Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana) PDF
Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana) PDF
PENDAHULUAN
Pengelolaan air bawah tanahdi Indonesia pada dasarnya bertumpu pada aspek
hukum dan aspek teknis. Aspek hukum merupakan peraturan dan perundangan yang
digunakan untuk melandasi upaya pengelolaan air bawah tanah, baik yang dikeluarkan
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Peraturan dan perundangan yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebenarnya merupakan pranata hukum yang
bertindak sebagai ujung tombak pelaksanaan upaya pengelolaan dan perlindungan air
bawah tanah, dengan demikian peraturan daerah sangat menentukan dalam
Sampai saat ini upaya pengelolaan air bawah tanah untuk menjamin
keberlanjutan pemanfaatan dan pelestarian air bawah tanah terus menerus diterapkan
di lapangan, baik yang mencakup aspek teknis maupun aspek hukum. Tetapi pada
kenyataannya, meskipun upaya pengelolaan air bawah tanah telah dilakukan oleh
semua unsur terkait, di lapangan masih menunjukkan adanya degradasi sumberdaya air
bawah tanah, baik kuantitas maupun kualitasnya, di samping terhadap lingkungan di
sekitarnya. Hal ini menunjukkan, bahwa pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah
dalam rangka konservasi air bawah tanah belum mencapai sasaran secara optimal.
Seperti dijelaskan di atas, bahwa pada dasarnya pengelolaan air bawah tanahdi
Indonesia bertumpu pada dua aspek, yaitu (1). Aspek hukum dan (2). Aspek Teknis.
Aspek Hukum
Sebagai perwujudan ayat (3) pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, maka pada
tahun 1974 dikeluarkan Undang-Undang No. 11 tentang Pengairan. Undang-Undang ini
menitik-beratkan fungsi sosial sumberdaya air, oleh sebab itu penguasaan atas
penggunaan sumberdaya tersebut dilakukan oleh Negara bagi kemakmuran rakyat.
Peraturan yang ada mengenai air dan atau sumber-sumber air, sebelum Undang-
Undang ini ditetapkan, dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan saat itu dan
tidak memenuhi cita-cita yang diharapkan seperti pada Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945.
Khusus tentang air bawah tanah pasal 5 ayat (2) pada undang-undang tersebut,
ditetapkan sebagai berikut :
"Pengurusan administratif atas sumber air bawah tanah dan mataair panas sebagai
sumber mineral dan tenaga adalah di luar wewenang dan tanggung jawab Menteri
yang disebut dalam ayat (1) pasal ini" (maksudnya Menteri yang diserahi tugas urusan
pengairan).
Dengan pasal tersebut jelas, bahwa air bawah tanah memerlukan pengaturan
tersendiri oleh Menteri yang diserahi tugas urusan air bawah tanah.
Karena kedudukan lapisan pembawa air bawah tanah (akuifer) pada tiap
daerah berbeda-beda kedalamannya, maka pengaturan pengambilan air bawah
tanah harus disesuaikan dengan kondisi hidrogeologi setempat. Batas-batas kedalaman
ini ditetapkan oleh Menteri yang diatur dalam suatu peraturan tersendiri.
Pengambilan air bawah tanah memerlukan izin dari pejabat yang diberi
wewenang oleh Menteri yang berwewenang dalam bidang pertambangan yang
pelaksanaannya diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan yang khusus
mengatur hal tersebut, sedang penggunaannya tunduk pada ketentuan-ketentuan
tersebut pada Peraturan Pemerintah ini atau perundang-undangan lain dalam bidang
pengairan.
Ayat (3) :
Pelaksanaan ketentuan pasal ini diatur lebih lanjut oleh Menteri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.
Mengingat ketentuan pada pasal 6 ayat (1) dari Peraturan Pemerintah No. 22
Tahun 1982, maka ditetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No.
03/P/M/Pertamben/1983, tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah. Pada dasarnya
peraturan Menteri tersebut menetapkan, bahwa pengurusan administratif air bawah
tanah adalah pengelolaan air bawah tanah dalam arti luas yang mencakup segala
usaha inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perizinan dan pengendalian serta
pengawasan dalam rangka konservasi air bawah tanah.
