Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah
rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya
pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan
mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal,
peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran,
pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu
manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum
menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota,
menunjukan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian
lainnya masih memprihatinkan.
Fenomena di atas diantaranya disebabkan, pertama: Karena selama
inipenyelenggaraan pendidikan terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang
memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan
output pendidikan. Kedua: penyelenggaran pendidikan nasional dilakukan secara
birokratik-sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggaraan
pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi dan kadang-kadang kebijakan
yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Sekolah lebih merupakan
subordinasi birokrasi diatasnya sehingga mereka kehilangan kemandirian, keluwesan,
motivasi, kreativitas/inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya
termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan
nasional. Ketiga:peranserta warga sekolah khususnya guru dan peran serta masyarakat
khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.
Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, partisipasi masyarakat
selama ini pada umumnya sebatas pada dukungan dana. Sekolah tidak mempunyai beban
untuk mempertanggung jawabkan hasil pelaksananaan pendidikan kepada masyarakat,
khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan
pendidikan (stakeholder).
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut diatas, tentu saja perlu dilakukan upaya-
upaya perbaikan, salah satunya adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan
pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah ?
2. Apakah landasan hukum pelaksanaan Kebijakan Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah ?
3. Bagaimana Implementasi Kebijakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah?
4. Bagaimana kelebihan dan kelemahan pelaksanaan kebijakan Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah.
2. Untuk mengetahui apa landasan hukum pelaksanaan Kebijakan Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.
3. Untuk mengetahui Bagaimana Implementasi Kebijakan Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah.
4. Untuk mengetahui Bagaimana kelebihan dan kelemahan pelaksanaan kebijakan
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
1. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan MPMBS
Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari school
based management. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat
mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan
masyarakat setempat.
MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk
menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi dan
pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta
menjalin kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Pada
hakikatnya MBS merupakan pemberian otonomi kepada sekolah, untuk secara aktif serta
mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan mutu
pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.
Beberapa Negara juga telah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah, misalnya
seperti di Negara-Negara berikut ini:
a. Amerika Serikat, MBS disebut Side-Bised Management (SBM), yang
menekankan partisipasi dari berbagai pihak.
b. Kanada, MBS disebut School-Site Decision Making (SSDM) atau pengambilan
keputusan diserahkan pada tingkat sekolah.
c. Hongkong, MBS disebut The School Management Intiative (SMI) atau
manajemen sekolah inisiatif.
d. Inggris yang disebut Grant Mainted School (GMS) atau manajemen dana
swakelola pada tingkat local.
e. Indonesia juga telah memperkenalkan manajemen berbasis sekolah sejak tahun
1997/1998. Model MBS di Indonesia juga bisa disebut dengan Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang mulai diterapkan sejak
tahun 1998.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) didefinisikan sebagai
proses manajemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan, secara
otonomi direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi melibatkan semua
stakeholder sekolah.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS) juga dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan
pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau
untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Oleh karena
itu, esensi MPMBS adalah otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipasif
untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Secara operasional MPMBS dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses
pendayagunaan keseluruhan komponen pendidikan dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan yang diupayakan sendiri oleh kepala sekolah bersama semua pihak yang
terkait atau berkepentingan dengan mutu pendidikan.
2. Karakteristik MPMBS
Menurut Levavic dalam Bafadal terdapat tiga karakteristik kunci MPMBS, yaitu
sebagai berikut:
a. Kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan
peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada para stakeholder
sekolah.
b. Domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan
aspek peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana
dan prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum.
c. Walaupun keseluruhan domain manajemen peningkatan mutu pendidikan
didesentralisasikan ke sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah
regulasi yang mengatur fungsi control pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan
kewenangan dan tanggung jawab sekolah.
