REFERAT ANJ Mau Di Print
REFERAT ANJ Mau Di Print
Disusun Oleh :
SAMARINDA
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.2. Anatomi
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan
beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring
berhubungan dengan rongga hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di
bagian inferior melalui bagian terbawah dari palatum molle. Sedangkan di bagian
superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan korpus vertebra. Tuba
eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan bagian superior dan
posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus tubarius.
Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak di bagian superior dan
posterior torus tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma nasofaring.
Banyak terdapat foramen kranial yang membawa struktur syaraf dan pembuluh
darah penting yang terletak di dekat nasofaring. Nasofaring diliputi oleh mukosa
yang terdiri atas epitel squamous kompleks atau epitel kolumner.7
3
Gambar 2.1. Anatomi nasofaring7
4
Gambar 2.2.Vaskularisasi Nasofaring8
5
Gambar 2.3 Fossa Temporal, Infratemporal, Pterygopalatina9
6
Gambar 2. 5. Fossa pterygopalatina saat arcus zygomaticus dipotong9
7
faring dan nervus palatine yang lebih besar dan lebih kecil. Saraf maksilaris juga
berhubungan dengan ganglion pterygopalatine melalui dua batang kecil, saraf
pterygopalatine. Saraf ini menahan ganglion di dalam fosa pterygopalatine.9
b. Ganglion Pterygopalatine
Ganglion pterygopalatine berada jauh di dalam fosa pterygopalatine di
dekat foramen sphenopalatine. Ini adalah ganglion parasimpatis terbesar yang
berhubungan dengan cabang saraf maksila (melalui cabang pterygopalatine) dan
sebagian besar diinervasi oleh cabang nervus tujuh (CNVII).9
8
Serabut parasimpatis postsynaptic meninggalkan ganglion dan
menyebarluaskan cabang-cabang saraf maksilaris (CNV2). Serabut ini bersifat
secretomotor dalam fungsi, dan memberikan inervasi parasimpatis ke kelenjar
lakrimal, dan kelenjar muscosal pada rongga mulut, hidung dan faring.9
c. Arteri maxillary
Arteri maxillary adalah cabang terminal arteri karotis eksterna. Bagian
terminal arteri maxillary terletak di dalam fosa pterygopalatine. Di sini, ia
memisahkan diri menjadi beberapa cabang yang melakukan perjalanan melalui
foramen di dalam fossa untuk mencapai daerah yang mereka suplai.9
Cabang-cabang ini meliputi:
1.1. Arteri sphenopalatine (ke rongga hidung).
1.2. Arteri palatina desenden
1.3. Arteri infraorbital (kelenjar lakrimal, dan beberapa otot mata).
1.4. Arteri superior alveolar posterior (ke gigi dan gingiva).
Pada ujung terminal mereka, arteri sphenopalatine dan arteri palatine
beranastomose pada septum hidung.
9
Gambar 2. 9 Cabang arteri maxillary9
d. Foramen
Ada tujuh foramen yang menghubungkan fossa pterygopalatine dengan
orbit, rongga hidung dan mulut, fosa kranial media dan fosa infratemporal. foramen
tersebut mentransmisikan pembuluh darah dan saraf antar daerah tersebut.9
Fissura Pterygomaxillary
Fissura pterygomaxillary menghubungkan fosa infratemporal dengan fosa
pterygopalatina. Fissura Ini mentransmisikan dua struktur neurovaskular:
Saraf alveolar superior posterior - cabang saraf maksila. Keluar dari
celah ke dalam fosa infratemporal, di mana ia terus memasok molar
rahang atas.
Cabang termina dari arteri maxillary - memasuki fosa pterygopalatine
melalui fisura.
Foramen Rotundum
Foramen rotundum menghubungkan fossa pterygopalatina ke fossa
cranialis media. Ini adalah salah satu dari tiga foramen di batas posterior fosa
pterygopalatine. Ia menghubungkan struktur tunggal, saraf maksila.
Kanalis Pterygoid dan Pharyngeal
Kedua kanal ini, bersama dengan foramen rotundum, adalah tiga foramen
di dinding posterior fosa pterygopalatine:
10
Kanalis pterygoid - berjalan dari fosa kranial media dan melalui plate
pterygoid medial. Struktur tersebut membawa saraf, arteri dan vena
kanalis pterygoid.
