S1 2016 335738 Introduction PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berangkat dari kebutuhan dasar manusia yaitu setelah terpenuhinya

kebutuhan pangan dan sandang, kebutuhan terhadap tempat tinggal merupakan

salah satu kebutuhan pokok untuk bertahan hidup. Tempat tinggal atau yang

sering disebut dengan rumah menurut UU No. 1 tahun 2011 memiliki pengertian

sebagai bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni,

sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset

bagi pemiliknya.1 Rumah merupakan tempat dimana keluarga saling melindungi

dan memberikan pengetahuan serta memberikan rasa nyaman diantara anggota

keluarga yang tinggal dalam tempat tersebut.

Semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk sebagai akibat dari

urbanisasi membuat meningkatnya kebutuhan perumahan di daerah perkotaan.

Inilah yang mendorong pemerintah untuk mencanangkan pembangunan

perumahan untuk masyarakat. Permukiman atau perumahan adalah suatu hal yang

berkaitan erat dengan aktivitas ekonomi, sosial, budaya dan pembangunan.

Menurut UU No. 1 tahun 2011 perumahan memiliki arti yaitu kumpulan rumah

sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun pedesaan, yang

dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya

1
Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2012,
<http://bappeda.slemankab.go.id/perda-rencana-tata-ruang-wilayah-kabupaten-sleman.slm>,
diakses pada 26 Oktober 2015 pukul 10.45 WIB.
pemenuhan rumah yang layak huni. Pembangunan perumahan memiliki tujuan

agar setiap orang dapat menempati perumahan yang sehat, untuk mendukung

kelangsungan dan peningkatan kesejahteraan bagi penghuninya.2

Menyadari permasalahan kebutuhan perumahan yang semakin meningkat,

pemerintah melakukan upaya penanggulangan dengan pembangunan perumahan

yang dapat diperoleh oleh masyarakat di berbagai kalangan. Upaya pemerintah

dalam pemenuhan kebutuhan perumahan terutama memfokuskan pada masyarakat

golongan menengah ke bawah dalam memperoleh rumah dengan harga yang

terjangkau. Pemerintah kemudian membentuk kerjasama antara Perum-Perumnas

dan Bank Tabungan Negara yang dapat memberikan fasilitas Kredit Pemilikan

Rumah (KPR) kepada masyarakat bergolongan rendah. Perum-Perumnas

merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbentuk Perusahaan

Umum (Perum) dimana keseluruhan sahamnya dimiliki oleh Pemerintah.

Perumnas didirikan sebagai solusi pemerintah dalam menyediakan perumahan

yang layak bagi masyarakat menengah ke bawah.3 Sejak didirikan tahun 1974,

Perumnas berperan sebagai pioneer dalam penyediaan perumahan dan

permukiman bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Melalui

konsep pengembangan kategori besar, Perumnas berhasil memberikan kontribusi

signifikan dalam pembentukan kawasan permukiman dan kota-kota baru yang

tersebar di seluruh Indonesia.

2
Cosmas Batubara, Perumahan dan Pemukiman Sebagai Kebutuhan Pokok, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 7.
3
Sejarah Perumnas, diakses dari http://perumnas.co.id/perumahan-landed-house/, pada 1 Oktober
2015 pukul 13.39 WIB.
Sejak didirikan pada tahun 1974, Perumnas juga sebagai pengembang misi

pemerintah dalam menyediakan kebutuhan pokok yaitu kebutuhan perumahan dan

pemukiman dengan berbagai tipe di seluruh Indonesia. Salah satu Provinsi yang

menjadi target pembangunan perumahan tersebut yaitu Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta. Yogyakarta merupakan salah satu kota yang menarik para pendatang

untuk tinggal di Yogyakarta. Salah satu faktor yang mengakibatkan tingkat

urbanisasi meningkat di kota Yogyakarta karena Yogyakarta tidak terlepas dari

sejarah Indonesia dimana Yogyakarta pernah menjadi ibu kota negara Indonesia

dan merupakan pusat organisasi, salah satunya di bidang pendidikan.

Perkembangan kota Yogyakarta sendiri ditandai dengan dibangunnya berbagai

pusat pendidikan dan berbagai prasarana serta fasilitas publik untuk masyarakat.

Tidak heran bahwa banyak pendatang yang datang untuk bertempat tinggal di

Yogyakarta dengan berbagai alasan.

Peningkatan jumlah urbanisasi di Yogyakarta berpengaruh terhadap

kebutuhan perumahan sehingga Perum-Perumnas kemudian mencanangkan

pembangunan perumahan di Yogyakarta. Tujuan pembangunan ini didasari

dengan niat pemerintah agar masyarakat terutama pada kalangan menengah

kebawah dapat memperoleh rumah yang sehat dalam suatu lingkungan perumahan

yang tertata dengan baik. Pembangunan perumahan dapat menjadikan masyarakat

dapat hidup sejahtera dalam membina keluarga dengan adanya rumah yang

mereka tinggali. Salah satu daerah yang menjadi sasaran dari Perumnas dalam

pembangunan perumahan yaitu daerah Kabupaten Sleman. Daerah ini merupakan

daerah yang mempunyai tanah yang luas untuk didirikan suatu pembangunan
perumahan dan permukiman. Daerah yang didirikan bangunan perumahan ini

lebih tepatnya berada di daerah kelurahan Condongcatur. Desa Condongcatur

sendiri merupakan kawasan pinggiran kota pada Kecamatan Depok.

Pembangunan perumahan dan pemukiman ini sangat dinantikan oleh masyarakat.

Perumahan yang didirikan oleh Perumnas ini merupakan perumahan yang pertama

didirikan di Yogyakarta. Perumahan yang dibangun di desa Condongcatur ini

merupakan perumahan yang dibangun pada tahun 1976 dan selesai pada tahun

1978. Perumahan yang telah rampung ini kemudian diberi nama Perumnas

Condongcatur.

