktivitas air dimonitor
dan disimpan oleh perangkat lunak pada PC yang terpasang. Akhir periode induksi
sesuai dengan tampilan pada produk oksidasi sekunder - asam organik volatil, terutama
asam format - yang ditiup keluar dari biodiesel sampel dan terserap dalam air. Pada
waktu itu konduktivitas air mulai meningkat dengan cepat. Jumlah rantai pendek yang
berada pada distilat adalah indikator langsung stabilitas oksidasi dari biodiesel. Tes
Rancimat untuk 90 hari penyimpanan juga menunjukkan adanya kenaikan viskositas,
nilai peroksida, dan asam lemak bebas (Knothe, 2005).

5
http://biodiesel.biodiesel-itb.com

25
Gambar 2.10 Peralatan uji rancimat
(Sumber:
http://www.albemarle.com/Products_and_services/Polymer_additives/Antioxidants/Fue
l/Biodiesel/_Technical_papers/ALB%20Biodiesel%20Solutions%20200607.pdf)

Pada umumnya, minyak nabati yang dihasilkan dilindungi dari oksidasi oleh kehadiran
antioksidan yang terjadi secara alami (misalnya, tocopherol) sehingga memiliki
stabilitas oksidasi yang tinggi. Namun, proses pembuatan biodiesel di industri
menghilangkan antioksidan alami, menyisakan biodiesel yang tidak terlindung dari
degradasi oksidasi.

Stabilitas oksidasi berkaitan erat dengan proses oksidasi yang dialami biodiesel.
Mekanisme oksidasi dibagi menjadi dua, yaitu autooksidasi dan fotooksidasi.
Kecepatan oksidasi dapat sangat bervariasi. Oksidasi didukung oleh kehadiran cahaya,
materi tambahan seperti metal, radikal alami, dan jumlah ikatan rangkap yang dimiliki
asam lemak. Oksidasi berpengaruh terutama pada pemutusan komponen biodiesel
menjadi rantai-rantai asam lemak yang lebih pendek. Oksidasi juga membentuk suatu
polimer (gums) yang tidak larut satu sama lain. Hal ini dapat menyebabkan kegagalan
pada mesin.

26
Mekanisme oksidasi yang umum diawali dengan penyerangan ikatan rangkap molekul
FAME oleh radikal. Hal ini dipengaruhi oleh panas, cahaya dan faktor pendukung
lainnya. Radikal akan bereaksi dengan oksigen atmosferik membentuk radikal peroksi,
kemudian dilanjutkan dengan proses autooksidasi (autokatalitik). Radikal peroksi
sangat reaktif dan konsentrasinya bertambah secara eksponensial terhadap waktu.6

Dalam minyak nabati, oksidasi dapat mengarah pada pembentukan spesies dengan berat
molekul besar. Selain itu, pengotor berupa logam transisi Grup IV memiliki
kemampuan untuk mengkatalisis autoksidasi radikal bebas dari asam lemak tak jenuh
metil ester. Molekul-molekul ini mengandung bis-allylic hidrogen yang sangat reaktif
yang dapat membentuk radikal bebas. Radikal bebas ini kemudian bereaksi dengan
oksigen untuk membentuk hidroperoksida. Logam katalitik berfungsi mempercepat
dekomposisi hidroperoksida sehingga mempercepat laju autoksidasi. Stabilitas
biodiesel dapat ditingkatkan dengan penambahan antioksidan dan reaksi hidrogenasi.

Gambar 2.11 Contoh penambahan antioksidan pada biodiesel


(Sumber http://www.albemarle.com/Products_and_services/Polymer_additives/
Antioxidants/ Fuel/Biodiesel/_Technical_papers/ALB%20Biodiesel%20
Solutions%20200607.pdf)

6
http://www.aclinstruments.com/en/fields-of-application/technical-goods/fuels/biodiesel/

27
2.8 Hidrogenasi Parsial Biodiesel

Hidrogenasi merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan kestabilan oksidasi


dari biodiesel, selain penambahan antioksidan. Hidrogenasi memiliki prinsip yang
sederhana dan cenderung lebih ekonomis dibandingkan metode yang lain. Prinsipnya
adalah memutus ikatan rangkap dari asam lemak tak jenuh sehingga menurunkan reaksi
oksidasi yang terjadi. 7

Hidrogenasi parsial mengubah asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh yang
mempunyai rantai lurus dan sifat fisik yang berbeda. Selama reaksi hidrogenasi parsial
berlangsung, beberapa molekul asam lemak tak jenuh yang berkonfigurasi cis
mengalami penyusunan ulang menjadi trans yang bentuknya lebih linear dan lebih
stabil secara termodinamika.

Gambar 2.12 Pembentukan asam lemak trans dari asam lemak cis
(Sumber : http://www.elmhurst.edu/~chm/vchembook/images/558cistranslino.gif)

Moser dkk. (2008) melakukan penelitian tentang hidrogenasi parsial minyak kedelai
pada reaktor yang dipanaskan sampai 170oC pada tekanan vakum. Gas H2 dialirkan dan
jalannya proses diawasi dengan mengukur indeks refraktif yang diambil pada

7
http://www.elmhurst.edu/~chm/vchembook/558hydrogenation.html

28
temperatur 26oC. Hasilnya menunjukan bahwa minyak kedelai yang terhidrogenasi
mengandung lebih sedikit asam lemak tak jenuh dibandingkan dengan minyak kedelai
biasa. Hal ini mengakibatkan kestabilan oksidasi biodiesel pun meningkat. Untuk uji-
uji seperti angka asam, angka iodium, dan angka peroksida, semuanya berada dalam
batasan yang diizinkan (batas untuk angka peroksida adalah kurang dari 1, batas untuk
angka iodium adalah 120).

Tabel 2.7 Sifat fisik minyak kedelai terhidrogenasi pada berbagai perbandingan
komposisi

Dari tabel di atas juga diketahui bahwa hidrogenasi juga meningkatkan kestabilan
oksidasi biodiesel secara signifikan seiring kenaikan komposisi PHSME (Partial
Hydrogenation of Soy Bean Methyl Ester).

Skema hidrogenasi yang umum dapat dilihat sebagai berikut

Gambar 2.15 Skema hidrogenasi

29
Katalis yang sering digunakan pada reaksi ini adalah nikel atau tembaga (CuO 50% +
Cr2O3 40% + BaO 10%). Tembaga mempunyai selektivitas yang tinggi untuk asam
linolenat dan dapat menghasilkan asam oleat 72% tanpa peningkatan jumlah asam
stearat.8 Hal ini sesuai dengan kebutuhan asam oleat yang tinggi (rangkap 1) untuk
mencegah biodiesel menjadi padat pada suhu ruang.

Gambar 2.16 Molekul Asam Oleat


(Sumber : http://www.3dchem.com/molecules.asp?ID=384)

Asam oleat adalah asam lemak monounsaturated omega-9 yang ditemukan dalam
berbagai hewan dan sumber nabati. Bentuk jenuh asam ini adalah asam stearat. Asam
lemak adalah asam karboksilat alifatik dengan ekor panjang bercabang (rantai), yang
baik jenuh atau tak jenuh. Asam lemak berasal dari lemak dan minyak alami dapat
diasumsikan memiliki atom karbon minimal 8.

Asam lemak tak jenuh memiliki satu atau lebih gugus fungsional alkenyl ada di
sepanjang rantai. Dua atom karbon berikutnya dalam rantai yang terikat pada kedua sisi
ikatan ganda memungkinkan dapat terjadinya konfigurasi cis atau trans. Konfigurasi
cis berarti bahwa atom-atom karbon bersebelahan berada di sisi yang sama dari ikatan

8
http://class.fst.ohio-state.edu/fst821/Lect/hydro.pdf

30
rangkap. Kekakuan dari ikatan rangkap dalam kasus isomer cis menyebabkan rantai
membungkuk dan membatasi kebebasan konformasi dari asam lemak. Sebagai contoh,
asam oleat, dengan satu ikatan rangkap, memiliki struktur yang kaku sementara asam
linoleat dengan dua ikatan ganda, memiliki sebuah lekukan yang lebih jelas. Hal ini
berarti bahwa dalam lingkungan terbatas, seperti ketika asam lemak adalah bagian dari
fosfolipida antara dua lapisan lipida, atau trigliserida dalam tetesan lipida, konfigurasi
cis membatasi kemampuan asam lemak untuk dikemas secara dekat sehingga dapat
mempengaruhi suhu leleh dari lemak.

Sebuah konfigurasi trans, sebaliknya, dua atom karbon berikutnya terikat ke sisi
berlawanan dari ikatan rangkap. Hal ini tidak menyebabkan rantai untuk menekuk
banyak, dan bentuknya mirip dengan asam lemak jenuh lurus. Pada sebagian besar
asam lemak tak jenuh, masing-masing memiliki ikatan rangkap atom karbon 3n setelah
itu, untuk beberapa n, dan semuanya konfigurasi cis. Sebagian besar asam lemak dalam
konfigurasi trans (lemak trans) tidak ditemukan di alam dan merupakan hasil dari
pengolahan manusia (misalnya, hidrogenasi). Perbedaan dalam geometri antara
berbagai jenis asam lemak tak jenuh, serta antara jenuh dan asam lemak tak jenuh,
memainkan peran penting dalam proses biologis dan konstruksi struktur biologis
(seperti membran sel).

31
BAB III

RANCANGAN PENELITIAN

3.1 Metodologi

Merujuk pada hal yang telah dibahas dalam bab I, penelitian ini berbasis pada reaksi
transesterifikasi dan hidrogenasi parsial untuk meningkatkan kualitas biodiesel. Dalam
skala laboratorium, perinciannya sebagai berikut :

1. Pembuatan biodiesel
a. Persiapan dan analisis komposisi minyak nabati
b. Transesterifikasi trigliserida dan pemisahan gliserol
c. Pencucian dan pemurnian biodiesel hasil transesterifikasi
2. Hidrogenasi parsial
a. Pencampuran minyak dengan katalis dalam reaktor sambil diumpankan gas
H2
b. Penyaringan minyak untuk pemurnian
c. Analisis komposisi biodiesel setiap satuan waktu
3. Analisis sifat-sifat fisik dan komposisi asam lemak

3.2. Rancangan Percobaan

3.2.1. Bahan

Bahan – bahan kimia yang dipakai pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Minyak Nabati
Minyak nabati merupakan bahan baku pembuatan biodiesel. Minyak nabati
yang digunakan pada penelitian kali ini yaitu minyak nabati yang berasal dari
olein minyak sawit dan jarak pagar (Jathropa curcas l.).
2. Alkohol

32
Alkohol digunakan pada proses pembuatan biodiesel dan uji – uji sifat fisik
biodiesel. Alkohol yang digunakan pada percobaan ini adalah methanol
(CH3OH) technical grade.
3. Katalis
Katalis digunakan pada proses pembuatan biodiesel dan proses hidrogenasi.
Katalis yang digunakan pada proses pembuatan biodiesel secara transesterifikasi
adalah KOH. Katalis yang digunakan pada proses hidrogenasi adalah Pd/C.
4. Gas Hidrogen
Gas hidrogen yang digunakan pada proses hidrogenasi adalah hidrogen high
purity.
5. Reagen untuk Uji–Uji Sifat Fisik Biodiesel
Reagen–reagen yang dipakai pada penelitian ini untuk uji–uji sifat fisik
biodiesel antara lain asam klorida, kalium hidroksida, larutan fenolftalein,
larutan wijs, kalium iodide, sikloheksan, asam asetat glasial, kalium dikromat,
natrium tiosulfat dengan kualitas pure analyst, dan etanol (C2H5OH) 95%-v.

