Anda di halaman 1dari 10

HAKIKAT DAN PELAKSANAAN PITRA

YADNYA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.


Kerangka dasar ajaran agama Hindu adalah Tatwa (filsafat), Susila (ethika)
danupacara (rituil). Ketingga kerangka dasar tersebut tidak berdiri sendiri tetapi merupakan
suatu kesatuan yang harus dimiliki dan dilaksanakan (Anonim, 1968). Kehidupan masyarakat
Bali sehari-harinya didasari atas filsafat Tri Hita Karana yaitu kearmonisan hidup yang
bahagia dengan tiga sumber penyebab yang tidak lain adalah dari Tuhan, manusia dan alam
sekitarnya ( Purnomohadi, 1993). Penerapan Tri Hita Karana dalam pelaksanaan upacara dan
yadnya pada kehidupan sehari-harinya adalah sebagai berikut :

1. Hubungan antara manusia dengan Tuhan yang diwujudkan dengan Dewa Yadnya.
2. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra Yadnya, Resi
Yadnya dan Manusia Yadnya
3. Hubungan manusia dengan alam lingkungan yang diwujudkan
dengan Buhta Yadnya.(Anonim 2000).
Kelima upacara keagamaan di atas disebut dengan Panca Yadnya yaitu :
1. Dewa Yadnya adalah suatu korban suci yang ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan
para Dewa-dewa.
2. Pitra Yadnya adalah suatu penyaluran tenaga (sikap, tingkah laku dan perbuatan) atas dasar
suci yang ditujukan kepada leluhur untuk keselamatan bersama.(Anonim, 2000)
3. Resi Yadnya adalah upacara keagamaan yang ditujukan kepada Rsi atau orang suci. seperti
upacara penobatan calon sulinggih (mediksa), mengaturkan punia kepada para sulinggi,
mentaiti dan mengamalkan ajaran-ajaran para sulinggih, membantu pendidikan calon
sulinggih dan membuat tempat pemujaan beliau.(Anonim 1968)
4. Manusia Yadnya adalah suatu korban suci yang bertujuan untuk membersihkan lahir bathin
dan memelihara hidup manusia dari terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir
hidup manusia
5. Bhuta Yadnya adalah suatu korban suci yang bertujuan untuk membersihkan alam beserta
isinya. Ditujukan pada dua sasaran yaitu 1 (satu) Pembersihan alam dari gangguan pengaruh
buruk yang ditimbulkan oleh para buta kala dan makluk yang dianggap lebih rendah dari
manusia. Dan 2(dua) Pembersihan terhadap sifat bhuta kala dan makluk itu sehingga sifat
baik dan kekuatanya dapat berguna bagi kesejahteraan umat manusia dan alam.
1.2 Rumusan Masalah.
Dalam pembuatan makalah ini kami menentukan beberapa pokok permasalahan yang
kami jadikan sebagai acuan dalam proses penyusunannya nanti. Adapun masalah-masalah
yang akan kami kemukakan adalah sebagai berikut :
1.2.1 Apa pengertian Pitra Yadnya.
1.3.2 Apa dasar-dasar adanya Pitra Yadnya.
1.3.3 Bagaimana tata cara pelaksanaan upacara Pitra Yadnya.
1.3.4 Bagaimana pembagian dari upacara Pitra Yadnya.
1.3.5 Bagaimana Dewasa dan Upakara pada upacara Pitra Yadnya.
1.3 Tujuan Pencapaian
Dari berbagai permasalan diatas kami memiliki suatu dasar atau tujuan yang ingin
kami capai dalam penyusunan makalah ini. Adapun tujuan yang telah kami tentukan yaitu :
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian Pitra Yadnya.
1.3.2 Untuk mengetahui dasar-dasar adanya Pitra Yadnya.
1.3.3 Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan upacara Pitra Yadnya.
1.3.4 Untuk mengetahui pembagian dari upacara Pitra Yadnya.
1.3.5 Untuk mengetahui Dewasa dan Upakara pada upacara Pitra Yadnya.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Upacara Pitra Yadnya.