Perumahan ini dibangun atas inisiasi pemerintah, dimana pemerintah telah

menyadari sejak adanya Pelita II dan III bahwa perumahan ini merupakan upaya

dan pendekatan terhadap golongan masyarakat berpendapatan rendah dapat

dimungkinkan untuk memperoleh rumah yang terjangkau oleh daya beli

masyarakat. Karena di dalam pembangunan nasional, perumahan merupakan salah

satu dasar kesejahteraan rakyat. Perumahan ini juga dimaksudkan untuk

memberikan pemukiman bagi para pegawai-pegawai yang bekerja di daerah

Yogyakarta atau untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan I/II/III dan pegawai

BUMN yang belum mempunyai rumah. Pembangunan perumahan yang dibangun

oleh Perum-Perumnas ini merupakan pembangunan di kawasan pemukiman yang

ditata dengan perencanaan yang baik sesuai dengan tata ruang dan tata guna tanah

yang dilengkapi dengan prasarana dan fasilitas lingkungan agar pemukiman


tersebut mempunyai nilai fungsional bagi kehidupan masyarakat.4 Perumnas

Condongcatur dapat mendukung kelangsungan dan kesejahteraan sosial bagi

setiap orang yang menempatinya.

Lokasi Perumnas Condongcatur yang berdekatan dengan pusat aktivitas

seperti pusat pemerintahan, pendidikan, dan perdagangan mengakibatkan

perubahan pada orientasi fungsi rumah. Pemanfaatan rumah (House Use

Orientation/HUO) menurut Yunus bahwa fungsi rumah terbagi menjadi tiga yaitu

rumah nonkomersial, komersial ataupun kombinasi antara komersial dan

nonkomersial.5 Rumah pada dasarnya berfungsi sebagai tempat tinggal

nonkomersial kini lambat laun telah berubah menjadi komersial ataupun terjadi

kombinasi antara nonkomersial dan komersial. Perubahan orientasi fungsi rumah

berkaitan dengan sosial ekonomi pada para penghuni itu sendiri. Awal

pembangunan rumah oleh Perum-Perumnas berfungsi sebagai tempat tinggal dan

sebagai awal berkembangnya suatu keluarga inti atau nonkomersial namun saat

ini mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi pada Perumnas Condongcatur

yaitu adanya alih fungsi rumah hunian menjadi tempat usaha seperti, kos-kosan

atau kontrakan rumah. Kemudian dengan perkembangan tersebut mendorong

berkembangnya fasilitas pendukung dalam perdagangan dan jasa seperti laundry,

toko klontong, warung makan, bengkel, tempat jual pulsa dan tempat fotokopi.

4
Cosmas Batubara, Perumahan dan Pemukiman Sebagai Kebutuhan Pokok, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 7.
5
Ni Wayan Handayani, Perubahan Orientasi Fungsi Rumah di Kota Singaraja (Tinjauan
Geografi Permukiman),
<http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPG/article/download/1225/1089>, diakses 2 Oktober
2015 pukul 20.52 WIB.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Pasal 6 ayat 3 bahwa

perubahan fungsi bangunan gedung yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud

dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota

harus mendapatkan persetujuan dan penetapan kembali oleh Pemerintah Daerah.6

Rumah tinggal yang berfungsi sebagai sarana pembinaan keluarga yang kemudian

mengalami alih fungsi harus mendapat ijin dari pemerintah daerah. Hal ini agar

tidak melanggar undang-undang serta digunakan untuk pengendalian tata ruang

wilayah sesuai dengan keperuntukkannya.

Berkembang pesatnya pertumbuhan penduduk dapat mempengaruhi

perubahan lahan kosong mengalami perubahan menjadi permukiman yang

menandakan adanya perkembangan kota. Perkembangan kota yang semakin maju

dapat menarik seseorang untuk datang ke kota tersebut dalam rangka memenuhi

kebutuhan yang mereka perlukan. Perkembangan kota yang semakin pesat juga

membuat banyak perubahan di semua bidang salah satunya terjadi pada wajah

perkotaan. Perubahan tersebut terjadi karena adanya keinginan dari masing-

masing individu yang tinggal pada kota tersebut dengan melakukan beberapa

aktivitas.

6
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan,
<http://www.perumnas.co.id/download/prodhukum/undang/UU-28-
2002%20BANGUNAN%20GEDUNG.pdf> diakses pada 1 Oktober 2015
1.2 Rumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang penelitian yang telah disebutkan di atas

mengenai adanya alih fungsi rumah sebagai sarana pembinaan dari keluarga inti

atau non komersial menjadi komersial serta perilaku masyarakat yang mengubah

fungsi rumah tinggal baik dengan memiliki izin ataupun tidak dengan izin dari

Dinas Tata Ruang dan pemerintah setempat dapat menimbulkan beberapa

permasalahan seperti fungsi rumah tinggal layak huni serta sarana pengembangan

keluarga tidak tercapai secara maksimal. Rumusan masalah penelitian yang

diangkat dari penjelasan diatas sebagai berikut.

1. Bagaimana alih fungsi rumah hunian terhadap praktik ruang di Perumnas

Condongcatur?

2. Bagaimana interaksi masyarakat Perumnas Condongcatur terhadap adanya alih

fungsi rumah hunian menjadi tempat usaha?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari rumusan masalah yang telah disebutkan diatas dapat diperoleh

sebagai berikut.

1. Mengetahui pola alih fungsi rumah menjadi tempat usaha pada masyarakat

Perumnas Condongcatur baik dari segi internal maupun segi eksternal.

2. Mengetahui interaksi masyarakat Perumnas Condongcatur akibat adanya alih

fungsi rumah tersebut.


