Referat Kaki Diabetes
Referat Kaki Diabetes
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Meningkatnya prevalensi diabetes di dunia menyebabkan
peningkatan kasus amputasi kaki karena komplikasi diabetes. Studi
epidemiologi melaporkan lebih dari satu juta amputasi dilakukan pada
penyandang diabetes setiap tahunnya. Ini berarti setiap 30 detik ada
kasus amputasi karena diabetes di seluruh dunia. Dari semua amputasi
tungkai bawah, 40-70% berkaitan dengan diabetes. Pada banyak studi,
insiden amputasi tungkai bawah diperkirakan 5-25/100.000
orang/tahun. Sedangkan di antara penderita diabetes, jumlah diabetes
yang diamputasi sebanyak 6-8/1000 orang. Mayoritas amputasi ini
didahului ulkus kaki (Tambunan dan Gultom, 2009).
Di RSUPN dr. Cipto Mangunkusuma, masalah kaki diabetes masih
merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan menyandang
diabetes melitus selalu mengikuti kaki diabetes. Angka kematian dan
angka amputasi masih tinggi, masing - masing sebesar 16% dan 25%
(data RSUPN dr. Cipto Mangunkusuma tahun 2003). Nasib para
penyandang diabetes melitus pasca amputansi pun masih sangat
buruk. Sebanyak 14,3% akan
meninggal dalam setahun pasca amputasi, dan sebanyak 37% akan
meninggal 3 tahun pasca amputasi (Waspadji, 2006).
Etiologi
Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati
dan infeksi. Neuropati menyebabkan gangguan sensorik yang
menghilang atau menurunkan sensasi nyeri kaki, sehingga ulkus dapat
terjadi tanpa terasa. Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot tungkai
sehingga mengubah titik tumpu yang menyebabkan ulserasi kaki.
Angiopati akan mengganggu aliran darah ke kaki; penderita dapat
merasa nyeri tungkai sesudah berjalan dalam jarak tertentu. Infeksi
sering merupakan komplikasi akibat berkurangnya darah atau
neuropati. Ulkus diabetik bias menjadi gangrene kaki diabetik (Desalu et
al, 2011).
Penyebab gangrene pada penderita DM adalah bakteri anaerob,
yang tersering Clostridium. Bakteri ini akan menghasilkan gas, yang
disebut gas gangrene (Desalu et al, 2011)
.
2.3 Klasifikasi Kaki Diabetes
inflammatory response
hypotension, azotemia
2 = Present
2.4 Faktor Resiko
Faktor risiko terjadi ulkus diabetika yang menjadi gambaran dari
kaki diabetes pada penderita diabetes mellitus terdiri atas faktor-faktor
risiko yang tidak dapat diubah dan faktor-faktor risiko yang dapat diubah
(Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
A. Faktor Yang Tidak Bisa Diubah
1. Umur
Pada usia tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena
proses aging terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin
sehingga kemampuan fungsi tubuh terhadap pengendalian
glukosa darah yang tinggi kurang optimal . proses aging
menyebabkan penurunan sekresi atau resistensi insulin
sehingga terjadi makroangiopati, yang akan mempengaruhi
penurunan sirkulasi darah salah satunya pembuluh darah
besar atau sedang di tungkai yang lebih mudah terjadi ulkus
kaki diabetes (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
2. Lama Menderita Diabetes Mellitus 10 tahun.
Ulkus kaki diabetes terutama terjadi pada penderita diabetes
mellitus yang telah menderita 10 tahun atau lebih, apabila
kadar glukosa darah tidak terkendali, karena akan muncul
komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga
mengalami makroangiopati dan mikroangiopati yang akan
terjadi vaskulopati dan neuropati yang mengakibatkan
menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan / luka pada
kaki penderita diabetes mellitus yang sering tidak dirasakan
karena terjadinya gangguan neurophati perifer (Tambunan,
2006; Waspadji, 2006).
B. Faktor-faktor risiko yang dapat diubah :
1. Neurophati (sensorik, motorik, perifer).
Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi
gangguan mikro sirkulasi, berkurangnya aliran darah dan
hantaran oksigen pada serabut saraf yang mengakibatkan
degenerasi pada serabut syaraf yang lebih lanjut akan terjadi
neuropati. Syaraf yang rusak tidak dapat mengirimkan sinyal
ke otak dengan baik, sehingga penderita dapat kehilangan
indra perasa selain itu juga kelenjar keringat menjadi
berkurang, kulit kering dan mudah robek. Neuropati perifer
berupa hilangnya sensasi rasa yang berisiko tinggi menjadi
penyebab terjadinya lesi yang kemudian berkembang
menjadi ulkus kaki diabetes (Tambunan, 2006; Waspadji,
2006).