3.2.2. Alat

Alat – alat yang dipakai pada penelitian kali ini adalah sebagai berikut :

1. Labu Berleher tiga + kondenser

Labu berleher tiga dipakai untuk mencampurkan minyak nabati, alkohol, dan katalis
pada proses pembuatan biodiesel. Alat ini juga dilengkapi dengan kondensor pada
bagian atasnya. Alat ini terbuat dari gelas tahan panas. Diameter luar dari labu ini
adalah sebesar 108 mm dan tinggi 170 mm. Volume totalnya adalah 500 mL.

2. Hot plate + stirrer

Hot plate digunakan sebagai medium pemanas pada proses pembuatan biodiesel,
sedangkan stirrer digunakan untuk mengaduk larutan sehingga akan didapat larutan
yang homogen. Hot plate yang digunakan memiliki rentang temperatur antara 50oC –
250oC. Stirrer yang digunakan memiliki rentang kecepatan antara 100 – 1500 rpm.

33
Gambar 3.1 Peralatan pembuatan biodiesel

3. Reaktor hidrogenasi

Reaktor ini digunakan pada proses hidrogenasi biodiesel. Reaktor ini terdiri dari sebuah
silinder yang memiliki diameter 11 cm dan tinggi 8,25 cm. Pressure gauge dan
termometer digunakan untuk mengukur tekanan dan temperatur operasi. Gambar dari
reaktor ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Alat ini memiliki sebuah pemanas
dan pengaduk. Pengatur temperatur dipasang pada bagian keluaran untuk mengontrol
temperatur operasi.

34
stirrer

termometer

Gas input

Pressure
gauge

1.6 in. x 0.4 in.

8,25
cm

Heater

C
11 cm

Gambar 3.2 Skema reaktor hidrogenasi

4. Peralatan Uji Karakteristik

a. Peralatan Uji Angka Asam

Metode yang digunakan adalah menggunakan proses titrimetri sesuai dengan standar
FBI-A01-03. Rangkaian alat yang dibutuhkan terdiri dari buret mikro 10 mL dengan
skala 0,05 mL, labu Erlenmeyer dengan volume 250 mL, dan neraca analitik dengan
ketelitian 0,05 gram.

b. Peralatan Uji Angka Iodium

Metode yang digunakan adalah menggunakan prosedur wijs sesuai dengan standar FBI-
A04-03. Rangkaian alat yang dibutuhkan terdiri dari labu Erlenmeyer bertutup dengan
volume 500 mL, labu takar bertutup dengan volume 1000 mL, pipet ukur dengan
volume 5, 20, 25, dan 50 mL, neraca analitik dengan ketelitian 0,05 gram, magnetic
stirrer, kertas saring, gelas piala, dan pengukur waktu.

c. Peralatan Uji Gliserol Total dan Gliserol Bebas

Rangkaian alat yang dibutuhkan untuk uji gliserol total dan gliserol bebas terdiri dari
buret dengan volume 25 mL, kondensor spiral dengan sambungan NS 24/40, kondensor
leibig, labu Erlenmeyer bertutup dengan volume 250 dan 500 mL, labu destilasi 2 L,

35
pipet ukur 1, 5, dan 10 mL, pipet volume 25 dan 50 mL, gelas kimia 100 mL, gelas
ukur 100 mL, hot plate + stirrer, dan filler.

d. Peralatan Uji Angka Sabun

Metode yang digunakan adalah menggunakan proses titrimetri sesuai dengan standar
FBI-A03-03. Rangkaian alat yang dibutuhkan terdiri dari labu Erlenmeyer 250 mL
dengan sambungan NS 24/40, kondensor dengan panjang minimum 65 cm, dan labu
destilasi dengan volume 2 L yang dilengkapi dengan kondensor.

e. Peralatan Uji Densitas

Densitas dari biodiesel diuji dengan menggunakan piknometer dengan volume 50 mL


dengan toleransi ±3 mL.

f. Peralatan Uji Viskositas

Viskositas dari biodiesel diuji dengan menggunakan viskometer.

g. Peralatan Uji Stabilitas Oksidasi

Metode untuk menguji stabilitas oksidasi dilakukan menggunakan standard BS EN


14112:2003. Uji stabilitas oksidasi ini menggunakan rancimat apparatus yang terdiri
dari filter udara, pompa dengan pengatur laju alir, vessel, measurement cell, elektroda,
measuring and recording apparatus, heating block, dan thyristor and contact
thermometer.

h. Peralatan Uji Angka Peroksida

Alat untuk menguji angka peroksida adalah potentiometric titration apparatus. Metode
pengujian ini menggunakan standard BS ISO 27107:2008.

i. Peralatan Uji Titik Awan

Peralatan uji titik awan adalah cork, jacket, disk, gasket, cooling bath, dan
thermometer. Metode yang digunakan adalah ASTM D 2500-91.

j. Peralatan Uji Titik Tuang

Peralatan uji titik awan adalah cork, jacket, disk, gasket, cooling bath, dan
thermometer. Metode yang digunakan adalah ASTM D 97-87.

36
3.2.3 Prosedur

Prosedur penelitian ini secara umum dibagi menjadi dua garis besar, yaitu hidrogenasi-
transesterifikasi dan transesterifikasi-hidrogenasi. Tahapan-tahapannya secara terpisah
adalah:

1. Pembuatan biodiesel

Biodiesel secara umum dibuat dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :

a) Analisis Komposisi Minyak Nabati

Analisis komposisi minyak nabati dilakukan dengan menggunakan gas


chromatography. Sekitar 5 µm sampel minyak nabati diinjeksikan ke dalam GC untuk
dianalisis komponen-komponen yang terkandung di dalamnya. Selain itu, dilakukan
pula uji angka asam, pada minyak nabati ini. Uji ini dilakukan berdasarkan pada
metode FBI-A01-03 (terlampir).

b) Pencampuran

Pencampuran metanol dengan biodiesel memakai perbandingan mol 6:1. Pembuatan


biodiesel dari minyak jarak menggunakan 136 mL metanol yang dicampurkan dengan
1,5 gram katalis KOH. Kedua bahan tersebut dicampurkan dalam labu berleher tiga
yang dilengkapi dengan pengaduk dan kondenser. Campuran ini diaduk sampai katalis
melarut dalam metanol. Setelah itu, 164 mL minyak jarak dicampurkan ke dalam labu
dan dipanaskan dengan menggunakan pemanas. Campuran ini diaduk terus menerus
dengan kecepatan pengaduk yang konstan.

Pembuatan biodiesel dari minyak sawit menggunakan 138 mL metanol yang


dicampurkan dengan 1,5 gram katalis KOH. Kedua bahan tersebut dicampurkan dalam
labu berleher tiga yang dilengkapi dengan pengaduk dan kondenser. Campuran ini
diaduk sampai katalis melarut dalam metanol. Setelah itu, 162 mL minyak jarak
dicampurkan ke dalam labu dan dipanaskan dengan menggunakan pemanas. Campuran
ini diaduk terus menerus dengan kecepatan pengaduk yang konstan.

37
b). Pengendapan

Setelah proses transesterifikasi selesai, produk reaksi transesterifikasi berupa gliserol


dan metil ester akan membentuk dua fasa. Pemisahan gliserol dapat dilakukan dengan
corong Butchner selama 1-2 jam sampai seluruh gliserol berhasil dipisahkan.

c) Pencucian

Pada tahap ini dilakukan pencucian produk akhir untuk membersihkan metanol atau
senyawa-senyawa lain yang masih terbawa. Cara pencucian adalah dengan
mencampurkan air yang bersuhu ±80oC ke dalam campuran produk dengan
perbandingan air : metil ester = 1 : 10. Campuran diaduk selama sampai terbentuk dua
fasa pada campuran : metil ester di atas, air di bawah. Indikator pencucian dilihat dari
pH air pencuci. Jika pH-nya telah mencapai 7, berarti tidak ada lagi pengotor dalam
produk.

2. Hidrogenasi parsial

400 mL(356 g) dari minyak nabati atau biodiesel yang telah didistilasi dicampurkan
dengan 14 gr katalis Pd/C di dalam reaktor dan diaduk dengan batang pengaduk. Gas
hidrogen lalu dialirkan ke dalam reaktor, sehingga akan terjadi reaksi hidrogenasi.
Hidrogenasi dilakukan dengan tiga variasi temperatur yaitu 60oC, 120oC, dan 170oC
dan variasi tekanan gas hidrogen, yaitu 1, 2, dan 3 atm. 50 mL sampel diambil tiap 30
menit untuk dianalisis menggunakan gas chromatography. Setelah itu produk yang
dihasilkan disaring menggunakan corong Buchner.

3. Analisis komposisi asam lemak dan sifat fisik biodiesel

Analisis komposisi asam lemak dilakukan dengan menggunakan gas chromatography.


