Anda di halaman 1dari 19

Tiroiditis Kronik atau Hashimoto pada Wanita

Sri Handawati Wijaya


102012055
Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
No. Telp (021) 5694-2061
Pendahuluan
Kelenjar tiroid terletak dibawah laring pada kedua sisinya dan anterior dari trakea.
Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar dalam tubuh manusia yang bertugas
mensekresi dua macam hormon, yaitu: hormon tiroksin (T4) dan hormon triiodotiroksin (T3).
Kedua hormon ini berfungsi untuk meningkatkan metabolisne dari tubuh. Salah satu kelainan
pada kelenjar tiroid disebut dengan tiroiditis, dimana pada kelainan ini terjadi inflamasi pada
kelenjar tiroid yang menimbulkan adanya suatu gejala klinis akut, subakut, dan kronik.
Tiroiditis akut contohnya tiroiditis infeksiosa akut, tiroiditis karena radiasi, dan tiroiditis
traumatika. Tiroiditis subakut dibagi menjadi yang disertai rasa sakit seperti tiroiditis de
Quervain, sedangkan yang tidak disertai rasa sakit seperti tiroiditis limfositik subakut, post
partum, dan oleh karena obat-obatan. Tiroiditis kronis meliputi tiroiditis Hashimoto, Riedel,
dan infeksiosa kronis.1
Tiroiditis Hashimoto merupakan salah satu penyakit tiroid autoimun yang paling
umum dan bersifat organ-specific. Ditemukan oleh Hakaru Hashimoto pada tahun 1912,
dengan istilah lain struma limfomatosa. Disebut juga tiroiditis autoimun kronis dan
merupakan penyebab utama hipotiroid di daerah yang iodiumnya cukup. Dalam makalah ini
akan dibahas pemeriksaan, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, tatalaksana dari tiroiditis
Hashimoto ini.

Anamnesis
Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat
penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis yang dilakukan berkaitan dengan kasus
dalam bentuk auto-anamnesis.2 Identitas pasien diketahui seorang perempuan berusia 34
tahun yang datang dengan keluhan merasa lemah dan mudah lelah selama 3 bulan terakhir
walaupun tidak melakukan aktivitas berat. Melalui anamnesis dapat ditanyakan hal-hal yang
berkaitan dengan keluhan utama pasien tersebut sebagai riwayat penyakit sekarang.2 Riwayat
penyakit sekarang menunjukkan perubahan dalam kesehatan akhir-akhir ini yang membuat
pasien mencari bantuan medis sekarang. Pasien menguraikan informasi yang relevan dengan
keluhan utama. Dokter sebagai pewawancara dapat memahami kronologi proses patologis
yang terjadi pada pasien, mulai dari gejala awal hingga pasien datang berobat.
Pada tahap ini dapat ditanyakan apakah pasien sering mengeluarkan banyak keringat,
merasa cepat lelah, merasa berdebar debar? Apakah berdebar-debar pada saat melakukan
aktivitas atau tidak? Sering merasa gemetar, gugup atau gelisah? Apakah pasien merasa kulit
dan rambutnya lebh kering dari biasanya? Adakah konstipasi? Adakah badan terasa panas?
Lebih nyaman berada diudara yang dingin atau panas? Apakah ada penglihatan double,
penglihatan yang kurang jelas, mata menonjol, leher terasa membesar dan ada rasa
mengganjal di leher? Adakah pembesaran dari kelenjar getah bening di leher? Apakah
spasien mengalami sesak napas belakangan ini? Apakah pasien sering makan banyak atau
nafsu makan berkurang? Ada peningkatan atau penurunan dari berat badan? Sering susah
tidur atau tidak? Jumlah haid bertambah banyak atau tidak? Ada gangguan suara atau tidak?
Apakah kuku dan dasar kuku terlepas (Plummers sign)? Pertanyaan ini dapat ditanyakan
untuk membedakan metabolisme pada pasien meningkat atau menurun, menilai adakah
tanda-tanda karsinoma pada pasien atau tidak.3
Lalu tanyakan pula mengenai riwayat penyakit dahulu. Riwayat penyakit dahulu
adalah penilaian kesehatan pasien secara keseluruhan sebelum penyakit sekarang. Adakah
pasien pernah mengalami hal yang sama sebelumnya? Adakah pasien pernah menderita
penyakit goiter/gondok sebelumnya? Pernahkah mengalami penyakit endokrin lain seperti
penyakit Graves, diabetes mellitus tipe 1 atau penyakit autoimun seperti myasthenia gravis,
dan penyakit Addison. Kemudian tanyakan apakah dalam keluarganya ada yang mengalami
hal serupa atau memiliki penyakit endokrin atau autoimun lain yang terkait seperti dalam
riwayat penyakit dahulu. Tanyakan juga riwayat obat obatan. Apakah pasien sebelum
datang ke dokter, sudah mengonsumsi obat baik yang dibeli sendiri maupun dengan resep
dokter. Jika pasien sudah pernah mengonsumsi obat, apa nama obatnya, sudah berapa lama,
dan bagaimana efek yang dirasakan. Apakah pasien ada mengonsumsi obat anti aritmia
seperti amiodaron, obat hepatitis seperti interferon alfa, obat antidepresi seperti litium dan
interleukin 2. Obat-obatan tersebut dapat meimbulkan tiroiditis tanpa rasa sakit. Hal penting
lain yang perlu ditanyakan berkaitan dengan riwayat sosial pasien, yaitu: apakah pasien
merokok atau mengonsumsi alkohol?
Berdasarkan kasus, disamping keluhan utama yang dialami pasien, diketahui juga
adanya jumlah hadi yang bertambah banyak (menorrhagia), konstipasi, penambahan berat
badan sebesar 10 kg dalam 6 bulan terakhir dan leher yang agak membesar meskipun tidak
ada sakit atau gangguan saat menelan, tidak ada rasa menekan serta gangguan suara. Kasus
ini dapat menunjukkan bahwa pasien mengalami hipotiroid.