2. Obesitas.
Pada obesitas dengan index massa tubuh 23 kg/m2
(wanita) dan IMT (index massa tubuh) 25 kg/m2 (pria) atau
berat badan ideal yang berlebih akan sering terjadi resistensi
insulin. Apabila kadar insulin melebihi 10 U/ml, keadaan ini
menunjukkan hiperinsulinmia yang dapat menyebabkan
aterosklerosis yang berdampak pada vaskulopati, sehingga
terjadi gangguan sirkulasi darah sedang / besar pada
tungkai yang menyebabkan tungkai akan mudah terjadi
ulkus / ganggren sebagai bentuk dari kaki diabetes
(Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
3. Hipertensi.
Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada penderita diabetes
mellitus karena adanya viskositas darah yang tinggi akan
berakibat menurunnya aliran darah sehingga terjadi
defesiensi vaskuler, selain itu hipertensi yang tekanan darah
lebih dari 130/80 mmHg dapat merusak atau mengakibatkan
lesi pada endotel. Kerusakan pada endotel akan
berpengaruh terhadap makroangiopati melalui proses adhesi
dan agregasi trombosit yang berakibat vaskuler defisiensi
sehingga dapat terjadi hipoksia pada jaringan yang akan
mengakibatkan terjadinya ulkus (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).
4. Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) tidak terkontrol.
Glikosilasi Hemoglobin adalah terikatnya glukosa yang
masuk dalam sirkulasi sistemik dengan protein plasma
termasuk hemoglobin dalam sel darah merah. Apabila
Glikosilasi Hemoglobin (HbA1c) 6,5 % akan menurunkan
kemampuan pengikatan oksigen oleh sel darah merah yang
mengakibatkan hipoksia jaringan yang selanjutnya terjadi
proliferasi pada dinding sel otot polos sub endotel
(Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
5. Kadar Glukosa Darah Tidak Terkontrol.
Pada penderita diabetes mellitus sering dijumpai adanya
peningkatan kadar trigliserida dan kolesterol plasma,
sedangkan konsentrasi HDL (highdensity-lipoprotein)
sebagai pembersih plak biasanya rendah 45( mg/dl). Kadar
trigliserida 150 m g/dl, kolesterol total 200 mg/dl dan HDL
45 mg/dl akan mengakibatkan buruknya sirkulasi ke
sebagian besar jaringan dan menyebabkan hipoksia serta
cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan dan
terjadinya aterosklerosis. Konsekuensi adanya aterosklerosis
adalah penyempitan lumen pembuluh darah yang akan
menyebabkan gangguan sirkulasi jaringan sehingga suplai
darah ke pembuluh darah menurun ditandai dengan hilang
atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis,
tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku
menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan
sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki
atau tungkai (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006)
. 6. Kebiasaan Merokok.
Pada penderita diabetes mellitus yang merokok 12 batang
per hari mempunyai risiko 3x untuk menjadi ulkus kaki
diabetes dibandingkan dengan penderita diabetes mellitus
yang tidak merokok. Kebiasaan merokok akibat dari nikotin
yang terkandung di dalam rokok akan dapat menyebabkan
kerusakan endotel kemudian terjadi penempelan dan
agregasi trombosit yang selanjutnya terjadi kebocoran
sehingga lipoprotein lipase akan memperlambat clearance
lemak darah dan mempermudah timbulnya aterosklerosis.
Aterosklerosis berakibat insufisiensi vaskuler sehingga aliran
darah ke arteri dorsalis pedis, poplitea, dan tibialis juga akan
menurun (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
7. Ketidakpatuhan Diet Diabetes Mellitus.
Kepatuhan diet diabetes mellitus merupakan upaya yang sangat
penting dalam pengendalian kadar glukosa darah, kolesterol, dan
trigliserida mendekati normal sehingga dapat mencegah komplikasi
kronik, seperti ulkus kaki diabetes. Kepatuhan diet penderita diabetes
mellitus mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu mempertahankan
berat badan normal, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik,
menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid
meningkatkan sensitivitas reseptor insulin dan memperbaiki sistem
koagulasi darah (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
8. Kurangnya Aktivitas Fisik.
Aktivitas fisik (olah raga) sangat bermanfaat untuk meningkatkan
sirkulasi darah, menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas
terhadap insulin, sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah.
