Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENIL

Disusun Oleh :

Wilanda Ayu E. P. 1510029039


Aditiya Setyorini 1510029032

Pembimbing: dr. Selvianti, Sp. THT-KL

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

LAB ILMU KESEHATAN THT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2017
BAB 1
PENDAHULUAN

Angifibroma nasofaring juvenil merupakan tumor jinak hipervaskuler di


nasofaring dengan gambaran epidemiologi dan pola pertumbuhan yang khas.
Tumor secara khas mengenai remaja laki-laki pada masa pubertas, dengan gejala
klinis yang khas epistaksis berulang dan sumbatan hidung unilateral.1,2
Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki
prepubertas dan remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21
tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma nasofaring
jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun sehingga tumor ini disebut juga Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibromajarang
ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher.
Insiden angiofirboma nasofaring diperkirakan antara 1 : 5.000-60.000 pada pasien
THT.3,4
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada Angifibroma nasofaring juvenil
dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering,
diikuti epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala
(25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah
(10-18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan
palatum serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma
nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus
sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan
perdarahan yang ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias
gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan
hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya
angiofibroma nasofaring.4,5

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara


histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,
pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.3

Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile


angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity
tumor,nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor),
nasopharyngeal tumor, atau angiofibroma nasofaring belia.6

2.2. Anatomi
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan
beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring
berhubungan dengan rongga hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di
bagian inferior melalui bagian terbawah dari palatum molle. Sedangkan di bagian
superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan korpus vertebra. Tuba
eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan bagian superior dan
posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus tubarius.
Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak di bagian superior dan
posterior torus tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma nasofaring.
Banyak terdapat foramen kranial yang membawa struktur syaraf dan pembuluh
darah penting yang terletak di dekat nasofaring. Nasofaring diliputi oleh mukosa
yang terdiri atas epitel squamous kompleks atau epitel kolumner.7

3
Gambar 2.1. Anatomi nasofaring7

Arteri karotis eksterna biasanya muncul setinggi vertebra servikalis ke tiga


(VC-3) dari percabangan arteri karotis interna. Cabang-cabang utama arteri karotis
eksterna adalah arteri tiroidea superior, arteri lingualis, arteri fasialis, arteri
faringealis asenden, arteri oksipitalis, arteri aurikularis posterior, arteri maksilaris
interna dan arteri temporalis superfisialis. Tiga cabang pertama muncul dari aspek
anteromedial dari segmen proksimal arteri. Dua atau tiga arteri di atasnya, arteri
faringealis asenden dan arteri oksipitalis, timbul dari aspek posterolateral karotis
eksterna. Pada sekitar 15% kasus, arteri tiroidea superior timbul dari karotis interna.
Arteri aurikularis posterior adalah cabang kecil yang muncul dekat sebelum cabang
terminal utama, arteri temporalis superfisialis dan arteri maksilaris interna. Arteri
maksilaris interna besar memberikan cabang pentingnya ke arteri meningea media
serta mensuplai fossa hidung, palatum, mandibula dan daerah infraorbita.8

4
Gambar 2.2.Vaskularisasi Nasofaring8

Fosa pterygopalatina adalah depresi bilateral berbentuk kerucut yang


membentang jauh dari fosa infratemporal sampai ke rongga hidung melalui
foramen sphenopalatine. Terletak antara tulang maxilla, sphenoid dan palatine, dan
berhubungan dengan kranium dan kerangka wajah lainnya melalui beberapa
kanalis dan foramen. Hal ini penting karena menghubungkan beberapa ruangan dan
dapat memfasilitasi penyebaran patologi diantara mereka. Batas fossa
pterygopalatina terbentuk oleh tulang palatina, maxilla dan sphenoid.9,10
Anterior : Dinding posterior sinus maksila.
Posterior : Prosesus pterygoid os sphenoid.
Inferior : os palatina dan kanalis palatina
Superior : fisura orbital inferior.
Medial : Plate perpendiculare os palatine
Lateral : fisura pterygomaxilla

5
Gambar 2.3 Fossa Temporal, Infratemporal, Pterygopalatina9

Gambar 2.4 Fossa Pterygopalatina9

6
Gambar 2. 5. Fossa pterygopalatina saat arcus zygomaticus dipotong9

Gambar 2. 6 Batas-batas fossa pterygopalatina9

Fossa Pterygopalatine mengandung banyak struktur neurovaskular penting,


yaitu9:
a. Saraf maksilaris
Saraf maksilaris adalah cabang kedua saraf trigeminal (CNV2). Ia melewati
fossa kranial media ke fossa pterygopalatine melalui foramen rotundum. Cabang
utama saraf maksilaris meninggalkan fosa pterygopalatine melalui celah
infraorbital. Di sini, ia memasuki kanalis infraorbital dan keluar di foramen
infraorbital untuk berkontribusi pada sensoris inervasi wajah.10
Sementara pada fosa pterygopalatine, nervus maksilaris memberikan
banyak cabang termasuk infraorbital, zygomatic, nasopalatine, alveolar superior,

