Anda di halaman 1dari 6

NAMA : AL-MUDASSIR

NIM : D211 16 015

PRODI : TEKNIK MESIN

PROTOTIPE INTELEKTUAL ISLAM


Secara khusus, tujuan dari tugas ini adalah :

1. membuktikan bahwa intelektual Muslim adalah hommes engages,


manusia yang terikat dengan kewajiban menerapkan nilai-nilai Islam,
2. menjelaskan - dengan merujuk kepada Al-Quran - kewajiban, moralitas,
dan metode kaum intelektual muslim , dalam memikul tanggung jawab di
atas.

INTELEKTUAL MUSLIM SEBAGAI HOMMES ENGAGES

"Di dalam bahasa Inggris, kata intelektual dikenakan kepada sejenis pribadi
tersendiri yang telah mengalami kecerdasan dan kehalusan budi lewat pendidikan
budaya. Orang bisa tinggi tingkat Kesarjanaan dan sangat ahli di dalam lapangan
pekerjaannya, tetapi selama ia tidak punya minat ataupun peka kepada rangsang-
rangsang budaya, ia belumlah berhak dinamakan intelektual. Di dalam masyarakat
berbahasa Inggris, orang akan tercengang mendengar sebutan Intellectual ditujukan
kepada orang yang sama sekali tidak menaruh perhatian kepada perkembangan
budaya bangsanya. "Tulis sastrawan Subagio Sastrowardoyo. Bila kita mengambil
pengertian intelektual seperti dalam bahasa Inggris, maka seorang ilmuwan Muslim
yang tidak menaruh perhatian kepada perkembangan umat Islam, tidaklah layak
disebut sebagai intelektual Muslim. Mereka yang hanya sibuk dengan tugasnya di
kampus sebagai pengajar, peneliti, dan petugas administratif; mereka yang tidak
terpanggil untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan
kampus; mereka yang tidak peka terhadap gairah masyarakat kampus untuk
menyerap nilai-nilai Islam; mereka yang memandang Islam sebagai konvensi sosial,
dan bukan sebagai element vital dalam perubahan sosial, tidaklah dapat disebut
sebagai intelektual Muslim. J.M.

Burns menyebut intelektual sebagai "Pengabdi gagasan-gagasan, pengetahuan-


pengetahuan, dan masyarakat. Ia berusaha sungguh-sungguh mengejar suatu cita-
cita, mengembangkan pengetahuan dan memperjuangkan nilai-nilai yang dianutnya.
Pada diri intelektual, ada semangat menemukan, menyusun, menguji, melakukan
sintesis (semangat ilmiah). Pada dirinya, juga ada semangat mengkritik, mencari
jalan keluar, memberikan pedoman, menunjukkan jarum, memperjuangkan nilai-
nilai yang berorientasi ke depan (semangat seorang moralis). "Burns menyebut
kepemimpinan intelektual sebagai suatu transforming leadership, yang menjadikan
gagasan sebagai kekuatan moral. Dengan kata lain, intelektual adalah ilmuwan yang
menjadi ideolog. Oppenheimer menjadi ideolog ketika ia memperjuangkan
penghentian penelitian nuklir. Leon Kass menjadi ideolog ketika ia meninggalkan
penelitian rekayasa genetika yang dianggapnya membahayakan kemanusiaan, dan
beralih ke pengembangan bioetika. Sakharov menjadi ideolog ketika memprotes
penindasan atas hak-hak asasi di negerinya.

Al-Ghazali tidak lagi menjadi sufi ketika ia mengirimkan surat-surat protes kepada
penguasa di negerinya. Ibnu Taimiyah bukan semata-mata anggota fikih ketika ia
memimpin perlawanan terhadap tentara Mongol. Kiai Sentot, Kiai Maja, Imam Bonjol,
Kiai Giri Kedaton dan lain-lain, menjadi intelektual ketika mereka mengubah umat
yang pasif, meniupkan ruh jihad, dan menanamkan kepercayaan diri di samping
mengajarkan syariat Islam.

Kalau setiap orang terpelajar tidak menjadi intelektual, apakah ada keharusan
bagi ilmuwan Muslim untuk menjadi intelektual? Perlukah ada pembagian tugas
antara yang semata-mata mengembangkan ilmu dan mereka yang mengikat pada
perjuangan Islam? Saya berpendapat, bagi ilmuwan Muslim tidak ada alternatif lain
selain menjadi intelektual Muslim, karena alasan-alasan berikut.

