Rancangan Kiwari
Bhakti Alamsyah
Imam Faisal Pane
1 PENDAHULUAN
Arsitektur memang tidak sepatutnya dilihat sekedar sebagai produk, dengan penekanan
pada gaya yang fotogenik, melainkan lebih sebagai proses, yang mengandung makna
yang dalam dengan partisipasi aktif dari segenap penggunanya (users).
Dalam proses tersebut, memang kemungkinan akan tercipta suatu lingkungan yang
terkesan kurang teratur, tidak sesuai dengan gambaran ideal yang telah ditetapkan
sebelumnya. Namun kalau ketidakteraturan itu ternyata malah cocok dengan
perikehidupan manusianya, kita tidak perlu terlalu risau. Chaos is another form of
order, begitu pendapat Jones (1984 : 8). Proses penciptaan karya arsitektur, bahkan
Para arsitek dapat belajar banyak dari kegagalan (disamping juga barang tentu
keberhasilan) berbagai gerakan arsitektur terutama mulai dari Gerakan Arsitektur Modern
pada awal 1920-an, Neomodernism, Rationalism, Structuralism, sampai dengan
merebanya pengaruh Arsitektur Post Modern pada tahun 1980-an. Semua gerakan itu
berkembang dengan pesat, perlu dicermati tidak hanya untuk kepentingan pengembangan
ilmu semata-mata, melainkan juga untuk menelaah upaya peningkatan mutu ciptaan
karya arsitektur.
Selanjutnya belakangan ini telah timbul suatu fenomena baru didalam dunia arsitektur
yaitu Arsitektur Dekonstruksi, dimana semakin bertambah waktu semakin marak seiring
dengan munculnya fenomena Postmodernisme di bidang filsafat, kebudayaan, seni,
sastra, agama serta politik. Ada semacam arus kuat dari bawah (arus bawah) yang muncul
dari kelompok-kelompok marjinal yang tersisih yang selama ini dibungkam oleh
kekuatan-kekuatan arus atas yang mempertahankan kemapanan (status quo) dengan
segala aturan-aturannya. Dapat diduga gugatan arus bawah ini muncul karena adanya
ketidak-beresan pada sistem yang ada, entah itu berupa ketidak-adilan ataupun ekses-
ekses yang timbul dari para pelaku sistem.
Dengan atau tanpa label, gejala yang disebut Dekon secara nyata telah dirasakan
kehadirannya dalam bidang arsitektur. Namun adalah tugas para teoretikus dan kritikus
arsitektur untuk meneliti lebih mendalam gejala tersebut, mengidentifikasi-kan
karakteristiknya, mengemas dan membubuhinya dengan label yang dianggap paling tepat,
serta mendaurnya dalam wacana arsitektural.
Upaya untuk menengarai rancangan dekonstruksi pada suatu karya yang secara kasat
mata memang dieksposisikan melalui wujud bentukan dan rupa arsitektur dekonstruksi,
nampaknya akan lebih mudah jika dibandingkan dengan yang lebih tersembunyi.Latar
belakang pemikiran-pemikiran dekonstruksi lebih banyak dipengaruhi oleh sesuatu
FILOSOFI DEKONSTRUKSI
Deconstruction merupakan tema wacana yang aktual yang mempertuatkan filsafat dengan
masyarakat arsitek; dari mahasiswa, praktisi hingga pelajar dan pengajar sejak tahun
1987. Gagasan Decontruction bukan dari seorang arsitek, tetapi dari pemikir dan kritisi
literatur yaitu Jacques Derrida. Gagasan ini menyebar luas melalui karya-karya Derrida
(1921) sejak terbitnya De la Grammatologie (1976) hingga La Verite en peinture (1987).
Seperti apa yang dikatakan diatas bahwa berbicara tentang Dekonstruksi dengan
sertamerta menyeret kita pada nama penting yang nampaknya telah identik dengan
Dekonstruksi itu sendiri, yakni Jacques Derrida. Tokoh Strukturalisme, Derrida lahir di
Algiers tahun 1930, mengajar filsafat Ecole Normale Superieure di Paris, dan beberapa
universitas di Amerika Serikat. Karya-karya Derrida yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris adalah: Speech and Phenomenon (1973); Writing and Difference
(1978); Of Grammatology (1974); Dissemination (1981); Margins of Philosophy
(1982). Apa relevansi filsafat Dekonstruksi Derrida ?.
Untuk dapat mengikuti pikiran Derrida tentang Dekonstruksi, sebaiknya kita tinjau
sepintas obyek penyelidikan filsafat Barat. Tanpa memahami pola pikir para filsuf barat
akan sulit mengikuti jalan pikiran tersebut.
Ada itu dapat kita ketahui darimana ?. Dari hadir, itulah yang lebih mudah kita ketahui
karena dapat langsung berhubungan dengannya. Hadir juga mengandung pertanyaan di
Selanjutnya, bagi Derrida, tanda itu tidak berdiri sendiri atau mendahului tuturan dan
tulisan, melainkan, tanda ditampilkan dalam tuturan dan tulisan kita. Kata-kata, yang
dalam hal ini mengandung tanda, menunjukan pada kata-kata lain. Bila kata dalam
bahasa sebagai teks, maka setiap teks menunjukan kepada teks-teks lain atau jaringan
teks lain. Dalam kaitan itu, diskursus (wacana) sebagai kumpulan pernyataan hasil
pembicaraan suatu disiplin kajian, menunjuk kepada bagian-bagian lain. Bila metafisika
selama ini melihat Tanda dalam rangka Ada sebagai kehadiran, maka Derrida melihat
kehadiran dalam rangka jaringan tanda yang menunjuk ke yang satu pada yang lain.
Tanda, dengan demikian akan ada arti bila hadir bersamaan dengan tanda lain.
Bekas bukan suatu akibat, dalam arti bahwa dia tidak memiliki arti dirinya sendiri, tetapi
adalah suatu penyebab. Dalam kalimat yang sulit ini kita perlu kaitkan dengan penjelasan
sebelumnya bahwa bekas itu mendahului obyek penyelidikan (Ada), dari situ kita mulai
mencari. Dengan demikian dia menyebabkan sesuatu itu terungkap.