7
faring dan nervus palatine yang lebih besar dan lebih kecil. Saraf maksilaris juga
berhubungan dengan ganglion pterygopalatine melalui dua batang kecil, saraf
pterygopalatine. Saraf ini menahan ganglion di dalam fosa pterygopalatine.9

Gambar 2. 7. Percabangan nervus trigeminal dan ganglion


pterygopalatina9

b. Ganglion Pterygopalatine
Ganglion pterygopalatine berada jauh di dalam fosa pterygopalatine di
dekat foramen sphenopalatine. Ini adalah ganglion parasimpatis terbesar yang
berhubungan dengan cabang saraf maksila (melalui cabang pterygopalatine) dan
sebagian besar diinervasi oleh cabang nervus tujuh (CNVII).9

8
Serabut parasimpatis postsynaptic meninggalkan ganglion dan
menyebarluaskan cabang-cabang saraf maksilaris (CNV2). Serabut ini bersifat
secretomotor dalam fungsi, dan memberikan inervasi parasimpatis ke kelenjar
lakrimal, dan kelenjar muscosal pada rongga mulut, hidung dan faring.9

Gambar 2. 8 Ganglion Pterygopalatina9

c. Arteri maxillary
Arteri maxillary adalah cabang terminal arteri karotis eksterna. Bagian
terminal arteri maxillary terletak di dalam fosa pterygopalatine. Di sini, ia
memisahkan diri menjadi beberapa cabang yang melakukan perjalanan melalui
foramen di dalam fossa untuk mencapai daerah yang mereka suplai.9
Cabang-cabang ini meliputi:
1.1. Arteri sphenopalatine (ke rongga hidung).
1.2. Arteri palatina desenden
1.3. Arteri infraorbital (kelenjar lakrimal, dan beberapa otot mata).
1.4. Arteri superior alveolar posterior (ke gigi dan gingiva).
Pada ujung terminal mereka, arteri sphenopalatine dan arteri palatine
beranastomose pada septum hidung.

9
Gambar 2. 9 Cabang arteri maxillary9

d. Foramen
Ada tujuh foramen yang menghubungkan fossa pterygopalatine dengan
orbit, rongga hidung dan mulut, fosa kranial media dan fosa infratemporal. foramen
tersebut mentransmisikan pembuluh darah dan saraf antar daerah tersebut.9
Fissura Pterygomaxillary
Fissura pterygomaxillary menghubungkan fosa infratemporal dengan fosa
pterygopalatina. Fissura Ini mentransmisikan dua struktur neurovaskular:
Saraf alveolar superior posterior - cabang saraf maksila. Keluar dari
celah ke dalam fosa infratemporal, di mana ia terus memasok molar
rahang atas.
Cabang termina dari arteri maxillary - memasuki fosa pterygopalatine
melalui fisura.
Foramen Rotundum
Foramen rotundum menghubungkan fossa pterygopalatina ke fossa
cranialis media. Ini adalah salah satu dari tiga foramen di batas posterior fosa
pterygopalatine. Ia menghubungkan struktur tunggal, saraf maksila.
Kanalis Pterygoid dan Pharyngeal
Kedua kanal ini, bersama dengan foramen rotundum, adalah tiga foramen
di dinding posterior fosa pterygopalatine:

10
Kanalis pterygoid - berjalan dari fosa kranial media dan melalui plate
pterygoid medial. Struktur tersebut membawa saraf, arteri dan vena
kanalis pterygoid.
Kanalis faring - berkomunikasi dengan rongga hidung. Struktur ini
membawa cabang faring saraf maksila dan arteri.
Fissura Orbitalis inferior
Fissura orbitalis inferior membentuk batas superior fosa pterygopalatine
dan berhubungan dengan orbita. Struktur Ini adalah ruang antara tulang
sphenoid dan maxilla. Cabang zygomatic saraf maksila dan arteri infraorbital
dan vena infraorbital melewati fissura orbital inferior.
Kanalis Palatina Mayor
Kanalis palatina mayor terletak pada batas inferior fosa pterygopalatine,
dan berhubungan dengan rongga mulut. Kanalis ini dibentuk oleh alur vertikal
di tulang palatine yang ditutup oleh artikulasi dengan maxilla. Kanalis
palatine mayor mentransmisikan arteri palatina desenden dan vena palatina
desenden, dan nervus palatina.
Foramen Sphenopalatina
Foramen ini adalah satu-satunya lubang di batas medial. Foramen Ini
menghubungkan fosa pterygopalatine ke rongga hidung - khususnya meatus
superior. Foramen sphenopalatina mentransmisikan arteri dan vena
sphenopalatina, serta saraf nasopalatina (cabang besar ganglion pterygopalatine
- CNV2).

