Anda di halaman 1dari 22

Makalah

Hukum Teknologi Informasi

Cover

Oleh:

Rajib H. Potale
21315229

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOPUTER


STMIK ICSHAN GORONTALO
2016
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah Hukum Teknologi Informasi dengan baik.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu syarat untuk melengkapi dan
memperoleh nilai dari dosen mata kuliah kami sebagai pelengkap dari presentasi.
Mengingat dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, penulis
mengharapkan bimbingan, saran dan kritik yang membangun kepada penulis,
sehingga dikemudian hari penulis dapat menciptakan karya tulis yang lebih baik
lagi. Tidak lupa, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada beberapa pihak
lainnya, sehingga makalah ini selesai disusun. Akhir kata penulis berharap semoga
penulisan makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada
umumnya.

ii
Daftar Isi

Cover .......................................................................................................................... i
Kata Pengantar .......................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................... iii
Bab I ...........................................................................................................................1
1. Undang Undang Pemilu ....................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Undang Undang Pemilu Dari Tahun ke Tahun ..........................................2
UU Nomor 7 Tahun 1953..............................................................................2
UU Nomor 18 Tahun 1955............................................................................2
UU Nomor 15 Tahun 1969............................................................................2
UU Nomor 4 Tahun 1975..............................................................................2
UU Nomor 2 Tahun 1980..............................................................................3
UU Nomor 1 Tahun 1985..............................................................................3
UU Nomor 3 Tahun 1999..............................................................................3
UU Nomor 4 Tahun 2000..............................................................................3
UU Nomor 12 Tahun 2003............................................................................3
UU Nomor 20 Tahun 2004............................................................................3
UU Nomor 10 Tahun 2008............................................................................3
UU Nomor 8 Tahun 2012..............................................................................4
Bab II..........................................................................................................................5
2. Hukum Adat Minangkabau .................................................................................5
2.1 Asal Usul Suku Minangkabau .......................................................................7
2.2 Subyek Hukum dalam Hukum Waris adat Minangkabau .............................9
2.3 Sistem Pewarisan dalam Hukum Adat Minangkabau .................................10
iii
Bab III ......................................................................................................................12
3. Hukum Batas Negara .........................................................................................12
3.1 Menyisakan Masalah Hukum ......................................................................14
3.2 Harapan Baru ...............................................................................................15
4. Pasal 340 KUHPidana & Pasal 1152 KUHPerdata ...........................................16
Bab IV ......................................................................................................................17
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................17
4.2 Saran ............................................................................................................17
Daftar Pustaka ..........................................................................................................18

iv
Bab I

1. Undang Undang Pemilu

1.1 Latar Belakang

Pemilihan umum untuk selanjutnya disebut pemilu yang diselenggarakan


secara langsung merupakan perwujutan kedaulatan rakyat. Pengakuan tentang
kedaulatan rakyat ini juga dicantumkan didalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang menyatakan pemilihan umum untuk selanjutnya disebut
pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Tujuan pemilu menurut ketentuan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Tujuan pemilu legislatif tahun 2009 menurut ketentuan Pasal 1 angka (2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 adalah untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dalam Negara

1
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Komisi Pemilihan Umum untuk selanjutnya disebut KPU adalah suatu lembaga
yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk menyelenggarakan pemilihan
umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sebagaimana diatur pada Pasal
22E, Angka 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

1.2 Undang Undang Pemilu Dari Tahun ke Tahun


Semenjak dimulainya era reformasi, undang-undang yang mengatur tentang
Pemilu selalu mengalami pergantian pada setiap periode Pemilu. Berikut ini adalah
daftar peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan
Pemilu sejak pemilu tahun 1953 Sampai pada Pemilu tahun 2012.

UU Nomor 7 Tahun 1953


Tentang: Pemilihan Anggota Konstituante Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

UU Nomor 18 Tahun 1955


Tentang: Perubahan Jumlah Anggota Panitia Pemilihan Indonesia, Pemilihan dan
Panitia Pemilihan Kabupaten.

