Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang


perlu ditangani dengan seksama. Prevalensi DM meningkat setiap
tahun, terutama dikelompok resiko tinggi. DM yang tidak terkendali
dapat menyebabkan komplikasi metabolik ataupun komplikasi vaskular
jangka panjang, yaitu mikroangiopati dan makroangiopati. Penderita DM
juga rentan terhadap infeksi kaki, luka, yang kemudian dapat
berkembang menjadi gangrene, sehingga meningkatkan kasus
amputasi (ADA, 2004 ; Tjokroprawiro, 2007).

Kaki diabetes adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat


diabetes mellitus yang tidak terkendali dengan baik yang disebabkan
olah gangguan pembuluh darah, gangguan persyarafan dan infeksi
(Misnadiarly, 2006).

Studi epidemiologi melaporkan lebih dari satu juta amputasi


dilakukan pada penyandang diabetes setiap tahunnya. Ini berarti setiap
30 detik ada kasus amputasi karena diabetes di seluruh dunia. Dari
semua amputasi tungkai bawah, 40-70% berkaitan dengan diabetes.
Pada banyak studi, insiden amputasi tungkai bawah diperkirakan 5-
25/100.000 orang/tahun. Sedangkan di antara penderita diabetes,
jumlah diabetes yang diamputasi sebanyak 6-8/1000 orang. Mayoritas
amputasi ini didahului ulkus kaki (Tambunan dan Gultom, 2009).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Kaki diabetes adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat


diabetes mellitus yang tidak terkendali dengan baik yang disebabkan
olah gangguan pembuluh darah, gangguan persyarafan dan infeksi.
Kaki diabetes merupakan gambaran secara umum dari kelainan tungkai
bawah secara menyeluruh pada penderita diabetes mellitus yang
diawali dengan adanya lesi hingga terbentuknya ulkus yang sering
disebut dengan ulkus kaki diabetika yang pada tahap selanjutnya dapat
dikategorikan dalam gangrene, yang pada penderita diabetes mellitus
disebut dengan gangrene diabetik (Misnadiarly, 2006).

2.2 Epidemiologi
Meningkatnya prevalensi diabetes di dunia menyebabkan
peningkatan kasus amputasi kaki karena komplikasi diabetes. Studi
epidemiologi melaporkan lebih dari satu juta amputasi dilakukan pada
penyandang diabetes setiap tahunnya. Ini berarti setiap 30 detik ada
kasus amputasi karena diabetes di seluruh dunia. Dari semua amputasi
tungkai bawah, 40-70% berkaitan dengan diabetes. Pada banyak studi,
insiden amputasi tungkai bawah diperkirakan 5-25/100.000
orang/tahun. Sedangkan di antara penderita diabetes, jumlah diabetes
yang diamputasi sebanyak 6-8/1000 orang. Mayoritas amputasi ini
didahului ulkus kaki (Tambunan dan Gultom, 2009).
Di RSUPN dr. Cipto Mangunkusuma, masalah kaki diabetes masih
merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan menyandang
diabetes melitus selalu mengikuti kaki diabetes. Angka kematian dan
angka amputasi masih tinggi, masing - masing sebesar 16% dan 25%
(data RSUPN dr. Cipto Mangunkusuma tahun 2003). Nasib para
penyandang diabetes melitus pasca amputansi pun masih sangat
buruk. Sebanyak 14,3% akan
meninggal dalam setahun pasca amputasi, dan sebanyak 37% akan
meninggal 3 tahun pasca amputasi (Waspadji, 2006).

Etiologi
Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati
dan infeksi. Neuropati menyebabkan gangguan sensorik yang
menghilang atau menurunkan sensasi nyeri kaki, sehingga ulkus dapat
terjadi tanpa terasa. Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot tungkai
sehingga mengubah titik tumpu yang menyebabkan ulserasi kaki.
Angiopati akan mengganggu aliran darah ke kaki; penderita dapat
merasa nyeri tungkai sesudah berjalan dalam jarak tertentu. Infeksi
sering merupakan komplikasi akibat berkurangnya darah atau
neuropati. Ulkus diabetik bias menjadi gangrene kaki diabetik (Desalu et
al, 2011).
Penyebab gangrene pada penderita DM adalah bakteri anaerob,
yang tersering Clostridium. Bakteri ini akan menghasilkan gas, yang
disebut gas gangrene (Desalu et al, 2011)
.
2.3 Klasifikasi Kaki Diabetes

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari


klasifikasi oleh Edmonds dari Kings College Hospital London, klasifikasi
Liverpool, klasifikasi wagner, klasifikasi texas, serta yang lebih banyak
digunakan adalah yang dianjurkan oleh International Working Group On
Diabetic Foot karena dapat menentukan kelainan apa yang lebih
dominan, vascular, infeksi, neuropatik, sehingga arah pengelolaan dalam
pengobatan dapat tertuju dengan baik (Waspadji, 2006).

1. Klasifikasi Edmonds (2004 2005)


Stage 1 : Normal foot
Gambar 2.1 Kaki yang normal

Stage 2 : High Risk Foot

Gambar 2.2 Kaki dengan risiko tinggi

Stage 3 : Ulcerated Foot


Gambar 2.3 Kaki dengan luka terbuka

Stage 4 : Infected Foot

Gambar 2.4 Kaki dengan luka terinfeksi

Stage 5 : Necrotic Foot

Gambar 2.5 Kaki dengan luka disertai jaringan nekrosis


Stage 6 : Unsalvable Foot

Gambar 2.6 Kaki yang tidak terselamatkan

2. Derajat keparahan ulkus kaki diabetes menurut Wagner


Grade 1 : Ulkus superfisial tanpa terlibat jaringan dibawah kulit
Grade 2 : Ulkus dalam tanpa terlibat tulang / pembentukan abses.
Grade 3 : Ulkus dalam dengan selulitis/abses atau osteomielitis
Grade 4 : Tukak dengan Gangren lokal
Grade 5 : Tukak dengan Gangren luas / melibatkan keseluruhan
kaki
3. Klasifikasi Liverpool
Klasifikasi primer :
- Vascular
- Neuropati
- Neuroiskemik
Klasifikasi sekunder :
- Tukak sederhana, tanpa komplikasi
- Tukak dengan komplikasi
4 Klasifikasi PEDIS menurut International Consensus On The Diabetic
Foot (2003).

