Anda di halaman 1dari 10

Yolla Cahya Apischa

240210150019

VI. PEMBAHASAN

Umbi terbagi menjadi beberapa kelompok menurut asal terjadinya yaitu


umbi akar, umbi batang, dan umbi lapis. Umbi akar contohnya adalah tanaman
ketela pohon atau singkong, wortel, uwi, ubi jalar. Umbi batang contohnya adalah
tanaman talas, suweg, kentang. Sedangakan contoh umbi lapis adalah bawang
merah dan bawang bombay. Umbi yang penting di Indonesia adalah ubi kayu dan
ubi jalar. Ubi kayu dan ubi jalar biasanya dikonsumsi secara segar oleh masyarakat
sebagai sumber karbohidrat pengganti beras, tetapi dalam jumlah yang kecil.
Sebagian besar ubi kayu diolah menjadi tepung tapioka untuk industri pangan, juga
diolah menjadi gaplek untuk industri pakan ternak, bahkan ekspor. Ubi jalar
biasanya diolah menjadi tepung untuk industri pangan.
Ubi kayu, jika dibiarkan pada batang tanamannnya dan tetap berada dalam
tanah, dapat bertahan berbulan-bulan dengan mutu yang tetap baik. Namun, ketika
umbi sudah dipanen, akan terjadi penurunan mutu setelah 2 sampai 3 hari dipanen.
Setelah itu akan terjadi penurunan mutu yang cukup cepat sehingga nilainya akan
banyak berkurang baik untuk konsumsi langsung maupun untuk aplikasi industri.
Penurunan mutu tersebut disebabkan karena buah setelah dipetik masih melakukan
proses metabolisme dan aktivitas respirasi. Di berbagai negara, berbagai metoda
penanganan dan pengolahan ubi kayu dilakukan, bukan hanya untuk meningkatkan
umur simpan dan kegunaannya, tapi juga untuk meningkatkan keamanannya karena
ubi kayu berpotensi mengandung asam sianida yang dapat menimbulkan keracunan
bahkan kematian.
Penanganan pasca panen (postharvest) sering disebut juga sebagai
pengolahan primer (primary processing) merupakan semua perlakuan dari mulai
panen sampai komoditas dapat dikonsumsi segar atau untuk persiapan
pengolahan berikutnya. Umumnya perlakuan tersebut tidak mengubah bentuk
penampilan atau penampakan. Begitu juga dengan penyimpanan umbi yang dapat
mempengaruhi umur simpan umbi dengan prerubahan fisik yang terjadi oleh karena
itu untuk mengetahui perubahan organoleptik yang terjadi maka di lakukan
praktikum mengenai penanganan dan penyimpanan umbi dengan sampel yang
digunakan yaitu singkong dan ubi jalar selama 14 hari.
Yolla Cahya Apischa
240210150019

Praktikum diawali dengan menyiapkan sampel umbi kemudian sampel


umbi diamati berat dengan cara ditimbang, warna, kekerasan dan pertunasanya.
Setelah itu umbi disimpan pada suhu ruang selama dua minggu dan minggu diamati
beratnya dengan cara ditimbang, warna, kekerasan dan pertunasanya. Berikut
merupakan diagram alir dari prosedur penanganan dan penyimpanan umbi:

6.1 Warna
Berdasarkan hasil pengamatan, singkong dan ubi jalar mengalami
perubahan warna baik itu perubahan warna pada daging maupun kulit umbi. Pada
hari ke-0 warna daging ubi jalar tampak sangat orange begitu juga dengan warna
kulitnya yang sama-sama orange namun pada hari ke-7 warna daging sudah
memudar sehingga tampak warna orange pudar dan warna kulit semakin coklat.
Pada hari ke-14 warna daging bahkan menjadi putih kering dan warna kulit tampak
coklat kering. Perubahan warna pada umbi ini dikarenakan terurainya pigmen
warna dalam tubuh umbi tersebut.
Kerusakan yang menyebabkan perubahan warna pada daging ubi segar
menjadi coklat, biasanya disebut kepoyoan. Proses kepoyoan pada ubi dapat
diakibatkan oleh reaksi pencoklatan secara enzimatis yang menyebabkan rasa ubi
Yolla Cahya Apischa
240210150019