Pemeriksaan Fisik
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, penting untuk menilai kesadaran pasien,
keadaan umum dan pemeriksaan tanda-tanda vital.2 Pada kasus didapatkan tekanan darah
pasien 120/70, respiratory rate 14x/menit, nadi 55x/menit, dan suhu tubuh 36,5oC. Dari
pemeriksaan tanda tanda vital ini dapat disimpulkan adanya penurunan kecepatan napas dan
peningkatan nadi. Pemeriksaan fisik pada tiroid dapat dilakukan dengan urutan: inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi pada leher.2

Inspeksi
Pada inspeksi dapat dilakukan pengamatan pada regio colli. Pada inspeksi, minta
pasien untuk mendongak dan mulailah inspeksi dari bawah kartilago cricoid untuk melihat
kelenjar tiroid. Nilai apakah bentuknya simetris atau tidak, apakah warna kulitnya sama atau
tidak, adakah bekas operasi atau tidak. Bila ditemukan adanya bekas operasi maka dapat
dicurigai adanya gangguan pada tiroid, adakah pembesaran dari regio colli atau tidak. Bila
ditemukan adanya pembesaran, lihat apakah pembesaran yang terjadi berbenjol-benjol atau
berbentuk difus. Kemudian minta pasien untuk menelan dan lihat pergerakan dari keatas dari
kelenjar tiroid, perhatikan bentuk dan kesimetrisannya. Normalnya ketika menelan, kartilago
tiroid, kartilago cricoid dan kelenjar tiroid akan bergerak bersamaan dan kembali pada
posisinya semula.4

Gambar No. 1 Kelenjar Tiroid


Palpasi
Palpasi dilakukan melalui bagian anterior dan posterior. Pada bagian posterior,
lakukan dengan kedua tangan. Tempatkan jari kedua, ketiga dan keempat dibawah kartilago
cricoid. Minta pasien untuk minum atau menelan ludah untuk merasakan gerakan keatas dari
istmus tiroid. Kemudian pada palpasi bagian anterior, geser trakea ke kanan dengan jari
telunjuk kiri dan palpasi lobus kanan kelenjar tiroid dengan jari kedua, ketiga dan keempat
tangan kanan. Lakukan sampai menemukan batas lateral kelenjar tiroid. Hal ini juga
dilakukan pada lobus kiri.4
Hal yang harus diperhatikan dalam palpasi, yaitu ukuran, bentuk, kekenyalan, adakah
nodul-nodul atau nyeri saat palpasi. Jika ditemukan adanya pembesaran yang difus, maka
ukur lingkar leher dengan pita pengukur sedangkan jika ditemukan adanya nodul nodul
makan ukur dimensi dari nodul. Biasanya pada penyakit Graves, palpasi pada kelenjar tiroid
akan terasa halus, kenyal pada penyakit tiroiditis dan adanya nodul-nodul pada keganasan.4

Gambar No.2 Palpasi Tiroid


Auskultasi
Pada auskultasi, dengarkan apakah adanya bruit pada lobus lateral kelenjar tiroid. Jika
terdengar bruit maka dapat diketahui adanya pembesaran dari kelenjar tiroid dan bila ada
bruit yang kontinu maka orang tersebut mungkin menderita hipertiroid.4