UU Nomor 15 Tahun 1969


Tentang: Pemilihan Umum Anggota Anggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

UU Nomor 4 Tahun 1975


Tentang: Perubahan Undang Undang Nomor 15 tahun 1969 Tentang Pemilihan
Umum Anggota Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

2
UU Nomor 2 Tahun 1980
Tentang: Perubahan Atas Undang Undang Nomor 15 tahun 1969 Tentang
Pemilihan Umum Anggota Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang Undang Nomor 4 tahun 1975.

UU Nomor 1 Tahun 1985


Tentang: Perubahan Atas Undang Undang Nomor 15 tahun 1969 Tentang
Pemilihan Umum Anggota Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang Undang Nomor 4 tahun 1975 dan
Undang Undang Nomor 2 tahun 1980.

UU Nomor 3 Tahun 1999


Tentang: Pemilihan Umum Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.

UU Nomor 4 Tahun 2000


Tentang: Perubahan Atas Undang Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang
Pemilihan Umum Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.

UU Nomor 12 Tahun 2003


Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang Undang Dengan
Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.

UU Nomor 20 Tahun 2004


Tentang: Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2
Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003.

UU Nomor 10 Tahun 2008


Tentang: Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah.

3
UU Nomor 8 Tahun 2012
Tentang: Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah Dengan Rahmat Tuhan Maha Esa.

4
Bab II

2. Hukum Adat Minangkabau

Masyarakat Minangkabau yang menganut Sistem Matrilineal, yaitu sistem


yang anggota masyarakat tersebut menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu
dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya.
Akibat hukum yang timbul adalah semua keluarga adalah keluarga ibu, anak-anak
adalah masuk keluarga ibu, serta mewaris dari keluarga ibu. Suami atau bapak
tidak masuk dalam keluarga ibu atau tidak masuk dalam keluarga istri. Dapat
dikatakan bahwa sistem kekeluargaan yang ditarik dari pihak ibu ini, kedudukan
wanita lebih menonjol daripada pria di dalam pewarisan. Pada dasarnya dalam
susunan kekerabatan masyarakat adat yang mempertahankan garis keibuan
(matrilineal) yang berhak menjadi ahli waris adalah anak - anak wanita, sedangkan
anak-anak pria bukan ahli waris. Kedudukan anak-anak wanita sebagai ahli waris
dalam susunan matrilineal berbeda dari kedudukan anak - anak pria sebagai ahli
waris dalam susunan patrilineal. Dalam susunan patrilineal kedudukan anak - anak
lelaki sebagaimana diikatakan Ter Haar bersifat vaderreechtelijke ordening,
yaitu berdasarkan tata-hukum bapak, yang berarti segala sesuatunya dikuasai oleh
kebapakan, sedangkan dalam susunan matrilineal kedudukan anak wanita sebagai
ahli waris bersifat moedererechtelijke groepering, yang berarti segala sesuatunya
dikuasai oleh kelompok keibuan. Jadi, bukan semata - mata para ahli waris wanita
yang menguasai dan mengatur harta peninggalan, melainkan didampingi juga oleh
saudara - saudara ibu yang pria. Di Minangkabau yang menganut sistem kewarisan
kolektif wanita terhadap harta pusaka, semua anak wanita yang bertali darah
adalah ahli waris dari harta pusaka seketurunannya yang tidak terbagi - bagi
5
pemilikannya, tetapi dikuasai dan diatur mamak kepala warisnya tentang hak-hak
pemakaiannya. Para ahli waris anak-anak wanita boleh menggunakan,
mengusahakan dan menikmati harta pusaka seperti tanah sawah pusaka, rumah
gedung bersama-sama di bawah pengawasan mamak kepala waris. Adat
Minangkabau menjalankan asas kekerabatan Matrilineal. Kehidupan mereka
ditunjang oleh harta yang dimiliki secara turun temurun. Harta tersebut dimiliki
oleh seluruh anggota keluarga. Dalam mekanisme peralihan harta berlaku asas
kolektif. Agama Islam dan adat telah menyatu dalam tingkah laku suku bangsa
Minangkabau. Ajaran Islam memberikan istilah baru terhadap harta yang diperoleh
suami - istri selama melangsungkan perkawainan sebagai harta pencarian. Harta
pencarian diwariskan oleh orang tua kepada anak - anaknya. Harta pencarian tidak
lagi diwarisi oleh keponakan secara adat, tetapi diwarisi oleh anak dan istri.
Hubungan kekeluargaan juga sangat mempengaruhi terhadap proses pembagian
warisan atas harta pencarian. Sistem pewarisan masyarakat adat matrilinial
khususnya Minangkabau di tarik dari garis keturunan ibu.Keluarga yang
diantaranya suami, istri dan anak tetap menjadi anggota kelompok dari garis
keturunannya kecuali untuk harta suarang. Sistem kekeluargaan Minangkabau
adalah sistem menarik keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu,
yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya,
baik laki-laki maupun perempuan. Dengan sistem tersebut, maka semua anak-anak
hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta
pusakatinggiyaitu harta turun - menurun dari beberapa generasi, maupun harta
pusaka rendah yaitu harta turun dari satu sampai dua generasi. Misalnya; jika yang
meninggal dunia itu seorang laki-laki, maka anak-anaknnya serta jandanya tidak
menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi, sedang yang menjadi ahli warisnya
adalah seluruh kemenakannya.