menjadi pahit dan teksturnya mengeras. Begitu pula dengan singkong, pada hari ke-
0 warna dagingnya putih segar dan warna kulitnya sangat keunguan. Selama proses
penyimpanan, semakin lama sampel disimpan maka warna yang tampak semakin
memudar hal tersebut ditandai pada pengamatan hari ke-7 dimana warna daging
menjadi putih kering dan warna kulit menjadi coklat sedangkan pada hari ke-14
warna daging putih dan semakin mengering begitupula warna kulitnya semakin
coklat. Sama halnya dengan ubi jalar, dimana pada singkong pun ada kemungkinan
terjadinya proses kepoyoan dan penguraian warna pigmen sehingga mempengaruhi
warna dan tekstur dari sampel. Penanganan singkong setelah panen akan
berpengaruh terhadap kualitas singkong yang dihasilkan. Singkong akan berubah
warna menjadi coklat kebiruan bila tidak segera diolah akibat adanya aktifitas
enzim poliphenolase yang terdapat dalam umbi. Reaksi akan dipercepat bila
berkontaminasi dengan gas O2 dan umbi dalam keadaan terluka akibat pemotongan
(Wargiono, 1979).
Kerusakan lain dapat berupa kulit terkelupas, memar dan terpotong secara
mikrobiologis ditandai pertumbuhan kapang Secara kimia disertai dengan
perubahan warna kebiru-biruan, coklat serta kehitaman oleh enzim ataupun bukan.
Hal ini disebabkan karena kinerja daripada organisme yang ada pada singkong
tersebut serta bereaksinya asam sianida pada singkong tersebut yang lebih banyak.
Selain itu penyebab dari penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak lain adalah
karena kontak langsung dengan udara sehingga proses oksidasi cepat sekali terjadi.

6.2 Berat
Penyimpanan umbi dapat menyebabkan penurunan berat dan kualitas.
Penyimpanan yang baik harus menjaga umbi-umbian dari kondisi yang dapat
menyebabkan kerusakan seperti kelembaban tinggi, pembusukan oleh patogen,
serangan oleh serangga dan hewan, serta tumbuhnya tunas. Hal tersebut terbukti,
setiap sampel mengalami penyusutan bobot dari hari ke hari. Pada ubi jalar
mengalami susut bobot yang terus menerus dimana pada hari ke-0 beratnya 225
gram, kemudian pada hari ke-7 menjadi 169 gram dan pada hari ke-14 menjadi 136
gram. Begitu juga dengan singkong, pada hari ke-0 singkong memiliki bobot 223
gram, kemudian pada hari ke-7 beratnya menjadi 160 gram dan pada hari ke-14
Yolla Cahya Apischa
240210150019

menjadi 140,149 gram. Berdasarkan literatur kehilangan bukan saja diakibatkan


oleh terjadinya penguapan air tetapi juga oleh hilangnya gas CO2 hasil respirasi.
Kehilangan air selama penyimpanan tidak hanya menurunkan berat, tetapi juga
menurunkan mutu dan menimbulkan kerusakan (Muchtadi, 1992).
Varietas, umur umbi, suhu penyimpanan, dan kelembaban relatif dapat
mempengaruhi hilangnya berat umbi selama penyimpanan. Terjadinya penurunan
berat setelah penyimpanan disebabkan karena adanya pembusukan, respirasi, dan
pertunasan (Goldsworthy dan Fisher, 1992). Menurut Pratiwi (2008), respirasi
adalah proses biologis dimana oksigen dari udara diserap untuk proses pembakaran
yang menghasilkan energi dan diikuti pengeluaran sisa pembakaran dalam bentuk
CO2 dan air. Selain respirasi kehilangan berat selama penyimpanan juga
disebabkan karena proses transpirasi. Transpirasi adalah proses kehilangan air
dalam bentuk uap air melalui proses penguapan yang berpengaruh langsung pada
kehilangan bobot.
Menurut Harianingsih (2010), transpirasi yang berlebihan akan
menyebabkan produk mengalami pengurangan berat, penurunan daya (karena
layu), nilai tekstur, dan nilai gizi. Penurunan bobot pada penyimpanan umbi dapat
disebabkan oleh ketersediaan oksigen, suhu yang tinggi pada media penyimpanan
dan gesekan media lain. Selain itu, penurunan bobot dapat disebabkan oleh
serangan jamur pada umbi yang menyebabkan umbi menjadi keriput dan busuk.
Penyimpanan juga dapat menyebabkan luka pada komoditas. Menurut Pantastico
(1975), produk dianggap tidak layak dipasarkan jika mengalami susut bobot antara
5% - 10%, meskipun demikian, kenaikan susut bobot umbi yang sudah melebihi
10% pada penyimpanan memperlihatkan kondisi fisik buah masih dalam keadaan
baik.
Susut bobot selama penyimpanan merupakan salah satu parameter mutu
yang mencerminkan tingkat kesegaran umbi. Mutu penyimpanan bahan pangan
dapat dikelompokkan ke dalam penyusutan kualitatif dan penyusutan kuantitatif.
Penyusutan kualitatif adalah kerusakan akibat perubahan-perubahan biologi
(mikroba, serangga, tungau, respirasi), perubahan-perubahan fisik (tekanan,
getaran, suhu, kelembaban) serta perubahan-perubahan kimia dan biokimia (reaksi
Yolla Cahya Apischa
240210150019