Karakteristik manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah secara inklusif
memuat elemen-elemen sekolah efektif yang dikategorikan menjadi;input, proses dan
output. Selanjutnya yang dikategorikan menjadi input, output dan proses yaitu;
a. Input (masukan), Secara umum input sekolah meliputi: visi, misi, tujuan, sasaran,
manajemen, sumberdaya manusia, dan lainnya.
b. Proses, meliputi proses belajar mengajar, kepemimpinan, lingkungan sekolah,
pengelolaan tenaga kependidikan, sekolah memilki budaya mutu, sekolah memilki
tem work yang kompak, sekolah memilki kewenangan, partisipasi yang tinggi dari
warga sekolah dan masyarakat, sekolah memilki transparansi manajemen, sekolah
memiliki kemauan untuk berubah, melakukan evaluasi secara berkelanjutan,
sekolah responsive, memiliki komunikasi yang baik, memiliki akuntabilitas, dan
kemampuan menjaga sustainabilitas.
c. Output adalah prestasi yang diraih sekolah akibat dari proses belajar mengajar dan
manajemen sekolah, baik berupa prestasi akademik maupun non akademik.

3. Tujuan dan faktor yang mendorong penerapan MPMBS


MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui
pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih
besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi
warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lebih rincinya,
MPMBS bertujuan untuk :
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibelitas,
partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainbilitas, dan inisiatif
sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya yang
tersedia.
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan
pemerintah tentang mutu sekolahnya, dan
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang
akan dicapai.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2000). MPMBS
bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian
wewenang, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah.
MPMBS diterapakan karena beberapa factor diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman bagi dirinya
sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk
memajukan sekolahnya.
b. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan, khususnya input pendidikan yang akan
dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
c. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi
kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi
sekolahnya.
d. Keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan
sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
e. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing
kepada pemerintah, orang tua peserta didik dan masyarakat pada umumnya,
sehingga akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dna mencapai
sasaran mutu pendidikna yang telah direncanakan. (Dikmenum, 2001)

B. Landasan Hukum
Otonomisasi sekolah yang dipayungi oleh Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
diamanatkan oleh bebarapa dasar hukum di antaranya:
1. Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas) secara jelas menyebutkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
merupakan pola pembinaan sekolah/lembaga pendidikan di Indonesia.
2. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal (51) ayat
(1)secara tegas dinyatakan "Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan, berdasarkan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah."
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, bahwa secara
langsung atau tidak, daerah dan sekolah memiliki kewenangan untuk
menyelenggarakan pendidikan secara otonomi dan bertanggung jawab.
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 pasal (3) Badan Hukum Pendidikan
menyatakan bahwa Badan Hukum Pendidikan bertujuan memajukan pendidikan
nasional dengan menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasaah pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah dan otonomisasi perguruan tinggi pada jenjang
pendidikan tinggi.
C. Implementasi Kebijakan
Peningkatan mutu pendidikan di sekolah perlu didukung kemampuan manajerial
para kepala sekolah. Sekolah perlu berkembnag maju dari tahun ke tahun. Karena itu,
hubungan baik antarguru perlu diciptakan agar terjalin iklim dan suasana kerja yang
kondusif dna menyenangkan. Demikian halnya penataan penampilan fisik dan manajemen
sekolah perlu dibina agar sekolah menjadi lingkungan pendidikan yang dapat
menumbuhkan kreativitas, disiplin, dan semangat belajar peserta didik. Dalam kerangka
inilah dirasakan perlunya implementasi MBS.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2000) penerapan
MPMBS di sekolah itu melalui:
1. Penyusunan data dan profil sekolah yang komprehensif , akurat, valid, dan
sistematis.
2. Melakukan evaluasi diri, menganalisis kelemahan dan kekuatan seluruh komponen
sekolah.
3. Mengidentifikasi kebutuhan sekolah, merumuskan visi misi dan tujuan dalam
rangka peningkatan kualitas pendidikan bagi siswa berdasarkan hasil evaluasi diri.
4. Menyusun program kerja jangka panjang dan jangka pendek sesuai dengan visi
misi dan tujuan yang telah dirumuskan, yang diprioritaskan pada peningkatan mutu
pendidikan.