2.3. Epidemiologi
Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang yang timbul di
nasofaring, yang merupakan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher, dengan
frekuensi satu diantara 5.000-60.000 pasien THT di Amerika Serikat. Meskipun
jarang, juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang paling sering
mengenai nasofaring. Tumor terjadi secara eksklusif pada laki-laki, sehingga
wanita dengan tumor ini harus menjalani tes genetik. Usia saat terkena umumnya
pada dekade kedua, antara 7-19 tahun, dan jarang terjadi pada usia lebih dari 25
tahun.2,11,12

11
2.4. Etiologi
Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah
satunya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik
angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor
ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab dari
tumor ini, bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue
yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini
dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah
masa remaja.3

2.5. Patogenesis
Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat
anyaman pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan
gumpalan sel serta terisi pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir.
Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi
orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang intrakranial.
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral
koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa
sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah
bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke
arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral
dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah
foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding
posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal yang
akan menimbulkan benjolan di pipi, dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor
mendorong salah satu atau kedua bola mata maka akan tampak gejala yang khas
pada wajah, yang akan disebut muka kodok . Perluasan ke intrakranial dapat
terjadi melalui fossa infratemporal dan pterigomaksila masuk ke fossa serebri
media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke
sinus kavernosus dan fossa hipofise.3

12
Gambar 1.10. Perjalanan penyebaran angiofibroma nasofaring

Beberapa literatur mengatakan adanya kemungkinan tumor tumbuh


dibawah pengaruh sirkulasi dan fluktuasi hormon seksual selama masa pubertas.
Pertumbuhan dari jaringan tumor berkaitan dengan over produksi dari estrogen dan
kurangnya produksi dari hormon androgen. Akumulasi -catenin yang merupakan
koaktifator dari androgen reseptor pada nukleus, menjelaskan mengapa tumor ini
banyak pada pasien dewasa muda, dan juga kadar hormon pada serum yang normal.
Disamping itu adanya dietilstilbestrol yang menurunkan potensial pertumbuhan
dari sel endotelial dan meningkatkan stimulasi dari jaringan fibrosa.13 Faktor
angiogenesis dan hormonal memang telah banyak menjadi subjek penelitian pada
ANJ, walaupun data yang tersedia tidak cukup banyak dan kurang representatif
serta mekanisme yang masih belum jelas.
Saylam dkk pada penelitiannya terhadap estrogen reseptor (ER),
progesteron reseptor (PR), proliferatingcell nuclear antigen (PCNA), vascular
endotelial growth factor (VEGF) dan transforming growth factor (TGF ) dengan
pemeriksaan imunohistokimia terhadap sediaan patologi anatomi. Dari 27
sampel hanya 2 yang positif terhadap ER, 9 kasus positif terhadap PR, semua
sampel mengandung PCNA, 24 kasus didapatkan VEGF, dan 14 dari 27 sampel
positif TGF-. Dari data ini didapatkan hasil bahwa estrogen dan progesteron tidak
memainkan peranan penting dalam terjadinya angiogenesis pada ANJ. PCNA,
VEGF, dan TGF dicurigai meningkatkan proses proliferasi dan angiogenesis.14
Lenny dkk pada penelitiannya terhadap gambaran ekspresi reseptor estrogen
pada ANB di RSCM, didapatkan kesimpulan hasil pemeriksaan histokimia

