Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh perorangan, tetapi juga oeh
kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Sehat adalah suatu keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Status kesehatan dipengruhi oleh
faktor biologik, lingkungan dan pelayanan kesehatan. Faktor biologik merupakan faktor yang berasal dari
dalam individu atau faktor keturunan misalnya pada penyakit alergi (Mansjoer, 2000). Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi
tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat
reversible.Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak,
sekurangkurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema
adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara
(Mansjoer, 2000). Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun 2010
diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab kematian. Prevalensi
terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit penyakit paru obstruksi kronis pada tahun 2010 sebanyak
80-90 % (Kasanah, 2011). Data yang diperoleh di Rekam Medis Rumah Sakit Margono Purwokerto pada
bulan Januari sampai Maret 2014 didapatkan data sebanyak 30 % pasien menderita penyakit paru
obstruksi kronis (RS Margono Soekardjo, 2014). Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengangkat kasus
ini dalam suatu asuhan keperawatan yang berjudul Asuhan Keperawatan Pada Tn. B Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronis Di Ruang Asoka RS Prof. Dr. Margono Soekardjo
Purwokerto. Alasan penulis tertarik untuk mengambil kasus ini adalah karena penyakit ini memerlukan
pengobatan dan perawatan yang optimal sehingga perawat memerlukan ketelatenan untuk dapat
memelihara, mengembalikan fungsi paru dan kondisi pasien sebaik mungkin. Penyakit ini akan terus
mengalami perkembangan yang progresif dan belum ada penyembuhan secara total. Maka dari itu,
perawat terfokus untuk melakukan perawatan yang meliputi terapi obat, perubahan gaya hidup, terapi
pernafasan dan juga dukungan emosional bagi penderita penyakit paru obstruksi kronis (Reeves, 2001).
B.Rumusan Masalah Rumusan masalah pada laporan kasus ini adalah Bagaimana Asuhan Keperawatan
Pada Tn. B Dengan Gangguan Sistem Pernafasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronis Di Ruang Asoka RS
Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto.

C.Tujuan

1.Tujuan Umum Untuk memperoleh gambaran nyata tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis.

2.Tujuan Khusus

a.Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
b.Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
c.Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
d.Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
e.Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.

f.Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.

D.Manfaat

1.Rumah Sakit Laporan kasus ini dapat menjadi masukan dalam melakukan pelayanan peningkatan
asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK

2.Institusi Pendidikan Laporan kasus ini di harapkan dapat menjadi bahan pustaka yang dapat
memberikan gambaran pengetahuan mengenai PPOK.

3.Profesi Perawat Laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi tenaga kesehatan untuk
mengadakan penyuluhantentang kesehatan mengenai PPOK dan bahayanya.

BAB II KONSEP DASAR

A.Definisi

Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis atau
emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan
sebagian bersifat reversible.Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hamper setiap hari disertai
pengeluaran dahak, sekurangkurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama
2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara
abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).

B.Etiologi

Faktor faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000)
adalah :

1.Kebiasaan merokok.

2.Polusi udara.

3.Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.

4.Riwayat infeksi saluran nafas.

5.Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin. Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang
menyebabkan penyakit paru obstruksi kronis adalah : 1.Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK
dan sekitar 15% perokok menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan
fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi
paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak. 2.Terdapat peningkatan resiko PPOK
bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu
antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema. 3.Infeksi saluran nafas berulang
pada masa kanak kanak berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai
dan peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK. 4.Polusi udara dan kehidupan perkotaan
berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas PPOK. C.Manifestasi klinis Manifestasi klinis
menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah : 1.Batuk. 2.Sputum
putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen. 3.Sesak, sampai menggunakan
otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas. Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada
pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah : Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri
dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan
batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang
yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk

yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang
semakin banyak.

Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang cukup
drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-
tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa
lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Selain itu pada pasien
PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya
nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan
selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya
oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori
karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan. D.Patofisiologi / pathway
Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001) adalah : Asap rokok, polusi
udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan mengiritasi saluran nafas. Karena iritasi yang
konstan ini , kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi
silia menurun, dan lebih banyak lendir yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat menetap selama
kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus menjadi menyempit, berkelokkelok
dan berobliterasi serta tersumbat karena metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas paru. Alveoli
yang berdekatan dengan bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan fungsi
makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri, pasien
kemudian menjadi rentan terkena infeksi. Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan
struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki.
Dinding bronkhial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Sumbatan pada bronkhi atau
obstruksi tersebut menyebabkan alveoli yang ada di sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya pasien
mengalami insufisiensi pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan
peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas total paru sehingga terjadi kerusakan campuran gas
yang diinspirasi atau ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi
sebagai akibat dari berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasi
perfusi ini menyebabkan hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan normal
antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi terganggu. Dalam kondisi seperti
ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap sama. Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau
bronkospasma menyebabkan penurunan ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap sama atau berkurang
sedikit.

Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan perubahan pada pertukaran oksigen
dan karbondioksida. Obstruksi jalan nafas yang diakibatkan oleh semua perubahan patologis yang
meningkatkan resisten jalan nafas dapat merusak kemampuan paru-paru untuk melakukan pertukaran
oksigen atau karbondioksida. Akibatnya kadar oksigen menurun dan kadar karbondioksida meningkat.
Metabolismemenjadi terhambat karena kurangnya pasokan oksigen ke jaringan tubuh, tubuh melakukan
metabolisme anaerob yang mengakibatkan produksi ATP menurun dan menyebabkan defisit energi.
Akibatnya pasien lemah dan energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi juga menjadi
berkurang yang dapat menyebabkan anoreksia.

Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan yang tersedia untuk
pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah hiperkapnia, hipoksemia dan asidosis respiratori.
Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan vasokontriksi vaskular pulmonari, peningkatan resistensi
vaskular pulmonary mengakibatkan hipertensi pembuluh pulmonary yang meningkatkan tekanan vascular
ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel kanan. E.Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan diagnostik
untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000) antara lain : 1.Sinar x dada
dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara retrosternal,
penurunan tanda vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil
normal selama periode remisi (asma). 2.Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk
menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator. 3.Peningkatan pada luasnya
bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan emfisema. 4.Kapasitas inspirasi menurun pada
emfisema. 5.Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma. 6.Forced Expiratory
Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada
bronchitis dan asma. 7.Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis
misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis dan
emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan
sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma). 8.Bronkogram dapat menunjukkan
dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran
duktus mukosa yang terlihat pada bronkus. 9.Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan
eosinofil (asma). 10.Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi
dan diagnosa emfisema primer.

11.Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitolitik
untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi. 12.Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan,
peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II,
III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema). 13.Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes
stress membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan atau evaluasi program latihan. F.Komplikasi Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Mansjoer (2000) adalah infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena
keadaan hipoksia kronik, gagal nafas dan kor pulmonal. Reeves (2001) menambahkan komplikasi
pernafasan utama yang bisa terjadi pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas
akut (Acute Respiratory Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu
penyakit cor-pulmonale. 1.Acute Respiratory Failure (ARF). Acute Respiratory Failure (ARF) terjadi
ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas
darah bagi pasien penyakit paru obstruksi menahun menunjukkan tekanan oksigen arterial PaO2 sebesar
55 mm Hg atau kurang dan tekanan karbondioksida arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar.
Jika pasien atau keluarganya membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka pasien tersebut dilakukan
intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara mekanik.

2.Cor Pulmonale. Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran ventrikel
kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit pulmo. Komplikasi jantung ini terjadi
sebagai mekanisme kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak pada penderita penyakit paru
obstruksi menahun. Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara
menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan merembet ke sistem
organ lainnya. Pada penderita dengan penyakit paru obstruksi menahun, hipoksemia kronis menyebabkan
vasokonstriksi kapiler paru-paru yang kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek
domino dari perubahan ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan ventrikel kanan
lebih kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot ventrikel kanan menjadi hipertrofi atau
membesar. Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah dibatasi hingga 2
liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan istirahat. Edema perifer merupakan efek
domino yang lain karena darah balik ke jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh hipertrofi
ventrikel kanan. Digitalis hanya digunakan pada penyakit jantung paru yang juga menderita gagal jantung
kiri. 3.Pneumothoraks.

Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti udara sehingga pneumotoraks
diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga pleural. Rongga pleural sesungguhnya merupakan
rongga yang khusus yakni berupa lapisan cairan tipis antara lapisan viseral dan parietal paru-paru Fungsi
cairan pleural adalah untuk membantu gerakan paru-paru menjadi lancar dan mulus selama pernafasan
berlangsung. Ketika udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka kapasitas paru-paru untuk pertukaran
udara secara normal, menjadi melemah dan hal ini menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan
hipoksemia. 4.Giant Bullae. Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya yaitu
pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang terakumulasi di rongga pleura. Tetapi
bullae adalah timbul karena udara terperangkap di parenkim paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi
tempat menangkapnya udara untuk pertukaran gas menjadi benar-benar tidak efektif. Bullae dapat
menyebabkan perubahan fungsi pernafasan dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan paru-paru,
mengganggu berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap dalam alveoli semakin
meluas maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi di dinding alveolar. G.PenatalaksanaanMedis
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah :
1.Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara. 2.Terapi eksasebrasi akut
dilakukan dengan : a.Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya
disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x 0,250,5 g/hari atau
eritromisin 4 x 0,5 g/hari. b.Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.
c.Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang mengalami
eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan peak flow
rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-
tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat. d.Terapi oksigen diberikan jika terdapat
kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2. e.Fisioterapi
membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik. f.Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk
didalamnya golongan adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium
bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara
perlahan. 3.Terapi jangka panjang dilakukan dengan : a.Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka
panjang, ampisillin 4 x 0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut. b.Bronkodilator,
tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini
dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal

paru. c.Fisioterapi. d.Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik. e.Mukolitik dan
ekspektoran. f.Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg). g.Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri
dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada pasien
dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
adalah : 1.Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau
penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah untuk meningkatkan fungsi
normal individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek samping
obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat klien
mencapai relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa
inflamasi adalah merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat
inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid memastikan bahwa obat
mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek samping yang berkaitan dengan steroid
oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka
jalan nafas, kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna. 2.Penatalaksanaan medis untuk
bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis
gas darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk
bronkitis kronis adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat
tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk mengatasi gejala, kerusakan
jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar. Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat
ditahan. Jika merokok dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada
akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisikdada
diterapkan sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi,
hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea, seperti
bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama
selama musim dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
3.Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik, drainase postural untuk
membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang
mengental. Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan
pembedahan bagi klien yang terus mengalami tanda dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan
utama dari
pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan
segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua sisi parunya, dalam kondisi
seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan pada bagian paru yang banyak terkena untuk
melihat seberapa jauh perbaikan yang terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya. 4.Penatalaksanaan medis
emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi
obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut Asih (2003)
mencakup tindakan pengobatan dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan menurunkan upaya bernafas,
pencegahan dan pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi
pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernafasan dan dukungan
psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang berkesinambungan. H.Penatalaksanaan Keperawatan
1.Pengkajian Pengkajian pada pasien dengan Penyakit paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000)
adalah : a.Aktivitas dan istirahat 1)Gejala : a)Keletihan, kelemahan, malaise. b)Ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas. c)Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam
posisi duduk tinggi. d)Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan. 2)Tanda :
a)Keletihan. b)Gelisah, insomnia. c)Kelemahan umum atau kehilangan masa otot. b.Sirkulasi 1)Gejala
a)Pembengkakan pada ekstrimitas bawah. 2)Tanda : a)Peningkatan tekanan darah. b)Peningkatan
frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia. c)Distensi vena leher atau penyakit berat. d)Edema
dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung. e)Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan
diameter AP dada) f)Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku tabuh
dan sianosis perifer. g)Pucat dapat menunjukkan anemia. c.Integritas ego 1)Gejala : a)Peningkatan faktor
resiko. b)Perubahan pola hidup.