Dengan kadar glukosa darah terkendali maka akan mencegah
komplikasi kronik diabetes mellitus. Olah raga rutin (lebih 3 kali dalam
seminggu selama 30 menit) akan memperbaiki metabolisme
karbohidrat, berpengaruh positif terhadap metabolisme lipid dan
sumbangan terhadap penurunan berat badan. Aktivitas fisik yang
dilakukan termasuk senam kaki. Senam kaki dapat membantu
memperbaiki sirkualsi darah dan memperkuat otot - otot kecil kaki dan
mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki (deformitas), selain itu dapat
meningkatkan kekuatan otot betis dan otot paha (Gastrocnemeus,
Hamsring, Quadriceps) dan juga mengatasi keterbatasan gerak sendi.
Latihan senam kaki dapat dilakukan dengan posisi berdiri, duduk dan
tidur, dengan cara menggerakkan kaki dan sendi-sendi kaki misalnya
berdiri dengan kedua tumit diangkat, mengangkat kaki dan
menurunkan kaki. Gerakan dapat berupa gerakan menekuk,
meluruskan, mengangkat, memutar keluar atau kedalam dan
mencengkram pada jari jari kaki. Latihan dilakukan sesering mungkin
dan teratur terutama pada saat kaki terasa dingin. (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).
9. Pengobatan Tidak Teratur.
Pengobatan rutin dan pengobatan intensif akan dapat mencegah dan
menghambat timbulnya komplikasi kronik, seperti ulkus diabetika.
Sampai pada saat ini belum ada obat yang dapat dianjurkan secara
tepat untuk memperbaiki vaskularisasi perifer pada penderita Diabetes
12
Mellitus, namun bila dilihat dari penelitian tentang kelainan akibat
arterosklerosis ditemapt lain seperti jantung dan otak, obat seperti
aspirin dan lainnya yang sejenis dapat digunakan pada pasien
Diabetes Mellitus meskipun belum ada bukti yang cukup kuat untuk
menganjurkan penggunaan secara rutin (Waspadji, 2006).
10. Perawatan Kaki Tidak Teratur.
Perawatan kaki penderita diabetes mellitus yang teratur akan
mencegah atau mengurangi terjadinya komplikasi kronik pada kaki.
Acuan dalam perawatan kaki pada penderita diabetes mellitus yaitu
meliputi seperti selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih,
membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air suam-suam
kuku dengan memakai sabun lembut dan mengeringkan dengan
sempurna dan hati-hati terutama diantara jari-jari kaki, memakai krem
kaki yang baik pada kulit yang kering atau tumit yang retak-retak,
supaya kulit tetap mulus, dan jangan menggosok antara jari-jari kaki
(contoh: krem sorbolene), tidak memakai bedak, sebab ini akan
menyebabkan kulit menjadi kering dan retak-retak. menggunting kuku
hanya boleh digunakan untuk memotong kuku kaki secara lurus dan
kemudian mengikir agar licin. Memotong kuku lebih mudah dilakukan
sesudah mandi, sewaktu kuku lembut, kuku kaki yang menusuk daging
dan kalus, hendaknya diobati oleh podiatrist. Jangan menggunakan
pisau cukur atau pisau biasa, yang bias tergelincir; dan ini dapat
menyebabkan luka pada kaki, jangan menggunakan penutup
kornus/corns. Kornus-kornus ini seharusnya diobati hanya oleh
podiatrist, memeriksa kaki dan celah kaki setiap hari apakah terdapat
kalus, bula, luka dan lecet dan menghindari penggunaan air panas
atau bantal panas (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
2.5 Patogenesis
Terjadinya kaki diabetik diawali dengan adanya hiperglikemi yang
menyebabkan gangguan saraf dan gangguan aliran darah. Perubahan ini
menyebabkan perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki. Keretanan terhadap
infeksi meluas ke jaringan sekitar. Faktor aliran darah yang kurang membuat ulkus
sulit sembuh. Jika sudah terjadi ulkus, infeksi akan mudah sekali terjadi dan meluas
ke jaringan yang lebih dalam sampai ke tulang. Di bawah adalah etiologi dari kaki
13
diabetik (Adhiarta, 2011; Boulton et al, 1999; Smeltzer et al, 2008; Boulton et al,
2008; Turns, 2011).