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis tiroiditis meliputi
pemeriksaan laboratorium dan imaging. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan darah untuk menguji fungsi tiroid atau thyroid function test (TFT).5
Thyroid function test
Parameter yang digunakan dalam uji ini, antara lain: tirosin total (T4), triiodothironin
total (T3), T3 uptake dan thyroid stimulating hormone (TSH). Pada pemeriksaan T4 total,
perlu diperhatikan bahwa dapat terjadi tinggi atau rendah palsu. Hal ini disebabkan karena T4
dipengaruhi oleh thyroid binding globulin (TBG) atau obat-obatan tertentu. Oleh karena itu
ada parameter hitungan untuk mendapatkan hasil laboratorium yang lebih baik, yaitu free
thyroxin index (FTI) dimana FTI didapatkan dari nilai T4 total x T3 uptake sebagai perkiraan
kadar T4 bebas. Hasil yang tinggi sesuai dengan hipertiroidisme dan yang rendah sesuai
dengan hipotiroidisme. TSH lama kurang peka karena hanya dapat mendeteksi kadar tinggi
sehingga hanya mendiagnosis hipotiroid. Dengan perkembangan teknik pengukuran yang
makin peka maka dapat memungkinan untuk mengukur kadar T4 bebas (FT4), T3 bebas (FT3)
dan TSH sensitive (TSHs). Dengan adanya FT4 dan FT3 maka FTI tidak diperlukan lagi.
TSHs dapat mengukur kadar TSH baik yang tinggi maupun rendah sehingga juga dapat
mendiagnosis hipertiroid atau tirotoksikosis.6
Serum TSH akan meningkat pada hipotiroidisme dan biasanya merupakan kelainan
awal pada pemeriksaan laboratorium yang terdeteksi bila kelenjar pituitari mencoba untuk
meningkatkan produksi hormon tiroid ketika kelenjar tiroid mengalami kegagalan. Serum
TSH juga akan tetap meningkat pada hipotiroidisme subklinik dan masa penyembuhan dari
fase eutiroid sick syndrome.5
FT4 test dibutuhkan karena biasanya dapat menginterpretasikan secara tepat TSH
dalam beberapa tanda klinis. T4 total atau FT4 yang rendah dari peningkatan kadar TSH dapat
mengkonfirmasi lebih jauh diagnosis adanya hipotiroidisme primer. Jika ditemukan adanya
serum TSH dan FT4 yang rendah pada kasus pasien rawat jalan, maka kemungkinan adanya
hipotiroidism sentral diperkuat. Akan tetapi, pada pasien dengan penyakit akut, kemungkinan
adanya eutiroid sick syndrome (nonthyroidal illness) lebih besar dibandingkan hipotiroidism
sentral. TSH tidak dapat digunakan sebagai gejala klinis untuk membedakan hipotiroidism
sentral dan nonthyroidal illness, diperlukan adanya pemeriksaan fisik yang lebih jauh untuk
menentukan diagnosis yang tepat.5
T3 test. Kadar T3 yang rendah atau tinggi dapat menjadi tambahan dalam
mendiagnosis nonthyroidal illness. Kadar T3 memiliki makna kecil dalam pemeriksaan
hipotiroid. Hal ini dikarenakan sekitar 70% dari pasien yang dirawat inap dengan atau tanpa
hipotiroidism atau penyakit tiroid lain serta pada nonthyroidal illness memiliki kadar T3 yang
rendah.5
Tiroid autoantibodi test. Pada pemeriksaan ini terdapat tiga autoantibodi yang paling
sering diperiksa, yaitu autoantibodi terhadap tiroglobulin (TgAb), anti thyroid peroxidase
antibody (TPOAb) dan Thyrotropin receptor antibody (TRAb).7
TRAb ditemukan pada sebagian besar penderita yang pernah atau sedang menderita
penyakit Graves. Selama kehamilan, karena dapat melewati sawar plasenta, TRAb
merupakan faktor resiko disfungsi tiroid fetal maupun neonatal. TPOAb merupakan faktor
risiko disfungsi tiroid, termasuk tiroiditis postpartum dan penyulit autoimun akibat
penggunaan obat-obat tertentu. TPOAb merupakan kelainan yang pertama ditemukan pada
hipotiroidism akibat tiroiditis Hashimoto. Lebih dari 95% penderita tiroiditis Hashimoto dan
sekitar 85% penderita penyakit Graves mempunyai TPOAb.7

Tabel 1. Indikasi Penentuan TPOAb7


Diagnosis PTAI
Faktor risiko untuk PTAI
Faktor risiko untuk hipotiroid pada pengobatan dengan Interferon , IL-2 & lithium
Faktor risiko disfungsi tiroid pada pengobatan Amiodarone
Faktor risiko hipotiroid pada penderita Sindrom Down
Faktor risiko disfungsi tiroid selama kehamilan dan tiroiditis post-partum
Faktor risiko untuk keguguran dan kegagalan fertilisasi in-vitro

TGAb adalah antibody yang spesifik untuk tiroglobulin. TGAb akan ditemukan
positif pada 70% orang dengan tiroiditis hashimoto, 60% pada hipotiroidism idiopatik, 30%
pada penyakit Grave dan kecil pada karsinoma tiroid serta 3% pada orang normal. Bila TGAb
positif maka hal ini berhubungan erat juga pada peningkatan TPOAb, akan tetapi peningkatan
TPOAb hanya memberikan prevalensi sekitar 35% pada peningkatan TGAb.8

Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)


Merupakan pemeriksaan sitologi dimana pada pemeriksaan ini umumnya dapat
ditemukan adanya infiltrasi sel-sel limfosit pada kelenjar tiroid. Secara mikroskopis ciri dari
penyakit Hashimoto adalah tampak potongan jaringan tiroid dengan struktur folikel yang
rusak. Terdapat bentukan limfoid folikel dengan germinal center di bagian tengah, terdapat
bentukan sel hurtler yaitu sel berukuran besar, sitoplasma granuler dan eosinofilik.9
Ultrasonografi
Teknik ultrasonografi tidak berguna untuk menentukan gamabaran penyakit tiroiditis
hashimoto namun dapat digunakan untuk menentukan apakah terdapat nodul tiroid baik yang
teraba pada palpasi maupun yang tidak, merupakan nodul tunggal atau multiple padat atau
kistik, menentukan adanya tanda keganasan seperti batas tidak tegas, adanya halo,
mikrokalsifikasi, dan peningkatan vaskularisasi. Pemeriksaan ini pada keganasan harus
dipastikan juga dengan aspirasi jarum halus dan hanya dapat mendeteksi nodul yang
berpenampang lebih dari setengah sentimeter.5

