Anda di halaman 1dari 27

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Januari 2017

FKIK Universitas Tadulako


Rumah Sakit Daerah Madani

REFERAT

DEMENTIA ALZHEIMER

Nama : Wenny eka fildayanti


Stambuk : N 111 16 027
Pembimbing Klinik : dr. Merry Tjandra, Sp. KJ

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
BAB 1

PENDAHULUAN

Demensia (WHO) merupakan sindrom neurodegeneratif yang timbul karena

adanya kelainan yang bersifat kronis dan progesifitas disertai dengan gangguan

fungsi luhur multiple seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil

keputusan. Kesadaran pada demensia tidak terganggu. Gangguan fungsi kognitif

biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku, dan motaivasi

(Rochmah, 2014).

Demensia menjadi penyebab kedua yang menimbulkan ketidakmampuan pada

individu yang berusia lebih dari 65 tahun setelah arthritis. Demensia merupakan

gangguan intelektual yang bersifat progresif dan ireversibel. Prevalensi demensia

bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Hampir 5% pasien di Amerika yang

berusia lebih dari 65 tahun mengalami demensia berat, 15% mengalami demensia

ringan. Populasi lanjut usia yang berusia 80 tahun, 20% menderita demensia berat.

Faktor resiko yang diketahui adalah usia, riwayat keluarga dan jenis kelamin wanita

(Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2013).

Studi prevalensi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi di

atas umur 65 tahun, persentase orang dengan penyakit Alzheimer (penyebab tersebar

demensia) meningkat dua kali lipat setiap pertambahan umur 5 tahun. Sehingga,

demensia menjadi masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju,

1
dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara-negara

berkembang seperti Indonesia. (Rochmah, 2014).

Secara klinis munculnya demensia pada usia lanjut sering tidak disadari

karena awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun

perlahan. Selain itu, pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan

fungsi kognitif yang terjadi pada awal demensia (biasanya ditandai dengan

berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu hal yang wajar pada usia lanjut. Hal

ini mengakibatkan penurunan fungsi kognitif terus berlanjut sampai akhirnya mulai

memengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh pada ketergantungan

kepada lingkungan sekitarnya. Diperlukan deteksi dini terhadap munculnya

demensia, karena ternyata berbagai penelitian telah menunjukkan bila gejala-gejala

penurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat dilakukan upaya-upaya

meningkatkan atau paling tidak mempertahankan fungsi kognitif agar tidak jatuh

pada keadaan demensia (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2013).

Hal ini membutuhkan peran pasien dan keluarga dalam pengenalan gejala-

gejala penurunan fungsi kognitif dan demensia awal, selain itu pula dokter dan tenaga

kesehatan lain juga mempunyai peran yang besar dalam deteksi dini dan terutama

dalam pengelolaan pasien dengan penurunan fungsi kognitif ringan. Dengan

diketahuinya berbagai faktor resiko (seperti hipertensi, diabetes mellitus, stroke,

riwayat keluarga, dan lain lain) berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif yang

lebih cepat pada sebagian orang usia lanjut, maka diharapkan dokter dan tenaga

kesehatan lain dapat melakukan upaya-upaya pencegahan timbulnya demensia pada

2
pasien-pasiennya. Selain itu, bila ditemukan gejala awal penurunan fungsi kognitif

yang disertai beberapa faktor yang mungkin dapat memperburuk fungsi kognitif

pasien maka seseorang dokter dapat merencanakan berbagai upaya untuk

memodifikasinya, baik secara farmakologis maupun non-farmakologis (Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia,2013).

Sepuluh sampai 15% pasien demensia memiliki gangguan sistemik yang

dapat diobati, misalnya penyakit jantung, penyakit ginjal, gangguan endokrin

(hipotiroid, defisiensi vitamin, penyalahgunaan obat) dan gangguan mental primer,

terutama gangguan depresi) (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2013).

Revisi DSM-IV-TR edisi ke-4 mengatakan bahwa demensia ditandai oleh

defek kognitif multiple yang mencakup hendaya memori tanpa hendaya kesadaran.