Kanalis faring - berkomunikasi dengan rongga hidung. Struktur ini
membawa cabang faring saraf maksila dan arteri.
Fissura Orbitalis inferior
Fissura orbitalis inferior membentuk batas superior fosa pterygopalatine
dan berhubungan dengan orbita. Struktur Ini adalah ruang antara tulang
sphenoid dan maxilla. Cabang zygomatic saraf maksila dan arteri infraorbital
dan vena infraorbital melewati fissura orbital inferior.
Kanalis Palatina Mayor
Kanalis palatina mayor terletak pada batas inferior fosa pterygopalatine,
dan berhubungan dengan rongga mulut. Kanalis ini dibentuk oleh alur vertikal
di tulang palatine yang ditutup oleh artikulasi dengan maxilla. Kanalis
palatine mayor mentransmisikan arteri palatina desenden dan vena palatina
desenden, dan nervus palatina.
Foramen Sphenopalatina
Foramen ini adalah satu-satunya lubang di batas medial. Foramen Ini
menghubungkan fosa pterygopalatine ke rongga hidung - khususnya meatus
superior. Foramen sphenopalatina mentransmisikan arteri dan vena
sphenopalatina, serta saraf nasopalatina (cabang besar ganglion pterygopalatine
- CNV2).
2.3. Epidemiologi
Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang yang timbul di
nasofaring, yang merupakan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher, dengan
frekuensi satu diantara 5.000-60.000 pasien THT di Amerika Serikat. Meskipun
jarang, juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang paling sering
mengenai nasofaring. Tumor terjadi secara eksklusif pada laki-laki, sehingga
wanita dengan tumor ini harus menjalani tes genetik. Usia saat terkena umumnya
pada dekade kedua, antara 7-19 tahun, dan jarang terjadi pada usia lebih dari 25
tahun.2,11,12
11
2.4. Etiologi
Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah
satunya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik
angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor
ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab dari
tumor ini, bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue
yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini
dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah
masa remaja.3
2.5. Patogenesis
Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat
anyaman pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan
gumpalan sel serta terisi pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir.
Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi
orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang intrakranial.
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral
koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa
sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah
bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke
arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral
dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah
foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding
posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal yang
akan menimbulkan benjolan di pipi, dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor
mendorong salah satu atau kedua bola mata maka akan tampak gejala yang khas
pada wajah, yang akan disebut muka kodok . Perluasan ke intrakranial dapat
terjadi melalui fossa infratemporal dan pterigomaksila masuk ke fossa serebri
media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke
sinus kavernosus dan fossa hipofise.3
12
Gambar 1.10. Perjalanan penyebaran angiofibroma nasofaring
13
menunjukkan ekspresi ER- pada semua kasus. Dimana pada penelitian ini hasil
berdasarkan intensitas pewarnaan dan sel yang mengandung ER- . Berdasarkan
intensitas pewarnaan terhadap ER- didapatkan 18,5% mempunyai pewarnaan
yang kuat, 29,6% intensitas pewarnaan sedang dan 51,9% memiliki intensitas
pewarnaan yang lemah. Jika dilihat dari sel yang mengandung ER- didapatkan
hasil 3,7% masuk dalam kelompok jumlah sel yang positif mengandung ER- <