13
menunjukkan ekspresi ER- pada semua kasus. Dimana pada penelitian ini hasil
berdasarkan intensitas pewarnaan dan sel yang mengandung ER- . Berdasarkan
intensitas pewarnaan terhadap ER- didapatkan 18,5% mempunyai pewarnaan
yang kuat, 29,6% intensitas pewarnaan sedang dan 51,9% memiliki intensitas
pewarnaan yang lemah. Jika dilihat dari sel yang mengandung ER- didapatkan
hasil 3,7% masuk dalam kelompok jumlah sel yang positif mengandung ER- <
25%, tiga koma tujuh persen termasuk kelompok dengan jumlah sel 25-50% dan
92,6% termasuk kelompok dengan jumlah sel yang positif mengandung ER-
>50%.15
Schuon dkk menganalisa ekspresi dan distribusi subseluler pada beberapa
faktor angiogenesis dan reseptor yang potensial berperan terhadap pertumbuhan
tumor. Faktor angiogenesis antara lain transforming growth factor (TGF ), basic
fibroblast growth factor (bFGF), vascular endothelial growth factorreseptor
(VEGF-R 1-2) serta hypoxiainducible factor (HIF-1) didapatkan data yang
mendukung konsep bahwa pertumbuhan serta vaskularisasi pada ANB dipengaruhi
oleh faktor yang dilepaskan fibroblas pada stroma.16
Suplai darah angiofibroma bersifat ipsilateral. Arteri pemasok utama
biasanya berasal dari arteri maksilaris interna. Pada tumor yang lebih besar sumber
perdarahannya berasal dari arteri faringeal asenden, arteri palatina mayor, arteri
meningeal rekuren dan arteri oksipital. Sebagian besar arteri pemasok tumor ini
merupakan cabang dari arteri karotis eksterna. Bila tumor meluas ke fossa
infratemporal, akan mendapatkan perdarahan dari arteri temporalis superfisialis,
arteri fasialis eksterna dan pembuluh darah transfasial. Pada tumor yang tumbuh ke
intrakranial sumber perdarahan yang utama, didapatkan dari sistem a. karotis
interna. Bila tumor tumbuh melewati garis tengah biasanya perdarahan berasal dari
pembuluh darah karotis bilateral. Kesulitan utama dalam pembedahan tumor ini
adalah perdarahan hebat, yang dapat mencapai 2000-3000 cc dalam waktu yang
singkat. Perdarahan saat operasi dapat disebabkan karena hanya sebagian tumor
yang terangkat atau tumor sudah terdapat di intrakranial. Perdarahan hebat selain
mengganggu jalannya operasi sehingga sulit untuk melihat asal tumor, juga dapat
terjadi syok hipovolemik dan dapat mengakibatkan kematian.17

14
2.6. Manifestasi Klinis

Tumor ini terbatas pada usia prepubescent atau peri-pubescent. Penderita laki-laki
dengan tumor jarang ditemukan sebelum usia 8 dan setelah usia 25 tahun. ANJ pada
wanita paling tidak umum, dan jika ditemukan harus dilakukan evaluasi untuk
kelainan endokrin dan kadar serum androgen. Presentasi klinis biasanya disertai
penyumbatan hidung atau epistaksis berat berulang pada pria remaja. Klinis
bervariasi tergantung pada tingkat penyakit, tapi ekstensi ke dalam sphenoid dan
sinus lainnya, orbuta, fosa infratemporal dan fosa kranial tengah sering
asimptomatis. Bergantian, ekstensi semacam itu bisa terwujud dengan
pembengkakan pipi, proptosis atau kehilangan penglihatan. Sumbatan hidung bisa
berlanjut menyebabkan mendengkur dan gejala Obstructive Sleep
Apnea.18Keluhan lain berupa rinolalia, anosmia, sefalgia, tuli konduktif,
deformitas wajah, proptosis dan diplopia. Sumbatan ostium sinus dapat
menyebabkan sinusitis. Perluasan tumor ke orofaring menimbulkan disfagia, dan
dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Bila tumor masuk ke dalam fisura
orbitalis superior timbul proptosis, dan dapat disertai gangguan visus serta
deformitas wajah penderita. Dari nasofaring tumor dapat meluas ke fossa
pterigopalatina, lalu ke fossa infra temporal, kemudian menyusuri rahang atas
bagian belakang dan terus masuk ke jaringan lunak antara otot maseter dan
businator. Hal tersebut di atas akan menimbulkan pembengkakan pipi dan trismus.
Perluasan tumor ke rongga intra kranial akan menimbulkan gejala neurologis.19

2.7. Diagnosis

2.7.1. Computed Tomography

Computed tomography tetap merupakan pilihan awal pemeriksaan karena


dapat menunjukkan banyak tanda karakteristik radiologis, dan juga
menggambarkan tingkat perluasan dan kerusakan tulang. Lesi massa yang
meningkat pada nasofaring biasa terjadi tapi tidak invarian - terutama pada kasus
dengan kekambuhan.18CT scan berperan dalam follow-up setelah pembedahan
untuk mendeteksi sisa tumor, menilai ukuran setelah radioterapi atau menilai