Fungsi kognitif yang dapat terserang demensia meliputi intelegensi umum,

pengetahuan dan memori, bahasa, pemecahan masalah, orientasi, persepsi, atensi dan

konsentrasi, daya nilai, serta kemampuan sosial. Kepribadian seseorang dapat pula

terpengaruh. Seseorang dengan hendaya kesadaran mungkin akan memenuhi kriteria

diagnostic delirium. Sebagai tambahan, diagnosis demensia, menurut DSM-IV-TR,

mewajibkan bahwa gejalanya mengakibatkan hendaya yang signifikan dalam

kemampuan berfungsi secara sosial dan okupasional dan bahwa gejala tersebut a

menggambarkan penurunan kemampuan berfungsi dari yang sebelumnya signifikan.

Dementia memiliki 4 tipe, 1). Demensia pada penyakit Alzheimer, 2). Demensia

vascular, 3). Demensia pada penyakit lain, dan 4). Demensia YTT (Sadock, 2015).

3
Sedangkan berdasarkan letak lesinya, demensia diklafisikasikan menjadi

demensia kortikal dan subkortikal. Demensia subkortikal terjadi pada penyakit

Huntington, penyakit Parkinson, dan lain-lain. Demensia kortikal terjadi pada

demensia Alzheimer, penyakit Creutzfeldt-Jakob (CDJ) dan penyakit Pick, dengan

gambaran gejala lebih sering dalam bentuk afasia, agnosia dan apraksi.Pada praktek

klinis, seringkali ditemukan jenis demensia yang saling tumpah tindih. Diagnosis

yang tepat dapat dibuat dengan autopsi(Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia,2013).

Penyakit Alzheimer adalah penyebab demensia terbanyak, yaitu sekitar 60-70

% dari seluruh kasus demensia. Demensia tipe Alzheimer dan bersifat progresif,

merupakan penyakit degeneratif yang menyerang otak. Penyakit Alzheimer

mempengaruhi kemampuan fungsi hidup seseorang yang berdampak terhadap semua

aspek kehidupan dan lingkungan orang sekitarnya terutama bagi yang mendampingi

orang dengan demensia (ODD) sehari-hari (Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia,2013).

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi Dementia Alzheimer

Penyakit Alzheimer adalah bentuk demensia yang paling umum,

berjumlah kira-kira dua-pertiga dari semua kasus dementia. Penyakit ini

menyebabkan penurunan kemampuan kognitif secara berangsur-angsur, sering

bermula dengan kehilangan daya ingat. Demensia Tipe Alzheimer (DTA)

merupakan demensia kortikal yang klasik yang sering didiagnosis secara

berlebihan (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2013).

II. Epidemiologi Dementia Alzheimer

Demensia Tipe Alzheimer mencapai hampir 50% dari semua tipe demensia

(5%%-10% orang di atas 65 tahun, 50% di atas 85 tahun). Demensia ini dapat

dimulai pada usia lima puluhan (awitan dini, familial, bentuk pra-senil, sekitar

2% dari seluruh kasus) atau dapat dimulai pada usia 60 tahunan (awitan lambat,

umumnya lebih banyak) dan berkembang sampai kematian dalam waktu 6-1-

tahun (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2013).

Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada

kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800

pada usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk

penderita penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia

lanjut berkisar, 18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit

5
alzheimer belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi

wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi

dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki (Sadock, 2015).

III. Etiologi Dementia Alzheimer

Meski kausa demensia tipe Alzheimer tetap ttidak diketahui, telah dicapai

kemajuan dalam memahami basis molekuler adanya deposit amyloid yang

merupakan penanda utama neuropatologi gangguan ini. Sejumlah studi

mengindikasikan bahwa sebanyak 40 persen pasien memiliki riwayat keluarga

dengan demensia Alzheimer; oleh karena itu, faktor genetic dianggap

memainkan peran dalam munculnya gangguan ini, setidaknya pada beberapa

kasus. Dukungan lain adanya pengaruh genetik adalah angka kejadian bersama

pada kembar monozigot , yang lebih tinggi daripada angka untuk kembar

dizigotik (masing masing 43 persen versus 8 persen). Meskipun jarang pada

beberapa kasus yang terdokumentasi dengan baik, gangguan ini diturunkan

dalam keluarga melalui gen autosom dominan. Demensia tipe Alzheimer telah

terbukti berhubungan dengan kromosom 1, 14 dan 21 (Maramis, 2005).

IV. Patogenesis Demensia Alzheimer

Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang

dijumpai pada penyakit Alzheimer, antara lain: serabut neuron yang kusut

(neuron yang tidak berfungsi) dan plak seni atau neuritis (deposit protein beta-

amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein prukesor amiloid (APP).

6
Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan

mengakibatkan rusaknya ukuran otak (Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia,2013).