1. Kepada setiap Muslim dibebankan kewajiban sebagai da'i. Ketika menafsirkan


ayat "Katakanlah, inilah jalanku, menyeru menuju Allah di atas keterangan, aku
dan orang yang mengikutiku ..." (QS 12:108), Ibnu Katsir menulis:
"Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya s.a.w. agar menyampaikan kepada
manusia bahwa inilah jalan hidupnya, perilakunya, dan sunnahnya; yaitu
mengajak kepada kesaksian bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah yang Esa, dan
Dia tidak berserikat, mengajak kepada Allah, berdasarkan keterangan, keyakinan
dan bukti. Begitu pula, setiap orang yang mengkuti Nabi harus menyeru seperti
seruan Rasulullah saw berdasarkan keterangan, keyakinan, bukti 'aqli dan syar'i.
2. "Islam mengingatkan kepada orang-orang berilmu untuk menyampaikan
kebenaran, melanjutkan khitthah para rasul, "supaya mereka memberikan
peringatan kepada kaumnya ketika mereka kembali kepadanya, mudah-
mudahan mereka dapat memelihara dirinya (dari kejahatan)" (QS 9:122); "Dan (
ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari orang yang diberi kitab untuk
menjelaskan kepada manusia dan tidak menyembunyikannnya "(QS 3:187);"
Janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, dan barangsiapa
menyembunyikannya, berdosalah hatinya. "(QS 2:283)
3. lmuwan Muslim memperoleh ilmunya dengan mempergunakan sumber daya
masyarakat Muslim. Mungkin ia mempelajari dengan biaya keluarganya yang
Muslim, mungkin ia diongkosi pemerintah dengan menyisihkan program lain
yang diperlukan masyarakat Muslim. Tanggungjawab ilmuwan kepada
masyarakat, lahir sebagai konsekuensi di atas. Pada kesempatan lain, saya
pernah mengkritik Bridgaman:
"... Orang-orang seperti Bridgaman lupa bahwa perkembangan ilmu bukan hanya
dibiayai swasta atau perseorangan, tetapi juga oleh pemerintah yang
memperoleh dana dari masyarakat. Sekian banyak uang rakyat dipakai untuk
membiayai seorang sarjana setiap tahun. Sejumlah uang rakyat yang banyak
digunakan untuk membiayai universitas, lembaga-lembaga penelitian, dan
lembaga-lembaga ilmu pengetahuan lainnya. Ilmu bukan lagi urusan pribadi,
tetapi juga urusan sosial. Karena itu, hanya ilmuwan "robot" yang hati nuraninya
tidak terusik untuk membaktikan ilmunya bagi peningkatan kualitas hidup
masyarakatnya. Hanya ilmuwan "menara gading" yang terbenam di
laboratorium, dan melepaskan masyarakat di sekitarnya. Lebih-lebih, hanya
ilmuwan "Frankenstein" yang memanfaatkan sumbangan masyarakat buat
memperluas ilmu yang menindas masyarakat. "
Dengan argumentasi yang sama, kita dapat mengatakan bahwa bukanlah
ilmuwan Muslim, bila ia tidak berusaha menghidupkan nilai-nilai Islam di
lingkungannya, padahal ia dibesarkan oleh umat Islam.

TANGGUNG JAWAB INTELEKTUAL MUSLIM


Bila kita membicarakan tanggung jawab, kita harus merujuk kerangka etika tertentu.
Pada bagian ini, tentu saja harus membidik ke sumber-sumber nilai Islam, untuk
menentukan apa saja kewajiban intelektual Islam, bagaimana akhlaknya dalam
melaksanakan kewajibannya, dan metode apa saja yang sesuai dengan kedudukannya
sebagai intelektual. Al-Quran menggunakan istilah Ulul-Albab untuk intelektual
Muslim. Kata Ulul-Albab disebut sebanyak enam belas kali dalam Al-Quran. Di sini
saya hanya akan mengambil sifat-sifat Ulul-Albab yang terdapat di dalam Surat ar-
Ra'd, ayat 20-24:
"Orang-orang yang menepati janji Allah, dan mereka tidak memungkiri janji. Dan
orang-orang yang memperhubungkan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk untuk
menghubungkannya, dan mereka takut kepara Tuhan mereka, dan takut akan
perhitungan yang keras. Orang-orang yang sabar, karena mengharapkan keredhaan
Tuhan mereka, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami
berikan kepada mereka, dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dan
mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, bagi mereka adalah akibat (yang baik) di
kampong (akhirat), (yaitu) surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama orang-
orang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka dan anak-anak mereka,
sedang malaikat masuk kepada mereka dari tiap-tiap pintu. (Kemudian
mengucapkan): Salam atas kamu, karena kamu telah sabar, maka sebaik-baiknyalah
akibat di kampung itu (surga). "
Dari ayat-ayat di atas, Dr. Muhammad Mahmud Hijazi menyebutkan delapan sifat
Ulul-Albab. Menurut saya, dua sifat pertama menunjukkan kewajiban, tiga sifat
berikutnya menunjukkan akhlak, dan sifat-sifat terakhir memperinci metode Ulul-
Albab dalam melaksanakan kewajibannya. Butir-butir ini juga yang saya anggap
mendasari pembicaraan tentang tanggung jawab intelektual Muslim dalam
menerapkan nilai-nilai Islam.
Kewajiban