Peraturan ini lebih lanjut mengatur wewenang dan tanggung jawab Menteri
dalam melaksanakan pengurusan administratif atas sumber air bawah tanah yang
Pengambilan air bawah tanah hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari
Gubernur, yaitu setelah mendapat saran teknik yang mengikat dari Direktur Geologi Tata
Lingkungan. Selain kewenangan dalam pemberian izin, Pemerintah Daerah dilibatkan
dalam pelaksanaan pengawasan air bawah tanah bersama-sama dengan Direktorat
Geologi Tata Lingkungan dan Kantor Wilayah Departemen Pertambangan dan Energi.
Di dalam peraturan baru tersebut yang paling mendasar adalah, bahwa izin
pengeboran dan izin pengambilan air bawah tanah untuk kegiatan di luar kegiatan
usaha pertambangan dan energi diberikan oleh Gubernur. Sementara izin pengeboran
Urusan bidang air bawah tanah yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II
Otonomi Percontohan meliputi:
a. penerbitan izin pengeboran dan izin pengambilan air bawah tanah
b. penetapan tarif dan retribusi air bawah tanah
c. pembinaan dan pengawasan operasional terhadap pengelolaan air bawah tanah
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, dalam
rangka memberikan pembinaan dan membantu Daerah pada penyelenggaraan
pengelolaan air bawah tanah di wilayahnya, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral
Seorang pribadi atau komunitas tertentu hanya dapat memiliki bangunan sumur,
tetapi tidak mempunyai hak kepemilikan atas air bawah tanah yang ada di dalam
sumur tersebut. Demikian juga sesorang pribadi atau komunitas tertentu tidak
mempunyai hak kepemilikan atas mata air yang berada di lahan miliknya.
Pengaturan yang bersifat terfragmentasi dan sektoral. Pengelolaan air bawah tanah
dan pengelolaan air permukaaan diatur oleh dua lembaga yang berbeda, tanpa
adanya keterpaduan dalam perencanaan, pendayagunaan, dan pelestariannya.
Sebagai akibatnya tidak ada jaringan kerja yang bersifat institusional antar pengelola
masing-masing sumberdaya air, dan tidak dapat dilakukannya pemanfaatan kedua
sumberdaya air yang saling menunjang (conjuctive use).
Pengaturan yang bersifat sentralistik, kurang memberdayakan daerah, sebagai
akibatnya daerah lebih berkepentingan dalam memperoleh manfaat nilai ekonomi
air/air bawah tanah sebagai pendapatan asli daerah daripada usaha-usaha
konservasi atau perlindungannya.
Penetapan Pemerintah sebagai regulator, operator, dan juga penyedia data,
mengakibatkan pelaksanaan pengelolaan menjadi rancu, bias, dan tidak adil,
karena Pemerintah mengutamakan kepentingan sendiri apabila terjadi konflik
kepentingan dengan pihak lain.
Pengaturan kewenangan yang multi tafsir, sehingga mengakibatkan terjadinya konflik
kewenangan antar sektor.
Pengaturan yang lebih menitik beratkan kepada pemanfaatan daripada
konservasinya. Izin pemanfaatan air merupakan instrumen utama pengendalian,
Dalam Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dinyatakan antara
lain Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi ,
pendayagunaan sumberdaya alam... Ayat ini dapat ditafsirkan, bahwa
pendayagunaan sumberdaya air masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Sedangkan pada Pasal 10 Ayat (1) menyebutkan Daerah berwenang mengelola
sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya .. dengan demikian kedua ayat
tersebut dapat ditafsirkan saling bertentangan.
Aspek Teknis
Air bawah tanah adalah salah satu sumberdaya air yang sangat besar jumlahnya di
bumi ini, tetapi kurang dipahami keterdapatannya. Di bumi ini 97% berupa air tawar,
di luar tudung es kutub, adalah berupa air bawah tanah.
Air bawah tanah adalah benda yang tidak dapat dilihat secara langsung, sehingga
membutuhkan biaya yang relatif besar untuk menyelidikinya. Hanya sebagian kecil
wilayah Indonesia yang diketahui secara kuantitatif keterdapatan air bawah
tanahnya.
