Anda di halaman 1dari 11

DEHIDRASI

Sebagian proporsi tubuh manusia adalah air, sehingga dalam


melakukan aktifitas sering merasakan haus dan mengeluarkan ekskresi
melalui berkemih. Jika seseorang tidak dapat memenuhi keseimbangan
cairan dan elektrolit maka dapat berpengaruh dalam output air. Salah
satu masalah keseimbangan cairan dan elektrolit yaitu dehidrasi.

Menurut Black dan Hawks (2009) dehidrasi adalah kehilangan air


dari volume cairan ektraseluler yaitu pada bagian interstisial dan
intravaskuler. Dehidrasi disebabkan bermacam hal diantaranya muntah
berulang, diare, demam, hiperglikemia. Klien yang mengalami dehidrasi
memiliki tanda dan gejala berupa lesu, lemah, anoreksia, haus,
penurunan frekuensi nadi, hipotensi dan oliguria.

Terdapat tiga tipe defisit cairan ekstraselular (ECF), yaitu:

a. Defisit volume hiperosmolar (hipertonik) yaitu kehilangan air melebihi


kehilangan ekletrolit.

b. Defisit volume cairan isoosmolar yaitu ketika cairan yang hilang sama
dengan jumlah elektrolit yang hilang.

c. Defisit volume hipoosmolar yaitu ketika jumlah elektrolit yang hilang


lebih besar dibandingkan jumlah cairan yang hilang.

Dari ketiga tipe dehidrasi, jenis dehidrasi yang lebih sering terjadi
adalah hiperosmolar.

Secara umum mekanisme terjadinya dehidrasi berawal dari


ketidakmampuan kompensasi dari ruang-ruang cairan dalam tubuh.
Ketika dehidrasi maka akan kehilangan cairan pada ruang ekstraseluler,
sehingga terjadi pergeseran cairan dari interseluler ke ruang
intravaskuler. Oleh karena jumlah cairan di interseluler terbatas maka
diaktifkan system kompensasi lainnya. System kompensasinya yaitu
dengan peningkatan sekresi ADH dan aldosteron, reabsropsi cairan dari
ileum dan pengaktifan baroreseptor. Dehidrasi yang lama dapat
menyebabkan gangguan pada eliminasi dan perubahan tekanan darah
(Black dan Hawks, 2009).

Oleh karena dehidrasi (kehilangan cairan pada ekstraseluler) maka


akan menurunkan curah jantung dengan mengurangi aliran balik vena.
Penurunan curah jantung ini mengakibatkan penurunan pada tekanan
darah. Penurunan tekanan darah ini dideteksi oleh baroreseptor yang
menstimulasi pengaktifan system saraf simpatis mengakibatkan
vasokontriksi perifer, peningkatan denyut jantung dan kontraktilistas
jantung. Hal tersebut dilakukan untuk menstabilkan curah jantung dan
tekanan darah. Apabila dehidrasi berlangsung lama maka vasokontriksi
perifer menyebabkan penurunan aliran darah ke dalam ginjal (Price dan
Wilson, 2005).

Ketika aliran darah keginjal menurunan maka sel jukstaglomerulus


akan mensekresi renin ke dalam aliran darah. Renin akan menuju hati
untuk mengubah angitensinogen menjadi angiotensi 1. Angiotensi 1 akan
menuju ke paru-paru dan akan diubah menjadi angiotensin II oleh
angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin II menstimulus
hipotalamus untuk mensekresi ADH pada hipofisis posterior, kemudian
ADH akan menuju tubulus ginjal untuk mereabsorpsi air dan natrium
sehingga urin yang dikeluarkan sedikit (oliguria). (McCance dan Huether,
2010)

Oliguria merupaka keadaan dimana jumlah urin yang dikeluarkan


kurang dari 400ml/ hari. Selain itu, karena ADH mereabsoprsi air dan
natrium sehingga terjadi perubahan warna urin yaitu lebih pekat atau
berwarna lebih kekuningan dan peningkatan berat jenis urin. Konsentrasi
tinggi dari komposisi urin dapat memberikan bau yang menyengat dan
aneh.