Impaired Perfusion 1 = None


2 = PAD + but not critical

3 = Critical limb ischemia


Size / Extent in
mm2
= Superficial fullthickness, not deeper than
Tissue loss / Depth 1 dermis

2 = Deep ulcer, below dermis. Involving


subcutaneous structures, fascia, muscle or
tendon

3 = All subsequent layers of the foot involved

including bone and or joint

Infection 1 = No symptoms or signs of infection


= Infection of skin and subcutaneous tissue
2 only

3 = Erythema > 2 cm or infection involving

subcutaneous structure, no systemic sign of

inflammatory response

4 = Infection with systemic manifestation : fever,


leucocytosis, shift to the left metabolic
instability,

hypotension, azotemia

Impaired sensation 1 = Absent

2 = Present
2.4 Faktor Resiko
Faktor risiko terjadi ulkus diabetika yang menjadi gambaran dari
kaki diabetes pada penderita diabetes mellitus terdiri atas faktor-faktor
risiko yang tidak dapat diubah dan faktor-faktor risiko yang dapat diubah
(Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
A. Faktor Yang Tidak Bisa Diubah
1. Umur
Pada usia tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena
proses aging terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin
sehingga kemampuan fungsi tubuh terhadap pengendalian
glukosa darah yang tinggi kurang optimal . proses aging
menyebabkan penurunan sekresi atau resistensi insulin
sehingga terjadi makroangiopati, yang akan mempengaruhi
penurunan sirkulasi darah salah satunya pembuluh darah
besar atau sedang di tungkai yang lebih mudah terjadi ulkus
kaki diabetes (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
2. Lama Menderita Diabetes Mellitus 10 tahun.
Ulkus kaki diabetes terutama terjadi pada penderita diabetes
mellitus yang telah menderita 10 tahun atau lebih, apabila
kadar glukosa darah tidak terkendali, karena akan muncul
komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga
mengalami makroangiopati dan mikroangiopati yang akan
terjadi vaskulopati dan neuropati yang mengakibatkan
menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan / luka pada
kaki penderita diabetes mellitus yang sering tidak dirasakan
karena terjadinya gangguan neurophati perifer (Tambunan,
2006; Waspadji, 2006).
B. Faktor-faktor risiko yang dapat diubah :
1. Neurophati (sensorik, motorik, perifer).
Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi
gangguan mikro sirkulasi, berkurangnya aliran darah dan
hantaran oksigen pada serabut saraf yang mengakibatkan
degenerasi pada serabut syaraf yang lebih lanjut akan terjadi
neuropati. Syaraf yang rusak tidak dapat mengirimkan sinyal
ke otak dengan baik, sehingga penderita dapat kehilangan
indra perasa selain itu juga kelenjar keringat menjadi
berkurang, kulit kering dan mudah robek. Neuropati perifer
berupa hilangnya sensasi rasa yang berisiko tinggi menjadi
penyebab terjadinya lesi yang kemudian berkembang
menjadi ulkus kaki diabetes (Tambunan, 2006; Waspadji,
2006).
2. Obesitas.
Pada obesitas dengan index massa tubuh 23 kg/m2
(wanita) dan IMT (index massa tubuh) 25 kg/m2 (pria) atau
berat badan ideal yang berlebih akan sering terjadi resistensi
insulin. Apabila kadar insulin melebihi 10 U/ml, keadaan ini
menunjukkan hiperinsulinmia yang dapat menyebabkan
aterosklerosis yang berdampak pada vaskulopati, sehingga
terjadi gangguan sirkulasi darah sedang / besar pada
tungkai yang menyebabkan tungkai akan mudah terjadi
ulkus / ganggren sebagai bentuk dari kaki diabetes
(Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
3. Hipertensi.
Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada penderita diabetes
mellitus karena adanya viskositas darah yang tinggi akan
berakibat menurunnya aliran darah sehingga terjadi
defesiensi vaskuler, selain itu hipertensi yang tekanan darah
lebih dari 130/80 mmHg dapat merusak atau mengakibatkan
lesi pada endotel. Kerusakan pada endotel akan
berpengaruh terhadap makroangiopati melalui proses adhesi
dan agregasi trombosit yang berakibat vaskuler defisiensi
sehingga dapat terjadi hipoksia pada jaringan yang akan
mengakibatkan terjadinya ulkus (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).
4. Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) tidak terkontrol.
Glikosilasi Hemoglobin adalah terikatnya glukosa yang
masuk dalam sirkulasi sistemik dengan protein plasma
termasuk hemoglobin dalam sel darah merah. Apabila
Glikosilasi Hemoglobin (HbA1c) 6,5 % akan menurunkan
kemampuan pengikatan oksigen oleh sel darah merah yang
mengakibatkan hipoksia jaringan yang selanjutnya terjadi
proliferasi pada dinding sel otot polos sub endotel
(Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
5. Kadar Glukosa Darah Tidak Terkontrol.
Pada penderita diabetes mellitus sering dijumpai adanya
peningkatan kadar trigliserida dan kolesterol plasma,
sedangkan konsentrasi HDL (highdensity-lipoprotein)
sebagai pembersih plak biasanya rendah 45( mg/dl). Kadar
trigliserida 150 m g/dl, kolesterol total 200 mg/dl dan HDL
45 mg/dl akan mengakibatkan buruknya sirkulasi ke
sebagian besar jaringan dan menyebabkan hipoksia serta
cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan dan
terjadinya aterosklerosis. Konsekuensi adanya aterosklerosis
adalah penyempitan lumen pembuluh darah yang akan