6
2.1 Asal Usul Suku Minangkabau
Kata Minangkabau mengandung banyak pengertian. Minangkabau
dipahamkan sebagai sebuah kawasan budaya, di mana penduduk dan
masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Kawasan budaya Minangkabau
mempunyai daerah yang luas. Batasan untuk kawasan budaya tidak dibatasi oleh
batasan sebuah propinsi. Berarti kawasan budaya Minangkabau berbeda dengan
kawasan administratif Sumatera Barat.
Minangkabau dipahamkan pula sebagai sebuah nama dari sebuah suku
bangsa, suku Minangkabau. Mempunyai daerah sendiri, bahasa sendiri dan
penduduk sendiri. Minangkabau dipahamkan juga sebagai sebuah nama kerajaan
masa lalu, Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Sering disebut
juga kerajaan Pagaruyung, yang mempunyai masa pemerintahan yang cukup lama,
dan bahkan telah mengirim utusan - utusannya sampai ke negeri Cina. Banyaknya
pengertian yang dikandung kata Minangkabau, maka tidak mungkin melihat
Minangkabau dari satu pemahaman saja.
Membicarakan Minangkabau secara umum mendalami sebuah suku bangsa
dengan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama, dan segala aspek kehidupan
masyarakatnya. Mengingat hal seperti itu, ada dua sumber yang dapat dijadikan
rujukan dalam mengkaji Minangkabau, yaitu sumber dari sejarah dan sumber dari
tambo. Kedua sumber ini sama penting, walaupun di sana sini, pada keduanya
ditemui kelebihan dan kekurangan, namun dapat pula melengkapi menelusuri
sejarah tentang Minangkabau, sebagai satu cabang dari ilmu pengetahuan, maka
mesti didasarkan bukti - bukti yang jelas dan otentik. Dapat berupa peninggalan -
peninggalan masa lalu, prasasti - prasasti, batu tagak (menhir), batu bersurat,
naskah - naskah dan catatan tertulis lainnya. Dalam hal ini, ternyata bukti sejarah
lokal Minangkabau termauk sedikit. Banyak catatan dibuat oleh pemerintahan
Hindia Belanda (Nederlandsche Indie), tentang Minaangkabau atau Sumatera West
7
Kunde, yang amat memerlukan kejelian di dalam meneliti. Hal ini disebabkan,
catatan - catatan dimaksud dibuat untuk kepentingan pemerintahan Belanda,
atau keperluandagangoleh Maatschappij KoningkliykeVOC.
Tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerakan
hokum - hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah
Minangkabau sekarang. Sungguhpun, penelusuran tambo sulit untuk dicarikan
rujukan seperti sejarah, namun apa yang disebut dalam tambo masih dapat
dibuktikan ada dan bertemu di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Tambo diyakini oleh orang Minangkabau sebagai peninggalan orang - orang
tua. Bagi orang Minangkabau, tambo dianggap sebagai sejarah kaum.Walaupun, di
dalam catatan dan penulisan sejarah sangat diperhatikan penanggalan atau tarikh
dari sebuah peristiwa, serta di mana kejadian, bagaimana terjadinya, bila masanya,
dan siapa pelakunya, menjadikan penulisan sejarah otentik. Sementara tambo tidak
terlalu mengutamakan penanggalan, akan tetapi lebihkepada peristiwanya. Tambo
lebih bersifat sebuah kisah, sesuatu yang pernah terjadi dan berlaku. Tentu saja,
bila kita mempelajari tambo kemudian mencoba mencari rujukannya sebagaimana
sejarah, kita akan mengalami kesulitan dan bahkan dapat membingungkan. Sebagai
contoh; dalam tambo Minangkabau tidak ditemukan secara jelas nama
Adhytiawarman, tetapi dalam sejarah nama itu adalah nama raja Minangkabau
yang pertama berdasarkan bukti - bukti prasasti. Dalam hal ini sebaiknya sikap kita
tidak memihak, artinya kita tidak menyalahkan tambo atau sejarah. Sejarah adalah
sesuatu yang dipercaya berdasarkan bukti - bukti yang ada, sedangkan tambo
adalah sesuatu yang diyakini berdasarkan ajaran - ajaran yang terus
diturunkan kepada anak kemenakan.