5. Mengimplementasikan program kerja.
6. Melakukan monitoring dan evaluasi atas program kerja yang diimplementasikan;
dan
7. Menyusun program lanjutan (untuk tahun berikutnya) atas dasar hasil monitoring
dan evaluasi.
Konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), sebagaimana
telah diuraikan di atas, esensinya adalah otonomi sekolah plus pengambilan keputusan
secara partisipatif. Konsep ini membawa konsekwensi bahwa pelaksanaan MPMBS sudah
sepantasnya menerapkan pendekatan idiograpik (membolehkan adanya keberbagaian
cara melaksanakan MPMBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan nomotetik (cara
melaksanakan MPMBS yang cenderung konformitas untuk semua sekolah). Oleh karena
itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MPMBS yang sama
untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa
mengubah pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menjadi manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus
hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara
terus menerus dan melibatkan semua pihak yang bertanggungjawab dalam
penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Paling tidak, proses menuju MPMBS
memerlukan perubahan empat hal pokok berikut;
1. Pertama, perlu perubahan aturan main formal (peraturan perundang-
undangan/hukum-hukum pendidikan/ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik).
Peraturan perundang-undangan yang ada sekarang perlu diubah, dari yang semula
menempatkan sekolah sebagai subordinasi birokrasi semata dan kedudukan sekolah
bersifat marginal, menjadi sekolah yang bersifat otonomis dan mendudukannya
sebagai unit utama.
2. Kedua, kebiasaan berperilaku unsur-unsur sekolah perlu diubah, karena MPMBS
menuntut kebiasaan-kebiasaan berperilaku yang mandiri, proaktif, kooperatif,
kreatif, luwes, dan professional.
3. Ketiga, peran sekolah yang selama ini biasa diatur (penganut) perlu diubah menjadi
sekolah yang bermotivasi-diri tinggi (self-motivator). Perubahan peran ini
merupakan konsekwensi dari perubahan peraturan perundang-undangan dan hukum-
hukum pendidikan, baik undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri,
peraturan daerah, dsb.
4. Keempat, hubungan antar unsur-unsur dalam sekolah, antar sekolah dengan Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Propinsi perlu diubah. Hubungan
yang semula bersifat komando dan direktif, perlu diubah menjadi hubungan yang
bersifat koordinatif dan fasilitatif. Tentu saja perubahan hubungan antar unsur-unsur
tersebut juga tergantung perubahan peraturan perundang-undangan dan hukum-
hukum pendidikan.
Dilandasi oleh konsep MPMBS dan berbagai pemikiran mengenai pelaksanaannya
tersebut di atas, maka berikut ini beberapa tahapan dalam pelaksanaan MPMBS yang
sifatnya masih umum dan luwes. Sekolah dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian
pentahapan tersebut sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing, maka untuk
pelaksanaan MPMBS setidaknya diperlukan tahapan sebagai berikut;
1. Melakukan Sosialisasi
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh sekolah adalah mensosialiasikan
konsep MPMBS keseluruh unsur sekolah (guru,siswa, wakil kepala sekolah,
konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas,
pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, pejabat Dinas Pendidikan Propinsi, dsb.)
melalui berbagai mekanisme, misalnya seminar, semiloka, diskusi, rapat kerja,
symposium, forum ilmiah, dan media masa. Dalam melakukan sosialisasi MPMBS,
yang penting dilakukan adalah membaca dan membentuk budaya MPMBS
disekolahnya.
2. Mengidentifikasi Tantangan Nyata Sekolah
Pada tahap ini, sekolah melakukan analisis output sekolah yang hasilnya
berupa identifikasi tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah. Tantangan adalah
selisih (ketidaksesuaian) antara output sekolah saat ini dan output sekolah yang
diharapkan dimasa mendatang. Besar kecilnya ketidaksesuaian antara output sekolah
saat ini (kenyataan) dengan output sekolah yang diharapkan (idealnya) di masa yang
akan datang memberitahukan besar kecilnya tantangan (loncatan). Output sekolah
yang dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu kualitas, produktivitas, efektivitas,
dan efisiensi.