1.4 Manfaat Penelitian

Adanya penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi dan juga

analisa dari permasalahan alih fungsi rumah menjadi tempat usaha yang berada di

Yogyakarta, khususnya di daerah Condongcatur Kabupaten Sleman. Adanya alih

fungsi rumah dapat menunjukkan kondisi masyarakat di perumahan dan juga

memperlihatkan bagaimana interaksi sosial pasca terjadinya alih fungsi rumah

tinggal menjadi tempat usaha yang terjadi didalamnya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Sehubungan dengan permasalahan mengenai alih fungsi rumah non

komersil menjadi komersil, ataupun kombinasi antara komersil dan non komersil

dalam memperkuat pandangan mengenai hal tersebut terdapat beberapa hasil

penelitian terdahulu yang relevan untuk dikemukakan dalam kajian ini adalah

penelitian yang membahas terkait tema alih fungsi ruang dan diantarannya sebagai

berikut:

Penelitian terdahulu yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Ni

Wayan Handayani dari Jurusan Pendidikan Geografi, FIS Undiksha dengan judul

Perubahan Orientasi Fungsi Rumah di Kota Singaraja ini menjelaskan bahwa

hal yang telah mendorong alih fungsi rumah menjadi tempat usaha karena adanya

faktor ekonomi yang mempengaruhi pendapatan dari para penghuninya. Penduduk

dengan pendapatan yang minim melakukan perubahan fungsi rumah agar

mendapatkan pendapatan tambahan dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

Sementara keadaan sosial tidak mendominasi masyarakat dalam melakukan

perubahan fungsi rumah non komersial menjadi komersial ataupun kombinasi


antara non komersial dan komersial. Pada penelitian ini faktor yang mendorong

terjadinya perubahan fungsi rumah didominasi oleh faktor ekonomi seperti jenis

pekerjaan dan tingkat penghasilan sedangkan faktor sosial seperti dekatnya lokasi

rumah dengan pusat aktivitas masyarakat hanya sebagai pendukung dari adanya

perubahan fungsi rumah. Fokus dari penelitian ini adalah mengenai seberapa besar

pengaruh faktor sosial ekonomi dalam mempengaruhi alih fungsi rumah dan

variasi yang terjadi dalam alih fungsi rumah. Pada penelitian ini metode yang

digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh yang dapat mempengaruhi

peralihan fungsi rumah menggunakan metode kuantitatif dan dalam menganalisis

menggunakan analisis kualitatif.

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini terdapat perbedaan dengan

penelitian yang terdahulu. Pada penelitian dengan judul Perubahan Orientasi

Fungsi Rumah di Kota Singaraja yang di tulis oleh Ni Wayan Handayani

menempatkan fokus penelitian pada faktor sosial-ekonomi sebagai penyebab

terjadinya alih fungsi rumah menjadi tempat usaha. Pada penelitian ini, peneliti

memfokuskan penelitian pada pola alih fungsi rumah terhadap praktik ruang serta

melihat interaksi masyarakat perumahan Perumnas ketika terjadi alih fungsi

rumah menjadi tempat usaha. Objek penelitian yang di tulis oleh Ni Wayan

Handayani berada di Kota Singaraja dan menggunakan metode kuantitatif untuk

melihat seberapa besar pengaruh dari faktor sosial-ekonomi tersebut sedangkan

objek penelitian yang dilakukan peneliti berada di Perumahan Perumnas

Yogyakarta dengan menggunakan metode kualitatif untuk menggali informasi

yang lebih mendalam.


Penelitian selanjutnya yaitu berjudul Ketika Masyarakat Desa Berubah

yang ditulis oleh Arifin merupakan penelitian yang menjelaskan mengenai alih

fungsi lahan pertanian untuk perumahan. Penelitian ini dilakukan di tiga desa

yang berada di Kabupaten Malang yaitu desa Tirtomoyo, desa Asrikaton, dan desa

Saptorenggo.7 Kondisi lahan pertanian di desa Tirtomoyo yang bersifat lahan tegal

menjadikan desa Tirtomoyo menjadi pusat incaran pembangunan perumahan oleh

para pengembang. Saat ini kondisi lahan pertanian di desa Tirtomoyo hampir 85%

dijual untuk area pembangunan perumahan. Berdasarkan survei dan pengamatan

bahwa penyebab terjadinya alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan

perumahan dikarenakan beberapa faktor seperti keinginan masyarakat menjual

lahan dengan harga tinggi untuk mengembangkan usaha di luar sektor pertanian

dan adanya tawaran harga jual tanah yang tinggi dari pihak pengembang.

Perubahan fungsi lahan pertanian menjadi area pengembangan perumahan dapat

diketahui bahwa faktor ekonomilah yang dominan dalam mendorong masyarakat

untuk menjual lahan pertanian menjadi area pembangunan perumahan. Letak yang

strategis dari ketiga desa tersebut juga mendorong para pengembang untuk

melakukan pembangunan perumahan di daerah tersebut.

Perubahan fungsi lahan pertanian menjadi area pembangunan perumahan

terdapat beberapa permasalahan yaitu munculnya dampak yang terjadi pada desa

Tirtomoyo yaitu pola interaksi sosial antara penduduk asli dengan penduduk

perumahan tidak berlangsung secara intens. Ini disebabkan karena tidak adanya

aktivitas sosial sehari-hari antara penduduk asli dengan penduduk perumahan

7
Arifin, Ketika Masyarakat Desa Berubah, STPN Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 4.
serta anggapan masyarakat perumahan yang menganggap dirinya lebih elit secara

sosial dan ekonomi daripada warga asli. Fokus dari penelitian tersebut adalah

dampak dari adanya proses alih fungsi lahan pertanian yang memberi dampak

perubahan sosial di masyarakat.

