Prototipe Intelek Muslim
Prototipe Intelek Muslim
"Di dalam bahasa Inggris, kata intelektual dikenakan kepada sejenis pribadi
tersendiri yang telah mengalami kecerdasan dan kehalusan budi lewat pendidikan
budaya. Orang bisa tinggi tingkat Kesarjanaan dan sangat ahli di dalam lapangan
pekerjaannya, tetapi selama ia tidak punya minat ataupun peka kepada rangsang-
rangsang budaya, ia belumlah berhak dinamakan intelektual. Di dalam masyarakat
berbahasa Inggris, orang akan tercengang mendengar sebutan Intellectual ditujukan
kepada orang yang sama sekali tidak menaruh perhatian kepada perkembangan
budaya bangsanya. "Tulis sastrawan Subagio Sastrowardoyo. Bila kita mengambil
pengertian intelektual seperti dalam bahasa Inggris, maka seorang ilmuwan Muslim
yang tidak menaruh perhatian kepada perkembangan umat Islam, tidaklah layak
disebut sebagai intelektual Muslim. Mereka yang hanya sibuk dengan tugasnya di
kampus sebagai pengajar, peneliti, dan petugas administratif; mereka yang tidak
terpanggil untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan
kampus; mereka yang tidak peka terhadap gairah masyarakat kampus untuk
menyerap nilai-nilai Islam; mereka yang memandang Islam sebagai konvensi sosial,
dan bukan sebagai element vital dalam perubahan sosial, tidaklah dapat disebut
sebagai intelektual Muslim. J.M.
Al-Ghazali tidak lagi menjadi sufi ketika ia mengirimkan surat-surat protes kepada
penguasa di negerinya. Ibnu Taimiyah bukan semata-mata anggota fikih ketika ia
memimpin perlawanan terhadap tentara Mongol. Kiai Sentot, Kiai Maja, Imam Bonjol,
Kiai Giri Kedaton dan lain-lain, menjadi intelektual ketika mereka mengubah umat
yang pasif, meniupkan ruh jihad, dan menanamkan kepercayaan diri di samping
mengajarkan syariat Islam.
Kalau setiap orang terpelajar tidak menjadi intelektual, apakah ada keharusan
bagi ilmuwan Muslim untuk menjadi intelektual? Perlukah ada pembagian tugas
antara yang semata-mata mengembangkan ilmu dan mereka yang mengikat pada
perjuangan Islam? Saya berpendapat, bagi ilmuwan Muslim tidak ada alternatif lain
selain menjadi intelektual Muslim, karena alasan-alasan berikut.
Alquran menyebut dua kewajiban intelektual Muslim: memenuhi janji Allah dan
menghubungkan apa yang Allah perintahkan untuk menyambungkannya. Perjanjian
Allah ini disebut sebagai mitsaq. Dr. Muhammad Mahmud Hijazi mendefinisikannya
sebagai "apa yang mengikat diri mereka dalam hubungan antara mereka dengan
Tuhan mereka, antara mereka dengan diri mereka, dan antara mereka dengan
manusia yang lain." Seorang intelektual harus memilih komitmen-nya, keterikatan
pada nilai-nilai; seorang intelektual Muslim adalah ia yang memilih untuk committed
dengan nilai-nilai Islam. Memenuhi mitsaq berarti tetap setia pada komitmen yang
telah dipilihnya.
Menghubungkan apa yang diperintahkan Allah, meliputi segala hal, dan bukan
hanya silaturrahim. Termasuk di dalamnya "menggabungkan iman dan amal cinta
kepada Allah dengan cinta yang bertentangan, sehingga tumbuh ukhuwah Islamiyah,
menghubungkan umat ukhrawiah, menghubungkan ilmu dengan agama,
menghubungkan ibadah dangan muamalah. Di sini, intelektual Muslim berfungsi
sebagai Integrator, katalis, Pemersatu, muwahhid. Adalah tanggung jawab intelektual
Muslim untuk menghidupkan semangat persatuan di tengah umat yang terpecah
hanya karena perbedaan fikih, menjambatani mazhab yang berikhtilaf, mencari titik
temu dari berbagai aliran pemikiran. Di lingkungan universitas, kewajiban ini
diwujudkan dalam upaya memadukan iman dengan ilmu, iman dengan amal saleh,
ibadah dan mualamah dalam tema-tema keagamaan di kampus-kampus. Di sisi lain, ia
berusaha menanamkan semangat saling menghargai pendapat yang tumbuh dalam
komunitas-komunitas Islam di kampus, membiasakan terjadinya keragaman pendapat
selama berada dalam komitmen terhadap Islam.
Akhlak
Dalam ditugaskan di atas, intelektual Muslim hanya takut kepada Allah saja.
Karena itu, ia bukan saja siap melawan ZEITGEIST yang dominant, tetapi ia pun
sanggup memikul risiko dari siapa saja selain Allah. Erat kaitannya dengan ini adalah
ketakutan pada saat ketika ia harus mempertanggungjawabkan usahanya di dunia ini -
ia takut pada perhitungan yang jelek. Selain itu, ia pun harus tekun, konsisten, teguh
pendirian, tabah, tahan menghadapi ujian, ikhlas karena Allah - "orang-orang yang
sabar dalam mencari keridhaan Allah".
Metode
Untuk menyukseskan usaha-usahanya, seorang intelektual Muslim harus
memelihara sholatnya. Sudah sering terjadi, intelektual Muslim berbicara fasih di
mimbar, tetapi lalai mengerjakan shalat. "Mendirikan shalat" juga berarti menjadikan
tempat shalat - musollla atau masjid - sebagai sumber kegiatan. Dari situlah, semua
gerakan Islam dimulai. Jadi, cara yang utama untuk menerapkan nilai-nilai Islam
adalah membentuk tempat shalat, mengisinya dengan program-program keislaman,
dan menjadikannya sebagai jantung Islamisasi masyarakat.
Kedua adalah mendorong Infak. Harus diciptakan suasana sehingga masyarakat
Islam tidak bergantung dalam hal dana pada lembaga-lembaga resmi. Masyarakat
Islam harus sanggup mandiri dengan dana yang diperoleh dari Infak anggota-anggota
masyarakat Islam. Al-Quran menyebutkan bahwa usaha mendorong Infak ini dapat
dilakukan secara terbuka (seperti fund Raising campaign) atau secara tidak signifikan.
Banyak usaha Islamisasi terhambat, karena kurangnya pencarian dan pengelolaan
dana Infak. Cara ketiga, yang sangat sesuai dengan karakter seorang intelektual adalah
"menolak yang jelek dengan yang baik". Ini dapat dilaksanakan dengan berbagai
perilaku: melawan akhlak tercela dengan akhlak terpuji, menundukkan argumentasi
lawan dengan argumentasi yang lebih kuat, menyaingi lawan dengan cara-cara yang
lebih mulia, menunjukkan kemampuan ilmiah yang lebih tinggi, menandingi promosi
materialisme dan keserbabolehan dengan kekuatan akidah dan keteguhan moral