25%, tiga koma tujuh persen termasuk kelompok dengan jumlah sel 25-50% dan
92,6% termasuk kelompok dengan jumlah sel yang positif mengandung ER-
>50%.15
Schuon dkk menganalisa ekspresi dan distribusi subseluler pada beberapa
faktor angiogenesis dan reseptor yang potensial berperan terhadap pertumbuhan
tumor. Faktor angiogenesis antara lain transforming growth factor (TGF ), basic
fibroblast growth factor (bFGF), vascular endothelial growth factorreseptor
(VEGF-R 1-2) serta hypoxiainducible factor (HIF-1) didapatkan data yang
mendukung konsep bahwa pertumbuhan serta vaskularisasi pada ANB dipengaruhi
oleh faktor yang dilepaskan fibroblas pada stroma.16
Suplai darah angiofibroma bersifat ipsilateral. Arteri pemasok utama
biasanya berasal dari arteri maksilaris interna. Pada tumor yang lebih besar sumber
perdarahannya berasal dari arteri faringeal asenden, arteri palatina mayor, arteri
meningeal rekuren dan arteri oksipital. Sebagian besar arteri pemasok tumor ini
merupakan cabang dari arteri karotis eksterna. Bila tumor meluas ke fossa
infratemporal, akan mendapatkan perdarahan dari arteri temporalis superfisialis,
arteri fasialis eksterna dan pembuluh darah transfasial. Pada tumor yang tumbuh ke
intrakranial sumber perdarahan yang utama, didapatkan dari sistem a. karotis
interna. Bila tumor tumbuh melewati garis tengah biasanya perdarahan berasal dari
pembuluh darah karotis bilateral. Kesulitan utama dalam pembedahan tumor ini
adalah perdarahan hebat, yang dapat mencapai 2000-3000 cc dalam waktu yang
singkat. Perdarahan saat operasi dapat disebabkan karena hanya sebagian tumor
yang terangkat atau tumor sudah terdapat di intrakranial. Perdarahan hebat selain
mengganggu jalannya operasi sehingga sulit untuk melihat asal tumor, juga dapat
terjadi syok hipovolemik dan dapat mengakibatkan kematian.17
14
2.6. Manifestasi Klinis
Tumor ini terbatas pada usia prepubescent atau peri-pubescent. Penderita laki-laki
dengan tumor jarang ditemukan sebelum usia 8 dan setelah usia 25 tahun. ANJ pada
wanita paling tidak umum, dan jika ditemukan harus dilakukan evaluasi untuk
kelainan endokrin dan kadar serum androgen. Presentasi klinis biasanya disertai
penyumbatan hidung atau epistaksis berat berulang pada pria remaja. Klinis
bervariasi tergantung pada tingkat penyakit, tapi ekstensi ke dalam sphenoid dan
sinus lainnya, orbuta, fosa infratemporal dan fosa kranial tengah sering
asimptomatis. Bergantian, ekstensi semacam itu bisa terwujud dengan
pembengkakan pipi, proptosis atau kehilangan penglihatan. Sumbatan hidung bisa
berlanjut menyebabkan mendengkur dan gejala Obstructive Sleep
Apnea.18Keluhan lain berupa rinolalia, anosmia, sefalgia, tuli konduktif,
deformitas wajah, proptosis dan diplopia. Sumbatan ostium sinus dapat
menyebabkan sinusitis. Perluasan tumor ke orofaring menimbulkan disfagia, dan
dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Bila tumor masuk ke dalam fisura
orbitalis superior timbul proptosis, dan dapat disertai gangguan visus serta
deformitas wajah penderita. Dari nasofaring tumor dapat meluas ke fossa
pterigopalatina, lalu ke fossa infra temporal, kemudian menyusuri rahang atas
bagian belakang dan terus masuk ke jaringan lunak antara otot maseter dan
businator. Hal tersebut di atas akan menimbulkan pembengkakan pipi dan trismus.
Perluasan tumor ke rongga intra kranial akan menimbulkan gejala neurologis.19
2.7. Diagnosis
15
pengecilan tumor.CT scan merupakan pemeriksaan sebelum operasi yang paling
penting karena dapat menunjukkan destruksi struktur tulang dan pelebaran
foramen dan fisura pada basis kranii akibat penyebaran tumor. Keterlibatan tulang
dan penyebaran tumor paling baik dilihat pada potongan aksial atau koronal irisan
tipis. CT scan aksial dan koronal dapat menggambarkan asal dan perluasan lesi.20
Karakteristik temuan pada CT, antara lain18:
Erosi lantai sinus sphenoid dan perluasan tumor dari nasofaring dan sinus
sphenoid.