Sekitar 5 µm sampel biodiesel diinjeksikan ke dalam GC untuk dianalisis komponen-
komponen yang terkandung di dalamnya. Selain itu, perlu diketahui juga sifat fisik dari
biodiesel. Analisis yang digunakan untuk mengetahui sifat fisik biodiesel dilakukan
dengan 7 uji, yaitu

1. Uji angka asam


Uji ini dilakukan berdasarkan pada metode FBI-A01-03 (terlampir).
2. Uji angka iodium

38
Uji ini dilakukan berdasarkan pada metode FBI-A04-03 (terlampir).
3. Uji angka penyabunan
Uji ini dilakukan berdasarkan pada metode FBI-A03-03 (terlampir).
4. Uji angka peroksida
Uji ini dilakukan berdasarkan pada metode yang menggunakan ferri tiosianat
dari Shantha dan Decker yang dijelaskan oleh Hu.
5. Uji viskositas dan densitas
Viskositas diukur berdasarkan pada Standard ASTM D-445. Pengukuran
densitas dilakukan menggunakan piknometer.
6. Uji titik awan dan titik tuang
Uji ini dilakukan berdasarkan pada standard ASTM D 2500-05 untuk titik awan
dan ASTM D 97-96a untuk titik tuang.
7. Uji angka gliserol total dan gliserol bebas
Uji ini dilakukan berdasarkan pada standard FBI-A02-03.
8. Uji stabilitas oksidasi
Uji ini dilakukan berdasarkan pada standard BS EN 14112:2003.

39
Diagram alir percobaan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut

IV

Analisis angka
iodium
AV, PV, IV,
SV, CP,
PP,Viskosit
as,
Densitas,
Hidrogenasi Stabilitas
AV, SV, IV Transesterifikasi Biodiesel oksidasi
Parsial

Analisis angka Analisis


asam, angka komposisi dan
sabun, dan angka sifat fisk
iodium biodiesel

Minyak
Mulai Hidrogenasi nabati Selesai
Transesterifikasi
parsial terhidrogena
si

Analisis angka
iodium

IV

Gambar 3.3 Diagram alir percobaan

Keterangan :

AV = Acid value, SV = Saponification value

CP = Cloud point, PV = Peroxide value

IV = Iodine value, PP = Pour point

40
3.2.4 Variasi Percobaan

Variasi yang dilakukan adalah sumber minyak nabati, jalur percobaan, tekanan operasi,
dan temperatur operasi. Variasi dari keempat hal tersebut adalah sebagai berikut.
1. Sumber minyak nabati
a) Olein sawit
b) Jarak pagar
2. Jalur percobaan
a) Transesterifikasi – hidrogenasi
b) Hidrogenasi – transesterifikasi
3. Tekanan gas H2
a) 1 atm
b) 2 atm
c) 3 atm
4. Temperatur
a) 60 0C
b) 120 0C
c) 170 0C

3.3 Interpretasi Data

Interpretasi data yang terdapat dalam penelitian ini dibagi berdasarkan tahapan pada
prosedur percobaan:
1. Analisis komposisi minyak nabati
Data-data yang diperoleh pada tahap awal ini bertujuan untuk mengetahui
komposisi asam lemak awal dari minyak nabati yang digunakan. Komposisi
asam lemak tersebut diperoleh dari bilangan iodium, bilangan asam, dan
bilangan penyabunan.
2. Karakteristik produk biodiesel (metil ester)
Karakteristiknya mencakup parameter gliserol total, bebas, terikat, densitas, dan
viskositas.
3. Komposisi asam lemak selama reaksi hidrogenasi

41
Data yang diperoleh merupakan kandungan asam lemak dengan menggunakan
kromatografi gas. Puncak-puncak yang terlihat pada kromatograf akan
dicocokkan dengan standard acuan. Pengambilan data ini untuk mengetahui
produk hidrogenasi telah mencapai ikatan rangkap 1 (asam oleat) yang
diinginkan.
4. Karakterisasi produk hidrogenasi
Karakternya mencakup bilangan peroksida, uji stabilitas oksidasi, nilai titik
tuang, titik awan, densitas, viskositas, bilangan asam, bilangan saponifikasi, dan
komposisi senyawa karbon.

3.4 Jadwal

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Achten, W. M. J.; Verchot, L.; Franken, Y. J.; Mathijs E.; Singh, V. J.; Aerts, R.;
Muys, B., ”Jatropha Biodiesel Production and Use”, Biomass and Bioenergy 32
2008, 1063-1084.
2. ASTM D 97-87, “Standard Test Method for Pour Point of Petroleum Oils”.
3. ASTM D 2500-91, “Standard Test Method for Cloud Point of Petroleum Product”.
4. Canakci, M; Van Gerpen, J., “Biodiesel Production From Oils and Fats with High
Free Fatty Acids”, ASAE Vol. 44 (6), 1429-1436.
5. Cornelia, Melanie, “Telaah Tentang Kemungkinan Memproduksi Biodiesel dari
Minyak Jarak Pagar Sebagai Bahan Pengganti Automotive Diesel Oil”, Laporan
Penelitian S2 Teknik Kimia, Politeknik Sriwijaya, 2000.
6. Firdaus, M.; Ardhyasari, Rosita, “Ekstraksi Minyak Alga dari Spirulina Sp Sebagai
Bahan Baku Alternatif Pada Proses Pembuatan Biodiesel”, Laporan Penelitian S1
Teknik Kimia, Universitas Brawijaya, 2009.
7. FBI-A01-03, “Metode Analisis Standar untuk Angka Asam Biodiesel Ester Alkil”.
8. FBI-A02-03, “Metode Analisis Standar untuk Kadar Gliserol Total, Bebas, dan
Terikat di Dalam Biodiesel Ester Alkil”.
9. FBI-A03-03, “Metode Analisis Standar untuk Angka Penyabunan dan Kadar Ester
Biodiesel Ester Alkil”.
10. FBI-A04-03, “Metode Analisis Standar untuk Angka Iodium Biodiesel Alkil Ester
dengan Metode Wijs”.
11. Han, Heyou; Guan, Yanping, “Synthesis of Biodiesel from Rapeseed Oil Using
K2O/𝛾-Al2O3 as Nano-Solid-Base Catalyst”, Wuhan University Journal of Natural
Sciences Vol.14 No.1 2009, 075-079.
12. Hariska, Angga, “Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kemiri Secara
Transesterifikasi dengan Etanol Menggunakan Katalis Natrium Hidroksida”,
Laporan Penelitian S1 Teknik Kimia, Politeknik Sriwijaya, 2009.

43
13. Joelianingsih; Tambunan, Armansyah H.; Nabetani, Hiroshi; Sagara, Yasuyuki;
Abdullah, Kamaruddin, “Perkembangan Proses Pembuatan Biodiesel Sebagai
Bahan Bakar Nabati (BBN)”, Jurnal Keteknikan Pertanian Vol.20 No.3 2006.
14. Knothe, Gerhard; Van Gerpen, J.; Krahl, Jurgen. 2005. The Biodiesel Handbook.
Champaign, Illinois: AOCS Press.
15. Knothe, Gerhard, “Depedence of Biodiesel Fuel Properties on The Structure of
Fatty Acid Alkyl Esters”, Fuel Processing Technology 86 2005, 1059-1070.
16. Knothe, Gerhard, “Some Aspects of Biodiesel Oxidative Stability”, Fuel Processing
Technology 88 2007, 669-677.
17. Liu, Xuejun; He, Huayang; Wang, Yujun; Zhu, Shenlin; Piao, Xianglan,
“Transesterification of Soybean Oil to Biodiesel Using CaO as a Solid Base
Catalyst”, Fuel 87 2008, 216-221.
18. Ma, Fangrui; Hanna, Milford A., “Biodiesel Production : A Review”, Bioresource
Technology 70 1999, 1-15.
19. Moser, Bryan R.; Haas, Michael J.; Winkler, Jill K.; Jackson, Michael A.; Erhan,
Sevim J.; List, Gary R.,”Evaluation of Partially Hydrogenated Methyl Esters of
Soybean Oil as Biodiesel”, Eur. J. Lipid. Sci. Technol. 109 2007, 17-24.
20. Prakoso, Tirto, “Esterifikasi Palm Fatty Acid Distillate”, Proposal Hibah Penelitian
Strategis Nasional DIKTI, 2010.
21. Prakoso, Tirto, “Antioxidant Effect on Oxidative Deterioration of Jatropha Oil
Fatty Acid Methyl Esters”, AIST Japan, 2009.
22. Prakoso, Tirto; Hirotsu, Thasihiro; Goto, Shinichi, “The Effect of Antioxidants on
Biodiesel Fuel from Jatropha Oil”, Paper Dies Emas ITB, 2009.
23. Ramos, Maria Jesus; Fernandes, Carmen Maria; Casas, Abraham; Rodriguez,
Lourdes; Perez, Angel, “Influence of Acid Composition of Raw Materials on
Biodiesel Properties”, Bioresource Technology 100 2009, 261-268.
24. Saraf, S; Thomas, B., “Influence of Feedstock and Process Chemistry on Biodiesel
Quality”, IchemE Vol.85 (B5) 2007, 360-364.
25. Sigit, Andika; Benyamin, Benadri M., “Produksi Biodiesel Etil Ester”, Laporan
Penelitian S1 Teknik Kimia, ITB, 2008.

44
26. Vyas, Amish P.; Subrahmanyan N.; Patel, Payal A., “Production of Biodiesel
Throuh Transesterification of Jatropha Oil Using KNO3/Al2O3 Solid Catalyst”,
Fuel 88 2009, 625-628.
27. Wadumesthrige, Kapila; Salley, Steven O.; Ng, K.Y. Simon, “Effects of Partial
Hydrogenation on the Fuel Properties of Fatty Acid Methyl Esters”, Fuel
Processing Technology 90 2009,1292-1299.
28. Xie, Wenlei; Huang, Xiaoming, “Synthesis of Biodiesel From Soybean Oil Using
Heterogeneous KF/ZnO Catalyst”, Letters Vol. 107,Nos. 1-2 2006.
29. http://majarimagazine.com/2009/06/potensi-pengembangan-biodiesel-di-indonesia/
30. http://www.fooducate.com/blog/tag/saturated-fat/
31. http://www.asiaberjangka.co.id/BursaProduk/Olein.html
32. http://bahasa.biodieselindonesia.com/indexxx.php?view=_biodiesel
33. http://www.aclinstruments.com/en/fields-of-application/technical-
goods/fuels/biodiesel/
34. http://www.elmhurst.edu/~chm/vchembook/images/558cistranslino.gif
35. http://class.fst.ohio-state.edu/fst821/Lect/hydro.pdf
36. http://www.3dchem.com/molecules.asp?ID=384
37. http://www.albemarle.com/Products_and_services/Polymer_additives/Antioxidants
/Fuel/Biodiesel/_Technical_papers/ALB%20Biodiesel%20Solutions%20200607.
pdf
38. http://203.130.206.51:8081/usuocw/teknik-kimia/oleo-kimia/handout/handout-7
39. http://biodiesel.biodiesel-itb.com/
40. http://www.oiltek.com.my/palm_biodiesel.html
41. http://sugiyono.webs.com/paper/p0201.pdf
42. http://nocameranointervention.wordpress.com/2009/03/24/palm-oil-grower-
defends-expansion/
43. http://lemigas-proses.com/biodiesel-sebagai-bahan-bakar-alternatif/
44. http://www.isocinfo.com/DocumentRoot/13/Hydrogen.pdf
45. http://www.wbfuels.com/MaterialSafetyDataSheet.pdf
46. http://www.methanex.com/products/documents/MSDS_USenglish.pdf
(Catatan : Sumber online diakses antara tanggal 14 Maret-17 Mei 2010)

45
LAMPIRAN A
METODE ANALISIS STANDAR UNTUK ANGKA ASAM
BIODIESEL METIL ESTER (FBI-A01-03)

Definisi
Dokumen Metode Analisis Standar ini menguraikan prosedur untuk menentukan angka
asam biodiesel dengan proses titrimetri. Angka asam adalah banyak miligram KOH
yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam bebas di dalam satu (1) gram contoh
biodiesel; sekalipun terutama terdiri dari asam-asam lemak bebas, sisa-sisa asam
mineral, jika ada, juga akan tercakup di dalam angka asam yang ditentukan dengan
prosedur ini.