Dalam kaitan dengan Bekas ini, Tanda tidak lagi bersifat sementara. Tanda mendahului
kehadiran. Tanda selalu ada sebelum obyek. Obyek timbul dalam jaringan tanda.
Bagi Derrida jaringan tanda itu sama dengan teks. Teks itu seperti tenunan atau rajutan,
yang tidak ada artinya bila tidak dalam bentuk jaringannya. Dengan demikian segala
sesuatu yang ada itu berupa teks. Makna selalu tertenun dalam teks.
Penerjemahan dalam kaitan itu dapat kita anggap sebagi upaya menggantikan teks yang
satu dengan teks lain. Terjemahan seperti transformasi yang berarti perubahan bentuk
oleh substansi atau pengganti
Filsafat Barat sebelum Derrida lebih mengunggulkan bahasa lisan daripada bahasa
tulisan. Ini berkaitan dengan logosentrisme Barat. Kecenderungan ini belatar belakang
Derrida ragu atas keunggulan tersebut, dan dia juga ragu terhadap logocentrisme yang
mengandaikan Ada dalam kehadiran. Bagi dia setiap jenis bahasa adalah tulisan, untuk
itu logologi perlu diubah menjadi gramatologi. Gramma itu tanda dari tanda. Namun
demikian filsafat barunya tetap suatu logi, masih dalam suasana kehadiran. Dengan
demikian tetap ada kekurangan.
Kekurangan tersebut menyebabkan retakan. Oleh sebab itu perlu didekonstruksi. Dengan
mendekonstruksi teks-teks lain Derrida menyajikan teks baru yang berupaya melebihi
teks lama. Dia mencoba dalam teks barunya menyatakan sesuatu yang tidak dikatakan
dalam teks itu, di sini terjadi apa yang dia sebutkan sebagai affirmation. Dia pernah
menyusun buku yang dalam halamannya memuat dua belahan tulisan sekaligus. Di
belahan kiri adalah teks lama dan belahan baru teks yang ditambahkan. Keistimewaannya
adalah, bila pembaca membaca secara menyambung dari (baris yang sama) kiri ke kanan,
kalimatnya akan menyambung dan memberi arti lebih.
Untuk mendekonstruksi teks, dia menggunakan konsep baru difference, suatu kata yang
terdiri dari difference (perbedaan) dan defferer (menunda). Differ dan deffer dalam
ucapan sama bunyi sehingga tidak dapat kita bedakan. Mereka akan berbeda bila kita
tuliskan. Melalui ke dua kata ini Derrida menunjukkan kelemahan bahasa ucapan.
Bahasa dengan demikian merupakan proses temporal. Apabila kita membaca, makna
yang dikandungnya senantiasa ditangguhkan. Sebuah tanda mengantarkan kita pada tanda
yang lain, dan makna yang muncul lebih awal diubah oleh yang muncul kemudian.
Makna tidak pernah identik dengan tanda. Makna berubah menurut konteks atau rantai
penanda yang mengikatnya. Dalam konteks yang berbeda, tanda memiliki makna yang
Difference
Difference adalah suatu strategi yang dipakai oleh Derrida untuk melakukan
dekonstruksi. Kata itu khusus diciptakan olehnya, dan oleh sebab itu dia itu sendiri tidak
ada. Hal ini tentu menimbulkan paradoks bila kita mengikuti pemikiran logi. Namun
justru Derrida ingin memperlihatkan logi itu bermasalah sehingga memunculkan sesuatu
yang tidak ada sebelumnya.
Difference menunjukan pada sesuatu yang menunda kehadiran. Dalam hal ini selalu ada
kaitan dengan tanda sebagai penunda hadir. Proses penundaan ini sebagaimana
terkandung dalam kata deffer yang membentuk kata difference. Dalam pembongkaran
kita perlu menemukan apa yang menunda teks tertentu.
Difference itu suatu kegiatan yang memilahkan akar bersama bagi semua kutub-kutub
yang bertentangan. Akar konsep-konsep yang beroposisi seperti inderawi dan rasional,
intuisi dan representasi, alam dan kultur. Dengan demikian dia selalu menunjukan
kekutuban dari yang hadir itu.
Difference itu hasil semua perbedaan yang menjadi syarat bagi penimbulan setiap makna
dan setiap struktur. Perbedaan membuka kesempatan bagi pemunculan arti baru dan
susunan baru suatu teks (kumpulan kata-kata). Ini berarti melalui kebalikan dan
perbedaan itu kita akan mengahdirkan yang kira-kira tertunda itu.
Difference tidak boleh dibayangkan sebagai asal-usul, atau identitas terakhir yang
melebihi semua perbedaan faktual. Dalam hal ini difference bersifat terhingga. Difference
itu suatu gerakan yang belum selesai. Dia dapat menunjukkan keberlangsungan
perbedaan antara Ada dan Adaan terus-menerus. Disini kita perlu memahami posisi
Bila ingin melakukan dekonstruksi dalam tradisi Derrida, difference adalah langkah-
langkah yang perlu kita ambil. Namun langkah-langkah tersebut amatlah sulit bagi
mereka yang tidak memahami konteks timbulnya konsep-konsep Derrida tersebut. Kita
perlu ingat bahwa yang Derrida berupaya memperbaiki oleh banyak orang. Jadi dia
mencoba membongkar apa yang belum, atau tertunda dalam teks-teks mengenai esensi
sesuatu itu. Dalam hal ini target dekonstruksi adalah yang esensial, bukan sesuatu yang
bersifat permukaan.
Bila difference itu tidak ada, demikian juga dekonstruksi dalam arti perumusannya. Kata
itu sendiri mengandung arti destruksi atau membongkar lapisan struktur dalam suatu
sistem; dan abbau (Bahasa Jerman) yang menyusun kembali setelah memilah (pisah)kan
bangunan untuk melihat susunannya.
Melihat penjelasan diatas, maka sekarang timbul suatu pertanyaan yaitu Apa
relevansinya terhadap Arsitektur. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu kita akan
mengkaji lebih dalam lagi tentang jabaran filsafat Dekonstruksi Derrida yang telah
dijelaskan diatas.