Penelitian yang ditulis oleh Arifin dengan judul Ketika Masyarakat Desa

Berubah memiliki persamaan dan perbedaan dalam penelitian yang dilakukan

oleh peneliti ini. Perbedaan yang terjadi adalah mengenai peralihan fungsi lahan

pertanian menjadi area pembangunan perumahan sedangkan pada penelitian ini

menekankan pada alih fungsi rumah non komersial menjadi tempat usaha

komersial ataupun kombinasi antara komersial dan non komersial. Penelitian alih

fungsi rumah ini mengalami perbedaan, dimana pada alih fungsi rumah melihat

permasalahan yang terjadi lebih berfokus pada kondisi masyarakat Perumnas dan

arti ruang bagi masyarakat tersebut. Untuk mendapatkan informasi yang lebih

mendalam peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian yang

ditulis oleh Arifin mengenai alih fungsi lahan pertanian menjadi area

pengembangan perumahan lebih menekankan pada dampak-dampak yang

ditimbulkan adanya peralihan fungsi tersebut. Pada penelitian alih fungsi lahan

pertanian menjadi area perumahan metode yang digunakan yaitu pendekatan

kualitatif dan kuantitatif (Mixed Methods). Penelitian ini memiliki kesamaan

dengan penelitian yang diteliti oleh peneliti yaitu adanya permasalahan mengenai

pola interaksi yang terjadi pada masalah alih fungsi.


1.6 Kerangka Teoritik

1.6.1 Produksi Ruang

Memahami kota merupakan kumpulan relasi-relasi serta pengalaman sehari-

hari warganya, maka ruang kota tak dapat dilihat berdasarkan kondisi

geografisnya. Permasalahan mengenai kota ini di dikaji menggunakan prepektif

produksi ruang yang dikemukakan oleh Henri Lefebvre sosiolog asal Perancis.

Menurut Henri Lefebvre bahwa kota tak lebih dari komoditas yang merupakan

instrumen dari sistem kapitalisme. Menurut Lefebvre, ruang kota tidak lagi

diuraikan berdasarkan kondisi geografis dan fisiknya melainkan perluasan dari

produk kapitalis.

Analitis kritis dari Lefebvre tertarik pada apa yang disebut dengan ruang

absolut dan ruang abstrak. Ketertarikan dari Lefebvre sendiri terutama pada ruang

abstrak. Ruang abstrak adalah ruang yang didominasi, diduduki, dikendalikan,

otoritatik dan represif. Lefebvre menjelaskan bahwa ruang abstraksi adalah alat

kekuasaan dimana bukan hanya kekuasaan yang dijalankan di dalamnya. Mereka

yang memiliki kuasa maka mereka selalu berusaha mengontrol ruang yang baru

sesuai dengan keinginan mengontrol ruang secara menyeluruh. Mereka yang

berkuasa juga menggunakan ruang abstrak sebagai alat kekuasaan untuk meraih

kendali atas ruang tersebut. Lefebvre mengakui bahwa kekuasaan dari, dan

terhadap ruang abstrak membawa keuntungan.8 Orang yang berjalan beriringan

dengan orang lain bekerja di dalam ruang tersebut guna untuk memproduksi apa

8
George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir
Teori Sosial Postmodern, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2013, hlm. 331.
yang mereka butuhkan agar bertahan hidup. Dengan kata lain, mereka

memodifikasi ruang untuk memenuhi kebutuhan.

Lefebvre mengembangkan konsep pemahaman ruang ke dalam Triad

Konseptual. Konsep ini merupakan pondasi yang digunakan untuk mengangkat

The Production of Space, yaitu perilaku manusia mengenai proses produksi

ruang melalui relasi produksi yang terjadi di dalam sebuah relasi dan praktik

sosial. Triad merupakan tiga komponen wajib yang berperan pada pembentukan

makna tentang ruang dan memiliki keterlekatan satu sama yang lain dan tidak

dapat dipisahkan yaitu Praktik Spasial (Spatial Pratice), Representasi Ruang

(Representations of Space), dan yang ketiga Ruang Representasional

(Representational Space).

1. Praktik Spasial (Spatial Pratice)

Sebuah praktik atau aktivitas yang dilakukan manusia terhadap tempat fisik

dimana aktivitas yang dilakukannya berpengaruh terhadap proses pemaknaan

ruang secara lebih spesifik.9 Pada penelitian ini contoh dari praktik spasial

adalah ketika seseorang melakukan aktivitas berjualan di tempat tinggalnya

tanpa melihat status ada tidaknya ijin usaha pada tempat tinggalnya hanya

dengan alasan kebebasan rumah milik pribadi. Dapat dikatakan bahwa orang

tersebut sedang melakukan pemaknaan ruang. Berjalannya waktu, bangunan

yang berada di Perumnas Condongcatur kemudian mulai menjamur dengan

adanya usaha-usaha dari usaha perseorangan hingga mulai dibangunnya ruko-

ruko untuk mendirikan usaha. Lahan yang sudah dibangun menjadi rumah

9
Henri Lefebvre, The Production of Space, Basil Blackweel, Cambridge, USA, 1991, hlm. 38.
tempat tinggal kemudian dijadikan tempat usaha ini memunculkan proses

interaksi sosial-ekonomi di dalamnya.

2. Representasi Ruang (Representations of Space)

Pemaknaan manusia terhadap ruang secara simbolik dalam bentuk wacana dan

konsepsi yang kemudian dipratekkan secara konkret melalui sistem tanda dan

bahasa.10 Contoh dari konsep representasi ruang ini adalah adanya bentuk

konsep mengenai penataan ruang di wilayah Kabupaten Sleman terutama pada

perumahan Perumnas Condongcatur.

3. Ruang Representasional (Representational Space)

Ruang yang penuh dinamika, karena dalam ruang ini dihuni dengan berbagai

kepentingan yang diartikulasikan melalui hasrat dan tindakan. Bentuk tindak

lanjut atas wacana dan konsepsi yang dibangun pada tahapan representasi

ruang.11 Pada ruang representasional merupakan bentuk implementasi dari

konsep yang dicanangkan oleh aktor yang terlibat.