47 pencoklatan, ketengikan, penurunan nilai gizi dan aspek keamanan terhadap


manusia).
Penyusutan kualitatif adalah kehilangan jumlah atau bobot hasil pertanian,
akibat penanganan pasca panen yang tidak memadai, dan juga karena adanya
gangguan biologis (proses respirasi, serangan serangga dan tikus). Bahan pangan
yang telah mengalami penyusutan kualitatif artinya bahan tersebut mengalami
penurunan mutu sehingga menjadi tidak layak lagi untuk dikonsumsi oleh manusia
(Syarief dan Halid 1992). Tingkat kesegaran buah dipengaruhi oleh susut bobot.
Semakin tinggi susut bobot, maka tingkat kesegarannya semakin berkurang dan
mutunya menjadi menurun.

6.3 Kekerasan
Kekerasan setiap umbi-umbian tentu berbeda-beda terrgantung pada tekstur
masing-masing umbi. Ubi jalar pada hari ke-0 tampak sangat keras namun pada hari
ke-7 menjadi sedikit lunak dan kembali mengeras pada hari ke-14. Begitu juga
singkong semakin hari semakin mengeras. Biasanya kulit juga mempengaruhi
tingkat kekerasan umbi.dimana kulit umbi memiliki tekstur yang paling keras
karena berfungsi untuk melindungi daging umbi. Akan tetapi ada umbi.yang kulit
dan daging umbinya juga sama-sama keras atau sama-sama lunak. Perubahan
tekstur terjadi akibat dari pemecahan protopektin yang tak larut. Perubahan tekstur
juga diakibatkan dari hidrolisis pati atau lemak dan terjadi pada turgor sel. Turgo
sel ini terjadi akibat perubahan tekanan turgor maka komposisi sel berubah.
Persyaratan mutu kekerasan umbi segar tergantung pada kadar air, kadar pati,
pembengkokan (deformasi) umbi, kepoyoan dan ketebalan umbi. Makin lama umbi
disimpan, maka kadar air dan kadar pati akan menurun, sedangkan tingkat
pembengkokan kepoyoan dan keretakan umbi akan meningkat sehingga
berpengaruh pada tekstur dari umbi menjadi tidak sekeras saat pertama dipanen dan
tampak lebih keriput.
Tekstur daging umbi pun berubah dari keras menjadi kering keriput, hal ini
dapat disebabkan oleh perubahan dinding sel, seiring bertambahnya waktu dinding
sel mengalami kerusakan sehingga lama kelamaan umbi akan menjadi lembek
bahkan busuk. Hal ini juga dapat disebabkan karena sampel umbi tersebut masih
Yolla Cahya Apischa
240210150019

mengalami respirasi dan transpirasi meskipun setelah dipanen. Penyimpanan


biasanya meningkatkan jumlah gula-gula sederhana yang memberi rasa manis
(Pantastico, 1986).