8
2.2 Subyek Hukum dalam Hukum Waris adat Minangkabau

A. Dalam masyarakat Adat Minangkabau dikenal Sistem Kewarisan Kolektif.


Ciri sistem kewarisan kolektif ini yaitu harta peninggalan diteruskan dan
dialihkan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang
tidak terbagi-bagi penguasaannya dan pemilikannya, setiap ahli waris berhak
untuk mengusahakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Kebaikan
dari sistem kolektif ini dapat terlihat apabila fungsi harta kekayaan itu
diperuntukkan bagi kelangsungan harta anggota keluarga tersebut. Kelemahan
dari sistem kolektif ini yaitu menimbulkan cara berpikir yang terlalu sempit,
kurang terbuka karena selalu terpancang pada kepentingan keluarga saja.
B. Ahli Waris.
Dalam hukum waris pada umumnya yang menjadi subyek adalah pewaris dan
ahli waris demikian pula halnya dengan hukum waris adat.Pewaris adalah seorang
yang menyerahkan atau meninggalkan harta warisan, sedang yang dimaksud
dengan ahli waris orang-orang yang berdasarkan hukum berhak menerima
warisan. Dalam hukum waris pada umumnya serta pada asasnya yang menjadi
ahli waris adalah keturunan langsung dari pewaris, dalam hal ini anak si pewaris.
Ini biasa disebut ahli waris utama dan pertama. Selanjutnya siapa yang dapat
menjadi pewaris dan ahli waris dalam hukum waris adat, sangat tergantung dari
sistem kekeluargaan yang dianut, apakah ssitem patrilineal, matrilineal,
parental/bilateal ataukah sistem kewarisan kolektif maupun mayorat.
Kalau kita perhatikan sifat dari hukum waris adat, tampak jelas menunjukkan
corak - corak yang memang khas yang mencerminkan cara berpikir maupun
semangat dan jiwa dari pikiran tradisional Indonesia yang didasarkan atas pikiran
kolektif/komunal, kebersamaan serta konkriet bangsa Indonesia. Rasa

9
mementingkan serta mengutamakan keluarga, kebersamaan, kegotong-royongan,
musyawarah dan mufakat dalam membagi waris benar-benar mewarnai dari
hukum waris adat.