Secara maskroskopik, perubahan otak pada Alzheimer melibatkan

kerusakan berat neuron korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid

dalam pembuluh darah intracranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan

morfologik (structural) dan biokimia pada neuron neuron. Perubahan

morfologis terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi

degenarasi soma dan atau akson dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah

kekusutan neurofibrilaris yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan

sebagian besar terdiri dari protein tau. Dalam SSP, protein tau sebagian besar

sebagai penghambat pembentuk structural yang terikat dan menstabilkan

mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari sitokleton sel neuron. Pada

neuron AD terjadi fosforilasi abnormal dari protein tau, secara kimia

menyebabkan perubahan pada protein tau sehingga tidak dapat terikat pada pada

mikrotubulus secara bersama sama. Protein Tau yang abnormal terpuntir masuk

ke filament heliks ganda yang sekelilingnya masing masing terluka. Dengan

kolapsnya system transport internal, hubungan interseluler adalah yang pertama

kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti kematian sel. Pembentukan neuron yang

kusut dan berkembangnya neuron yang rusak menyebabkan Alzheimer (Smith,

David S. 2007).

7
Lesi khas lain A-beta adalah fragmen protein prekusor amiloid (APP)

yang pada keadaan normal melekat pada membrane neuronal yang berperan

dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen

fragmen oleh protease, salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang

menjadi gumpalan yang bisa larut. Gumpalan tersebut akhirnya bercampur

dengan sel sel glia yang akhirnya membentuk fibril fibril plak yang

membeku, padat, matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron

yang utuh. Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal bebas

sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh

darah sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap stressor. Selain

karena lesi, perubahan biokimia dalam SSP juga berpengaruh pada AD. Secara

neurokimia kelainan pada otak(Smith, David S. 2007).

Berikut pathway Demensia Alzheimer (Smith, David S. 2007):

8
Gambar 1. Pathway Demensia Alzheimer

9
V. Gambaran Klinis Dementia Alzheimer

Secara umum, perubahan karakteristik pada demensia melibatkan fungsi

fungsi kognisi, daya ingat, bahasa dan fungsi visuospasial, namun sering juga

terjadi gangguan perilaku, termasuk agitasi, gelisah, wandering, penyerangan,

kekerasan, berteriak, dis-inhibisi social dan seksual, impulsivias, gangguan tidur

dan waham. Hampir 75% pasien demensia mengalami gejala waham dan

halusinasi pada perjalanan penyakitnya. Berbagai keadaan dapat mengganggu

fungsi kognitif, misalnya cedera otal, tumor otak, AIDS, alcohol, obat-obatan,

infeksi, penyakit paru kronik dan proses inflamasi (Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia,2013).

Adapun, gejala Demensia Type Alzheimer yang tampak dalam kehidupan

sehari-hari adalah kegelisahan yang terjadi secara terus-menerus dan sering

mencari dalih kegiatan, namun respons sosial seringkali masih utuh sampai saat

akhir (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2013).

Selain itu, pada pasien Demensia Tipe Alzheimer mengalami beberapa

perubahan psikiatrik dan neurologis, yaitu:

a. Kepribadian

Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia

biasanya akan mengganggu bagi keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit

mungkin dapat menonjol selama 13 perkembangan demensia. Pasien dengan

demensia juga menjadi tertutup serta menjadi kurang perhatian dibandingkan

sebelumnya. Seseorang dengan demensia yang memiliki waham paranoid

10
umumnya lebih cenderung memusuhi anggota keluarganya dan pengasuhnya.

Pasien yang mengalami kelainan pada lobus frontalis dan temporalis biasanya

mengalami perubahan kepribadian dan mungkin lebih iritabel dan eksplosif

(Sadock, 2015).

b. Halusinasi dan Waham

Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen dengan demensia (terutama

pasien dengan demensia tipe Alzheimer) memiliki halusinasi dan 30 hingga

40 persen memiliki waham, terutama waham paranoid yang bersifat tidak

sistematis, meskipun waham yang sistematis juga dilaporkan pada pasien

tersebut. Agresi fisik dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya lazim ditemukan

pada pasien dengan demensia yang juga memiliki gejala-gejala psikotik

(Sadock, 2015).

c. Mood

Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian,

depresi dan kecemasan merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40

hingga 50 persen pasien dengan demensia, meskipun sindrom depresif secara

utuh hanya tampak pada 10 hingga 20 persen pasien. Pasien dengan demensia

juga dapat menujukkan perubahan emosi yang ekstrem tanpa provokasi yang

nyata (misalnya tertawa dan menangis yang patologis) (Sadock, 2015).

d. Perubahan Kognitif

Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya

apraksia dan agnosia dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM

11
IV. Tanda-tanda neurologis lainnya yang dikaitkan dengan demensia adalah

bangkitan yaitu ditemukan kira-kira pada 10 persen pasien dengan demensia

tipe Alzheimer serta 20 persen pada pasien dengan demensia vaskuler.