1) Neuropati diabetik
Neuropati diabetik adalah komplikasi kronis yang paling sering ditemukan
pada pasien diabetes melitus. Neuropati diabetik adalah gangguan
metabolisme saraf sebagai akibat dari hiperglikemia kronis (Smeltzer et al,
2008).
Angka kejadian neuropati ini meningkat bersamaan dengan lamanya
menderita penyakit diabetes melitus dan bertambahnya usia penderita. Ada
tiga tipe neuropati yaitu neuropati sensorik, neuropati motorik dan neuropati
otonom. Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah kerusakan saraf
sensoris pertama kali mengenai serabut akson yang paling panjang, yang
menyebabkan distribusi stocking dan gloves. Kerusakan pada serabut saraf
tipe A akan menyebabkan kelainan propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan,
tekanan, vibrasi dan persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan timbul
gejala seperti kejang dan kelemahan otot kaki. Serabut klinis akan timbul
gejala seperti kejang dan kelemahan otot kaki. Serabut saraf tipe C berperan
dalam analisis sensasi nyeri dan suhu. Kerusakan pada saraf ini akan
menyebabkan kehilangan sensasi protektif. Ambang nyeri akan meningkat
dan menyebabkan trauma berulang pada kaki (Singh et al, 2005).
2) Neuropati motorik terjadi karena dimyelinisasi serabut saraf dan kerusakan
motor end plate. Serabut saraf motorik bagian distal yang paling sering
terkena dan menimbulkan atropi dan otot-otot intrinsik kaki. Atropi dari otot
intragessus menyebabkan kolaps dari arcus kaki. Metatarsal-phalangeal joint
kehilangan stabilitas saat melangkah. Hal ini menyebabkan gangguan
distribusi tekanan kaki saat melangkah dan dapat menyebabkan kallus pada
bagian-bagian kaki dengan tekanan terbesar. Jaringan di bawah kallus akan
mengalami iskemia dan nekrosis yang selanjutnya akan menyebabkan ulkus.
Neuropati motorik menyebabkan kelainan anantomi kaki berupa claw toe,
hammer toe, dan lesi pada nervus peroneus lateral yang menyebabkan foot
drop. Neuropati motorik ini dapat diukur dengan pressure mat atau platform
untuk mengukur tekanan pada plantar kaki (singh et al, 2005).
3) Kelainan vaskuler
Penyakit arteri perifer (PAP) adalah salah satu komplikasi makrovaskular dari
diabetes melitus. Penyakit arteri perifer ini disebabkan karena dinding arteri
banyak menumpuk plaque yang terdiri dari deposit platelet, sel-sel otot polos,
14
lemak, kolesterol dan kalsium. PAP pada penderita diabetes berbeda dari
yang bukan diabetes melitus. PAP pada pasien diabetes melitus terjadi lebih
dini dan cepat mengalami perburukan. Pembuluh darah yang sering terkena
adalah arteri tibialis dan arteri peroneus serta percabangannya. Resiko untuk
terjadinya kelainan vaskuler pada penderita diabetes adalah usia, lama
menderita diabetes, genetik, merokok, hipertensi, dislipidemia, hiperglikemia,
obesitas (Adhiarta, 2011; Turns, 2011).
4) Infeksi
Infeksi dapat dibagi menjadi tiga yaitu superfisial dan lokal, selulitis dan
osteomyelitis. Infeksi akut pada penderita yang belum mendapatkan antibiotik
biasanya monomikrobial sedangkan pasien dengan ulkus kronis, gangrene
dan osteomyelitis bersifat polimikrobial. Kuman yang paling sering dijumpai
pada infeksi ringan adalah staphylococcus aureus dan streptococcal serta
isolation of methicillin-resstant staphylococcus aureus (MRSA) (Turns, 2011;
Adhiarta, 2011).
2.6 Patofisiologi
Kaki diabetik terjadi diawali dengan adanya hiperglikemia yang menyebabkan
gangguan saraf dan gangguan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan perubahan
distribusi tekanan pada telapak kaki, kerentanan terhadap infeksi meluas sampai ke
jaringan sekitarnya. Faktor aliran darah yang kurang membuat luka sulit untuk
sembuh dan jika terjadi ulkus, infeksi akan mudah sekali terjadi dan meluas ke
jaringan yang lebih dalam bahkan sampai ke tulang (Clayton, 2009).