2)Tanda : a)Ansietas, ketakutan, peka rangsang. d.Makanan atau cairan 1)Gejala : a)Mual atau muntah.
b)Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema). c)Ketidakmampuan untuk makan karena distress
pernafasan. d)Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema
(bronchitis). 2)Tanda : a)Turgor kulit buruk. b)Edema dependen. c)Berkeringat. d)Penurunan berat badan,
penurunan masa otot atau lemak subkutan (emfisema). e)Palpasi abdominal dapat menyatakan
hepatomegali (bronchitis). e.Hygiene 1)Gejala : a)Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan
bantuan melakukan aktivitas sehai-hari. 2)Tanda : a)Kebersihan buruk, bau badan. f.Pernafasan 1)Gejala :
a)Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada emfisema ,
khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan,
ketidakmampuan untuk bernafas (asma). b)Lapar udara kronis. c)Batuk menetap dengan produksi sputum
setiap hari terutama saat bangun selama minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun.
Produksi sputum (hijau, putih atau kuning) dapat banyak sekali (bronkhitis kronis). d)Episode batuk
hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun dapat menjadi produktif (emfisema).
e)Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan pernafasan dalam jangka panjang
misalnya rokok sigaret atau debu atau asap misalnya asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji.
f)Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin (emfisema). g)Penggunaan oksigen
pada malam hari atau terus menerus. 2)Tanda : a)Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi
memanjang dengan mendengkur, nafas bibir (emfisema). b)Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk
bernafas khususnya dengan eksasebrasi akut (bronchitis kronis).

c)Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa supraklavikula,
melebarkan hidung. d)Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk barrel
chest), gerakan diafragma minimal. e)Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema),
menyebar, lembut, atau krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi, sepanjang area paru pada
ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi nafas
(asma). f)Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan udara dengan emfisema, bunyi
pekak pada area paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa. g)Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4
sampai 5 kata sekaligus. h)Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan keseluruhan,
warna merah (bronkhitis kronis, biru menggembung). Pasien dengan emfisema sedang sering disebut pink
puffer karena warna kulit normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
i)Tabuh pada jari-jari (emfisema). g.Keamanan 1)Gejala : a)Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap
zat atau faktor lingkungan. b)Adanya atau berulangnya infeksi. c)Kemerahan atau berkeringan (asma).
h.Seksualitas 1)Gejala : a)Penurunan libido. i.Interaksi sosial 1)Gejala : a)Hubungan ketergantungan.
b)Kurang sistem pendukung. c)Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat.
d)Penyakit lama atau kemampuan membaik. 2)Tanda : a)Ketidakmampuan untuk membuat atau
mempertahankan suara karena distress pernafasan. b)Keterbatasan mobilitas fisik. c)Kelalaian hubungan
dengan anggota keluarga lain. j.Penyuluhan atau pembelajaran 1)Gejala : a)Penggunaan atau
penyalahgunaan obat pernafasan. b)Kesulitan menghentikan merokok. c)Penggunaan alkohol secara
teratur. d)Kegagalan untuk membaik. 2)Rencana pemulangan :

a)Bantuan dalam berbelanja, transportasi, kebutuhan perawatan diri, perawatan rumah atau
mempertahankan tugas rumah. b)Perubahan pengobatan atau program terapeutik. Engram (2000)
menambahkan pengkajian data dasar pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
a.Riwayat atau adanya faktor-faktor penunjang : 1)Merokok produk tembakau (faktor-faktor penyebab
utama). 2)Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat. 3)Riwayat alergi pada keluarga.
4)Riwayat asma pada masa kanak-kanak. b.Riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan
eksaserbasi, seperti alergen (serbuk, debu, kulit, serbuk sari, jamur) stress emosional, aktivitas fisik
berlebihan, polusi udara, infekasi saluran nafas, kegagalan program pengobatan yang dianjurkan.
c.Pemeriksaan fisik yang berdasarkan pengkajian sistem pernafasan (Apendiks A) yang meliputi :
1)Manifestasi klasik dari Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah : a)Peningkatan dispnea (paling sering
ditemukan). b)Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot abdominal, mengangkat bahu
saat inspirasi, nafas cuping hidung). c)Penurunan bunyi nafas. d)Takipnea. e)Ortopnea. 2)Gejala gejala
menetap pada proses penyakit dasar : a)Asma b)Bronkitis (1)Batuk produktif dengan sputum berwarna
putih keabu-abuan, yang biasanya terjadi pada pagi hari dan sering diabaikan oleh perokok (disebut batuk
perokok). (2)Inspirasi ronkhi kasar (crackles) dan mengi. (3)Sesak nafas. c)Bronkitis (Tahap Lanjut)
(1)Penampilan sianosis (karena polisitemia yang terjadi akibat dari hipoksemia kronis) (2)Pembengkakan
umum atau penampilan puffy (disebabkan oleh udema asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor
pulmonal), secara klinis, pasien ini umumnya disebut blue bloaters. d)Emfisema (1)Penampilan fisik
kurus dengan dada barrel chest (diameter toraks anterior posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi
paru-paru). (2)Fase ekspirasi memanjang. e)Emfisema (Tahap Lanjut) (1)Hipoksemia dan hiperkapnia
tetapi tak ada sianosis pasien ini sering digambarkan secara klinis sebagai pink puffers. (2)Jari-jari
tabuh.