Gambar 2.11. (a) Gambaran Holman Miller pada CT scan ANJ, (b) erosi dari kanal vidian 18
2.7.2. MRI
16
Pemindaian MRI menawarkan peningkatan delineasi jaringan lunak. Tumor
dapat memberikan tampilan "garam dan merica" dengan komponen fibrous tumor
terlihat berwarna putih, dan komponen vaskular angiomatous muncul sebagai void
aliran gelap. Tumor meningkat kuat dengan gadolinium dan ekstensi tumor yang
jelas dapat ditunjukkan. MRI sangat berguna untuk penilaian tumor intrakranial
yang berada di sekitar sinus kavernosus, serta untuk menindaklanjuti evaluasi
untuk tumor residu/rekuren.18
Gambar 2.12 MRI pada ANJ dengan tampakan salt and pepper 18
2.7.3.Angiografi
Angiografi adalah nilai diagnostik dengan gambaran khas tumor yang seperti
merona. Ini memberikan informasi tentang suplai vaskular utama dan
memungkinkan untuk embolisasi pra-operasi. Pasokan arterial utama pada tumor
ini adalah arteri maksilaris interna ipsilateral, sesekali pembuluh tambahan dari
arteri faringes naik, dan cabang dari ICA kavernosa atau kontra lateral karotid
eksternal.21
17
Massa tumor terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai
maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikan. Pemeriksaan angiografi
bertujuan untuk melihat pembuluh darah pemasok utama, mengevaluasi besar
dan perluasan serta residu tumor. Suplai darah dapat dari kedua sisi leher.
Gambar 2.13 Arteri maxillaris interna mensuplai tumor dengan tampakan tumour blush 18
18
- Stage IIIA :Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang
minimal.
2.9. Penatalaksanaan
19
dalam ke dalam tumor tetapi mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadi
nekrosis kulit dan kelumpuhan saraf kranial. Bahan yang paling sering digunakan
adalah polivinil alkohol atau gelfoam. Embolisasi dapat mengurangi 60- 70%
perdarahan intraoperatif. Pembedahan dilakukan 2-5 hari setelah embolisasi.23
2.9.1. Pembedahan
Pra tindakan untuk pengurangan volume tumor dengan anti androgen: Pengobatan
estrogen pada awalnya diajukan di pertengahan abad ke-20 namun secara bertahap
ditinggalkan bersama feminitas jaminan yang jelas dan tidak ada bukti
kemanjuran yang jelas. Ketersediaan antiandrogen generasi sekarang dengan efek
sampingnya terbatas telah menbawa untuk evaluasi ulang pengobatan
anti-androgen sebagai ajuvan. Untuk perawatan bedah flutamida, androgen non
steroid antagonis, menyebabkan resistansi reseptor situs kompetitif testosteron
dan dihydotestosterone, namun dengan peningkatan tingkat serum yang sama dan
tidak ada penekanan libido. Studi menunjukkan bahwa flutamide 6 minggu (10mg
/ kg / hari) adalah terbukti berkhasiat dalam mengurangi volume tumor (rata-rata
pengurangan 16,5%, maksimal 40%), dan juga aman. Namun kemanjuran terbatas
pada pasien pasca pubertas, dan pengobatan tidak efektif pada pasien pra
pubertas.18
Shciff mengemukakan suatu trilogi terjadinya tumor ini. Pertama tumor ini
terjadi oleh karena ketidakseimbangan androgen-estrogen. Kedua, aktivitas
berlebihan dari kelenjar hipotalamus, dan ketiga, respon yang berlebihan dari
jaringan pembuluh darah tersebut. Schiff memberikan estrogen pada angiofibroma
nasofaring selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan pembedahan untuk
pengangkatan tumor. Hasil dari tindakan tersebut adalah berupa perdarahan yang
lebih sedikit dibandingkan dengan tidak diberikan estrogen sebelumnya. Estrogen
memberikan efek pematangan jaringan fibrosa dan pembuluh darah.19
20
Terapi hormonal pada angiofibroma nasofaring bertujuan untuk mengecilkan
masa tumor dan mengurangi perdarahan. Pemberian estrogen dapat meningkatkan
maturasi kolagen dan mengurangi pembuluh darah dari tumor, sehingga
perdarahan berkurang dan tumor mengecil. Estrogen dapat menimbulkan efek