Working Diagnosis
Tiroiditis Hashiomoto
Tiroiditis Hashimoto juga disebut kronik limfositik tiroiditis atau autoimun tiroiditis,
merupakan bentuk dari inflamasi kronik dari kelnjar tiroid. Inflamasi ini kemudian akan
merusak kelenjar tiroid sehingga menyebabkan penurunan fungsi kelenjar tiroid yang juga
mengakibatkan menurunnya fungsi hormon tiroid atau juga disebut hipotiroid.
Tiroiditis Hashimoto meruapakan penyakit autoimun yang berarti sistem imun dari
suatu individu membuat pertahanan atau antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri
sehingga mengganggu produksi dan fungsi hormon tiroid. Kemudian dapat ditemukan
banyaknya sel darah putih atau leukosit jenis limfosit yang terakumulasi pada kelenjar tiroid.
Limfosit inilah yang membentuk antibodi dan menyerang kelenjar tiroid.10

Epidemiologi
Di Amerika, penyakit tiroiditis Hashiomoto lebih banyak terjadi pada usia antara 11
sampai 18 tahun. 5 kasus baru ditemukan setiap tahunnya dari 1000 anak muda dari hasil
screening dan lebih banyak terjadi pada wanita dengan perbandingan 4:1 atau 8:1 yang
bervariasi berdasarkan pembagian geografis. Tiroiditis Hashimoto dapat dideteksi sejak usia
3 tahun, namun biasanya terlihat setelah usia 6 tahun yaitu pada usia 10 atau 11 tahun.11
Prevalensi tiroiditis Hashimoto dalam rentang usia 6-18 tahun di Jepang sekitar 3%
dan sekitar 30-40% merupakan penyakit yang diturunkan. Penyakit ini diderita lebih sering
pada wanita (ratio antara10:1 atau 20:1) dibandingkan laki-laki dan prevalensi terbanyak
adalah yang berusia 45-65 tahun.11
Etiologi
Penyebab tiroiditis hashimoto belum diketahui secara pasti namun dipengaruhi baik
dari faktor genetik dan juga lingkungan.11
Faktor genetik
Gen yg terlibat dalam patogenesis penyakit tiroid auto imun (PTAI) merupakan gen
yang mengatur respon imun seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T,
serta antibodi, dan gen yang mengkode autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, thyroid
peroxidase (TPO), transporter iodium, TSH Receptor (TSHR). Dari sekian banyak gen
kandidat, saat ini baru enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu Cytotoxic T Lymphocyte
Antigen-4 (CTLA-4), CD40, HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22 (PTPN22),
tiroglobulin (Tg), dan TSHR.12,13

Gambar No. 3 Aktivasi sel T oleh APC


APC memunculkan antigen yang terikat molekul HLA kelas II, dan peptida ini dikenali
oleh reseptor sel T.

CTLA-4 merupakan molekul kostimulator yang terlibat dalam interaksi sel T dengan
Antigen Presenting Cells (APC). APC akan mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan
peptida antigen yang terikat protein HLA kelas II pada permukaan reseptor sel T. Sinyal
ko-stimulator berasal dari beberapa protein yang diekspresikan pada APC (seperti B7-1,
B7-2, B7h, CD40), dan berinteraksi dengan reseptor (CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada
permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi antigen.12
CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul ko-stimulator non-spesifik, yang dapat
meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain. CTLA-4 berasosiasi
dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, dan
pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe
1, penyakit Addison, dan myasthenia gravis.12 Beberapa peneliti melaporkan asosiasi
antara tiroidits Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus. Pada
non-Kaukasus dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada
bangsa Jepang dan dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina.12

b. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab
penyakit tiroid autoimun, yaitu: berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan
iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, penggunaan obat-
obat seperti lithium, interferon-, amiodarone dan campath-1H, jarak waktu reproduksi,
mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar tiroid akibat
radiasi, serta infeksi virus dan bakteri.14 Berikut ini merupakan beberapa faktor yang
terlibat dalam etiologi PTAI
Tabel 2. Faktor Lingkungan yang Terlibat dalam PTAI
Faktor Lingkungan Mekanisme Fenotipe
Berat lahir rendah Maturasi tidak sempurna Antibodi TPO
Ekses iodium Tidak terjadi escape effect HT
Wolff-Chaikoff; Jod-
Basedow GD
Defisiensi selenium Tidak diketahui; viral? HT
Jarak proses Efek estradiol HT
reproduktif yang
panjang
Kontraseptif oral Protektif Antibdi TPO
Mikrokhimerisme fetal Sel laki-laki di sel tiroid HT dan GD
menimbulkan efek antitiroid
Stress Upregulasi sumbu HPA GD
Alergi Tidak diketahui; kadar IgE GD
tinggi
Rokok Hipoksia?; Kadar IgE tinggi GD; terutama GO
Infeksi Yersinia Mimikri molekuler GD
enterocolitica
Keterangan: HT: Hashimoto thyroiditis,GD:Graves disease, GO:Gravesophthalmopathy
Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu
seperti penyakit jantung kronik. Kurangnya asupan makanan selama kehamilan dapat
menyebabkan intoleransi glukosa ketika dewasa, serta rendahnya berat thymus dan limpa
mengakibatkan menurunnya sel T supresor.14
Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid. Hipotiroid lebih
sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium, dan
prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Asupan iodium berlebihan
dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai latar belakang
penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat menyebabkan hipotiroid dan/ atau
goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul
autonom fungsional atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan
akan menginduksi terjadinya hipertiroid (efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena
tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem
imun, yang pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium
sebenarnya merupakan pula faktor risiko terjadinya PTAI.14
Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis selenocysteine.
Selenium mempengaruhi sistem imun. Defisiensi selenium akan menyebabkan individu
lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus Coxsackie, mungkin karena limfosit T
memerlukan selenium. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon tiroid, karena
dua enzim yaitu selenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam
produksi hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan
kematian akibat kanker (cancer mortality rate). Kadar selenium rendah di dalam darah
akan meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda adanya infiltrasi
limfosit.11
Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress sumbu
hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi, menimbulkan efek imunosupresif.
Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2,
mengarahkan sistem imun menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan
memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas
humoral meningkat. Namun belum diketahui apakah penyakit Hashimoto juga terkait
dengan faktor stress.14 Faktor infeksi baik virus atau bakteri juga berperan dalam
patogenesis PTAI. Ada tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi menjadi pencetus
PTAI.13
Agen Infeksi
(virus, bakteri)

A B C

Proses APC klasik Infeksi langsung Stimulasi langsung Induksi Gen-V


pada sel tiroid pada sel-T Sel-T restriksi

Pelepasan sitokin

Mimikri molekuler Induksi Gen-V


dengan autoantigen Sel-T restriksi
Ekspresi HLA-DR
pada sel tiroid
Stimulasi poliklonal
Induksi reaksi Induksi reaksi sel-T Sel-T sebagai pada sel-T autoreaktif
antibodi silang silang APCS
Presentasi
autoantigen

Penyakit Tiroid Autoimun

Gambar 4. Mekanisme Agen Infeksi sebagai Pencetus PTAI.


Rokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi
Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan meningkatkan
risiko kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah pengobatan
dengan iodium radioaktif.15

c. Autoantigen dan autoantibodi tiroid


Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan
fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler. Kerusakan seluler terjadi
ketika limfosit T yang tersensitisasi dan/atau autoantibodi berikatan dengan membran sel,
menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja
autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga
autoantigen spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO),
tiroglobulin, dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO merupakan enzim utama yang
berperan dalam hormogenesis tiroid.16 Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau
TPO-specific T cells merupakan penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak
menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh karena itu antibodi tersebut hanya berperan
sebatas sebagai petanda penyakit pada inflamasi tiroid. Di lain pihak beberapa studi
menduga antibodi anti-TPO mungkin sitotoksik terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat
dalam proses destruksi jaringan yang menyertai hipotiroid pada tiroiditis Hashimoto dan
tiroiditis atrofi.7,16
Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup iodium, penentuan
antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap penentuan kadar Tg, karena bila ada
antibodi anti-Tg akan menganggu metode penentuan kadar Tg. Sedangkan di daerah
kurang iodium, penentuan kadar antibodi anti-Tg berguna untuk mendeteksi PTAI pada
penderita struma nodusa dan pemantauan hasil terapi iodida pada struma endemik.7,16
Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR dikelompokkan menjadi:17,18
1. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon tiroid;
2. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam merangsang
sintesis hormon tiroid;
3. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang pertumbuhan sel folikel;
4. TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang
pertumbuhan seluler (misalnya pada miksedema).
Aktivitas berbagai antibodi TSHR ini menjelaskan terjadinya diskrepansi antara
volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada penderita dengan kelenjar tiroid besar tetapi
fungsinya normal atau rendah, atau sebaliknya.18

d. Mekanisme apoptosis
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam tiroiditis
Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+), CD25(+) T regulatory cells akan
merusak toleransi host dan menginduksi produksi abnormal sitokin yang akan
menfasilitasi apoptosis. Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi proses apoptosis
pada HT dan GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit sedangkan apoptosis pada
GD akan mengakibatkan kerusakan thyroid infiltrating lymphocytes. Perbedaan
mekanisme apoptosis ini akan mengakibatkan dua bentuk respons autotimun berbeda yang
akhirnya akan menimbulkan manifestasi tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves.19
e. Peran sitokin
Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun. Sitokin dapat
meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B intratiroid dan menginduksi
perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulasi MHC kelas I dan II, serta ekspresi
molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid untuk menghasilkan sitokin,
nitric oxide (NO) dan prostaglandin, yang selanjutnya akan meningkatkan reaksi inflamasi
dan destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi pertumbuhan dan fungsi sel folikel
tiroid, yang secara langsung akan berimplikasi terhadap disfungsi tiroid.20

