Anda di halaman 1dari 16

Presentasi Kasus

PENANGANAN LAKI-LAKI USIA 16 TAHUN DENGAN MULTIPEL


FRAKTUR DAN CEDERA KEPALA SEDANG

Oleh :

Peter Darmaatmaja Setiabudi

G99162143

Pembimbing :

dr. Andy Nugroho Sp.An, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU ANESTESI

DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2017
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fraktur
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas korteks tulang
menimbulkan gerakan yang abnormal disertai krepitasi dan nyeri,
biasanya disebabkan oleh karena trauma. Terjadinya suatu fraktur
ditentukan oleh kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan tulang, serta
jaringan lunak di sekitar tulang (ATLS, 2012).
2. Epidemiologi
Fraktur merupakan insiden trauma sistem muskuloskeletal yang
sering terjadi pada anak-anak remaja dan orang tua. Pada anak-anak
insiden fraktur lebih sering dialami anak laki-laki sebanyak 50% kasus
sedangkan anak perempuan sebanyak 30% kasus. Kebanyakan kasus
fraktur pada anak-anak berlokasi di ekstremitas atas, 20% kasus di
ekstremitas bawah, dan 5% kasus di leher dan kepala (Mayranpaa,
2012). Kecelakaan lalu lintas, cedera saat berolahraga, jatuh
merupakan penyebab paling umum terjadinya fraktur (Hedstrom,
2010).
3. Klasifikasi
Berdasarkan bentuknya, fraktur diklasifikasikan sebagai berikut :
a) Komplit : garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang
dan fragmen tulang biasanya tergeser.
b) Inkomplit : hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tulang.
c) Fraktur kompresi : fraktur tulang di mana tulang terdorong ke arah
permukaan tulang lain.
d) Avulsi : fragmen tulang tertarik oleh ligamen.
e) Kominutif (Segmental) : tulang terpecah menjadi beberapa bagian.
f) Simpel : tulang patah namun kulit masih utuh.
g) Fraktur dengan perubahan posisi : ujung tulang yang patah
berjauhan dari lokasi fraktur.
h) Fraktur tanpa perubahan posisi : tulang patah namun masih berada
dalam posisinya yang normal.
i) Fraktur komplikata : tulang patah menusuk kulit hingga terlihat
dari luar.
Fraktur juga diklasifikasikan berdasarkan pada garis fraktur yaitu :
a) Transversal : fraktur yang memotong lurus pada tulang.
b) Spiral : fraktur yang mengelilingi tungkai atau lengan tulang
c) Oblik : fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut
melintasi tulang.
d) Impaksi : fraktur di mana fragmen tulang terdorong ke fragmen
tulang yang lainnya.
e) Komunitif : fraktur dengan fragmen tulang pecah menjadi
beberapa bagian.
f) Avulsi : tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada
perlekatannya.
g) Greenstick : fraktur di mana satu sisi tulang retak dan sisi tulang
lainnya bengkok.
(Whiteing, 2008)
4. Patofisiologi
Fraktur dapat terjadi oleh berbagai sebab, namun hal yang paling
sering terjadi adalah fraktur traumatis, fraktur insufiesiensi, dan
fraktur stress. Fraktur traumatis adalah hal yang paling umum
dijumpai dan diakibatkan oleh penyebab yang tidak disengaja seperti
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian. Fraktur
insufisiensi terjadi apabila kualitas tulang tidak mampu menahan
tekanan dari bantalan, seperti pada kasus osteoporosis. Fraktur stress
terjadi karena tekanan pada bantalan tulang yang terus menerus,
biasanya terjadi pada atlet contohnya penari, pelari jarak jauh, dan
juga terjadi pada personil militer.
5. Diagnosis Fraktur
Anamnesis dilakukan untuk mengetahui riwayat mekanisme
cedera, serta kejadian yang berhubungan cedera tersebut, mengetahui
riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, serta penyakit lain. Pada
pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting yaitu :
a) Inspeksi : apakah terdapat deformitas tulang (angulasi, rotasi,
pemendekan, pemanjangan), apakah terlihat bengkak, luka.
b) Palpasi : apakah terdapat nyeri tekan, krepitasi, diperiksa juga
status neurologis dan vaskulernya di bagian distal fraktur dengan
melakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut
(persendian di atas dan di bawah cedera, daerah yang mengalami
nyeri, efusi, dan krepitasi). Pengecekan neurovaskularisasi
meliputi pulsasi arteri, warna kulit, pengembalian cairan kapiler,
dan sensasi nyeri.
c) Pemeriksaan gerakan/ moving : menilai apakah terdapat
keterbatasan pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi
fraktur, diperiksa juga apakah terdapat false movement.
(Helmi, 2011)
Pemeriksaan penunjang juga diperlukan dalam menegakkan diagnosis
fraktur. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan antara lain darah
rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, urinalisa.
Pemeriksaan radiologi untuk lokasi fraktur menggunakan prinsip rule
of two yaitu dua sisi (anteroposterior dan lateral), dua sendi di
proksimal dan distal fraktur, dua foto ekstremitas terutama pada anak-
anak untuk melihat ekstremitas yang cedera dengan yang tidak cedera,
serta dilakukan dua waktu yaitu sebelum tindakan dan sesudah
tindakan (Nayagam, 2010).
6. Penatalaksanaan Fraktur
Trauma muskuloskeletal tidak mengubah urutan prioritas resusitasi
(A-B-C-D-E). Penanganan trauma muskuloskeletal tidak boleh
ditangani terlambat. Selama primary survey perlu dikenal adanya
perdarahan dan tatalaksana untuk menghentikan perdarahan. Cara
terbaik untuk menghentikan perdarahan pertama kali dengan
penekanan langsung pada lokasi perdarahan. Biasanya perdarahan
yang banyak sering terjadi pada fraktur tulang panjang. Pada
pemeriksaan airway perlu dikenali apakah terdapat sumbatan jalan
nafas dan mengetahui apakah terdapat cedera pada tulang servikal.
Apabila didapatkan adanya cedera servikal maka pemasangan collar
neck perlu segera dilakukan, kemudian jaw thrust dilakukan untuk
pembukaan jalan nafas. Pemeriksaan breathing untuk memperhatikan
apakah ada usaha bernafas lebih pada pasien, melihat bagaimana
pengembangan dinding dada pasien apakah terdapat keterlambatan.
Pada kasus fraktur yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
seringkali disertai dengan trauma pada dinding thoraks. Pemeriksaan
circulation dengan melihat bagaimana status tanda vital pasien.
Kebanyakan kasus fraktur disertai dengan perdarahan yang banyak
sehingga resusitasi cairan perlu segera diberikan (ATLS, 2012).
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan
tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi tersebut
selama masa penyembuhan fraktur (imobilisasi). Ada 4 prinsip yang
digunakan dalam penanganan fraktur yaitu :
a) Recognition : pengenalan riwayat trauma, derajat keparahan, dan
deskripsi tentang peristiwa yang dialami oleh pasien menentukan
apakah terdapat fraktur atau tidak, kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik.
b) Reduction : usaha untuk mengembalikan posisi tulang yang patah
ke posisi anatomi normal.
c) Reposition : imobilisasi tulang yang telah direduksi
d) Rehabilitation : mempertahankan dan mengembalikan fungsi.
B. Cedera Kepala
1. Definisi
Suatu trauma pada kepala bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif tetapi disebabkan oleh serangan/ benturan fisik dari luar
