Anda di halaman 1dari 4

EKSISTENSI JURUSITA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 9

TAHUN 2004 : BERMANFAAT ATAU TIDAK?


Lufti Yassiva Aulia
110110140129

Konsepsi Indonesia sebagai negara hukum dapat dibuktikan secara konstitusional dalam pasal
1 ayat (3) UUD 1945 yang mana setiap kehidupan berbangsa dan bernegara harus
berdasarkan aturan-aturan hukum. Hukum hadir untuk menjamin dan mengatur segala
kepentingan-kepentingan baik individu maupun kelompok agar tidak bertabrakan satu dan
lainnya serta untuk mewujudkan keadilan. Disamping itu konsep tersebut juga
mengemukakan bahwa Indonesia tidak hanya merupakan negara hukum formil yang hanya
menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan dibatasi pada peraturan perundang-
undangan tertulis saja tetapi juga negara hukum yang bersifat materiil dimana keadilan juga
dapat didefinisikan.
Adapun konsep negara hukum formiil dan konsep negara hukum materiil meskipun berbeda
satu sama lain pada dasarnya saling mendukung satu sama lain. Sebab, tujuan akhir dari
hukum itu sendiri adalah keadilan yang dirasakan oleh masyarakat umum. Keadilan itu
sendiri sejatinya adalah suatu pemahaman yang abstrak. Dalam konsep negara hukum,
pemahaman yang abstrak tersebut menjelma menjadi substansi dalam konkritisasi hukum
materiil, dan untuk mencapai keadilan yang bersifat materiil tersebut maka penegakkannya
didefinisikan dan diatur melalui hukum formiil. Maka, konsep hukum yang dianut oleh suatu
negara tentu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya sendiri. Manakala suatu negara
berkecenderungan untuk mencapai keadilan dengan mengkedepankan perturan tertulis maka
negara tersebut akan mengadopsi konsep negara hukum formiil, sedangkan apabila suatu
negara berkecenderungan untuk mencapai keadilan dengan mengkedepankan substansi
pemahaman abstrak yang terdapat di dalam masyarakat maka negara tersebut akan
mengadopsi konsep negara hukum materiil.
Hal ini pula dikemukakan oleh Wolfgang Friedman dalam bukunya Law in a Changing
Society membedakan antara rule of law dalam arti formil yaitu dalam arti organized
public power, dan rule of law dalam arti materiel yaitu the rule of just law. Pembedaan
ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak
serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai
hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula
dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel1
Lantas, sudah seyogyanya negara sebagai representasi dari kepentingan umum masyarakat
berhak dan secara aktif turut serta dalam mengurus kepentingan rakyatnya agar tercapainya
kesejahteraan rakyat (welfare state) salah satunya ialah keadilan. Meskipun konteks keadilan
pada umumnya tidak dapat terdefinisikan. Tidak hanya UUD 1945 saja namun keadilan harus
dipandang melalui Pancasila yang diyakini sebagai falsafah serta ideologi negara (nasional).
Atas dasar hal itu, negara menghadirkan badan peradilan yang dalam praktiknya dijalankan
oleh kekuasaan kehakiman berfungsi untuk mewujudkan keadilan yang juga mendukung ciri
dari sebuah negara hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman :
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia.
Lebih lanjut, pelaku kekuasaan kehakiman terdapat dalam Bab III Pasal 18 yaitu :
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Menurut Julius Stahl2 konsep sebuah negara hukum mencakup empat elemen penting, yaitu :
1. Perlindungan HAM
2. Pembagian kekuasaan
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang
4. Peradilan tata usaha negara
Administratieve rechtspraak atau yang dikenal sebagai Peradilan Tata Usaha Negara telah
ada dan diatur dalam beberapa undang-undang seperti Undang-Undang nomor 5 tahun 1986,
Undang-Undang nomor 9 tahun 2004, dan Undang-Undang nomor 51 tahun 2009. Peradilan
Tata Usaha Negara sebelumnya merupakan peradilan administrasi yang hanya memeriksa
bidang perpajakan yang diatur oleh majelis pertimbangan pajak, berkedudukan di jakarta.
Seiring perkembangan zaman, Peradilan Tata Usaha Negara secara umum menjadi wadah
untuk menyelesaikan sengketa yang timbul yang disebabkan oleh keputusan dan/atau