Lingkup
Dapat diterapkan untuk biodiesel yang berupa ester alkil (metil, etil, isopropil, dsj.) dari
asam-asam lemak serta berwarna pucat.

Peralatan
01. Labu-labu Erlenmeyer - 250 atau 300 ml.

02. Buret mikro, 10 ml, dengan skala 0,02 atau 0,05 ml.

03. Neraca analitik dengan ketelitian ukur  0,05 gram atau lebih baik.

Larutan-larutan
1. Larutan 0,1 N kalium hidroksida di dalam etanol 95 %-v (atau jika tak tersedia etanol
95 %-v, isopropanol kering/absolut). Refluks campuran 1,2 liter etanol 95 %-v (lihat
Catatan peringatan) dengan 10 gram KOH dan 6 gram pelet aluminium (atau
aluminum foil) selama 1 jam dan kemudian langsung distilasikan; buang 50 ml
distilat awal dan selanjutnya tampung 1 liter alkohol distilat berikutnya dalam
wadah bersih bertutup gelas. Larutkan 7 gram KOH mutu reagen atau pro analisis ke
dalam 1 liter alkohol distilat tersebut; biarkan selama 5 hari untuk mengendapkan
pengotor-pengotor dan kemudian dekantasikan larutan jernihnya ke dalam botol

46
gelas coklat bertutup karet. Normalitas larutan ini harus diperiksa/distandarkan setiap
akan digunakan (lihat Catatan no.1).

2. Larutan indikator fenolftalein. 10 gram fenolftalein dilarutkan ke dalam 1 liter etanol


95 %-v.

3. Campuran pelarut yang terdiri atas 50 %-v dietil eter – 50 %-v etanol 95 %-v, atau
50 %-v toluen – 50 %-v etanol 95 %-v atau 50 %-v toluen – 50 %-v isopropanol.
(lihat Catatan peringatan). Campuran pelarut ini harus dinetralkan dengan larutan
KOH (larutan no. 1) dan indikator fenolftalein (larutan no. 2, 0,3 ml per 100 ml
campuran pelarut), sesaat sebelum digunakan.

Prosedur analisis
1. Timbang 19 – 21 ± 0,05 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam sebuah labu
erlenmeyer 250 ml.
2. Tambahkan 100 ml campuran pelarut yang telah dinetralkan ke dalam labu
Erlenmeyer tersebut.
3. Dalam keadaan teraduk kuat, titrasi larutan isi labu Erlenmeyer dengan larutan
KOH dalam alkohol sampai kembali berwarna merah jambu dengan intensitas yang
sama seperti pada campuran pelarut yang telah dinetralkan di atas. Warna merah
jambu ini harus bertahan paling sedikitnya 15 detik. Catat volume titran yang
dibutuhkan (V ml).

Perhitungan
56,1.V.N
Angka asam (Aa) = mg KOH/g biodiesel
m

dengan :

V = volume larutan KOH dalam alkohol yang dibutuhkan pada titrasi, ml.

N = normalitas eksak larutan KOH dalam alkohol.

47
m = berat contoh biodiesel ester alkil, g.

Nilai angka asam yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal (dua angka di
belakang koma).

Catatan peringatan
Etanol (etil alkohol) mudah terbakar. Lakukan pemanasan atau penguapan pelarut ini di
dalam lemari asam.

Kalium hidroksida (KOH), seperti alkali-alkali lainnya, dapat membakar parah kulit,
mata dan saluran pernafasan. Kenakan sarung tangan karet tebal dan pelindung muka
untuk menangkal bahaya larutan alkali pekat. Gunakan peralatan penyingkir asap atau
topeng gas untuk melindungi saluran pernafasan dari uap atau debu alkali. Pada waktu
bekerja dengan bahan-bahan sangat basa seperti kalium hidroksida, tambahkan selalu
pelet-pelet basa ke air/akuades dan bukan sebaliknya. Alkali bereaksi sangat eksoterm
jika dicampur dengan air; persiapkan sarana untuk mengurung larutan basa kuat jika
bejana pencampur sewaktu-waktu pecah/retak atau bocor akibat besarnya kalor
pelarutan yang dilepaskan.

Dietil eter sangat mudah menguap dan terbakar serta dapat membentuk peroksida yang
eksplosif. Tangani dengan hati-hati.

Toluen sangat mudah terbakar dan merupakan sumber risiko kebakaran. Batas
eksplosifnya dalam udara adalah 1,27 – 7 %-v. Zat ini juga toksik jika termakan,
terhisap atau terabsorpsi oleh kulit. Angka ambang kehadirannya di udara tempat kerja
adalah 100 ppm-v. Karena ini, penanganannya harus dilakukan di dalam lemari asam.
Isopropanol (atau isopropil alkohol atau propanol-2) adalah zat mudah terbakar. Batas
eksplosifnya di dalam udara adalah 2 – 12 %-v. Zat ini toksik jika termakan dan
terhisap. Angka ambang kehadirannya di udara tempat kerja adalah 400 ppm-v.

Catatan bernomor
1. Standarisasi (penentuan normalitas) larutan KOH dalam alkohol ( 0,1 N).

48
Prosedur A : dengan kalium hidrogen ftalat. Timbang seksama kira-kira 100 mg
kalium hidrogen ftalat kering (KHC8H4O4) dan larutkan dalam sebuah gelas piala ke
dalam 100 ml akuades. Tambahkan 0,5 ml larutan indikator fenolftalein. Isi buret
dengan larutan KOH dalam alkohol yang akan distandarkan. Atur posisi gelas piala
pada pelat pengaduk sehingga ujung buret cukup dekat dengan permukaan cairan,
untuk menjamin semua percikan jatuh ke dalam cairan dalam gelas piala tersebut.
Sambil terus diaduk, titrasi isi gelas piala dengan larutan KOH beralkohol sampai ke
titik akhir berjangkitnya warna merah jambu. Catat volume larutan KOH dalam
alkohol yang dibutuhkan (VKOH, ml) dan hitung normalitasnya (N) dengan formula

WKHF
N 
(VKOH .204,21)

dengan WKHF = berat kalium hidrogen ftalat yang ditimbang di atas, mg, dan 204,21 =
berat molekul kalium hidrogen ftalat.

Prosedur B : dengan HCl. Pipet persis 5 ml larutan HCl 0,1  0,0005 N ke dalam
sebuah gelas piala yang berisi 100 ml akuades. Tambahkan 0,5 ml larutan indikator
fenolftalein. Isi buret dengan larutan KOH dalam alkohol yang akan distandarkan.
Atur posisi gelas piala pada pelat pengaduk sehingga ujung buret cukup dekat dengan
permukaan cairan, untuk menjamin semua percikan jatuh ke dalam cairan dalam gelas
piala tersebut. Sambil terus diaduk, titrasi isi gelas piala dengan larutan KOH
beralkohol sampai ke titik akhir berjangkitnya warna merah jambu. Catat volume
larutan KOH dalam alkohol yang dibutuhkan (VKOH ml) dan hitung normalitasnya (N)
dengan formula

5.N HCl
N 
VKOH

dengan NHCl = normalitas eksak (sampai 4 angka di belakang koma) larutan HCl.

49
LAMPIRAN B
METODE ANALISIS STANDAR UNTUK ANGKA PENYABUNAN
DAN KADAR ESTER BIODIESEL
ESTER ALKIL (FBI-A03-03)

Definisi
Dokumen Metode Analisis Standar ini menguraikan prosedur untuk menentukan angka
penyabunan biodiesel ester alkil dengan proses titrimetri. Angka sabun adalah banyak
miligram KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan satu (1) gram contoh biodiesel.
Melalui kombinasi dengan hasil-hasil analisis angka asam (FBI-A01-03) dan gliserol
total (FBI-A02-03), angka penyabunan yang diperoleh dengan metode standar ini dapat
dipergunakan untuk menentukan kadar ester di dalam biodiesel ester alkil.

Lingkup
Dapat diterapkan untuk biodiesel yang berupa ester alkil (metil, etil, isopropil, dsj.) dari
asam-asam lemak serta berwarna pucat.

Peralatan
1. Labu-labu Erlenmeyer tahan alkali (basa) - 250 atau 300 ml, masing-masing berleher
sambungan asah N/S 24/40.
2. Kondensor berpendingin udara berpanjang minimum 65 cm dan ujung bawahnya
bersambungan asah N/S 24/40 hingga cocok dengan labu Erlenmeyer.
3. Bak pemanas air atau pelat pemanas yang temperatur atau laju pemanasannya dapat
dikendalikan.
4. Labu distilasi 2 liter yang mulutnya berupa sambungan asah N/S 24/40 dan lengkap
dengan kondensor berpendingin air, untuk merefluks dan mendistilasi etanol 95 %-v
seperti ditunjukkan pada no. 2 dalam bagian “Reagen-reagen” di bawah ini.