15
Gambar 2.7 Patofisiologi Kaki Diabetes
1. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah komplikasi kronis yang paling sering ditemukan
a. Neuropati sensorik
Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah kerusakan
saraf sensoris pertama kali mengenai serabut akson yang paling
panjang, yang menyebabkan distribusi stocking dan gloves.
Kerusakan pada serabut saraf tipe A akan menyebabkan kelainan
propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan, tekanan, vibrasi dan
persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan timbul gejala
seperti kejang dan kelemahan otot kaki. Serabut saraf tipe C
berperan dalam analisis sensari nyeri dan suhu. Kerusakan pada
16
saraf ini akan menyebabkan kehilangan sensasi protektif. Ambang
nyeri akan meningkat dan menyebabkan trauma berulang pada
kaki. Neuropati perifer dapat dideteksi dengan hila ngnya sensasi
terhadap 10 g nylon monofilament pada 2-3 tempat pada kaki.
Selain dengan 10 g nylon monofilament, dapat juga menggunakan
biothesiometer dan Tunning Fork untuk mengukur getaran.
b. Neuropati motorik
Neuropati motorik terjadi karena demyelinisasi serabut saraf dan
kerusakan motor end plate. Serabut saraf motorik bagian distal
yang paling sering terkena dan menimbulkan atropi dan otot-otot
intrinsik kaki. Atropi dari otot intraosseus menyebabkan kolaps dari
arcus kaki. Metatarsal-phalangeal joint kehilangan stabilitas saat
melangkah. Hal ini menyebabkan gangguan distribusi tekanan kaki
saat melangkah dan dapat menyebabkan kallus pada bagian-
bagian kaki dengan tekanan terbesar. Jaringan di bawah kalus
akan mengalami iskemia dan nekrosis yang selanjutnya akan
menyebabkan ulkus. Neuropati motorik menyebabkan kelainan
anatomi kaki berupa claw toe, hammer toe, dan lesi pada nervus
peroneus lateral yang menyebabkan foot drop. Neuropati motorik
ini dapat diukur dengan menggunakan pressure mat atau platform
untuk mengukur tekanan pada plantar kaki
c. Neuropati otonom
Neuropati otonom menyebabkan keringat berkurang sehingga kaki
menjadi kering. Kaki yang kering sangat berisiko untuk pecah dan
terbentuk fisura pada kalus. Neuropati otonom juga menyebabkan
gangguan pada saraf-saraf yang mengontrol distribusi arteri- vena
sehingga menimbulkan arteriolar-venular shunting. Hal ini
menyebabkan distribusi darah ke kaki menurun sehingga terjadi
iskemi pada kaki, keadaan ini mudah dikenali dengan terlihatnya
distensi vena-vena pada kaki (Clayton, 2009)
2. Kelainan Vaskuler
Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah salah satu komplikasi
makrovaskular dari diabetes melitus. Penyakit arteri perifer ini
disebabkan karena dinding arteri banyak menumpuk plaque yang
17
terdiri dari deposit platelet, sel-sel otot polos, lemak, kolesterol dan
kalsium. PAP pada penderita diabetes berbeda dari yang bukan
diabetes melitus. PAP pada pasien diabetes melitus terjadi lebih dini
dan cepat mengalami perburukan. Pembuluh darah yang sering
terkena adalah arteri tibialis dan arteri peroneus serta
percabangannya. Risiko untuk terjadinya kelainan vaskuler pada
penderita diabetes adalah usia, lama menderita diabetes, genetik,
merokok, hipertensi, dislipidemia, hiperglikemia, obesitas. Pasien
diabetes melitus yang mengalami penyempitan pembuluh darah
biasanya ada gejala, tetapi kadang juga tanpa gejala, sebagian lain
dengan gejala iskemik, yaitu :
a. Intermitten Caudication
Nyeri dan kram pada betis yang timbul saat berjalan dan hilang
saat berhenti berjalan, tanpa harus duduk. Gejala ini muncul jika
Ankle-Brachial Index < 0,75.
18
Gambar 2.8 Kulit terlihat Licin dan Berkilat
(Clayton, 2009)
infeksi jamur.
