LO.1.1 Suhu Tubuh Normal dan Abnormal Suhu tubuh biasanya diukur dengan termometer air raksa dan tempat pengambilannya dapat di aksila, oral, atau rektum. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5o 37,2oC. Suhu subnormal di bawah 36oC. Dengan demam pada umumnya diartikan suhu tubuh di atas 37,2oC. Hiperpireksia adalah suatu keadaan kenaikan suhu tubuh sampai setinggi 41,2oC atau lebih, sedangkan hipotermia adalah keadaan suhu tubuh di bawah 35oC. Biasanya ada perbedaan antara pengukuran suhu di aksila dan oral maupun rektal. Dalam keadaan biasa perbedaan ini berkisar sekitar 0,5oC; suhu rektal lebih tinggi dibandingkan suhu oral. LO.1.2 Patogenesis Demam Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau merupakan suatu hasil imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi. Dewasa ini diduga bahwa pirogen adalah suatu protein yang identic dengan interleukin-1. Di dalam hipotalamus zat ini merangsang pelepasan asam arakidonat serta mengakibatkan peningkatan sintesis prostaglandin E2 yang langsung dapat menyebabkan pireksia. Pengaruh pengaturan autonom akan mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi perifer sehingga pengeluaran (dissipation) panas menurun dan pasien merasa demam. Suhu badan dapat bertambah tinggi lagi karena meningkatnya aktivitas metabolisme yang juga mengakibatkan penambahan produksi panas dan karena kurang adekuat penyalurannya ke permukaan maka rasa demam bertambah pada seorang pasien. LO.1.3 Pola Demam 1. Demam septik: suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan mengigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik 2. Demam remiten: suhu badan dapat turun tiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik 3. Demam intermiten: suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam di antara dua serangan demam disebut kuartana. 4. Demam kontinyu: variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia. 5. Demam siklik: terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula. LI.2 Mampu Memahami dan Menjelaskan Salmonella enterica LO.2.1 Morfologi Salmonella memiliki panjang yang bervariasi. Sebagian besar isolate bersifat motil dengan flagella peritriks. Salmonella enterica terdiri dari lima subspesies: Subspesies enterica (subspesies 1); subspesies salamae (subspesies II); subspesies arizonae (subspesies IIIa); subspesies diarizonae (subspesie IIIb); subspesies houtenae (subspesies IV) LO.2.2 Sifat Bakteri a. Salmonella mudah tumbuh pada medium sederhana, tetapi hampir tidak pernah memfermentasi laktosa atau sukrosa. b. Bakteri ini membentuk asam dan terkadang membentuk gas dari glukosa dan manosa. c. Umumnya menghasilkan H2S. d. Dapat bertahan hidup pada air yang beku pada periode yang lama. e. Resistant terhadap zat kimia tertentu (misalnya, brilliant green, natrium tetrathionat, natrium deoksikolat) yang menghambat bakteri anterik lain. Siklus Hidup Salmonella typhi a. Infeksi terjadi dari memakan makanan yang terkontaminasi dengan feses yang terdapat bakteri Salmonella typhi dari organisme pembawa (host). b. Setelah masuk dalam saluran pencernaan, maka S. typhi menyerang dinding usus yang menyebabkan kerusakan dan peradangan. c. Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena dapat menembus dinding usus tadi ke organ-organ lain, seperti hati, limpa, paru-paru, tulang-tulang sendi, plasenta dan dapat menembus sehingga menyerang fetus pada wanita atau hewan betina yang hamil, serta menyerang membran yang menyelubungi otak. d. Substansi racun dapat diproduksi oleh bakteri dan dapat dilepaskan dan mempengaruhi keseimbangan tubuh. e. Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi, pada fesesnya terdapat kumpulan S. typhi yang dapat bertahan sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan. f. Bakteri tersebut tahan terhadap range temperatur yang luas sehingga dapat bertahan hidup berbulan-bulan dalam tanah atau air. LO.2.3 Transmisi atau Cara Penularan Bakteri salmonella secara mekanis disebarkan oleh lalat dan kecoa dari tempat kotor ke makanan atau minuman. Penularan salmonella terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi, transmisi salmonella juga dapat terjadi secara transplantasi dari ibu hamil ke bayinya. Makanan yang terkontaminasi salmonella merupakan sumber penularan utama salmonelosis. Banyak hewan ternak seperti ayam, kalkun, babi, sapi atau hewan lain secara alamiah terinfeksi oleh salmonella dan mengandung bakteri di dalam jaringannya.jadi,makanan yang tidak dimasak dengan baik merupakan sumber utama penularannya. Selain itu penyebaran Salmonella melalui air yang terkontaminasi tinja yang mengandung salmonella merupakan cara penyebaran yang sering terjadi. Makanan yang mengandung Salmonella belum tentu menyebabkan infeksi Salmonella, tergantung dari jenis bakteri, jumlah dan tingkat virulensi (sifat racun dari suatu mikroorganisma, dalah hal ini bakteri Salmonella).