Dibawah ini selanjutnya akan dijelaskan apa dan bagaimana sebenarnya Arsitektur
Dekosntruksi yang telah merambah lingkup Arsitektur sejak diperkenalkan pertama
sekali pada pameran mengenai Arsitektur Dekonstruksi yang diadakan di Museum Seni
Modern di New York pada bulan Juli dan Agustus 1988
Pada sebuah simposium di Tate Gallery di London dalam bulan Maret 1988 terjadi
beda pendapat antara pihak yang berpegangan pada hubungan Dekonstruksi dengan
filsafat dan pihak yang memandang Dekonstruksi sebagai perkembangan Sejarah Seni
dan Konstruktivisme Rusia. Sukses ini berkat kombinasi filsafat Dekonstruksi; Jacques
Derrida dan Konstruktivisme Rusia. Karena itu penting untuk meninjau pertalian antara
teori dan praktek, antara renungan dan rancangan. Pada bulan Oktober tahun 1985 pada
Colloquium di Paris duapuluh orang Arsitek, filsuf dan kritisi membicarakan peran teori
dalam Arsitektur dari arti Arsitektur bagi filsafat.
Aliran Dekonstruksi tidak terdapat dalam Arsitektur saja, bahkan Jacques Derrida telah
mulai menerapakannya lebih dahulu di dalam sastra. Sebuah teks didekanstruk untuk
menemukan logik yang bertentangan dalam akal dan implikasi, dengan tujuan untuk
menunjukkan bahwa sebuah teks tidak pernah setepatnya mengandung arti yang hendak
dikatakannya atau tidak mengatakan yang dimaksudkan. Derrida berpendapat bahwa
kegiatan Tschumi dan Eisenman dalam Arsitektur sama dengan perbuatannya dalam
filsafat, yaitu kegiatan Dekonstruksi.
Peter Eisenman memandang Arsitektur juga sebuah teks, dibangun dengan tanda-tanda.
Ia merancang sebuah Arsitektur yang tidak menutup, tidak menyatukan atau menyeluruh,
akan tetapi membuka, menghambur, membagi dan dengan demikian mendekati situasi
ketidakpastian mendasar manusia. Ia menolak kepastian dan nilai lama dan ingin
memperbaiki Arsitektur menjadi kekuatan positip dalam dunia, yang mampu memdidik
dan berkomunikasi. Ia selalu mencari pembenaran linguistik dan filsafat bagi Arsitektur.
Regionalisme kritikan antara lain diwakili oleh Kenneth Frampton, ditandai oleh
pencarian keunikan kawasan, memperbaiki tempat semula, melindunginya terhadap
kesesatan madernitas. Arsitektur sebagai penolakan budaya tunggal dan kapitalisme.
Bahasa Arsitektur setempat harus direkfleksikan secara kritikal dalam rancangan-
rancangan baru.
Difference
Sistem perbedaan-perbedaan universal yaitu, pengaturan ruang/jarak/spasi (spacing), dan
perbedaan-perbedaan antara sesuatu/dua hal (distinctions between things); perhatiannya
bukan terhadap kosakata tersebut, melainkan lebih kepada dimensi di sepanjang pokok
soal dalam pembedaan koskata tersebut untuk saling memisahkan diri dan saling
memunculkan.
Deferral
Proses dari meneruskan (passing along); menyerahkan (giving over); menunda atau
menangguhkan (postponing); pen-skors-an (suspension); mengulur (protaction) dan
sebuah jarak dalam waktu (a spacing in time).
Differing
Pengertian berbeda yang ditunjukkan dengan tidak sependapat (disagreeing); tidak
sepakat (dissenting) atau bahkan penyembunyian (dissembling).
Selain memiliki pengertian diatas, difference juga sangat dekat artinya dengan kata
Jepang ma yang artinya interval in space, interval in time dan moment/place/occasion.
Pengertian dari ma ini lebih dekat pada hubungannya dengan penundaan waktu atau jarak
waktu antara dua hal.
Dengan demikian, Benedikt memusatkan perhatiannya pada kata difference ini dalam tiga
hal pokok yaitu, sistem universal kata difference dengan penekanan tidak pada arti
katanya, proses pembedaannya dan pengertian yang ditimbukan akibat pembedaan
tersebut.
HIERARCHY REVERSAL
Segala sesuatu yang ada di dunia merupakan pasangan sebab akibat. Pasangan-pasangan
ini berlaku di semua bidang, misalnya: di luar - di dalam, siang-malam, baik-buruk,
benar-salah dan juga keberadaan-ketiadaan. Dalam pasangan itu berlaku aturan yang
sama, yang utama mengarahakan yang sekunder atau sebaliknya. Hubungan seperti ini
disebut hubungan vertikal atau hirarkis.
Dengan adanya pembalikan hirarki ini, maka kedua unsur tersebut secara hirarki tidak
ada lagi yang satu dibawah yang lain, tetapi sejajar sehingga secara bersama-sama dapat
menguak makna (kebenaran) yang lebih luas dan mendalam.
Centrality/ Sentralitas
Menyatakan secara tidak langsung sebuah kedalaman dan pusat (heart), tempat makna/
arti terkonsentrasi dan merupakan gravitasi.
Dengan melihat central dan marginal berpindah tempat dengan ditukar atau
dipertentangkan atau ditindas/ditahan secara dekonstruksi, maka mereka menjadi semakin
menarik, dan dengan cara demikianlah semuanya dapat dilihat secara lebih jelas.
Gambar 3.1.
Perspektif Gedung Mesiniaga
Taman yang memutar dan bentuk bangunan yang berbentuk lingkaran adalah sebuah
tanda yang menghadirkan sesuatu yang tidak hadir yaitu sebuah pohon yang dilengkapi
dengan dedaunan. Sedangkan pohon itu sendiri merupakan tanda ketidakhadiran yang
tertunda dari apa yang semestinya dihadirkan.
Pohon pada konsep bangunan ini merupakan sebuah metafora dari apa yang seharusnya
hadir dalam sebuah pelestraian alam, dimana pohon merupakan suatu unsur yang
terpenting dalam memberikan seuatu keseimbangan alam.