15
pengecilan tumor.CT scan merupakan pemeriksaan sebelum operasi yang paling
penting karena dapat menunjukkan destruksi struktur tulang dan pelebaran
foramen dan fisura pada basis kranii akibat penyebaran tumor. Keterlibatan tulang
dan penyebaran tumor paling baik dilihat pada potongan aksial atau koronal irisan
tipis. CT scan aksial dan koronal dapat menggambarkan asal dan perluasan lesi.20
Karakteristik temuan pada CT, antara lain18:

Sebuah penonjolan ke anterior dari dinding posterior sinus maksilaris (Tanda


HolmanMiller)

Erosi lantai sinus sphenoid dan perluasan tumor dari nasofaring dan sinus
sphenoid.

Erosi dasar pterygoid

Karakteristik distribusi tumor dengan peningkatan yang bersifat lobulated dan


demarkasi tumor yang baik yang melibatkan fossa infratemporal, berkembang
melalui fisura orbital inferior, orbita posterior dan fisura orbital superior

Pelebaran foramen sphenopalatina, opasitas di sinus paranasal,, deviasi


septum nasi, dan perluasan intrakranial

Gambar 2.11. (a) Gambaran Holman Miller pada CT scan ANJ, (b) erosi dari kanal vidian 18

2.7.2. MRI

16
Pemindaian MRI menawarkan peningkatan delineasi jaringan lunak. Tumor
dapat memberikan tampilan "garam dan merica" dengan komponen fibrous tumor
terlihat berwarna putih, dan komponen vaskular angiomatous muncul sebagai void
aliran gelap. Tumor meningkat kuat dengan gadolinium dan ekstensi tumor yang
jelas dapat ditunjukkan. MRI sangat berguna untuk penilaian tumor intrakranial
yang berada di sekitar sinus kavernosus, serta untuk menindaklanjuti evaluasi
untuk tumor residu/rekuren.18

Gambar 2.12 MRI pada ANJ dengan tampakan salt and pepper 18

2.7.3.Angiografi

Angiografi adalah nilai diagnostik dengan gambaran khas tumor yang seperti
merona. Ini memberikan informasi tentang suplai vaskular utama dan
memungkinkan untuk embolisasi pra-operasi. Pasokan arterial utama pada tumor
ini adalah arteri maksilaris interna ipsilateral, sesekali pembuluh tambahan dari
arteri faringes naik, dan cabang dari ICA kavernosa atau kontra lateral karotid
eksternal.21

Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis akan memberikan gambaran yang


khas yaitu22 :

Pendorongan arteri maksila interna ke depan sebagai akibat pertumbuhan


tumor dari nasofaring ke arah fossa pterigomaksila.

17
Massa tumor terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai
maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikan. Pemeriksaan angiografi
bertujuan untuk melihat pembuluh darah pemasok utama, mengevaluasi besar
dan perluasan serta residu tumor. Suplai darah dapat dari kedua sisi leher.

Gambar 2.13 Arteri maxillaris interna mensuplai tumor dengan tampakan tumour blush 18

2.8. Stadium Tumor

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem

yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.3

Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut :

- Stage IA :Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring

- Stage IB :Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring

dengan perluasan ke satu sinus paranasal.

- Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.

- Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa


erosi ke tulang orbita.

18
- Stage IIIA :Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang
minimal.

- Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke


dalam sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch :

- Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa


destruksi tulang.

- Stage II : Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal


dengan destruksi tulang.

- Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau


daerah parasellar sampai sinus kavernosus.

- Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum


dan/atau fossa pituitary.

2.9. Penatalaksanaan

Terapi yang dapat dilakukan meliputi pembedahan, radiasi, krioterapi,


elektrokoagulasi, terapi hormonal, embolisasi, dan injeksi agen sklerosing.
Pembedahan merupakan penatalaksanaan yang dianjurkan dan paling banyak
diterima, tetapi terdapat risiko perdarahan yang besar akibat tingginya
vaskularisasi tumor, seringkali lebih besar dari 2.000 ml20, .Embolisasi preoperatif
direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi kehilangan darah
selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi komplikasi dan
meminimalkan residu tumor. Tujuannya adalah mengurangi suplai darah ke tumor,
dan hal ini akan efisien jika agen emboli dapat masuk ke pembuluh darah di
dalamtumor, yang paling baik dicapai dengan partikel berukuran kecil seperti
polivinil alkohol. Pemilihan ukuran partikel merupakan keseimbangan antara
keamanan dan efisiensi dan tergantung apakah posisi kateter dapat dicapai dengan
injeksi langsung agen emboli ke dalam tumor. Partikel kecil akan masuk lebih