3. Merumuskan Tujuan Situasional/Tujuan Jangka Pendek (Sasaran) Sekolah
Tujuan situasional adalah tujuan yang dirumuskan dengan memperhitungkan
tantangan yang nyata dihadapi oleh sekolah. Berdasarkan tantangan yang nyata,
maka dirumuskanlah tujuan situasional yang akan dicapai oleh sekolah. Meskipun
sasaran dirumuskan berdasarkan atas tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah,
namun perumusan sasaran tersebut harus tetap mengacu pada visi, misi, dan tujuan
sekolah, karena visi, misi, dan tujuan sekolah merupakan pengertian dan dasar-dasar
perhitungan perumusan sasaran sekolah. Karena itu, setiap sekolah harus memiliki
visi, misi, dan tujuan sekolah, sebelum merumuskan sasaran yang akan dicapai.
Tujuan situasional sering juga disebut tujuan jangka pendek/sasaran.
4. Melakukan Analisis SWOT
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam analisis SWOT adalah
mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan
situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang
dimaksud, misalnya, meliputi: proses belajar mengajar, perencanaan instruksional,
manajemen personalia, pengelolaan uang, pengembangan siswa, pengembangan
iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah-masyarakat, dan
pengembangan fasilitas.
Setelah fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran
diidentifikasi, maka langkah kedua adalah menentukan tingkat kesiapan setiap
fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes,
Opportunity, and Threat).
Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan
setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan untuk mencapai
sasaran yang telah ditetapkan. Dari hasil analisis SWOT, kemudian langkah
selanjutnya adalah memilih langkah-langkah pemecahan persoalan (peniadaan)
persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap
menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan
ada ketidaksiapan fungsi, maka sasaran yang telah ditetapkan tidak akan tercapai.
Oleh karena itu, agar sasaran tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang
mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud
lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya
merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi
kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor
yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
5. Menyusun Rencana dan Program Peningkatan Mutu
Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah
bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya membuat rencana untuk jangka
pendek, menengah, dan panjang, beserta program-programnya untuk merealisasikan
rencana tersebut. Sekolah tidak selalu memiliki sumberdaya yang cukup untuk
memenuhi semua kebutuhan bagi pelaksanaan MPMBS, sehingga perlu dibuat skala
prioritas untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
Jika rencana adalah merupakan deskripsi hasil yang diharapkan dan dapat
digunakan untuk keperluan penyelenggaraan kegiatan sekolah, maka program
adalah alokasi sumberdaya (sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya,
misalnya, uang, bahan, peralatan, perlengkapan, perbekalan, dsb.) kedalam kegiatan-
kegiatan, menurut jadwal waktu dan menunjukkan tatalaksana yang sinkron. Dengan
kata lain, program adalah bentuk dokumen untuk menggambarkan langkah
mewujudkan sinkronisasi dalam ketatalaksanaan.
6. Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu
Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan yang telah
disetujui bersama antara sekolah, orangtua peserta didik, dan masyarakat, maka
sekolah perlu mengambil langkah proaktif untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang
telah ditetapkan. Kepala sekolah dan guru hendaknya mendayagunakan sumberdaya
pendidikan yang tersedia semaksimal mungkin, menggunakan pengalaman-
pengalaman masa lalu yang dianggap efektif, dan menggunakan teori-teori yang
terbukti mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. Kepala sekolah dan guru
bebas mengambil inisiatif dan kreatif dalam menjalankan program-program yang
diproyeksikan dapat mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu,
sekolah harus dapat membebaskan diri dari keterikatan-keterikatan birokratis yang
biasanya banyak menghambat penyelenggaraan pendidikan.
Untuk menghindari berbagai penyimpangan, kepala sekolah perlu melakukan
supervisi dan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan peningkatan mutu yang
dilakukan di sekolah. Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin pendidikan di
sekolahnya berhak dan perlu memberikan arahan, bimbingan, dukungan, dan
teguran kepada guru dan tenaga lainnya jika ada kegiatan yang tidak sesuai dengan
jalur-jalur yang telah ditetapkan. Namun demikian, bimbingan dan arahan jangan
sampai membuat guru dan tenaga lainnya menjadi amat terkekang dalam
melaksanakan kegiatan, sehingga kegiatan tidak mencapai sasaran.