SYOK

. Dehidrasi yang terjadi dalam waktu lama dan derajat berat juga
dapat menyebabkan syok. Syok adalah kegagalan system sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat pada organ-organ vital (Black dan
Hawks, 2009). Shok dibagi menjadi tiga kelompok utama yaitu syok
hipovolemik, kardiogenik, dan distributive. Syok yang disebabkan oleh
dehidrasi adalah syok hipovolemik.

Menurut Black dan Hawks 2009 syok yang terjadi mengalami 3


tahap yaitu:

a. Tahap nonprogresif, yaitu tahapan kompensasi refleks yang dilakukan


oleh tubuh dan perfusi kejaringan vital dipertahankan. Pada tahap ini
pengaktifan mekanisme neurohormonal membantu mempertahankan
curah jantung dan tekanan darah. Mekanisme neurohormonal terdiri
dari baroreseptor, pelepasan katekolamin, aktivasi renin-angiotensin-
aldosteron-ADH. Efek dari tahapan ini timbulnya takikardia,
vasokontriksi perifer dan pemeliharaan cairan ginjla.

b. Tahap progresif, yaitu ditandai oleh hipoperfusi jaringan yang


menandakan awal memburuknya ketidakseimbangan sirkulasi dan
metabolic.

c. Tahap ireversibel, yaitu muncul setelh tubuh mengalami jejas sel dan
jaringan berat sehingga walaupun ganguan hemodinamikanya telah diperbaiki, tidak
mungkin bertahan hidup lagi.
Ketiga tahap syok diatas lebih jelas dikenali dalam syok hipovolemik akan
tetapi tidak menutup kemungkinan dialami pada bentuk syok lainnya.

Syok hipovolemik terjadi ketika ketidakadekuatan volume darah


yang bersirkulasi akibat hemoragi, luka bakar, dan dehidrasi. Ketika
terjadi syok hipovolemik maka akan terjadi penurunan volume plasma
darah yang menyebabkan penurunan aliran balik vena, serta penurunan
perfusi jaringan tubuh. Syok hipovolemik ditandai dengan nadi lemah dan
cepat, dispnea, hipotensi, takipnea, penurunan output urin, kulit dingin,
rasa haus dan pucat, Kozier, Synder, Berman, dan Erb (2008)

Oleh karena ketika terjadinya syok terjadi penurunan perfusi


jaringan termasuk keginjal sehingga ginjal tidak mendapatkan darah yang
adekuat. Akibatnya produksi urin menurun dan kadar natrium dan
kreatinin meningkat. Selain itu perfusi yang tidak adekuat pada kapiler
ginjal akan menyebabkan gagal prerenal. Tekanan darah akan menurun
saat terjadinya syok yang menyebabkan arteriola aferen yang menyuplai
darah ke glomerulus akan mengalami dilatasi, dan akan kontriksi ketika
TD meningkat. Ketika TD semakin menurun, maka filtasi glomerulus akan
berkurang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk mengeksresikan
natrium dan air (Black dan Hawks, 2009).

Dehidrasi dan syok yang umunya terjadi pada individu,


berpengaruh pada gangguan eliminasi. Secara keseluruhan efek eliminasi
dari dehidrasi dan syok ialah sama yaitu berupa oliguria, peningkatan
konsentrasi urin dan warna urin menjadi pekat.

1. Jelaskan pengkajian dan nilai laboratorium pada gangguan


tersebut!

Pengkajian yang dilakukkan pada klien tersebut meliputi 3 hal:

a. Anamnesis.

Anamnesis adalah pengkajian dengan wawancara pasien,


keluarga pasien atau rekam medis. Pada anamnesis dikaji tentang
mekanisme haus, riwayat penyakit kronik, psikologis klien.

b. Pengkajian fisik.