Pitra Yadnya berasal dari dua kata yaitu Pitra yang berarti Bapak/ Ibu atau leluhur
yang terhormat (sinuhun). Dan kata Yadnya berarti penyaluran tenaga, sikap, tingkah laku,
dan perbuatan atas dasar suci untuk keselamatan bersama atau pengorbanan.Pitra
Yadnya adalah pengorbanan yang tulus ikhlas untuk para leluhur dan orang tua. Pitra yadnya
wajib dilakukan untuk membayar hutang hidup kepada orang tua dan leluhur yang
disebut Pitra Rna.Tanpa ada leluhur dan orang tua sangat mustahil kita akan lahir di dunia
ini. Oleh karena itu hutang hidup ini harus dibayar dengan bentuk Upacara Pitra Yadnya.
Sedangkan menurut I Gusti ketut Kaler menyatakan bahwa Pitra yadnya secara
harfiah terdiri dari dua kata yakniPitra dan Yadnya. Pitra berarti orang tua (Ayah dan Ibu)
dalam pengertian yang lebih luas, bisa disebut leluhur. Sedangkan Yadnya berarti
pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus iklhas nan suci. Jadi, Pitra . Jadi, Pitra Yadnya
berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus nan suci kepada leluhur terutama orang
tua. (Kaler,1993:3)
Disamping bentuk upacara pitra yadnya, yang lebih penting dilakukan masa kini
adalah bagaimana usaha kita untuk menjunjung nama baik dan kehormatan leluhur dan orang
tua. Jadi pitra yadnya dalam kaitan kewajiban sebagai siswa adalah dengan belajar sebaik-
baiknya sebagaimana harapan orang tua. Melayani orang tua semasih hidup dengan ikhlas
serta tidak mengecewakan dan menyakiti hati orang tua adalah merupakan pitra yadnya
utama.

2.2 Dasar-dasar adanya Pitra Yadnya.


1) Berdasarkan keyakinan, bahwa dengan merasa diri seseorang menjadi anak dari seorang
bapak/ibu, maka sadarlah seseorang bahwa ia lahir dan dipelihara sejak kecil sampai dewasa
oleh bapak/ibu.
2) Kesadaran diri akan hal tersebut diatas, makasadar pula akan dirinya yang memiliki
hutang yang besar kepada bapak/ibu yakni berhutang jasa. Sesuai dengan Manawa Dharma
Sastra No.127, upacara yang ditujukan kepada leluhur sangat mulia sifatnya, karena roh
leluhur merupakan dewa terdekat bagi umat hindu setelah disucikan.
3) Kesadaran akan diri, bahwa dalam hidup ini berhutang jasa terhadap orang tua baik
semasih orang tua hidup dan setelah orang tua meninggal dunia, dalam agama Hindu disebut
Pitra Rnam.
4) Jika disimpulkan, jelaslah bahwa dasar adanya Pitra Yadnya adalah Pitra Rnam.
5) Barang siapa sadar akan dirinya, ia berhutang kepada orang lain, maka iapun harus sadar
akan dirinya mempunyai kewajiban untuk membayarnya. Demikian kesadaran akan dirinya
bahwa dalam hidup ini kita memegang Pitra Rnam, maka harus sadar pula untuk
melaksanakan Pitra Yadnya. Pada perinsip melakukan Pitra Yadnya adalah kewajiban hidup
bagi seorang anak.

2.3 Tata Cara Pitra Yadnya.


Dalam melakukan kewajiban sebagai seorang anak Terhadap orang tua, dalam agama
Hindu disebut Sutakirtya. Adapun tata cara yang dilakukan diarahkan kepada dua sasaran
pokok yaitu :
2.3.1 Semasih Orang tua hidup.
Dalam mengarahkan Sutakirtya terhadap orang tua yang masih hidup, lebih
dititikberatkan kepada ajaran tata susila, dengan dijiwai inti hakekatnya. Susila yang
dimaksud adalah selalu berusaha mebuat orang tua bahagia, yang dinikmati dari cetusan
bhakti dari anak. Sedangkan hakekat yang dimaksud adalah Jiwatman bersemayam didalam
diri orang tua adalah tunggal dengan yang ada pada orang lain dan bahkan dengan yang ada
pada diri sianak. Dan yang lebih mendasar adal Jiwatman adalah tunggal dengan
Paramaatman.
2.3.2 Setelah orang tua meninggal dunia.
Yaitu mengarahkan Sutakirtya setelah orang tua meninggal dunia, pelaksanaannya
lebih banyak tampak kepada Upacara secara simbolis (nyasa) dalam bentuk upakara atau
banten yang dapat dikhayalkan menurut fantasi, yakni cetusan hati nurani dan yang
tersembunyi didalam sifat-sifat rahasia (inti hakekat), seperti tersebut diatas, yaitu sesuatu
usaha agar jiwatman orang tua dapat menunggal kembali dengan Paramatman. Jadi dalam
hubungan ini upacara Pitra Yadnya lebih banyak mempergunakan Drwya Yadnya.