2.3 Sistem Pewarisan dalam Hukum Adat Minangkabau


Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu dalam
kewarisan.Asas-asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan dan
kehartabendaan, karena hukum kewariasan suatu masyarakat ditentukan oleh
struktur kemasyarakatan.Sistem kewarisan berdasarkan kepada pengertian keluarga
karena kewarisan itu adalah peralihan sesuatu, baik berwujud benda atau bukan
benda dari suatu generasi dalam keluarga kepada generasi berikutnya. Penegrtian
keluarga berdasarkan pada perkawinan, karena keluarga tersebut dibentuk melalui
perkawinan. Dengan demikian kekeluargaan dan perkawinan menentukan bentuk
sistem kemasyarakatan. Adat Minangkabau mempunyai pengertian tersendiri
tentang keluarga dan tentang tata cara perkawinan. Dari kedua hal ini muncul ciri
khas struktur kemasyarakatan Minangkabau yang menimbulkan bentuk atau asas
tersendiri pula dalam kewarisan. Beberapa asas pokok dari hukum kewarisan
Minangkabau adalah sebagai berikut:

a. Asas Unilateral
Yang dimaksud asas unilateral yaitu hak kewarisan yang hanya berlaku dalam
satu garis kekerabatan, dan satu garis kekerabatan disini adalah garis kekerabatan
ibu.Harta pusaka dari atas diterima dari nenek moyang hanya melalui garis ibu
kebawah diteruskan kepada anak cucu melalui anak perempuan.Sama sekali tidak
ada yang melalui garis laki-laki baik keatas maupun kebawah.

b. Asas Kolektif

10
Asas ini berarti bahwa yang berhak atas harta pusaka bukanlah orang
perorangan, tetapi suatu kelompok secara bersama-sama.Berdasarkan asas ini
maka harta tidak dibagi-bagi dan disampaikan kepada kelompok penerimanya
dalam bentuk kesatuan yang tidak terbagi.Dalam bentuk harta pusaka tinggi adalah
wajar bila diteruskan secara kolektif, karena pada waktu penerimaannya juga
secara kolektif, yang oleh nenek moyang juga diterima secara kolektif. Harta
pusaka rendah masih dapat dikenal pemiliknya yang oleh si pemilik diperoleh
berdasarkan pencahariannya. Harta dalam bentuk inipun diterima secara kolektif
oleh generasi berikutnya.

c. Asas Keutamaan

Asas keutamaan berarti bahwa dalam penerimaan harta pusaka atau


penerimaan peranan untuk mengurus harta pusaka, terdapat tingkatan-tingkatan
hak yang menyebabkan satu pihak lebih berhak dibanding yang lain dan selama
yang berhak itu masih ada maka yanag lain belum akan menerimanya. Memang
asas keutamaan ini dapat berlaku dalam setiap sistem kewarisan, mengingat
keluarga atau kaum itu berbeda tingkat jauh dekatnya dengan pewaris.Tetapi asas
keutamaan dalam hukum kewarisan Minangkabau mempunyai bentuk
sendiri.Bentuk tersendiri ini disebabkan oleh bentuk- bentuk lapisan dalam sistem
kekerabatan matrilineal Minangkabau.

11
Bab III

3. Hukum Batas Negara

Seolah lepas dari perhatian masyarakat umum, pada tanggal 22 Oktober 2008
DPR dalam rapat paripurna telah menyepakati Rancangan Undang-undang tentang
Wilayah Negara dan mengesahkannya menjadi Undang-undang. Bila tidak berubah
maka ini akan menjadi Undang-undang No. 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah
Negara. Sangat disayangkan karena materi Undang-undang ini yang begitu penting
ternyata tidak banyak menarik perhatian pers dan akademisi.

Keadaan ini mungkin bisa dimaklumi bila menilik lebih jauh isi Undang-
undang tersebut, banyak diantara pasal-pasalnya hanya merupakan penegasan atas
hak yang sebenarnya telah dimiliki oleh negara Indonesia melalui beberapa
instrumen hukum yang telah ada.

Indonesia telah meratifikasi United Nation on the Law of the Sea (UNCLOS)
1982 melalui Undang-undang No. 17 Tahun 1985. Didalamnya telah diatur secara
tegas mengenai wilayah perairan, ruang udara diatasnya dan tanah dibawahnya di
mana negara memiliki kedaulatan dan hak-hak berdaulat. Demikian juga mengenai
cara penarikan garis batas antar negara yang berdampingan atau berhadapan dan
jenis kewenangan yang diberikan dalam wilayah negara.