1
Prof Jimly Asshidiqie dalam Gagasan Negara Hukum Indonesia.pdf dalam jaringan www.jimly.com
2
ibid
tindakan pejabat dengan rakyat yang telah memberikan sebagian hak nya untuk diatur oleh
pejabat tersebut.
Penguasa memiliki wewenang dan sering dalam melakukan tugasnya pejabat melampaui
batas wewenangnya (detournement de puvoir) atau pejabat salah menerapkan undang-undang
atau peraturan (abus de proit) yang menimbulkan sengketa. Yangmana sengketa ini harus
diselesaikan sebaik-baiknya. Oleh karena itu diperlukan adanya peradilan tata usaha negara
untuk melaksanakan peradilan. Juga diperlukan peraturan tentang cara-cara berperkara di
hadapan pengadilan tata usaha negara jadi diperlukan pula hukum acaranya.3 maka dalam hal
ini, Peradilan tata usaha negara dipandang sebagai wadah untuk menyelesaikan konflik dan
terlaksananya (eksekusi) isi putusan sebagai tolak ukur keberhasilan dan keefektifan
peradilan tata usaha negara. Namun untuk memastikan eksekusi tersebut berjalan atau tidak
diperlukan suatu lembaga yang menjalankannya yaitu Jurusita. Perlu diketahui pula dalam
melaksanakan fungsinya sebagai pencapai sebuah keadilan dalam pelaksanaannya
diselenggarakan oleh suatu hubungan organisasi dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 5
tahun 1986 memuat susunan pengadilan yang terdiri dari :
- Pimpinan, terdiri atas seorang Ketua dan serang Wakil Ketua
- Hakim Anggota, pada Pnegadilan Tinggi Tata Usaha Negara adalah Hakim Tinggi
- Panitera
- Sekretaris
Namun pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tidak dikenal adanya Jurusita. Istilah
Jurusita terdapat pada Undang-Undang nomor 9 tahun 2004 sebagai bentuk perubahan atas
Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 pada Pasal 39A, 39B, 39C,39D, dan 39E. Meskipun
begitu tidak terdapat adanya definisi yang pasti serta pengaturan mengenai tugas dan
tanggungjawab Jurusita dalam peradilan tata usaha negara. Tidak seperti perkara perdata
yangmana pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin
oleh Ketua Pengadilan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 33 ayat 3 undang-undang
nomor 4 tahun 1970. Namun bukan berarti dengan tidak adanya pengaturan yang jelas
mengenai Jurusita dalam peradilan tata usaha negara jabatan tersebut tidak bermanfaat. Maka
dari itu dapat dilihat tugas Jurusita secara umum dalam peraturan mahkamah agung nomor
122/KMA/SK/VII/2013 salah satunya pasal 3 ayat (6) yaitu Jurusita tidak dapat mewakilkan
kepada siapapun penyampaian relaas panggilan ataupun pemberitahuan, maka dalam hal ini
menandakan bahwa Jurusita diperlukan dalam proses beracara termasuk dalam peradilan tata

3
Rochmat Soemintro, Peradilan Tata Usaha Negara (Bandung: PT.Eresco,1995). Cet. 3 hlm.1
usaha negara. Mengacu pada Undang-undang nomor 9 tahun 2004 Jurusita dimasukkan
dalam Bagian kedua sekretaris pada Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 dimana dapat
dilihat bahwa Sekretaris pula merangkap tugas Panitera, tapi patut digaribawahi dalam hal
Jurusita merupakan jabatan fungsional yang diperlukan dalam membantu administrasi umum
peradilan tata usaha negara dan dapat pula dikatakan fungsi sekretaris bagian dari
kepaniteraan peradilan tata usaha negara termasuk dalam hal ini Jurusita.
Serta untuk memastikan jalannya perkara administrasi suatu peradilan adalah fungsi dari
Jurusita, memanggil para pihak yang bersengketa secara patut, mengatur jadwal persidangan
serta jeda waktu panggilan dan jadwal sidang, apabila majelis hakim telah menjatuhkan
putusan terhadap sengketa maka jurusita harus memberitahukan putusan kepada para pihak,
jika didalamnya terdapat sita terhadap suatu objek maka Jurusita dalam kewenangannya
harus menyiapkan serta melaksanakan sesuai yang tertera dalam putusan.4
Namun tugas dari Jurusita dalam pengadilan tata usaha negara akan lebih baik jika terdapat
batasan-batasan yang jelas, tugas serta kewenangannya didalam Undang-Undang Nomor 9
tahun 2004.

4
Disarikan dari Mys, Rfq, Dny dalam jaringan
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c99cacd81050/jurusita-pejabat-peradilan-yang-acap-kena-
sasaran

Anda mungkin juga menyukai