menyebabkan gangguan sirkulasi jaringan sehingga suplai
darah ke pembuluh darah menurun ditandai dengan hilang
atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis,
tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku
menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan
sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki
atau tungkai (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006)
. 6. Kebiasaan Merokok.
Pada penderita diabetes mellitus yang merokok 12 batang
per hari mempunyai risiko 3x untuk menjadi ulkus kaki
diabetes dibandingkan dengan penderita diabetes mellitus
yang tidak merokok. Kebiasaan merokok akibat dari nikotin
yang terkandung di dalam rokok akan dapat menyebabkan
kerusakan endotel kemudian terjadi penempelan dan
agregasi trombosit yang selanjutnya terjadi kebocoran
sehingga lipoprotein lipase akan memperlambat clearance
lemak darah dan mempermudah timbulnya aterosklerosis.
Aterosklerosis berakibat insufisiensi vaskuler sehingga aliran
darah ke arteri dorsalis pedis, poplitea, dan tibialis juga akan
menurun (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
7. Ketidakpatuhan Diet Diabetes Mellitus.
Kepatuhan diet diabetes mellitus merupakan upaya yang sangat
penting dalam pengendalian kadar glukosa darah, kolesterol, dan
trigliserida mendekati normal sehingga dapat mencegah komplikasi
kronik, seperti ulkus kaki diabetes. Kepatuhan diet penderita diabetes
mellitus mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu mempertahankan
berat badan normal, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik,
menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid
meningkatkan sensitivitas reseptor insulin dan memperbaiki sistem
koagulasi darah (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
8. Kurangnya Aktivitas Fisik.
Aktivitas fisik (olah raga) sangat bermanfaat untuk meningkatkan
sirkulasi darah, menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas
terhadap insulin, sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah.
Dengan kadar glukosa darah terkendali maka akan mencegah
komplikasi kronik diabetes mellitus. Olah raga rutin (lebih 3 kali dalam
seminggu selama 30 menit) akan memperbaiki metabolisme
karbohidrat, berpengaruh positif terhadap metabolisme lipid dan
sumbangan terhadap penurunan berat badan. Aktivitas fisik yang
dilakukan termasuk senam kaki. Senam kaki dapat membantu
memperbaiki sirkualsi darah dan memperkuat otot - otot kecil kaki dan
mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki (deformitas), selain itu dapat
meningkatkan kekuatan otot betis dan otot paha (Gastrocnemeus,
Hamsring, Quadriceps) dan juga mengatasi keterbatasan gerak sendi.
Latihan senam kaki dapat dilakukan dengan posisi berdiri, duduk dan
tidur, dengan cara menggerakkan kaki dan sendi-sendi kaki misalnya
berdiri dengan kedua tumit diangkat, mengangkat kaki dan
menurunkan kaki. Gerakan dapat berupa gerakan menekuk,
meluruskan, mengangkat, memutar keluar atau kedalam dan
mencengkram pada jari jari kaki. Latihan dilakukan sesering mungkin
dan teratur terutama pada saat kaki terasa dingin. (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).
9. Pengobatan Tidak Teratur.
Pengobatan rutin dan pengobatan intensif akan dapat mencegah dan
menghambat timbulnya komplikasi kronik, seperti ulkus diabetika.
Sampai pada saat ini belum ada obat yang dapat dianjurkan secara
tepat untuk memperbaiki vaskularisasi perifer pada penderita Diabetes
12
Mellitus, namun bila dilihat dari penelitian tentang kelainan akibat
arterosklerosis ditemapt lain seperti jantung dan otak, obat seperti
aspirin dan lainnya yang sejenis dapat digunakan pada pasien
Diabetes Mellitus meskipun belum ada bukti yang cukup kuat untuk
menganjurkan penggunaan secara rutin (Waspadji, 2006).
10. Perawatan Kaki Tidak Teratur.
Perawatan kaki penderita diabetes mellitus yang teratur akan
mencegah atau mengurangi terjadinya komplikasi kronik pada kaki.
Acuan dalam perawatan kaki pada penderita diabetes mellitus yaitu
meliputi seperti selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih,
membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air suam-suam
kuku dengan memakai sabun lembut dan mengeringkan dengan
sempurna dan hati-hati terutama diantara jari-jari kaki, memakai krem
kaki yang baik pada kulit yang kering atau tumit yang retak-retak,
supaya kulit tetap mulus, dan jangan menggosok antara jari-jari kaki
(contoh: krem sorbolene), tidak memakai bedak, sebab ini akan
menyebabkan kulit menjadi kering dan retak-retak. menggunting kuku
hanya boleh digunakan untuk memotong kuku kaki secara lurus dan
kemudian mengikir agar licin. Memotong kuku lebih mudah dilakukan
sesudah mandi, sewaktu kuku lembut, kuku kaki yang menusuk daging
dan kalus, hendaknya diobati oleh podiatrist. Jangan menggunakan
pisau cukur atau pisau biasa, yang bias tergelincir; dan ini dapat
menyebabkan luka pada kaki, jangan menggunakan penutup
kornus/corns. Kornus-kornus ini seharusnya diobati hanya oleh
podiatrist, memeriksa kaki dan celah kaki setiap hari apakah terdapat
kalus, bula, luka dan lecet dan menghindari penggunaan air panas
atau bantal panas (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