2.4 Pembagian Upacara Pitra Yadnya.


Upacara Pitra Yadnya itu dibagi menjadi dua macam yaitu :
2.4.1 Mependem.
mependem berarti upacara pitra yadnya yang dengan cara dikubur dahulu baru diikuti
dengan prosesi upacaraAdapun pemaparannya sebagai berikut :
1) Hembusan nafas penghabsan (wau Lampus).
Terhadap orang yang baru meninggal dunia dilakukan doa (puja pralina) oleh
keluarga/orang yang menjumpai pertama kali (pegat angkihan). Adapun maksudnya adalah
untuk mendoaakan rokh orang yang meninggal diterima oleh Hyang Widhi dan mencapai
kesucian. Upacara ini disertai dengan mantra Om A Ta Sa Ba I, Om Wa Si Ma Na Ya, Om
Mang Ang Ung. Mantram ini dapat dilanjutkan dengan mreyantu, swargantu, samantu, Om
Kesama sampurna Ya Namah Swaha. Hal ini juga dapat dilakukan dengan sesontengan.
Setelah selesai mayat dibaringkan sedemikian rupa, agar terhindari dari
pengelihatan yang mengerikan dan terhindar dari bau busuk. Secara simbolis diukup dengan
daun cendana. Yang lebih praktis adalah menggunakan alat modern yaitu dengan suntik
formalin dan lain-lain. Biasanya disisi mayat yang terbaring itu ditempatkan basa tampinan :
Daun sirih, kapur, tembakau dan pinang.
2) Nyiramang layon (memandikan mayat).
Perlengkapan yang dibutuhkan adalah pepaga (tandu), Ulap-ulap (secarik kain
putih yang dibentang diatas tempat memandikan dinatar pekarangan), daun pisang, air
penyiraman (air tawar, air asem, air kumkuman), dan alat-alat pengeringkesan (pengelelet),
jika mungkin dapat diusahakan; keramas, kakerik, bablonyoh putih kuning, gadung, daun
tunjung, kapas, daun intaran, bunga menuh, waja, daun terung, pecahan cermin, bunga-
bungaan, bebek, ampok-ampok, kwangen, angkeb rai, tempatkan pada suatu tempat. Jika
semuanya sulit didapatkan maka janganlah dijadikan penghalang, karena yang dicari memang
tidak didapatkan, gunakan apa yang ada diantara bahan-bahan tersebut. Selain yang tersebut
diatas yang perlu diperhatikan dan yang perlu adalah Tirtha Khayangan Tiga, Tirta Pangentas
metanem, Tirtha dari khayangan yang bersangkutan, Tirtha pembersihan, dan tirta
pengelukatan. Jika semua khayangan diatas tidak ada, dirikanlah sanggah pengyengan yang
bersifat sementara, dari sana ngayeng Hyang sesuwunan.
Dibawah ini akan dijelaskan rangkaian upacara mependem.
1. Menurunkan mayat dari balai-balai.
Terlebih dahulu mayat diturunkan dari balai-balai dan diusung kehalaman rumah dan
diletakan diatas pepaga,selanjutnya mayat ditelanjangi, kemudian disirang dengan air tawar
dan bersihkan seperlunya dan yang terakhir adalah tahap kedua mayat disiram dengan air
kumkuman. Ini dimaksudkan untuk menyucikan roh orang yang sudah meninggal.
2. Memasang Ramuan.
Yang dinamakan memasang ramuan adalah sarana-sarana seperti : gadung, kapas, wangi-
wangian, dan lain-lain. Jika telah selesai memandikan yang harus kita lakukan adalah
makerik kuku tangan dan kaki, meitik-itik yaitu mengikat kedua ibujari kaki dan tangan
dengan benang, pada tangan diletakan satu buah kwangen pangubaktian, selanjutnya
makramas dan masigsig. Maksud upacara ini untuk mempersatukan roh yang meninggal
kearah tujuan yang didoakan.
3. Bablonyoh.
Bablonyoh dipasang masing-masing yaitu yang putih diletakan dikepala dan yang kuning
diletakan di kaki. Maksudnya untuk kesempurnaan roh kealam asalnya.
4. Eteh-eteh.
Setelah Bablanyoh dipasang selanjutnya dilanjutkan dengan memasang sarana pada
tubuh mayat yaitu daun intaran dikening, gadung didada, pusuh menuh dilubang hidung,
cermin dimata, waja digigi, daun tuwung pada kemaluan (laki) dan daun tunjung pada
kemaluan wanita. Maksudnya adalah untuk sempurnanya kembali unsur panca indranya.
5. Bebek.
Bebek adalah bahan bedak (boreh, anget-anget). Ini dipasang pada perutnya. Maksudnya
untuk dapatnya roh angisep sarining wangi, yakni menikmati kesucian.
6. Lenga wangi.
Lenga wangi adalah minyak harum, bedak wangi yang dipasang pada tubuh mayat,
dengan maksud untuk penuda lara gati sengsara, yakni membasmi segala yang bersifat
sengsara roh orang yang meninggal.
7. Kwangen-kwangen.
Pemasangan kwangen pada tubuh mayat dengan cara : satu buah diletakan dikepala, satu
buah di ulu hati, satu buah didada, dua buah di siku (kanan dan kiri), dua buah di lutut kanan
dan kiri. Hal ini bertujuan untuk mengembalikan unsur panca maha bhuta dan unsur panca
tan matra keasalnya.
8. Mewastra.
Kemudian mayat itu dipasang kain selengkapnya dan secara simbolik berfungsi untuk
persiapan muspa (tidak dikerubung seluruh tubuhnya). Maksud pakaian itu adalah untuk
menyatukan Bayu, Sabda Idep kesemua unsur baik yang bersifat sekala maupun niskala dan
kembali amor pada asalnya.
9. Maktiang ke Surya.
Setelah lengkap semuanya, maka yang bertugas menjalankan upacara tersebut, memohon
kehadapan Sang Hyang Surya Raditya, tirta panglukatan dan pabersihan. Barulah mayat itu
diperciki tirtha panglukatan dan pabersihan, dan tirtha dari khayangan lainnya.