Dengan tinjauan aspek teknis, maka keterdapatan air bawah tanah tidak dibatasi
oleh batas administratif suatu daerah, sehingga pengelolaan air bawah tanah mengacu
pada cekungan air bawah tanah, yaitu suatu wilayah yang ditentukan oleh batasan-
batasan hidrogeologi, yang mengandung satu akuifer atau lebih dengan penyebaran
luas, dimana semua proses hidraulika (pengisian, pengaliran, pengambilan atau
pengeluaran) berlangsung. Batasan-batasan teknis hidrogeologi tersebut meliputi : (1)
waktu, (2) jumlah, (3) ruang/wadah dan (4) kualitas (Hendrayana, 2000b, 2002a-b)
Waktu : bahwa ketersediaan air bawah tanah dibatasi oleh dimensi waktu
yang menyangkut waktu pengaliran dan pembentukan air bawah
tanah, termasuk waktu tinggal air bawah tanah di dalam akuifer.
Ruang/wadah : tempat dimana air bawah tanah tersimpan, yaitu akuifer atau
wadah yang secara hidrogeologi memungkinkan menyimpan dan
melepaskan air bawah tanah dalam jumlah berarti, sehingga
diperlukan pemahaman terhadap konfigurasi, geometri, dan
parameter akuifer di suatu cekungan untuk membantu menentukan
keterdapatan dan besaran sumberdaya air bawah tanah. Batas
akuifer (aquifer boundaries) dalam wadah tersebut ditentukan oleh
sifat-sifat hidraulika yang dimilikinya.
Beberapa upaya pengelolaan air bawah tanah dari aspek teknis yang telah
dilaksanakan di Indonesia dalam rangka pengendalian dampak negatif akibat
pemompaan air bawah tanah secara berlebihan, antara lain:
4. Penambahan Imbuhan
Berdasarkan pada daur hidrologi, sumber utama air bawah tanah adalah
berasal dari air hujan. Indonesia yang beriklim tropis basah, umumnya mempunyai
curah hujan yang relatif tinggi, lebih dari 1000 mm/tahun, dengan hari hujan yang relatif
panjang. Kondisi ini sangat menguntungkan dalam imbuhan air bawah tanah secara
alami, dimana pada saat musim hujan terjadi pengisian dan penggantian dari defisit air
bawah tanah yang terjadi pada musim kemarau. Dengan demikian akuifer akan
mendapat penambahan cadangan air bawah tanah. Permasalahannya adalah di
daerah-daerah yang telah berkembang, terutama di kota-kota besar, peristiwa
pengisian kembali air bawah tanah pada musim hujan terhambat karena adanya
perubahan lingkungan atau fungsi lahan. Daerah-daerah yang sebetulnya merupakan
daerah imbuh air bawah tanah telah berubah fungsi, sehingga hanya sebagian kecil air
hujan yang meresap dan mengimbuh air bawah tanah.
Banyaknya permasalahan dan kendala yang masih ada, baik yang bersifat teknis
maupun non teknis sangat berpengaruh pada sasaran pelaksanaan pengelolaan air
bawah tanah dan konservasinya. Dengan demikian dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah, maka pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah menghadapi
beberapa TANTANGAN, antara lain seperti berikut (Hendrayana, 2002a-b, dan Soetrisno,
2002a):
Pengelolaan secara total dan menyatu antara air bawah tanah dan air permukaan,
hal ini dengan menyadari, bahwa air bawah tanah adalah bagian tak terpisahkan
dari ekosistem dan berinteraksi dengan air permukaan.
Menerapkan konsep dasar pengelolaan air bawah tanah secara total (Total
Groundwater Management) yang memadukan konsep pengelolaan Groundwater
Basin dan River Basin. Pendekatan pengelolaan air bawah tanah dengan
mendasarkan konsep Regional-, Intermediate- dan Local/Artificial Groundwater Flow
System guna memecahkan permasalahan kuantitas dan kualitas air bawah tanah
pada setiap recharge area atau pun discharge area.
Desentralisasi pengelolaan, yaitu memberdayakan daerah untuk mengelola air
bawah tanah dalam lingkup wilayahnya tanpa mengabaikan sifat keterdapatan dan
aliran air bawah tanah serta prinsip-prinsip pengelolaan akuifer lintas batas.