Selain itu dengan dasar ketiga konsep produksi sosial tersebut, Lefebvre

merumuskan tiga karakter dari ruang sebagai produksi sosial yaitu (Perceived

Space), (Conceived Space) dan (Lived Space).

1. Perceived Space

Setiap ruang memiliki aspek perseptif dalam arti ia bisa diakses oleh panca

indera sehingga memungkinkan terjadinya praktik sosial. Ini merupakan

elemen material yang dapat menghubungkan antara ruang dengan aktivitas

manusia.

10
Ibid, hlm. 38-39
11
Ibid, hlm. 39
2. Conceived Space

Ruang merupakan suatu produksi yang muncul dari adanya konsepsi orang

yang kemudian ruang ini disebut dengan ruang yang dikonsepsikan.

3. Lived Space

Dimensi ketiga dari produksi ruang adalah pengalaman kehidupan. Dimensi

ini merujuk pada dunia sebagaimana dialami oleh manusia dalam praktik

kehidupan sehari-hari. Kehidupan dan pengalaman manusia menurutnya tidak

dapat sepenuhnya dijelaskan oleh analisa teoritis.12

Ruang dapat tercipta karena cara kehidupan sosial dimana kita tinggal di

dalamnya (lived space), dan kehidupan sosial tersebut bersinggungan dengan

aspek material dari ruang yang dirasakan oleh indera kita (perceived space) dan

aspek-aspek non material atau mental dari ruang yang terkonsepsi dalam benak

kita (conceived space). Ruang diproduksi secara dinamis oleh hubungan timbal

balik antara representasi ruang (representations of space), representasional ruang

(representational space), dan praktik (practice) seiring waktu. Gambaran ruang

dimulai dari angan-angan, bayangan, dan gambaran masa depan yang ideal

tentang apa yang kita rasakan atau (perceived). Selanjutnya, direpresentasikan ke

dalam ruang melalui gambar rencana, peta, model, dan desain.

Dalam penelitian ini, peneliti mengangkat tema mengenai alih fungsi rumah

non komersial menjadi kombinasi antara non komersial dan komersial. Fungsi

rumah menurut Gunawan adalah, rumah diartikan sebagai tempat tinggal yang

12
Robertus Robet, Ruang sebagai Produksi Sosial Dalam Henri Lefebvre,
https://caktarno.wordpress.com/2014/09/06/ruang-sebagai-produksi-sosial-dalam-henri-
lefebvre/> diakses pada 14 Januari 2016 pukul 10.08 WIB .
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani manusia, maka rumah harus dapat

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut13:

1. dapat memberikan perlindungan dari gangguan cuaca,

2. dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan penghuninya untuk melakukan kegiatan

pekerjaan rumah tangga yang lazim,

3. dapat digunakan sebagai tempat istirahat yang tenang diwaktu lelah atau sakit.

Rumah yang telah dikonstruksi oleh masyarakat hanya sebagai tempat

tinggal kini mulai bergeser fungsinya. Kini ruang diproduksi oleh masyarakat

untuk memenuhi kebutuhan ekonomi bagi anggota keluarga yang menghuninya.

Niracanti menjelaskan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan

fungsi rumah adalah adanya pengaruh dari struktur sosial masyarakat. Struktur

sosial ekonomi masyarakat yang mempengaruhi diantaranya adalah 14:

1. Jenis pekerjaan.

2. Tingkat pendapatan.

3. Lama tinggal.

4. Status kepemilikan rumah.

Perubahan baik dari segi fisik maupun fungsional rumah tergantung dari

sikap penghuninya. Perubahan yang dilakukan tentunya memiliki tujuan tertentu

dari penghuni rumah. Alasan seseorang untuk melakukan alih fungsi rumah

berasal dari hubungan timbal balik antara penghuni dengan tempat tinggalnya.

Alasan ini juga bergantung kepada kondisi penghuni, aspek fisik dari tempat

13
Ni Wayan Handayani, Perubahan Orientasi Fungsi Rumah di Kota Singaraja (Tinjauan
Geografi Permukiman),
<http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPG/article/download/1225/1089>, diakses 2 Oktober
2015 pukul 20.52 WIB.
14
Ibid, hlm. 5.
tinggal, dan persyaratan sosio budaya dari penghuni itu sendiri. Seperti yang

disebutkan pada pendekatan produksi ruang bahwa area yang aktual dari

pembangunan perkotaan tergantung pada keputusan yang dibuat dalam

hubungannya dengan konteks regional atau kedaerahan termasuk pada kedekatan

kota dengan keberadaan sarana kebutuhan.15 Pendekatan ini menekankan pada

keputusan letak lokasi yang dibentuk oleh lingkungan pada sebuah pemukiman

yang kemudian berkembang mengikuti aktivitas-aktivitas manusianya.

1.6.2 Neighborhood

Dalam bahasa Indonesia neighbour diartikan sebagai tetangga. Maka kata

neighborhood memiliki arti kata sebagai kehidupan bertentangga. Suzzane Keller

dalam buku Cities, Communities and the Young (1973) menelaah neighborhood

dari sudut sososiologi. Neighborhood adalah sebuah area yang memiliki properti

fisik tertentu. Neighborhood juga merupakan sebuah rangkaian kegiatan atau

hubungan kedekatan antar manusia.16 Bila pengertian tersebut digabung,

neighborhood adalah sebuah area tempat terjadinya kegiatan atau hubungan

kedekatan antar manusia.