10. Banten arepan.


Setelah menyembah kehadapan Sang Surya, mayat diayapkan bebanten yang disebut
bubur pirata, nasi angkeb, dan saji. Maksudnya untuk bekal roh yang akan meninggalkan
dunia maya ini.
11. Mapegat.
Sebagai tanda perpisahan, maka kaum kerabat yang ditinggalkan menghadapi banten
yang letaknya didekat kaki orang yang meninggal. Banten ini disebut banten
sambutan/papegat. Para keluarga yang ditinggalkan mula-mula menyembah pada Surya
kemudian kepada roh orang yang meninggal.
12. Malelet.
Barulah mayat itu dilelet (dibungkus) dengan ketentuan yaitu pertama dibungkus dengan
kain kapan, tikar/kelasa, tali kendit/ante bambu dan akhirnya dengan kain putih.
3) Mendem Sawa.
Setra adalah tempat dimana umat Hindu mendem sawa dan ngeseng. Setelah mayat
selesai diupacarai sebagai mana mestinya lalu diusung dan dibawa kesetra. Disetra telah
disiapkan bangbang. Sebelum dilakukan mendem ada beberapa hal yang harus dilalui yaitu
sebagai berikut :
1. Mayat dibuka, baik tikar maupun pengleletannya dan tali kendit/ante.
2. diperciki tirtha oleh pelaksana upacara; yakni tirtha panglukatan maksudnya untuk
menghilangkan kecemaran. Kemudian dilanjutkan dengan tirtha pabersihan maksudnya untuk
menyucikan roh orang yang meninggal. Dilanjutkan dengan tirtha pengentas, maksudnya
untuk memberikan jalan yang benar kepada roh orang yang meninggal. Terakhir diperciki
tirtha kawitan, khayangan tiga, maksudnya adalah memberikan restu (pemarisudha) kepada
roh orang yang meninggal.
3. selesai memercikan tirtha, kembali mayat dibungkus dan dimasukan kedalam peti dan
kemudian dipendem.
4) Sebagai tanda selesainya upacara mendem sawa, maka disetra tersebut dilakukan upacara
sebagai berikut :
1. banten yang dihaturkan kehadapan Sang Hyang Prajapati, dengan puja penunas ica,
maksudnya menyerahkan kepadaNya dan memohon ampun atas karma yang tidak baik yang
pernah dilakukan dimayapada ini. Juga memohon agar diterima disisiNya.
2. Banten untuk Ibu Pertiwi dengan pengastawa yang bertujuan untuk berkenan menerima
unsur-unsur Panca Maha Bhuta yang meninggal dipangkuannya.
3. Banten yang dihaturkan kehadapan Sedahan Setra, dengan pengastawa yang bermmaksud
agar Sedahan/pengulun bangbang tidak menghalangi mayat itu dipendem.
5) Maktiang.
Upacara terakhir dalam mendem sawa dilakukan pengubaktian para sentana dan
pratisentana. Dengan demikian selesailah upacara mendem sawa yang dimaksud.
2.4.2 Megeseng.
mageseng yang berarti melakukan upacara pitra yadnya dengan membakar jasad yang
sudah mati dengan prosesi yang sudah ditentukan. Tata cara pelaksanaan ngeseng sawa
terdapat beberapa hal yang sama dengan tata cara pelaksanaan mendem sawa, antara lain dari
sejak meninggal hingga mengusung kesetra. Oleh karena itu kali ini tidak diuraikan lagi tata
cara tersebut. Dibawah ini akan dibahas tentang tata cara pitra yadnya atau upacara atiwa-
tiwa dengan cara megeseng (dibakar) yang dimana ada dua proses yaitu : 1) Proses
pengembalian badan wadag (Sthula sarira) keasalnya (unsur panca maha bhuta). 2) Proses
pengembalian roh (atma sarira) keasalnya (paramaatman).
Dalam pengertian pengembalian badan wadag kepada unsur panca Maha Bhuta yang
dilakukan dengan cara megeseng terjadi dalam beberapa bagian yaitu:
1) Sawa Wedana.
Yaitu ngeseng sawa secara langsung dengan segala upacaranya. Adapun tata cara
pelaksanaan ngeseng dalam waktu singkat dibenarkan menurut sastra yaitu Yama Purwana
tattwa dan Purwa Pubha Sesana. Tata cara itu disebut mapendem ring geni dan bertempat di
petulangan. Adapun tata caranya adalah setelah sawa tiba di setra. Sawa diusung mengelilingi
bale pebasmian sebanyak 3 kali searah dengan putaran jarum jam. Kemudian sawa
diturunkan dan diletrakan pada tempat pegesengan, tali kendit/ante diputus dengan belakas
yang telah disediakan (blakas diisi dengan bakang-bakang kayu dan kayu pemuhun). Kain