6.4 Pertunasan
Pertunasan merupakan tahap fisiologis penting untuk mengaktifkan
aktivitas metabolisme dan mengakhiri fase dorman (Harijono dkk., 2009).
Pertunasan umbi yang sudah terpisah dari tanaman induk didahului dengan
pembentukan kuncup yang baru. Pembelahan sel yang aktif terjadi dalam lapisan
sel meristem tepat di bawah permukan umbi yang pertama-tama menghasilkan
suatu massa sel yang besar yang belum terdiferensiasi. Massa sel ini segera
terorganisir dan suatu ujung tunas terdiferensiasi di dalamnya. Kulit umbi yang
terbentang di atasnya kemudian retak, memperlihatkan pertama-tama massa sel
mengkilat sebagai hasil aktivitas meristem, dan kemudian ujung tunas
terdiferensiasi. Tempat pecahnya kulit tersebut dan terlihatnya sel-sel di bawahnya
disebut tempat pertunasan. Apabila ujung tunas sudah terorganisir secara lengkap,
ia tampak dari luar sebagai kuncup. Selanjutnya memanjang menghasilkan tunas.
Pembentukan kuncup dan pertunasan umbi menunjukkan dominansi proksimal
yang nyata. Setelah sekelompok kuncup yang pertama terbentuk pada ujung
proksimal, pembentukan kuncup berikutnya pada bagian umbi yang lebih distal
dihambat (Goldsworthy dan Fisher, 1992).
Pertunasan yang terjadi pada umbi dapat menyebabkan penurunan mutu
umbi karena terjadi perubahan sifat-sifat fisiologi dan biokimia umbi. Berdasarkan
hasil pengamatan, baik singkong muapun umbi jalar keduanya tidak menampakan
adanya pertunasan baik pada hari ke-0 hingga hari ke-14. Hal tersebut dikarenakan
umi jalar dan singkong bertunas pada waktu 1-5 bulan dan langsung pada pohonya
buka setelah mengalami pemanenan (Wastby, 2002). Oleh Karena itu singkong dan
umbi tidak mengalami penurunan mutu yang diakibatkan oleh pertunasan
melainkan oleh faktor-faktor lain.
Jadi dapat disimpulkan penyimpanan bertujuan untuk memperpanjang daya
simpan dengan cara memperlambat aktivitas fisiologis, menghambat
perkembangan mikroba perusak, dan memperkecil penguapan. Daya simpan
Yolla Cahya Apischa
240210150019

setelah pemanenan tergantung iklim, suhu dan kelembaban, kondisi umbi, kondisi
penyimpanan, dan lama penyimpanan (Asgar dkk, 2010).
Prinsip penyimpan ubi jalar, pengeringan ubi jalar dapat di jemur di bawah
panas matahari, setelah itu ubi jalar dapat disimpan atau dionggokan atau dikemas,
cara lain penyimpanan ubi jalar dengan membiarkan berada di dalam tanah dan
permukaan tanah sedikit dipadatkan agar serangga hama tidak dapat menebus. Ubi
jalar diambil secara bertahap sesuai dengan keperluaan. Sedangkan menyimpan ubi
kayu pada umumnya tidak banyak mengalami kesulitan karena kulitnya cukup
tebal. Jika ingin menyimpan ketela pohon, dapat dilakukan dengan cara seperti
menyimpan ubi jalar yaitu dengan cara tradisional. Ketela pohon dapat disimpan
dalam keadaan utuh dengan batangnya atau ubi dilepaskan dari tandannya dengan
luka sayatan dibuat sekecil mungkin (tidak banyak permukaan yang terbuka).
Standar mutu umbi-umbian sangat diperlukan karena dengan adanya
standar mutu umbi-umbian tersebut baik konsumen dan produsen mempunyai
kepastian terhadap mutu yang diinginkan, sehingga konsumen akan memperoleh
mutu umbi-umbian yang sesuai dengan daya belinya dan produsen akan mendapat
harga sesuai dengan produknya. Keuntungan lain dari adanya standar mutu umbi-
umbian dapat digunakan untuk pembinaan perbaikan mutu ubi jalar tersebut.
Berdasarkan SNI No. 1-4493-1998. Keseragaman warna kulit umbi yaitu
warna merah atau putih atau warna lainnya dan keseragaman warna daging umbi,
seperti putih, kuning, orange dan ungu sesuai dengan varietasnya. Kemudian
penggolongan berat yaitu golongan A mempunyai berat > 200 gram per umbi,
golongan B mempunyai berat 100 gram-200 gram per umbi dan golongan C
mempunyai berat < 100 gram per umbi dan toleransi di atas dan di bawah ukuran
berat masing-masing 5% (biji) maksimum. Maka apabila hasil pengamatan
dibandingkan dengan SNI, ubi jalar yang diamati termasuk kedalam golongan A
yang memiliki berat > 200 gram namun karena mengalmai penyimpanan pada suhu
ruang yang terbuka maka nilai mutunya sudah menurun karen adanya kerusukan-
kerusakna yang diakibatkan berbagai faktor.
Yolla Cahya Apischa
240210150019

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari praktikum penanganan dan penyimpanan umbi
adalah:
1. Berdasarkan hasil pengamatan, ubi jalar dan singkong mengalami perubahan
warna selama proses penyimpanan. Diakibatkan adanya proses kepoyoan,
degradasi pigmen dan adanya aktifitas enzim poliphenolase yang terdapat
dalam umbi.
2. Ubi jalar dan singkong mengalami penyusutan bobot hingga hari ke-14 hal ini
disebabkan oleh perbedaan varietas, umur umbi, suhu penyimpanan,
ketersediaan oksigen, kelembaban relatif, pembusukan, respirasi, pertunasan,
trasnpirasi yang berlebihan, gesekan media lain dan serangan jamur.
3. Ubi jalar dan singkong mengalami pelunakan, lunaknya umbi disebabkan oleh
perubahan dinding sel, seiring bertambahnya waktu dinding sel mengalami
kerusakan sehingga lama kelamaan umbi akan menjadi lembek bahkan busuk.
Hal ini juga dapat disebabkan karena sampel umbi tersebut masih mengalami
respirasi dan transpirasi meskipun setelah dipanen.
4. Berdasarkan hasil pengamatan ubi jalar dna singkong tidak mengalami
pertunasan dikarenakan ubi jalar dan singkong bertunas pada kurun waktu 1-5
bulan dan langsung pada pohonya bukan setelah mengalami pemanenan.
7.2 Saran
Saran dari praktikum kali ini adalah sebaiknya pengamatan dilakukan secara
teliti terutama dalam menimbang sampel buah. Kemudian sebaiknya faktor suhu
diperhatikan dalam penyimpanan umbi-umbian dengan cara pengukuran suhu
ruangan setiap pengamatan karena faktor suhu pun akan mempengaruhi umbi-
umbian yang diamati.
Yolla Cahya Apischa
240210150019

DAFTAR PUSTAKA

Asgar, A., A. Kartasih, A. Supriyadi., H. Trisyani., 2010. Pengaruh Lama


Penyimpanan, Suhu dan Lama Pengeringan Kentang terhadap Kualitas
Kripik Kentang Putih. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 1-4493-1998. Tentang Ubi Jalar.


Jakarta:BSN.

Goldsworthy, P. R dan R. L. Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya.


Diterjemahkan oleh Tohari. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Harianingsih. 2010. Pemanfaatan Limbah Cangkang Kepiting Menjadi Kitosan


sebagai Bahan Pelapis (Coater) pada Buah Stroberi. Tesis. Program
Magister Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Semarang.

Harijono, A., E. T. Sunarharum. 2009. Ekstraksi Polisakarida Bioaktif dari Gadung


dan Gembili dan Potensinya untuk Terapi Diabetes dan Penurunan Kadar
Kolesterol darah. Laporan Hibah Kompetitif Penelitian sesuai Prioritas
Nasional Batch I. LPPM Universitas Brawijaya, Malang.

Muchtadi, D. 1992. Petunjuk Laboratoriun Teknologi Pasca Panen Sayuran dan


Buah-Buahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

Pantastico, E. R. B. 1975. Post Harvest Technology Handling and Utilization of


Tropical and Subtropical Fruits and Vegetables. The AVI Publishing Co,
Westport.

Pantastico, E. R. B. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Penanganan dan Pemanfaatan


Buahbuahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Pratiwi, S. T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Penerbit Erlangga, Yogyakarta.

Syarief, R. dan H. Halid. 1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta.

Wargiono, J. 1979. Ubi Kayu dan Cara Bercocok Tanam. Pusat Penelitian
Tanaman Pangan, Bogor.

Westby, A. 2002. Cassava Utilization, Storage and Small-scle Proessing, in RJ


Hillocks, JM Thresh, AC Belloti (eds.), Cassava-Biology, Production and
Utilization. CAB International, New York.
Yolla Cahya Apischa
240210150019

Anda mungkin juga menyukai