Maniestasi Klinis
1. Gondok
Gondok merupakan adalah gejala yang paling sering terjadi pada banyak kelainan
kelenjar tiroid, gondok merupakan gejala pembesaran kelenjar tiroid. Gondok dapat terjadi
menyeluruh ataupun bersifat seperti nodul. Kekurangan iodium dapat menyebabkan gondok.
Pada umumnya gondok dapat menyebabkan penekanan disekitar daerah timbulnya. Gondok
yang muncul dengan bentuk nodul patut dicurigai sebagai keganasan.21
2. Peningkatan Berat badan
Peningkatan berat badan apada pasien dengan tiroiditis hashimoto terjadi disebabkan
karena terjadinya hipotiroid. Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa gangguan tiroid akan
menyebabkan terjadinya penurunan metabolisme basal tubuh.22
3. Kelelahan
4. Konstipasi
5. Kurang berkeringat
6. Frekuensi detak jantung menurun

Patofisiologi
Patofisiologi dari tiroiditis hashimoto merupakan suatu perjalanan penyakit yang
multiproses, melibatkan adanya gangguan pada genetik serta gangguan pada lingkungan yang
membawa perkembangan penyakit. Pada suatu studi menggunakan hewan yang sebelumnya
telah diketahui memilkiki kelainan genetik didapati bahwa perjalanan penyakit tiroiditis
dikarenakan adanya kegagalan toleransi sistem imun yang dihasilkan oleh tubuh dan ekspansi
autoreaktif dari limfosit yang dihasilkan oleh tubuh.23
Sel-sel antibodi yang dihasilkan oleh tubuh ini kemudian menginfiltrasi kelenjar
tiroid. Peradangan dan infiltrasi pada kelenjar tiroid ini sendiri dapat terjadi oleh karena
adanya rangsangan dari lingkungan seperti tercukupi atau tidaknya kebutuhan iodium sebgai
bahan baku pembentukan tiroid, adanya infeksi bakteri yang membentuk toksin dan
mendorong terbentuknya antibodi, infeksi virus dan lain-lain yang memaksa tirosit untuk
menghasilkan tiroid-spesifik protein. Protein ini bertindak sebagai sumber antigen spesifik
terhadap diri sendiri yang kemudian menjadi menjadi antigen-presenting cells (APC) pada
permukaan. Sel ini kemudian yang menangkap antigen spesifik dan berjalan ke organ atau
kelenjar limfatik yang kemudian bertemu dengan autoreaktif T-sel (sel yang bertahan akibat
disregulasi atau kegagalan toleransi sistem imun) dan B-sel merangsang dihasilkannya
autoantibodi pada tiroid. Pada langkah selanjutnya antigen memproduksi limfosit B,
sitotoksik sel T dan makrofag yang meninvasi dan terakumulasi dalam kelenjar tiroid yang
pada akhirnya mengakibatkan pembentukan/pelipatgandaan atoreaktif sel T, sel B, dan
antibodi lain yang menyebabkan deplesi dari tirosit lewat pembentukan sitokin, apoptosis,
sitotoksisitas yang mengarah pada terjadinya hipotiroid dan tiroiditis hashimoto.23

Gambar 5. Patogenesis tiroiditis Hashimoto.23


Peradangan pada kelenjar tiroid kemudian akan berlanjut menghasilkan manifestasi
klinik yang telah dibahas sebelumnya. Dalam suatu penelitian diketahui bahwa terjadinya
hipotiroid pada penderita tiroiditis hashimoto dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit
kardiovaskular. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa penurunan kadar hormon tiroid dan
peningkatan dari hormon TSH akan menyebabkan terjadinya penebalan dinding pembuluh
darah serta kekakuan dinding pembuluh darah.24

Differential Diagnosis
Endemic Goiter
Goiter atau gondok merupakan pembesaran kelenjar tiroid (>20-25gr) baik dalam
bentuk difus atau nodular. Goiter endemik merupakan masalah yang masih banyak di
Indonesia dan banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria. Adanya kelainan sintesis,
kekurangan iodium, penyakit autoimun, diet goitrogenik seperti singkong dan kol, dan
penyakit nodular lainnya dapat memicu goiter. Secara luas, penyebab goiter secara umum
adalah kurangnya asupan iodium. Nontoxic multinodular goiter merupakan bentuk yang
paling banyak terjadi karena adanya kekurangan iodium. Penyebab lain selain kekurangan
iodium tidak diketahui dan dapat merupakan multifaktorial.22 Apabila seseorang menderita
goiter dalam jangka panjang maka dapat mengakibatkan menurunnya intelektual, gangguan
mental dan fisik.25
Endemic goiter dapat dibagi berdasarkan eksresi yodium urin (EYU), yaitu: endemi
goiter I (endemi ringan) dimana endemi dengan nilai median ekskresi yodium urin lebih dari
50 ug l/g kreatinin, atau median urin antara 5,0-9,9 ug/dl. Pada grade ini kebutuhan hormon
tiroid untuk pertumbuhan masih terpenuhi. Endemi goiter II (endemi sedang) dimana endemi
dengan nilai median ekskresi yodium urin antara 25-50 ug l/g kreatinin, atau 2.0-4.9 ug/dl.
Pada grade II, hormon tiroid mungkin tak mencukupi dan dapat beresiko menjadi
hipotiroidism tetapi tidak terlihat kretin endemi yang jelas. Endemi goiter III (endemi berat)
dimana ekskresi yodium urin <25 ug l/g kreatinin atau median kurang dari 2 ug/dl. Terjadi
risiko tinggi untuk kretin endemik.1