pengerubung sawa dibagian kepala dibuka dan bentangkanlah kain penyaring diatasnya
sebagai sarana untuk menyaring tirtha. Kemudian dilanjutkan dengan memercikan tirtha
penembak/pemanah, panglukatan, pabersihan, pangentas, dan tirtha dari sesuhunan,
khayangan tiga, dan tirta purwa.
1. Megeseng.
Setelah semua prosesi diatas selesai maka dilajutkan dengan ngeseng, tetapi
didahului dengan meletakan diatas dadanya upakara-upakara sebagai berikut : Bubur pirata
putih kuning 2 tanding, canang 7 tanding, beras catur warna masing-masing 1 ceper (putih,
merah, kuning, dan hitam), kemudian dilanjutkan dengan ngeseng dengan saang pengeseng
yang telah berisi api upacara. Dan selama pengesengan diharapkan mayat digeseng secara
alami dengan tidak mencoma untuk memotong mayat, karena itu dikatakan tidak wajar.
2. Penyeeb.
Setelah sawa jadi abu semuanya, diatasnya ditutupi dengan dua buah (papah) daun
pinang, kemudian tuangkan air secukupnya dan penyeeb.
3. Neraka.
Pungut sekedar abu tulangnya, tempatkan pada payuk kedas isi dengan air dan air
kumkuman. Abu tulang di haluskan dan dimasukan kedalam kelapa gading yang sudah
dikasturi dan diwujudkan dalam bentuk puspa asti. Abu lainnya direka seperti bentuk
manusia dan dipasangi kwangen di ubun-ubun 1buah, dahi 1buah, dikerongkongan 1 buah,
dihulu hati 1 buah, dipusar 1 buah, diantara pusar dan kemaluan 1 buah, diantara kemaluan
dan pantat 1 buah, dimata 2 buah, telinga 2 buah, hidung 2 buah, bahu 1 buah, kaki 2 buah,
tangan 2 buah, diperut 1 buah, dikemaluan 1 buah, dan dipantat 1 buah.
Kemudian siapkan daksina pejati selengkapnya, untuk dihaturkan di mrajapati,
pengulun setra. Bubur pirata, nasi angkeb, banten arepan ketupat panjang, diuskamaligi,
puspa, rantasan untuk rerekayan. Pemimpin upacara melakukan pemujaan dan mengucapkan
doa untuk melakukan persembahan keluarga yang meninggal. Persembahan itu ditujukan
kehadapan kehadapan Sang Hyang Surya, Mrajapati, Sedahan setra, khayangan tiga, dan
sesuhunan. Kemudian rerekayan itu dibungkus diusung dan dibuang kesungai/laut. Ini
disertai dengan upakara penganyutan yaitu daksina, peras penganyutan dan wangi-wangi.
2) Asti Wedana.
Upacara ngeseng yang proses pembakarannya dilakukan dengan cara mayat dikubur
terlebih dahulu (ngangkid) dan disertai dengan segala upacaranya. Adapun prosesi pada
upacara Asti wedana yaitu sebagai berikut:
1. Mempermaklumkan atau matur piuning di pura dalem dengan membuat simbolis orang yang
telah meninggal atai diaben berupa tegteg. Tegteg ini diusung kepura dalem disertai dengan
upakara ; peras, penyeneng, daksina, pengulapan, pengambean, segehan, dan sesayut.
2. Ngulapin ke Merajapati yaitu selesai dipura dalem dilanjutklan dengan ngulapin dipura
merajapati. Tuntun tegteg itu kepura Merajapati disertai dengan upakara yang sama.
3. Ngangkid yaitu tegteg diusung kesetra dimana tempat mayat ditanam. Diatas bangbang
selenggarakan upacara ngangkid dengan upakara sebagai berikut ; suci, peras, penyeneng,
punjung, daksina, segehan berisi jeroan mentah, darah dan tetabuhan tuak berem arak.
Bangbang dibongkar untuk mendapatkan tulang-tulang orang yang meninggal yang akan
diaben dikumpulkan pada satu tempat yang telah disediakan.
4. Ngulapin disetra (ngeplugin) yaitu apabila ngangkid dilaksanakan secara simbolis disebabkan
karena tempat mayat ditanam tidak ditemukan, cukup dilaksanakan upacara ngulapin disetra
tersebut sesuai dengan ketentuan sastra Agama. Pada bangbang yang telah dibongkar,
lakukan upacara sekedarnya dengan banten ; peras, suci, daksina, dan sambleh ayam hitam,
lalu bangbang itu ditimbun kembali.
5. Ngeringkes (sama dengan upacara ngeringkes diatas).
6. Ngeseng (sama dengan yang sebelumnya).
7. Ngayut (sama dengan yang sebelumnya).
3) Swasta.
Upacara atiwa-tiwa tehadap mayat yang tidak mungkin dijumpai lagi, sehingga mayat
diwujudkan dengan adegan (badan lain) berupa ilalang, air dan sebagainya. Dalam pengertian