19
dalam ke dalam tumor tetapi mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadi
nekrosis kulit dan kelumpuhan saraf kranial. Bahan yang paling sering digunakan
adalah polivinil alkohol atau gelfoam. Embolisasi dapat mengurangi 60- 70%
perdarahan intraoperatif. Pembedahan dilakukan 2-5 hari setelah embolisasi.23

2.9.1. Pembedahan

Pembedahan membutuhkan perencanaan yang tepat. Pertimbangan juga diberikan


untuk penyusutan tumor pra tindakan dengan terapi anti androgen, dan untuk
devaskularisasi tumor oleh emboliasi tumor.

Pra tindakan untuk pengurangan volume tumor dengan anti androgen: Pengobatan
estrogen pada awalnya diajukan di pertengahan abad ke-20 namun secara bertahap
ditinggalkan bersama feminitas jaminan yang jelas dan tidak ada bukti
kemanjuran yang jelas. Ketersediaan antiandrogen generasi sekarang dengan efek
sampingnya terbatas telah menbawa untuk evaluasi ulang pengobatan
anti-androgen sebagai ajuvan. Untuk perawatan bedah flutamida, androgen non
steroid antagonis, menyebabkan resistansi reseptor situs kompetitif testosteron
dan dihydotestosterone, namun dengan peningkatan tingkat serum yang sama dan
tidak ada penekanan libido. Studi menunjukkan bahwa flutamide 6 minggu (10mg
/ kg / hari) adalah terbukti berkhasiat dalam mengurangi volume tumor (rata-rata
pengurangan 16,5%, maksimal 40%), dan juga aman. Namun kemanjuran terbatas
pada pasien pasca pubertas, dan pengobatan tidak efektif pada pasien pra
pubertas.18

Shciff mengemukakan suatu trilogi terjadinya tumor ini. Pertama tumor ini
terjadi oleh karena ketidakseimbangan androgen-estrogen. Kedua, aktivitas
berlebihan dari kelenjar hipotalamus, dan ketiga, respon yang berlebihan dari
jaringan pembuluh darah tersebut. Schiff memberikan estrogen pada angiofibroma
nasofaring selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan pembedahan untuk
pengangkatan tumor. Hasil dari tindakan tersebut adalah berupa perdarahan yang
lebih sedikit dibandingkan dengan tidak diberikan estrogen sebelumnya. Estrogen
memberikan efek pematangan jaringan fibrosa dan pembuluh darah.19

20
Terapi hormonal pada angiofibroma nasofaring bertujuan untuk mengecilkan
masa tumor dan mengurangi perdarahan. Pemberian estrogen dapat meningkatkan
maturasi kolagen dan mengurangi pembuluh darah dari tumor, sehingga
perdarahan berkurang dan tumor mengecil. Estrogen dapat menimbulkan efek
samping berupa penurunan kadar testosteron plasma, atrofi testis dan
ginekomastia pada anak laki-laki. Harison, Walike dan Mackay memberikan
dietilstilbestrol selama 30 hari. Terlihat peningkatan jaringan ikat fibrosa dan
penurunan dari jumlah pembuluh darah. Dosis terapi yang dianjurkan tidak lebih
dari 15 mg/hari selama satu bulan dan dosis maksimal yang pernah diberikan
adalah 3.000 mg.24

2.9.2. Eksisi Bedah:

Berbagai pendekatan bedah telah diusulkan Pilihan pendekatan bedah tergantung


pada usia pasien, tingkat penyakit, tahap pembedahan (Primer / revisi),
vaskularitas, efektifitas emboliasi dan pengalaman ahli bedah. Terlepas dari
pendekatan bedah yang dipilih, prinsip pasti intraoperatif dasar eksisi tumor
berlaku untuk semua. Ini termasuk i) paparan yang luas, ii) diseksi lateral ke
medial, iii) ligasi arteri maksilaris internal sebelum pengambilan tumor, iv)
reseksi en-blok tanpa pelanggaran kapsul tumor, dan v) pengeboran saluran vidian
proksimal dan dasar dari pterygoid sehingga dapat menghilangkan kemungkinan
penyakit residual di sekitarnya. Strategi intraoperatif untuk mengurangi
kehilangan darah meliputi Elevasi ujung kepala, anestesi hipotensif, pembedahan
sub periosteal , kauterisasi mukosa di atas dan penggunaan sel saver24 (untuk
ekstensi sinus kavernosa).18