Refleks primitif seperti refleks menggenggam, refleks moncong (snout),

refleks mengisap, reflex tonus kaki serta refleks palmomental dapat

ditemukan melalui pemeriksaan neurologis pada 5 hingga 10 persen pasien

(Sadock, 2015). Untuk menilai fugsi kognitif pada pasien demensia dapat

digunakan The Mini Mental State Exam (MMSE) (Smith, 2007).

Sedangkan pada pasien dengan demensia vaskuler mungkin

mempunyai gejala-gejala neurologis tambahan seperti sakit kepala, pusing,

kepala terasa ringan, kelemahan, tanda defisit neurologis fokal terutama yang

terkait dengan penyakit serebro-vaskuler, pseudobulber palsy, disartria, dan

disfagia yang lebih menonjol dibandingkan dengan gejala-gejala diatas pada

jenis-jenis demensia lainnya (Sadock, 2015).

e. Reaksi Katastrofik

Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan

yang oleh Kurt Goldstein disebut perilaku abstrak. Pasien mengalami

kesulitan untuk memahami suatu konsep dan menjelaskan perbedaan konsep-

konsep tersebut. Lebih jauh lagi, kemampuan untuk menyelesaikan masalah-

masalah, berpikir logis, dan kemampuan menilai suara juga terganggu.

Goldstein juga menggambarkan reaksi katastrofik berupa agitasi terhadap

kesadaran subyektif dari defisit intelektual dalam kondisi yang penuh tekanan.

12
Pasien biasanya mengkompensasi defek yang dialami dengan cara

menghindari kegagalan dalam kemampuan intelektualnya, misalnya dengan

cara bercanda atau dengan mengalihkan pembicaraannya dengan pemeriksa.

Buruknya penilaian dan kemampuan mengendalikan impuls adalah lazim,

biasanya ditemukan pada demensia yang secara primer mengenai daerah lobus

frontalis. Contoh dari kelainan ini adalah penggunaan kata-kata yang kasar,

bercanda dengan tidak wajar, ketidakpedulian terhadap penampilan dan

kebersihan diri, serta sikap acuh tak acuh dalam hubungan sosialnya (Sadock,

2015).

f. Sindrom Sundowner

Sindrom sundowner ditandai dengan keadaan mengantuk, bingung,

ataksia dan terjatuh secara tiba-tiba. Gejala-gejala tersebut muncul pada

pasien yang berumur lebih tua yang mengalami sedasi yang berlebihan dan

penderita demensia yang bereaksi secara berlebihan terhadap obat-obat

psikoaktif bahkan dengan dosis yang kecil sekalipun. Sindrom tersebut juga

muncul pada pasien demensia saat sitmulus eksternal seperti cahaya dan

isyarat interpersonal dihilangkan (Sadock, 2015).

VI. Diagnosa Dementia Alzheimer

Diagnosis pada dementia Alzheimer dibuat berdasarkan riwayat pasien

pemeriksaan status mental. Teknik pencitraan otak juga dapat menjadi alat bantu

diagnostik. Secara patologik demensia tipe ini ditandai dengan penumpukan

amiloid beta protein yang berbentuk plak neuritik, pembentukkan tangles-tangles

13
neurofibrilar intraseluler dan sel-sel saraf yang mati (Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia,2013).

Berdasarkan PPDGJ III demensia termasuk dalam F00-F03 yang merupakan

gangguan mental organik dengan klasifikasinya sebagai berikut ;

F00 Demensia pada penyakit Alzheimer

F00.0 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset Dini

F00.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan Onset Lambat

F00.2 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan, tipe tidak khas atau tipe

campuran

F00.9 Demensia pada penyakit Alzheimer YTT (Yang Tidak Tergolongkan)

Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV-TR, untuk demensia tipe

Alzheimers, demensia vaskuler, demensia karena kondisi medis lainnya, demensia

menetap akibat zat, demensia karena penyebab multipel, dan demensia yang tidak

ditentukan (NOS; not otherwise specified) (Sadock, 2015).