umum, adalah suatu usaha untuk melakukan upacara Pitra yadnya yang bertujuan menjadikan
arwah yang meninggal menjadi suci.
Adapun yang tergolong kedalam Swasta adalah Racadana atau Tirtha Yadnya Pranawa
yakni sawa itu diganti dengan simbol tirtha (Toya Sarira). Tata cara pelaksanaannya sama
dengan tahap pelaksanaan asti wedana, baik dari hatur piuning dipura dalem sampai dengan
nganyut. Hanya terdapat beberapa perbedaan antara ngangkid dan ngeringkes.
4) Ngelungah.
Bayi yang telah berumur 42 hari hingga sebelum tanggal gigi bila meninggal dunia
agar segera dikubur. Upacara selanjutnya yaitu Ngelungah dan dapat dilaksanakan bilamana
ada kegiatan upacara pengabenan yang lain. Adapun tata cara pelaksanaannya adalah sebagai
berikut :
1. Piuning kepura dalem dengan banten ; canang meraka, daksina, ketipat kelanan, telur
bekasem, dan segehan putih kuning.
2. Piuning ke Merajapati dengan banten sebagai berikut ; canang, ketipat, daksina, dan peras.
3. Piuning kesedahan setra dengan banten ; sorohan, pengambean, pangulapan, peras, daksina,
kelungah nyuh gading dirajah Om Kara.
4. Rokh bayi dengan banten ; bunga pudak, bangsah pinang, kereb sari, punjung dan banten
bajang.
5. Tirtha pengerapuh yang dimohon dipura dalem.
Semua banten diatas diletakan diatas gegumuk bangbang. Mulailah dilaksanakan upacara
pemujaan memohon agar rokh si bayi kembali suci. Selesai memercikan tirtha maka
bangbangpun diratakan lagi dan semua banten itu ditanam.
5) Ketentuan Cuntaka.
Cuntaka dalam hubungannya dengan atiwa-tiwa terdapat ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
1. Cuntaka pakraman yaitu pakraman mengambil cuntaka setelah tiga hari sejak diadakan
upacara mendem atau ngeseng.
2. Cuntaka keluarga yaitu dilakukan dengan ketentuan keluarga yang bersangkutan namun tidak
mempengaruhi cuntaka pakraman.
3. Cuntaka pemilik sawa yaitu diambil dari sejak ia mempunyai kematian.
4. Cuntaka atiwa-tiwa yang tidak menggunakan sawa, misalnya Asti Wedana, Swasta, dan lain-
lain diambil sejak ngangkid/ngulapin, membuat sikut wadah, mulai Nyamuh (membuat jajan
upakara). Dan saat menentukan dewasa.
5. Cuntaka dalam hubungannya dengan Tumandang Mantri dan Ngelanus. Yang dimaksud
dengan ngaben Tumandang mantra adalah apabila hari saat meninggalnya dilakukan upacara
pengabenan hingga nyekah hari itu juga, yang dimaksud dengan ngaben Ngelanus adalah
apabila pelaksanaan upacara pengabenan dengan upacara nyekah tidak berselang dan pada
hari yang sama. Kedua jenis ngaben ini memperhitungkan tidak cuntaka, karena telah
dilaksanakan upacara pamarisudha seperti byakaon, prayascita, caru, dan upacara pabersihan
lainnya.
6. Pengemiligi yaitu segala bentuk cuntaka seperti diatas bisa dibuat tuntas setelah diadakan
upacara pengelemigian. Dengan demikian selesai pulalah tata upacara atiwa-tiwa yang
bersifat sthula sarira.
6) Meninggal diluar daerah dan abunya dibawa pulang.
Setiap jenasah yang pernah diupacarai disetra dengan upacara yang berhubungan dengan
kematiannya, baik berupa jenazah maupun yang telah dibakar berupa abu, tidak dibenarkan
dibawa pulang atau masuk wilayah desa adat. Sebaliknya apabila jenazah atau abu jenazah
yang belum mendapat upacara kematian dibenarkan untuk dibawa pulang, setelah sampai
dirumah berikan upacara dengan banten ; soda, peras, daksina, segehan agung, dan lain-lain.
7) Mekingsan di geni.
Mekingsan digeni pada dasarnya bukan merupakan upacara pengabenan, melainkan
setingkat dengan upacara penguburan biasa. Bedanya jenasah tidak dikubur melainkan
dibakar dan abunya di anyut kelaut. Apabila segera dilaksanakan upacara pengabenan abu
jenasah ditempatkan didalam payuk kedas dan ditaruh pada tempat darurat di setra.
8) Yang berhak muput upacara pengabenan
Berdasarkan keputusan dari kesatuan tafsir terhadap aspek agama Hindu, yang dapat
memuput upacara pengabenan adalah Sulinggih (dwijati).