2.5 Patogenesis
Terjadinya kaki diabetik diawali dengan adanya hiperglikemi yang
menyebabkan gangguan saraf dan gangguan aliran darah. Perubahan ini
menyebabkan perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki. Keretanan terhadap
infeksi meluas ke jaringan sekitar. Faktor aliran darah yang kurang membuat ulkus
sulit sembuh. Jika sudah terjadi ulkus, infeksi akan mudah sekali terjadi dan meluas
ke jaringan yang lebih dalam sampai ke tulang. Di bawah adalah etiologi dari kaki

13
diabetik (Adhiarta, 2011; Boulton et al, 1999; Smeltzer et al, 2008; Boulton et al,
2008; Turns, 2011).
1) Neuropati diabetik
Neuropati diabetik adalah komplikasi kronis yang paling sering ditemukan
pada pasien diabetes melitus. Neuropati diabetik adalah gangguan
metabolisme saraf sebagai akibat dari hiperglikemia kronis (Smeltzer et al,
2008).
Angka kejadian neuropati ini meningkat bersamaan dengan lamanya
menderita penyakit diabetes melitus dan bertambahnya usia penderita. Ada
tiga tipe neuropati yaitu neuropati sensorik, neuropati motorik dan neuropati
otonom. Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah kerusakan saraf
sensoris pertama kali mengenai serabut akson yang paling panjang, yang
menyebabkan distribusi stocking dan gloves. Kerusakan pada serabut saraf
tipe A akan menyebabkan kelainan propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan,
tekanan, vibrasi dan persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan timbul
gejala seperti kejang dan kelemahan otot kaki. Serabut klinis akan timbul
gejala seperti kejang dan kelemahan otot kaki. Serabut saraf tipe C berperan
dalam analisis sensasi nyeri dan suhu. Kerusakan pada saraf ini akan
menyebabkan kehilangan sensasi protektif. Ambang nyeri akan meningkat
dan menyebabkan trauma berulang pada kaki (Singh et al, 2005).
2) Neuropati motorik terjadi karena dimyelinisasi serabut saraf dan kerusakan
motor end plate. Serabut saraf motorik bagian distal yang paling sering
terkena dan menimbulkan atropi dan otot-otot intrinsik kaki. Atropi dari otot
intragessus menyebabkan kolaps dari arcus kaki. Metatarsal-phalangeal joint
kehilangan stabilitas saat melangkah. Hal ini menyebabkan gangguan
distribusi tekanan kaki saat melangkah dan dapat menyebabkan kallus pada
bagian-bagian kaki dengan tekanan terbesar. Jaringan di bawah kallus akan
mengalami iskemia dan nekrosis yang selanjutnya akan menyebabkan ulkus.
Neuropati motorik menyebabkan kelainan anantomi kaki berupa claw toe,
hammer toe, dan lesi pada nervus peroneus lateral yang menyebabkan foot
drop. Neuropati motorik ini dapat diukur dengan pressure mat atau platform
untuk mengukur tekanan pada plantar kaki (singh et al, 2005).
3) Kelainan vaskuler
Penyakit arteri perifer (PAP) adalah salah satu komplikasi makrovaskular dari
diabetes melitus. Penyakit arteri perifer ini disebabkan karena dinding arteri
banyak menumpuk plaque yang terdiri dari deposit platelet, sel-sel otot polos,
14
lemak, kolesterol dan kalsium. PAP pada penderita diabetes berbeda dari
yang bukan diabetes melitus. PAP pada pasien diabetes melitus terjadi lebih
dini dan cepat mengalami perburukan. Pembuluh darah yang sering terkena
adalah arteri tibialis dan arteri peroneus serta percabangannya. Resiko untuk
terjadinya kelainan vaskuler pada penderita diabetes adalah usia, lama
menderita diabetes, genetik, merokok, hipertensi, dislipidemia, hiperglikemia,
obesitas (Adhiarta, 2011; Turns, 2011).
4) Infeksi
Infeksi dapat dibagi menjadi tiga yaitu superfisial dan lokal, selulitis dan
osteomyelitis. Infeksi akut pada penderita yang belum mendapatkan antibiotik
biasanya monomikrobial sedangkan pasien dengan ulkus kronis, gangrene
dan osteomyelitis bersifat polimikrobial. Kuman yang paling sering dijumpai
pada infeksi ringan adalah staphylococcus aureus dan streptococcal serta
isolation of methicillin-resstant staphylococcus aureus (MRSA) (Turns, 2011;
Adhiarta, 2011).

2.6 Patofisiologi
Kaki diabetik terjadi diawali dengan adanya hiperglikemia yang menyebabkan
gangguan saraf dan gangguan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan perubahan
distribusi tekanan pada telapak kaki, kerentanan terhadap infeksi meluas sampai ke
jaringan sekitarnya. Faktor aliran darah yang kurang membuat luka sulit untuk
sembuh dan jika terjadi ulkus, infeksi akan mudah sekali terjadi dan meluas ke
jaringan yang lebih dalam bahkan sampai ke tulang (Clayton, 2009).

15
Gambar 2.7 Patofisiologi Kaki Diabetes

1. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah komplikasi kronis yang paling sering ditemukan

pada pasien diabetes melitus. Neuropati diabetik adalah gangguan

metabolisme syaraf sebagai akibat dari hiperglikemia kronis. Angka

kejadian neuropati ini meningkat bersamaan dengan lamanya menderita

penyakit diabetes melitus dan bertambahnya usia penderita. Tipe neuropati

terbagi atas 3 (tiga) yaitu :

a. Neuropati sensorik
Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah kerusakan
saraf sensoris pertama kali mengenai serabut akson yang paling
panjang, yang menyebabkan distribusi stocking dan gloves.
Kerusakan pada serabut saraf tipe A akan menyebabkan kelainan
propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan, tekanan, vibrasi dan
persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan timbul gejala
seperti kejang dan kelemahan otot kaki. Serabut saraf tipe C
berperan dalam analisis sensari nyeri dan suhu. Kerusakan pada

16
saraf ini akan menyebabkan kehilangan sensasi protektif. Ambang
nyeri akan meningkat dan menyebabkan trauma berulang pada
kaki. Neuropati perifer dapat dideteksi dengan hila ngnya sensasi
terhadap 10 g nylon monofilament pada 2-3 tempat pada kaki.
Selain dengan 10 g nylon monofilament, dapat juga menggunakan
biothesiometer dan Tunning Fork untuk mengukur getaran.

b. Neuropati motorik
Neuropati motorik terjadi karena demyelinisasi serabut saraf dan
kerusakan motor end plate. Serabut saraf motorik bagian distal
yang paling sering terkena dan menimbulkan atropi dan otot-otot
intrinsik kaki. Atropi dari otot intraosseus menyebabkan kolaps dari
arcus kaki. Metatarsal-phalangeal joint kehilangan stabilitas saat
melangkah. Hal ini menyebabkan gangguan distribusi tekanan kaki
saat melangkah dan dapat menyebabkan kallus pada bagian-
bagian kaki dengan tekanan terbesar. Jaringan di bawah kalus
akan mengalami iskemia dan nekrosis yang selanjutnya akan
menyebabkan ulkus. Neuropati motorik menyebabkan kelainan
anatomi kaki berupa claw toe, hammer toe, dan lesi pada nervus
peroneus lateral yang menyebabkan foot drop. Neuropati motorik
ini dapat diukur dengan menggunakan pressure mat atau platform
untuk mengukur tekanan pada plantar kaki

c. Neuropati otonom
Neuropati otonom menyebabkan keringat berkurang sehingga kaki
menjadi kering. Kaki yang kering sangat berisiko untuk pecah dan
terbentuk fisura pada kalus. Neuropati otonom juga menyebabkan
gangguan pada saraf-saraf yang mengontrol distribusi arteri- vena
sehingga menimbulkan arteriolar-venular shunting. Hal ini
menyebabkan distribusi darah ke kaki menurun sehingga terjadi
iskemi pada kaki, keadaan ini mudah dikenali dengan terlihatnya
distensi vena-vena pada kaki (Clayton, 2009)