Drug Induced Hipotiroid


Tiroiditis bisa juga terjadi akibat daripada pengaruh obat-obatan. Terapi iodin kronis
bisa menyebabkan terjadinya tiroiditis dengan adanya hiperplasia daripada sel-sel folikel dari
kelenjar tiroid. Seperti pada terapi litium yang bisa menyebabkan terjadinya goiter dengan
atau tanpa disertai hipotiroidisme. Obat-obatan antikonvulsan seperti fenitoin dan
carbamazepine juga dapat menyebabkan timbulnya gejala-gejala hipotiroidisme. Pada 1-5%
kasus pasien dengan hepatitis kronis atau pasien yang menghidap kanker yang mana sudah
dirawat dengan menggunakan interferon alpha akan menyebabkan terjadinya gejala tiroiditis
tanpa rasa sakit. Terdapat juga beberapa penelitian yang mengatakan bahawa, pengaruh dari
penggunaan interleukin-2 pada pasien-pasien dengan melanoma malignant, kanker sel renal,
dan juga leukimia juga bisa menyebabkan terjadinya gejala hipertiroidisme dan
hipotiroidisme. Obat antiaritmia seperti amiodaron mengandung 35% iodin dan bisa
menyebabkan terjadi disfungsi tiroid. Tirotoksikosis krisis adalah akibat yang biasanya
ditemukan pada pengguna obat amiodaron kerana kandungan iodin didalamnya yang cukup
tinggi (biasanya terjadi pada pasien yang sudah memang ada penyakit gondok sebelumnya).
Selain itu amiodaron juga bisa menyebabkan terjadi hipotiroidisme akibat dari reaksi
antitiroid pada iodin, biasanya pada pasien yang sudah ada riwayat penyakit tiroid
sebelumnya. Amiodaron akan menghambat konversi T4 menjadi T3.25

Tatalaksana
Penatalaksanaan pada tiroiditis Hashimoto ditujukan terhadap hipotiroid dan
pembesaran tiroid. Hal ini dapat dilakukan baik secara farmakologis maupun dengan non-
farmakologis, yaitu melakukan pembedahan.

Farmakologis
1.
Pilihan pengobatan untuk tiroiditis Hashimoto atau hipotiroid dengan sebab lainnya
adalah terapi substitusi dengan hormon tiroid. Obat pilihan yang dianjurkan yaitu:
levothyroxine sodium. Levotiroksin diberikan sampai kadar TSH normal. Pada pasien
dengan struma baik hipotiroid maupun eutiroid, pemberian levotiroksin selama enam
bulan dapat mengecilkan struma. Dosis standard penggunaan levotiroksin, yaitu 1,6-
1,8 mcg/kgBB/hari, namun dapat berbeda-beda pada setiap individu.23
Pasien dengan usia dibawah 50 tahun tanpa riwayat penyakit jantung, dapat diberikan
dosis awal penuh.
Pasien diatas 50 tahun atau pasien muda dengan penyakit jantung, diberikan dosis rendah
25mcg (0,025mg) per hari, dengan evaluasi pengobatan setiap 6-8 minggu.
Pada pasien usia lanjut, dosis yang diberikan lebih rendah, kadang bisa mencapai 1
mcg/kgBB/hari.
Disamping levothyroxine, obat lain yang merupakan substitusi hormon tiroid bila
terjadi gangguan absorpsi pada levothyroxine, antara lain: liotironin dan liotrix.
Dosis yang tidak adekuat dapat mengakibatkan bertambah besarnya goiter, dan gejala
hipotiroid terus-menerus. Kondisi ini dihubungkan pula dengan peningkatan kolesterol
serum, peningkatan resiko atherosklerosis dan penyakit jantung. Sedangkan apabila dosis
berlebihan, dapat menimbulkan gejala hipertiroid, mengakibatkan kerja jantung yang
berlebihan dan meningkatkan resiko osteoporosis. Bila terjadi hipertiroidisme dapat
diberikan obat antitiroid, seperti propitiourasil atau metimazol.26

Non-Farmakologis
Intervensi bedah dapat dilakukan atas beberapa indikasi, antara lain: adanya
pembesaran kelenjar dengan gejala obstruksi seperti disfagia, suara serak, dan stridor karena
adanya obstruksi pada jalan napas; terdapatnya nodul malignan yang bisa ditemukan pada
pemeriksaan sitologi dengan FNAB; terdapatnya limfoma pada FNAB dimana biasanya
limfoma tiroid memberi respon yang baik terhadap radioterapi dan merupakan modalitas
terapi pilihan; alasan kosmetik untuk struma yang cukup besar.