Terbentuknya sebuah neighborhood bukanlah berasal dari perancang

maupun pengembang tetapi oleh kedekatan yang terbina antar manusia. Hal inilah

karena perancang dan pengembang hanya menyediakan kebutuhan-kebutuhan

fisik dari sebuah pembangunan. Masyarakat tersebut saling berbagi kehidupan


15
John Scoot, Teori Sosial Masalah-Masalah Pokok dalam Sosiologi, Pustaka Pelajar, 2012,
hlm.224.
16
Hernindyasti Dwitya Hapsari, Kaitan Pola Neighborhood pada Interaksi Sosial Penghuni,
<http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20249604-R051103.pdf>, diakses 23 Mei 2016 pukul 13.21
WIB.
sosial dan bekerjasama dalam membangun sebuah tujuan bersama. Sebuah

neighborhood tidak hanya menggambarkan mengenai kedekatan fisik melainkan

juga menggambarkan kedekatan emosional antar penghuni yang tinggal di

dalamnya.

Clarence Arthur Perry mengembangkan sebuah ide yang signifikan

mengenai penciptaan neighborhood. Ide ini dia kembangkan pada awal tahun

1929 dan menjadi sebuah alat dalam pengorganisasian dan pengembangan kota.

Pengembangan ide mengenai desain fisik dan sebuah neighborhood juga

diintegrasi dengan adanya interaksi antar tetangga yang tinggal di dalamnya.

Dalam ide tersebut, Perry mengajukan gagasan bahwa setiap unit neighborhood

harus memiliki elemen dasar yaitu:

1. Keberadaan pusat kawasan berupa fungsi sekolah: yang memungkinkan anak

sekolah dapat menjangkau fasilitas tersebut serta dapat melakukan interaksi

terhadap teman sebayanya.

2. Keberadaan taman-taman: sebagai area bermain untuk anak-anak yang

memungkinkan untuk menciptakan tempat berinteraksi dan bermain bagi anak-

anak.

3. Keberadaaan tempat usaha: di dalam kawasan perumahan terdapat batasan

fungsi komersil. Hal ini karena untuk membatasi lalu lintas yang dapat

mengganggu wilayah perumahan serta mengganggu interaksi warga

perumahan.

4. Akses pejalan kaki yang cukup aman dimana para penghuni dapat

menggunakan fasilitas dengan aman.


Adanya keempat elemen dasar tersebut sangat penting bagi interaksi antar

tetangga. Interaksi dapat berjalan karena adanya elemen pendukung masyarakat

dalam menggunakan fasilitas untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat.

Posisi neighborhood sebagai tempat manusia hidup di sini berarti suatu

ruang di mana segala jenis kegiatan bermukim yang relatif permanen berlangsung.

Dalam pengertian ini, aktor-aktor yang berada dalam suatu neighborhood

merupakan aktor tetap yang kegiatannya berpusat pada neighborhood tempat ia

tinggal. Untuk medukung fungsi dari neighborhood tersebut dituntut untuk

menyediakan sarana prasarana yang mengutamakan penghuninya. Neighborhood

merupakan suatu unit komunitas yang besar dari rumah tangga namun tidak

berada di bawah aturan pemerintah kota ataupun daerah. Dapat dikatakan bahwa

posisinya hanya sebagai komunitas tidak resmi yang terbentuk atas dasar toleransi

sesama manusia yang hidup berdampingan.

Pengembangan permukiman ini digunakan untuk menampung kegiatan

sehari-hari dalam suasana yang nyaman, manusiawi, serta mementingkan

hubungan komunitas antar sesama warganya. Neighborhood dapat berupa ruang

kota bersuasana kampung halaman yang dibuat untuk mengembalikan komunitas

sosial yang sehat dalam kehidupan urban. Bentuk dari perumahan itu sendiri

berupa klaster-klaster yang mengelilingi jalan-jalan kecil yang menghubungkan

dengan jalan raya yang menuju pada wilayah perkotaan. Para penghuni dapat

berada pada jangkauan yang strategis dalam menggunakan fasilitas-fasilitas

umum.
Pada pembahasan penelitian ini, neighborhood yang dimaksud adalah

daerah permukiman yang dikembangkan sesuai pola perencanaan yang terdiri dari

hunian dan fasilitas-fasilitas. Lambat laun mulai terjadi alih fungsi rumah menjadi

tempat usaha di daerah permukiman seperti yang ada di Perumnas Condongcatur.

Komplek perumahan yang ada di Perumnas Condongcatur dapat disebut

neighborhood apabila di dalam perumahan tersebut terdapat fasilitas-fasilitas yang

dapat mengembangkan aktivitas rutin masyarakat dalam mendukung interaksi

masyarakat. Jenis hunian yang seperti ini kemudian menjadi salah satu favorit

bagi masyarakat Indonesia karena lebih efektif dan efisien dalam memobilisasi

kegiatan masyarakat. Kondisi keamanan dari perumahan juga mendukung para

penghuni untuk bermukim di jenis perumahan ini.

Segala pengembangan-pengembangan perkotaan dikembangkan guna

melengkapi kebutuhan para penghuni perumahan. Pengembangan-pengembangan

tersebut dimaksudkan agar interaksi yang terjalin antar sesama penghuni

perumahan dapat berjalan dan saling menciptakan komunikasi yang baik diantara

warga masyarakat perumahan. Pengembangan terjadi terutama pada sarana dan

prasana perumahan yang terjadi alih fungsi rumah tinggal menjadi tempat usaha.

Alih fungsi rumah menjadi tempat usaha kemudian berpengaruh pada keadaan

interaksi diantara sesama penghuni perumahan.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Untuk mendapatkan jawaban secara mendalam maka peneliti

menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dapat


memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mendapatkan gambaran

lebih mendalam dari sudut pandang pelaku sosial atau yang sering disebut

dengan informan mengenai suatu fenomena sosial atau suatu tindakan

sosial. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan metode penelitian

kualitatif dalam menentukan cara mencari, mengumpulkan, mengolah dan

menganalisis data hasil dari penelitian tersebut. Dalam konteks ini, peneliti

mencoba menggali informasi secara mendalam mengenai bagaimana

tanggapan para informan sebagai pengguna rumah non komersial

mengalami alih fungsi menjadi komersial dalam menanggapi fenomena

tersebut.