2.5 Dewasa dan Upakara.


Sebagai yang telah disebutkan dalam piagam campuhan Ubud mengenai dharma
agama dalam hal pelaksanaan atiwa-tiwa ditetapkan menurut ketentuan Yama Purwana
Tattwa, terutama mengenai bebanten dan dilaksanakan, dalam tujuh hari dengan tidak
memilih dewasa. Hal ini berarti semakin cepat dilaksanakan akan semakin baik. Untuk tidak
mengaburkan pengertian dalam memilih dewasa atiwa-tiwa perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
1. Amreteka Sawa.
Kalau melaksanakan atiwa-tiwa secara langsung terhadap jenasah yang sebenarnya
(Amreteka Sawa), lebih-lebih jenasah akibat terserang penyakit menular (gering kameranan),
ini sangat membahayakan kalau disimpan cukup lama dirumah. Didalam Tutur Aji Sang
Hyang Swamandala menyebutkan bahwa yang demikian membahayakan khayangan-
khayangan.
2. Nangun.
Kalau pelaksanaan atiwa-tiwa itu memang direncanakan sebelumnya, yakni tidak
mewatang sawa yang sebenarnya, termasuk Asti Wedana, Swasta dan yang lain-lain, maka
waktu (dewasa) yang dikehendaki dipilih menurut Ala Hayunya.
3. Bebanten/ Upakara.
Upakara dalam hubungannya dengan kematian, secara tradisional, sering terdapat
perbedaan yang sangat mencolok antara lain bagi orang yang meninggal biasa dengan orang
yang meninggal secara lain misalnya ; salah pati, ngulah pati, dan sebagainya.
Berdasarkan pesamuhan Campuhan Ubud oleh Parisada Hindu Dharma, pelaksanaan
tradisional tersebut diatas diarahkan menurut sastra agama Hindu. Upakaranya disesuaikan
dengan orang yang mati, biasa dengan menambahkan upakara penebusan. Pelaksanaannya
dilakukan disetra karena hal ini masih bersifat Sthula sarira. Sebagai pedoman, dibawah ini
diuraikan secara singkat mengenai pokok-pokok dari upakara Pitra Yadnya :
a. Nasi Angkeb yaitu sesenden (dulang kecil) dirajah dengan padma. Diatasnya diisi alas tamas
ental yang isinya 1 ceper jajan, pisang, tape. Nasi beralaskan piring, dibawah nasi itu diisi
alas daun cabe biru 11 lembar, plaus ental 1 buah, tubungan dengan kembang payas, sampian
angkeb dengan daun ental, pula kerti, 2 buah orti, benang tukelan berisi beras, tuak 1
cambeng.
b. Banten Panjang Ilang rateng yaitu nasi9 pulung, pisang, ubi, keladi, kacang komak, ketan,
injin, gedang, bungkil pisang, lakar base genep,Gerang 2, taluh 2, wot bekatul, beras catur
warna, salak, manggis, pakel, duren, wani, candung, ambengan, padang lepas, muncuk
dapdap, muncuk tiying sami apesel, beluluk, who-wohan, sedah ambungan, jambe pasihan,
uyah, sera, barak, bayem luhur, bawang jahe, bulun merak, nyuh sami masibak, mabe urutan