Pemenuhan hak dasar, yaitu menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air dari
air bawah tanah di daerah yang kondisi air bawah tanahnya memungkinkan, bagi
kebutuhan pokok sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan
produktif. Menjamin terselenggaranya pemanfaatan air bawah tanah yang adil bagi
setiap pengguna air.
Ketersediaan data dan informasi, yaitu membangun satu sistem informasi dan
jaringan informasi air bawah tanah yang terpadu didasari oleh data ke-air bawah
tanah-an yang andal, tepat, akurat, dan berkesinambungan, yang mencakup
seluruh wilayah Indonesia.
Keberlanjutan ketersediaan air bawah tanah, yaitu dengan menjamin keseimbangan
antara pemanfaatan nilai ekonomi air dan keterdapatan air bawah tanah sebagai
bagian dari ekosistem, mencegah dan merestorasi degradasi kuantitas, kualitas, dan
Secara umum pengelolaan cekungan air bawah tanah dilaksanakan melalui tiga
tahapan utama, yaitu :
1. Tahapan penelitian, untuk memperoleh gambaran karakteristik fisik
cekungan air bawah tanah, identifikasi rona awal kuantitas dan kualitas air
bawah tanah, inventarisasi permasalahan atau problem air bawah tanah,
dll.
lokasi ke lokasi lain dalam satu cekungan air bawah tanah. Pola aliran air bawah tanah
lokal didapatkan dari hasil pemetaan pada skala rinci 1 : 12.500 atau lebih detil 1 :
10.000 dan seterusnya. Pola aliran ini sebagian besar merupakan kondisi aliran air
bawah tanah yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia (=faktor anthropogen), tetapi di
beberapa tempat tertentu merupakan kondisi alamiah (dikontrol oleh kondisi morfologi
lokal/setempat (=faktor geogen). Konsep aliran air bawah tanah lokal ini sangat efektif
untuk digunakan pada konsep pendekatan pengelolaan kualitas air bawah tanah (lihat
gambar 2, 3 dan 4).
Gambar 2 : Sistem aliran air bawah tanah Regional-, Intermediate-, dan Lokal dalam
Cekungan Air Bawah Tanah (Domenico, 1990 )
Groundwater Basin
Langkah awal pada proses pengelolaan kuantitas air bawah tanah dalam
cekungan air bawah tanah adalah penentuan batas dan karakterisasi cekungan air
bawah tanah yang akan dikelola. Pada pengelolaan kuantitas air bawah tanah dalam
cekungan ini didasarkan pada pemahaman konsep aliran air bawah tanah secara
regional atau intermediate tergantung luas penyebaran cekungan air bawah tanah.
Analisis sistem aliran airtanah regional/intermediate digunakan untuk menentukan
daerah recharge dan discharge air bawah tanah. Selanjutnya pada daerah-daerah
tersebut dilakukan analisis neraca air bawah tanah dengan menggunakan evaluasi data
numerik sistem aliran air bawah tanah dan bantuan dari sistem data base.
Pada pendekatan konsep ini harus diintegrasikan dengan konsep pengelolaan
air permukaan pada suatu daerah aliran sungai. Deliniasi dan karakterisasi daerah aliran
sungai dilakukan untuk analisis sistem aliran sungai regional/intermediate dan karakterisasi
daerah recharge dan discharge aliran air permukaan. Dengan demikian selanjutnya
dapat dihitung neraca air permukaan.