2. Kelainan Vaskuler
Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah salah satu komplikasi
makrovaskular dari diabetes melitus. Penyakit arteri perifer ini
disebabkan karena dinding arteri banyak menumpuk plaque yang

17
terdiri dari deposit platelet, sel-sel otot polos, lemak, kolesterol dan
kalsium. PAP pada penderita diabetes berbeda dari yang bukan
diabetes melitus. PAP pada pasien diabetes melitus terjadi lebih dini
dan cepat mengalami perburukan. Pembuluh darah yang sering
terkena adalah arteri tibialis dan arteri peroneus serta
percabangannya. Risiko untuk terjadinya kelainan vaskuler pada
penderita diabetes adalah usia, lama menderita diabetes, genetik,
merokok, hipertensi, dislipidemia, hiperglikemia, obesitas. Pasien
diabetes melitus yang mengalami penyempitan pembuluh darah
biasanya ada gejala, tetapi kadang juga tanpa gejala, sebagian lain
dengan gejala iskemik, yaitu :

a. Intermitten Caudication
Nyeri dan kram pada betis yang timbul saat berjalan dan hilang
saat berhenti berjalan, tanpa harus duduk. Gejala ini muncul jika
Ankle-Brachial Index < 0,75.

b. Kaki terasa dingin


c. Nyeri
Terjadi karena iskemi dari serabut saraf, diperberat dengan panas,
aktivitas, dan elevasi tungkai dan berkurang dengan berdiri atau
kaki menggantung.

d. Nyeri iskemia nokturnal


Terjadi malam hari karena perfusi ke tungkai bawah berkurang
sehingga terjadi neuritis iskemik.

e. Pulsasi arteri tidak teraba


f. Pengisian vena yang terlambat setelah elevasi tungkai dan
Capillary Refilling Time (CRT) yang memanjang
g. Atropi jaringan subkutan
h. Kulit terlihat licin dan berkilat

18
Gambar 2.8 Kulit terlihat Licin dan Berkilat

i. Rambut di kaki dan ibu jari menghilang

Gambar 2.9 Rambut di Kaki dan Ibu Jari Menghilang

j. Kuku menebal, rapuh, sering dengan infeksi jamur

(Clayton, 2009)

Gambar 2.10 . Kuku menebal, rapuh, sering dengan

infeksi jamur.

3. Infeksi

Infeksi dapat dibagi menjadi tiga yaitu superfisial dan lokal,


selulitis dan osteomyelitis. Infeksi akut pada penderita yang belum
mendapatkan antibiotik biasanya monomikrobial sedangkan pasien
dengan ulkus kronis, gangrene dan osteomyelitis bersifat
polimikrobial. Kuman yang paling sering dijumpai pada infeksi
ringan adalah Staphylococcus Aereus dan streptococcal serta
isolation of Methycillin-resstant Staphyalococcus aereus (MRSA).
Jika penderita sudah mendapat antibiotik sebelumnya atau pada

19
ulkus kronis, biasanya dijumpai juga bakteri batang gram negative
(Enterobactericeae, enterococcus, dan pseudomonas aeruginosa )
(Clayton, 2009).

2.7 Diagnosis Kaki Diabetik


Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti, diagnosis kaki
diabetik ditegakkan melalui riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang. Diagnosa kaki
diabetes melitus dapat ditegakkan melalui beberapa tahap pemeriksaan
sebagai berikut :
a. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga
Riwayat kesehatan pasien dan keluarga meliputi :

1) Lama diabetes
2) Managemen diabetes dan kepatuhan terhadap diet
3) Olahraga dan obat-obatan
4) Evaluasi dari jantung, ginjal dan mata
5) Alergi
6) Pola hidup
7) Medikasi terakhir
8) Kebiasaan merokok
9) Minum alkohol
Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas
kaki, pernah terekspos dengan zat kimia, adanya kalus dan deformitas,
gejala neuropati dan gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian
pernah adanya luka dan ulkus meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan
kedalaman, penampakan ulkus, temperatur dan bau.

b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi meliputi kulit dan otot
Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti warna, turgor kulit,
pecah-pecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; adanya
kalus atau bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi
pada otot seperti sikap dan postur dari tungkai kaki; deformitas
pada kaki membentuk claw toe atau charcot joint; keterbatasan
gerak sendi; tendon; cara berjalan; dan kekuatan kaki.

20
2) Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen
ditambah dengan tunning fork 128-Hz, pinprick sensation, reflek
kaki untuk mengukur getaran, tekanan dan sensasi.

Gambar 2.11 Pemeriksaan Menggunakan Monofilamen ditambah dengan Tunning


Fork 128-Hz

3) Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut


nadi pada arteri kaki, capillary refiling time, perubahan warna,
atropi kulit dan kuku dan pengukuran ankle brachial index.
4) Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yang sesuai dan
nyaman, tipe sepatu dan ukurannya.

c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status
klinis pasien, yaitu: pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darah
puasa atau sewaktu, glycohemoglobin (HbA1c), Complete Blood
Count (CBC), urinalisis, dan lain- lain.

d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang: X-ray, EMG (Electromyographi) dan
pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah kaki diabetik
menjadi infeksi dan menentukan kuman penyebabnya.

e. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan untuk deteksi kaki


diabetik adalah dengan menilai Ankle Brachial Index (ABI) yaitu
pemeriksaan sistolik brachial tangan kiri dan kanan kemudian nilai
sistolik yang paling tinggi dibandingkan dengan nilai sistolik yang
21
paling tinggi di tungkai. Nilai normalnya adalah O,9-1,3. Nilai
dibawah 0,9 itu diindikasikan bawah pasien penderita diabetes
melitus memiliki penyakit kaki diabetik dengan melihat gangguan
aliran darah pada kaki. Alat pemeriksaan yang digunakan ultrasonic
doppler. Doppler dapat dikombinasikan dengan manset pneumatic
standar untuk mengukur tekanan darah ekstremitas bawah (Rina,
2015).