samping berupa penurunan kadar testosteron plasma, atrofi testis dan
ginekomastia pada anak laki-laki. Harison, Walike dan Mackay memberikan
dietilstilbestrol selama 30 hari. Terlihat peningkatan jaringan ikat fibrosa dan
penurunan dari jumlah pembuluh darah. Dosis terapi yang dianjurkan tidak lebih
dari 15 mg/hari selama satu bulan dan dosis maksimal yang pernah diberikan
adalah 3.000 mg.24
21
perluasannya kearah sinus etmoid dan retro orbita. Bila tumor meluas ke fossa
infra temporal bagian anterior dilakukan operasi kombinasi peningkapan dan
labiomandibulotomi medial. Bila tumor meluas ke fossa infra temporalis bagian
inferior (pipi, dasar tengkorak dan rongga parafaring) dilakukan operasi
kombinasi transpalatal dan transmandibula anterior. Pada tumor yang meluas ke
intrakranial, dilakukan operasi kombinasi transpalatal dan kraniotomi
frontotemporal.25
2.9.3. Radioterapi
Meski radiasi telah dilaporkan efektif bagi ANJ, pandangan umum hal itu
tidak sepenuhnya cocok untuk tumor jinak pada populasi remaja. Potensi
komplikasi jangka panjang telah membatasi penggunaaan terapi radiasi -
komplikasi yang dilaporkan meliputi transformasi ganas, karsinoma tiroid,
sarkoma tulang dan jaringan lunak, karsinoma sel basal, hipopituitarisme, katarak,
atrofi saraf optik, osteoradionekrosis, osteomielitis dasar tengkorak, dan retardasi
pertumbuhan wajah. Radiasi bagaimanapun dapat digunakan sebagai terapi primer
untuk lesi yang berat dan tidak dapat diobati, dan juga telah digunakan untuk
22
tumor rekuren / sisa. Sedang radiasi 3000-3500 rad di atas fraksinasi konvensional
dilaporkan dapat mengendalikan perkembangan tumor dan gejala sampai 80%.
Regresi tumor menjadi lambat selama berbulan-bulan, dan sekitar 10-63% kasus
yang ditangani terutama dengan radioterapi terus menunjukkan massa yang
terlihat secara radiologis pada periode pemantauan. Tumor non-progresif pada
individu tanpa gejala (post radioterapi) biasanya tidak memerlukan perawatan
lebih lanjut.18
2.9.4. Sitostatika
2.10. Prognosis
23
DAFTAR PUSTAKA
10. Ryan S, McNicholas M, Eustace S. Anatomy for Diagnostic Imaging. 2nd ed.
Elsevier;2004
24
11. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. 2013. Diunduh
darihttp://emedicine.medscape.com Agustus 26, 2017
17. Harison DFN. The natural history, pathogenesis and treatment of juvenile
angiofibroma. Arch Otolaryngol Head and Neck Surg 1978;113;936-42
18. Thakar, A., Gupta, G., Bhalla, A. S., Jain, V., Sharma, S. C., Sharma, R., ... &
Deka, R. C. (2011). Adjuvant therapy with flutamide for presurgical volume
reduction in juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Head & neck, 33(12),
1747-1753.
25
20. Naz NA, Ahmed ZE, Shaikh SM, Marfani MS. Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma Role of Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence.
Pakistan Journal of Surgery. 2009;25(3):185-9.
21. Siniluoto TM, Luotonen JP, Tikkakoski TA, Leinonen AS, Jokinen KE.
Value of pre-operative embolization in surgery for nasopharyngeal
angiofibroma. The Journal of Laryngology & Otology. 1993
Jun;107(6):514-21.
22. Lloyd, G., Howard, D., Phelps, P. and Cheesman, A., 1999. Juvenile
angiofibroma: the lessons of 20 years of modern imaging. The Journal of
Laryngology & Otology, 113(2), pp.127-134.
23. Kania RE, Sauvaget E, Guichard JP, Chapot R, Huy PT, Herman P. Early
postoperative CT scanning for juvenile nasopharyngeal angiofibroma:
detection of residual disease. American journal of neuroradiology. 2005 Jan
1;26(1):82-8.
24. Lee KJ. The nose and paranasal sinuses. In Essensial Otolaryngology: Head
and Neck Surgery;2003, 8:708-9
26. Goepfert, H., Cangir, A. and Lee, Y.Y., 1985. Chemotherapy for aggressive
juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Archives of Otolaryngology, 111(5),
pp.285-289.
26