50
Regen-reagen
1. Asam khlorida 0,5 N yang sudah terstandarkan (normalitas eksaknya diketahui).
2. Larutan kalium hidroksida (lihat Catatan peringatan) di dalam etanol 95 %-v.
Refluks campuran 1,2 liter etanol 95 %-v (lihat Catatan peringatan) dengan 10 gram
KOH dan 6 gram pelet aluminium (atau aluminium foil) selama 1 jam dan kemudian
langsung distilasikan; buang 50 ml distilat awal dan selanjutnya tampung 1 liter
alkohol distilat berikutnya dalam wadah bersih bertutup gelas. Larutkan 40 gram
KOH berkarbonat rendah ke dalam 1 liter alkohol distilat tersebut sambil didinginkan
(sebaiknya di bawah 15 oC); biarkan selama 5 hari untuk mengendapkan pengotor-
pengotor dan kemudian dekantasikan larutan jernihnya ke dalam botol gelas coklat
bertutup karet.
3. Larutan indikator fenolftalein. 10 gram fenolftalein dilarutkan ke dalam 1 liter etanol
95 %-v.

Prosedur analisis
1. Timbang 4 – 5 ± 0,005 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam sebuah labu
Erlenmeyer 250 ml. Tambahkan 50 ml larutan KOH alkoholik dengan pipet yang
dibiarkan terkosongkan secara alami.
2. Siapkan dan lakukan analisis blanko secara serempak dengan analisis contoh
biodiesel. Langkah-langkah analisisnya persis sama dengan yang tertulis untuk di
dalam “prosedur analisis” ini, tetapi tidak mengikut-sertakan contoh biodiesel.
3. Sambungkan labu Erlenmeyer dengan kondensor berpendingin udara dan didihkan
pelahan tetapi mantap, sampai contoh tersabunkan sempurna. Ini biasanya
membutuhkan waktu 1 jam. Larutan yang diperoleh pada akhir penyabunan harus
jernih dan homogen; jika tidak, perpanjang waktu penyabunannya.
4. Setelah labu dan kondensor cukup dingin (tetapi belum terlalu dingin hingga
membentuk jeli), bilas dinding-dalam kondensor dengan sejumlah kecil akuades.
Lepaskan kondfensor dari labu, tambahkan 1 ml larutan indikator fenolftalein ke

51
dalam labu, dan titrasi isi labu dengan HCl 0,5 N sampai warna merah jambu persis
sirna. Catat volume asam khlorida 0,5 N yang dihabiskan dalam titrasi.

Perhitungan
56,1(B - C)N
Angka penyabunan (As) = mg KOH/g biodiesel
m

dengan :

B = volume HCl 0,5 N yang dihabiskan pada titrasi blanko, ml.

C = volume HCl 0,5 N yang dihabiskan pada titrasi contoh, ml.

N = normalitas eksak larutan HCl 0,5 N.

m = berat contoh biodiesel ester alkil, g.

Nilai angka penyabunan yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal (dua
angka di belakang koma).

Kadar ester biodiesel ester alkil selanjutnya dapat dihitung dengan rumus berikut :

100( As  Aa  18,92Gttl )
Kadar ester (%-b) =
As

dengan :

As = angka penyabunan yang diperoleh di atas, mg KOH/g biodiesel.

Aa = angka asam (prosedur FBI-A01-03), mg KOH/g biodiesel.

Gttl = kadar gliserin total dalam biodiesel (prosedur FBI-A02-03), %-b.

52
Catatan peringatan
Kalium hidroksida (KOH), seperti alkali-alkali lainnya, dapat membakar parah kulit,
mata dan saluran pernafasan. Kenakan sarung tangan karet tebal dan pelindung muka
untuk menangkal bahaya larutan alkali pekat. Gunakan peralatan penyingkir asap atau
topeng gas untuk melindungi saluran pernafasan dari uap atau debu alkali. Pada waktu
bekerja dengan bahan-bahan sangat basa seperti kalium hidroksida, tambahkan selalu
pelet-pelet basa ke air/akuades dan bukan sebaliknya. Alkali bereaksi sangat eksoterm
jika dicampur dengan air; persiapkan sarana untuk mengurung larutan basa kuat jika
bejana pencampur sewaktu-waktu pecah/retak atau bocor akibat besarnya kalor
pelarutan yang dilepaskan.

Etanol (etil alkohol) adalah mudah terbakar. Lakukan pemanasan atau penguapan
pelarut ini di dalam lemari asam.

53
LAMPIRAN C
METODE ANALISIS STANDAR UNTUK
ANGKA IODIUM BIODIESEL ESTER ALKIL
DENGAN METODE WIJS (FBI-A04-03)

Definisi
Dokumen Metode Analisis Standar ini menguraikan prosedur untuk menentukan angka
iodium biodiesel ester alkil dengan prosedur dan reagen Wijs. Angka iodium adalah
ukuran empirik banyaknya ikatan rangkap (dua) di dalam (asam-asam lemak penyusun)
biodiesel dan dinyatakan dalam sentigram iodium yang diabsorpsi per gram contoh
biodiesel (%-b iodium terabsorpsi). Satu mol iodium terabsorpsi setara dengan satu mol
ikatan rangkap (dua).

Lingkup
Dapat diterapkan untuk biodiesel yang berupa ester alkil (metil, etil, isopropil, dsj.) dari
asam-asam lemak.

Peralatan
1. Labu iodium – bisa berupa botol atau labu Erlenmeyer bermulut besar dan bertutup
gelas serta berkapasitas 500 ml.
2. Labu-labu takar 1000 ml bertutup gelas, untuk menyiapkan larutan-larutan standar.
3. Pipet seukuran 25 ml untuk memasok larutan Wijs.
4. Pipet 20 ml dengan skala 1 ml, untuk memasok larutan KI 10 %.
5. Pipet 2 – 5 ml dengan skala 1 ml, untuk memasok larutan pati.
6. Pipet 50 ml dengan skala 1 ml untuk memasok akuades.
7. Neraca analitik berketelitian  0,0001 gram.
8. Pelat pengaduk magnetik dengan batang pengaduknya.
9. Kertas saring – Whatman no. 41H atau yang setara.
10. Gelas piala 50 ml.
11. Pengukur waktu (timer).

54
Reagen-reagen
1. Larutan/reagen Wijs (lihat Catatan peringatan dan catatan no. 1).

2. Kalium iodida (KI) – mutu reagen atau p.a. (pro analysis).

3. Karbon tetrakhlorida – mutu reagen (lihat Catatan peringatan). Kenihilan zat-zat


dapat teroksidasi di dalam reagen ini harus diverifikasi dengan mengocok 10 ml
reagen dengan 1 ml larutan jenuh kalium dikhromat dan 2 ml asam sulfat pekat : tak
ada perebakan warna hijau. Jika tidak tersedia, karbon tetrakhlorida boleh diganti
dengan campuran 50 %-v sikloheksan mutu reagen dan 50 %-v asam asetat glasial
mutu reagen (lihat Catatan peringatan).

4. Larutan indikator pati – segar (lihat Catatan no. 2) atau baru disiapkan. Buat pasta
dari 1 gram pati alami yang larut (lihat Catatan no. 3) dan sejumlah kecil akuades.
Tambahkan ke 100 ml akuades yang sedang mendidih dan diaduk. Kepekaannya
harus diuji sebagai berikut : Masukkan 5 ml larutan pati ke dalam 100 ml akuades
dan tambahkan 0,05 ml larutan 0,1 N KI yang masih segar (baru dibuat) serta satu
tetes larutan khlor (dibuat dengan mengencerkan 1 ml larutan natrium hipokhlorit
[NaOCl] 5 %-b, yang tersedia di perdagangan, menjadi 1000 ml). Larutan harus
menjadi berwarna biru pekat dan bisa dilunturkan dengan penambahan 0,05 ml
larutan natrium tiosulfat 0,1 N.

5. Kalium dikhromat – mutu reagen. Sebelum digunakan harus digerus halus dan
dikeringkan pada 105 – 110 oC sampai berberat konstan.

6. Natrium tiosulfat (Na2S2O3.5H2O) – mutu reagen.

Larutan-larutan
1. Larutan kalium iodida (KI) – 100 g/l (larutan 10 %) dibuat dengan melarutkan 100
gram KI ke dalam akuades, disusul dengan pengenceran hingga bervolume 1 liter.
Larutan ini tak boleh kena cahaya.

55
2. Larutan indikator pati – disiapkan/dibuat dan diuji seperti diuraikan pada no. 4 dalam
bagian “Reagen-reagen”. Asam salisilat (1,25 g/l) boleh dibubuhkan untuk
mengawetkan patinya. Jika sedang tak digunakan, larutan ini harus disimpan di
dalam ruang bertemperatur 4 – 10 oC. Jika disimpan pada kondisi ini, larutan
biasanya stabil selama 2 – 3 minggu. Larutan indikator yang baru harus dibuat jika
titik akhir titrasi tidak lagi tajam, atau jika larutan indikator pati gagal dalam uji
kepekaan yang telah diuraikan pada no. 4 dalam bagian “Reagen-reagen”.

3. Larutan natrium tiosulfat 0,1 N. – Dibuat dengan melarutkan 24,8 gram


Na2S2O3.5H2O ke dalam akuades dan kemudian diencerkan sampai 1 liter. Larutan
ini harus distandarkan sebagai berikut : Pipet 25 ml larutan kalium dikhromat standar
(lihat no. 4 di bawah) ke dalam gelas piala 400 ml. Tambahkan 5 ml HCl pekat, 10
ml larutan KI (lihat no. 1 di atas) dan aduk baik-baik dengan batang pengaduk atau
pengaduk magnetik. Kemudian, biarkan tak teraduk selama 5 menit dan selanjutnya
tambahkan 100 ml akuades. Titrasi dengan larutan natrium tiosulfat sambil terus
diaduk, sampai warna kuning hampir hilang. Tambahkan 1 – 2 ml larutan pati dan
teruskan titrasi pelahan-lahan sampai warna biru persis sirna. Maka :

2,5
Normalitas lar. Na 2S2O3 
ml lar. Na 2S2O3 yang dihabiskan pada titrasi

4. Larutan standar 0,1 N kalium dikhromat – dibuat dengan melarutkan 4,9035 gram
kalium dikhromat kering dan tergerus halus ke dalam akuades di dalam labu takar 1
liter dan kemudian mengencerkannya sampai garis batas-takar pada 25 oC.

5. Larutan/reagen Wijs; lihat no. 1 dalam bagian “Reagen-reagen”.

Prosedur analisis
1. Timbang 0,13 – 0,15 ± 0,001 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam labu iodium.