22
23
2.8 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala ulkus kaki diabetes seperti sering kesemutan,

nyeri kaki saat istirahat., sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan

(nekrosis), penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan

poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal dan kulit kering

(Misnadiarly, 2006).

Ulkus Diabetikum akibat mikriangiopatik disebut juga ulkus panas

walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh

peradangan dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal. Proses

mikroangiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedangkan secara

akut emboli memberikan gejala klinis 5 P yaitu :

a. Pain (nyeri)

b. Paleness (kepucatan)

c. Paresthesia (kesemutan)

d. Pulselessness (denyut nadi hilang)

e. Paralysis (lumpuh).

Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola dari

fontaine:

a. Stadium I : asimptomatis atau gejala tidak khas (kesemutan).

b. Stadium II : terjadi klaudikasio intermiten

c. Stadium III : timbul nyeri saat istitrahat.

d. Stadium IV : terjadinya kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus).

(Smeltzer dan Bare, 2001)

24
1. Manajemen

Penyakit DM melibatkan sistem multi organ yang akan mempengaruhi penyembuhan

luka. Hipertensi, hiperglikemia, hiperkolesterolemia, gangguan kardiovaskular

(stroke, penyakit jantung koroner), gangguan fungsi ginjal, dan sebagainya harus

dikendalikan.

1) Debridemen

Debridement merupakan upaya pembersihkan benda asing dan jaringan

nekrotik pada luka. Luka tidak akan sembuh apabila masih didapatkan

jaringan nekrotik, debris, calus, fistula/rongga yang memungkinkan kuman

berkembang. Setelah dilakukan debridemen luka harus diirigasi dengan

larutan garam fisiologis atau pembersih lain dan dilakukan dressing

(kompres). Beberapa tindakan debridemen antara lain :

a. Debridemen mekanik

Debridemen mekanik dilakukan menggunakan irigasi luka cairan fisiolofis,

ultrasonic laser, dan sebagainya, dalam rangka untuk membersihkan

jaringan nekrotik.

b. Debridemen enzimatik

Debridemen secara enzimatik dilakukan dengan pemberian enzim eksogen

secara topikal pada permukaan lesi. Enzim tersebut akan menghancurkan

residu residu protein.

c. Debridemen autolitik

Debridemen autolitik terjadi secara alami apabila seseorang terkena luka.

Proses ini melibatkan makrofag dan enzim proteolitik endogen yang secara

alami akan melisiskan jaringan nekrotik.

Secara sintetis preparat hidrogel dan hydrocolloid dapat menciptakan

kondisi lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh dan bertindak sebagai

25
agent yang melisiskan jaringan nekrotik serta memacu proses granulasi.

Belatung (Lucilla serricata) yang disterilkan sering digunakan untuk

debridemen biologi. Belatung menghasilkan enzim yang dapat

menghancurkan jaringan nekrotik.

d. Debridemen bedah

Debridemen bedah merupakan jenis debridemen yang paling cepat dan

efisien. Tujuan debridemen bedah adalah :

(1) mengevakuasi bakteri kontaminasi,

(2) mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat

penyembuhan,

(3) menghilangkan jaringan kalus,

(4) mengurangi risiko infeksi lokal.

2. Mengurangi Beban Tekanan

Pada penderita DM yang mengalami neuropati permukaan plantar kaki

mudah mengalami luka atau luka menjadi sulit sembuh akibat tekanan beban

tubuh maupun iritasi kronis sepatu yang digunakan.

Salah satu hal yang sangat penting namun sampai kini tidak

mendapatkan perhatian dalam perawatan kaki diabetik adalah mengurangi

atau menghilangkan beban pada kaki (off loading).

Upaya off loading berdasarkan penelitian terbukti dapat mempercepat

kesembuhan ulkus. Metode off loading yang sering digunakan adalah:

mengurangi kecepatan saat berjalan kaki, istirahat (bed rest), kursi roda, alas

kaki, removable cast walker, total contact cast, walker, sepatu boot

ambulatory.

26
Total contact cast merupakan metode off loading yang paling efektif

dibandingkan metode yang lain. Berdasarkan penelitian TCC dapat

mengurangi tekanan pada luka secara signifikan dan memberikan

kesembuhan antara 73%-100%.

TCC dirancang mengikuti bentuk kaki dan tungkai, dan dirancang agar

tekanan plantar kaki terdistribusi secara merata. Telapak kaki bagian tengah

diganjal dengan karet sehingga memberikan permukaan rata dengan telapak

kaki sisi depan dan belakang (tumit) (Amstrong, 2005).

3. Perawatan Luka

Perawatan luka modern menekankan metode moist wound healing

atau menjaga agar luka dalam keadaan lembab. Luka akan menjadi cepat

sembuh apabila eksudat dapat dikontrol, menjaga agar luka dalam keadaan

lembab, luka tidak lengket dengan bahan kompres, terhindar dari infeksi dan

permeabel terhadap gas.

Tindakan dressing merupakan salah satu komponen penting dalam

mempercepat penyembuhan lesi. Prinsip dressing adalah bagaimana

menciptakan suasana dalam keadaan lembab sehingga dapat meminimalisasi

trauma dan risiko operasi. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan

dalam memilih dressing yang akan digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau

tidaknya eksudat, ada tidaknya infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada

beberapa jenis dressing yang sering dipakai dalam perawatan luka, seperti:

hydrocolloid, hydrogel, calcium alginate, foam, kompres anti mikroba, dan

sebagainya (Frykberg et all, 2006).

4. Pengendalian Infeksi

27
Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil kultur kuman. Namun sebelum

hasil kultur dan sensitifitas kuman tersedia antibiotika harus segera diberikan

secara empiris pada kaki diabetik yang terinfeksi. Pada ulkus diabetika ringan

atau sedang antibiotika yang diberikan difokuskan pada patogen gram positif.

Pada ulkus terinfeksi yang berat (limb or life threatening infection)

kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup bakteri gram positif berbentuk

coccus, gram negatif berbentuk batang, dan bakteri anaerob) antibiotika harus

bersifat broadspectrum, dan diberikan secara injeksi.

Pada infeksi berat yang bersifat limb threatening infection dapat

diberikan beberapa alternatif antibiotika seperti: ampicillin/sulbactam,

ticarcillin/clavulanate, piperacillin/tazobactam, Cefotaxime atau ceftazidime +

clindamycin, fluoroquinolone + clindamycin.

Sementara pada infeksi berat yang bersifat life threatening infection

dapat diberikan beberapa alternatif antibiotika seperti berikut:

ampicillin/sulbactam +aztreonam, piperacillin/tazobactam + vancomycin,

vancomycin + metronbidazole+ceftazidime, imipenem/cilastatin atau

fluoroquinolone + vancomycin + metronidazole. Pada infeksi berat pemberian

antibitoika diberikan selama 2 minggu atau lebih.

Bila ulkus disertai osteomielitis penyembuhannya menjadi lebih lama

dan sering kambuh. Maka pengobatan osteomielitis di samping pemberian

antibiotika juga harus dilakukan reseksi bedah.

Antibiotika diberikan secara empiris, melalui parenteral selama 6

minggu dan kemudain dievaluasi kembali melalui foto radiologi. Apabila

jaringan nekrotik tulang telah direseksi sampai bersih pemberian antibiotika

dapat dipersingkat, biasanya memerlukan waktu 2 minggu (Lipsky, 2004).

4. Revaskular

28
Ulkus atau gangren kaki tidak akan sembuh atau bahkan kemudian

hari akan menyerang tempat lain apabila penyempitan pembuluh

darah kaki tidak dilakukan revaskularisasi. Tindakan debridemen,

mengurangi beban, perawatan luka, tidak akan memberikan hasil

optimal apabila sumbatan di pembuluh darah tidak dihilangkan.

Tindakan endovaskular (Angioplasti Transluminal Perkutaneus

(ATP) dan atherectomy) atau tindakan bedah vaskular dipilih

berdasarkan jumlah dan panjang arteri femoralis yang tersumbat.

Bila oklusi terjadi di arteri femoralis satu sisi dengan panjang

atherosklerosis <15 cm tanpa melibatkan arteri politea, maka

tindakan yang dipilih adalah ATP. Namun lesi oklusi bersifat

multipel dan mengenai arteri poplitea/arteri tibialis maka tindakan

yang direkomendasikan adalah bedah vaskular (by pass).

Berdasarkan penelitian revaskularisasi agresif pada tungkai yang

mengalami iskemia dapat menghindakan amputasi dalam periode 3

tahun sebesar 98% (Rina, 2015).

5. Tindakan Bedah

Jenis tindakan bedah pada kaki diabetika tergantung dari berat

ringannya ulkus diabetes melitus. Tindakan bedah dapat berupa

insisi dan drainage, debridemen, amputasi, bedah revaskularisasi,

bedah plastik atau bedah profilaktik. Intervensi bedah pada kaki

diabetika dapat digolongka n menjadi empat kelas I (elektif), kelas II

(profilaktif), kelas III (kuratif) dan kelas IV (emergency). Tindakan

elektif ditujukan untuk menghilangkan

29
nyeri akibat deformitas, seperti pada kelainan spur tulang, hammer

toes atau bunions. Tindakan bedah profilaktif diindikasikan untuk

mencegah terjadinya ulkus atau ulkus berulang pada pasien yang

mengalami neuropati. Prosedur rekonsktuksi yang dilakukan adalah

melakukan koreksi deformitas sendi, tulang atau tendon. Tindakan

bedah kuratif diindikasikan bila ulkus tidak sembuh dengan

perawatan konservatif. Contoh tindakan bedah kuratif adalah bila

tindakan endovaskular (angioplasti dengan menggunakan balon

atau atherektomi) tidak berhasil maka perlu dilakukan bedah

vaskular. Osteomielitis kronis merupakan indikasi bedah kuratif.

Pada keadaan ini jaringan tulang mati dan jaringan granulasi yang

terinfeksi harus diangkat, sinus dan rongga mati harus

dihilangkan.(87) Prosedur bedah ditujukan untuk menghilangkan

penekanan kronis yang mengganggu proses penyembuhan.

Tindakan tersebut dapat berupa exostectomy, artroplasti digital,

sesamodectomy atau reseksi caput metatarsal. Tindakan bedah

emergensi paling sering dilakukan, yang diindikasikan untuk

menghambat atau menghentikan proses infeksi. Tindakan bedah

emergensi dapat berupa amputasi atau debridemen jaringan

nekrotik. Dari sudut pandang seorang ahli bedah, tindakan

pembedahan ulkus terinfeksi dapat dibagi menjadi infeksi yang tidak

mengancam tungkai (grade 1 dan 2) dan infeksi yang mengancam

tungkai (grade 3 dan 4).

30
Pada ulkus terinfeksi superfisial tindakan debridement dilakukan

dengan tujuan untuk: drainage pus, mengangkat jaringan nekrotik,

membersihkan jaringan yang menghambat pertumbuhan jaringan,

menilai luasnya lesi dan

31
untuk mengambil sampel kultur kuman. Tindakan
amputasi dilakukan bila dijumpai adanya gas gangren,
jaringan terinfeksi, untuk menghentikan perluasan infeksi,
mengangkat bagian kaki yang mengalami ulkus berulang.

Komplikasi berat dari infeksi kaki pada pasien diabetes


melitus adalah fasciitis nekrotika dan gas gangren. Pada
keadaan demikian diperlukan tindakan bedah emergensi
berupa amputasi. Amputasi bertujuan untuk
menghilangkan kondisi patologis yang mengganggu
fungsi, penyebab kecacatan atau menghilangkan
penyebab yang dapat mengancam jiwa sehingga
rehabilitasi kemudian dapat dilakukan.

Indikasi amputasi pada kaki diabetika:

a. Gangren terjadi akibat iskemia atau nekrosis yang


meluas

b. Infeksi yang tidak bisa dikendalikan

c. Ulkus resisten

d. Osteomielitis

e. Amputasi jari kaki yang tidak berhasil,

f. Bedah revaskularisasi yang tidak berhasil

g. Trauma pada kaki

32
h. Luka terbuka yang terinfeksi pada ulkus diabetika akibat
neuropati (Rina, 2015).