Konsep sebuah pohon, yaitu sebuah unsur alam yang hidup dan tumbuh serta berdiri pada
sebuah bidang tanah, merupakan sebuah konsep yang dipergunakan oleh Ken Yeang
untuk membuat dan membangun Gedung Mesiniaga. Metafisikanya sebuah pohon
terlihat jelas sekali pada bangunan ini, dimana penundaan kehadiran yang seharusnya
hadir, sudah merupakan sebuah bukti adanya defference-nya Derrida ada di obyek ini.
Site yang ditata sedemikian rupa dan teratur dan ditumbuhi sebatang pohon pada areal
sekitar site tersebut. Pohon-pohon menumbuhkan cabang-cabangnya, kolom-kolom
menumbuhkan balok-balok. Pertumbuhan terus berlanjut, batang-batang menumbuhkan
dedaunan. Bentuk yang sedang bertumbuh ini dapat kita lihat pada bangunan Gedung
Mesiniaga dimana kolom-kolom tersebut dapat kita lihat karena berada luar bangunan.
Selanjutnya kehadiran mahkota baja yang berada pada puncak bangunan ini juga dapat di
metaforkan sebagai puncak sebuah pohon yang selalu dipenuhi oleh dedaunan, dimana
Seperti telah diungkapkan pada pembahasan terdahulu tentang penataan tapak, bahwa
tanaman di sekitar bangunan yang ditata membentuk spiral pada kulit bangunan juga
dipandang sebagai alam yang hijau. Ini sesuai dengan teori Yoshinibu Ashihara, bahwa
untuk membentuk sebuah tatanan ruang luar, kita dapat memperlakukan tanaman di
taman sebagai masa yang dapat juga membentuk ruang luar, sama seperti masa
bangunan, jadi kedudukan masa bangunan dan masa tanaman memang sama bila ditinjau
dari pembentukan ruang luar. Kenneth Yeang mengatakan konsepnya tentang
rancangannya ini sebagai proses bangunan bio - klimatik, tetapi apa yang terlihat ternyata
melangkah lebih jauh dari proses terjadinya sebuah bentuk. Bila kita melihat sketsa dari
tema space of one hundred columns kita seolah diajak untuk membayangkan bahwa
bentuk tersebut tumbuh dari site itu sendiri. Hal ini terlihat pada site dimana bangunan
seakan muncul dari dalam tanah pada sebuah perbukitan.
Dalam konteks ini dan melihat konsep perencanaan Gedung Mesiniaga ada beberapa
bagian yang dapat dilihat secara pembalikan hirarki dekonstruksi. Salah satunya yaitu
sebuah konsep penempatan fungsi penampungan air yang biasanya berada di dasar
bangunan atau pada halaman sebuah bangunan, dalam hal ini sang arsitek Kenneth Yeang
mengadakan suatu pembalikan hirarki dengan menempatkan sesuatu yang semestinya
berada dibawah dalam hal ini diletakkan diatas bangunan, atau pada puncak bangunan
lantai 20. Biasanya pada bangunan-bangunan pencakar langit, pada lantai puncak
diletakkan fungsi darurat yanitu meletakan Helipaid. Fungsi penampungan air ini,
digunakan sebagai media yang memberikan sumber kehidupan bagi taman angkasa
yang diciptakan Ken Yeang pada bangunan tersebut
Gambar 3.5.
Perletakkan penampungan
air hujan yang berfungsi
sebagai penyuplai air
bagi taman angkasa
spiral
Derrida mempertanyakan keabsahan posisi ini dalam konsep parergon (para : tepi,
ergon : karya), yaitu bingkai lukisan. Kalau hanya untuk membingkai lukisan selalu
dibuat demikian bagus berukir. Bukankah pembingkaian (framing) ini mempunyai nilai
sendiri terlepas dari nilai lukisan yang dibingkainya ?.
Melihat rancangan Ken Yeang, dimana posisi keduanya yaitu antara tiang dan dinding
telah dibedakan dalam peletaknya. Pada konteks dekonstruksi tentang pusat dan
marjinal , dan melihat pengertian dari konsep parergon-nya Derrida, maka
penempatan dinding yang seharusnya berada pada marjinal pada gedung tersebut
ditempatkan seolah-olah pada pusat bangunan yang dilindungi oleh beberapa buah tiang
yang melindunginya. Peran tiang yang merupakan fungsi struktur bangunan tinggi
diusahakan juga berperan sebagai alat pelindung dinding yang ditarik kepusat untuk
menghindari pencahayaan yang berlebihan.
Dinding-dinding bangunan yang selama ini dibiarkan sebagai komponen yang tidak
berguna tetapi pada bangunan Gedung Mesiniaga peranan dinding yang ditarik kepusat
tersebut mempunyai peran yang sangat sentral dalam mengatur pencahayaan yang
masunk kedalam gedung. Dinding-dinding tersebut dipenuhi oleh kaca-kaca yang
berfungsi untuk memasukkan berkas-berkas cahaya sehingga kegelapan didalamnya
terusir dan masuklah roh yang memberikan kehidupan pada bangunan ini sehingga
terjadilah proses kehidupan yang terjadi pada pembahasan sebelumnya. Cahaya ini terus
masuk pada siang hari dari bukaan- bukaan yang ada pada kulit-kulit bangunan dan
diarahkan oleh lempengan-lempengan logam yang berada diluar dinding tersebut. Tetapi
pada malam hari kita melihat proses sebaliknya, keluarnya roh itu dari dalam gedung
Mesiniaga.
Secara jelas terlihat peranan dinding yang berada dipusat dari lingkaran luar bangunaan
tersebut sangat sentral dan penting sekali di dalam mengatur pencahayaan alami Gedung
Mesiniaga, dalam hal ini sang dinding meninggalkan sang tiang yang tetap dengan
kemarjinalannya.
Pada bangunan Gedung Mesiniaga, pengulangan alat penangkis sinar matahari yang
terbuat dari logam merupakan suatu tanda tanya tentang kehadiran suatu makna yang
tersembunyi dibalik kehadirannya. Ibarat kepala seorang manusia yang ditutupi sebuah
topi, artinya manusia tersebut melindungi kepal dari sengatan sinar matahari, tetapi selain
topi dibutuhkan pula suatu bentuk dari topi tersebut sebuah penangkis cahaya yang dapat
menghindarkan mata dari silaunya matahari. Kemudian apa bila seorang manusia merasa
silau terhadap sinar matahari sedangkan dia tidak menggunakan topi, secara reflek
tangannya akan digunakan sebagai penangkis sinar matahari. Kalau penangkis sinar
matari tersebut hanya diletakkan cuma sebuah pada bangunan Gedung Mesiniaga
tersebut, maka belum memberikan makna metafora dari sebuah tangan manusia untuk
menangkis matahari dari silaunya cahaya matahari, tetapi karena diberi secara berulang-
ulang maka makna penangkis tersebut semakin jelas namun kehadiran makna sebenarnya
dari sebuah tangan manusia tetap tertunda dibalik kehadirannya, apalagi
penempatannya berada pada bagian-bagian tertentu yang memang dibutuhkan akibat
fungsi yang diembannya. Oleh karena itu akibat pemunculan lempengan tersebut semakin
jelaslah makna melalui metafora tangan manusia yang sedang menahan silaunya sinar
matahari.
Gambar 3.9.
Gambar yang memperlihatkan
sebuah konsep Penempatan
penangkis sinar matahari sebagai
Sebuah metafora tangan manusia
yang sedang Dari silaunya cahaya
matahari
Kegelisahan nampak berkepanjangan, karena dalam kurun waktu yang cukup lama ia
sama sekali belum mempunyai ide/ggasan awal yang akan memberikannya inspirasi
tentang bagaimana auditorium tersebut dapat dihadirkan secara fisik, sarat dengan makna.
Hingga pada suatu pagi, ketika ia bersama Inamori sedang memancing bersama sambil
bercengkrama bermain tebak-tebakan, Inamori bertanya: Apa yang menjadikan (sebuah)
telur itu?, dan dengan sigapnya Ando segera menjawabnya : Mari saya tunjukkan, saya
(telah) memilikinya. Sambil tertawa kegirangan Ando mencoba meyakinkan Inamori
bahwa ia baik-baik saja. Sejak saat itu Ando berhasil menangkap ide/gagasan telur
untuk rancangan auditoriumnya yang baru dapat ia selesaikan pada November 1994.
Dari kisah pertemuan ide/gagasan telur untuk rancangan auditorium itu sebenarnya
yang nampak secara eksplisit di dalam benak kita barangkali adalah kaitan bentuk telur
dengan tuntutan bentukan fisik auditorium, khususnya tuntutan teknis interiornya. Namun
Ando menangkapnya lebih dari sekedar bentuk fisik telur. Ia menangkap sisi lain dari
keberadaan telur yang secara metafisik-transedental merupakan fenomena alam. Betapa
luas cakrawala pandang Ando ini ditandai dengan penguasaannya terhadap saluran
Indikasi adanya nilai-nilai dekonstruksi pada karya Ando ini diawali oleh keadaan bahwa
dalam kompleks Universitas Kagoshima ini terdapat bangunan-bangunan terdahulu yang
akan menjadi bertentangan jika kepadanya dihadirkan bangunan baru yang bersifat
kontradiktif. Kondisi ini menggiring imajinasinya untuk segera menghadirkan konteks
baru yang memang harus berbeda dengan yang lama. Oposisi diantara keduanya
mengilhami Ando untuk menciptakan bentukan rupa uniqueness. Selain itu pengeterapan
nilai-nilai dekonstruksi pada karya ini juga terdapat pada elemen-elemen dan komponen
bangunan. Beberapa implementasi konsepnya terlihat pada upaya-upaya Ando untuk
menyetarakan eksterior dan interior, makro dan mikro kosmos, outside-inside, inside-
outside, dan lain-lain. Uraian yang lebih rinci akan disampaikn pada penjelasan
berikutnya.
Telur merupakan metafora dari apa yang saat ini dilakukan oleh perguruan tinggi, berupa
riset/penelitian, eksperimen dan rekayasa. Apa yang bakal ditetaskan oleh telur adalah
metafora dari penemuan, penciptaan, pembaharuan dan perubahan yang bersifat
fenomenal (unpredictable). Dengan demikian pemaknaan terhadap telurnya Ando dapat
juga diartikan sebagai upaya-upaya riset/penelitian, eksperimen dan rekayasa yang
dilakukan oleh lingkungan akademis adalah untuk menhadirkan penemuan-penemuan,
penciptaan-penciptaan dan inovasi-inovasi yang memang sulit diperkirakan sebelumnya,
khususnya tentang spesifikasi/karakter dari apa yang dihasilkannya.
Hal ini nampak pada harapan-harapan Ando untuk generasi yang akan datang.
Keberadaan mahasiswa paling tidak merupakan penundaan atas kehadiran manusia
intelektual (sarjana). Misi perguruan tinggi adalah untuk membentuk manusia yang akan
menemukan dan mengembangkan dunia baru di masa depan. Perguruan tinggi wajib
menciptakan manusia-manusia ilmiah yang bisa eksis pada jamannya.
Kemudian sebagaimana mestinya telur itu dimunculkan garbha griya-nya yang meng-
enclose telur, hal ini adalah pencerminan dari :
Perlindungan oleh institusi/ lembaga perguruan tinggi terhadap riset dan penelitian
yang dilakukan oleh masyarakatnya.
Pengabsahan/ legitimasi merupakan perlindungan atas produk/karya-karya yang
dihasilkan oleh perguruan tinggi.
Dalam konteks yang lain pembalikan hirarki juga ditemukan pada upaya Ando untuk
menyetarakan telur dengan garbha griya-nya. Dengan membuat transparan garbha griya,
memungkinkan terlihatnya telur secara keseluruhan, sehingga keberadaan telur tidak
harus nampak tersembunyi di dalam garbha griya-nya, sekalipun secara hirarkis
sebenarnya telur itu harus terbungkus di dalam garbha griya3.