Metode penelitian kualitatif ini menggunakan metode penelitian

fenomenologi. Fenomenologi ini digunakan dengan tujuan untuk bisa

memahami fenomena sosial dari sudut pandang para aktor. Bagaimana

mereka menginterprestasikan pengalaman mereka melalui interaksi dengan

orang lain. Dengan menggunakan fenomenologi juga dapat memungkinkan

untuk memahami individu secara personal dan melihat bagaimana mereka

menafsirkan dunianya.17 Fenomenologi menggunakan pemahaman yang

disebut Max Weber sebagai vertehen, pemahaman atas motivasi dan

keyakinan dibalik tindakan seseorang. Pada kasus ini, faktor ekonomi bisa

jadi merupakan makna yang lebih banyak diterima orang dibalik tindakan

masyarakat merubah fungsi rumah menjadi komersial. Lain halnya jika

kemudian dihadapkan pada kenyataan bahwa kebanyakan masyarakat

17
Rulam Ahmadi, Metodologi Penelitian Kualitatif, Ar-Ruzz Medi, Yogyakarta, 2014, hlm. 48.
tersebut juga mempunyai latar belakang sosial yang mapan memilih untuk

menjadikan fungsi rumah sebagai tempat usaha. Peneliti juga melihat

bagaimana interaksi yang terjalin antar warga masyarakat Perumnas pasca

alih fungsi lahan.

1.7.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Perumnas Condongcatur

Kabupaten Sleman Yogyakarta. Alasan pemilihan lokasi ini karena lokasi

ini merupakan Perumahan Nasional pertama kali di Yogyakarya dan berada

dipinggiran kota yang di kepung oleh berbagai fasilitas yang memadai

sehingga mudah diakses oleh siapa saja. Lokasi penelitian ini juga dekat

dengan tempat tinggal peneliti, sehingga sangat membantu dalam hal

efektivitas dan efisiensi waktu. Letak Perumnas Condongcatur tersebut

berjarak kurang lebih sekitar 6 km dari pusat kota Yogyakarta. Adapun

informan dari penelitian ini adalah warga masyarakat Perumnas

Condongcatur yang melakukan usaha di rumah tinggalnya Perumnas

Condongcatur.

1.7.3 Informan

Dalam menentukan informan pada penelitian ini, peneliti membagi

informan kedalam tiga kategori. Tiga kategori ini merujuk pada Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

(UMKM). Tipologi UMKM ini kemudian dijadikan acuan peneliti dalam

mengategorikan informan dalam tiga kategori tersebut. Berikut kategori

informan yang diklasifikasikan oleh peneliti yaitu,


a) Informan kategori kecil adalah seseorang yang tinggal dan berada di

Perumnas Condongcatur dan melakukan usaha baik di bidang usaha

perdagangan maupun jasa. Informan dalam kategori ini adalah informan

yang melakukan alih fungsi rumah tinggal menjadi tempat usaha dengan

tidak melakukan perubahan fisik bangunan rumah tinggal dan tetap

dalam bentuk rumah tinggal pada umumnya. Informan dalam kategori ini

merupakan Ibu Anik Supriyanti, Ibu Sumarmi, dan Bapak Is Slamet.

b) Informan kategori sedang adalah seseorang yang tinggal dan berada di

Perumnas Condongcatur dan melakukan usaha baik di bidang usaha

perdagangan maupun jasa. Informan dalam kategori adalah informan

yang melakukan alih fungsi rumah tinggal menjadi usaha dengan sedikit

melakukan perubahan bentuk fisik rumah tinggal atau menambahkan

ruang untuk berwirausaha. Informan dalam kategori ini merupakan Ibu

Marwati Slamet, Ibu Tri Muryani dan Ibu Laminten Slamet beserta Ibu

Kusminarsih.

c) Informan kategori besar adalah seseorang yang tinggal dan berada di

Perumnas Condongcatur dan melakukan usaha baik di bidang usaha

perdagangan maupun jasa. Informan dalam kategori ini adalah informan

yang melakukan alih fungsi rumah tinggal menjadi usaha dengan

melakukan perombakan pada sebagian besar bentuk fisik bangunan

rumah tinggalnya bahkan terlihat seperti kios. Informan dalam kategori

ini merupakan Bapak Wahyu Wiyono, Ibu Murtini beserta Bapak

Djutawan Retno Penggalih dan Bapak Zaqi Muhammad Iqbal.


Pembagian kategori dalam menentukan informan pada penelitian ini

dimaksudkan agar peneliti dapat mengambil informan yang dapat mewakili

masing-masing bentuk usaha dalam alih fungsi rumah menjadi tempat

usaha. Pengambilan informan dalam bentuk kategori-kategori tersebut untuk

memudahkan peneliti dalam memilih informan di seluruh RW/RT yang

berada di wilayah Perumnas Condongcatur sesuai dengan kategori yang

dikelompokkan oleh peneliti.