56
2. Tambahkan 15 ml larutan karbon tetrakhlorida (atau 20 ml camp. 50 %-v
sikloheksan – 50 %-v asam asetat) dan kocok-putar labu untuk menjamin contoh
larut sempurna ke dalam pelarut.
3. Tambahkan 25 ml reagen Wijs dengan pipet seukuran dan tutup labu. Kocok-putar
labu agar isinya tercampur sempurna dan kemudian segera simpan di tempat gelap
bertemperatur 25  5 oC selama 1 jam.
4. Sesudah perioda penyimpanan usai, ambil kembali labu, dan tambahkan 20 ml
larutan KI serta kemudian 150 ml akuades.
5. Sambil selalu diaduk baik-baik, titrasi isi labu dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N
yang sudah distandarkan (diketahui normalitas eksaknya) sampai warna coklat
iodium hampir hilang. Setelah ini tercapai, tambahkan 2 ml larutan indikator pati dan
teruskan titrasi sampai warna biru kompleks iodium – pati persis sirna. Catat volume
titran yang dihabiskan untuk titrasi.
6. Bersamaan dengan analisis di atas, lakukan analisis blanko (tanpa contoh biodiesel,
jadi hanya langkah 2 s/d 4).

Perhitungan
Angka iodium contoh biodiesel dapat dihitung dengan rumus :

12,69(B  C)N
Angka iodium, AI (%-b) =
W

dengan :

C = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi contoh, ml.

B = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi blangko, ml.

N = normalitas eksak larutan natrium tiosulfat.

W = berat eksak contoh biodiesel yang ditimbang untuk analisis, g.

57
Catatan peringatan
Larutan Wijs bisa membakar-parah kulit dan uapnya bisa merusak paru-paru serta mata.
Penggunaan lemari asam sangat disarankan. Larutan Wijs tanpa karbon tetrakhlorida
bisa diperoleh dari pemasok-pemasok bahan-bahan kimia laboratorium.

Karbon tetrakhlorida diketahui bersifat karsinogen. Zat ini toksik jika terhisap ,
termakan/terminum serta terabsorpsi ke dalam kulit, serta berdaya narkotik. Zat ini tidak
boleh digunakan untuk menyingkirkan api; pada temperatur tinggi akan terdekomposisi
menghasilkan fosgen (bahan kimia berbahaya). Angka ambang kehadirannya di udara
tempat kerja adalah 10 ppm-v. Karena ini, penanganannya harus dilakukan di dalam
lemari asam.

Asam khlorida (HCl) pekat adalah asam kuat dan akan menyebabkan kulit terbakar.
Uapnya menyebabkan peracunan jika terhirup dan terhisap serta menimbulkan iritasi
kuat pada mata dan kulit. Jas dan sarung tangan pelindung harus dipakai ketika bekerja
dengan asam ini. Penanganannya disarankan dilakukan dalam lemari asam yang
beroperasi dengan benar. Pada pengenceran, asam harus selalu yang ditambahkan ke
air/akuades dan bukan sebaliknya.

Asam asetat murni (glasial) adalah zat yang cukup toksik jika terhisap atau terminum.
Zat ini menimbulkan iritasi kuat pada kulit dan jaringan tubuh. Angka ambang
kehadirannya di udara tempat kerja adalah 10 ppm-v.

Catatan bernomor
1. Yang disarankan untuk digunakan adalah “pati kentang untuk iodometri”, karena pati
ini menimbulkan warna biru pekat jika berada bersama ion iodonium. “Pati larut” saja
tak disarankan karena bisa tak membangkitkan warna biru pekat yang konsisten
ketika berkontak dengan ion iodonium. Reagen-reagen berikut diketahui cocok :
“Soluble starch for iodometry”, Fisher S516-100; “Soluble potato starch, Sigma S-
2630; “Soluble potato starch for iodometry”, J.T. Baker 4006-04.

2. Pada temperatur kamar, tenggang waktu antara penyiapan contoh-contoh dan


pentitrasiannya tak boleh lebih dari 1,5 jam.

58
LAMPIRAN D
METODE ANALISIS STANDAR UNTUK KADAR GLISEROL
TOTAL, BEBAS DAN TERIKAT DI DALAM
BIODIESEL ESTER ALKIL : METODE IODOMETRI –ASAM
PERIODAT (FBI-A02-03)

Definisi

Dokumen Metode Analisis Standar ini menguraikan prosedur untuk menentukan kadar
gliserol total, gliserol bebas, dan gliserol terikat di dalam biodiesel ester alkil. Gliserol
bebas ditentukan langsung pada contoh yang dianalisis, gliserol total setelah contoh-nya
disaponifikasi, dan gliserol terikat dari selisih antara gliserol total dengan gliserol bebas.

Lingkup

Dapat diterapkan untuk biodiesel yang berupa ester alkil (metil, etil, isopropil, dsj.) dari
asam-asam lemak.

Peralatan

1. Buret – 50 ml, telah dikalibrasi dengan baik.


2. Pembesar meniskus yang memungkinkan pembacaan buret sampai skala 0,01 ml.
3. Labu takar 1 liter bertutup gelas.
4. Pipet-pipet volumetrik 5, 10 dan 100 ml yang sudah dikalibrasi dengan baik.
5. Gelas-gelas piala 400 ml, masing-masing dengan kaca arloji/masir untuk
penutupnya.
6. Motor listrik berputaran variabel untuk pengadukan, dengan batang pengaduk gelas.
7. Gelas-gelas ukur 100 dan 1000 ml.
8. Labu-labu Erlenmeyer 250 dan 300 ml, serta kondensor berpendingin udara dengan
panjang 65 cm. Labu-labu dan kondensor harus memiliki sambungan asah N/S
24/40.

59
Reagen-Reagen

1. Asam periodat (HIO4.2H2O) mutu reagen atau p. a. (lihat Catatan peringatan).


2. Natrium tiosulfat (Na2S2O3.5H2O) – mutu reagen.
3. Kalium iodida (KI) – mutu reagen.
4. Asam asetat glasial – mutu reagen, 99,5 %-b (lihat Catatan peringatan).
5. Larutan pati – dibuat seperti diuraikan dalam bagian “Larutan-larutan” dan diuji
kepekaannya sebagai berikut : Masukkan 5 ml larutan pati ke dalam 100 ml
akuades dan tambahkan 0,05 ml larutan 0,1 N KI yang masih segar (baru dibuat)
serta satu tetes larutan khlor (dibuat dengan mengencerkan 1 ml larutan natrium
hipokhlorit [NaOCl] 5 %-b, yang tersedia di perdagangan, menjadi 1000 ml).
Larutan harus menjadi berwarna biru pekat dan bisa dilunturkan dengan
penambahan 0,05 ml larutan natrium tiosulfat 0,1 N.
6. Khloroform (CHCl3) – mutu reagen (lihat Catatan peringatan). Uji blanko dengan
asam periodat dengan dan tanpa khloroform harus tidak berbeda lebih dari 0,5 ml;
jika tidak, khloroform harus diganti dengan pasokan baru.
7. Kalium dikhromat – mutu reagen. Sebelum digunakan harus digerus halus dan
dikeringkan pada 105 – 110 oC sampai berberat konstan.
8. Asam khlorida (HCl) – mutu reagen, pekat, berat jenis 1,19 (lihat Catatan per-
ingatan).
9. Kalium hidroksida (KOH) – pelet-pelet bermutu reagen (lihat Catatan peringatan).
10. Etanol (etil alkohol) 95 %-v – mutu reagen (lihat Catatan peringatan).

Larutan-Larutan

1. Larutan asam periodat. Larutkan 5,4 gram asam periodat ke dalam 100 ml akuades
dan kemudian tambahkan 1900 ml asam asetat glasial. Campurkan baik-baik.
Simpan larutan di dalam botol bertutup gelas yang berwarna gelap atau, jika botol
berwarna terang, taruh di tempat gelap. Perhatian – Hanya botol bertutup gelas yang
boleh dipakai. Tutup gabus atau karet sama sekali tak boleh dipergunakan.

2. Larutan natrium tiosulfat 0,01 N. – Dibuat dengan melarutkan 2,48 gram


Na2S2O3.5H2O ke dalam akuades dan kemudian diencerkan sampai 1 liter. Larutan

60
ini harus distandarkan sebagai berikut : Pipet 5 ml larutan kalium dikhromat standar
(lihat no. 5 di bawah) ke dalam gelas piala 400 ml. Tambahkan 1 ml HCl pekat, 2 ml
larutan KI (lihat no. 3 di bawah) dan aduk baik-baik dengan batang pengaduk atau
pengaduk magnetik. Kemudian, biarkan tak teraduk selama 5 menit dan selanjutnya
tambahkan 100 ml akuades. Titrasi dengan larutan natrium tiosulfat sambil terus
diaduk, sampai warna kuning hampir hilang. Tambahkan 1 – 2 ml larutan pati dan
teruskan titrasi pelahan-lahan sampai warna biru persis sirna. Maka :

VK 2Cr2O7  N K 2Cr2O7
Normalitas lar. Na 2S 2 O 3 
ml lar. Na 2S 2 O 3 yang dihabiskan pada titrasi

3. Larutan kalium iodida (KI) – dibuat dengan melarutkan 150 gram KI ke dalam
akuades, disusul dengan pengenceran hingga bervolume 1 liter. Larutan ini tak boleh
kena cahaya.

4. Larutan indikator pati – dibuat dengan membuat pasta homogen 10 gram pati larut
(lihat Catatan no. 1) di dalam akuades dingin. Tambahkan pasta ini ke 1 liter akudes
yang sedang mendidih kuat, aduk cepat-cepat selama beberapa detik dan kemudian
dinginkan. Asam salisilat (1,25 g/l) boleh dibubuhkan untuk mengawetkan patinya.
Jika sedang tak digunakan, larutan ini harus disimpan di dalam ruang bertemperatur
4 – 10 oC. Larutan indikator yang baru harus dibuat jika titik akhir titrasi tidak lagi
tajam, atau jika larutan indikator pati gagal dalam uji kepekaan yang telah diuraikan
pada no. 5 dalam bagian “Reagen-reagen”.

5. Larutan standar 0,1 N kalium dikhromat – dibuat dengan melarutkan 4,9035 gram
kalium dikhromat kering dan tergerus halus ke dalam akuades di dalam labu takar 1
liter dan kemudian mengencerkannya sampai garis batas-takar pada 25 oC.

6. Larutan KOH alkoholik – dibuat dengan melarutkan 40 gram KOH dalam 1 liter
etanol 95 %-v. Jika ternyata agak keruh, saring larutan sebelum digunakan.