2 Robert Venturi (1977): Complexity and Contradiction in Architecture, The Architectural Press Ltd, London: p.23-25
3
Saya kurang sependapat dengan komentar Josef Prijotomo dkk (1993), Dekonstruksi : Bukan
Asal Semmrawut,
Makalah yang disajikan dalam rangka 28 tahun ITS, Surabaya. Pada presentasi tersebut, beliau
menyatakan bahwa
Indikasi ini bisa juga diartikan seperti menyetarakan outside dengan inside (outside-in)
atau sebaliknya menyetarakan inside dengan outside (inside-out). Apa yang dilakukan
oleh Ando ini sama halnya dengan upaya Daniel Libeskind ketika grasp the stars untuk
rancangan Jewish Museum-nya di Berlin4 atau Cahaya Tuhan-nya Saarinen ketika ia
dipercayakan untuk merancang kapel MIT, Massachusets Institute of Technology5. Disini
Saarinen mencoba untuk memasukkan cahaya ke dalam lubah sumur yang dibentuk
oleh lempengan-lempengan metal dan digantung pada juntaian tali mengililingi altar
kapel.
Ando berhasil menyetarakan bangunan aneka terhadap bangunan utama dengan berusaha
merancang jalan masuk, entrance dan teras bangunan sama baiknya dengan bangunan
utama.
pembalikan hirarki hanya terjadi pada program (non materi), karena menurut pendapat saya
dalam berarsitektur
pada akhirnya harus diwujudkan dalam bentuk materi.
4 Anthony C. Antoniades (1990): Poetics of Architecture, Van Nostrand Reinhold New York, p.51
5
Majalah Laras, No 41/Mei 1992, hal 97-103
Ramp-ramp, jalan masuk utama dan sekunder menuju bangunan utama, dirancang
sedemikian rupa (tidak seefisien tangga dan lift) sehingga merupakan elemen bangunan
yang juga harus mendapatkan perhatian pengamat, karena tidak hanya sebagai pelengkap
penderita saja, tetapi sebagai bangunan yang menyatu dengan keseluruhannya.
Eksistensi didalam garbha griya ini sedemikian kuatnya ketika kita mencoba mengamati
bangunan tersebut dari beberapa sudut pandang mulai dari sisi Timur berputar kearah
Selatan dan berakhir pada sisi Baratnya. Munculnya silhouette telur secara berulang-
ulang semakin memperkuat makna tentang metafisik telur yang akan segera menetaskan
sang jabang bayi masa depan. (lihat denah, tampak, potongan dan gambar-gambar lain
pada lampiran).
Keberadaan telur dipusat garbha griya pada saat kita mengamatinya dari arah Timur, akan
segera ikut bergeser kearah kanan ketika bergerak menuju ke Selatan dan terus
mengelilingi sampai ke arah Barat. Sekuensi hasil pengamatan ini kana berubah-ubah
sebagaimana munculnya ujung telur dan mulut garbha griya (batas tepi dinding
bangunan). Pemunculan pembahasan tentang telur secara berulang-ulang sejak awal
dalam konteks yang berbeda semakin memperjelas makna melalui metafora telur.
Gambar 3.12
Tampak Depan
Auditorium Inamori
Gambar 3.13.
Gambar Potongan memanjang
Auditorium Inamori
Sebagai salah seorang tokoh postmodern yang ada di Indonesia, Andy Siswanto tidak saja
seorang arsitek yang sering mendapatkan penghargaan melainkan juga seorang pemikir
dan penulis. Tulisannya di beberapa majalah arsitektur atau pernyataannya di beberapa
seminar menunjukkan penghargaannya yang besar terhadap dekonstruksi dan
perhatiannya yang tinggi terhadap perkembangan arsitektur di Indonesia.
Bangunan ini pernah juga menjadi salah satu karya yang diangkat dalam pembicaraan
sebuah Seminar Arsitektur di ITS tahun 1995. Tulisan yang diberi topik Proses Kreatif
dalam Postmodernisme ini juga menampilkan sajian kritis dari Josef Prijotomo terhadap
bangunan Kantor Wismakharman. Dengan melihat adanya pengaruh arsitektur nusantara
terhadap karya ini, membuatnya memposisikan karya ini lebih ke dalam arsitektur purna-
modern. Melalui pengkajian yang berbeda, dengan asas-asas dekonstruksi diharapkan
Gambar 3.15.
Tampak Depan Wismakharman
Penelaahan lebih lanjut untuk melihat pembacaan dekonstruksi pada bangunan ini
dilakukan dengan menggunakan asas-asas dekonstruksi seperti yang dilakukan Michael
Benedikt dalam melihat The Kimbell Art Museum karyanya Louis Kahn yaitu : diffrance,
hierarchy reversal, marginality and centrality dan iterability and meaning terhadap denah,
tampak dan ruang dalam bangunan kantor Wismakharman ini.
Gambar 3.16
Ruang Rapat
6 Josef Prijotomo dkk (1993), Dekonstruksi, Bukan Asal Semrawut, Makalah yang disajikan
dalamrangka 28 tahun
Arsitektur ITS, Surabaya.
Ruang Tunggu
Ruang tunggu yang berada di pojok depan sebelah kanan dari lantai atas ini memiliki
keistimewaan tersendiri bagi bangunan. Bentuk balkon seperempat lingkaran yang
dilapisi oleh tembok yang ternyata terlepas dari ruangan tunggu ini tidak sepenuhnya
dilindungi oleh atap dari bangunan. Dengan melepaskan dinding ini dan membiarkannya
terbuka, amak terang alam dan tetesan air hujan dapat menembus dri atas. Masuknya
unsur luar bangunan ke dalam ruang tunggu ini sebagi salah satu unsur estetika,
menjadikan daerah ini menjadi daerah luar (outside) dari ruang yang ada disekitarnya
(ruang administrasi). Sedangkan dari posisi sebenarnya ruang ini terletak pada daerah
dalam bangunan (inside). Dengan demikian, permasalahanya adalah masalah perletakkan
banal (dua hal yang berpasangan), inside dan outside digunakan sebagai wilayah yang
sama pentingnya dan menempati posisi yang dapat dibolak-balik.
Ruang Direktur
Ruang direktur ini diletakkan dilantai atas berdekatan dengan ruang administrasi dan
ruang tunggu tamu. Seperti yang dipertanyakan oleh Josef Prijotomo7 dalam sajian
kritisnya di dalam melihat suatu kondisi seperti ruang direktur ini, adalah melihat posisi
Andy Siswanto selaku pimpinan dari stusio arsitek atau lebih kepada posisinya sebagai
seorang perancang.