Aturan yang kurang lebih sama mengenai kedaulatan wilayah negara Indonesia
sebenarnya juga telah dimuat dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1996 Tentang
Perairan Indonesia yang mencabut Perpu No. 4 Prp. 1960 tentang Perairan
Indonesia karena dianggap tidak sesuai lagi dengan rezim hukum negara kepulauan
yang dianut Indonesia.
12
Namun seolah hanya mengulang, Undang-undang tentang Wilayah Negara
yang baru ini kembali mengatur mengenai hal-hal yang telah diatur sebelumnya
dalam kedua instrumen hukum diatas. Mengenai wilayah negara misalnya,
ditegaskan kembali dalam Pasal 4 yaitu meliputi wilayah darat, wilayah perairan,
dasar laut, dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh
sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Tidak ada konsep yang baru
mengenai wilayah negara yang diatur dalam Undang-undang ini.

Demikian juga mengenai cara-cara penetapan batas negara, batas negara dan
hak-hak Indonesia di ZEE dan Landas Kontinen dalam Undang-undang ini
ternyata sudah dapat ditemui dalam UNCLOS 1982, Peraturan Pemerintah No. 38
Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia, Undang Undang No. 1 Tahun 1973 Tentang Landas
Kontinen Indonesia dan Undang-undang No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984
Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEE Indonesia.

Dengan tidak adanya konsep baru tentang wilayah negara, nampaknya wajar bila
salah satu tujuan dari lahirnya Undang-undang ini menurut Menteri Dalam Negeri
diharapkan dapat menjadi payung hukum terhadap peraturan-peraturan
sebelumnya. Sayangnya payung hukum ini justru lahir belakangan daripada
peraturan yang dipayunginya, suatu hal yang agak tidak lazim. Sehingga
keadaannya bagaikan menyediakan payung setelah badan kebasahan oleh hujan.

13
3.1 Menyisakan Masalah Hukum

Meskipun nampaknya hanya sebagai payung hukum, namun bukan berarti


Undang-undang ini tidak menyisakan masalah. Beberapa aturan didalamnya justru
bertentangan dengan aturan perundang-undangan sebelumnya.

Salah satunya adalah ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f yang memberikan
kewenangan kepada pemerintah untuk memberikan izin lintas damai kepada kapal-
kapal asing untuk melintasi laut teritorial.

Ketentuan ini jelas bertentangan dengan UNCLOS 1982 yang sama sekali tidak
memberikan hak kepada negara pantai untuk mengeluarkan atau tidak
mengeluarkan izin terhadap lintas damai bahkan negara pantai dilarang
menetapkan persyaratan yang berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas
damai (Pasal 24 ayat (1)(a)).

Permasalahan lainnya adalah dalam beberapa pasalnya Undang-undang ini


menyebut hukum internasional sebagai salah satu dasar bagi penetapan batas
wilayah negara di darat, laut dan udara. Demikian juga hukum internasional
sebagai dasar pelaksanaan hak-hak berdaulat di ZEE, Landas Kontinen dan Zona
Tambahan.

Penggunaan hukum internasional dalam permasalahan diatas menyisakan


ketidakjelasan. Sampai saat ini para ahli hukum internasional sepakat bahwa
sumber-sumber hukum internasional adalah sebagaimana yang dapat ditemui
dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, yaitu perjanjian
internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsip hukum umum dan keputusan
badan pengadilan internasional serta pendapat ahli-ahli hukum.

14
Permasalahannya adalah hukum internasional manakah diantara sumber-sumber
hukum internasional diatas yang akan dijadikan dasar dalam Undang-undang
Wilayah Negara ini? Tidak ada penjelasan lebih lanjut dan batasan dalam Undang-
undang ini, artinya dimungkinkan bagi Indonesia untuk menggunakan seluruh
sumber hukum internasional dalam menetapkan batas wilayahnya. Pertanyaan
selanjutnya, bagaimana bila hukum internasional ini ternyata merugikan dan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada?