3. Infeksi
19
ulkus kronis, biasanya dijumpai juga bakteri batang gram negative
(Enterobactericeae, enterococcus, dan pseudomonas aeruginosa )
(Clayton, 2009).
1) Lama diabetes
2) Managemen diabetes dan kepatuhan terhadap diet
3) Olahraga dan obat-obatan
4) Evaluasi dari jantung, ginjal dan mata
5) Alergi
6) Pola hidup
7) Medikasi terakhir
8) Kebiasaan merokok
9) Minum alkohol
Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas
kaki, pernah terekspos dengan zat kimia, adanya kalus dan deformitas,
gejala neuropati dan gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian
pernah adanya luka dan ulkus meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan
kedalaman, penampakan ulkus, temperatur dan bau.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi meliputi kulit dan otot
Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti warna, turgor kulit,
pecah-pecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; adanya
kalus atau bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi
pada otot seperti sikap dan postur dari tungkai kaki; deformitas
pada kaki membentuk claw toe atau charcot joint; keterbatasan
gerak sendi; tendon; cara berjalan; dan kekuatan kaki.
20
2) Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen
ditambah dengan tunning fork 128-Hz, pinprick sensation, reflek
kaki untuk mengukur getaran, tekanan dan sensasi.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status
klinis pasien, yaitu: pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darah
puasa atau sewaktu, glycohemoglobin (HbA1c), Complete Blood
Count (CBC), urinalisis, dan lain- lain.
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang: X-ray, EMG (Electromyographi) dan
pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah kaki diabetik
menjadi infeksi dan menentukan kuman penyebabnya.
22
23
2.8 Manifestasi Klinis
poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal dan kulit kering
(Misnadiarly, 2006).
walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh
a. Pain (nyeri)
b. Paleness (kepucatan)
c. Paresthesia (kesemutan)
e. Paralysis (lumpuh).
Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola dari
fontaine:
24
1. Manajemen
(stroke, penyakit jantung koroner), gangguan fungsi ginjal, dan sebagainya harus
dikendalikan.
1) Debridemen
nekrotik pada luka. Luka tidak akan sembuh apabila masih didapatkan
a. Debridemen mekanik
jaringan nekrotik.
b. Debridemen enzimatik
c. Debridemen autolitik
Proses ini melibatkan makrofag dan enzim proteolitik endogen yang secara
kondisi lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh dan bertindak sebagai
25
agent yang melisiskan jaringan nekrotik serta memacu proses granulasi.
d. Debridemen bedah
penyembuhan,
mudah mengalami luka atau luka menjadi sulit sembuh akibat tekanan beban
Salah satu hal yang sangat penting namun sampai kini tidak
mengurangi kecepatan saat berjalan kaki, istirahat (bed rest), kursi roda, alas
kaki, removable cast walker, total contact cast, walker, sepatu boot
ambulatory.
26
Total contact cast merupakan metode off loading yang paling efektif
TCC dirancang mengikuti bentuk kaki dan tungkai, dan dirancang agar
tekanan plantar kaki terdistribusi secara merata. Telapak kaki bagian tengah
3. Perawatan Luka
atau menjaga agar luka dalam keadaan lembab. Luka akan menjadi cepat
sembuh apabila eksudat dapat dikontrol, menjaga agar luka dalam keadaan
lembab, luka tidak lengket dengan bahan kompres, terhindar dari infeksi dan
trauma dan risiko operasi. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan
dalam memilih dressing yang akan digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau
tidaknya eksudat, ada tidaknya infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada
beberapa jenis dressing yang sering dipakai dalam perawatan luka, seperti:
4. Pengendalian Infeksi
27
Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil kultur kuman. Namun sebelum
hasil kultur dan sensitifitas kuman tersedia antibiotika harus segera diberikan
secara empiris pada kaki diabetik yang terinfeksi. Pada ulkus diabetika ringan
atau sedang antibiotika yang diberikan difokuskan pada patogen gram positif.
coccus, gram negatif berbentuk batang, dan bakteri anaerob) antibiotika harus
4. Revaskular
28
Ulkus atau gangren kaki tidak akan sembuh atau bahkan kemudian
5. Tindakan Bedah
29
nyeri akibat deformitas, seperti pada kelainan spur tulang, hammer
Pada keadaan ini jaringan tulang mati dan jaringan granulasi yang
30
Pada ulkus terinfeksi superfisial tindakan debridement dilakukan
31
untuk mengambil sampel kultur kuman. Tindakan
amputasi dilakukan bila dijumpai adanya gas gangren,
jaringan terinfeksi, untuk menghentikan perluasan infeksi,
mengangkat bagian kaki yang mengalami ulkus berulang.
c. Ulkus resisten
d. Osteomielitis
32
h. Luka terbuka yang terinfeksi pada ulkus diabetika akibat
neuropati (Rina, 2015).