Diagnosis demensia berdasarkan pemeriksaan klinis, termasuk pemeriksaan

status mental,dan melalui informasi dari pasien, keluarga, teman dan teman sekerja.

Keluhan terhadap peerubahan sifat pasien dengan usia lebih tua dari 40 tahun

membuat kita harus mempertimbangkan dengan cermat untuk mendiagnosis

demensia (Sadock, 2015).

Adapun kriteria diagnostic berdasarkan DSM-IV-TR, sebagai berikut ;

A. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan dengan baik:

14
1) Gangguan daya ingat (gangguankemampuan untuk mempelajariinformasi baru

dan untuk mengingatinformasi yang telah dipelajarisebelumnya)

2) Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut;

a) Afasia (gangguan bahasa)

b) Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas motorik

walaupun fungsi motorik utuh)

c) Agnosia (kegagalan untukmengenali atau mengidentifikasibenda

walaupun fungsi sensorikutuh

d) Gangguan dalam fungsieksekutif (yaitu

merencanakan,mengorganisasi, mengurutkan dan abstrak)

B. Defisit kognitif dalam kriteria A1dan A2 masing-masingmenyebabkan gangguan

yangbermakna dalam fungsi sosial ataupekerjaan dan menunjukkan suatupenurunan

bermakna dari tingkatfungsi sebelumnya

C. Perjalanan penyakit ditandai olehonset yang bertahap dan penurunankognitif yang

terus menerus

D. Defisit kognitif dalam kriteria A1dan A2 bukan karena salah satuberikut ;

(1) Kondisi sistem saraf pusat lain yang menyebabkan defisit progresif dalam

daya ingat kognisi misalnya penyakit serebrovaskuler, penyakit Parkinson,

penyakit Huntington, hematoma subdural , hidrosefalus tekanan normal,

tumor otak

15
(2) Kondisi sistemik yang diketehui menyebabkan demensia misalnya,

hipotiroidisme, defisiensi vitamin B12 atau asam folat, defisiensi niasin,

hiperkalsemia, neurosifilis, infeksi HIV

(3) Kondisi yang berhubungan dengan zat

E. Defisit tidak terjadi semata-mataselama perjalanan suatu delirium

F. Gangguan tidak lebih baikditerangkan oleh gangguan aksislainnya (misalnya,

gangguandepresif berat,Skizofrenia)

16
VII. Diagnosis Banding

a. Demensia vaskuler

Gejala neurologis fokal lebih sering ditemui pada demensia vaskuler

daripada demensia tipe Alzheimer, dimana hal tersebut merupakan patokan

adanya faktor risiko penyakit serebrovaskuler (Sadock, 2015).

b. Delirium

Membedakan antara delirium dan demensia dapat lebih sulit daripada

yang ditunjukkan oleh klasifikasi berdasarkan DSM IV. Secara umum,

delirium dibedakan dengan demensia oleh awitan yang cepat, durasi yang

singkat, fluktuasi gangguan kognitif dalam perjalanannya, eksaserbasi gejala

yang bersifat nokturnal, gangguan siklus tidur yang bermakna, dan gangguan

perhatian dan persepsi yang menonjol (Sadock, 2015).

1
Tabel 1. Perbedaan Delirium dan Demensia

c. Depresi

Beberapa pasien dengan depresi memiliki gejala gangguan fungsi

kognitif yang sukar dibedakan dengan gejala pada demensia. Gambaran klinis

kadang-kadang menyerupai psuedodemensia, meskipun istilah disfungsi

kognitif terkait depresi (depression-related cognitivedysfunction) lebih disukai

dan lebih dapat menggambarkan secara klinis. (Sadock, 2015).

18
d. Skizofrenia

Meskipun skizofrenia dapat dikaitkan dengan kerusakan fungsi

intelektual yang didapat(acquired), gejalanya lebih ringan daripada gejala

yang terkait dengan gejala-gejala psikosis dan gangguan pikiran seperti yang

terdapat pada demensia (Sadock, 2015).

e. Proses penuaan yang normal

Proses penuaan yang normal dikaitkan dengan penurunan berbagai

fungsi kognitif yang signifikan. Gejala yang normal ini terkadang dikaitkan

dengan gangguan memori terkait usia, yang dibedakan dengan demensia oleh

ringannya derajat gangguanmemori dan karena pada proses penuaan

gangguan memori tersebut tidak secara signifikan mempengaruhi perilaku

sosial dan okupasional pasien (Sadock, 2015).