Pada pengkajian fisik kaji dilakukan Wilkinson. J. M & Ahern, N. R.


(2011).

Pengkajian tanda-tanda vital berupa suhu tubuh meningkat,


penurunan turgor kulit dan lidah, penurunan tekanan darah,
penurunan berat badan, kaji waktu pengisian vena perifer tiap hari,
kaji rongga mulut untuk melihat kekeringan pada membrane
mukosa antara gusi dan pipi, penurunan frekuensi nadi

Kaji warna, jumlah dan frekuensi kehilangan cairan.


Observasi khusus terhadap kehilangan cairan yang tinggi elektrolit
misalnya diare, drainase luka, pengisapan nasogastrik, diaphoresis.

c. Pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan yang membantu


keakuratan dalam mendiagnosis klien dehidrasi. Seseorang yang
dicurigai menderita dehidrasi dapat dilakukan pemeriksaan darah, urin
ke laboratorium.

1) Pemeriksaan laboratorium dapat berupa pemeriksaan darah yang


terdiri dari (Doengoes, 2010):

Kadar hematokrit.

Pada keadaan normal kadar hematokrit adalah 37%-47% pada


wanita dewasa, 40%-54% pada laki-laki dewasa. Pada klien yang
mengalami dehidrasi kadar hematokrit melebihi 55% dari jumlah
normal.

Kadar glukosa plasma.

Kadar glukosa normal pada wanita dewasa rentang 12-16 g/


dl, pada laki-laki dewasa berkisar 14-18 g/ dl.

2) Blood urine nitrogen (BUN)/ Creantinine (Cr).

Pengukuran rasio BUN/ Cr pada keadaan normal yaitu 20:1. Akan


tetapi pada pasien dehidrasi BUN melebihi 25% dan kadar kreatinin
normal.

3) Serum natrium.

Natrium adalah ion yang paling melimpah didalam tubuh. Dalam


keadaan normal serum natrium berkisar 135-145 mEq/ L. Pada klien
dehidrasi melebihi 145 mEq/ L.

4) Berat jenis urin

Ukuran konsentrasi partikel dari air. Pada klien dehidrasi melebihi


1.030. diuji dengan urinometer.

5) Osmolalitas urin.
Pada klien dehidrasi osmolalitas urin melebihi 250 mOsm/ kg
(Black dan Hawks, 2009).

6) Urinalisis

Tes penyaringan urin untuk evaluasi fungsi ginjal dan mendeteksi


substansi yang menyebabkan infeksi.

2. Jelaskan penatalaksanaan medis gangguan tersebut!

Penatalaksaan medis pada klien dehidrasi dapat berupa:

a. Farmakologi

1) Pemberian cairan intravena, berupa cariran:


o Isotonic berupa NaCl 0,9%.

o Hipertonik berupa larutan ringer laktat dengan detrosa 5% dan


normal salin.

2) Jika dehidrasi disebabkan karena diare maka obat yang diberikan


seperti:

a. Berikan obat generic oralit, yaitu Alphatrolit, Aqualyte, Bioralit


dan Corsalit.

3) Jika dehidrasi disebabkan karena demam, diberikan:

a. Acetaminophen.

b. Ibuprofen.

b. Non farmakologi

1) Minum cairan yang mengandung karbohidrat.

2) Pemberian larutan yang mengandung elektrolit.


Penatalaksanaan media pada klein syok dapat berupa:

a. Farmakologi.

1) Terapi Medikasi

Medikasi akan diresepkan untuk mengatasi dehidarasi jika


penyebab yang mendasari adalah dehidrasi. Contohnya, insulin
akan diberikan pada pasien dengan dehidrasi sekunder terhadap
hiperglikemia, desmopresin (DDVP) untuk diabetes insipidus,
preparat anti diare untuk diare dan anti emetic untuk muntah-
muntah.