Spector mengemukakan pilihan operasi secara transpalatal pada tumor yang


terbatas di nasofaring, hidung dan sinus sfenoid. Untuk tumor yang meluas ke
lateral melalui fisura pterigomaksila, dapat dikombinasikan pendekatan
Caldwel-Luc dan transpalatal. Bila tumor meluas ke pipi, sinus maksila dan fosa
pterigomaksila dilakukan operasi kombinasi transpalatal dan transantral atau
transbukal. Operasi kombinasi transpalatal dan rinotomi lateral dilakukan bila

21
perluasannya kearah sinus etmoid dan retro orbita. Bila tumor meluas ke fossa
infra temporal bagian anterior dilakukan operasi kombinasi peningkapan dan
labiomandibulotomi medial. Bila tumor meluas ke fossa infra temporalis bagian
inferior (pipi, dasar tengkorak dan rongga parafaring) dilakukan operasi
kombinasi transpalatal dan transmandibula anterior. Pada tumor yang meluas ke
intrakranial, dilakukan operasi kombinasi transpalatal dan kraniotomi
frontotemporal.25

Spector menganjurkan untuk melakukan ekstirpasi melalui25 :

Faringotomi suprahioid untuk tumor yang terbatas di nasofaring dan atau


rongga hidung.

Peningkapan bila tumor telah meluas ke sinus sfenoid, etmoid dan


maksila, fossa pterigomaksila dan infratemporal, pipi, rongga mata dan
palatum.

Operasi kombinasi peningkapan dan kraniotomi frontotemporal bila


tumor telah meluas ke intrakranial. Bila tumor mengenai sinus
kavernosus, kiasma optik atau kelenjar hipofisis, maka eksisi tumor akan
sangat membahayakan. Pada keadaan ini dianjurkan untuk melakukan
reseksi partial dan sisa tumor diberikan radioterapi dan atau terapi
hormonal.

2.9.3. Radioterapi

Meski radiasi telah dilaporkan efektif bagi ANJ, pandangan umum hal itu
tidak sepenuhnya cocok untuk tumor jinak pada populasi remaja. Potensi
komplikasi jangka panjang telah membatasi penggunaaan terapi radiasi -
komplikasi yang dilaporkan meliputi transformasi ganas, karsinoma tiroid,
sarkoma tulang dan jaringan lunak, karsinoma sel basal, hipopituitarisme, katarak,
atrofi saraf optik, osteoradionekrosis, osteomielitis dasar tengkorak, dan retardasi
pertumbuhan wajah. Radiasi bagaimanapun dapat digunakan sebagai terapi primer
untuk lesi yang berat dan tidak dapat diobati, dan juga telah digunakan untuk

22
tumor rekuren / sisa. Sedang radiasi 3000-3500 rad di atas fraksinasi konvensional
dilaporkan dapat mengendalikan perkembangan tumor dan gejala sampai 80%.
Regresi tumor menjadi lambat selama berbulan-bulan, dan sekitar 10-63% kasus
yang ditangani terutama dengan radioterapi terus menunjukkan massa yang
terlihat secara radiologis pada periode pemantauan. Tumor non-progresif pada
individu tanpa gejala (post radioterapi) biasanya tidak memerlukan perawatan
lebih lanjut.18

2.9.4. Sitostatika

Geopfert pertama kali memberikan sitostatika terhadap 5 kasus angiofibroma


nasofaring yang mengalami residif dengan memberikan kombinasi deksorubisin
dan dekarbasin atau kombinasi vinkristin, daktinomisin dan siklofosfamid. Hasil
yang diperoleh ternyata cukup memuaskan dan tumor mengalami regresi secara
perlahan-lahan, tanpa menimbulkan komplikasi. Sitostatika diberikan pada tumor
rekuren yang besar, pasca tindakan pembedahan, tumor dengan pertumbuhan
intrakranial dan tumor yang mendapat perdarahan utama dari pembuluh darah
intrakranial. Obat yang diberikan antara lain doksorubisin dan dacarbazine atau
kombinasi vinkristin, daktinomisin dan siklofosfamid.26

2.10. Prognosis

Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan


pambedahan dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi
pada pasien dengan usia yang lebih tua. Pada kasus yang lain, terutama pada pasien
berusia lebih muda, tumor jenis ini dapat berkembang menjadi degenerasi yang
ganas dan memiliki prognosisyang buruk.3

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Nicolai P, Schreiber A, Bolzoni Villaret A. Juvenile angiofibroma: evolution


of management. International journal of pediatrics. 2011 Nov 17;2012.

2. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenil Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J


Gen Med. 2010;7(4): 419-25

3. Roezin A. Dharmabaktio S. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Soepardi


AIN, editors: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007:188-190.

4. Asroel HA. 2002. Angiofibroma Nasofaring Belia, http://library.usu.ac.id,


diakses tanggal 26 Agustus 2017.

5. Mansfield E. 2006. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from :


http:/www.emedicine.com/med/topic 2758.htm.

6. Pradhana D. 2009. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Referat


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti. Jakarta.

7. Adam G. Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : EffendiH, Santoso


K, editors Boeis. Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: EGC,2002:322-346

8. Sutton D, Gregson RHS. Arteriography and Interventional Angiography. In:


Sutton D.Textbook of Radiology and Imaging. 7th ed. Churchill Livingstone.
2008 : 1544-83

9. Sanders, K. (2017, Maret 3). The Pterygopalatine fossa.


http://teachmeanatomy.info/head/pterygopalatine-fossa/. Diakses 27 Agustus
2017

10. Ryan S, McNicholas M, Eustace S. Anatomy for Diagnostic Imaging. 2nd ed.
Elsevier;2004

24
11. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. 2013. Diunduh
darihttp://emedicine.medscape.com Agustus 26, 2017

12. Davis RK. Embolization of Epistaxis and Juvenile Nasopharyngeal


Angiofibroma.AJR. 1987;148: 209-18

13. Moneag AG, Tretiakova M, Rivhardson M. Steroid hormone reseptor


expression in Nasopharyngeal Angiofibromas. Am J Clin Pathol. 2006; 125:
832- 7.

14. Saylam G, Yucel OT, Sungur A, Onerci. Proliferation, Angigenesis and


Hormonal Markers in Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. International
Journal of Pediatric Otorhinolaryngology. 2006; 70: 227-34.

15. Lenny, Adham M, Musa Z, Lisnawati, Bardosono S. Gambaran Ekspresi


Reseptor Estrogen pada Angiofibroma Nasofaring Belia dengan
Menggunakan Pemeriksaan Histokimia. Otorhinolaryngologica Indonesiana.
Vol 41, No 1 (2011): Januari-Juni 2011

16. Schuon R, Brieger J, Heinrich UR, Roth Y, Szyfter W, Mann WJ.


Immunohistochemical analysis of growth mechanisms in juvenile
nasopharyngeal angiofibroma. European archives of oto-rhino-laryngology.
2007 Apr 1;264(4):389-94.

17. Harison DFN. The natural history, pathogenesis and treatment of juvenile
angiofibroma. Arch Otolaryngol Head and Neck Surg 1978;113;936-42

18. Thakar, A., Gupta, G., Bhalla, A. S., Jain, V., Sharma, S. C., Sharma, R., ... &
Deka, R. C. (2011). Adjuvant therapy with flutamide for presurgical volume
reduction in juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Head & neck, 33(12),
1747-1753.

19. Firdaus MA, Rahman S, Asyari A. Penatalaksanaan Angiofibroma


Nasofaring Juvenil Dengan Pendekatan Transpalatal. 2014.

25
20. Naz NA, Ahmed ZE, Shaikh SM, Marfani MS. Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma Role of Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence.
Pakistan Journal of Surgery. 2009;25(3):185-9.

21. Siniluoto TM, Luotonen JP, Tikkakoski TA, Leinonen AS, Jokinen KE.
Value of pre-operative embolization in surgery for nasopharyngeal
angiofibroma. The Journal of Laryngology & Otology. 1993
Jun;107(6):514-21.

22. Lloyd, G., Howard, D., Phelps, P. and Cheesman, A., 1999. Juvenile
angiofibroma: the lessons of 20 years of modern imaging. The Journal of
Laryngology & Otology, 113(2), pp.127-134.

23. Kania RE, Sauvaget E, Guichard JP, Chapot R, Huy PT, Herman P. Early
postoperative CT scanning for juvenile nasopharyngeal angiofibroma:
detection of residual disease. American journal of neuroradiology. 2005 Jan
1;26(1):82-8.

24. Lee KJ. The nose and paranasal sinuses. In Essensial Otolaryngology: Head
and Neck Surgery;2003, 8:708-9

25. Spector JG. Management of juvenile angiofibromata. The Laryngoscope.


1988 Sep 1;98(9):1016-26.

26. Goepfert, H., Cangir, A. and Lee, Y.Y., 1985. Chemotherapy for aggressive
juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Archives of Otolaryngology, 111(5),
pp.285-289.

26

Anda mungkin juga menyukai