Berdasarkan pada hasil analisis neraca air bawah tanah pada cekungan air
bawah tanah dan neraca air permukaan pada daerah aliran sungai, serta didukung
Commitment Building 35
Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan
Policy Decision
Gambar 5 : Pendekatan konsep pengelolaan KUANTITAS air bawah tanah secara total
(Hendrayana, 2002a-b)
Commitment Building
Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 36
Policy Decision
Gambar 6 : Pendekatan konsep pengelolaan KUALITAS air bawah tanah secara total
(Hendrayana, 2002a-b)
PENUTUP
Pranata hukum yang mengacu pada aspek teknis tersebut akan menjadi dasar
yang baru dalam setiap pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah dalam
penyelenggaraan otonomi daerah. Semangat reformasi, serta visi air dunia
menciptakan paradigma baru pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. Paradigma
baru ini harus menjadi dasar dalam menciptakan pranata hukum yang baru dalam
pengelolaan air bawah tanah (Soetrisno, 2002a)
World Water Forum 2000, menetapkan visi air dunia Making Water Everybodys
Business, serta tujuh tantangan terhadap kebutuhan air baku, yaitu : i) memenuhi
kebutuhan pokok penduduk; ii) menjamin penyediaan pangan; iii) melindungi ekosistem;
iv) membagi sumberdaya air antar wilayah berkaitan; v) menanggulangi resiko; vi)
memberi nilai air; dan vii) menguasai air secara bijaksana. Untuk menjawab tantangan
tersebut disepakati: 1) inovasi di bidang klembagaan, teknologi, dan finansial; 2)
pengelolaan sumberdaya air dan sumberdaya lahan secara terpadu, yang mencakup
perencanaan dan pengelolaan sumberdaya manusia; 3) kerjasama dan kemitraan di
semua tingkat; 4) melaksanakan prinsip-prinsip yang telah disepakati berupa tindakan
nyata berdasarkan kemitraan semua pihak untuk mewujudkan keamanan terhadap air
baku dengan berbagai cara.
Pengelolaan yang terpadu antar setiap jenis sumberdaya air (air hujan, air
permukaan, dan air bawah tanah), tidak lagi terfragmentasi.
Peran pemerintah pusat dari regulator dan sekaligus operator yang sentralistik
menjadi sebagai regulator, pembuat kebijakan, perencanaan nasional, pembinaan,
konservasi dan standarisasi nasional, dan menyerahkan pelaksanaan kebijakan dan
Pengelolaan sumberdaya air bawah tanah harus dilakukan secara bijaksana oleh
semua pihak dengan bertumpu pada aspek teknis dan aspek hukum dan
kelembagaan yang benar. Secara teknis, penerapan konsep dasar pengelolaan air
bawah tanah secara total harus segera dimulai, yaitu dengan memadukan konsep
pengelolaan air permukaan yang berbasis daerah aliran sungai dan konsep
pengelolaan air bawah tanah berbasis cekungan air bawah tanah, yang mendasarkan
pada analisis sistem aliran airtanah regional, intermediate dan lokal, guna memecahkan
permasalahan kuantitas dan kualitas air bawah tanah secara lebih nyata.
Aspek hukum dan kelembagaan memegang peran sangat penting dalam
penyelenggaraan pengelolaan air bawah tanah. Pranata hukum dan kelembagaan
yang baik adalah yang tidak mengingkari asal-usul dan sifat alamiah air bawah tanah.
Dukungan komitmen yang nyata dari semua pihak terkait, kelembagaan, aspek
hukum, pemerintah, swasta dan masyarakat serta dukungan teknis yang memadai
menjamin terlaksananya konsep pengelolaan air bawah tanah secara total (total
groundwater basin management concept). Siklus pengelolaan seharusnya tetap
diimplementasikan untuk evaluasi efektivitas pengelolaan air bawah tanah.
PUSTAKA
Anonymous, 1993, Water Resources Management. A World Bank Policy Paper, The World
Bank, Washington D.C.
Anonymous, 2000, Tinjauan Umum dan Pokok-Pokok Pikiran Konservasi dan Pelestarian
Sumberdaya Air, Deputi Bidang Sumberdaya Air, Kantor Menteri Negara
Pekerjaan Umum, Jakarta.
Anonymous, 2001, Internationally Share/Transboundary Aquifer Resources Management,
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, Paris.
Bedient, P.B., Rifai, H.S., Newell, C.J., 1999, Groundwater Contamination, Transport and
Remediation, 2nd edition, Prentice Hall PTR, Singapore, 604 p.
BMZ-GTZ, 2000, Water Framework Planning, Prosiding Sistem Pengelolaan Terpadu DAS,
Program LH Indonesia-Jerman, Kantor Menteri Negara LH/Bapedal-GTZ,
Jakarta