d.Pemeriksaan diagnostik : 1)Gas darah arteri (GDA) menunjukkan PaO2 rendah dan PaCO2 tinggi.
2)Sinar x dada menunjukkan hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan pada area paru-
paru. 3)Pemeriksaan fungsi pru menunjukkan peningkatan kapasitas paru-paru total (KPT) dan volume
cadangan paru (VC), penurunan kapasitas vital (KV), dan volume ekspirasi kuat (VEK). 4)Jumlah Darah
Lengkap menunjukkan peningkatan hemoglobin, hematokrit, dan jumlah darah merah (JDM). 5)Kultur
sputum positif bila ada infeksi. 6)Esei imunoglobin menunjukkan adanya peningkatan IgE serum
(Immunoglobulin E) jika asma merupakan salah satu komponen dari penyakit tersebut. e.Kaji persepsi
diri sendiri tentang mengalami penyakit kronis. f.Kaji berat badan dan rata-rata masukkan cairan dan diet
harian. 2.Fokus Intervensi Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Doenges (2000) adalah : a.Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
b.Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi jalan nafas oleh
sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli. c.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual
atau muntah. d.Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
(penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan
pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi. Engram (2000) menambahkan diagnose
keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah : a.Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2. b.Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk
menetap. Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges
(2000) adalah : a.Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan
produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan. Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan mempertahankan jalan nafas
yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku
untuk memperbaiki bersihan jalan nafas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret. Intervensi :
Mandiri :

1)Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronkhi. 2)Kaji atau pantau
frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi. 3)Catat adanya derajat dispnea, misalnya
keluhan lapar udara, gelisah, ansietas, distress pernafasan, penggunaan otot bantu. 4)Kaji pasien untuk
posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
5)Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir. 6)Observasi karakteristik batu, misalnya batuk
menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk. 7)Tingkatkan
masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan air hangat. Anjurkan masukan
cairan antara sebagai pengganti makanan. Kolaborasi : 1)Berikan obat sesuai indikasi. a)Bronkodilator
misalnya albuterol (ventolin). b)Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
c)Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol ruangan. d)Bantu
pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada. b.Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan
ganguan supply oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan
alveoli. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan
perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala
distress pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan dalam
tingkat kemampuan atau situasi. Intervensi : Mandiri : 1)Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat
penggunaan otot aksesori, nafas bibir, ketidakmampuan berbicara atau berbincang. 2)Tinggikan kepala
tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas. Dorong nafas dalam
perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi individu. 3)Kaji atau awasi secara rutin kulit dan
warna membran mukosa. 4)Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan. 5)Auskultasi
bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan. 6)Palpasi fremitus. 7)Awasi
tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan. 8)Evaluasi tingkat toleransi aktivitas.
Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di
kursi selama fase akut. Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai
toleransi individu. 9)Awasi tanda vital dan irama jantung. Kolaborasi : 1)Awasi dan gambarkan seri GDA
dan nadi oksimetri.

2)Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien. 3)Berikan
penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati. 4)Bantu intubasi, berikan atau
pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke UPI sesuai instruksi untuk pasien. c.Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi
sputum, anoreksia, mual atau muntah. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat dengan kriteria hasil
pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau
mempertahankan berat yang tepat. Intervensi : Mandiri : 1)Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat
ini. Catat derajat kesulitan makanan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh. 2)Auskultasi bunyi usus.
3)Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan tisu.
4)Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi
sering. 5)Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat. 6)Hindari makanan yang sangat panas
atau yang sangat dingin. 7)Timbang berat badan sesuai indikasi. Kolaborasi : 1)Konsul ahli gizi atau
nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang mudah dicerna, secara nutrisi seimbang,
misalnya nutrisi tambahan oral atau selang, nutrisi parenteral. 2)Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya
glukosa, elektrolit. Berikan vitamin atau mineral atau elektrolit sesuai indikasi. 3)Berikan oksigen
tambahan selama makan sesuai indikasi. d.Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak
adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menyatakan pemahaman
penyebab atau faktor resiko individu dengan kriteria hasil pasien akan mengidentifikasi intervensi untuk
mencegah atau menurunkan resiko infeksi dan pasien akan menunjukkan teknik, perubahan pola hidup
untuk meningkatkan lingkungan yang aman. Intervensi : Mandiri : 1)Awasi suhu.

2)Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan masukan cairan adekuat.
3)Observasi warna, karakter, bau sputum. 4)Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan
sputum. Tekankan cuci tangan yang benar (perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila
memegang atau membuang tisu, wadah sputum. 5)Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
6)Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat. 7)Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
Kolaborasi : 1)Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan kuman gram,
kultur atau sensitivitas. 2)Berikan antimikrobial sesuai indikasi. Engram (2000) menambahkan intervensi
keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah : a.Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x
24 jam diharapkan pasien menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas dengan kriteria hasil
menurunnya keluhan tentang nafas pendek dan lemah dalam melaksanakan aktivitas. Intervensi :
1)Pantau nadi dan frekuensi nafas sebelum dan sesudah beraktivitas. 2)Lakukan penghematan energi
dalam melaksanakan prosedur berikut : a)Berikan bantuan dalam melaksanakan AKS sesuai dengan yang
diperlukan. b)Sediakan interval waktu diantara kegiatan untuk memungkinkan istirahat diantara kegiatan.
c)Tingkatkan aktivitas secara bertahap sejalan dengan peningkatan hasil gas darah arteri dan dapat
diantisipasinya tanda dan gejala dari penekanan pernafasan. d)Berikan makanan dalam porsi kecil tapi
sering dengan makanan yang mudah dikunyah. b.Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk
menetap. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan tidur
terpenuhi dengan kriteria hasil melaporkan perasaan dapat istirahat. Intervensi : 1)Jika ada pengobatan
untuk paru-paru aturlah pemberian obat tersebut untuk diberikan sebelum waktu tidur. Berikan obat
anntitusif yang diprogramkan. 2)Pastikan ventilasi ruangan baik. Atur pengadaan humidifier udara jika
diperlukan. Anjurkan penggunaan oksigen selama tidur jika diperlukan. 3)Pertahankan ruangan bebas dari
bahan iritan seperti asap, serbuk bunga dan pengharum ruangan. 4)Pada waktu tidur, ijinkan pasien mandi
dengan pancuran air hangat atau mandi biasa. 5)Bantu pasien untuk mnedapatkan posisi yang nyaman,
biasanya dengan meninggikan bagian kepala tempat tidur sekitar 30 derajat.

DAFTAR PUSTAKA Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis
NANDA NIC NOC. Yogyakarta : Media Action. Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. Yogyakarta : FIP. IKIP. Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien
dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran. Asmadi. 2008. Teknik Prosedural
Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika. Brashers,
Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen Edisi 2. Jakarta : EGC
Buku Kedokteran. Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Buku Kedokteran. Engram,
Barbara. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta
: Salemba Medika. Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Eksasebrasi Akut Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam Medis Pasien Rawat Inap Di RSUD
SRAGEN. Sragen : Jurnal Keperawatan. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC
Buku Kedokteran. Nazir. 2000. Metode Penelitian. Jakarta : EGC Buku Kedokteran. Nursalam. 2001.
Proses dan Prinsip Keperawatan : Konsep dan Praktik. Jakarta : Salemba Medika. Reeves, Charlene J.
2001. Buku Satu Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika. Rumah Sakit Margono
Soekardjo Purwokerto. 2014. Data Rekam Medik. Rumah Sakit Margono Soekardjo Purwokerto : tidak
dipublikasikan.

Anda mungkin juga menyukai