Kesimpulan
Tiroiditis Hashimoto merupakan penyakit autoimun kronik organ specific, dengan penyebab
multifaktorial, terjadi pada individu yang mempunyai predisposisi genetik dengan pemicu
faktor lingkungan. Diagnosis tiroiditis Hashimoto dapat ditegakkan dengan adanya
pemeriksaan fisik yang menunjukkan adanya hipotiroid atau hipertiroid, peningkatan kadar
TSHS, penurunan T4 dan T3, adanya antibody anti-TPO yang merupakan petanda utama dan
hasil biopsy. Manifestasi klinis awalnya mungkin saja hipertiroid akibat proses inflamasi
hingga akhirnya terjadi kerusakan yang luas pada kelenjar tiroid menyebabkan hipotiroid
yang menetap. Pengobatan Hashimoto dengan obat antitiroid dan pemberian levothyroxine
atau pembedahan.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, Reksodiputro AH, et al.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta:InternaPublishing; 2009.h.2016-
21, 2009-13.
2. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Rahmalia A, editor. Jakarta:
Erlangga; 2007.
3. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons
manual of medicine. 18th Ed. USA: Mc Graw Hill; 2013.h.1116-26.
4. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates guide to physical examination and history taking.
10th Ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2009.h.240-2.
5. Lee SL, Odeke S, Nagelberg SB. Hashimoto thyroiditis. 3 Juni 2014. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/120937, 25 November 2014.
6. Richard A, Edgar D. Physiology of thyroid. In: Endocrine surgery. Texas: Landes
Bioscience; 2000, p:1-9.
7. The National Academy of Clinical Biochemistry. Laboratory medicine practice
guidelines; Laboratory support for the diagnosis and monitoring of thyroid disease.
Thyroid 2003;13(1):45-56.
8. Leonhardt JM, Heymann WR. Autoimmune thyroid diseases: etiology, pathogenesis,
and dermatologic manifestations. Journal of the American Academy of
Dermatology 2003 May;48(5):64159.
9. Bhatia A, Rajwanshi A, Radharman JD, Mittal BR. Lymphocytic thyroiditis.
CytoJournal 2007,4:10.
10. National Endocrine and Metabolic Diseases Information Service. Hashimoto's
disease. US Department of Health and Human Service. Mei 2009.
11. Sari E, Karaoglu A, Yesilkaya E. Hashimotos thyroiditis in children and adolescents.
In: Autoimmune Disorders - Current Concepts and Advances from Bedside to
Mechanistic Insights. Croatia: Intech;2011.p.28-40.
12. Tomer Y, Davies TF. Searching for the autoimmune disease susceptibility genes:
from gene mapping to gene function. Endocrine Rev.2003;24(5):694-717.
13. Tomer Y, Davies TF. Infection, thyroid disease, and autoimmunity. Endocrine Rev.
1993;14(1):107-20.
14. Prummel MF, Strieder T, Wiersinga WM. The environment and autoimmune thyroid
diseases.Eur J Endocrinol 2004;150:605-18.
15. Jacobson EM, Tomer Y. The CD40, CTLA-4, thyroglobulin, TSH receptor, and
PTPN22 gene quintet and its contribution to thyroid autoimmunity : back to the
future. J Autoimmun 2007;28:85-98.
16. Rapoport B, McLachlan SM. Thyroid autoimmunity. J Clin Invest 2001;108:1253-
1259.
17. Ludgate M, Emerson CH. Metamorphic thyroid autoimmunity. Thyroid
2008;18(10):1035- 1037.
18. Van Ouwerkerk BM, Krening EP, Docter R, Benner R, Hennemann G. Autoimmunity
of thyroid disease. With emphasis on Graves disease. Neth J Med 1985;28:
19. Wang SH, Baker JR. The role of apoptosis in thyroid autoimmunity. Thyroid
2007;17(10):975-9.
20. Weetman AP, Ajjan RA. Cytokines and autoimmune thyroid disease. Hot
Thyroidology. www. hotthyroidology.com. June 1, 2002.
21. Weigel RJ. Thyroid. Surgery basic science and clinical evidence. New york: Springer;
2008.
22. Rachman LY, Hartanto H, Novrianti A. Guyton and Hall fisiologi kedokteran.
Jakarta: EGC; 2008.
23. Chistiakov DA. Review Imunogenetics of hashimoto's thyroiditis. Journal of
Autoimune Disesases 11 Maret 2005,2:1.
24. Ciccone MM, Pergola GD, Porcelli MT, Scicchitano P, Caldarola P, et al. Increased
carotid IMT in overweight and obese women affected by hashimoto's Thyroiditis: an
adiposity and autoimune linkage?. BMC Cardiovascular disorder. 2010. h.1-8.
25. Oertli D, Udelsman R. Tiroiditis. In: Surgery of the thyroid and parathyroid glands:
Springer verlag berlin publisher;2007.p.207-23.
26. American Association of Endocrinology. Hashimotos thyroiditis. Diunduh dari:
www.thyroidawareness.com, 25 November 2014.

Anda mungkin juga menyukai