VIII. Penatalaksanaan

a. Terapi Psikososial

Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada

pasien dengan demensia.Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada

memori. Memori jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka

panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien biasanya

mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi

fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya.

Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka

hanya dapat sedikit dan semakin sediki tmenggunakan daya ingatnya. Reaksi

19
emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasanyang berat dan teror

katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya(sense

of self) menghilang (Sadock, 2015).

Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif

dan edukatif sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah

dari penyakit yang dideritanya.Mereka juga bisa mendapatkan dukungan

dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan disabilitas serta

perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak fungsi yang masih

utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi

aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik

terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat

bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan

caraberdamai dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk

pasien dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata

struktur aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-masalah daya

ingat (Sadock, 2015).

b. Farmakoterapi

Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan,

antidepresi untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan

halusinasi, akan tetapi dokter juga harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat

yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan

paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara umum, obat-

20
obatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan

(Sadock, 2015).

Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat

kolinesterase yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan

hingga sedang pada penyakit Alzheimer.Obat-obat tersebut menurunkan

inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan potensi

neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan

memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan

kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik

basal yang masih baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik (Sadock,

2015).

Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin

jarang digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data

klinis yang tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya

menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik

yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatantersebut

dapat mencegah degenerasi neuron progresif (Sadock, 2015).

21
BAB III
KESIMPULAN

1. Simpulan

1. Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa

disertai gangguan kesadaran

2. Demensia yang paling sering dijumpai, yaitu Demensia Tipe Alzheimer

(DTA)

3. Perubahan psikiatrik dan neurologis pada pasien demensia meliputi

kepribadian, halusinasi dan waham,mood, perubahan kognitif, reaksi

Katastrofik, Sindrom Sundowner

4. Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan, yaitu 1) Demensia tipe

Alzheimer, 2) Dementia tipe vascular, 3) Dementia tipe campuran dan 4)

Dementia tipe ytt.

5. Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV-TR dan Pedoman

Penggolongan danDiagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III

6. Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang

dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5

atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian

7. Diagnosis Banding meliputi demensia vaskuler, delirium, depresi, skizofrenia,

proses penuaan yang normal, gangguan lainnya (retardasi mental, gangguan

,depresi berat)

22
8. Penatalaksanaan pasien demensia meliputi terapi psikososial dan

farmakoterapi.

2. Saran

Demensia adalah suatu kelainan organik yang dalam penegakkan

diagnosisnya membutuhkan ketelitian baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang agar tidak tumpah tindih dengan diagnosa lainnya. Pada

praktek klinis, seringkali ditemukan jenis demensia yang saling tumpah tindih.

Diagnosis yang tepat dapat dibuat dengan autopsi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi

Kedua.Jakarta : FKUI.

Maramis, W.E. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran iwa. Erlangga University Press.

Surabaya.

Maslim R (ed). 2001.Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.

Jakarta: Bagian Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, PT Nuh Jaya.

Rochmah W, Harimurti K, 2014, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Penerbit

Buku Kedokteran Jakarta: EGC.

Sadock B J dan Sadock V A. 2014. Buku Ajar Psikiatri Klinis Kaplan & Sadock.

Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran Jakarta: EGC.

Smith, David S. 2007. Field Guide to Bedside Diagnosis, 2nd Edition. Lippincott

Williams &Wilkins.

24
DAFTAR ISI

Daftar Isi .............................................................................................................. i

BAB I Pendahuluan ........................................................................................... 1

BAB II Tinjauan Pustaka

1. Definisi Dementia Alzheimer ................................................................... 5

2. Epidemilogi Dementia Alzehimer ........................................................... 5

3. Etiologi Dementia Alzheimer .................................................................. 6

4. Patogenesis Dementia Alzheimer ........................................................... 6

5. Gambaran Klinis Dementia Alzheimer .................................................. 10

6. Diagnosa Dementi Alzheimer ................................................................. 13

7. Diagnosa Banding Demnetia Alzheimer ................................................ 17

8. Penatalaksanaan Dementia Alzheimer ................................................... 19

BAB III Kesimpulan ........................................................................................... 22

Daftar Pustaka .................................................................................................... 24

I
26

Anda mungkin juga menyukai