7. Melakukan Evaluasi Pelaksanaan
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan
evaluasi pelaksanaan program, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Evaluasi jangka pendek dilakukan setiap akhir semester untuk mengetahui
keberhasilan program secara bertahap. Bilamana pada satu semester dinilai adanya
faktor-faktor yang tidak mendukung, maka sekolah harus dapat memperbaiki
pelaksanaan program peningkatan mutu pada semesterberikutnya. Evaluasi jangka
menengah dilakukan pada setiap akhir tahun, untuk mengetahui seberapa jauh
program peningkatan mutu telah mencapai sasaran-sasaran mutu yang telah
ditetapkan sebelumnya. Dengan evaluasi ini akan diketahui kekuatan dan kelemahan
program untuk diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya. Dalam melaksanakan
evaluasi, kepala sekolah harus mengikutsertakan setiap unsur yang terlibat dalam
program
8. Merumuskan Sasaran Mutu Baru
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, hasil evaluasi berguna untuk dijadikan
alat bagi perbaikan kinerja program yang akan datang. Namun yang tidak kalah
pentingnya, hasil evaluasi merupakan masukan bagi sekolah dan orangtua peserta
didik untuk merumuskan sasaran mutu baru untuk tahun yang akan datang. Jika
dianggap berhasil, sasaran mutu dapat ditingkatkan sesuai dengan kemampuan
sumberdaya yang tersedia. Jika tidak, bisa saja sasaran mutu tetap seperti sediakala,
namun dilakukan perbaikan strategi dan mekanisme pelaksanaan kegiatan. Namun
tidak tertutup kemungkinan, bahwa sasaran mutu diturunkan, karena dianggap
terlalu berat atau tidak sepadan dengan sumberdaya pendidikan yang ada (tenaga,
sarana dan prasarana, dana) yang tersedia.
Setelah sasaran baru ditetapkan, kemudian dilakukan analisis SWOT untuk
mengetahui tingkat kesiapan masing-masing fungsi dalam sekolah, sehingga dapat
diketahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Dengan informasi ini, maka
langkah-langkah
pemecahan persoalan segera dipilih untuk mengatasi faktor-faktor yang
mengandung persoalan. Setelah ini, rencana peningkatan mutu baru dapat dibuat.
Demikian seterusnya, caranya seperti urut-urutan nomor 1 s/d nomor 8 diatas.
D. Analisis Kelebihan dan Kelemahan
MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai
seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab
pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi
setempat, MBS mempunyai kelebihan, yaitu:
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan
yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan
keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang
dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin
menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-
program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua
level.

Dengan kelebihan-kelebihan di atas tentunya memajemen ini juga mempunyai sisi


kelemahan dalam pelaksanaannya, yang diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Penerapan MBS juga mengalami masalah, khususnya di daerah yang pedesaan atau
daerah yang terpencil (remote areas). Banyak orangtua siswa dan masyarakat di
pedesaan yang tidak mau terlibat dalam kegiatan Komite Sekolah. Masalahnya
ternyata bukan hanya karena masalah kapasitasnya yang rendah, tetapi lebih karena
budaya yang hanya menyerahkan bulat-bulat urusan pendidikan kepada pihak
sekolah. Bahkan, dalam beberapa kasus, penerapan MBS lebih sebagai instrumen
politik untuk membangun kekuasaan. Dengan MBS, seakan-akan pemerintah telah
memberikan otonomi kepada sekolah, padahal sesungguhnya sekolah dan
masyarakat belum siap untuk menerima semua itu.
2. Penerapan MBS di sekolah di banyak negara berkembang, walaupun bagaimana,
sering tidak memperoleh dukungan yang memadai dari pihak penguasa lokal
maupun dari masyarakat. Pemerintah daerah yang lemah tidak dapat diharapkan
untuk mendukung pelaksanaan prinsip manajemen modern (demokratis, transparan,
dan akuntabel).