7
Josef Prijotomo dkk (1993), Dekonstruksi, Bukan Asal Semrawut, Makalah yang disajikan
dalamrangka 28 tahun
Arsitektur ITS, Surabaya.
Sebagai seorang pimpinan tentunya Andy adalah tuan rumah bagi tamu-tamu yang
datang, dan penempatan ruang yang mengarah ke ruang tunggu adalh bentuk
penyambutan yang diberikannya kepada setiap tamu atau klien. Namun, melalui
pemilihan dinding yang cenderung tertutup ini, ia seolah-olah ingin menunjukkan adanya
pembedaan secara tegas kegiatan administrasi di luar dan di dalam. Sebagai seorang
pemimpin, Andy Siswanto hanyalah penentu kebijaksanaan dan keputusan bukan pelaku
kegiatan administrasi. Mungkin melalui pembedaan inilah (distinction between things),
Andy sebagai seorang arsitek tidak ingin dianggap hanya sebagai seorang administrator
di dalam kantor ini.
Ruang Studio
Ruang kerja yang menjadi kegiatan utama kantor ini hamper mendominasi seluruh ruang
yang ada, baik di lantai bawah maupun di lantai atas. Ruang yang penuh dengan meja,
komputer dan tentu saja meja gambar, membuat gambaran sebuah biro arsitek yang
Gambar 3.19
Ruang Rapat
Tampak Bangunan
Tampak Depan
Bangunan ini memiliki dua lantai (lantai bawah dan lantai atas) yang dihubungkan
melalui dua buah tangga yang terpisah, yang satu adalah sebuah tangga putar yang
terletak ditepi dalam dari bagian bangunn di sebelah belakang yang dapat dicapai dari
luar melalui sebuah tangga menuju lantai atas ini memiliki keunikan-keunikan tertentu
pada tampang depannya. Dengan adanya tangga menuju lantai atas, sehingga lantai
dasar/bawah seakan-akan menjadi penopang dari keberdaan lantai dasarnya. Apalagi
dengan ditutupinya tampang depan bangunan dengan pagar tanaman, semakin
mengisyaratkan bangunan ini bagaaikan sebuah bangunan panggung. Mengenai taangga,
kitannya dengan tapak bangunan yang miring ke belakang memberi kemungkinan bagi
tangga depan untuk seakan berpoisisi sebagai split level, khususnya anatar lantai dalam
dan teras bangunan dengan titik tanah di pekarangan bangunan.
Gambar 3.21.
Tampak Depan
Teras
Keberadaan dua teras pada tampak depan bangunan ini sangat menarik, seperti yang
terlihat pada foto-foto dibawah ini. Kehadiran teras di sebelah kanan yang seakan
Gambar 3.22.
Teras Kanan
Teras di sebelah kiri bangunan ini merupakan teras dari ruang rapat yang ada di lantai
satu. Teras yang sebenarnya lebih merupakan sebuah jendela terbuka yang menjorok ke
depan ini mempunyai luasan yang cukup kecil, sehingga teras ini tidak dapat diharapakan
Gambar 3.23.
Teras Kiri
Hadirnya sebuah pintu kaca di teras ini tidak seperti yang biasa kita lihat pada bangunan
modern, dengan digesernya salah satu sisi pintu dari dinding yang menjadi lubang pintu,
maka pada sudut pandang tertentu daun pintu tidak akan kelihatan. Menyembunyikan
daun pintu secara sengaja ini tentunya akan membuat keberadaan pintu tidak sekedar
sebagai penghubung antara dua ruang, apalagi dengan adanya pengolahan balok-balok
kayu yng dicat merah di sisi atas dari pintu tersebut, menunjukkan bahwa sebuah pintu
dapat diolah sedemikian rupa sehingga menjadi berbeda. Seperti yang diungkapkan
Derrida maupun Benedikt, penyembunyian (dissembling) seperti yang dilakukan pada
pintu tersebut mampu memperkaya dalam pengolahan unsur-unsur sebuah arsitektur.
Gambar 3.24.
Teras Belakang
Gambar 3.25a.
Pola Lantai Satu
Wismakharman
Pola Lantai
Dari denah yang menunjuk pada pola lntai ini dapat diketahui adanya pembedaan yang
kalau dilihat dari fungsinya, akan menunjukkan pembedaan jenis kegiatan. Pada lantai
bawah ini, pola lantai dibagi menjadi dua secara tegas menjadi perwilayahan sebelah kiri
dan kanan. Sedangkan di lantai atas pembagiannya menurut tatanan ruang yang ada di
luar dan di dalam. Di sisni secara jelas melalui pembedaan pola lantai antara lantai bawah
dan lantai atas, perancang ingin menunjukkan adanya usaha untuk melakukan pembedaan
Kalau kita melihat keberadaan perpustakaan di sebelah pojok kanan bagian belakang dari
lantai bawah ini, dengan pola lantai yang menyatu dengan pola lantai bawah sebelah
kanan dan penggunaan dinding pembatas yang transparan, maka sepintas kita tidak akan
dapat menemukan ruang tersebut. Ruang perpustakaan disembunyikan keberadaannya
dalam ruang studio, salah satu teknik ini dapat dilakukan melalui asas difference dengan
melakukan penyembunyian (dissembling). Dari penyembunyian ini maka inside dan
outside juga disejajarkan posisinya apalagi bila ditambah dengan adanya pengulangn
(iterability) pada penggunaan jendela dan pintu. Pengulangan kusen yang sama di
dinding luar terhadap dinding yang ada di dalam semakin membuat sejajar posisi dari
inside dan outside, ruang kerja di luar bisa menjadi inside terhadap luar bangunan dan
outside bagi ruang perpustakaan yang di dalam. Tetapi begitu pula sebaliknya ruang
perpustakaan bisa menjadi outside bagi ruang kerja yang ada di luar. Perpindahan posisi
dari inside dan outside ini dapat dibolak-balik.
Gambar 3.26.
Perpustakaan
Gambar 3.27.