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2. Epidemiologi
Kasus cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus yang terdiri dari 80% cedera kepala ringan, 10% cedera
kepala sedang, dan 10% cedera kepala berat. Kasus cedera kepala
sering menyebabkan kematian (ATLS, 2012).
3. Klasifikasi
Berdasarkan patologinya cedera otak dibagi menjadi tiga yaitu
komosio serebri, kontusio serebri, dan laserasi. Cedera kepala juga
diklasifikasikan berdasarkan letak lesinya yaitu lesi difus jaringan
otak, lesi kerusakan vaskular otak, lesi fokal yang bisa terjadi
kerusakan aksonal atau hematoma. Letak hematoma terjadi di
ekstradural/ epidural/ EDH, subdural/ SDH, intradural (subarakhnoid
hematoma/ SAH, intracerebral hematoma/ ICH, dan intraserebelar
hematoma). Klasifikasi cedera kepala yang sering digunakan di klinik
adalah berdasarkan derajat kesadaran yaitu :
a) Cedera kepala ringan/ CKR : skor GCS 13-15, kesadaran menurun
10 menit, gambaran otak normal, defisit neurologis (-).
b) Cedera kepala sedang/ CKS : skor GCS 9-12, kesadaran menurun
> 10 menit sampai dengan < 6 jam, gambaran otak abnormal,
defisit neurologis (+).
c) Cedera kepala berat/ CKB : skor GCS 3-8, kesadaran menurun > 6
jam, gambaran otak abnormal, defisit neurologis (+).
(Soertidewi, 2012)
4. Patofisiologi
Mekanisme cedera kepala dibagi menjadi dua yaitu mekanisme
cedera primer dan sekunder. Mekanisme cedera primer dibagi menjadi
tiga yaitu :
a) Kepala diam terbentur oleh benda yang bergerak
b) Kepala bergerak membentur benda yang diam. Proses aselerasi
(gerakan cepat yang terjadi secara mendadak), dan deselerasi
(penghentian aselerasi secara mendadak).
c) Kepala yang tidak dapat bergerak karena menyender benda lain,
dibentur oleh benda yang bergerak, akibatnya kepala tergencet
kemudian tengkorak retak dan otak hancur.
Mekanisme cedera kepala sekunder dibagi dalam dua komponen
yaitu:
a) Secondary brain damage : terjadi sesudah aktivasi langsung dari
proses imunologi dan biokimia yang merusak otak.
b) Secondary brain insult : perburukan sistemik maupun patofisiologi
intrakranial yang memperberat kerusakan neuron yang sudah
didapat saat cedera primer.
(PERDOSSI, 2014)
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang pertama kali dilakukan sesuai dengan
prinsip penanganan trauma yaitu primary survey dan secondary
survey. Primary survey yang dilakukan adalah
a) Airway : pemeriksaan jalan nafas melihat apakah terdapat
obstruksi atau tidak, evaluasi jalan nafas apakah terdapat lidah
yang turun ke belakang, bila terdapat sisa muntahan, darah,
atau lendir dibersihkan, isi lambung dikosongkan melalui pipa
nasogastrik untuk menghindari aspirasi.
b) Breathing : terhentinya pernafasan sementara sering terjadi
pada cedera otak, dan dapat mengakibatkan gangguan
sekunder. Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh
kelainan di sentral atau perifer. Apabila terjadi gangguan
pernafasan maka perlu pertimbangan untuk intubasi
endotrakeal, pemberian oksigen.
c) Circulation : hipotensi bisa terjadi pada cedera otak yang
disebabkan oleh faktor ekstrakranial seperti hipovolemia
karena perdarahan luar atau ruptur organ dalam, trauma dada
disertai tamponade jantung/ pneumothoraks atau syok septik.
Perlu dipersiapkan cairan untuk mengganti darah yang hilang.
Setelah dilakukan resusitasi A-B-C, dilakukan pemeriksaan fisik yang
meliputi kesadaran, tekanan darah, nadi pola dan frekuensi nafas,
pupil (bentuk, refleks cahaya, isokor/ anisokor), defisit fokal serebral,
dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan kemudian dicatat dan
terus dipantau untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien.
(Soertidewi, 2012).
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Status Pasien
1. Anamnesis
Identitas
Nama : An. Y
Usia : 16 tahun
Alamat : Bleboh, Jiken, Blora, Jawa Tengah
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 60 kg
IMT : 22,05 kg/m2
Nomor Rekam Medis : 01380xxx
a) Keluhan Utama
Pasien mengalami penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu
lintas
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dalam kondisi penurunan kesadaran dibawa oleh
teman-temannya ke RSDM Moewardi. Pengantar menceritakan
bahwa 3 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien sedang dibonceng
oleh temannya dalam perjalan pulang kemah dari Matesih menuju
ke Solo, namun tiba-tiba motor yang dikendarai menabrak pohon,
dan pasien jatuh dengan posisi yang tidak diketahui.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat Operasi : Disangkal
Riwayat Kejang : Disangkal
Riwayat Trauma : Disangkal
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal
Riwayat Stroke : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
2. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum
Pasien tidak sadar
b) Primary Survey
Airway : Snoring (-), Gurgling (-), Stridor (-), Crowing (-),
Wheezing (-)
Breathing : Spontan, frekuensi 20x/menit
Circulation : Nadi teraba dengan frekuensi 96x/menit, irama
teratur, tekanan darah 109/69 mmHg, akral dingin
(-)
Disability : Refleks pupil +/+, isokor
Exposure : Jejas (+)
c) Secondary Survey
1) Keadaan Umum
Pasien somnolen dengan GCS E2V3M5.
2) Pemeriksaan Tanda Vital
Tekanan darah : 109/69 mmHg
Frekuensi Nadi : 96x/menit, regular
Frekuensi Pernafasan : 20x/menit
SpO2 : 85%
Suhu : 36,70C
3) Head to toe examination
a) Kepala : tidak tampak adanya jejas di kepala
b) Mata : tidak ditemukan konjungtiva anemis dan sklera
ikterik, pupil isokor dan reflek cahaya positif di kedua mata
c) Telinga : tidak ada kelainan
d) Hidung : tidak ditemukan adanya sekret yang keluar dari
hidung
e) Mulut : tidak ada luka, tidak ada gigi berlubang, tidak ada
perdarahan di rongga mulut, malokasi tidak ada, maksilla
goyang tidak ditemukan
f) Leher : tidak ditemukan jejas, leher dapat bergerak bebas
g) Thoraks :
1) Inspeksi : pengembangan dada kanan dan kiri sama,
frekuensi 20x/menit, tidak ada retraksi dinding dada
2) Palpasi : krepitasi (-), fremitus lebih teraba di
hemithoraks sinistra
3) Perkusi : terdengar suara sonor.
4) Auskultasi : terdengar suara dasar vesikuler
h) Cor :
1) Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
3) Perkusi : batas jantung tidak melebar
4) Auskultasi : bunyi jantung 1 dan 2 reguler, tidak
terdengar bunyi jantung tambahan
i) Abdomen :
1) Inspeksi : tidak ada distensi abdomen, tidak ditemukan
jejas
2) Auskultasi : terdengar bising usus normal
3) Perkusi : timpani
4) Palpasi : teraba supel, tidak nyeri tekan, defans
muskular (-)
j) Ekstremitas :
1) Regio Femoris Dextra
Look : swelling (+), skin intak (+), deformitas angulasi
lateral
Feel : gangguan neurovaskular (-), CRT < 2 detik
Movement : ROM aktif terbatas nyeri
2) Regio Antebrachii Sinistra
Look : swelling (+), skin intak (+), deformitas unclear
Feel : gangguan neurovaskular (-), CRT < 2 detik
Movement : ROM aktif terbatas nyeri
3) Regio Brachium Sinistra
Look : swelling (+), skin intak (+)
Feel : gangguan neurovaskular (-), CRT < 2 detik
Movement : ROM aktif terbatas nyeri