Komplikasi
Berikut adalah komplikasi kaki diabetic menurut Klasifikasi
Amit Jain (Choudry, 2016)
33
Gambar 2.14 Distribusi Komplikasi Kaki Diabetes Tipe 3
5. prevensi
Pengelolaan kaki diabetik dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
pencegahan terjadinya kaki diabetik dan terjadinya ulkus (pencegahan
primer sebelum terjadi perlukaan pada kulit) dan pencegahan agar tidak
terjadi kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder dan
pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang sudah terjadi).
a. Pencegahan Primer
Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetik sangat penting untuk
pencegahan kaki diabetik. Penyuluhan ini harus selalu dilakukan pada
setiap kesempatan pertemuan dengan penyandang DM, dan harus
diingatkan kembali tanpa bosan. Khusus untuk dokter, sempatkan selalu
melihat dan memeriksa kaki penyandang DM sambil mengingatkan
kembali mengenai cara pencegahan dan cara perawatan kaki yang baik.
Pengelolaan kaki diabetik terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya
tukak. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai dengan tingkat
besarnya risiko tersebut. Peran ahli rehabilitasi medis terutama dari segi
ortotik sangat besar pada pencegahan terjadinya ulkus. Dengan
34
memberikan alas kaki yang baik, berbagai hal terkait terjadinya ulkus
karena faktor mekanik akan dapat dicegah (Waspadji, 2009).
Perawatan Infeksi kaki diabetik terhitung sampai seperempat dari seluruh
penderita diabetes di Eropa dan Amerika Serikat menjadikannya satu
alasan paling umum untuk masuk rumah sakit terkait DM. Dalam jangka
panjang, biaya yang lebih tinggi sebagai tarif kekambuhan hingga 70% di
pusat-pusat keunggulan, sehingga intervensi berulang dan progresif yang
cacat (Mendes, JJ dan Neves, J, 2012).
b. Pencegahan Sekunder
- Pengelolaan Holistik Ulkus/Gangren Diabetik sangat diperlukan.
- Kontrol metabolik yang meliputi perbaikan keadaan umum pasien,
menjaga konsentrasi gula darah serta perbaikan nutrisi
- Kontrol vaskular baik non-invasif maupun yang invasif dan
semiinvasif meliputi pemeriksaan ankle brachial index,ankle pressure, toe
pressure, dan pemeriksaan ekhodopler dan kemudian pemeriksaan
arteriografi.
- Terapi farmakologi, yaitu pemberian obat yang bermanfaat untuk
pembulu darah kaki penyandang DM (Waspadji, 2009).
Prognosis
Prognosis kaki diabetik bergantung pada berbagai faktor yang
terlibat dalam patofisiologi, komplikasi dan penyakit yang meyertai.
Penatalaksanaan holistic harus ditekankan untuk menurunkan mortalitas
dan morbiditas kaki diabetik (Ismiarto, 2011).
Daftar pustaka
35
Armstrong D.G and Lavery L.A. 2008. Diabetic Foot Ulcer : Prevention,
diagnosis and classification. Am Fam Physician. 31 : 1679-1685.
Bare BG., Smeltzer SC. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC. Hal : 45-47
Boulton, A.J., Meneses, P., & Ennis, W.J., 1999. Diabetic Foot Ulcers: A
Framework for Prevention and Care. Wound Rep Reg 7: 716
Frykberg, R.G., Zgonis, T., Armstrong, D.G., et al., 2006. Diabetic Foot
Disorders: AD.G., et al., 2006. Diabetic Foot Disorders: A Clinical Practice
Guideline.
36
Mendes J.J. and Neves J., 2012, Diabetic Foot Infections: Current
Diagnosis and Treatment, The Journal of Diabetic Foot Complications, 4
(2), 2645.
Smeltzer et al, 2008. Buku Ajar Keperwata Medikal Bedah. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC
37
38