Tangga Putar
Penggunaan tangga putar yang lazim digunakan sebagai tangga servis atau tangga dari
sebuah pabrik ini digunakan sebagai tangga utama dari bangunan kantor ini yaitu sebagai
satu-satunya yang menhubungkan antara lantai bawah dan lantai atas. Tangga ini
memanfaatkan kolom structural dari bangunan sebagai kolom structural tangga.
Pengolahan pada pegangan tangga berwarna merah yang terlepas dari struktur tangganya,
seakan-akan ingin menunjukkan bahwa ini bukan sekedar tangga servis atau tangga yang
Program disprogramming ini juga dilakukan kembali dengan menghadirkan tangga depan
sebagai jalan masuk bagi setiap pengunjung atau tamu yang akan datang. Konsisten
penggunaan tangga pabrik ini terlihat dari bentuk dan bahan yang digunakan.
Sebagai satu-satunya jalan masuk ke dalam bangunan (kecuali lewat garasi yang menjadi
pintu servis), tentu saja tangga ini menjadi sebuah tangga utama yang menghubungkan
antara ruang luar dan ruang dalam bangunan. Dengan menempati posisi di depan, maka
tangga ini sekaligus menjadi bagian dari wajah depan bangunan yang pertama kali
terlihat dari luar. Dengan demikian, tangga ini telah mendapatkan posisi yang sangat
penting, tidak saja secara fungsi tetapi juga dari perletakan tangga ini sebagai bagian dari
tampang depan bangunan. Prinsip hierarchy reversal melalui disprogramming ini
tentunya akan mampu merubah persepsi orang tentang kelaziman dan hirarki yang
ternyata dapat dibolak-balik.
8
Seperti yang dijelaskan Bernard Tschumi pada buku Geoffrey Broadbent (1991), Deconstruction: A Student Guide,
London: Academy Edition.
Jenis Kegiatan
Melihat dari jenis-jenis kegiatan yang ada pada bangunan ini, maka dapat dibedakan
adanya pemisahan kegiatan yang cukup tegas antara kegiatan operatif (studio) dan
kegiatan non operatif (pelayanan dan administrasi). Pada lantai bawah, kegiatan operatif
(yaitu rang studio dan perpustakaan) berada di sisi sebelah kanan sedangkan pada lantai
atas dibalik penempatannya menjadi sisi sebelah kiri (yaitu ruang studio dan ruang rapat),
begitu juga dengan kegiatan non operatifnya. Pada lantai bawah, kegiatan non
operatif/pelayanan (yaitu ruang istirahat, gudang, km/wc, garaasi, dapur dan ruang
makan) berada di sisi sebelah kiri, sedangkan di lantai atas kegiatan non
operatif/administrasi (yaitu ruang tunggu, ruang administrasi dan ruang direktur) berada
di sisi sebelah kanan.
Dengan melihat bangunan sebagai dua belahan sisi kanan dan sisi kiri, mka dapat
dirasakan aanya pembalikan posisi dari kegiatan yang ada di bawah dan diatas. Bila
sebelumnya kegiatan operatif dilantai bawah dapat ditemukan di sebelah sisi kanan, maka
dengan menaiki tangga putar kita akan menuju daerah dengan kegiatan yang sama
(operatif) meskipun kita sedang berada di sebelah sisi kiri bangunan. Kesamaan pada
Gambar 3.29.
Susunan kegiatan pada Lantai Satu
9
Josef Prijotomo dkk (1993), Dekonstruksi, Bukan Asal Semrawut, Makalah yang disajikan
dalamrangka 28 tahun ITS.
4 KESIMPULAN
Upaya pelacakan terhadap indikasi dekonstruksi bagi karya-karya semacam ini nampak
lebih rumit, karena kita harus menemukan ide-ide/ gagasan-gagasan awal yang
ditangkap oleh arsitek, sehingga hal ini akan dapat mempermudah upaya pelacakan
selanjutnya terhadap faktor-faktor dan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Kekurang
data, gambar, sketsa menyebabkan penafsiran dekonstruksi bagi sebuah banguna tidak
dapat tampil secara maksimal, apalagi kekurangan tentang makna sebuah konsep
perencanaan gedung tersebut.
Dari prinsip yang dipegang oleh Kenneth Yeang bahwa ia akan terus mencari dan
mencari bentuk yang baru, konsep yang baru dari faham yang sedang dia geluti dan tidak
membiarkan dirinya berhenti timbullah sebuah arsitektur yang hidup. Dekonstruksi
dalam arsitektur telah membawa warna yang bervariasi. Jika dikatakan membawa
kemajuan mungkin terlalu extrem, karena itu akan lebih tepat jika dikatakan dekonstruksi
memperkaya arsitektur. Jika kita meninjau perkembangan dunia arsitektur selama
beberapa abad yang lalu maka dalam cara orang membangun kita menjumpai suatu
perubahan yang mendasar. Perubahan penting ini ialah pergeseran ciptaan arsitektur.
Kalau dahulu arsitek menjadi pencipta tunggal dari ciptaannya, sekarang dia menjadi
Selanjutnya dari hasil pembacaan yang dilakukan pada karya Andy Siswanto yaitu
sebuah kantor Wismakharman diatas, telah banyak menunjukkan konsistensi perancang
terhdap dekonstruksi. Melalui bermacam-macam asa dekonstruksi yang digunakan dan
beberapa teknik olah terhadap unsur-unsur arsitekturnya, menghadirkan sebuah karya
yang mampu menghilangkan kebosanan bagi penikmat bangunan terhadap karya
arsitektur selama ini.
Akhirnya seperti yang telah dilakukan Benedikt terhadap Museum Kimbell, dengan asas-
asas (prinsip) dekonstruksi yaitu difference, hierarchy reversal, marginality and
centrality, iterability and meaning, mampu memberikan dan menunjukkan dekonstruksi
yang ada pada ketiga bangunan diatas. Meskipun dekonstruksi masih merupakan sebuah
perdebatan panjang yang belum membuahkan kesepakatan pemahaman yang sama, tetapi
setidaknya melalui asas-asas (prinsip) dekonstruksi tersebut usaha pengkayaan olah
arsitektur sudah dapat dilakuakn. Sehingga kebosanan bagi para arsitekpun dapat
dihindari.