Alquran menyebut dua kewajiban intelektual Muslim: memenuhi janji Allah dan
menghubungkan apa yang Allah perintahkan untuk menyambungkannya. Perjanjian
Allah ini disebut sebagai mitsaq. Dr. Muhammad Mahmud Hijazi mendefinisikannya
sebagai "apa yang mengikat diri mereka dalam hubungan antara mereka dengan
Tuhan mereka, antara mereka dengan diri mereka, dan antara mereka dengan
manusia yang lain." Seorang intelektual harus memilih komitmen-nya, keterikatan
pada nilai-nilai; seorang intelektual Muslim adalah ia yang memilih untuk committed
dengan nilai-nilai Islam. Memenuhi mitsaq berarti tetap setia pada komitmen yang
telah dipilihnya.
Menghubungkan apa yang diperintahkan Allah, meliputi segala hal, dan bukan
hanya silaturrahim. Termasuk di dalamnya "menggabungkan iman dan amal cinta
kepada Allah dengan cinta yang bertentangan, sehingga tumbuh ukhuwah Islamiyah,
menghubungkan umat ukhrawiah, menghubungkan ilmu dengan agama,
menghubungkan ibadah dangan muamalah. Di sini, intelektual Muslim berfungsi
sebagai Integrator, katalis, Pemersatu, muwahhid. Adalah tanggung jawab intelektual
Muslim untuk menghidupkan semangat persatuan di tengah umat yang terpecah
hanya karena perbedaan fikih, menjambatani mazhab yang berikhtilaf, mencari titik
temu dari berbagai aliran pemikiran. Di lingkungan universitas, kewajiban ini
diwujudkan dalam upaya memadukan iman dengan ilmu, iman dengan amal saleh,
ibadah dan mualamah dalam tema-tema keagamaan di kampus-kampus. Di sisi lain, ia
berusaha menanamkan semangat saling menghargai pendapat yang tumbuh dalam
komunitas-komunitas Islam di kampus, membiasakan terjadinya keragaman pendapat
selama berada dalam komitmen terhadap Islam.

Akhlak
Dalam ditugaskan di atas, intelektual Muslim hanya takut kepada Allah saja.
Karena itu, ia bukan saja siap melawan ZEITGEIST yang dominant, tetapi ia pun
sanggup memikul risiko dari siapa saja selain Allah. Erat kaitannya dengan ini adalah
ketakutan pada saat ketika ia harus mempertanggungjawabkan usahanya di dunia ini -
ia takut pada perhitungan yang jelek. Selain itu, ia pun harus tekun, konsisten, teguh
pendirian, tabah, tahan menghadapi ujian, ikhlas karena Allah - "orang-orang yang
sabar dalam mencari keridhaan Allah".

Metode
Untuk menyukseskan usaha-usahanya, seorang intelektual Muslim harus
memelihara sholatnya. Sudah sering terjadi, intelektual Muslim berbicara fasih di
mimbar, tetapi lalai mengerjakan shalat. "Mendirikan shalat" juga berarti menjadikan
tempat shalat - musollla atau masjid - sebagai sumber kegiatan. Dari situlah, semua
gerakan Islam dimulai. Jadi, cara yang utama untuk menerapkan nilai-nilai Islam
adalah membentuk tempat shalat, mengisinya dengan program-program keislaman,
dan menjadikannya sebagai jantung Islamisasi masyarakat.
Kedua adalah mendorong Infak. Harus diciptakan suasana sehingga masyarakat
Islam tidak bergantung dalam hal dana pada lembaga-lembaga resmi. Masyarakat
Islam harus sanggup mandiri dengan dana yang diperoleh dari Infak anggota-anggota
masyarakat Islam. Al-Quran menyebutkan bahwa usaha mendorong Infak ini dapat
dilakukan secara terbuka (seperti fund Raising campaign) atau secara tidak signifikan.
Banyak usaha Islamisasi terhambat, karena kurangnya pencarian dan pengelolaan
dana Infak. Cara ketiga, yang sangat sesuai dengan karakter seorang intelektual adalah
"menolak yang jelek dengan yang baik". Ini dapat dilaksanakan dengan berbagai
perilaku: melawan akhlak tercela dengan akhlak terpuji, menundukkan argumentasi
lawan dengan argumentasi yang lebih kuat, menyaingi lawan dengan cara-cara yang
lebih mulia, menunjukkan kemampuan ilmiah yang lebih tinggi, menandingi promosi
materialisme dan keserbabolehan dengan kekuatan akidah dan keteguhan moral

Anda mungkin juga menyukai