1.7.4 Teknik Pengumpulan Data

Adapun jenis data yang diperlukan dan dianggap sesuai dengan

penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data

yang diperoleh sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama. Data

sekunder adalah data yang tidak langsung memberikan data kepada

pengumpul data tetapi dengan cara lewat orang lain atau dokumen.18

Teknik pengumpulan data primer meliputi observasi (pengamatan),

indepth interview (wawancara secara mendalam).

a. Observasi

Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia

dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya serta

menggunakan panca indera lainnya. Dalam hal ini, pertama-tama yang

dilakukan oleh peneliti yaitu melakukan pengamatan secara langsung

terhadap kondisi sosial dari warga masyarakat Perumnas Condongcatur

terutama pada masyarakat yang melakukan usaha di daerah tersebut. Dalam

18
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Alfabeta, Bandung, hlm. 225.
melakukan observasi ini peneliti melakukan secara terbuka dimana peneliti

diketahui keberadaanya oleh calon informan, dan informan memberikan

kesempatan peneliti untuk diamati. Observasi yang dilakukan oleh peneliti

ini dimulai dari bulan Januari hingga bulan Maret 2016. Observasi yang

dilakukan oleh peneliti yaitu hanya mengamati dan mencatat apa saja yang

peneliti temukan tentang apa yang diteliti. Pada observasi ini, peneliti mulai

memilih dan memilah pelaku usaha rumahan di wilayah Perumnas

Condongcatur untuk menjadi informan sesuai dengan kategori yang telah

dikelompokkan oleh peneliti. Sebelum melakukan wawancara dengan calon

informan, peneliti dapat mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai

dengan kondisi calon informan tentang apa yang diteliti.

b. Indepth interview (wawancara secara mendalam)

Setelah peneliti melakukan tahap observasi, hal yang dilakukan oleh

peneliti yaitu wawancara secara mendalam. Wawancara mendalam adalah

proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya

jawab dengan bertatap muka antara pewawancara dengan informan. Model

wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah model wawancara terbuka

yaitu informan mengetahui bahwa mereka sedang dilakukan wawancara dan

mengetahui tujuan wawancara tersebut. Peneliti juga menerapkan

wawancara secara semi terstruktur dimana peneliti sudah mempersiapkan

daftar pertanyaan (interview guide) sebelum mengajukan wawancara. Pada

saat melakukan wawancara, peneliti berpedoman pada pertanyaan-

pertanyaan yang telah disusun secara rapi sebagai alat bantu. Dalam
melakukan wawancara diikuti pertanyaan tambahan untuk menggali lebih

jauh jawaban informan. Panduan ini dapat digunakan untuk mengarahkan

wawancara sehingga tidak menyimpang terlalu jauh.19 Wawancara yang

dilakukan oleh peneliti dimulai dari bulan Februari hingga bulan Maret

2016.

Pertama kali yang dilakukan oleh peneliti dalam wawancara yaitu

dengan meminta izin terlebih dahulu terhadap Kepala Desa, Kepala

Padukuhan dan Ketua RW setempat. Peneliti kemudian melakukan

wawancara awal terhadap Ketua RW 17 yang bernama Bapak Sukojo untuk

memperoleh informasi mengenai warga dan kegiatan yang dilakukan oleh

masyarakarat. Informan utama sendiri adalah penduduk yang melakukan

alih fungsi rumah menjadi tempat usaha yang berada di Perumnas

Condongcatur. Informan utama adalah Ibu Anik Supriyanti, Ibu Sumarmi,

Bapak Is Slamet, Tri Muryani, Ibu Marwati, Ibu Laminten, Bapak Wahyu,

Ibu Murtini, Bapak Zaqi. Alasan menjadikan mereka sebagai informan

adalah karena mereka merupakan sasaran dari penelitian sehingga dari

merekalah diketahui bagaimana kondisi sosial yang terjalin diantara warga

Perumnas Condongcatur.

c. Dokumentasi

Selanjutnya adalah teknik pengumpulan data sekunder, dimana data

yang diperoleh melalui dokumen baik literatur, laporan, arsip, data

penelitian terdahulu dan berbagai data yang berkenaan dengan penelitian ini.

19
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar, PT Indeks, Jakarta, 2012, hlm. 47.
Data sekunder ini digunakan untuk memperkuat data atau mempermudah

dalam menggali data. Pada penelitian ini sumber data sekunder yang

digunakan antara lain bersumber dari Kantor Kelurahan Condongcatur, data

kependudukan BPS, buku-buku literatur, jurnal penelitian, dan skripsi serta

laporan penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Untuk memperkuat

hasil pengamatan maka diperlukan beberapa alat bantu, antara lain kamera,

perekam suara, maupun alat tulis yang digunakan peneliti untuk mencatat

hasil lapangan yang diperoleh.

1.7.5 Teknik Analisa Data

Dalam melakukan analisis data yang digunakan yaitu analisis

deskriptif kualitatif yang terbagi ke dalam tiga langkah yaitu reduksi data,

penyajian data dan penarikan kesimpulan.

a. Reduksi Data

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang

tersedia dari berbagai sumber. Kemudian langkah selanjutnya adalah

melakukan reduksi data yang dilakukan dengan membuat abstraksi, yaitu

usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pertanyaan-pertanyaan

yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya.

b. Penyajian Data

Penyajian data merupakan salah satu kegiatan dalam pembuatan

laporan hasil penelitian yang telah dilakukan agar dapat dipahami dan

dianalisis sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Data yang disajikan harus
sederhana dan jelas agar mudah dibaca. Penyajian data juga dimaksudkan

agar para pengamat dapat dengan mudah memahami apa yang kita sajikan.

Pada penelitian kualitatif, penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian

singkat dengan teks yang bersifat naratif.20

c. Penarikan Kesimpulan

Setelah melakukan penyajian data, langkah selanjutnya adalah

penarikan kesimpulan dan verifikasi. Dalam penelitian kualitatif,

kesimpulan merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada.

Temuan dapat berupa deskripsi atau gambar obyek yang sebelumnya masih

blur sehingga setelah diteliti menjadi jelas dan dapat berupa kausal atau

interaktif.21 Dalam analisa ini peneliti dituntut untuk mengasah ketajaman,

kedalaman dan keluasan wawasan peneliti agar dapat menemukan akar

kebenaran sesungguhnya. Peneliti juga harus mampu mengungkapkan

melalui pisau analisisnya pada permukaan luar dari suatu perilaku atau

setting social subjek.

20
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Alfabeta, Bandung, hlm. 249.
21
Ibid, hlm. 252

Anda mungkin juga menyukai