3. Sikap mental para pengelola pendidikan, baik yang memimpin maupun yang
dipimpin. Yang dipimpin bergerak karena perintah atasan, bukan karena rasa
tanggung jawab. Yang memimpin sebaliknya, terkadang tidak memberi
kepercayaan, tidak memberi kebebasan berinisiatif, mendelegasikan wewenang.
4. Kepala sekolahnya masih cenderung manampilkan gaya kepemimpinan otoriter, hal
ini karena lemahnya kemandirian sekolah akibat pembinaan pemerintah yang sangat
sentralistik. Birokratik, formalistik, konformistik, uniformistik dan mekanistik.
Pembinaan yang demikian ini tidak memberdayakan potensi sekolah.
5. Dalam manajemen mutu pendidikan adalah terkadang tidak adanya tindak lanjut
dari evaluasi program. Hampir semua program dimonitor dan dievaluasi dengan
baik, Namun tindak lanjutnya tidak dilaksanakan. Akibatnya pelaksanaan
pendidikan selanjutnya tidak ditandai oleh peningkatan mutu.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kesimpulannya adalah sebagai berikut;
1. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dapat didefinisikan
sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan
mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif
untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah
dalam kerangka pendidikan nasional. Oleh karena itu, esensi MPMBS adalah otonomi
sekolah dan pengambilan keputusan partisipasif untuk mencapai sasaran mutu
sekolah.
2. Otonomisasi sekolah yang dipayungi oleh Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
diamanatkan oleh bebarapa dasar hukum di antaranya: di dalam Undang-undang
nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) , Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal (51) ayat
(1) , Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 pasal (3).
3. pelaksanaan MPMBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan idiograpik
(membolehkan adanya keberbagaian cara melaksanakan MPMBS) dan bukan lagi
menggunakan pendekatan nomotetik (cara melaksanakan MPMBS yang cenderung
konformitas untuk semua sekolah). Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak
ada satu resep pelaksanaan MPMBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah.
Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen
peningkatan mutu berbasis pusat menjadi manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and
quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan
melibatkan semua pihak yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan
persekolahan.
4. Dengan adanya otonomi, memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan
pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat, MBS mempunyai
kelebihan-kelebihan dan kelemahan, diantaranya;
Kelebihan; Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil
keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran, Memberi peluang bagi seluruh
anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting dan Mendorong
munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
Kelemahan: Penerapan MBS juga mengalami masalah, khususnya di daerah yang
pedesaan atau daerah yang terpencil (remote areas). Banyak orangtua siswa dan
masyarakat di pedesaan yang tidak mau terlibat dalam kegiatan Komite Sekolah dan
Penerapan MBS di sekolah di banyak negara berkembang, walaupun bagaimana,
sering tidak memperoleh dukungan yang memadai dari pihak penguasa lokal maupun
dari masyarakat.

B. Saran
Agar implementasi berjalan dengan baik dan berhasil, maka diantaranya adalah:
1. harus adanya keyakinan dan motivasi dari para guru untuk tidak ragu menggunakan
MBS dan secara penuh menerapkan sistem MBS disekolah
2. Perlu adanya sosialisasi mengenai MBS kepada seluruh wali murid dan warga sekitar
sekolah
3. Meningkatkan lagi kualitas tenaga pendidik.
4. Memanfaatkan sebaik mungkin relasi yang terjadi diantara masyarakat dan sekolah.
5. Meningkatkan sarana dan prasarana sekolah dan perawatan terhadap sarana dan
prasarana yang telah ada.

DAFTAR PUSTAKA
UU Republik Indonesia tentang sisdiknas.Bandung:Fokusmedia, 2011.
Mulyasa,E. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2002.

http://Edukasi.kompasiana.com/2011/03/22/
Bafadal,Ibrahim. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar .Jakarta:PT Bumi Aksara,
2006.

http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/03/manajemen-peningkatan-mutu-berbasis.html
Syafaruddin. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta:Rineka Cipta, 2008.

Anda mungkin juga menyukai