61
Prosedur Analisis Kadar Gliserol Total

1. Timbang 9,9 – 10,1 ± 0,01 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam sebuah labu
Erlenmeyer.
2. Tambahkan 100 ml larutan KOH alkoholik, sambungkan labu dengan kondensor
berpendingin udara dan didihkan isi labu pelahan selama 30 menit untuk
mensaponifikasi ester-ester.
3. Tambahkan 91  0,2 ml khloroform (lihat Catatan peringatan) dari sebuah buret ke
dalam labu takar 1 liter. Kemudian tambahkan 25 ml asam asetat glasial (lihat
Catatan no. 2) dengan menggunakan gelas ukur.
4. Singkirkan labu saponifikasi dari pelat pemanas atau bak kukus, bilas dinding
dalam kondensor dengan sedikit akuades. Lepaskan kondensor dan pindahkan isi
labu saponifikasi secara kuantitatif ke dalam labu takar pada no. 03 dengan
menggunakan 500 ml akuades sebagai pembilas.
5. Tutup rapat labu takar dan kocok isinya kuat-kuat selama 30 – 60 detik.
6. Tambahkan akuades sampai ke garis batas takar, tutup lagi labu rapat-rapat dan
campurkan baik-baik isinya dengan membolak-balikkan dan, sesudah dipandang
tercampur intim, biarkan tenang sampai lapisan khloroform dan lapisan akuatik
memisah sempurna.
7. Pipet masing-masing 6 ml larutan asam periodat ke dalam 2 atau 3 gelas piala 400 –
500 ml dan siapkan dua blanko dengan mengisi masing-masing 50 ml akuades
(sebagai pengganti larutan asam periodat).
8. Pipet 100 ml lapisan akuatik yang diperoleh dalam langkah no. 06 ke dalam gelas
piala berisi larutan asam periodat dan kemudian kocok gelas piala ini pelahan
supaya isinya tercampur baik. Sesudahnya, tutup gelas piala dengan kaca
arloji/masir dan biarkan selama 30 menit (lihat Catatan no. 2). Jika lapisan akuatik
termaksud mengandung bahan tersuspensi, saring dahulu sebelum pemipetan
dilakukan.
9. Tambahkan 3 ml larutan KI, campurkan dengan pengocokan pelahan dan kemudian
biarkan selama sekitar 1 menit (tetapi tak boleh lebih dari 5 menit) sebelum
dititrasi. Jangan tempatkan gelas piala yang isinya akan dititrasi ini di bawah
cahaya terang atau terpaan langsung sinar matahari.

62
10. Titrasi isi gelas piala dengan larutan natrium tiosulfat yang sudah distandarkan
(diketahui normalitasnya). Teruskan titrasi sampai warna coklat iodium hampir
hilang. Setelah ini tercapai, tambahkan 2 ml larutan indikator pati dan teruskan
titrasi sampai warna biru kompleks iodium – pati persis sirna.
11. Baca buret titran sampai ke ketelitian 0,01 ml dengan bantuan pembesar meniskus.
12. Ulangi langkah 08 s/d 11 untuk mendapatkan data duplo dan (jika mungkin) triplo.
13. Lakukan analisis blanko dengan menerapkan langkah 09 s/d 11 pada dua gelas
piala berisi larutan blanko (yaitu akuades) tersebut pada no. 07.

Prosedur Analisis Kadar Gliserol Bebas

1. Timbang 9,9 – 10,1 ± 0,01 gram contoh biodiesel ester alkil dalam sebuah botol
timbang.

2. Bilas contoh ini ke dalam labu takar 1 liter dengan menggunakan 91  0,2 ml
khloroform (lihat Catatan peringatan) yang diukur dengan buret.
3. Tambahkan kira-kira 500 ml akuades, tutup rapat labu dan kemudian kocok kuat-
kuat selama 30 – 60 detik.
4. Tambahkan akuades sampai ke garis batas takar, tutup lagi labu rapat-rapat dan
campurkan baik-baik isinya dengan membolak-balikkan dan, sesudah dipandang
tercampur intim, biarkan tenang sampai lapisan khloroform dan lapisan akuatik
memisah sempurna.
5. Pipet masing-masing 2 ml larutan asam periodat ke dalam 2 atau 3 gelas piala 400 –
500 ml dan siapkan dua blanko dengan mengisi masing-masing 100 ml akuades
(sebagai pengganti larutan asam periodat).
6. Pipet 300 ml lapisan akuatik yang diperoleh dalam langkah (d) ke dalam gelas piala
berisi larutan asam periodat dan kemudian kocok gelas piala ini pelahan supaya
isinya tercampur baik. Sesudahnya, tutup gelas piala dengan kaca arloji/masir dan
biarkan selama 30 menit (lihat Catatan no. 2). Jika lapisan akuatik termaksud
mengandung bahan tersuspensi, saring dahulu sebelum pemipetan dilakukan.
7. Tambahkan 2 ml larutan KI, campurkan dengan pengocokan pelahan dan kemudian
biarkan selama sekitar 1 menit (tetapi tak boleh lebih dari 5 menit) sebelum

63
dititrasi. Jangan tempatkan gelas piala yang isinya akan dititrasi ini di bawah
cahaya terang atau terpaan langsung sinar matahari.
8. Titrasi isi gelas piala dengan larutan natrium tiosulfat yang sudah distandarkan
(diketahui normalitasnya). Teruskan titrasi sampai warna coklat iodium hampir
hilang. Setelah ini tercapai, tambahkan 2 ml larutan indikator pati dan teruskan
titrasi sampai warna biru kompleks iodium – pati persis sirna.
9. Baca buret titran sampai ke ketelitian 0,01 ml dengan bantuan pembesar meniskus.
10. Ulangi langkah (f) s/d (i) untuk mendapatkan data duplo dan (jika mungkin) triplo.
11. Lakukan analisis blanko dengan menerapkan langkah (g) s/d (i) pada dua gelas
piala berisi larutan blanko (yaitu akuades) tersebut pada (e).

Perhitungan

1. Hitung kadar gliserol total (Gttl, %-b) dengan rumus :

2.302(B  C)N
Gttl (%-b) =
W

dengan :

C = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi contoh, ml.

B = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi blangko, ml.

N = normalitas eksak larutan natrium tiosulfat.

berat sampela  mL sampelb


W=
900

a
Dari prosedur untuk total gliserol, 1

b
Dari prosedur untuk total gliserol, 8

64
2. Kadar gliserol bebas (Gbbs, %-b) dihitung dengan rumus yang serupa dengan di atas,
tetapi menggunakan nilai-nilai yang diperoleh pada pelaksanaan prosedur analisis
kadar gliserol bebas.

3. Kadar gliserol terikat (Gikt, %-b) adalah selisih antara kadar gliserol total dengan
kadar gliserol bebas : Gikt = Gttl - Gbbs

Catatan Peringatan

Asam periodat adalah oksidator dan berbahaya jika berkontak dengan bahan-bahan
organik. Zat ini menimbulkan iritasi kuat dan terdekomposisi pada 130 oC. Jangan
gunakan tutup gabus atau karet pada botol-botol penyimpannya.

Khloroform diketahui bersifat karsinogen. Zat ini toksik jika terhisap dan memiliki daya
bius. Cegah jangan sampai khloroform bertkontak dengan kulit. Manusia yang sengaja
atau tak sengaja menghisap atau meneguknya secara berkepanjangan dapat mengalami
kerusakan lever dan ginjal yang fatal. Zat ini tidak mudah menyala, tetapi akan terbakar
juga bila terus-terusan terkena nyala api atau berada pada temperatur tinggi, serta
menghasilkan fosgen (bahan kimia berbahaya) jika terpanaskan sampai temperatur
dekomposisinya. Khloroform dapat bereaksi eksplosif dengan aluminium, kalium,
litium, magnesium, natrium, disilan, N2O4, dan campuran natrium hidroksida dengan
metanol. Angka ambang kehadirannya di udara tempat kerja adalah 10 ppm-v. Karena
ini, penanganannya harus dilakukan di dalam lemari asam.

Asam khlorida (HCl) pekat adalah asam kuat dan akan menyebabkan kulit terbakar.
Uapnya menyebabkan peracunan jika terhirup dan terhisap serta menimbulkan iritasi
kuat pada mata dan kulit. Jas dan sarung tangan pelindung harus dipakai ketika bekerja
dengan asam ini. Penanganannya disarankan dilakukan dalam lemari asam yang
beroperasi dengan benar. Pada pengenceran, asam harus selalu yang ditambahkan ke
air/akuades dan bukan sebaliknya.

65
Asam asetat murni (glasial) adalah zat yang cukup toksik jika terhisap atau terminum.
Zat ini menimbulkan iritasi kuat pada kulit dan jaringan tubuh. Angka ambang
kehadirannya di udara tempat kerja adalah 10 ppm-v.

Kalium hidroksida (KOH), seperti alkali-alkali lainnya, dapat membakar parah kulit,
mata dan saluran pernafasan. Kenakan sarung tangan karet tebal dan pelindung muka
untuk menangkal bahaya larutan alkali pekat. Gunakan peralatan penyingkir asap atau
topeng gas untuk melindungi saluran pernafasan dari uap atau debu alkali. Pada waktu
bekerja dengan bahan-bahan sangat basa seperti kalium hidroksida, tambahkan selalu
pelet-pelet basa ke air/akuades dan bukan sebaliknya. Alkali bereaksi sangat eksoterm
jika dicampur dengan air; persiapkan sarana untuk mengurung larutan basa kuat jika
bejana pencampur sewaktu-waktu pecah/retak atau bocor akibat besarnya kalor
pelarutan yang dilepaskan.

Etanol (etil alkohol) adalah mudah terbakar. Lakukan pemanasan atau penguapan
pelarut ini di dalam lemari asam.

Catatan Bernomor

1. Yang disarankan untuk digunakan adalah “pati kentang untuk iodometri”, karena pati
ini menimbulkan warna biru pekat jika berada bersama ion iodonium. “Pati larut” saja
tak disarankan karena bisa tak membangkitkan warna biru pekat yang konsisten
ketika berkontak dengan ion iodonium. Reagen-reagen berikut diketahui cocok :
“Soluble starch for iodometry”, Fisher S516-100; “Soluble potato starch, Sigma S-
2630; “Soluble potato starch for iodometry”, J.T. Baker 4006-04.

2. Pada temperatur kamar, tenggang waktu antara penyiapan contoh-contoh dan


pentitrasiannya tak boleh lebih dari 1,5 jam.

66
LAMPIRAN E
PENGUJIAN TITIK AWAN
(ASTM D 2500-91)

Alat:
1. Tabung sampel ukuran diameter luar 33,2 – 34,8 mm, tinggi 115 – 125 mm.
ketebalan tidak boleh lebih dari 1,6 mm.
2. Termometer dengan rentang suhu
High cloud and pour -38 sampai +50 OC
Low cloud and pour -80 sampai +20 OC
3. Cork, untuk mengatur posisi tabung sampel.
4. Jacket, dari bahan metal atau gelas, kedap air, bagian dasar rata, dengan ukuran
tinggi115 mm, diameter dalam 44,2 – 45,8 mm. Jacket harus disangga dengan
penyangga yang kuat untuk menghindari getaran dari cooling bath.
5. Disk, dengan tebal 6 mm, diletakkan pada dasar jacket untuk menyangga tabung
sampel.
6. Gasket, bentuk cincin dengan ketebalan 5 mm, untuk memantapkan posisi
tabung sampel dalam jacket. Tujuan pemasangan gasket adalah untuk mencegah
tabung sampel menyentuh dinding jacket.
7. Cooling bath, untuk mendinginkan sampel. Temperatur bath dipertahankan
dengan menggunakan pendingin sebagai berikut :
 Air dan es untuk temperatur 10 OC
 Es dan kristal NaCl untuk temperatur -12 OC
 Es dan kristal CaCl2 untuk temperatur -26 OC
 Aseton, metanol atau etanol yang didinginkan dengan campuran es –
garam sampai -12 OC, dan dengan CO2 padat (es kering) untuk mencapai
temperatur yang diinginkan (sampai -57 OC)

Prosedur:

67
1. Kondisikan sampel pada temperatur minimal 14 OC di atas titik awan yang
diperkirakan. Buang uap air yang tersisa dengan cara penyaringan dengan kertas
saring sampai sampel benar – benar kering.
2. Tuangkan sampel ke dalam tabung sampel.
3. Tutup tabung dengan cork (dengan termometer), dengan posisi temperatur
menyentuh dasar dan sejajar dengan tabung sampel.
4. Letakkan disk di dasar jacket, lalu letakkan jacket dalam medium pendingin
minimal 10 menit sebelum pengujian. Disk, gasket dan bagian dalam jacket
harus dikeringkan sebelum digunakan. Gasket diletakkan 250 mm dari dasar
jacket lalu masukkan botol sampel ke dalam jacket.
5. Pertahankan suhu pendingin pada temperatur -1 sampai 2 OC.
6. Pada setiap perubahan temperatur thermometer 1 OC, keluarkan tabung sampel
dari jacket dengan cepat, amati apakah terbentuk awan kristal, lalu kembalikan
ke dalam jacket. Langkah ini harus dilakukan dalam waktu 3 detik. Apabila
awan kristal belum terbentuk sampai suhu 10 OC, pindahkan jacket dan tabung
sampel ke dalam pendingin kedua, dan seterusnya dengan rentang temperatur
sebagai berikut:

Tabel E.1. Temperatur pendingin dan rentang temperatur sampel


No Temperatur pendingin (OC) Rentang temperatur sampel (OC)
1 -1 sampai 2 Sampai 10
2 -18 sampai -15 10 sampai -7
3 -35 sampai -32 -7 sampai -24
4 -52 sampai -49 -24 sampai -41
5 -69 sampai -66 -41 sampai -58

7. Titik awan adalah temperatur pada saat terbentuk awan kristal pada bagian dasar
tabung sampel, dengan pendekatan temperatur sebesar 1 OC.

68
LAMPIRAN F
PENGUJIAN TITIK TUANG
(ASTM D 97-87)

Alat:
8. Tabung sampel, berbentuk silinder, bagian dasar rata, diameter 33,5 mm, dan
tinggi 115 – 125 mm.
9. Termometer dengan rentang suhu
High cloud and pour -38 sampai +50 OC
Low cloud and pour -80 sampai +20 OC
Melting point +32 sampai +127 OC
10. Cork, untuk mengatur posisi tabung sampel.
11. Jacket, dari bahan metal atau gelas, kedap air, bagian dasar rata, dengan ukuran
tinggi115 mm, diameter dalam 44,2 – 45,8 mm. Jacket harus disangga dengan
penyangga yang kuat untuk menghindari getaran dari cooling bath.
12. Disk, dengan tebal 6 mm, diletakkan pada dasar jacket untuk menyangga tabung
sampel.
13. Gasket, bentuk cincin dengan ketebalan 5 mm, untuk memantapkan posisi
tabung sampel dalam jacket. Tujuan pemasangan gasket adalah untuk mencegah
tabung sampel menyentuh dinding jacket.
14. Cooling bath, untuk mendinginkan sampel. Temperatur bath dipertahankan
dengan menggunakan pendingin sebagai berikut :
 Air dan es untuk temperatur 10 OC
 Es dan kristal NaCl untuk temperatur -12 OC
 Es dan kristal CaCl2 untuk temperatur -26 OC
 Aseton, metanol atau etanol yang didinginkan dengan campuran es –
garam sampai -12 OC, dan dengan CO2 padat (es kering) untuk mencapai
temperatur yang diinginkan (sampai -57 OC)

69
Prosedur:
8. Masukkan sampel minyak ke dalam tabung sampel. Sebelumnya, panaskan
minyak dalam water bath sehingga cukup cair untuk dituangkan ke dalam
tabung sampel. Apabila sebelumnya sampel telah dipanaskan pada temperatur di
O
atas 45 C, maka diamkan sampel pada temperatur ruang selama 24 jam
sebelum pengujian.
9. Tutup tabung dengan cork (dan termometer). Posisi termometer ko-aksial
dengan tabung sampel, dan termometer terendam dalam sampel, dengan
kapilernya terletak 3 mm di bawah permukaan sampel.
10. Pengujian titik tuang :
O
a. Apabila titik tuang sampel di atas -33 C, panaskan sampel tanpa
pengadukan 9 OC di atas perkiraan titik tuang, minimal sampai 45 OC, di
dalam water bath yang dipertahankan pada suhu 12 OC di atas titik tuang
(minimal 48 OC). Pindahkan tabung sampel ke dalam water bath yang
dipertahankan pada suhu 24 OC dan mulai amati titik tuang.
b. Apabila titik tuang sampel di bawah -33 OC, panaskan sampel tanpa
pengadukan sampai suhu 45 OC, di dalam water bath yang dipertahankan
O O
pada suhu 48 C, dan dinginkan sampai 15 C dalam air yang
dipertahankan pada suhu 6 OC
11. Keringkan disk, gasket, dan bagian dalam jacket. Letakkan disk pada dasar
jacket, dan gasket di sekeliling tabung sampel sekitar 25 mm dari dasar.
Masukkan tabung sampel ke dalam jacket.
12. Dinginkan sampel hingga terbentuk cairan kental, jaga agar sampel tidak
terganggu oleh pergeseran termometer.
13. Lakukan pengamatan pada rentang suhu 3 OC. Pengamatan mulai dilakukan
pada suhu 9 OC di atas perkiraan titik tuang.
a. Setiap 3 OC, keluarkan tabung sampel dari dalam jacket, bersihkan uap
air yang menempel pada dinding tabung, miringkan tabung dan
perhatikan apakah terjadi pergerakan sampel dalam tabung. Prosedur ini
harus dilakukan dalam waktu 3 detik.

70
b. Apabila sampel tidak berhenti mengalir pada suhu 27 OC, pindahkan
tabung sampel ke dalam bath yang memiliki suhu lebih rendah, dengan
rentang sebagai berikut:
Tabel F.1. Suhu sampel dan bath
Suhu sampel (OC) Suhu bath (OC)
+27 OC 0 OC
+9 OC -18 OC
-6 OC -33 OC
-24 OC -51 OC
-42 OC -69 OC
c. Pada saat sampel dalam tabung mulai tidak mengalir, letakkan tabung
pada posisi horizontal selama 5 detik, dan amati dengan teliti. Apabila
terjadi pergerakan sampel, kembalikan tabung ke dalam jacket, dan
teruskan pengujian.
14. Lanjutkan pengujian sampai sampel dalam tabung tidak mengalami pergerakan
ketika diletakkan pada posisi horizontal selama 5 detik. Pada saat itu, suhu yang
terbaca pada thermometer merupakan titik tuang sampel.

71
LAMPIRAN G
PENGUJIAN ANGKA PEROKSIDA
(BS ISO 27107:2008)

Prosedur:

Larutan asam asetat sebanyak 50 mL dimasukkan ke dalam 250 mL labu Erlenmeyer


yang mengandung 1 gram sampel. Campuran diaduk selama 120 detik. Lalu sebanyak
0,2 mL larutan potassium iodide jenuh ditambahkan ke dalam larutan tersebut.
Campuran diaduk lagi selama 60 detik. Aqua DM sebanyak 30 mL ditambahakn dan
campuran diaduk lagi selama 10 detik. Selama pengadukan yang terakhir, elektroda
dimasukkan ke dalam campuran dan setelah itu campuran dititrasi dengan 0,01 N
campuran sodium tiosulfat yang diaduk dengan kecepatan tinggi. Ketika mencapai titik
akhir titrasi, hasil akan ditunjukkan secara otomatis oleh potentiometric titration
apparatus.

72
LAMPIRAN H
PENGUJIAN STABILITAS OKSIDASI
(BS EN 14112:2003)

Alat:
1. Filter udara.
2. Pompa udara dengan pengatur laju alir.
3. Vessel.
4. Measurement cell.
5. Elektroda.
6. Measuring and recording apparatus.
7. Thyristor and contact thermometer.
8. Heating block.

Peralatan uji stabilitas oksidasi

Prosedur:

Tabung reaksi berisi 3 gram sampel ditaruh di bagian heating block dengan temperatur
ditetapkan pada 110 OC. Gas murni dialirkan melewati sampel dengan laju alir sebesar
10 L/hr. Uap yang dihasilkan dialirkan ke dalam labu yang berisi 50 mL air dan sebuah
elektroda untuk menghitung konduktivitas. Elektroda dihubungkan dengan Measuring
and recording apparatus. Hal ini mengindikasikan akhir dari induction period ketika
konduktivitas meningkat secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh disosiasi dari asam
karboksilat yang dihasilkan selama proses oksidasi dan diabsorpsi oleh air. Perubahan

73
konduktivitas direkam secara simultan untuk mengetahui induction period dan hasilnya
ditunjukkan secara otomatis oleh alat tersebut setiap jamnya.

74
LAMPIRAN I
MATERIAL SAFETY DATA SHEET (MSDS)

I.1 Hidrogen

75
76
I.2 Metanol

77
78
79
80
81
I.3 Biodiesel

82
83

Anda mungkin juga menyukai