Akral dingin - - edema - +

- - + -
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Hasil Laboratorium

HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 11.2 g/dl 13.5 - 17.5
Hematokrit 32 % 33 45
Leukosit 17.5 ribu/ul 4.5 11.0
Trombosit 383 ribu/ul 150 450
Eritrosit 3.70 juta/ul 4.10 - 5.90
HEMOSTASIS
PT 13.7 Detik 10.0-15.0
APTT 27.5 Detik 20.0-40.0
INR 1.020 -
KIMIA KLINIK
GDS 152 mg/dl 50 80
Albumin 3.3 u/L 3.2-4.6
Kreatinin 0.5 u/ 0.8-1.3
Ureum 30 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium
130 mmol/L 136 145
darah
Kalium darah 3.3 mmol/L 3.7- 5.4
Klorida ion 102 mmol/L 98-106
HbsAg
HbsAg Nonreaktif Non reaktif

b) Pemeriksaan Radiologi
1) X-Ray Thoraks : tidak tampak fraktur ataupun dislokasi cor,
dan paru tak tampak kelainan
2) Humerus sinistra AP dan lateral : fraktur 1/3 medial os humeri
3) Antebrachii sinistra AP dan lateral : fraktur 1/3 distal os radius
et ulna sinistra cum contractionum
4) Femoris dextra AP dan lateral : fraktur suprachondyler femur
5) CT-Scan kepala : oedem cerebri
4. Tatalaksana IGD
a) Oksigenasi O2 10 lpm NRM
b) Infus NaCl 0,9% 1500 cc/ 24 jam
c) Injeksi Metamizole 1 gram
d) Injeksi Ranitidin 50 mg
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien An. Y, 16 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Dr. Moewardi diantar
oleh teman-temannya dalam kondisi penurunan kesadaran setelah 3 jam yang lalu
mengalami kecelakaan lalu lintas. Pemeriksaan fisik pasien mengarahkan pada
kecurigaan adanya trauma di bagian kepala, thoraks, dan muskuloskeletal.
Tatalaksana pasien di IGD adalah sebagai berikut :
1. Airway dan C-spine precaution
Pada penilaian airway pasien tidak didapatkan adanya gangguan pada
jalan nafas seperti snoring, gurgling, stridor, wheezing, dan crowing. C-spine
precaution tidak terdapat adanya cedera pada tulang servikal sehingga
pemasangan collar neck tidak diperlukan.
2. Breathing
Pasien bernafas spontan dengan frekuensi 20x/menit, pengembangan
dinding dada kanan dan kiri sama. Oksigenasi diberikan pada pasien karena
adanya penurunan saturasi oksigen dalam tubuh.
3. Circulation
Tekanan darah pasien terukur 109/69 mmHg menunjukkan adanya
hipotensi, denyut nadi teraba regular dengan frekuensi 96x/menit. Pemberian
terapi cairan kristaloid berupa NaCl 0,9% melalui iv line pada pasien bertujuan
untuk mencegah pasien jatuh dalam kondisi syok karena adanya cedera otak,
dan trauma muskuloskeletal yang memungkinkan kehilangan darah dalam
jumlah yang banyak. Pada pasien tidak ditemukan akral dingin. Pemantauan
kecukupan cairan pasien, maka dilakukan pemasangan cathether untuk melihat
urin output pasien.
4. Disability
Pemeriksaan GCS pasien didapatkan E2V3M5 dengan skor 10. E2
menunjukkan pasien dapat terbangun apabila diberikan rangsang nyeri, V3
menunjukkan pasien hanya dapat mengucapkan kata-kata yang sulit untuk
dimengerti, sementara M5 menunjukkan pasien melokalisir tempat rangsang
nyeri diberikan. GCS dengan skor 10 menunjukkan pasien mengalami
penurunan kesadaran yaitu somnolen. GCS dengan skor 10 juga menunjukkan
adanya cedera kepala sedang. Tindakan yang dilakukan pada kasus dengan
cedera kepala sedang adalah konsultasi ke tim ahli bedah saraf dan melakukan
CT-scan kepala untuk melihat apakah ada perdarahan intrakranial. Hasil CT-
scan pasien menunjukkan tidak ada perdarahan di otak, namun pasien tetap
dilakukan observasi secara klinis.
5. Exposure
Ditemukan adanya pembengkakan, deformitas tulang serta ROM aktif
yang terbatas karena nyeri pada regio femoris dextra, regio antebrachii sinistra,
dan regio brachium sinistra menandakan adanya multipel fraktur. Fraktur yang
dialami oleh pasien adalah fraktur tertutup. Penanganan pertama yang
dilakukan pada fraktur tertutup di regio antebrachii dan regio brachium sinistra
adalah dengan pemasangan bidai dari bahu hingga punggung tangan untuk
imobilisasi daerah fraktur dan mengurangi rasa nyeri/ tidak nyaman.
Penanganan yang dilakukan pada fraktur suprakondiler femur adalah dengan
pembidaian yang dipasang dari mata kaki sampai lipat paha. Pengontrolan
nyeri pada fraktur yang dialami pasien juga diberikan obat analgetik yaitu
metamizole 1 gram. Injeksi ranitidin diberikan untuk mencegah efek samping
obat analgetik yang diberikan pada pasien yaitu gangguan pada lambung.
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons Committee on Trauma (2012). Advanced trauma


live support for doctors, student course manual 9th edition.
Hedstrom EM, Svensson O, Bergstrom U, Michno P (2010). Epidemiology of
fractures in children and adolescents. Acta Orthopaedica 81(1): 148-153.
Helmi ZN (2011). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba
Medika, p: 41-55.
Mayranpaa M (2012). Fractures in children : epidemiology and associated bone
health characteristics. Finland, University of Helsinki. Thesis.
Nayagam S (2010). Principles of fractures. Dalam : Apleys System of
Orthopaedics and Fractures edisi 9. London : Hodder Education, p: 687-
732.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (2014). Overview cedera
kranioserebral. Advanced Neurology Life Support Course.
Soertidewi L (2012). Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranioserebral.
Continuing Medical Education 39(5): 327-331.
Whiteing NL (2008). Fractures : pathophysiology, treatment and nursing care.
Nursing Standard 23(2): 49-57.

Anda mungkin juga menyukai