Komplikasi
Berikut adalah komplikasi kaki diabetic menurut Klasifikasi
Amit Jain (Choudry, 2016)

Gambar 2.12 Komplikasi Kaki Diabetes Menurut Amit Jains

Gambar 2.13 Distribusi Komplikasi Kaki Diabetes Tipe 1

33
Gambar 2.14 Distribusi Komplikasi Kaki Diabetes Tipe 3

5. prevensi
Pengelolaan kaki diabetik dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
pencegahan terjadinya kaki diabetik dan terjadinya ulkus (pencegahan
primer sebelum terjadi perlukaan pada kulit) dan pencegahan agar tidak
terjadi kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder dan
pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang sudah terjadi).
a. Pencegahan Primer
Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetik sangat penting untuk
pencegahan kaki diabetik. Penyuluhan ini harus selalu dilakukan pada
setiap kesempatan pertemuan dengan penyandang DM, dan harus
diingatkan kembali tanpa bosan. Khusus untuk dokter, sempatkan selalu
melihat dan memeriksa kaki penyandang DM sambil mengingatkan
kembali mengenai cara pencegahan dan cara perawatan kaki yang baik.
Pengelolaan kaki diabetik terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya
tukak. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai dengan tingkat
besarnya risiko tersebut. Peran ahli rehabilitasi medis terutama dari segi
ortotik sangat besar pada pencegahan terjadinya ulkus. Dengan

34
memberikan alas kaki yang baik, berbagai hal terkait terjadinya ulkus
karena faktor mekanik akan dapat dicegah (Waspadji, 2009).
Perawatan Infeksi kaki diabetik terhitung sampai seperempat dari seluruh
penderita diabetes di Eropa dan Amerika Serikat menjadikannya satu
alasan paling umum untuk masuk rumah sakit terkait DM. Dalam jangka
panjang, biaya yang lebih tinggi sebagai tarif kekambuhan hingga 70% di
pusat-pusat keunggulan, sehingga intervensi berulang dan progresif yang
cacat (Mendes, JJ dan Neves, J, 2012).
b. Pencegahan Sekunder
- Pengelolaan Holistik Ulkus/Gangren Diabetik sangat diperlukan.
- Kontrol metabolik yang meliputi perbaikan keadaan umum pasien,
menjaga konsentrasi gula darah serta perbaikan nutrisi
- Kontrol vaskular baik non-invasif maupun yang invasif dan
semiinvasif meliputi pemeriksaan ankle brachial index,ankle pressure, toe
pressure, dan pemeriksaan ekhodopler dan kemudian pemeriksaan
arteriografi.
- Terapi farmakologi, yaitu pemberian obat yang bermanfaat untuk
pembulu darah kaki penyandang DM (Waspadji, 2009).

Prognosis
Prognosis kaki diabetik bergantung pada berbagai faktor yang
terlibat dalam patofisiologi, komplikasi dan penyakit yang meyertai.
Penatalaksanaan holistic harus ditekankan untuk menurunkan mortalitas
dan morbiditas kaki diabetik (Ismiarto, 2011).

Daftar pustaka

Adhiarta. (2011). Penatalaksanaan Kaki Diabetik. Artikel dalam Forum


Diabetes Nasional V. Diterbitkan oleh Pusat Informasi Ilmiah Departemen
Ilmu Penyakit Dalam. Bandung : FK UNPAD.

35
Armstrong D.G and Lavery L.A. 2008. Diabetic Foot Ulcer : Prevention,
diagnosis and classification. Am Fam Physician. 31 : 1679-1685.

Bare BG., Smeltzer SC. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC. Hal : 45-47

Boulton, A.J., Meneses, P., & Ennis, W.J., 1999. Diabetic Foot Ulcers: A
Framework for Prevention and Care. Wound Rep Reg 7: 716

Boulton, A.J.M., Armstrong, D.G., Albert, S.F., et al., 2008.


Comprehensive foot examination and risk assessment: A report of the task
force of the foot care interest group of the American Diabetes Association,
with endorsement by the American Association of Clinical
Endocrinologists. Diab care. 31(8): 167985.

Choudry, Ruth., 2016, Evaluations and Managements of Diabetic Foot


Complications using Amit Jains Classification-an explorating of use, The
Diabetic Foot Journal, 2 (1).

ClaytonW, Easly TA. Review of the pathophysiology, classification, and


treatment of foot ulcers in diabetic patients. Clinical Diabetes. 2009: 27(2).
52-7

Frykberg, R.G., Zgonis, T., Armstrong, D.G., et al., 2006. Diabetic Foot
Disorders: AD.G., et al., 2006. Diabetic Foot Disorders: A Clinical Practice
Guideline.

Ismiarto YD., 2011. Aspek Penanggulangan Luka Diabetes. Naskah


Lengkap Forum Diabetes V. Bandung:2011.

Lipsky et al., 2004. Diagnosis and Treatment of Diabetic Foot Infections.


39: 894

36
Mendes J.J. and Neves J., 2012, Diabetic Foot Infections: Current
Diagnosis and Treatment, The Journal of Diabetic Foot Complications, 4
(2), 2645.

Misnadiarly. (2006). Diabetes Mellitus:Gangren,Ulcer,Infeksi. Jakarta:


Pustaka Populer Obor.

Rina, R., 2015. Faktor-Faktor Resiko Kejadian kaki Diabetik pada


Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Tesis. Program Studi Magister
Epidemiologi. Universitas Diponegoro

Smeltzer et al, 2008. Buku Ajar Keperwata Medikal Bedah. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC

Tambunan, M. 2006. Perawatan Kaki Diabetes. Jakarta: FK UI.

Tambunan, Monalisa & Gultom, Yunizar . 2009. Penatalaksaan Diabetes


Melitus Terpadu. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Kedokteran.

Turns, Martin. 2011. The Diabetic foot : an overview of assessment and


Complication. British Journal of Nursing,20(15), S19-25.

Waspadji, Sarwono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 3, Edisi 4.


Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Waspadji, S. (2009) Metabolik endokrin: Komplikasi


Kronik Diabetes. Dalam : Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, K,M., Setiati, S. (edisi. V) Buku Ajar Ilmu Peyakit
Dalam). Jakarta: Interna Publising 1922-1929.

37
38

Anda mungkin juga menyukai