Menurut Black dan Hawks (2009) pasien syok dapat diberikan:

2) Vasokontriktor seperti dopamine, norepinefrin, dan fenilfren yang


membantu menjaga tekanan darah.

3) Amrinon and dobutamin untuk meningkatkan kontraktilitas jantung,


mendukung TD dan meningkatkan curah jantung.

4) Nitrogliserin dan nitroprusida untuk relaksasi otot polos vascular


ketika terjadi vasokontriksi.

5) Pemasangan infus intravena. yang menggunakan cairan isotonik


NaCl 0,9% atau ringer laktat.

6) Pemberian cairan kristaloid yang berperan untuk meningkatkan


distribusi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial.

b. Non farmakologi

1) Elevasi pada bagian ektremitas.

2) Jika terjadi perdarahan maka control perdarahan.

3) Jika syok diakibatkan karena dehidrasi maka atasi dehidrasi dengan


pemberia larutan yang mengandung elektrolit-glukosa.
3. Jelaskan diagnose keperawatan dan intervensinya!
Pada klien yang memiliki masalah dehidrasi, dapat diangkat beberapa diagnose keperawatan:

Intervensi
No Diagnosa
Pada pasien Keluarga Kolaborasi
1. Defisiensi volume 1. Monitor pengeluaran urin. 1. Anjurkan pasien 1. Berikan
cairan 2. Monitor tanda-tanda vilat untuk ketentuan
pasien menginformasikan penggunaan dan
3. Mengatur dan mencegah perawat bila haus. penggantian
komplikasi akibat 2. Ajarkan pemberian nasogastrik.
perubahan cairan dan asuhan keluarga 2. Berikan terapi
elektrolit. tentang cara intravena sesuai
4. Memberikan dan memantau asupan program.
memantau cairan dan obat dan luaran. 3. Atur kesediaan
intravena. 3. Ajarkan pemberian produk darah
5. Membantu dan asuhan mengenai untuk transfuse
menyesuaikan asupan tanda komplikasi bila perlu.
makanan dan cairan dalam kekurangan volume
diet seimbang. cairan.
6. Meningkatkan
keseimbangan asam basa
dan mencegah komplikasi
akibat ketidakseimbangan
asam-basa.
2. Risiko disfungsi 1. Meningkatkan sirkulasi 1. Ajarkan pasien dan 1. Kolaborasi
neurovascular: vena dan arteri. keluargan mengenali dengan ahli
perifer. 2. Pengaturan posisi tubuh. tanda cedera terapi fisioterapi.
3. Elevasi bagian jaringan perifer. 2. Menjaga
ekstremitas. 2. Anjurkan pada pergantian
4. Kaji warja, sensai, keluarga untuk cairan.
perpindahan, kapileri refill, membantu
dan denyut nadi perifer melakukan RPS
pada ektremitas. kepada pasien.
Wilkinson. J. M & Ahern, N. R. (2011).

Daftar Pustaka

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2009). Medical Surgical Nursing; Clinical management for positive outcomes. Singapura: Elsevier Pte
Ltd
Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., dan Murr, A. C. (2010). Nursing care plan: Guidekines for individualizing
client care across the life span, 8th edition. Philadelphia: F.A. Davis Company

Kozier, B., Berman, A., Snyder, S. J., dan Erb, G. (2008). Fundamental of nursing: Concepts, process, and
practice, 8th edition. USA: Pearson Education, Inc.

McCance. K. L dan Huether, S. E. (2010). Pathophysiology: The biologic basis for disease in adults and children. USA: Elsevier
Mosby
Prince, S. A dan Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit, edisi 6. Jakarta:
EGC

Wilkinson. J. M & Ahern, N. R. (2011). Buku saku diagnosis keperawatan, Ed 9. (E. Wahyuningsih. Trans).
Prentice hall nursing diagnosis handbook, 9th edition. (2009). Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai