DAFTAR ISI
ENZIM JANTUNG
Kreatinin kinase (CK) 25 - 195 iu/L
Laktat dehidrogenase (ldh) 70 - 250/L
Prealbumin 2-6%
Al bumin 56-75%
Alfal-globulin 2-7%
Alfa2-globulin 4-12%
Beta globulin 8-16%
Gamma globulin 3-12%
IgG 0,01-0,014 g/L
IgA (1-1,4 mg/dl)
0,001-0,003 g/L (0,1-0,3 mg/dl)
IgM 0,0001-0,00012 g/dl ((0,01-0,012 mg/dl)
Amonia 15-47 umol/L
Kreatinin (25-80 ug/dl)
44-168 umol/L (0,5-1,9 mg/dl)
Mielin < 4 ug/1
Tekanan 50-180 mmHg
volume (dewasa) 100-160 ml
Leukosit total < 4/ml
5. Respiratory Parameters
kVCO2 kVCO2
pa C02 = =
VA ( f )(VT ) x (1 VD / VT )
Where (f) = Brathing frequency
VT = Tidal volume
VD/VT = Dead space fraction
k = 0.863
Dead space fraction (vd/vt) . PaCo2 PECO2
where PECO2 = partial pressure =
PaCO2
of carbon dioxide in expired gas
PaCo2
Modified alveolar gas equation : PAO2 FiO2 ( PATM PH 2 O)
RQ
VT
Static compliance (Cst.rs)
( Pplat PEEP )
Resistant to airflow (Rrs) Ppeak Pplat
FLOW
Pulmonary cappilary content (Cc'02) = ([Hgb] x 1.39) + PAO2 x. 0031
Shunt fraction (QS/QT) CC ' O2 CaO2
CC ' O2 CVO 2
6. Respiratory Gas Transport
Oxygen delivery (OO2) = Qt x caO2
Arterial oxygen content (CaO2) = 1.39 x Sao2 x [Hb] + .0031 x PaO2
Mixed venous oxygen content (CVO2) =1.39 x SVO2 x [Hb] + .0031 x PVO2
Arterio-venous oxygen content difference = CaO2 - CVO2
Oxygen consumption (VO2) = QT (CaO2 - CVO2)
CaO 2 CVO 2
Extraction fraction CaO 2
VCO 2
Respiratory quotient (RQ)
VO 2
f. Kebutuhan elektrolit
g. Status hidrasi
Contoh :
Anak usia 1 tahun dengan BB 10 kg datang dengan tanda-tanda dehidrasi sedang
Penatalaksanaan :
Dehidrasi sedang 7,5 - 10 %, diambil rata-rata 8%
Kebutuhan rehidrasi = D = 8% x 10 kg x 1000 cc = 800c
Kebutuhan maintenance = M = 10 kg x 100 cc = 1000/24 jam
Pemberian cairan :
4 jam pertama =D = 400 cc/4 jam
Per infus mikrodrip = 400 cc x 60 gtt/ mnt
4 jam x 60 mnt
20 jam berikutnya =D+M = 1400 cc x 60 gtt/ mnt
Per infus mikrodrip = 1400 cc x 60 gtt/ mnt
20 jam x 60 mnt
= 70 gtt/ menit
Saliva 9 . 26 10 10-15
Cairan lamburig 60 9 84
Empedu (fistel) 149 5 101 40
Pankreas Cfistel) 141 5 101 40
usus kecil (diisap) 111 5 77 121
ileostomi (baru) 129 11 116
ileum (diisap) 117 5 106
Feses (diare)(mEq/hari) 11,6 17,5 8,0
urine (normal) 40-90 20-60 40-120
Keringat (normal) 45 5 58
Serebrospirial 140 3,3 127
Bila Cvp < 8 cm h2o, berikan cairan 200 ml melalui i.v perifer seiama 10 menit
sambil memperhatikan kenaikkan cvp. Bila seiama pemben'an infus cvp naik > 5 cm
H2O stop infus, bila antara 2-5 cm H20, observasi lagi 10 menit, dan bila < 2 cm
H2O lanjutkan infus. Cara yang sama dipakai untuk nilai CVP antara 8-14 dan diatas
14 cm H2O.
5. Selain diberikan larutan kristaloid (elektrolit) kira-kira % - 1/3 cairan yang hilang
dapat diberikan larutan koloid seperti albumin atau Dextran bermolekul rendah
(Plasmafusin).
6. Bila ada hiperkalemia dapat diatasi denpan pemben'an 1 unit insulin (Ri)
per 1 gr dextrose, atau peraberian Na bikarbonat sesuai base excess atau
HCO3~ plasma.
p. Pemberian cairan pasca bedah
1. Hari 1-3 pasca bedah dapat diberikan :
2000 ml dextrose 5 % dan 500 ml NaCl. Total intake cairan disesuaikan
dengan bb (40 ml/kgBB).
Minimal kalori untuk mencegah katabolisme protein dan lemak 400 kalori
Perhitungan kebutuhan elektrolit terutama setelah 3 hari, dimana produksi
urin biasanya bertarabah banyak
2. Bila ada larutan tutofusin OPS yang mengandung cukup elektrolit dan
sorbitol sebagai sumber karbohidrat, dapat diberikan 40 ml/kgBB/hari
untuk 1-3 hari pertama pasca bedah.
3. Bila diperlukan lebih lama pemberian cairan untuk nutrisi ditambahkan asam
amino berupa larutan aminofusin yang disesuaikan dengan BB dan besarnya
trauma. Kebutuhan asam rata 1 gr/kgBB/hari. Aminofusin L 600, mengandung
50 gr asam amino/liter dan 600 kalori/liter.
Manilla >65 25
3- REHIDRASI
A. Tingkat Rehidrasi
parameter Ringan Sedang Be rat
- Kesadaran CM Somnolen/sopor Soporokomatous
- Tekanan Darah Normal Agak turun Turun hebat/shock
- Nadi Normal Agak cepat Cepat sekali
- Asidosis - -/ringan Berat
- Turgor Normal Turun Sangat turun
- Ekstremitas Hangat Dingin Dingin/sianosis
- Mukosa mulut Basah Kenng Sangat kering
- Diuresis N/turun Oliguri Anuri
B. Cara Rehidrasi
Nilai standar dihidrasi
I. Dehidrasi (D) II. Maintenance (M)
Ringan : Dewasa : 4% Dewasa : 40 cc/kgbb/24 jam
Anak : 4-5% Anak :
Sedang : Dewasa : 6% BB : 0-10 kg = 100cc/kgbb/hr
Anak : 5-10% 10-20 kg = (1000+50x)/hr
Berat : Dewasa : 8% X : setiap kelebihan BB >10kg
Anak : 10-15% >20 kg = (1500+20Y)/hr
Shcok : 15-20% Y : setiap kelebihan BB > 20 kg
Pemberian :
6 jam I : D +1/4 M
18 jam II :D+M
Contoh 1 :
Dewasa dengan berat badan 50 kg dengan dehidrasi sedang
D = 6% x BB x 1000
= 6% X 50 x 1000
= 3000 cc
M = 40 X BB
= 40 X 50
= 2000 cc
Jumlah cairan yang diperlukan 5000 cc
6 jam I = D + M = 3000 + 2000 = 2000 cc
tetesan = (2000x15) = 83-84 tetes/menit (makrodrip)
(6x60)
18 jam II = D + M + 3000 = 2000 = 3000 cc
tetesan = (3000x15) = 41-42 tetes/menit (makrodrip)
(18x60)
Contoh 2 :
Anak 3 kg dengan dehidrasi sedang
D = 7% x BB x 1000
D = 7% x 3 x 1000
= 210 cc
M = 100 x BB
= 100 x 3
= 300 cc
jum1ah cairan yang diperlukan adaiah 510 cc
6 jam I = D + 1/4 M = 210 + 300 - 180 cc
tetesan = (180x60) = 30 tetes/menit (mikrodrip)
(18x60)
18 jam II = d + M = 210 + 300 - 230 cc
tetesan = (230x60) = 12-13 tetes/menit (mikrodrip)
(18x60)
Contoh jumlah tetesan rehidrasi (tetes/menit)
Dewasa Ringan Sedang Berat
50 g 6 jam I 62-62 83-84 104-105
18 jam II 34-35 41-42 49
60 g 6 jam I 75-76 100 125
18 jam II 41-42 50 58-59
70 g 6 jam I 87-89 116-117 131-132
18 jam II 48-49 58-59 63-64
b. AMINOVEL 600
Mengandung asam amino 5% dan bcaa 8,8% , ; :
Mengandung sorbitol sebesar 10% sebagai sumber kalori .
suplai asam amino, kalori, elektrolit dan vitamin dalam kondisi praktis
Indikasi :
Nutrisi tambahan pada gangguan saluran gastrointestinal, mis: short bowel
syndrome, anoreksia dan kelainan gastrointestinal berat
Pendeita gastrointestinal yang dipuasakan, mis : fistula enterokutan
Kebutuhan metabolik yang meningkat, mis : luka bakar, trauma dan pasca operasi
stress metabolik sedang
Dosis dewasa 500 ml selama 4-6 jam (20-30 tetes/menit)
C. PAN AMIN-G
Mengandung asam amino sebesar 2,72% untuk mencukupi kebutuhan basal
Mengandung sorbitol sebesar 5%
suplai asam amino dan kalori secara praktis
Indikasi:
Suplai asam amino pada : hipoproteinemia dan stress metabolik ringan
Nutrisi dini pasca operasi
Tiroid
Dosis dewasa : 500 ml selama 60-100 menit
Batasan dosis D-Sorbitol = 100.g/hari
d. TRIPAREN-NO.l TRIPAREN-NO.2
infus kombinasi GFX daiam perbandingan ideal 4-2-1
optimal diberikan sebagai cairan dasar untuk sistem tpn pada pasien karena
mengandung elektrolit dan trace element yang lengkap .
Memudahkan pengbntrolan terhadap hiperglikemia pada pasien post op
Efektif diberikan pada pasieti Diabetes Mellitus
Suplai air, elektrolit; dan kalori melalui vena sentral dimana intake oral
maupun enteral tidak cukup atau tidak memungkinkan
Diberikan sebagai Nutrisi Parenteral Total
Triparen-No.l mengandung 933 kcal/L
Triparen-No.2 mengandung 1168 kcal/L
e. ASERING .
Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolerir pada pasien yang
mengalami gangguan hati .
pada pemberian sebelum operasi caesar, ringer asetat mengatasi asidosis
laktat lebih baik dibanding rl pada neonatus
Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral pada
anestesia dengan isofluran . . .
Ringer asetat memiliki efek vasodilator
Pada kasus stroke akut, penambahan MgSO4 20% sebanyak 10 ml pada 1000
ml ringer asetat, dapat miningkatkan tonisitas larutan infus sehingga
memperkecil resiko memperburuk edema serebral
Walaupun asetat dan laktat merupakan prekursor ion bikarbonat, asetat juga
merupakan dapar fisiologis untuk menetralkan metabolit asam yang
berlebihan (efisien untuk mengatasi asidosis)
Metabolisme asetat
o C2H3O2 + 202 CO2 + H2o + HCO3 (asetat)
o Metabolisme terutama di otot
o. Metabolisme asetat berlangsung lebih cepat
o Lebih hemat oksigen .
o Lebih efisien karena tidak ada siklus Cori
indikasi : Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi :
o Gastroenteritis akut
o Demam berdarah dengue (dhf)
o Luka bakar
o Syok hemoragik
o Dehidrasi berat
o Trauma
Komposisi :
Setiap liter mengandung :
Na ... 130 mEq
K . 4 mEq .
Cl . 109 mEq
Ca .. 3 mEq
Asetat (garam) . 28 mEq
f. KA-EN IB
Indikasi :
o Sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui misal pada kasus
emergensi :
Dehidrasi karena asupan oral tidak memadai
Demam, sengatan panas o < 24 jam pasca operasi
o Dosis lazim 500-1000 ml untuk sekali pemberian secara intravena. Kecepatan
sebaiknya 300-500 ml per jam (dewasa), 50-100 ml per 3am (anak-anak)
o Bayi prematur atau bayi baru lahir, sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100 mi per
jam
g. KA-EN 3A KA-EN 3B
Indikasi :
Larutan rumatan rasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit
dengan kandungan kaliurn cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan
asupan oral terbatas
S Rumatan untuk kasus pasca operasi (>24-48 jam)
Mensuplai kalsium sebesar 10 mEq/L untuk KA-EN 3A
Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B
h. KA-EN MG3
Indikasi :
Larutan rumatan rasional untuk memenui kebutuhan harian air dan elektrolit
dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan
dimana asupan oral terbatas
Rumatan untuk kasus pasca operasi (>24-48 jam)
Mensuplai kalium : 20 mEq/L S Rumatan untuk kasus dimana suplemen NPC
dibutuhkan 400 kcal/L
i. KA-EN 4A Paed
Indikasi :
Dosis sebaiknya disesuaikan dengan kondisi, usia dan berat badan pasien
Merupakan larutan infus awal untuk bayi dan anak usia < 3 tahun
Tanpa kandungan kalium, sehingga dapat diberikan pada pasien dengan
berbagai kadar konsentrasi kalium serum normal
Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik
Komposisi (per 1000 ml)
Na ..30 mEq/L
K ... 0 mEq/L
Cl .. 20 mEq/L .
Laktat 10 mEq/L
Glukosa . 40 g/L
j. KA-EN 4B Paed
Iindikasi :
Dosis sebaiknya disesuaikan dengan kondisi, usia dan berat badan pasien
Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak usia < 3 tahun
Mensuplai 8 roEq/L kalium pada pasien sehingga meminimalkan resiko
hipokalemia
Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik
Komposisi (per 1000 ml)
Na . 30 mEq/L
K. . 8 mEq/L
Cl . 28 mEq/L
Laktat 10 mEq/L
Glukosa . 37,5 g/L
k. OTSUTRAN-L
=> Tatalaksana perdarahanakut sebagai pengganti plasma
=> Pencegahan dan tatalaksana syok bedah oleh karena tauma, luka bakar dan
perdarah
=> sebagai perfusat untuk aparatus extracorporeal untuk mencegah komplikasi
selama operasi
1. martos-10
=> suplai air dan karbohidrat secara pa rente ral pada penderita diabetik
=> Keadaan kritis lain yang membutuhkan nutrisi eksogen sepefti tumor, infeksi
berat, stress berat dan defisiensi protein .
=> Dosis : 0,3 gr/kgBB/jam
=> Mengandung 400 kcal/L
m. OTSU-NS
Resusitasi
Kehilangan Na>cl, mis. Diare
Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium : asidosis diabetikurii,
insufisiensi adrenokortikai, luka bakar .
n. OTSU-RL
Resusitasi
Suplai ion bikarbonat
Asidosis metabolik
Terapi
Deplesi volume : secepat mungkin untuk memulihkan volume sirkulasi ke normal,
terbaik pasang CVP;
Normovolemia : berikan Nad hipertonik
Kelebihan beban cairan : berikan Nacl hipertonik bersamaan dengan loop
diuretic. Pasang kateter kandung keraih dan berikan furosemid iv dengan
dosis berulang 20-40 rag untuk mengusahakan diuresis secepat mungkin
sehingga membuang volume saline yang diinfus plus cairan yang berlebih.
Untuk hiponatremia yang asimtomatik atau kronik tidak diindikasikan:
berikan Nacl 0,9% jika ada deplesi volume. Jika tidak, batasi asupan air
dan biarkan homeostasis memulih perlahan-lahan
Terapi NACl hipertonik (3%) untuk hiponatremia akut dengan gejala neurologi berat
b. HIPERNATREMIA
Kelebihan Na dehidrasi selular penyusutan sel. Menyebabkan kegaduhan
mental dan koma. Ruptur vena sekunder dan perdarahan subarakhnoid bisa terjadi
pada Na > 158 mmol/L. Pra bedah :
Dehidrasi dengan kehilangan air melebihi kehilangan Na
Diabetes tak terkontrol yang menyebabkan diuresis osmotik
sebab lain (hiperaldosteronisme primer, diabetes insipidus sentrai). Dapat
terjadi setelah pembedahan saraf atau trauma otak
Pasca bedah:
Penggantian cairan yang tidak benar dimana NaCl 0,9% diberikan berlebihan
melebihi kehilangan Na. Banyak kehilangan cairan (diare) dan luka bakar
menyebabkan dehidrasi hipoosmolar, dan tanpa rasa haus normal atau asupan
oral, penggantian cairan dengan normal saline saja tidak sesuai.
Pasien yang telah mendapat sejumlah besar cairan iv yang mengandung sal in
(larutan Ringer laktat atau Hartmann, koloid atau NaCl 0,9%) dan telah
diberikan diuretik untuk edema dapat mengalami hipernatremia
Diabetes insipidus nefrogenik setelah obstruksi saluran kemih mereda.
Fungsi tubuh ginjal rusak oleh obstruksi kronik dan kemampuan pemekatan
urin dapat hilang secara menetap. Kehilangan air yang melebihi m pada
situasi ini menjurus ke hipernatremia jika pasien tidak mendapat cukup air
Penatalaksanaan :
Kalkulasi defisit air .
Hipernatremia dikelola dengan menghitung defisit air tubuh dan menggantinya.
Kecepatan koreksi
Jika hipernatreraia bersifat kronik, koreksi harus dilakukan lambat-lambat.
Seperti halnya hiponatremia, koreksi cepat bisa lebih merugikan daripada
gangguan fisiblogis itu sendiri. Hipernatremia pada mulanya menyebabkan
penyusutan otak, tetapi setelah 1-3 hari, volume otak dipulhkan dengan
ambilan solute fce dalam sel. Jika air diberikan cepat, edema serebral bisa
terjadi, disertai kejang, kerusakan otak permanen dan kematian.
Konteks bedah hi.pematremia terjadi akut dan dikoreksi dengan cepat.
Tujuannya adalah merendahkan Na^ serum tidak lebih cepat dan* 0,5 miriol/L
perjam. Sampai 145 rambl/L
Penatalaksanaan
KCl biasa digunakan untuk menggantikan defisiensi K, juga biasa disertai
defisiensi cl
Jika penyebabnya diare kronik, KHCO3 atau kali urn sit rat mungkin lebih
sesuai
Terapi oral dengan garara kalium sesuai jika ada waktu untuk mengkoreksi
dan tidak ada gejala klinik
penggantian 40-60 mmol K raenghasilkan kenaikkan 1-1,5 mmol daiara K serum,
bersifat sementara karena langsung berpndah ke intra sel, maka periu
pemantaun teratur untuk koreksi
Kalium iv diberikan pada pasien yang tidak bisa makan dan mengalami
hipokalemia berat. Secara umum jangan tambahkan KCl ke dalam botol infus.
Gunakan sediaan siap pakai. Pada fnppkalemia berat (<2 mrool/L), sebaiknya
gunakan NaCl bukan dekstrosa, karena dekstrosa menyebabkan penurunan
sementara K serum sebesar 0,2-1,4 mmol/L karena stimulasi pelepasan
insulin oleh glukosa
infus yang mengandung KCl 0,3% dan NaCl 0,9% menyediakan 40 mmol/L. Ini
menjadi standar dalam cairan pengganti K
volume besar dari normal saline bisa menyebabkan kelebihan beban cairan.
Dika. ada aritmia jantung, dibutuhkan larutan K yang lebih pekat diberikan
melalui vena sentral dengan pemantauan ekg. Pikirkan sebelum memberikan
> 20 mmol K/jam
Konsentrasi K > 60 mmol/L sebaiknya dihindari melalui vena perifer
(menyebabkan nyeri dan sklerosis vena)
d. HIPERKALEMIA
K diatas 6,5 mmol/L perlu koreksi cepat. Perlu pemantauan EKG dengan gelombang
T meninggi (peak t wafe) atau QRS melebar, henti jantung sedang mengancam.
Apalagi didasari dengan kondisi asidosis, hipoksia, hipokalsemia dan overaktivitas
simpatis (nyeri atau shock). Henti jantung jarang dengan K > 7 mmol/L
Penatalaksanaan
1. Berikan 10 ml kalsium glukonat 10% iv selama 1-2 menit
2. Berikan 15 u soluble insulin dengan bolus bersama 50 ml dextrose 50%
3. Berikan 5 mg salbutamol nebulizer dengan masker
4. Koreksi asidosis dengan NaHCO3
5. Hentikan obat-obat yang bisa menyebabkan hiperkalemia
6. Berikan resonium 15 gr setiap 6 jam peroral atau 30 mg bd perektum dengan
enema
7. pertimbangkan dialisis
Contoh
Berat badan pasien 60 kg, defisit basa 10 mmol/L
Total defisit HCO3 - (10x60) = 200 mmol
3
Jadi, 100 mmol HCO3 bisa digantikan cepat untuk mengkoreksi separuh defisit
volume NaHCO3 1,26% yang harus di infus = 100 x 1L = 667 ml
150
e. HIPOKALSEMIA
Jarang pada pasca bedah, kecuali post op tiroid/paratiroid. Dapat timbul
sebagai komplikasi gagal ginjal akut, pankreatitis atau crush injury syndrome
Resikonya terjadi penurunan ambarig rangsang neuromuskuiar terhadap kejang, in
terval QT memanjanG; pada EKG merupakan predisposisi aritmia yentrikel
Normal 1,07-1.27 mmol/L.
Hipokalsemia berbahaya bila total ca < 2,0 mmol/L atau ion ca2+ < 0,9 mmol/L
Penatalaksanaan
Jika corrected Ca > 2 mmol/L (atau ca2+ > 0,9 ramol/L) berikan suplemen
Ca oral dan pantau.ca setiap hari .
Jika corrected ca < 2 mmol/L (atau ca < 0,9 mmol/L) berikan berikut :
- 10 ml 10% kalsium glukonat iv dalam 1-3 menit
- Alfacalcidol aau dihydrocholecaiciferol 1-5 ug oral
Periksa kadar Ca 4 jam kemudian
Jika tidak naik, mulai infus 2-5 ml/jam kalsium glukonat 10% dengan infus
kontinyu menggunakan syringe driver.
f. HIPERKALSEMIA
Dapat menjadi penyebab dari gejala : nyeri abdomen, mual, muntah, konstipasi,
anoreksia, penurunan berat badan dan batu ginjal
Hiperkalsemia moderat (< 3 mmol/L) : haus, poliuria dan dehidrasi sedang.
Hiperkalsemia berat ( > 3 mmol/L) : aritmia jantung, penurunan kesadaran dan
dehidrasi berat.
Penatalaksanaan
Hipokalsemia ringan cukup usahakan hidrasi adekuat dengan pemberian NaCl
0,9% slama puasa prabedah dan diteruskan pasca bedah
Operasi elektif sebaiknya ditunda jika kadar kalsium > 3 mmol/L
Operasi darurat ditunda sampai tindakan berikut :
- Kateter kandung kemih untuk pemantauan jumlah urine tiap jam
- Rehidrasi dengan 1000 ml NaCl ), 9% selama 1 jam, disusul 4-6 L dalam 24
jam berikutnya
- CVP untuk memandu penggantian cairan iv
- Pamidronate 60 mg iv dalam 500 ml saline selama 4 jam (Ca akan turun
dalam 2 hari kecuali hiperparatiroid sebagai penyebabnya )
g. HIPOMAGNESIA
Sering bersamaan dengan hipokalemia dan hipomagnesia, maka bila kada K atau Ca
rendah, periksa Mg Reisiko yang sering didapat serupa dengan hipiokalsemia atau
hipokalemia, berupa : kejang, tetani, aritmia ventrikel (pada <0,5 mmol/L)
Penatalaksanaan
Ganti dan cegah defisiensi dengan garam Mg yang ditambahkan ke dalam nutrisi
enteral dan parenteral
Berikan infus Mg2+
h. HIPOFOSFATEMIA
Ringan bila kadarnya < 0,8 mrool/L dan be rat bila < 0,3 mmql/L Resiko :
kadar atp menurun karena senyawa fosfat energi tinggi kurang dengan akibat
gangguan fungsi sel, ensefalopatik metabolik (iritabilitas/bingung/ delirium/koma),
gangguan kontraktilitas jantung (COP menurun), kelemahan otot diafragma,
gangguan fungsi otot (miopati proksimal, disfagia, ileus), gangguan granulosit
(fagositosis dan chemotaxis)
Penatalaksanaan
Suplementasi fosfat diberikan bersama tpn, perinfus diberikan pada pasien olkhoholik
dan resiko rharadomiolisis karena hipofosfatemia. Dosis iv tidak melebihi 0,08
raraol/kgBB setiap 6 jam (hati-hati terhadap resiko aritmia jantung)
LARUTAN KARBOHIDRAT + ELEKTROLIT
Nama Osmolaritas Dekstrtosa
(mOsm/L) (g/U Kalori Kemasan;
Produk Ka Cl. K C Asetat Laktat (kcal/L (ml)
Elektrolit (mEq/L)
Nama Osmolaritas Dekstrosa Kalori Kemasan
(mOsm/L) Na Cl K Laktat
Produk
KA-EN IB 285 38,5 38,5 37,5 150 500
8. LARUTAN ELEKTROLI T
Nilai standar :
< 90 % Under weight
90 - 110 % Berat normal
110 % Over weight
120 % Obese
2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
3. Waktu Paruh
Usia Paruh Nilai Normal
Albumin 18 hari 3,5 - 5,0 g/dL
Lemak Soya Oil (5,8g/saset) MCT MCT Fish Oil Corn Oil (5.79 q/saset)
soya oil (10,28
g/saset)
Mikro Nutrien vitamin + Mineral vitamin + Mineral vitamin + Mineral
NEOMUNE
Sumber % Kalori % W/W G/1000 kal
Kalori indirek :
6. ASIDOSIS METABOLIK
Penyakit dasar : ketoasidosis diabetik, ketoasidosis alkhoholik, uremia, preparat
(metanoT, aspirin, etilenglikol & paraldehid) dan metabolisme anaerob (hipoksia
seluler asidosis laktat) misalnya pada kasus sepsis, syol, kejang, ketoasidosis
dan uremis.
Gas darah :
1. PacOz untuk mengetahui adanya hipoventilasi
2. pH
3. Osmolalitas serum T (berarti ada zat tambahan yang terlarut dalam serum)
4. Elektrolit dievaluasi untuk menentukan anion gap
5. BUN ( Blood Urea Nitrogen ) gagal ginjal azotemia pra dan pasca renal
Terapi :
1. Terapi penyebab dasar
2. Pemberian NaHC03
Bila pH < 7,1 dan. HCO3 < 10
Dosis = (HCO3 diinginkan - HCO3 observasi x 0,4 x BB
= mEq HCO3 yg diperlukan
Berikan 1/3 1/2 dosis cek ulang agd & elektrolit serum
3. Bila pH > 7,1 dan HCO3 > 10
hanya terapi penyebab dasarnya saja
7. ALKALOSIS RESPIRATORIK
Mekanisme :
1. Hiperventilasi (psikogen)
2. Hiperventilasi kompensata akibat asidosis metabolik dan stimuli ion asam
terhadap pusat napas di medula oblongata
3. Hipoksia o.k. gagal jantung & penyakit paru (emboli paru)
4. Efek sentral obat pada batang otak hiperventilasi
Gas darah
PaCO2 dan pH
Terapi :
1. Koreksi hipoksia
2. Terapi penyebab dasar t.u. emboli
3. Hiperventilasi psikogenik kantong kertas untuk penghisapan kembali CO2,
berikan Diazepam 5 - 10 mg oral/i.v.
8. ALKALOSIS METABOLIK
Mekanisme :
1. Kehilangan asam melalui muntah dan penghisapan getah lambung
2. pemakaian diuretika kronis hiperkloremia alkalosis
3. Deplesi K+ hebat sehingga ion H+ masuk intrasel 'alkalosis
Gas darah : pH dan HCO3 darah
Elektrolit : k+ serum Cl- i dan HCO3
Terapi :
1. Berikan pengganti ion K+
2. Pengganti Cl- dihitung dengan menentukan ekses bikarbonat
Acid-Base Equilibrium
1. Asidosis (Na+)
- New born = Base defisit x BB x 0,5
- Small children = Base defisit x BB x 0,4
- Older children = Base defisit x BB x 0,3
Diluted 0,5 mEq/L, o.k. ancaman hiperosmolar
dosis : bolus, dosis i.v. pelan
Penyebab : kehilangan bikarbonat krohik/renal failure
2. Alkalosis
Penyebab : hiperventilasi/stomach acid loss
respiratory rate atau tidal volume Gastric fluid loss
i.v. fluids D5% : Normal saline =1:1
tambah koreksi K+
t.u. pada alkalosis & stenosis pyloric
Gangguan Perubahan pada pH Respon Kompensasi Akibat Kompensasi
Asidosis Respiratorik pH 10,08 untuk setiap 10 Pelepasan segera buffer jaringan HCO3' 1,0 mEq/L dari data dasar
Akut mmHg pada PaCO2 (mis. HCO3) pasien untuk setiap t 10mmHgPaCO2
Kronis Tergantung pd kompensasi ginjal, rearbsorbsi HCO3- ginjal, secara HCCV 3,5 mEq/L, untuk setiap t
sering mendekati normal klinis terlihat setelah 8 jam, efek PaCO2 10 mmHg
maks 3-5 hari
Alkalosis Respiratorik pH 0,08 untuk setiap Pelepasan segera buffer jaringan HCO3" 2,0 mEq/L dari data dasar
Akut PaCO210 mmHg pasien untuk setiap PaCO2 10 mmHg
Kronis pH dapat kembali normal bila resorbsi HCO3' ginjal Kompensasi ginjal maks menyebabkan
fungsi ginjal adekwat CO3" 5 mEq/L untuk setiap 10
mmHg PaCC>2 Efek maks
membutuhkan 7-9 hr & dapat
menormalkan pH
Asidosis Metabolik Akut I pH 0,15 untuk setiap HCO3" Hiperventilasi terjadi dgn segera PaCO21,2 mmHg untuk setiap |
10 mEq/L HCO3* 1 mEq/L
Kronis pH akan sama seperti bila tidak Hiperventilasi Efek-efek hiperventilasi berlangsung
terjadi kompensasi pemapasan hanya beberapa hari karena 1 pada
PaCO2 menyebabkan
Alkalosis Metabolik pH 0,15 untuk setiap HCO3 Hipoventilasi terjadi dgn segera PaCOj 0,7 mmHg untuk setiap
Akut 10 mEq/L HCO3 lmEq/L
Kronis pH akan sama seperti bila terdapat Hipoventilasi Efek-efek hipoventilasi berlangsung
kompensasi pernapasan selama hanya bbrp hari , karena f pada
PaCO2 menyebabkan t ekskresi ginjal
terhadap H+ dan f HCO3' serum
V. TRANSFUSI DARAH
1. Bloods Products for Transfusion
2. PEMBERIAN TRANFUSI DARAH
Cara menghitung jumlah darah yang harus diberikan (whole Blood)
Hb yang diinginkan - Hb yang terukur X BB(kg) X 80 cc
Hb yang diinginkan
1. Kriteria intubasi:
a. Ketidakmampuan napas spontan
b. Gangguan jalan napas akibat edema atau hiperventilasi
c. Penurunan kesadaran
d. Frekuensi napas > 40x/menit
e. PCO2 > 60 mmHg
f. PO2 < 60 mmHg dan FiO2 = l
g. Trauma capitis
n. ARD5
2. Kriteria ekstubasi :
a. Pasien mampu/menjamin jalan napas
b. Penurunan sekresi
c. volume tidal bank (5 ml/kg)
Kapasitas vital 10 ml/kg
CPAP atau PS < 5 cmH2O
d. Frekuensi napas < 40x/menit
e. Kemampuan mempertahankan fungsi respirasi
(respiratory rate, tidal volume, rapid shallow breathing index < 8 pada mechanical
support)
f. Oksigenasi yang adekuat FiO2 0,5
g. Minute ventilation < 10 ml/menit pada ventilator
3. Ukuran Standar Endo Trachea Tube :
Berat Badan / Umur Ukuran
Baru Lahir (<1 Kg) 2,5 mm
Baru Lahir ( 1-3,5 kg) 3,0 mm
1-6 Bulan 3,5 mm
6-12 Bulan 4,0 mm
1 2 tahun 4,5 mm
3 - 4 tahun 5,0 mm
5 - 6 tahun 5,5 mm
6 7 tahun 6,0 mm
8 9 tahun 6,5 mm
9 10 tahun 7,0 mm
10 12 tahun 7,5 mm
12 15 tahun 8,0 mm
Catatan :
- Pemasangan tidak boleh > 2 minggu
- Cuff terisi < 30 cm H2O
4. Kriteria tracheostomy :
1. Bantuan jalan napas > 2 minggu
2. Hilangnya refleks laring dan menelan
3. Retensi sputum
4. Cedera kepala dan leher
5. obstruksi jalan napas atas
VI. APLIKASI KLINIS VENTILATOR
b. Hipokseraia-hiperkapnia
Penurunan kesadaran
infeksi berat
PaO2 rendah (40 mmHg) meskipun diberikan oksigen
PPOM = penyakit paru obstruktif menahun
Ventilasi mekanis jenis hipoksemia-kipokapnia
Jenis volume pre set ventilator o.k pengembangan alveoli lebih baik, FiO2 dapat
dipertahankan dan batas keselamatannya Tebar.
1. Volume Tidal
Dimulai dengan 10-12 ml/kg dan dapat dinaikkan 12-15 ml/kg sesuai respon
pasien. Tujuan : mengembangkan alveoli dan memperbaiki pertukaran gas. Bila
menggunakan PEEP, volume tidal dapat dikurangi.
2. Tekanan
Tekanan antara 35-40 cmH2O dihindari bahaya pneumothorax.
Bila tiba-tiba dari tekanan inflasi mungkin hambatan aliran gas dan
ventilator. .
Bila pelan mungkin telah terjadi elastisitas paru.
3. FiO2
Diatur untuk menghindari hipoksemia dan 02 toxicity
Berikan FiO2 100% pada permulaan (kecuali peep dengan FiO2 serendah
mungkin) kemudian diturunkan s/d PaCCk 60-100 mmHg.
Usahakan memakai FiO2 < 40% untuk mempertahankan PaO2 60-100 mmHg.
4. Frekuensi napas
Respiratory rate : 10-14 x/menit, o.k kombinasi frekuensi (f) tinggi dengan
volume tidal tinggi bahaya untuk otak dan kardiovaskuler
5. Ruang rugi (dead space)
untuk mempertahankan PaCO2 30-40 mmHg
tambah ruang rugi 60-300 ml atau turunkan volume tidal
untuk menghindari alkalosis respiratory
6. Shigh
Dipakai bila volume tidal sama dengan PEEP
7. PEEP (Positive End Expiratory Pressure)
Adalah manipulasi siklus pernapasan untuk memperbaiki oksigenasi, dengan
tekanan positif baik inspirasi/ekspirasi.
Pertimbangkan pemakaian PEEP bila FiOz > 50% diperlukan untuk mencapai
PaO2 > 60 mmHg.
Fungsi :
Mencegah kolaps alveoli selama phase ekspi rasi
Memperbesar FRC (fungtional residual capacity)
Menurunkan pintasan intrapulmonal)
Meningkatkan PaO2
penting untuk monitoring gas darah dan fungsi/tanda vital lain
8. IMV (intermitten Mandatory ventilation)
Manipulasi siklus pernapasan untuk mempercepat proses pelepasan (weaning)
transisi ventilasi terkontrol ke ventilasi spontan.
Prinsip : memberi kesempatan pasien untuk bernapas spontan, disertai dengan
hiperinflasi dari ventilator.
Keuntungan :
Pasien mengatur sendiri PACO2 untuk rangsangan bernapas
Mengurangi pemakaian sedativa/pelumpuh otot
Bila dilepas tiba-tiba dari ventilator tanpa IMV diskoordinasi otot-otot
pernapasan
Mencegah O2 konsumsi yang menurun o.k alkalosis respiratorik
Mengurangi komplikasi barotrauma dan gangguan kardiovaskuler PEEP
Kontraindikasi :
Gangguan asam basa
Penurunan kerja napas pada infark jantung dengan gagal napas dan syok
kardiogenik
IMV diberikan bila syarat weaning dipenuhi a.l :
Perbaikkan feoli penyakit dasar
Kardiovaskuler stabil
PaO2 > 70 mmHg dengan 40% O2
Mula-mula dicoba dengan f 8x/menit, kemudian diturunkan bertahap sesuai
respon dengan me!ihat gas darah, sampai IMV 2x/menit lepas.
Parameter kemajuan penderita dengan ventilasi mekanis :
1. Kemajuan penyakit dasarnya
2. Analisa gas darah
3. Fungsi mekanis paru-paru
2. WEANING
Pelepasan dari ventilator
Biasanya pasien dengan ventilator > 3 hari, o.k sudah mempunyai penyakit
dasar yang berat dan otot-otot pernapasan yang dengan kondisi yang tidak baik
Cara :
- Pertimbangkan keadaan jantung dan dada siap menerima stress
- weaning
- Apakah pasien dapat memacu ventilator dengan baik
- Hal-hal yang harus dicapai :
1. f < 25x/raenit. dengan ventilator mekanis
2. Peak pressure < 30 cmFhO
3. Inspiratory force > -20 crH2O
4. vital capacity > 15 ml/kg
5. PaO2 > 60 mmHg dengan FiO2 < 50%
- Bila terpenuhi, weaning dengan T-pice
5 menit pada jam pertama
10 menit pada jam kedua
15 menit pada jam ketiga
- Bila stabil coba T-pice 4 jam Bila :
f 25 x/menit
VC > 15 ml/kg
PaO2 > 60 mmHg dengan FiO2 < 50%
PaCO2 > 45 mmHg
pH > 7,35
vital sign stabil
Ekstubasi
- weaning gagal bila :
1. f > 25x/menit
2. Tekanan darah naik (> 30 mmHg)
3. Nadi meningkat
4. Arrhytraia
5. Aktifnya otot bantu napas
6. AGO buruk
ventilasi mekanis pada jenis hipoksemia-hiperkapnia
Pada dasarnya sama, kecuali pada PPOM
Pada PPOM:
- PaO2 rendah (50-55 mmHg)
- PaCO2 tinggi (> 50 mmHg)
Jarang memerlukan ventilasi kecuali dengan trauma, sepsis dan PaO2 sangat
rendan (< 40 m )
ventilasi :
1. Permulaan dengan volume tidal 6-10 ml/kg
2. F : 10-14 x/menit
3. FiO2 < 5O%
4. Tekanan tidak perlu tinggi-tinggi
5. PEEP tidak dianjurkan, o.k menurunkan PaO2
VIII. GAGAL NAPAS AKUT
Pemeriksaan respirasi :
1. Laju napas
: emboli paru , edema paru, kolaps paru, renjatan, bakteriemia
: trauma capitis, kerusakan otak, SAH, ensefalitis, sedativa, narkotik
2. Isi semenit = 5-7 liter
3. Kapasitas vital paksa
Volume udara dikeluarkan secara paksa sekuat pasien setelah inspirasi
maksimal
- Untuk deteksi polineuritis dan mysthenia gravis
- Untuk monitor hasil terapi
Nilai :
-<25% : diperlukan bantun napas
-<30% prabedah dengan penyakit paru menahun : kemungkinan
mengalami komplikasi pasca bedah
4. Volume ekspirasi paksa 1 detik (vep 1 detik)
Normal : 70%
Bila < 50% : berarti terdapat penyempitan saluran napas (asma,
bronkitis)
5. Aliran udara ekspirasi maksimum
Dengan peak expiratory flow meter
Normal : laki-laki : 600-650 L/menit
Perempuan : 450 -500 L/menit
Pemeriksaan diulang setiap 4 jam
Penatalaksanaan :
A. Pengobatan Non Spesifik
1. Terapi oksigen
Naikan PaO2 s/d normal
Pada kasus akit on kronik :
a. Naikan konsentrasi oksigen fraksi inspirasi (FiO2)
b. Turunkan konsumsi O2 dengan hipotermi s/d 34C
c. Obat pelumpuh otot
Berikan ventilasi bantuan atau kendali ventilator
2. Atasi hiperkarbia - perbaiki venti1asi ;
Hiperkarbia asidosis respiratorik ventilasi kendali
Hati-hati pada acute on chronik
Oleh karena sudah terkompensasi, penurunan PaCO2 pH alkalosis, sehingga
tirobul gangguan elektrolit t.u Kalium hipokalemia (aritmia s/d henti jantung).
Penurunan PaC02 bertahap tidak melebihi 4 mmHg/jam
a. Perbaiki jalan napas
- sekresi ; suction
- Triple airway manuver (ekstensi Teher, buka mulut, dorong mandibula ke
arah depan)
b. venti1asi bantu
- Tanpa alat
- Sungkup - bagging
- Ventilator mode IPPB (intermitten Positive Pressure Breathing)
c. Ventilasi kendali
- Knock down ventilator
- Indikasi :
3. Fisioterapi dada
Bersihkan jalan napas dari sekret, sputum dan tindakan pengajaran napas
dengan baik (tepuk dada, punggung, vibrasi, postural drainage)
Medikamentosa (rnukoiitik dan bronkodiiator)
B. Pengobatan Spesifik
Sesuai etiologi
IX. ADULT RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME ( AR D S )
Definisi :
Bentuk gagal napas akut yang berkembang progresif pada penderita krisis/cedera,
tanpa penyakit paru sebeiuranya. Ditandai dengan inflamasi parenkim paru dan
peningkatan permeabilitas unit alveoli kapiler yang mengakibatkan hiperventilasi,
hipoksemia berat dan infiitrasi luas pada foto thorax.
Etiologi :
Trauma : kontusio langsung (syok, emboli), luka bakar, aspirasi, tenggelam,
tranfusi darah, pankreatitis.
Infeksi dan immunologi (syok septik)
Toksik : O2. overdosis narkotik, inhalasi asap & bahan korosif, emboli (kiot,
lemak, air ketuban), Die.
Perjalanan Klinis :
FASE I
Ditandai dengan gangguan metabolisme dan perfusi jaringan
Terjadi alkalosis respiratory sedang (PaC02 = 30-40 mmHg)
akibat hiperventilasi
PaCO2 menurun
PA-aDO2 meningkat = 20-40 mmHg
Ronki minimal dibasal
Roentgen : normal atau kongesti sedikit, atelektase minimal
FASE II
Hiperventilasi terus berlangsung atau sedikit meningkat
PaCO2 25-35 mmHg
A-aDO2 meningkat 35-50 mmHg
Roentgen : normal/infiitrat difus yang minimal, awal edema paru
FASE III
Klinis : gangguan napas
Hiperventilasi lebih hebat
PaCO2 menurun 20-35 mmHg
PaO2 menurun 50-60 mmHg
A-aDO2 40-60 mmHg atau lebih besar
Shunting paru 20-40% atau lebih tinggi
Roentgen : edema paru dan infiltrat difus makin progresif
FASE IV
Ditandai hipoksia berat
PaCO2 meningkat
Bila PaCO2 meningkat diatas 45 mmHg paru tetap rusak berat walau ventilasi
adekuat
Asdosis metabolik meningkat, O2 konsentrasi tinggi untuk mempertahankan
PaO2 > 60 mmHg
Shunting paru : 50-60% ,
Roentgen : opak
Terapi :
1. Gunakan ventilator siklus volume
2. Pertahankan volume tidal sebesar 10-15 ml/kg (lebih rendah dengan PEEP)
3. Pertahankan peak inflation pressure < 40 cmH2O bila mungkin
4. Frekwensi napas lambat 12-14 x.menit, sedasi hati-hati
5. Pertahankan FiO2 serendah mungkin (<0,40), pertahankan PaO2 > 60 mmHg
6. Tambah dead space (60-300 ml) atau bila PaCCk < 30-35 mmHg
7. Berikan sigh 6-12 x/jam dengan menggunakan yolume 1J4 x volume tidal
8. Gunakan nebulasi dan humidifikasi yang maksimal
9. Berikan PEEP (dengan atau tanpa IMV atau CPAP, biasanya 5-10 cmH2O
ditingkatkan secara bertahap
Catatan :
- ventilasi mekanik diberikan bila hipoksemia menetap (PaO2 < 60 mmHg) dengan
FiO2 diatas 0,70 atau bila PaCO2 sangat rendah (<20 mmHg)
- Bila perlu gunakan PEEP/CPAP
X. HEMODINAMIK DAN SYOK
1. Klasifikasi :
Syok hipovolemik
perdarahan, muntah, diare, dehidrasi, kebocoran kapiler atau kombinasi, diuresis
(diuretik atau peningkatan gula darah), diabetes insipidus dan anemia.
Syok distributif
sepsis (cappilary leak, shunting, dan perubahan mikrovaskuler)
Anafilaksis (obat, toxin dan vaksin)
Neurogenik (akibat hilangnya kontrol vasomotor peripheral o.k disfungsi
neurologik atau trauma sistem saraf)
Disfungsi kelenjar adrenal (terjadi penurunan roineralpkortikoid dan
glukokortikoid akibat perdarahan, trauma dan infeksi) Trauma, luka bakar dan
pankreatitis
syok obstruktif
cardiac tamponade dan pericarditis constrictiva
Emboli pulmonal .
Proses intrathoracal (pneumothorax, hipertehsi pulmonal dan ruptur diafragma)
Syok kardiogenik
Acute myocardial infarction (AMI)
various cardiomyopathies (viral, alkhohol, infectious)
Hypovolemic
Distributive or normal T or normal
Obstructive or normal or
3. General symptomps of shock
1. CNS change 3. Cardiovascular 5. Pulmonary
- Confusion - or heart rate - respiratory rate
- Coma - Arryhtmia - or end tidal CO2
- Combative behavior - Angina - O2 saturation
- Agitation - COP : //normal - pulmonary
- Changes pressure
Pulmonary - tidal volume
pressure - FRC
2. Skin changes 4. Renal
- Cool - urine out put
- Clammy - BUN &
- Warm Creatinin
- Diaphoresis - Changes
electrolite levels
Cardiovascular Renal
- circulatory failure - Renal insufficiency
- Deppresion of cardiovascular - Changes of electrolyte level
function - BUN (Blood Urea Nitrogens)
- Arrhytmia
Hematologic Cellular
- Bone marrow suppresion - Cell to cell dehiscence
- Coagulopathy - Cellular swelling
- DIC - Mytochondrial dysfunction
- Platelet dysfunction - Cellular leak
Hepatic
- Liver insufficiency
- Elevation of liver enzyms
levels
- Coagulopathy
5. Management and therapy :
a. Rapid placement of a large-bore intravenous line or a high flow central line as a
route for fluid resuscitation.
b. Protection of the airway trough intubation and mechanical ventilation unintubated
patient 2-15 L.minute of high flow oxygen to get oxygen saturation > 92%.
c. Renal function foley catheter inserted.
d. Fluid management
5-20 ml/kg over peri ode of 10 minutes
response with bp, hr, urine out put and mental status
if with CVP : > 7 mmHg above the initial pressure stop
no more than 3 mmHg or decrease by 3 mmHg
second aliquat of fluid
use combination of phisiologic sodium solution and plasma protein solution for
plasma volume expansion (but not albumin)
Hydroxyethyl starches (HES) Lactated Ringer's solution
Dextran and gelatin
Hypertonic saline (for neurosurgical and traumatic resuscitation)
Blood replacement
crystalloids (need 5 times the volume lost)
if with fluid alone the blood pressure can't be maintained
vasopressor agent
Dopamine : 1 20 4g/kg/min
Norepinephrine : 0,05 2,0 4g/kg/min
Dobutamin : 1 25 4g/kg/min
Epinephrine : 0,05 2,0 4g/kg/min
Phenylephrine : 2 10 4g/kg/min
Isoproterenol : 1 8 4g/kg/min
Amrinone : 5 15 4g/kg/min, after a 0,75 mg/kg bolus > 5`
Milrinone :0,375 0,75 4g/kg/min, after a 37,5 75 mg/kg bolus >5`
XI. KEDARURATAN ALERGIK
1. Asma bronkiale
a. Oksigen per kanul dimulai 2 L/menit . >
b. Hidrasi : 100-250 ml cairan per i.v diberikan tiap jam selama fase akut
c. Epinefrin aqueous (1:1000) sub cutan
Dosis 0,01 mg/kg (max 0,5 mg) diulang 3 dosis dengan interval 20 menit
Hindari pasien > 40 th dan hati-hati terhadap hipertensi/takikardia hebat
Terbutalin 0,25 mg c.c diulang 30 menit kemudian
d. Aminofillin
Awal : 5,6 mg/kg dalam 100 cc larutan garam faal selama
15-20 menit
Rumatan : 0,5 mg/kg/jam
Bila pasien > 50 th : kurangi s/d 0,4 mg/kg/jam
Bila dengan kelainan hati atau gagal jantung kongestif
O,2mg/kg/jam '
Pada perokok berat = 0,8 mg/kg/jam
Bila sudah mendapat teofillin oral : kurangi s/d
setengahnya
Oral/suppositoria :
Awal : 7,5 mg.kg
Rumatan : 7 mg/kg/6 jam Terapi inhalasi
e. Terapi inhalasi
Isoetharin (BronkosoT) : 0,5-1,0 ml dalam 1 ml larutan garam faal
Metaproterenol : 0,3 ml dalam 2,5 ml larutan garam faal Diulang tiap 2 jam
Bila perlu berikan pernapasan tekanan positif intermitten
f. Kortikosteroid
Efek terlihat > 6 jam, berikan obat lain sebelum efek steroid timbul
Hidrokortison A mg/kg atau ekuivalennya ulang setiap 4 jam
Catatan :
Jangan berikan sedativa atau aspirin
Hindari obat antihistamin terutama untuk dewasa
Bila PCO2 > 55 mmHg, indikasi intubasi dan ventilator mode PEEP
g. Perawatan lanjutan
Aminofinin oral : 200-400 mg/6 jam
Terbutalin oral : 5 mg 3 kali/hari
isoetharin inhalasi : 2 isapan tiap 4-6 jam
Metaproterenol inhalasi : 2 isapan tiap 4-6 jam Atau oral 4 x 20 mg
Kromolin inhalasi atau oral : 4 x 20 mg
Sebagai pengikat mediator/histamin dari mast cell, bukan untuk terapi
asma akut
Steroid : Prednison 30-60 mg/hari s/d 7-10 hari tappering off
Beklometason inhalasi : 2 isapan 4 kali/hari
2. SYOK ANAFILAKTIK
a. Pertahankan pernapasan/napas buatan dengan oksigen secara tekanan positif
melalui masker/end tracheal tube. Pertimbangkan krikotirotomi bila ada udem
laring.
b. Epinefrin : 0,1-0,5 ml larutan 1:1000 atau
1-5 ml larutan 1:10.000 i.v lambat/sub lingual
diulang tiap 30 menit bila perlu
c. Pasang tomiquet proksimal daerah injeksi/gigitan s/d kondisi stabil
d. Cari vena yang adekuat untuk pemasangan kanula vena
Bila perlu vena punksisentral melalui rute subclavia atau jugularis interna
Berikan RL atau garam fisiologis terutama bila didapat hipotensi
e. Aminofillin : 5,6 mg/kg i.v. 20 menit
Dilanjutkan tetesan rumatan 0,9 mg/kg/jam i.v
f. vasopressor, bila gagal dengan cairan dan epinefrin
Levarterenol : 4-8 mg atau
Dopamin : 400 mg dalam 500 ml D 5% dimulai dengan kecepatan 5-15
Mg/kg/menit dan disesuaikan dengan keperluan
g. Antihistamin
Difenhidramin (BenadryT) : 25-50 mg
Hidroksizin (Atarax, vistariT) : 50-100 mg p.o/i.m
h. Kostikosteroid
Hidrokortison suksinat : 200 mg i.v, dapat diulang tiap 4 jam
i. Lanjutan
Observasi beberapa jam s/d pulang
Anti histamin : Difenhidramin 25-50 mg beberapa hari
Kortikosteroid : Prednison 30-60 mg sehari
j. Akibat reflek vagal
Cairan intra vena
Atropin 0,6-0,8 mg maksimai 3 mg
pertahankan denyut nadi > 60 x/menit
XII. PENANGANAN GEJALA SPESIFIK PADA ANAK
1. DEHIDRASI
a. Macam dehidrasi
isotonik (konsentrasi Na+ ; 130-150 mEq/L)
Hipotonik ( Na+ : <130 mEq/L)
Hipertonik ( Na+ : > 150 mEq/L)
b. Awal dehidrasi dianggap isotonik
c. Jumlah defisit
Ringan : 30 - 50 ml/kg
sedang : 50 - 100 ml/kg
Berat : 100 - 150 ml /kg
d. Berikan larutan garam faal atau ringer laktat 20 ml/kg secara cepat (30-60')
e. Penggantian cairan . .
defisit pada 8 jam pertama dengan larutan garam faal 1/3 atau 56
normal dengan penambahan Kaiium 15-20 mEq pada tiap liter cairan
f. Dehidrasi hiponatremia
MEq defisit Natrium = (135 mEq/L - Na+ serum terukur) x 0,6 x kgBB
4. ASMA
a. Epinefrin encer (1:1000) 0,01 ml/kg/dosis maksimal 0,5 ml s.c durasi 20 menit,
diulang 15-20 menit, total 3 dosis
b. Pemberian oral atau i.v untuk mengencerkan mukus sangat penting terutama
untuk anak dengan dehidrasi.
c. isoetharine (BronkosoT), stimulator selektif beta-2 secara inhalasi
Dosis : 0,5 ml didalam 1,5 ml garam faal dalam waktu 20 menit
Diulang tiap 2-4 jam
d. Aminofinin (i.v)
Dosis : 5-6 ml/kg untuk waktu 15-20 menit
Dengan dosis rumatan secara tetes 1,1 mg/kg/jam
e. Epinefrin lepas lambat (sus-phrine) 0,005 ml /kg s.c
5. HENTI JANTUNG-PARU
a. Kompresi jantung eksternal :
Bayi : 2-3 jari pada mid sternum, &-1 inchi 100 x/menit
Anak : dengan pergelangan tangan, tekan sternum 1-1 % inchi 80 x/menit
b. ventilasi :
Bayi : 20 x/menit
Anak : 15 x/menit
c. Dosis obat :
Natrium bikarbonat : dosis awal = 1 mEq/kg 54 dosis setiap 10 menit
sesuai dengan hasil pH arterial
Epinefrin: 0,01 mg/kg (1:10.000, 1 mg dalam 10 ml)
Diulang dengan interval 5 menit sesuai indikasi
Atropin : 0,02 mg/kg diulang sesuai keperluan
Dosis maksimal 1 mg
Kalsium klorida : 25 mg/kg per dosis
Kalsium glukonat : 60 mg/kg per dosis
Lidokain bolus : 1 mg/kg per dosis
Rumatan : 30 ng/kg/menit
Dopamin : 5 Mg/kg/menit
Efek beta : 5-12 Mg/kg/menit
Efek campuran : 15 4g/kg/menit
Norepinefrin : mulai alfa = infus dengan kecepatan 0,1 Mg/kg/menit
Isoproterenol : mulai dengan 0,1 Mg/kg/menit sampai 1,5 Mg/kg/menit
XIII. MEDIKAMENTOSA
2. Suggested Drug Dosages for pediatrc patients (in Manual of Pediatric Anestnesia)
A. PREOPERATIVE PERIOD
Drugs for premedication
Atropine : 0,02 mg/kg i.v. at induction or i.m 30-60 minutes preoperatively;
maximum 0,6 mg. For infants less than 5 kg the minimum dose is 0,1 mg
Chloral hydrate : 25-75 mg/kg p.o or rectally (p.r.)
Diazepam : 0,2-0,5 mg/kg p.o 1-2 hours preoperativelly, maximum 15 mg
Midazolam : 0,25 mg/kg p.o, 0,3 rag/kg p.r, or 0,08 mg/kg i.m.
Morphine : 0,1-0,2 mg/kg i.m. 45-60 minutes preoperatively
(if atropine is to be given it can be mixed with morphine)
Pentobarbital : 2-4 mg/kg p.o, p.r or i.m 2 hours preoperatively
B. PERIOPERATIVE PERIOD
Induction
Thiopental sodium (Penthotal)
up to 5 mg/kg i.v. in heakthy children (if no contraindication), infants from 6
months to 2 years of age may require higher doses up to 7 mg/kg
Methohexital : Up to 2 mg/kg i.v or 15 mg/kg p.r (1% solution) ;
Diprivan (Propofol) : 2,5-3,5 mg/kg
Ketanine : 2 mg/kg i.v or 4-8 nig/kg i.m.
For intubation ,
Succinylcholine : Infants 2 mg/kg i.v. Older children 1 mg/kg i.v or 2 mg/kg i.m.
Vecuronium : 0,1 mg/kg i.v.
pancuronium : 0,1 mg/kg
Topical lidocaine for laryngeal spray. Total dose, up to 4 mg/kg
Maintenance
Fentanyl : 1-2 Mg/kg i.v. to supplement anagsia or as an i.v. infusion for major
surgery : loading dose, 5 Mg/kg, and infusion at 2-4 Mg/kg/nr
Meperidine (Pethidine, Demerol) : 0,2-0,4 mg/kg i.v or 1,5 mg/kg i.m.
Morphine : 0,01-0,03 mg/kg i.v. or i.v. infusion (for children over 5 years of
age?: loading dose, 100 Mg/kg over 5 minutes, and infusion of 50-60 Mg/kg/hr
Droperidol : 0,1 mg/kg i.v (do not repeated). To prevent vomiting following
strabismus rpair; 75 Mg/kg iv (given before manipulation of the eye muscle)
Neuromuscular Blocking Drugs
d-Tubocurarine : initial dose 0,3-0,5 mg/kg; repeat doses should not exceed
one-half the initial dose
Pancuronium : initial dose 0,06-0,1 mg/kg; repeat dose should not exceed
one-sixth the initial dose
Metocurine : 0,2-0,3 mg/kg
Atracurium : initial dose 0,3-0,5 mg/kg; repeat dose 0,125 mg/kg
vecuronium : Initial dose for intubation 0,1 mg/kg; incrfmental doses
0,02 mg/kg
Reversal of Nondepolarizing Neuromuscular Blocking Agents
Atropine : 0,02 mg/kg or glycopyrrolate 0,01 mg/kg mixed with neostigmine
0,05 mg/kg. Administer slowly; use a nerve stimulator to monitor effect. Or
Atropine 0,02 mg/kg, followed by edrophonium 1 mg/kg
C. POSTOPERATIVE PERIOD
Analgesics
Acetaminophen (Tylenol) : 10 mg/kg p.o or p.r
Codein : 1-1,5 mg/kg i.m (useful for minor surgery)
Codein must not be given i.v.)
Meperidine (Demerol, Pethidine) : 1-1,5 mg/kg i.m or 0,2-0,5 mg/kg i.v
Morphine : 0,05-0,2 mg/kg i..m or 0,02 mg/kg i.v
Morphine infusion : 10-30 Mg/kg/hr . ;
Preparation of solution : Mix
patients weight in kg x mg morphine in 50 ml
2
Solution then contains 10 Mg/kg/mT. Infuse at 1-3 ml/hr (equivalent to 10-30
Mg/kg/hr) , .
Narcotic Antagonist .
Naloxone (Narcan) : 0,01-0,1 mg/kg i.v
This drug shoul be titrated slowly untul undesired narcotic effects are.
reversed. Rapid administration of an excessive dose will result in loss of :
analgesia, pain and extreme restlessness.
Treatment of Nausea and vomiting
Dimenhydrinate (Gravol, Dramamine) : 1 mg/kg i.v or 2 mg/kg p.r
prochiorperazine (Stemetil) : 0,05-0,1 mg/kg i.v
do not give to infants < 2 years)
D. ANCILLARY DRUGS
Antibiotics
Ampicillin : 50 100 mg/kg (300 mg/kg)
Cefazolin : 20 40 mg/kg (100 mg/kg)
Cefoxitin : 20 40 mg/kg (160 mg/kg)
Cefuroxime : 20 - 50 mg/kg (240 mg/kg)
Clindamycin : 5 - 10 mg/kg ( 30 mg/kg)
Cloxacillin : 12 - 25 mg/kg (100 mg/kg)
Erythromycin : 2,5 - 5 mg/kg ( 20 mg/kg)
Gentamycin : 2,0 mg/kg (7,5 mg/kg)
Benzyl penicilin : 30.000 50.000 iu (250.000 iu/kg)
Vancomycin : 10 mg/kg (60 mg/kg)
Adrenocorticosteroids'
Dexamethaxone (Decadron) : 0,2 mg/kg i.v (maximum 10 mg)
Methylprednisol one (solu-medrol) : 5-15 mg/kg i.v. slowly >10'
Hydrocortisone sodium succinate (Solu-cortef) : 4-8 nig/kg i.v >10'
Diuretics
Furosemide (Lasix) : 1 mg/kg 0,5-2,0 mg/kg
Mannitol : 0,5 2,0 mg/kg
Anticonvulsants
Diphenylhydantoin (Dilantin) Loading dose 10 mg/kg i.v
Maintenance 2,5-5 mg/kg bid i.v or p.o
Phenobarbital Loading dose 10 mg/kg i.v Maintenance 1,5-2,5 mg/kg bid i.v
Bronchodilators
Salbutamol (ventolin) : Loading dose 5-6 mg/kg i.v
Infusion 0,1 1,0 mg/kg/min
Inhaled aerosol 100 mg dose q6h
Aminophylline : Loading dose 5 mg/kg; infusion 1 mg/kg/hr
(Monitor S levels therapeutic range equals 10-12 Mg/ml)
Local Anesthetics
Lidocaine plain : 5 ag/kg
Lidocaine with epinephrine : 8 mg/kg
Maximum recommended dose of epinephrine to be infiltrated during halothane
anesthesia is 10 Mg/kg
Bupivacaine : 2 mg/kg .
Tetracaine : 0,2 mg/kg
Dobutamin :
- Selektif beta-1 agonis
- Meningkatkan COP, efek inotropik lebih baik
- Retensi perifer sedikit menurun
- Temperatur, Renal Blood Flow dan aliran darah mesenterik meningkat
4. BRADIKARDIA 5. HIPOTENSI
Atropin : 0,5 mg i.v diulang 5' - Posisi tredelenberg
Maksimal 2 mg, bila menetap - infus larutan garara faal 200-300 ml dalam
isoproterenol : 2 mg drip dalam waktu 15-20 menit
D 5% 500 cc, harus dimulai dan - Bila refrakter, berikan Dopamin 400 mg dalam
kecepatan infus diatur untuk D 5% 500 ml dosis : 5-15 Mg/kg/menit atau
mempertahankan nadi > 60 x/menit Levarterenol 4-8 mg dlm D5% 500 ml
dosis : sesuaikan respon tekanan darah
6. SEDASI
A. Hidroksizin (vistaril)
- Depresi 5SP sehingga menurunkan kecemasan
- Potensiasi efek narkotik dan barbiturat
- Dosis : 1 mg i.m
B. Analgesik Narkotik
1. Meperidin (Demeroi) : 0,5-1 mg/kg i.m atau i.v
Dosis dewasa : 50-100 mg
Dapat ditambahkan prometazin (Phenergan) 0,25-0,5 mg/kg i.m
2. Morfin : 0,05-0,1 mg/kg
Hati-hati dengan fungsi pernapasan. Bila teriadi hipotensi/depresi
akibat narkotika, berikan
NaLokson (Narcan) 0,4-0,8 mg i.v
dengan durasi 1-2 jam, tambahkan sesuai keperluan juga berikan infus
cairan dan elevasi tungkai
C. Benzodiazepin
Midazolam (versed, Miloz)
- Kerja pendek, awal kerja cepat 2-3 menit i.v
- Dosis : 0,03 mg/kg i.v selama 30 detik
2-3 mg untuk rata-rata dewasa
- Awasi depresi napas dan hipotensi
7. PARALISIS OTOT
A. Suksinil Kolin
Relaxan kerja singkat, awal kerja 1 menit, durasi 5-15 menit
Bolus dewasa 40-80 mg, ahak-anak : 20 mg
Relaxan kontinyu per infus : 1-2 mg/ml larutan, pantau derajat relaksasi
otot yang terjadi
B. Tubokurarin
Awal kerja 3 menit, durasi 30-40 menit
Dosis dewasa 25-30 mg, anak-anak : 0,2 mg/kg
Antagonis diberikan atropin 0,2 mg/kg
atau neostigrain 0,08 mg/kg,
dewasa 2,5 mg neostigmin dan 1 mg atropin
C. Obat Non Depolarisasi
Pankuronium : 0,04-0,1 mg/kg i.v
Antagonis dengan atropin dan neostigmin
Vekuronium : 0,08 - 0,1 rag/kg
Atakurium : 0,4-0,5 mg/kg
XIV. HIPOTENSI
Sebab-sebab umur dari hipotensi pada pasien bedah
Hipovolemia Kehilangan darah aktual atau defisit cairan lain : kehilangan
dari saluran cerna, sekuestrasi rongga ketiga
Hipoyolemia relatif yang disebabkan vasodilatasi
Defek pompa jantung Gagal jantung
inrark miokard
Bradikardia atau aritraia lain
Penyakit katup jantung
Emboli paru
Tension pneumothorak
Tamponade jantung
Obat-obat : Penyekat S, obat anti airtmia
Status vasodilatasi Sepsis
Anestesia spinal atau epidural tinggi
Spinal shock
Anafilaksis
Gagal adrenal (juga menjurus ke deplesi volume)
Obat-obat : antihipertensi,antijamur.fenotiazin
.
XV. KRISIS HIPERTENSI
1. Klasifikasi :
Tabel I :
Hipertensi gawat darurat (emergency)
Tekanan darah diastolik (top) > 120 mmHg dengan : ;
1. Perdarahan intrakranial atau CVA yang trombotik
2. Perdarahan subarakhnoid (PSA)
3. Ensefalopathy hupertensif
4. Edema puimonum akut, GDK (Gagai3antung Kongestif) akut
5. Eklampsia
6. Feokromositoma paroksismal
7. Perubahan funduskopi tingkat 3 & 4
8. Gagal Ginjal Akut (GGA)
9. Insufisiensi miokard akut (angina tdk stabil, infark miokard akut)
10. Diseksi aorta akut
11. Sindroma badai (storm) katekolamin oleh :
- Penghentian obat anti hipertensi mendadak
- Cidera kepala; delirium tremens
- Luka bakar
- Obat (MAO inhibitor)
Tabel II :
Darurat hipertensi (urgencies)
1. Hipertensi. yang mengakselerasi dengan kenaikkan tekanan darah (TDD>120
mmHg) tapi dengan kerusakan organ yang minimal tanpa gejala pada tabel
1 dan tanda gagal fungsi organ yang membakat,
2. Hipertensi pasca bedah
3. Hipertensi pra bedah yang tidak terkendali/belum diobati
Istilah :
Hipertensi yang refrakter :
Respon tekanan darah (>200/120) yang kurang memuaskan terhadap
pengobatan anti hipertensi yang biasanya efektif.
Hipertensi yang mengakselerasi :
Kenaikan TDD >120 yang besar disertai dengan perubahan funduskopik
tingkat 3 (perdarahan berbentuk bunga api/flame dan eksudat tanpa edema
papil dan kemunduran vaskuler cepat.
Hipertensi maligna :
Hipertensi TDD >120-130 dan perubahan funduskopik tinakat 4, dengan
edema papil mata. TIK cepat meningkat disertai gangguan vaskuler cepat
yang mengakibatkan gagal ginjal akut dan kematian.
Krisis hipertensi :
Termasuk dalam tabel 1 dan 2 bila mulai mengganggu fungsi organ secara
akut. Harus dibedakan dengan hipertensi kronis dengan komplikasi.
2. Patofisiologi
TD = C3 x TVS TD = Tekanan Darah
O = Curah Jantung
VK x FJ TVS = Tahanan vaskuler sistemik
VK = volume sekuncup
FJ = Frekuensi jantung
Pada hipertensi primer CJ pada umumnya menurun TVS meninggi sedikit.
Pada hipertensi maligna TVS terjadi perubahan oleh gangguan struktural dan
hipertensi kronis maupun oleh gangguan fungsional (vasokonstriksi) sehingga TVS
meninggi.
Penatalaksanaan :
Dasar pengobatan adalah mempertahankan perfusi dan memberi kesempatan
perbaikan fungsi arterial : memperbaiki volume intravaskuler dan menurunkan segera
TD dengan 25% dari TD (yang ada) atau TDD menjadi 100-110 (jangan kurang)
dalam beberapa menit atau jam.
Restriksi Na tidak begitu diperlukan kecuali bila ada overload cairan. Diuretika
diberikan untuk menolong memperkuat efek obat vasodilator kuat seperti nitroprusid,
diazoksid dan hidraiazin.
3. Obat oral antihipertensi darurat tanpa perawatan intensif
Ensefalopati hipertensi
Walaupun komplikasi ini berat tapi masih reversibel. Dapat terjadi akut pada pasien
normotensif (krn. Glomerulo nefritis akut) atau lebih sering karena pengobatan anti
hipertensi yang tidak mencukupi. 3uga lebih serina terjadi kalau nipertensi
terkomplikasi dengan gangguan insufisiensi ginjal daripada dengan ginjal yang
normal. Pada keadaan ini autoregulasi terganggu hingga lebih banyak terjadi under
regulation. Pembuluh darah otak melebar sehingga menyebabkan edema serebri.
Apapun patogenesanya, terapi memberkan hasil yang baik. Gejala : sakit kepala,
gelisah, somnolen, stupor, bingung. Dapat berlanjut menjadi koma dan kematian.
Geiala lain selain TD sangat meniggi, muntah proyektil, edema pupil, penglihatan
kabur, kejang lokal maupun umum. Obat anti hipertensi standar yang darurat adalah
nitroprusid.
Fungsi serebral
Aliran darah otak (ADO) biasanya dipertahankan dalam batas-batas aman walaupun
dengan variasi tekanan darah yang lebar. ADO kadang-kadang terganggu pada krisis
hipertensi (misalnya ensefalopati hipertensi) dan obat anti hipertensi dapat
mempengaruhi sirkulasi otak (bervariasi dengan jenis obat). Diazoksid dapat
mempertahankan ado dengan konstan sampai TD sangat menurun sampai tingkat
yang membahayakan. Hidralazin mengganggu ado yang tidak tergantung kepada
perubahan TD. Inhibitor ACE dan nifedipin tidak berpengaruh buruk terhadap ADO.
XVI. KEJANG
1. Definisi :
Adalah letupan neuron listrik otak secara mendadak, hebat dan tidak teratur yang
mengganggu fungsi otak.
Timbulnya aktifitas listrik yang abnormal gangguan sensasi, Kehilangan
kesadaran. dan fungsi psikis, gangguan motorik dan bangkitan kontraksi otot.
Bila > 60 ' = kemungkinan timbul kerusakan otak yang menetap.
(amygdala, serebelum, talamus)
> 20 ' = menurunkan tekanan parsial Oz.
2. Pemeriksaan laboratorium :
- Calcium f
- Asam arakhidonat T
- Digliserol arakidonoil T
- Prostaglandin
- Bila meningkat semuanya edema serebri/kematian bagian otak.
3. Komplikasi Metabolik :
a. Asidosis laktat
b. Tekanan cairan serebrospinal
c. Awal : hiperglikemia, kemudian menjadi hipoglikemia
d. Disfungsi SSO dengan hipertermi, keringat hipertensi, takikardia
Hipotensi/syok .
e. Kontraksi otot berlebihan myolisis dan myoglobinuria
f. Nefrosis nefron bawah
g. spasme otot apnoe
Pada laring asfiksia
h. Spasme otot abdomen hipoksia .
i. Tekanan intraabdominal regurgitasi & aspirasi pneumonia
j. Akhir gagal kardiovaskuier, napas dan ginjal
4. Sumber Kejang
6. Sumber di SSP
Trauma akut primer
- Trauma capitis
- SOL (tumor/abses otak)
- CVA (SDH, ICH, Trombosis arteri, embolus, tromboflebitis)
- Emboli udara .
Infeksi
- Meningitis
- Ensefalitis
- Empyema
- Abses
Ensefalopati kronis
- Enselopati epileptik, trauma lahir
- Epilepsi pasca trauma
- Penyakit degeneratif / infeksi SSP
- Enselopati dialisa (sindrom disequilibrium)
- Kejang febris anak
-
7. Sumber di luar SSP
a. Keracunan
(Etanol, Pb, Organofospat, fluoridam obat hipoglikemia, antibiotika)
b. Kelainan sistemik
- Anoksia (Henti jantung)
- Hipomagnesia, hipokalemia, hiponatremia
- Alkalosis metabolik / respiratorik
- Hipo-hiperosmolar (hipoglikemia, ketoasidosis diabetes, uremia)
- Pasca operasi otak
- Enselopati hipertensi
- Ketoasidosis diabetes
- Eklamsia
5. Penatalaksanaan
B. Tindakan umum
1. Menilai fungsi kardiorespirasi
a. Tidak disertai gangguan napas/asinosis/tidak darurat
- jaga jalan napas, bersihkan lendir, sekret dan sisa makanan di orofaring
- Pemberian O2
b. Disertai sianosis/syok berat
- Tindakan resusitasi jantung paru, adrenalin, intubasi trakhea
2. Pasang infus
Terutama bila belum ditemukan penyebab kejang, periksa darah lengkap, kadar
elektrolit, osmolalitas plasma, glukosa, ureum, AGD
3. Monitor:
vital sign, EKG, EEG, untuk bayi monitor dengan kardiatokografi
1. DIAZEPAM (VALIUM)
Menghentikan kejang dalam 3 menit - 5 menit
Pemberian i.v. , puncak dalam otak 1 menit, waktu paruh 15 menit
Kerugian : pemberian berulang dan efek lanjutan minimal
Dosis :
10 mg i.v. dalam l'-2' diulang 10 menit - 60 menit
atau sebagai tetesan infus 100 mg dalam 500 ml Nacl/ glukosa dengan
kecepatan : 40 ml/jam
10 tetes/menit (makrodrip) 40 tetes/menit (mikrodrip) untuk mempertahankan
kadar serum 0,2-0,8 Mg/dl
Pada anak : 0,25 mg (dosis awal) - 0,5 mg/kg
3. FENOBARBITAL (LUMINAL)
Efek lambat, setelah 30 menit i.v. :
Efeknya lama, berjam-jam. Baik untuk mempertahankan dosis terapeutik
Sering digunakan pada bayi dan anak-anak
Dosis :
Dewasa : 5 mg/kg i.m. atau i.v. (60 mg/menit) sbg loading dose Dosis sehari dapat
mencapai 1000 mg
Bayi : 16-23 mg/kg I.m. atau i.v.
C. Tindakan Suportif
1. Pengendalian pernapasan
Pada kejang hebat dibutuhkan intubasi dan napas buatan respirator dengan obat
pelumpuh otot (Pankuronium Br atau d tubokurarin klorida), juga sekalian
mencegah regurgitasi dan aspirasi isi lambung
Syok/hipotensi diperbaiki dengan koreksi hipovolemia hipoksia dan kelainan
metabolik (elektrolit asidosis)
Hipertensi pada kejang ensefalopati berikan CPZ, hidralazin, penghambat beta
dan diazoksid
Disfungsi SSO dihentikan dengan obat opioid epidural, magnesium sulfat dan
beta antagonis
2. Mengendalikan suhu
Terutama pada anak-anak, dengan antipiretik dan kompres
1. Penatalaksanaan Koma
A. Tindakan umum
a. Mengatur jalan napas
- Intubasi untuk mencegah aspirasi (crash intubation)
- Hindari hipoksemia dan hiperkarbia
- Batuk dan menggeliat harus dihindari karena dapat meningkatkan TVS, TIK
dan TA, menimbulkan hipokseraia dan perdarahan intra kranial
- Pembersihan sekret jalan napas ;
b. Mengatur gas darah dan keseimbangan asara-basa
- oksigenasi serebral yang adekuat untuk mempertahankan integritas neurologik
- Jangan biarkan hipoksemia walaupun sebentar
- Pertahankan PaO2 diatas 100-150 mmHg utk melindungi hipoksemia saat
konvulsi, hipoventilasi dan apnea
Dapat diberikan 02 80-100% untuk beberapa jam sampai PaO2 optimal,
turunkan 02 < 60% setelah 12-24 jam bila mungkin, untuk mencegah
intoksikasi O2 paru-paru. untuk menaikkan PaOz dapat juga dipakai
CPAP/PEEP tetapi harus disesuaikan untuk mengoptimalkan oksigenasi, tanpa
terlalu meninggikan TVS.
- PaCO2 dipertahankan 25-35 mmHg
Bila terjadi hiperventilasi atau keielahan akibat hiperventilasi lakukan
napas kendali. Bila perlu gunakan IMV (Intermittent Mandatory ventilation)
- untuk kelainan intrakranial pertahankan pH antara 7,3 - 7,5
g. Nutrisi
- Untuk menjamin metabolisrae otak dan mencegah malnutrsi diperlukan
nutrisi parenteral
- Dextrose penting pada pasien disfungsi otak berat, diberikan Dextrose
10% dalam NaCl atau ringer, dewasa sebanyak 30-50 ml/kgBB/24 jam dan
anak kecil atau bayi sebanyaklOO ml/kgBB/24 jam.
B. Tindakan Khusus
1. Terapi osraotik
- Untuk mengurangi edema otak dan TIK, serta memperbaiki ADO diberikan :
Mannitol 20% 0,25-0,5 g/kgBB, diberikan dalam waktu 20-30 menit
urea 3056 1-1,4 g/kgBBm maksimum 90 gr
Gliserol dalam Tarutan Nacl, bolus 0,5-1 g/kgBB selama 30 menit atau per
infus. Dosis berkisar antara lg/kgBB/24 jam sampai 1 g/kgBB/2 jam. Hati-hati
kemungkinan hemolisis.
2. Steroid
- Tujuan :
a. Mengurangi edema otak
b. Menurunkan TIK
c. Mencegah kerusakan sel otak lebih lanjut dengan menstabilkan membran
lisosom dan mitokondria
- Dapat diberikan
Dexamethason 1-2 mg/kgBB atau Methylprednisolone 5-10 mg/kgBB
3. Suhu tubuh
- pertahankan dalam batas normal dengan
Antipiretika, obat vasodilator (cpz 0,2-0,5 mg/kgBB)
- Hati-hati hipotensi dan takikardia, serta surface cooling.
4. Terapi barbiturat
- Masih kontroversial
- Memberikan perlindungan terhadap kerusakan otak lebih lanjut o.k :
a. ADO menurun dengan mekanisme vasokonstriksi
b. Pemakaian 02 berkurang
c. Aktivitas pints heksose monofosfat meninggi
d. Hipdtermia
e. Mengurangi edema otak
f. Mengurangi reaksi radikal bebas yang patologik
2. PATOGENESA KOMA
Reaksi otak terhadap kejadian iskemia-anoksia akut fokal atau total, trauma,
inflamasi, metabolik, perdarahan atau neoplastik berupa :
a. Penekanan fungsi neuran (koma)
b. Gangguan metabolik Casidosis jaringan)
c. Edema
d. Gangguan aliran darah (penekanan otoregulasi ADO & reaktivitas CO2)
Hal diatas menimbulkan lingkaran setan kegagalan otak, yang mula-mula sebagian
masih reversibel dan terakhir irreversibel. juga kerusakan luas sistem organ lain akan
berakhir dengan memburuknya fungsi otak. Koma akan menimbulkan :
1. Obstruksi jalan napas (lidah akan jatuh kebelakang dsb)
2. Hipoventilasi yang mengakibatkan hipoksemia dan hiperkarbia.
Hipoksemia dan hiperkarbia akan menyebabkan vasodilatasi serebral.
Vasodilatasi serebral akan menyebabkan kongesti vena yang memperlambat
aliran darah dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang berakhir dengan
keluarnya cairan-masuk ke jaringan sekitarnya dan menimbulkan edema.
3. Perubahan pH arteri akan tercermin didatam CSS dengan kecepatan yang
tergantung pada perubahan arteri asai respiratorik atau metabolik. CO2
melintasi sawar otak dengan mudah, tetapi ion bermuatan seperti hidrogen
atau bikarbonat melintas dengan larabat. Karena itu hipokarbia dengan cepat
meningkat dan hiperkarbia dengan cepat menurunkan pH otak dan ess, sedang
asidemia atau alkaleraia metabolite (dengan PaC02 terkontrol) pH CSS
dipertahankan mendekati normal.
4. pH CSS secara bermakna mempengaruhi respirasi dan aliran darah otak. ph
CSS yang rendah merangsang permukaan medulla kemoreseptor dan selanjutnya
meningkatkan usaha respirasi
5. Penurunan pH CSS mungkin sebagai penyebab hiperventilasi pada pasien
yang dirawat dengan kelainan intrakranial.
Hiperventilasi dapat juga disebabkan kenaikan TIK sedang.
67% pasien ini dengan hiperventilasi spontan yang ditandai dengan hipokarbia.
Hipokarbia bila hebat (PaC02 25 mmHg.terutama PaCO2 = 10 mmHg) akan
menyebabkan asidosis laktat pada jaringan otak akibat vasokonstriksi dan
menimbulkan kelelahan otot-otot pernapasan, yang berakhir dengan kematian.
Pernapasan spontan atau terkontrol PaCO2 harus dipertahankan antara 25-35
mmHg.
68% dengan PaCO2 25 mmHg meninggal-
Penurunan PaCo2e 25 mmHg masin dapat dibenarkan dengan hiperventilasi
kontrol lama bila penurunan tik tidak berhasil dengan cara-cara lain tetapi TIK
harus dimonitor.
Biasanya tidak dibiarkan hiperventilasi spontan bila PaCO2 25 mmHg atau laju
napas 35x/menit, untuk itu diperlukan ventilasi kendali.
6. pH CSS yang rendah menyebabkan relaksasi arteriole serebral yang akan
meningkatkan volume serebro-spinal. Laktat, produksi akhir metabolisme
anaerobik, meningkat didalam CSS setelah hipoksia otak, iskemia atau
trauma.
Adanya darah didalam ruang subarakhnoid juga mengakibatkan vasospasme dan
asidosis laktat CSS-
7. 48,3% dengan hipoksemia dan 32,8% hiperkarbia pada waktu masuk, yang
mungkin menurunkan pH CSS dan mengakibatkan kerusakan otak lebih lanjut,
dan meningkatkan angka kematian.
8. TAR harus dipertahankan antara kira-kira 80-120 mmHg.
Hipotensi atau hipertensi berat dapat menambah kerusakan otak.
73,7% dengan kelainan intrakranial yang disertai hipotensi meninggal, dan 75%
yang disertai hipertensi meninggal.
9. Pembatasan cairan masuk yang terlalu ketat membahayakan, karena dapat
menyebabkan hiperosmolariti, hipernatremia dan kegagalan ginjal. Keseimbangan
cairan yang negatif tidak akan mengurangi edema otak, bahkan membahayakan
sirkulasi, termasuk sirkulasi serebral dan fungsi ginjal. Pembatasan cairan harus
digunakan hati-hati bila pasien mendapat preparat hiperosmolar, diuretika dan
dexamethasone.
10. 65,5% dengan kelainan intrakranial yang disertai TVS 4 cmH20 meninggal.
Dan 71,4% dengan TVS 10 cmH2O meninggal.
Pemasangan. kateter TVS diperlukan untuk menilai hipovqlemia atau
hipervoiemia akan memberikan petunjuk pemberian cairan. Ada juga laporan data
eksperimental yang menunjukkan bahwa edema paru dapat timbul pada anjing
dan kera normal dengan meninggikan tik. Edema ini disebut edema neurogenik
yang mekanismenya belum aiketahui.Edema paru akut pada koma kadang-kadang
didahului atau diikuti peningkatan hebat resistensi perifer yang bisa atau tidak
dicetus oleh peninggian TIK, dan biasanya sukar diatasi, 28 dari 30 kasus edema
paru neurogenik pada trauma kepala meningcjal. Satu-satunya terapi yang
mungkin adalah dekompresi cepat tik. Untuk itu dilakukan pemantauan invasif
TIK, dengan membuat burr-hole dan pemasangan tranduser epidural.
11. Dapat juga digunakan vasodilator antihipertensi yang bekerja cepat seperti
Na-nitropruside untuk menurunkan peninggian tekanan vena pulmonalis. Dan
dilaporkan bahwa pemberian obat analgetika dosis besar dan rutin juga
menurunkan TIK.
XVIII.
PENENTUAN MATI
Mati klinis : Henti papas (tidak ada gerak napas spontan). Ditambah henti:
sirkulasi (jantung total) dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi
irreversible.
Mati biologis : (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak
dilakukan R3P atau bila upaya RJP dihentikan
Merupakan proses nekrotisasi semua jaringan (neuron otak
1 jam, jantung-ginjal-paru-hati 2 jam, kulit jam-hari)
Henti jantung (cardiac arrest) : penghentian tibar-tiba kerja pompa jantung
hasil akhir henti jantung yang berlangsung lama
mati mendadak (sudden death)
Mati jantung : (henti jantung irreversibel) bila telah ada asistolel listrik
membandel (intractable, garis datar pada EKG) selama paling
tidak 30' walaupun telah dilakukan RIP dan terapi obat yang
optimal.
Mati serebral : (kematian korteks) kerusakan irreversibel (nekrosis) serebrum,
terutama neokorteks.
Mati otak(MO) : Kematian otak total adalah mati serebral ditambah dengan
nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebrum, otak tengah dan
batang otak.
Mati sosial : (status vegetatif yang menetap, sindroma apalika) merupakan
kerusakan otak berat irreversibel pada pasien yang tetap tidak
sadar dan tidak responsif, tetapi mempunyai EEG aktif dan
beberapa refleks yang utuh.
Kriteria Harvard untuk mati otak
1. Tak reseptif dan tidak responsif
2. Tak ada gerakan (oservasi selama 1 jam)
3. Henti napas (3 menit lepas dari ventilator)
4. Tak ada refleks-refleks
5. EEG isoelektrik, penting untuk konfirmasi
Semua tes diulang paling sedikit 24 jam kemudian tanpa didapat perubahan
Kriteria Minnesota
1. Diketahui ada lesi intrakranial yang tidak dapat diperbaiki
2. Tak ada gerak spontan
3. Henti napas
4. Refleks-refleks batang otak negatif
5. Semua hasil pemeriksaan tak berubah selama paling sedikit 12 jam
EEG : bukan keharusan
Limitations
The following limitations of the APACHE II score deserve mention.
1. The APS score has no adjustments for measurements obtained in the presence of
interventions such as homodynamic support drugs, mechanical ventilation, or
antipyretic therppy.
2. There is an exaggerated penalty for old age. For example, age greater than 65
years adds more points than an A-a Po2 gradient aboye 500 mm Hg (6 points
versus 4 points, respectively).
3. There is no consideration for malnutrition or cachexia in the chronic health
evaluation.
adult who is not nutritionally depleted ana nas no voiume restncuons.
Step 1
The first step is to estimate the daily protein and calorie requirements as described in
Chapter 46. For this example, the daily calorie requirement will be 25 kcal/kg, and
the daily protein requirement will A 1.4 g/kg. Therefore, for the 70-kg patient, the
protem and calorie requirements arc as follows:
Calorie requirement = 25 (kcal/kg) X 70 (kg) = 1750 kcal/day Protein requirement =
1.4 (g/day) X 70 (kg) = 98 g/day (48.1)
Step 2
The next step is to take a standard mixture of 10% amino adds (500 mL) and 50%
dextrose (500 mL) and determine the volume of this mixture mat is needed to deliver
the estimated daily protein requirement. Although the dextrose-amino acid mixture is
referred to as Aij-Dso, the final mixture actually represents 5% amino adds (50 grains
of protem per liter) and 25% dextrose (250 grams dextrose per liter). Therefore:, the
volume of the Ajo-Dso mixture needed to provide the chily protein requirement is as
follows:
Volume of A10-D50 = 58 (g/day)/50 fe/L) = 1.9 L/day (48.2) z
If this mixture is infused continuously over 24 hours; the infusion rate will be
1900 mL/24 hours = 81 mL/hour (or 81 microdrop/minute).
Step 3
Using the total daily volume of the dextrose-amino add mixture 23 determined
in Step 2, the next step is to determine the total calories that will be provided by the
dextrose in the mixture. Using an energy yield of 3.4 kcal/g for dextrose, the total
dextrose calories can be determined as follows:
Amount of dextrose = 250 (g/L) X 1.9 (L/day) = 475 g/day
Dextrose calories = 475 (g/day) X 3.4 (kcal/g) = 1615 kcal/day
(48.3)
Because the estimated requirement for calories is 1750 kcal/day, the dextrose
will provide all but 135 kcal/day. These remaining calories can be provided by an
intravenous lipid emulsion.
Step 4
If a 10% lipid emulsion (1 kcal/mL) is used to provide 135 kcal/day, the daily volume
of the lipid emulsion will be 135 mL/day. Because the lipid emulsion is available in
unit volumes of 50 mL, the volume can be adjusted to 150 mL/day to avoid wastage.
Thus volume can be infused at half the maximum recommended rate (50 mL/hour) to
minimize the tendency to develop lipemic serum during the infusion.
Step 5
The daily TPN orders for the previous example can then be written as follows:
1. Provide standard TPN with A10-D50 to run at 80 mL/hour.
2. Add standard electrolytes, multivitamins, and trace elements.
3. Give 10% Intralipid: 150 mL to infuse over 6 hours.
TPN orders are rewritten each day. Specific electrolyte, vitamin, and trace
element requirements are added to the daily orders as needed.
The example just presented applies to the separate administration of dexirose
amino acid mixtures and lipid emulsions. Another practice that is gaining popularity
is to add the nutrient solutions and additives together to form a total nutrient
admixture (TNA). Although this simplifies nutrient administration and reduces cost,
there are line concerns regarding compatibility (e.c, multivitamin preparation
PRINSIP DASAR VENTILASI MEKANIK
d. High compliance:
i. Pada keadaan high compliance yang ekstrim, ekspirasi sering tidak komplet akibat
hilangnya elastic recoil paru.
1. Emfisema merupakan contoh high compl dimana proses pertukaran gas
terganggu.
2. Keadaan ini disebabkan oleh adanya air trapping (udara terperangkap dalam
alevoli), kerusakan jaringan paru dan adanya pembesaran dari bronckiolus
terminalis dan respiratoris.
ii. Pengukuran high compl biasanya berhubungan dengan keadaan meningkatnya
FRC pasien.
1. Pasien dengan high compl sering defek paru yang obstruksi, obstruksi jalan
nafas, ekspirasi yang tidak komplet, dan gangguan pertukaran gas.
iii. Pasien dengan high compliance juga dapat menimbulkan efek buruk terhadap
jantung akibat pemakaian ventilasi mekanik (positif pressure ventilasi).
1. Hal ini disebabkan oleh mudahnya paru mengembang seningga menekan
jantung dan secara langsung menurunkan preload dan curah jantung.
d. V/Q mismatch
i. Rasio ventilasi dengan perfusi menggambarkan jumlah dari ventilasi terhadap
jumlah darah kapiler paru yg mengalir.
ii. Emboli paru merupakan contoh yang dapat menurunkan perfusi paru sehingga
menyebabkan V/Q mismatch yang tinggi.
iii. mismatch penyebab utama terjadinya hipoksemia
1. Jika cadangan paru cukup, pasien yang mengalami hipoksemia dapat
mengkompensasi dengan cara hiperventilasi,
e. Shunt intrapulmonal
i. Perfusi yang mubazir, ada perfusi namun alveolus tidak terventilasi.
1. Aliran darah kapiler paru sama sekali tidak berguna karena alveolus rusak
(tidak ada oksigen)
2. Nilai shunt normal 5%
3. Jika > 30% disebut kritis
f. Gagal nafas oksigenasi
i. Definisi: hipoksemia berat (PaO2 < 40 mmHg) yang tidak rest-on dengan
terapi oksigen 50-100%
1. Penyebab:
a. Hipoventilasi
b. V/Q mismatch
c. Shunt
ii. Kompensasi hipoksemia berupa hiperverltiiasr (PaCO2 <30 mmHg)
iii. Sesuai penyebabnya maka ventilasi mekanik diperlukan untuk mengurangi
kerja nafas dan menyediakan suplemen oksigen.
g. Hipoksemia dan hipoksia
i. Hipoksemia dan hipoksia ?
1. Normal PaO2 80-100 mmHg
2. Ringan 60-79 mmHg
3. Sedang 40-59 mmHg (Saturasi 85-90%)
4. Berat < 40 mmHg
ii. Hipoksia tanpa terjadi walaupun PaO2 normal.
1. Anemia
2. CaO2
iii. Tanda hipoksia
1. Hipoksemia
2. Sesak
3. Hiperventilasi (RR>30)
4. Takikardi
5. Sianosis
6. Disorientasi
INDIKASI INTUBASI
1. Kegagalan oksigenasi
Shunt intrapulmonal
V/Q Mismatch
Penurunan FRC paru
2. Kegagalan ventilasi
Gangguan "drive" nafas
Abnormal dinding dada
Kelelahan otot-otot pernafasan
3. Fasilitas diagnostik, pembedahan dan prosedur terapeutik
4. Obstruksi jalan nafas
Jika hanya gangguan pada jalan nafas atas seharusnya tanpa pemberian venntilasi
mekanik, namun pada kenyataannya pasien biasanya sudah jatuh dalan
hipokksemia juga selain karena pemberian pelumpuh otot sehingga tidak menutup
kemungkinan untuk pemberian "short term ventilation".
VENTILATOR
~1956 Dr. J. Frumin invents the Autoanestheton, includinq PEEP. The device is
never marketed. !
VOLUME CYCLED
Di disain untuk memberikan nafas/menghantarkan gas berdasarkan tidal volume
yang disetting, dan membiarkan ekspirasi terjadi secara pasif. Ideal untuk pasien
dengan bronkospasme, karena meski ada sumbatan jalan nafas (bronkus) tidal
volume yg masuk tidak berubah (konstan).
Keuntungan:
Tidal volume konstan meski ada sumbatan atau kelainan paru. Sehingga
tidak menyebabkan hipoventilasi/hiperkarbia.
Kerugian:
Dapat menimbulkan volumtrauma/barotrauma karena mempunyai peak
pressure. Tipe ini banyak digunakan di ICU dan mesin ventilator anestesi.
PRESSURE CYCLED
Menghantarkan gas berdasarkan pada pressure yg sudah diset, dan membiarkan
ekspirasi terjadi secara pasif. Ideal untuk pasien usia tua, ARDS atau pneumonia
berat. Beberapa penelitian menunjukkan pasien dengan hipoksemia berat PaO2
dapat meningkat bermakna pada pemakaian pressure cycled dibanding volume
cycled. Hal ini disebabkan oleh flow yg dihasilkan bersifat deselerasi, sehingga
distribusi gas merata keseluruh paru.
Keuntungan:
Menurunkan resiko volumtrauma/barotrauma
Kerugian:
Dapat terjadi hipoventilasi/hiperkarbia karena tidal volume yg masuk
berubah-ubah sesuai dengan compliance dan resistensi jalan nafas pasien.
FLOW CYCLED
Menghantarkan gas sampai kecepatan flow (flow rate) yg disetting dicapai.
TIME CYCLED:
Menghantarkan gas sampai setting time dicapai.
Dari keempat tipe "tersebut yang banyak digunakan adalah Volume dan Pressure
Cycled Ventilation.
SETTING VENTILATOR
Setting ventilator biasanya berbeda-beda tergantung pasien. Semua ventilator
di disain untuk memonitor komponen2 dari keadaan sistim respirasi (paru-paru)
pasien. Beberapa alarm dan parameter dapat disetting untuk mengingatkan perawat/
dokter bahwa pasien tidak cocok dengan setting atau menunjukkan keadaan
berbahaya.
Respiratory Rate
Frekuensi nafas (RR) adalah jumlah nafas yang diberikan ke pasien setiap
menitnya. Setting RR tergantung dari TV, jenis kelalnan paru pasien,- dan target
PaCCb pasien. Parameter alarm RR di set diatas dan di bawah nilai RR yang diset.
Misalnya jika set RR 10 kali/menit, maka set alarm sebaiknya diatas 12x/menit dan di
bawah 8 x/menit. Sehingga mpnrlpteksi ten^Hinya hiperventilasi atau hipoventilasi.
Pada pasien2 dengan asma (obstruktif), RR sebaiknya diset antara 6-8 x/menit, agar
tidak terjadi auto-PEEP dan dynamic-hyperinflation. Selain itu pasien2 PPOK
memang sudah terbiasa dengan PaCO2 tinggi, sehingga PaCO2 jangan terlalu
rendah/normal.
Pada pasien2 dengan PPOK (resktriktif) biasanya tolerate dengan RR 12-20 x/menit.
Sedannkan untuk pasien normal RR biasanya 8-12 x/menit.
Waktu (time) merupakan variabel yg mengatur siklus respirasi. Contoh: Setting RR
10 x/menit, maka siklus respirasi (Ttotal) adalah 60/10 = 6 detik. Berarti siklus
respirasi (inspirasi + ekspirasi) harus berlangsung dibawah 6 detik.
6 dtk 6 dtk
TIME
Tidal Volume
Tidal Volume adalah volume gas yang dihantarkan oleh ventilator ke pasien setiap
sekali nafas. Umumnya setting antara 5-15 cc/kgBB, tergantung dari compliance,
resistance, dan jenis kelainan paru. Pasien dengan paru normal tolerate dengan tidal
volume 10-15 cc/kgBB, sedangkan untuk pasien PPOK cukup dengan 5-8 cc/kgBB.
Untuk pasien ARDS memakai konsep permissive hiperrapnea (membiarkan PaCO2
tinggi > 45 mmHg, asal PaO2 normal, dengan cara menurunkan tidal volume yaitu
4-6 cc/kgBB) Tidal volume rendah ini dimaksudkan agar terhindar dari barotrauma.
Parameter alarm tidal volume diset diatas dan dia bawah nilai yang kita set.
Monitoring tidal volume sangat perlu jika kita memakai Pressure Cycled.
Sensitifity/Trigger
Sensitivity menentukan jumlah upaya nafas pasien yang diperlukan untuk memulai
inspirasi dari ventilator. Setting dapat berupa flow atau pressure. Flow biasanya lebih
baik untuk pasien yang sudah bernafas spontan dan memakai PS/Spontan/AS3 karena
dapat megurangi kerja nafas/work of breathing. Nilai sensitivity berkisar 2-20
cmH2O. Jika PaCO2 pasien perlu mempertahankan konstan, misalnya pada resusitasi
otak, maka setting dapat dibuat diatas 5 cmH20. Dengan demikian setiap usaha nafas
pasien tidak akan dibantu oleh ventilator. Pada keadaan ini perlu diberikan sedasi dan
pelumpuh otot (muscle relaksan) karena pasien akan merasa tidak nyaman sewaktu
bangun. Namun jika memakai mode assisted atau SIM atau spontan/PS/ASB, trigger
harus dibuat dibawah 5 cm H2O.
MODE VENTILASI
Karakteristik:
Start/trigger berdasarkan waktu
Target/limit bisa volume atau pressure
Cycled bisa volume/time atau bisa pressure jika vol/pressure sudah tercapai seperti
yang diset, inspirasi stop menjadi ekspirasi)
Disebut juga time-trigger ventilasi
Baik volume/pressure maupun RR dikontrol oleh ventilator
jika ada usaha nafas tambahan pasien tidak akan dibantu
Komplikasi:
Pasien total dependen/sangat tergantung pada ventilator
Potensial apneu (malas bemafas)
ASSISTED MODE
Karakteristik:
Start/trigger oleh usaha nafas pasien yaitu penurunan tekanan ialah nafas
Target/limit oleh volume/time atau pressure
Cycled oleh volume atau pressure
Disebut juga pasien-trigger ventilation
RR lebih dari yg diset, karena setiap usaha nafas dibantu oleh ventilator
Tidal volume sesuai yang diset.
Jika nafas bervariasi; kadang pasien-trigger, kadang time-trigger maka disebut
ASSISTED CONTROL MODE
Setting:
Tidal volume atau Pressure level
RR
PEEP
RO2
Peak flow
I:E Rasio
Sensitivity <5 cmH20
Indikasi:
Proses weaning
Kompiikasi:
Hiperventilasi respiratory alkalosis
Pada cedera kepala sering menyebabkan hiperventilasi, sebaiknya segera ganti
mode.
Kedua mode diatas 9 control mode maupun assisted mode disebut juga Full
ventilatory support, sedangkan SIMV, PS, ASB, Spontan disebut juga partial
ventilator/support.
Karakterisrik:
Start/trigger berdasarkan usaha nafas pasien
Target/limit: berdasarkan pressure level yang diset
Cycled berdasarkan penurunan peak flow inspirasi 25% (manufactured =
setting dari pabrik)
Berfungsi mengatasi resistensi ETT, dengan memberi support inspiresi saja
Peak flow, ekspirasi serta RR ditentukan oleh pasien (tergantung pasien sendiri).
Setting
Inspiratory Pressure Level
PEEP
FiO2
Indikasi :
Untuk pasien yang sudah dapat bernafas spontan (sudah ada trigger). Semakin teal
ETT semakin tinggi resistensi, oleh sebab itu pada pasien dewasa setting level
pressure inspirasi biasanya antara 5-10 cmH20, sedangkan anak kecil lebih besar
yaitu 10 cmH20
Kontraindikasi:
Pasien yang belum ada trigger (belum bernafas spontan), atau pasien yang
menggunakan obat pelumpuh otot (esmeron, norcuron atau pavulon)
Namun PS/Spontan dapat diback up oleh SIMV, jika weaning pada pasien cedera
kepala dimana trigger masih jarang.
ASV
(ADAPTIVE SUPPORT VENTILATION)
Galileo, Hamilton Medical, Sweden
ASV adalah mode baru ventiiasi mekanik. ASV didisain untuk memberikan ventilasi
dengan jaminan minimal minute ventilation (ventilasi semenit=kRxTV), baik untuk
pasien yang masih di kontrol maupun pasien yang sudah nafas spontan. Pada setiap
nafas yang diberikan ASV akan secara otomatis menyesuaikan kebutuhan ventiiasi
pasien berdasarkan setting minimal minute ventilation dan Berat Badan ideal pasien.
BB diset oleh dokter/peraw3t sed3ngkan mekanik respirasi (compliance dan resistensi
jalan nafas pasien) ditentukan oleh ventilator. Dengan ASV ventilasi yang diberikan
dapat menjamin minimum inspiratory pressure (mencegah barotruma). mencegah
auto-PEEP, menghilangkan intrinsik=PEEP.
ASV merupakan. kombinasi antara Pressure Control dan Pressure Support
ventilation. Jika pasien diberikan sedasi atau pelumpuh otot sehingga tidak ada
trigger nafas, maka ASV akan memberikan mode pressure control. Jika kemudian
pasien mulai bangun atau muiai diweaning, maka ASV akan berubah otomatis
menjadi Pressure Support.
ASV mengasumsikan normal minute ventilasi seseorang adalah 100 ml/kgBB untuk
dewasa dan 200 ml/kgBB untuk pediatrik. Sebagai contoh, jika BB seseorang 50 kg,
maka menit volume minimal orang tersebut (TV x RR) diasumsikan 5 L/menit.
Setelah data BB ideal tersebut dimasukkan, maka untuk memberikan minimal menit
ventiiasi % MinVol diset 100%. Ini berarti ventilator akan memberikan jaminan menit
ventiiasi sebesar 5L/menit, sedangkan besarnya TV / Insp pressure dan RR tergantung
penilaian ventilator terhadap compliance dan resistensi jalan nafas pasien.. Misalnya
seteLah 5 kali nafas yANg diberikan oleh ASV, compliance dan resistensi segera
dinilaI. Jika ventilator hanya dapat mendorong aLran udara sebesar 300 cc
(seharusnya 500 cc) karena ada edema paru atau mukous plak di ETT, maka ASV
akan mencari nilai RR agar 300 cc tersebut dikalikan RR mencapai 5 Liter/menit.
Berarti ASV akan rnpmberikan RR 5 liter/0.3 cc = 16 kali/menit. Kalkulasi ini semua
dilakukan nafas demi nafas oleh ASV, sehingga RR, tidak volume ekspirasi dan Insp
Pressure dapat berubah-ubah setiap saat sesuai keadaan paru pasien.
Dengan ASV maka mulai dan pasien dikontrol sampai weaning pasien hanya
memakai satu mode saja. Sebab mulai dan pressure kontrol (paralisis) sampai
weaning dengan Pressure Support atau sebaliknya, mode yang digunakan hanya ASV.
Misalnya sementara memakai ASV tiba-tiba RR menjadi meningkat sampai >30
x/menit, saturasi turun, setelah diperiksa ternyata terjadi edema paru atau penumonia
berat. maka pasien segera dikontrol lagi dengan memakai pelumpuh otot. Setelah
diberikan pelumpuh otot ASV secara otomatis akan segera berubah menjadi Pressure
Control tanpa user harus merubah mode lain.
Dengan berdasarkan pada menit ventiiasi ini maka setting tidal volume, Insp
Pressure, I:E rasio peak flow dan RR tidak diperlukan lagi. sehingga pengoperasian
menjadi lebih mudah.
INTRODUCTION
Mechanical ventilation is defined as the use of a mechanic device to assist the
espiratory muscles in the work of breathing and to improve gas exchange. In his
chapter, mechanical ventilation is divided into two techniques: one requiring i tube in
the trachea to deliver ventilation (invasive) and another applied with a nask
(noninvasive). The indications, objectives, modes, settings, complications, nd
discontinuation strategics are reviewed for both invasive and noninvasive nechanical
ventilation and some disease-specific strategics for invasive mechani-ai ventilation.
Objectives
Mechanical ventilation is supportive and meant to reverse abnormalities in respitory
function, while specific therapies are used to treat the underlying cause of spiratory
failure. The physiologic goals of mechanical ventilation are reversal of exchange
abnormalities, alteration of pressure-volume relationships in the respiratory system,
and reduction in the work of breathing/These physiologic goals are interrelated and
attain specific clinical results, as shown in Figure 4-1. Other goals in specialized
circumstances include allowing use of heavy sedation neuromuscular blockade and
stabilization of the chest wall when injury has irupted its mechanical function.2
Settings
The parameters that need to be set vary, depending on the mode of ventilation used,
as demonstrated in Table 4-3. Initial values for the different ventilator settings are
shown in Table 4~4.2
occurs with normal chest compliance. In such circumstances, the tidal volume ranges
previously discussed should be used.
INSPIRATORY PRESSURE In PCV and PSV, the IP is generally set to keep the
plateau pressure at or below 35 cm H2O. The resulting tidal volume should be kept in
the suggested ranges.
FRACTION OF INSPIRED OXYGEN In most cases, Fro2 should be 100% when the
patient is first intubated and placed on mechanical ventilation. Once proper tube
placement is assured and the patient has stabilized, FiO2 should be progressively
reduced to the lowest concentration that maintains adequate oxygen saturation of
hemoglobin, because high concentrations of oxygen produce pulmonary toxicity.
Maintaining oxygen saturation of 90% or more is the usual goal. Occasionally, this
goal is superseded by the need to protect the lung from excessive tidal volumes,
pressures, or oxygen concentrations. In these circumstances, the target may be
lowered to 85%, while optimizing the other factors involved in oxygen delivery (see
chapter 1).
TRIGGER SENSITIVITY Trigger sensitivity is the negative pressure that the patient
must generate to initiate a ventilator-supported breath. It should be low enough to
minimize the work of breathing but high enough to avoid oversensi-tivity and the
deliver)' of breaths withoat true patient effort. In general, this pressure is -1 to -2 cm
H2O. A more recent adaptation, known as "flow-by," employs a baseline flow rate
through the ventilator circuit; patient effort is detected when flow rate decreases.
Some studies suggest that flow-by reduces the work of breathing in comparison to
pressure-triggering." In general, ventilator triggering occurs when the patient
decreases baseline flow by 1 to 3 L/min.2
1. The "best PEEP" approach, in which PEEP is adjusted upward to allow use
of an FiO2 of below 0.60 or below.4
2. The "open lung approach," in which PEEP is adjusted to a level of 2 cm H 2O
above the lower inflection point of the respiratory system compliance curve 13
Asthma
The ventilator strategies used for patients with asthma are similar to those described for
patients with COPD. Inspiratory airway resistance is typically even higher in asthma
patients, so peak airway pressures may become markedly elevated. But if plateau
pressure remains at 35 cm H20 or less, the risk of barotrauma remains low. Attempts to
reduce peak airway pressure by decreasing inspiratory flow rate shorten expiratory time,
promoting dynamic hyperinflation, auto-PEEP, and barotrauma. Permissive
hypercapnea is frequently required in patients with status asthmaticus.
On occasion, therapeutic paralysis is necessary to eliminate the respit jtory efforts that
increase oxygen consumption and carbon dioxide production and can impair effective
gas exchange in unstable patients. The use of neuromuscular blocking agents mandates
concomitant use of intravenous sedation and analgesia to prevent patient wakefulness
during paralysis. Risks of these drugs include prolonged neuromuscular blockade,
myopathy, and increased incidence of the polyneuropathy of critical illness. All of these
complications delay patient recovery, so use of these agents should be minimized.
Neuromuscular Disease
Patients with diseases of the CNS (e.g., massive stroke, cervical spine trauma, or drug
overdose), peripheral nervous system (e.g., Guillain-Barre syndrome and amyotrophic
lateral sclerosis), and muscle (e.g., myasthenia gravis and Eaton-Lambert syndrome)
share the feature of hypoventilation with essentially normal lungs. Such patients are
probably less vulnerable than others to lune inirnv. so
they can receive ventilation with somewhat higher tidal volumes. Indeed, the primary
problem in these patients is poor lung inflation, predisposing them to at-electasis and
pneumonia. It is therefore acceptable to use tidal volumes from 8 to 12 mL/kg in this
patient group. Many of these patients often prefer high inspiratory flow rates, on the
order of 60 L/min. Small to moderate amounts of PEEP should be used to redure the
risk of atelectasis. The mode of ventilation varies depending on the clinical
circumstances. Patients with intact mental status may prefer pressure-support
ventilation alone, or SIMV with pressure support. Patients with an impaired central
respiratory drive require a mode with sufficient mandatory ventilation to maintain
adequate gas exchange, such as assist-control, pressure-control, or SIMV.
MIXED RESPIRATORY FAILURE Most patients in acute respiratory failure present with a
combination of hypoxemic and hypercapneic physiology. These patients should be
managed with ventilator settings that combine features of the strategies described above.
SPECIAL SITUATIONS
Restrictive Disease
These conditions cause mixed respiratory failure and include patients with interstitial
lung fibrosis or severe kyphoscoliosis. These patients often require mechanical
ventilation because of acute diseases (such as pneumonia) superimposed on chronic
respiratory disease. Impaired oxygenation deteriorates further as acute air space filling is
superimposed on chronic interstitial lung disease or atelectasis. Ventilation deteriorates as
an additional workload is. placed on respiratory muscles that are already compromised
because of low compliance of the restricted lungs or chest wall. Moreover, in fibrotic lung
disease, increases in dead space (i.e., lung that is ventilated but not perfused) accompany
loss of the pulmonary capillary bed, thereby increasing the minute ventilation required to
maintain a normal PcOi. Th.e.strategy in this group must include low tidal volumes of 5 to 8
mL/kg, as in patients with ARDS. However, PEEP can be particularly hazardous in this
group. For patients with fibrotic lung disease, PEEP can increase the likelihood of
barotrauma. Moreover, PEEP may increase physiologic dead space by compressing alveolar
capillaries in ventilated lung units, creating West zone I regions (Figure 4-7). In the case
of restrictive disease of the chest wall, much of the PEEP is transmitted to the pleural
space. This, in turn, accentuates preload reduction to the left ventricle and predisposes
patients \o hemodynamic compromise (see Figure 4-6a),
Complications
Many of the complications of mechanical ventilation have been alluded to in the
preceding discussion. Dynamic hhyperinflation and auto PEEP have been discussed in
detail. These complications are more common in patient if the respiratory system cannot
return to FRC because of short expiratory time.
Another complication of over ventilation is respiratory alkalosis. This is
pottentially life-threatening because extreme alkalosis predisposes the patient to
seizures, coma, ventricular arrhythmias and hemodynamic collapse. Alkolosis of this
severeity is almost always an iatrogenic complication. To avoid this, a good rule of
thumb is to set the ventilator rate a few breaths per minute below the patient`s intrinsic
rate. When the patient is not triggering the ventilator, periodic ABG sampels should be
drawn and analyzed to rule out unitended alkalosis.
A practical approach to complications manifested by high or low pressure is
shown in Figures 4-8 and 4-9. A critical step step in evaluating the deteriorating patient
on mechanical ventilation is to separate problems with the patient and endotra-cheal tube
from problems with the ventilator. This can be done by simply disconnecting the patient
from the machine and ventilating by hand with a bag-valve-mask apparatus/
However, the patient should not be bagged too vigorously, because it may cause auto-
PEEP and can result in catastrophic complications, including pneumothorax, hypotension,
and cardiovascular collapse,22 Tidal volumes of more than 1 L are commonly generated
when "bagging" via an endo-tracheai tube with two hands," so maintaining gentle
ventilation at 15 to 20 breaths per minute (one breath every 4 to 5 seconds) is critical in
avoiding complications.
One of the most powerful predictive criteria is the rapid shallow breathing
index.26 This is calculated by dividing the respiratory rate (in breaths per minute) by
the tidal volume (in liters) when the patient is breathing on a T-piece, typically after
1 minute has elapsed. The volume is measured with a simple spirometer briefly
attached to the T-piece. An index of less than 105 breaths per minute per liter
identifies most patients who are capable of spontaneous breathing (i.e., the test has
high sensitivity), although it may underestimate the capability of women and
patients with small endotracheal tubes.29 The specificity of the index (i.e., the like-
lihood of an index greater than 105 breaths per minute per liter if the patient is in -
capable of spontaneous breathing) is poor, however. So while the rapid shallow
breathing index is a good screening test for capturing patients who can breathe
spontaneously, it should be followed by a more sustained trial to "weed out" pa -
tients with a false-positive screening test who are incapable of sustaining sponta -
neous respiration. Most commonly, the T-piece or pressure-support trial is
continued for 30 to 120 mhjutes. Failure is evident if the patient develops discom-
fort, diaphoresis, acute respiratory acidosis, or vital sign abnormalities. The latter are
defined as progressive tachypnea, tachycardia with a heart rate more than 20
beats/min above the baseline, or hypertension with systolic or diastolic blood pres-
sure more than 20 mm Hg above baseline. 30 If such events occur, mechanical ven-
tilation should be resumed, while further efforts are directed at treating the
underlying cause of respiratory failure.'" If the patient remains comfortable with
stable vital signs and without acute respiratory acidosis, it is very likely that sponta-
neous breathing can be sustained. Extubation should be considered, presuming
mental status and spontaneous secretion clearance are adequate.
These criteria for discontinuation of ventilation are not able to predict extuba tion
failure resulting from upper airway obstruction, a complication that occurs in 1%
to 5% of extubated patients. 4 Treatment for this emergent complication includes
nebulized racemic epinephrine and high-dose intravenous cortico-steroids to
reduce airway edema. Heliox, a helium and oxygen gas mixture with a density
lower than room air, can reduce turbulent flow and thereby reduce air- . flow
resistance through the upper uirway. 31 Noninvasive mechanical ventilation has also
been suggested as a temporizing measure, 30 while medical therapy is being
initiated. If such interventions are unsuccessful, a low threshold should exist for
reintubation. In this situation, the likelihood of a difficult intubation is increased.
Appropriate precautions should be taken and personnel with expertise in airway
management should be immediately available.
Modes
CONTINUOUS POSITIVE AIRWAY PRESSURE Continuous positive airway
pressure (CPAP) mode involves the application of positive pressure to the airway
throughout the respiratory cycle. Benefits result from:
1) Improved oxygenation via increased mean alveolar pressure in acute
hypox
emic respiratory failure
2) Improved ventricular performance via increased pleural pressure in
cardiac
dysfunction
3) Reduced threshold workload in severe obstructive lung disease
complicated
byauto-PEEP
4) Reduced upper airway resistance in obstructive sleep apnea
TABLE 4-6 Advantages of Facial vs. Nasal Masks in Noninvasive Mechanical
Ventilation
Facial Mask Nasal Mask
Less air leak in mouth-breathers Less dead space :105 mL vs 250 mL
Less claustrophobia
More effective in acute respiratory Vomiting less hazardous
failure Oral intake possible with mask in
place
Speaking easier with mask in place
Sputum expectoration easier
Source: Adapted with permision from Meduri GU. Noninvasive positif-pressure ventilation in patients
with acute respiratory failure. Clin Chest Med 1996; 17(3):535
For details concerning the first three benefits, see the previous discussion of
invasive.
Ventilator Setting
During CPAP, a single positive airway pressure is applied; during BiPAP, an expiratory
positive airway pressure (EPAP) and an inspiratory positive airway pressure (IPAP) are
chosen. These setting should be titrated to attain certain specifird endpoints. Examples of
initial settings, ranges, and endpoints are shown in Table 4-7.
Complications
NIMV is characterized by a lower risk of complications than invasive echanical
ventilation.33 The most common adverse events in patients undergoing NIMV are facial
skin necrosis, gastric distention, and conjunctivitis.31 Facial skin necrosis can be prevented
by avoiding overzealous tightening of the straps and accepting a small air leak and by
placement of a wound dressing over the bridge of the nose. 33 Gastric distention is less
likely if peak mask pressure is kept below 30 cm HjO." Routine placement of
nasogastric tubes for gastric decompression are not considered necessary.33
Manipulation of the mask to direct air leakage inferiorly toward the mouth rather than
superiorly toward the eyes reduces the risk of conjunctivitis.
3. Marini, JJ. Smith TC, lamb V). External work output and force generation
dui synchronized intermittent mechanical ventilation: Effect of machine
assistance
breathing effort. Am Rev Respir Dis 1988; 138:1169-1179.
4. Schmidt GA, HalL IB. Management of the ventilated patient. In Hall JB,
Schmidt Wood LDH, eds. Principles of critical care, 2nd ed. New York:
McGraw-Hill, 517-535.
5. Tallin MJ. od. Principles and practice of mechanical ventilation. New York:
McGrw Hill, 1994. .
6. Apostolakos MJ, Levy PC, Papadakos PJ. New modes of mechanical
ventilation. Pulmon Med 1995; 2(2):121-128.
7. The Acute Respiratory Distress Syndrome Network. Ventilation with lower tidal
umes as compared with traditional tidal volume for acute lung injury and the
respiratory distress syndrome. NEnglJMed 2000; 342:1301-1308.
8. Ranieri VM, Suter PM, Tortorella C, et al. Effect of mechanical ventilation
on inflmatory mediators ift patients with acute respiratory distress
syndrome: A randomicontrolled trial. J.\MA 1999; 282(1):54-61.
9. Hudson ID. Progress in understanding ventilator-induced lung injury.
JAMA If 282(1 ):77-78.
10. Ranieri VM, Giuliani R, Cinnella G, et al. Physiologic effects of
positive e
expiratory pressure in patients with chronic obstructive pulmonary disease dui
acute ventilator)- failure and controlled mechanical ventilation. Am Rev Respir
1993:147:5-13.
11. Polese G, Massara A, Poggi R, et al. Flow-triggering reduces inspiratory
effort du: weaning from mechanical ventilation. Intern Care Med 1995;
31:682-686.
12. Goulet R, Hess DR, Kacmarek RM. Pressure vs flow triggering during
pressure sport ventilation. Chest 1997; 111:1649-1653.
13. Amato MB, Barbas CS, Medeiros DM, et al. Effect of a protective-
ventilation straion mortality in the acute respiratory distress syndrome.
N Engl J Med I'. 338:347-354.
14. Gattinoni L, Pesenti A, Torresin A, et al. Adult respiratory distress
syndrome: Pro by computed tomography. / Thoraclmag 1986; l(3):25-30.
15. Tuxen DV. Permissive hypercapneic ventilation. Am J Respir Crit Care
Med V 150:870-874.
16. Johnston WE, Vinten-Johansen J, Santamore WP, et al. Mechanism of
reduced diac output during positive end-expiratory pressure in the dog.
Am Rev Respiratory 1989; 140:1257-1264.
17. West JB, ed. Respiratory physiology: The essentials, 5th ed. Baltimore:
William Wilkins, 1995.
18. Pinsky MR, Summer WR.-Wise RA, et al. Augmentation ofcardiac
function by ation of intratrforacic pressure. Appl Physiok Respir Env Exer
Physiol 1983; 54 950-955.
19. Bradley TD, Holloway RM, McLaughUn PR, et al. Cardiac output response
to conuous positive airway pressure in congestive heart failure. Am Rev
Respir Dis 145:377-382.
20. Mink SN, Light RB, Cooligan T, Wood LDH. Effect of PEEP on gas
exchange pulmonary perfusion in canine lobar pneumonia. JAppl Physiol
1981; 50(3):517-5