mepanggang, sesate 9 warni sami lebeng matah dados atamas, malih penek catur warna,
mabe nyalean, udang, lele, yuyu, serandu, sami aceper, ring logan caru mewadah tabog, mebe
kacang komak, sodaan seruntutan ipun.
c. Saji Tarpana yaitu terdiri dari ; 1) penek 1, ketipat 1, pesor 1, ulam suka wenang, rake-rake
sagenepe. 2) Saserodan yaitu jaja magoreng aceper, jaja lebeng antuk toya aceper. 3) Penek
sekul 1, maulam bebek, punjungan putih kuning maulam bebek, tumpeng sodaan 3, kelungah
kinasturi, raka sagenep maulam bebek, sami mekaput upih. 4) seserodan yaitu bunga temu,
jaja kuskus barak putih, sumping, pasung, belukbuk, cerorot, kalih saruntutan ipun. 5) bubuh
pirata putih kuning yaitu putih 54 besik dadi atanding, kuning54 besik dadi atanding, sami
metancep padang lepas, ambengan, mesambel maja keeling.
4. Gelar Sanga Alit.
Yaitu terdiri dari taledan alit9, ajengan sasah, olahan genep, sesate9, jinah 9, mewadah
wakul kalih. Asiki medaging nasi, sane asiki malih medaging bantal, beras, taluh, sate, saha
tetabuhan, metatakan pangorengan.
5. Suci alit tamas 8 besik.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan.
3.1.1 Pitra Yadnya adalah pengorbanan yang tulus ikhlas untuk para leluhur dan orang tua. Pitra
yadnya wajib dilakukan untuk membayar hutang hidup kepada orang tua dan leluhur yang
disebut Pitra Rna.Tanpa ada leluhur dan orang tua sangat mustahil kita akan lahir di dunia
ini. Oleh karena itu hutang hidup ini harus dibayar dengan bentuk Upacara Pitra Yadnya.
3.1.2 Adapun tata cara yang dilakukan diarahkan kepada dua sasaran pokok yaitu semasih Orang
tua hidup dengan cara selalu berbakti dan membahagiakan ereka. Yang kedua adalah setelah
mereka meninggal yaitu dengan cara melakukan upacara atiwa-atiwa atau pengabenan.

3.2 Saran- saran.


3.2.1 Kita sebagai makhluk yang diciptakan oleh Brahman (Hyang Widhi) harus selalu
mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari terutama perbuatan yang ditujukan
kepada orang tua haruslah sesuai dengan sesana kita sebagai anak sehingga kita dapat
mencapai kebahagiaan yang sejati.
3.2.2 Apabila kita memiliki orang tua yang sudah meninggal tetapi belum di aben maka kita
sebagai anak harus melaksanakan hal tersebut, karena itu merupakan kewajiban kita sebagai
anak.

Daftar Pustaka

. IMade. M.Ag, Acara Agama Hindu I, Institud Hindu Dharma Negeri, Denpasar, 2009.
Dan Penyusun Buku Agama Hindu, Panca Yadnya, Pemda Tingkat I, Bali, 1996/1997.

Anda mungkin juga menyukai