Sementara Undang-undang No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional


secara tegas telah membatasi masalah ini. Hal-hal yang menyangkut perubahan
wilayah atau penetapan batas wilayah negara dan kedaulatan atau hak berdaulat
negara, seharusnya hanya akan mengikat negara Indonesia dengan perjanjian
internasional melalui pengesahan dan pengesahan itu dilakukan dengan Undang-
undang. Dalam proses pengesahan inilah nantinya Pemerintah bersama-sama
dengan DPR akan membahas keuntungan dan kerugian kepentingan negara
terhadap sebuah hukum internasional.

3.2 Harapan Baru

Terlepas dari kenyataan bahwa Undang-undang ini hanya merupakan penegasan


aturan hukum lama dan masih menyisakan permasalahan, namun ada juga harapan
baru di dalamnya. Dengan Undang-undang ini, menghilangkan, merusak,
mengubah dan memindahkan tanda batas negara akan dapat diancam hukuman
pidana penjara dan denda. Ancaman ini berlaku untuk setiap orang dan korporasi,
aturan hukum yang belum pernah ada sebelumnya. Dengan ini, pembalakan hutan
di perbatasan yang selama ini dilakukan dengan cara memindahkan batas negara
diharapkan dapat ditekan.

15
Permasalahan kesejahteraan masyarakat diperbatasan yang selama ini dianggap
turut memberi andil dalam melemahkan kedaulatan negara juga telah diatur.
Pemerintah akan membentuk Badan Pengelola Nasional dan Daerah untuk
mengelola kawasan perbatasan yang salah satu tugasnya menetapkan kebijakan
program pembangunan di perbatasan.

Sekaranglah waktunya untuk membuktikan apakah pemerintah benar-benar serius


dalam mengatasi permasalahan di perbatasan dan kedaulatan wilayah. Mampukah
Undang-undang Wilayah Negara ini menjadi payung yang melindungi masyarakat
pulau terluar dari kemiskinan dan memberantas illegal logging di hutan-hutan
perbatasan? Mari kita awasi bersama.

4. Pasal 340 KUHPidana & Pasal 1152 KUHPerdata


Pasal 340 KUHPidana: Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.

Pasal 1152 KUHPerdata : Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang
dibiarkan tetap dalam kekuasaan ini si berutang atau si pemberi gadai, ataupun
yang kembali atas kemauan si berpiutang.

16
Bab IV

4.1 Kesimpulan
Tujuan pemilu menurut ketentuan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kata Minangkabau mengandung banyak
pengertian. Minangkabau dipahamkan sebagai sebuah kawasan budaya, di mana
penduduk dan masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Kawasan budaya
Minangkabau mempunyai daerah yang luas. pada tanggal 22 Oktober 2008 DPR
dalam rapat paripurna telah menyepakati Rancangan Undang-undang tentang
Wilayah Negara dan mengesahkannya menjadi Undang-undang. Bila tidak berubah
maka ini akan menjadi Undang-undang No. 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah
Negara.

4.2 Saran
Penulisan makalah yang mengenai Undang undang pemilu, Hukum adat
minangkabau, hukum batas Negara, dan pasal kuhpidana 340 dan kuhperdata 1152
ini masih jauh dari sempurna.Saya selaku pembuat makalah ini sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar pada penyusunan berikutnya
semakin baik.Semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dan dari semua kalangan.

17
Daftar Pustaka
M.S, Amir.2006.Adat Minangkabau.Jakarta:PT. Mutiara Sumber Widya
http://www.rumahpemilu.org/in/read/91/Undang-undang-Pemilu-dan-Undang-undang-Terkait-Pemilu

https://imanprihandono.wordpress.com/2008/12/09/undang-undang-wilayah-negara-payung-setelah-
basah/

https://anggun90.wordpress.com/2009/02/20/pasal-340-kuhp/

https://kuliahade.wordpress.com/2010/06/18/hukum-perdata-hak-kebendaan-yang-bersifat-jaminan/

18

Anda mungkin juga menyukai