LI.3 Mampu Memahami dan Menjelaskan Demam Tifoid
LO.3.1 Definisi Demam tifoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella enterik serotype typhi atau paratyphi. Nama lain penyakit ini adalah enteric fever, tifus, dan paratifus abdominalis. Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. LO.3.2 Epidemiologi Insidens demam tifioid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan (Insidens >100 kasus per 100.000 populasi per tahun). Insidens demam tifoid yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) beberapa di wilayah Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya. Demam tifoid dan paratiroid bersifat endemik dan sporadik di Indonesia. Demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun pada populasi usia 3 19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah. Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI tahun 2010, melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia (41.081 kasus). LO.3.3 Etiologi Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi bioserotipe A, B, atau C. Kedua spesies Salmonella ini berbentuk batang, berflagel, aerobik, serta Gram negatif. LO.3.4 Patogenesis & Patofisiologis Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnakan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembu sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak payeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui ductus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ- organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia ke dua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan vascular, dan koagulasi. Di dalam plak payeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat reaksi erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. LO.3.5 Manifestasi Klinis Masa inkubasi sekitar 10-14 hari. Gejala yang timbul bervariasi: 1. Pada minggu pertama, muncul tanda infeksi akut seperti demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak nyaman di perut, batuk, dan epistaksis. Demam yang terjadi berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi pada sore hari. 2. Pada minggu kedua gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardia relatif, lidah tifoid (kotor di tengah, tepi dan ujung berwarna merah, disertai tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran, dan yang lebih jarang berupa roseolae. LO.3.6 Diagnosis Diagnosis ditegakan berdasarkan gejala dan hasil dari pemeriksaan fisik, untuk memperkuat diagnosis dilakukan pemeriksaan penunjang. 1. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu tubuh, debar jantung relatif lambat (bradikardi), lidah kotor, pembesaran hati dan limpa (hepatomegali dan splenomegali), kembung (meteorismus), radang paru (pneumonia), dan kadang-kadang dapat timbul gangguan jiwa, pendarahan usus, dinding usus bocor (perforasi), radang selaput perut (peritonitis), serta gagal ginjal. 2. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan darah perifer: leukopenia/normal/leukositosis, anemia ringan, trombositopenia, peningkatan laju endap darah, peningkatan SGOT/SGPT. b.Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap keman S.typhi. pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita demam tifoid yaitu: a) Aglutinin O (dari tubuh kuman), Aglutinin H (flagella kuman), dan c) Aglutinin Vi (simpai kuman). Pembentukan Aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demama, puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi dalam beberapa minggu dengan peningkatan agglutinin O terlebih dahulu baru diikuti agglutinin H. Aglutinin O menetap 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap 9-12 bulan. Titer antibody O > 1:320 atau antibodi H > 1:640 menguatkan diagnosis pada gambaran klinis yang khas. c. Uji TUBEX Uji semikuantitatif kolometrik untuk deteksi antibodi anti S.typhi 09. Hasil positif menunjukkan infeksi Salmonella serogroup D dan tidak spesifik S.typhi. Infeksi S.paratyphi menunjukkan hasil negatif. Sensitivitas 75-80% dan spesifisitas 75-90% d.Uji Typhidot Deteksi IgM dan IgG spesifik S.typhi. Hasil positif diperoleh 2-3 hari setelah infeksi dan spesifik mengidentifikasi IgM dan IgG terhadap S.typhi. Sensitivitas 98% spesifisitas 76,6%. e. Uji IgM Dipstick Deteksi khusus IgM spesifik S.typhi pada spesimen serum atau darah dengan mengguankan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida S.typhi dan anti IgM sebagai control. Sensitivitas 65-77% dan spesifisitas 95-100%. Akurasi diperoleh bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbul gejala. f. Kultur Darah Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid. LO.3.7 Tatalaksana 1) Non-Farmako a. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. b. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. c. Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti, makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. d. Diet dan terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. 2) Farmako Pemberian antimikroba. Obat-obat anti mikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut. a. Kloramfenikol Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat terjadi rata- rata setelah hari ke-5. Pada penelitian yang dilakukan selama 2002 hingga 2008 oleh Moehario LH dkk didapatkan 90% kuman masih memiliki kepekaan terhadap antibiotik ini. b. Tiamfenikol Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6 c. Kotrimoksazol Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimethoprim) diberikan selama 2 minggu. d. Ampisilin dan amoksisilin Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu. e. Sefalosporin Ganerasi Ketiga Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dextrose 100 cc diberikan selama 1/2 jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari. f. Fluorokuinolon Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya: 1) Norfloksasin dosis 2 400 mg/hari selama 14 hari 2) Siprofloksasin dosis 2 500 mg/hari selama 6 hari 3) Ofloksasin dosis 2 400 mg/hari selama 7 hari 4) Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari 5) Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari 6) Levofloksasin dosis 1 500 mg/hari selama 5 hari g. Azitromisin Azitromisin 2 500 mg menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama jika penelitian mengikutsertakan pula strain MDR (multidrug resistance) maupun NARST (Nalidixic Acid Resistant S.typhi). jika dibandingkan dengan seftriakson, penggunaan azitromisin dapat mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotika ini menjadi ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typhi yang merupakan kuman intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan intravena. Kontaminasi Obat Antibiotika. Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella. Kortikosteroid. Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik dengan deksametason dosis 3 5 mg. Pengobatan Demam Tifoid Pada Wanita Hamil. Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematur, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada trimester pertama kehamilan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat disingkirkan. Demikian juga obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson. LO.3.8 Komplikasi Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu: 1. Komplikasi intestinal. Perdarahan, perforasi, ileus paralitik, dan pankreatitis. a. Perdarahan intestinal Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangan. b. Perforasi usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur (biasanya umur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita. Antibiotk diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S. typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik. Umumnya diberikan antibiotik spectrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metrodinazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal. 2. Komplikasi ekstra-intestinal a. Komplikasi kardiovaskular: gagalan sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis. b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis. c. Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritic. d. Komplikasi hepatobilier: hepatitis dan kolesistitis. e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis. f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis. g. Komplikasi neuropsikiatrik,tifoid toksik. Hepatitis Tifosa Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai ada 50% kasus dengan tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi dari pada S.paratyphi. untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi. Pankreatitis Tifosa Merupakan komplikasi yang bias dijumpai pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CT-scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat. Penatalaksaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena seperti seftriakson atau kuinolon. Miokarditis Terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya dujumpai pada pasien yang sakit berat pada infeksi keadaan akut. LO.3.9 Prognosis Prognosis pada umumnya baik pada demam tifoid tanpa komplikasi.Hal ini juga tergantung pada ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya dan komplikasi. Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1%.Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau pendararahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata- rata 5,7%. Prognosis demam tifoid umumnya baik asal penderita cepat berobat.Mortalitas pada penderita yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti: 1) Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinual. 2) Kesadaran menurun sekali. 3) Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis 4) Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi protein) LO.3.10 Pencegahan Preventif dan Kontrol Penularan Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, melalui dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu: 1. Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien demam tifoid pada pasien demam tifoid asimtomatik, karier, dan akut. Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S.typhi ini cukup sulit dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya. 2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S.typhi. 3. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi. Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemik dan hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasrkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko, yaitu golongan imunokompromais maupun golongan rentan. Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu: 1) Daerah non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic 2) Sanitasi air dan kebersihan lingkungan 3) Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan- minuman 4) Pencarian dan pengobatan kasus demam tifoid karier 5) Bila ada kejadian epidemic tifoid 6) Pencarian dan eliminasi sumber penularan 7) Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus 8) Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut. 9) Daerah endemic 10) Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 570C, iodisasi, dan klorinisasi) 11) Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi makanan segar (sayur/buah) 12) Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung. Vaksinasi Indikasi vaksinisasi adalah bila 1) hendak mengunjungi daerah endemik, risiko terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika), 2) orang yang terpapar dengan penderita demam tifoid karier, dan 3) petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan. 1. Jenis Vaksin Vaksin oral: -Ty21a Vaksin parenteral: - VICPS vaksin kapsul polisakarida. 2. Pemilihan Vaksin Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a yang diberikan 3 kali secara bermakna menurunkan 66% kasus infeksi demam tifoid selama 5 tahun, laporan lain sebesar 33% selama 3 tahun. Usia sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, penuunan insidens sebanyak 53% pada anak > 10 tahun dan anak usia 5-9 tahun insidens turun 17%. Vaksin parental non-aktif relatif lebih sering menyebabkan efek samping serta tidak seefektif vaksin jenis ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis vaksin dan jadwal pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS. 3. Indikasi Vaksinasi Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor risiko yamg ada, yaitu faktor individual atau populasi: a. Populasi: anak usia sekolah di daerah endemik, personil militer, petugas rumah sakit, laboratorium kesehatan, industri makanan/minuman. b. Individual: pengunjung/wisatawan ke daerah endemik, orang yang kontak erat dengan tifoid karier. 4. Kontraindikasi Vaksinasi Aksin hidup Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada seseorang yang alergi atau riwayat efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti-malaria (klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat sulfonamide atau antimikroba lainnya. 5. Efek Samping Vaksinasi Pemberian vaksin Ty21a menimbulkan demam pada 0-5%, kasus sakit kepala (0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil (demam 0,25%; malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri local 17%). Efek samping tebesar pada paksin parental adalah 6,7-24%, nyeri kepala 9-10% dan reaksi local nyeri dan edema 3-35% bahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok dilaporkan penah terjadi meskipun sporadic dan sangat jarang terjadi. 6. Efektivitas Vaksinasi Serokonversi (peningkatan titer antibody 4 kali) setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari 3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun. Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik (Nepal) dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik.