Anda di halaman 1dari 27

TEORI PEMBELAJARAN MATEMATIKA

DISUSUN
OLEH:

KELOMPOK 1
KELAS B -2 / SEMESTER 1
ERWINA RAHMAWATI LUBIS
HANIFAN NURSYAH FITRI SIREGAR
NISYA

Mata Kuliah:
METODOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Dosen Pengampuh:
Dr. E. ELVIS NAPITUPULU, MS.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2017
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Teori Belajar Thorndike
B. Teori Belajar Skinner
C. Teori Belajar Ausubel
D. Teori Belajar Gagne
E. Teori Belajar Pavlov
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola-pola kelakuan manusia
menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat. Pendidikan bertujuan untuk
membekali setiap anak agar masing-masing dapat maju dalam hidupnya mencapai
tingkat yang setinggi-tingginya.
Tidak dapat dipungkiri dalam pendidikan terutama dalam belajar selalu hadir
masalah-masalah yang harus diselesaikan dengan baik agar tujuan pembelajaran dapat
tercapai. Dan selanjutnya mencari bagaimana solusi yang dilakukan agar masalah
dalam belajar dapat dihindari serta memaksimalkan pembelajaran yang bermakna.
Yang harus dipikirkan tidak hanya mengenai materi belajar akan tetapi bagaimana
kondisi seseorang belajar. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan salah satu usaha yang dilakukan adalah memahami bagaimana seseorang
belajar.
Teori belajar selalu bertolak dari sudut pandang psikologi belajar tertentu.
Dengan perkembangan psikologi dalam pendidikan maka bersamaan dengan itu
bermunculan pula berbagai teori tentang belajar. Banyak ahli yang membahas dan
menghasilkan berbagai teori tentang belajar. Dalam hal ini tidak dipertentangkan
kebanaran setiap teori yang dihasilkan tetapi yang lebih penting bagaimana teori
tersebut digunakan dalam praktik pembelajaran.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori pembelajaran menurut Thorndike?
2. Bagaimana teori pembelajaran menurut Skinner?
3. Bagaimana teori pembelajaran menurut Ausubel?
4. Bagaimana teori pembelajaran menurut Gagne?
5. Bagaimana teori pembelajaran menurut Pavlov?
C. Tujuan
1. Untuk megetahui teori belajar menurut Thorndike
2. Untuk megetahui teori belajar menurut Skinner
3. Untuk megetahui teori belajar menurut Ausubel
4. Untuk megetahui teori belajar menurut Gagne
5. Untuk megetahui teori belajar menurut Pavlov
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Belajar Thorndike


a. Biografi Thorndike
Edward Lee Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang
berkebangsaan Amerika. Beliau lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari
Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang
ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and Social Measurements
(1904), Animal Intelligence, an Experimental Study of Sssociationprocess in Aminal
(1911), Ateachers Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The
Social Order (1940).
b. Teori Belajar Thorndike
Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat didominasi oleh
pengaruh dari Thorndike (1874-1949) yang teori belajarnya disebut Connectionism
karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antar stimulus dan respon
yang sering disebut dengan teori trial and error. Stimulus adalah suatu perubahan dari
lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi
atau berbuat sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena
adanya perangsang.
Diketahui bahwa agar tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya
kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-
percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar
dari belajar adalah trial and error learning atau selecting and connecting learning
dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang
dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau
teori asosiasi.
Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan kucing untuk mengetahui fenomena
belajar. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan ke dalam sangkar (puzzle box)
yang pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar
tersebut tersentuh dan terdapat makanan yang tersedia di luar puzzle box sebagai daya
penarik bagi kucing tersebut. Percobaan Thorndike inilah yang menghasilkan teori trial
and erroryaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah.
Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap respons menimbulkan stimulus
yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan respons lagi, demikian
selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing
berusaha untuk mencapainya. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop,
maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makanan.
Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12
kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar
diletakkan makanan.
Objek penelitian di hadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan
membiarkan objek melakukan berbagai aktivitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini
objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam
membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.
Ciri-ciri belajar dengan trial and error:
1. Ada motif pendorong aktivitas
2. Ada berbagai respon terhadap situasi
3. Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah
4. Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai respon yang paling tepat
c. Hukum-hukum Belajar Thorndike
Adward Lee Thorndike menyusun hukum-hukum belajar sebagai berikut:
1) Hukum Hukum Primer, ditemukan sekitar tahun 1930-an yang terdiri dari:
a) Law of readiness, artinya bahwa kesiapan untuk bertindak itu timbul, karena
penyesuaian diri dengan alam sekitarnya, yang akan memberi kepuasan.
Apabila tidak memenuhi kesiapan bertindak, maka tidak akan memberi
kepuasan.
b) Law of exercise, artinya pengaruh-pengaruh dari latihan. Maksudnya bahwa
suatu hubungan menjadi kuat apabila sering berlatih dan hubungan menjadi
lemah atau hilang, apabila kurang atau tidak ada latihan.
c) Law of effect, artinya bahwa kelakuan yang dilakukan dengan pengalaman yang
memuaskan, cenderung ingin diulangi lagi, sedangkan yang tidak
mendatangkan kepuasan cenderung dilupakan.
2) Hukum-Hukum Sekunder, terdiri dari:
a) Law of multiple response, artinya bermacam-macam usaha coba-coba dalam
menghadapi situasi yang kompleks (problematis), maka salah satu dari
percobaan itu akan berhasil juga. Maka, hukum ini disebut pula trial and
error.
b) Law of assimilation, artinya orang dapat menyesuaikan diri pada situasi baru,
asal situasi tersebut ada unsur-unsur yang bersamaan.
c) Law of partial activity, artinya seorang dapat bereaksi secara selektif terhadap
kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu.
d) Law of associative shifting, yaitu sikap respon yang telah dimiliki individu
dapat melekat stimulus baru.
e) Law of respons by analogy, yaitu individu cenderung mempunyai reaksi yang
sama terhadap situasi baru.
d. Prinsip-Prinsip Belajar Thorndike
1) Pada saat seseorang berhadapan dengan situasi yang baru, berbagai respon yang ia
lakukan. Adapun respon-respon tiap-tiap individu berbeda-beda tidak sama
walaupun menghadapi situasi yang sama hingga akhirnya tiap individu
mendapatkan respon atau tindakan yang cocok dan memuaskan.
2) Dalam diri setiap orang sebenarnya sudah tertanam potensi untuk mengadakan
seleksi terhadap unsur-unsur yang penting dan kurang penting, hingga akhirnya
menemukan respon yang tepat.
3) Orang cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama.
4) Orang cenderung menghubungkan respon yang ia kuasai dengan situasi tertentu
saat menyadari bahwa respon yang ia kuasai dengan situasi tersebut mempunyai
hubungan.
5) Manakala suatu respon cocok dengan situasinya relatiflebih mudah untuk
dipelajari.
e. Penerapan Teori Thorndike
1) Guru harus tau apa yang akan diajarkan, materi apa yang harus diberikan, respon
apa yang diharapkan, kapan harus memberi hadiah atau membenarkan respon.
Oleh karena itu tujuan pendidikan harus dirumuskan dengan jelas.
2) Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik dan
terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut
bermacam-macam situasi.
3) Agar peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari
yang sederhana sampai yang kompleks.
4) Pelajaran yang sulit yang melebihi kemampuan anak tidak akan meningkatkan
kemampuan penalarannya.
5) Materi pelajaran harus bermanfaat bagi peserta didik untuk kehidupan dalam
masyarakat.

B. Teori Belajar Pavlov


a. Biografi Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov dilahirkan di Rjasan, Rusia pada tanggal 18 September 1849,
dan wafat di Leningrad pada tanggal 27 Pebruari 1936. Ayahnya yang seorang pendeta,
menginginkan Pavlov mengikuti jejaknya. Tetapi Pavlov merasa tidak cocok menjadi
pendeta, dan lebih memilih memasuki fakultas kedokteran dan mengambil spesialisasi
bidang fisiologi. Dengan begitu, pada awalnya Pavlov bukanlah sarjana psikologi.
Eksperimen Pavlov dibidang psikologi dimulai ketika ia melakukan studi tentang
pencernaan anjing. Dalam percobaan tersebut, ia menemukanbahwa subyek penelitiannya
akan mengeluarkan air liur ketikamelihat makanan. Selanjutnya ia mengembangkan dan
mengeksplorasi penemuannya dengan mengembangkan studiperilaku (behavior study)
yang dikondisikan, yang kemudiandikenal dengan classical conditioning. Hasil karya
ini sampai menghantarkannya menerima hadiah Nobel pada tahun 1904.Teori itu
kemudian menjadi landasan perkembangan aliranpsikologi behaviorisme, sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagipengembangan teori-teori tentang belajar (Sumadi
Suryabrata,edisi V, 1990: 280)

b. Teori Belajar Pavlov


Dalam tahun-tahun terakhir dari abad ke-19 dan tahun-tahun permulaan abad ke-20,
Pavlov dan kawan-kawan mempelajari proses pencernaan dalam anjing. Selama
penelitian mereka para ahli ini memperhatikan perubahan dalam waktu dan kecepatan
pengeluaran air liur. Dalam eksperimen-eksperimen ini Pavlov dan kawan-kawannya
menunjukkan, bagaimana belajar dapat mempengaruhi perilaku yang selama ini disangka
refleksif dan tidak dapat dikendalikan.
Pavlov menyatakan bahwa perkembangan itu pada hakikatnya merupakan kumpulan
dari sejumlah refleks yang karena sudah terlatih sedemikian rupa hingga akhirnya
membentuk tingkah laku seseorang yang bersifat konstan atau bisa diartikan sebagai
gerak konstan yang bersifat otomatis. Inilah yang menurutnya disebut sebagai refleks
wajar yang masih murni, yang asli yang dibawa sejak lahir. Setelah mendapat latihan dan
pembiasaan, lalu disebut refleks bersyarat. Jadi menurutnya, perkembangan merupakan
proses terbentuknya refleks wajar menjadi refleks bersyarat.1
Untuk memahami eksperimen-eksperimen Pavlov perlu terlebih dahulu dipahami beberapa
pengertian pokok yang biasa digunakan dalam teori Pavlov sebagai unsur dalam eksperimennya.
1. Perangsang tak bersyarat (perangsang alami = perangsang wajar = Unconditioned
Stimulus (US)), yaitu perangsang yang memang secara alami, secara wajar, dapat
menimbulkan respon pada organisme, misalnya makanan yang dapat menimbulkan
keluarnya air liur pada anjing.
2. Perangsang bersyarat (perangsang tak alami = perangsang tidak wajar = Conditioned
Stimulus (CS)), yaitu perangsang yang secara alami, tidak menimbulkan respon,
misalnya bunyi bel, melihat piring, mendengar langkah orang yang biasa memberi
makanan.
3. Respon tak bersyarat (respon alami = respon wajar = Unconditioned Response (UR)),
yaitu respons yang ditimbulkan oleh perangsang tak bersyarat (Unconditioned
Stimulus = UR).
4. Respon bersyarat (respon tak wajar = Conditioned Response (CR)), yaitu respons
yang ditimbulkan oleh perangsang bersyarat (Conditioned Stimulus= CS),

Adapun langkah-langkah eksperimen yang dilakukan Pavlov sebagai berikut:


1. Anjing dioperasi kelenjar ludahnya sedemikian rupa sehingga memungkinkan
penyelidik mengukur dengan teliti air ludah yang keluar dengan pipa sebagai respons
terhadap perangsang makanan (berupa serbuk daging) yang disodorkan ke mulutnya.
Setelah diulang beberapa kali, akhirnya diketahui bahwa air liur sudah keluar sebelum
makanan sampai ke mulut. Artinya, air liur telah keluar saat anjing melihat piring
tempat makanan, melihat orang yang biasa memberi makanan bahkan saat mendengar
langkah orang yang biasa memberi makanan.
2. Dalam usahanya memahami fungsi otak, Pavlov mengulangi eksperimen seperti di
atas dengan berbagai variasi. Anjing dibiarkan lapar, Paplov membunyikan metronom
dan anjing mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Variasi lain dilakukuan
dengan menyalakan lampu dalam kamar gelap dan anjing memperhatikan lampu

1
Prof. Dr. H. Baharuddin,M.Pd.I, Pendidikan dan Psikkologi Perkembangan, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta:2014, h.
75
menyala. Setelah metronom berbunyi atau lampu menyala selama 30 detik, makanan
(serbuk daging) diberikan dan terjadilah refleks pengeluaran air liur.Setelah diulang
32 kali, bunyi metronom atau nyala lampu selama 30 detik dapat menyebabkan
keluarnya air liur dan semakin bertambah deras jika makanan diberikan.
Dalam eksperimen kedua di atas, ada beberapa hal yang bisa diterangkan:
a. Bunyi metronom atau nyala lampu merupakan Conditioning Stimulus (CS) dan
makanan merupakan Unconditioning Stimulus (US).
b. Keluarnya air liur karena bunyi metronom atau nyala lampu merupakan
Conditioning Refleks (CR) dan keluarnya air liur karena ada makanan merupakan
Unconditioning Refleks (UR).
c. Makanan yang diberikan setelah air liur disebut Reinforcer (pengaruh) yang
memperkuat refleks bersyarat dan memberikan respons lebih kuat dibandingkan
dengan refleks bersyarat.
3. Eksperimen-eksperimen selanjutnya menyimpulkan bahwa refleks bersyarat yang
telah terbentuk dapat hilang jika perangsang atau signal yang membentuknya telah
hilang. Hal ini dapat disebabkan perangsang atau signal yang selama ini dikenal telah
dilupakan atau tidak pernah digunakan kembali. Refleks bersyarat dapat dihilangkan
dengan melakukan persyaratan kembali (reconditioning).
Dari hasil eksperimen-eksperimen yang dilakukan dengan anjing itu Pavlov
berkesimpulan bahwa gerakangerakan refleks itu dapat dipelajari dapat berubah karena
mendapat latihan. Sehingga dengan demikian dapat dibedakan dua macam refleks, yaitu
refleks wajar (unconditioned refleks) dan refleks bersyarat/refleks yang dipelajari
(conditioned refleks)
c. Hukum Hukum Belajar Pavlov
Pavlov akhirnya menemukan beberapa hukum pengkondisian, antara lain:
1. Kepunahan/Penghapusan(extinction). Penghapusan berlaku apabila rangsangan
terlazim tidak diikuti dengan rangsangan tak terlazim, lama-kelamaan
individu/organisme itu tidak akan bertindak balas. Setelah respons itu terbentuk, maka
respons itu akan tetap ada selama masih diberikan rangsangan bersyaratnya dan
dipasangkan dengan rangsangan tak bersyarat. Kalau rangsangan bersyarat diberikan
untuk beberapa lama, maka respons bersyarat lalu tidak mempunyai penguatan dan
besar kemungkinan respons bersyarat itu akan menurun jumlah pemunculannya dan
akan semakin sering tak terlihat seperti penelitian sebelumnya. Peristiwa itulah yang
disebut dengan pemadaman (extinction). Beberapa respons bersyarat akan hilang
secara perlahan-lahan atau hilang sama sekali untuk selamanya.
2. Generalisasi Stimulus (stimulus generalization). Rangsangan yang sama akan
menghasilkan tindak balas yang sama. Pavlov menggunakan bunyi loceng yang
berlainan nada, tetapi anjing masih mengeluarkan air liur. Ini menunjukkan bahwa
organisme telah terlazim, dengan dikemukakan sesuatu rangsangan tak terlazim akan
menghasilkan gerak balas terlazim (air liur) walaupun rangsangan itu berlainan atau
hampir sama.
3. Pemilahan (discrimination). Diskriminasi yang dikondisikan ditimbulkan melalui
penguatan dan pemadaman yang selektif. Diskriminasi berlaku apabila individu
berkenaan dapat membedakan atau mendiskriminasi antara rangsangan yang
dikemukakan dan memilih untuk tidak bertindak atau bergerak balas.
d. Prinsip-Prinsip Teori Belajar Classical Conditioning Paplov
Prinsip-prinsip belajar menurut Classical Conditioning dapat diringkaskan sebagai
berikut:
1. Belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan/mempertautkan
antara perangsang (stimulus) yang lebih kuat dengan perangsang yang lebih lemah.
2. Proses belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan.
3. Belajar adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme.
4. Setiap perangsang akan menimbulkan aktivitas otak US dan CS akan menimbulkan
aktivitas otak. Aktivitas yang ditimbulkan US lebih dominan daripada yang
ditimbulkan CS. Oleh karena itu US dan CS harus di pasang bersama-sama, yang
lama kelamaan akan terjadi hubungan. Dengan adanya hubungan, maka CS akan
mengaktifkan pusaat CS di otak dan selanjutnya akan mengaktifkan US. Dan akhirnya
organisme membuat respon terhadap CS yang tadinya secara wajar dihubungkan
dengan US.
5. Semua aktifitas susunan syaraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibisi. Setiap peristiwa
di lingkungan organisme akan dipengaruhi oleh dua hal tersebut, yang pola tersebut
oleh Pavlov disebut Cortical Mosaic. Dan pola ini akan mempengaruhi respons
organisme terhadap lingkungan. Namun demikian Pavlov juga menyadari bahwa
tingkah laku manusia lebih komplek dari binatang, karena manusia mempunyai
bahasa dan hal ini akan mempengaruhi tingkah laku manusia.
e. Penerapan Teori Belajar Classical Conditioning
Pengaruh keadaan klasik membantu menjelaskan banyak pelajaran di mana satu
stimulus diganti/ digantikan untuk yang lain. Satu contoh yang penting tentang proses ini
adalah pelajaran atraksi emosional dan ketakutan. Situasi ini memberikan pengaruh
ketakutan bila stimulus tidak netral:
Guru Sorak ( UCS) Perhatian dan ketakutan anak ( UCR)
Polisi mendorong dengan penuh ancaman (UCS) Perhatian dan Ketakutan
masyarakat (UCR)
Perawat memberi suntikan (UCS) Perhatian dan ketakutan pasien (UCR)
Manapun stimulus netral yang berulang-kali terjadi bersama-sama dengan stimuli ini
cenderung untuk dikondisikan (C) ke ketakutan sebagai respon. Tetapi tanggapan positif
dapat dibangun secara sederhana untuk mengkondisikan stimulus. Jika seorang guru memuji
seorang siswa maka akan menimbulkan hal positif baginya, bahkan ketika dia tidak lagi
dipuji. Pada akhirnya, proses ini dapat membangun hubungan baik di kelas. Penggantian
stimulus dapat membantu bahkan pada pelajaran tertentu yang tidak berisi unsur perasaan.
Pengaruh tersebut tidak memerlukan refleks sebagai titik awal.
Dalam praktek pendidikan mungkin bisa kita temukan seperti lonceng berbunyi
mengisyaratkan belajar dimulai dan atau pelajaran berakhir. Pertanyaan guru diikuti oleh
angkatan tangan siswa, suatu pertanda siswa dapat menjawabnya. Kondisi-kondisi tersebut
diciptakan untuk memanggil suatu respon atau tanggapan ahli pendidikan lain juga
menyarankan bahwa panduan belajar dengan mengkombinasikan gambar dan kata-kata
dalam mempelajari bahasa, akan sangat berguna dalam mengajar perbendaharaan kata-kata.
Memasangkan kata-kata dalam bahasa Inggris dengan kata-kata bahasa lainnya akan
membantu para siswa dalam membuat perbendaharaan kata dalam bahasa asing.

C. Teori Belajar Skinner


Asas pengkondisian B.F Skinner dimulai awal tahun 1930-an, pada waktu keluarnya teori
S-R. Pada waktu keluarnya teori-teori S-R. pada waktu itu model kondisian klasik dari
Pavlov telah memberikan pengaruh yang kuat pada pelaksanaan penelitian. Istilah-istilah
seperti cues (pengisyratan), purposive behavior (tingkah laku purposive) dan drive stimuli
(stimulus dorongan) dikemukakan untuk menunjukkan daya suatu stimulus untuk
memunculkan atau memicu suatu respon tertentu.
Para ahli behaviorisme menyadari bahwa manusia memiliki pikiran dan perasaan.
Namun, memandang pikiran dan perasaan sebagai perilaku yang juga disebabkan oleh
lingkungan. Ahli behaviorisme B.F Skinner menyaakan tesis ini dengan sangat jelas :
Kita dapat menentukan pola yang ditentukan oleh fisika dan biologi dengan cara
beralih secara langsung pada hubungan antara perilaku dan lingkungan serta menolak
kondisi-kondisi lain. Fisika tidak berkembang secara melihat asal dari kekuatan vital, dan
tidak perlu mengungkap kepribadian, kondisi pikiran, perasaan, sifat, karakter, rncana-
rencana, tujuan-tujuan, atau niat-niat secara berurutan untuk memahami analisis perilaku.2
Skinner tidak sependapat dengan pandangan S-R dan penjelasan refleks bersyarat
dimana stimulus terus memiliki sifat-sifat kekuatan yang tidak mengendur. Menurut
Skinner penjelasan S-R tentang terjadinya perubahan tingkah laku tidak lengkap untuk
menjelaskan bagaimana organisme berinteraksi dengan lingkungannya. Bukan begitu,
banyak tingkah laku menghasilkan perubahan atau konsekuensi pada lingkungan yang
mempunyai pengaruh terhadap organisme dan dengan begitu mengubah kemungkinan
organisme itu merespon nanti atau sama dengan perkiraan berurutan (successive
approximations). Melalui proses bertahap, seseorang memperkuat perilaku kompleks
yangg semakin meningkat yang memperkirakan, pada drajat yang makin tinggi, perilaku
yang diharapkan. Skinner tidak mengusulkan prinsip perkembangan apapun selain prinsip
pengkondisian operant. Bagi skinner prinsip perkembangan anak, mereka akann makin
banyak mempelajar respon-respon sebagai akibat dari pengalaman penguatan yang terjadi
secara alamiah. Prosedur yang paling efektif, mnurut skinner adalah dengan memperkuat
perilaku baik sesegara mungkin setelah perilaku itu terjadi.3
Menurut Skinner, perilaku yang kompleks merupakan hasil dari suatu proses yang
dikenal sebagai penajaman (shapping)
Skinner menghindari kontradiksi yang ditampilkan oleh model kondisioning klasik
dari Pavlov dan kondisioning instrumental dari Thorndike. Ia mengajukan suatu
paradigma yang mencakup kedua jenis respon itu dan berlanjut dengan mengupas
kondisi-kondisi yang bertanggung jawab atas munculnya respons atau tingkah laku
operan.Inti dari teori behaviorisme Skinner adalah pengkondisian operan (kondisioning
operan). Pengkondisian operan adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-
konsekuensi dari prilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan
2
Daniel Cervone, Lawrence A. Pervin, Kepribadian Teori dan Penelitian, Salemba Humanika, jakarta, 2012, h.
130
3
Daniel Cervone, Lawrence A. Pervin, Kepribadian Teori dan Penelitian, Salemba Humanika, jakarta, 2012, h.
157
diulangi. Ada 6 asumsi yang membentuk landasan untuk kondisioning. Asumsi-asumsi itu
adalah sebagai berikut:
1. Belajar itu adalah tingkah laku.
2. Perubahan tingkah-laku (belajar) secara fungsional berkaitan dengan adanya
perubahan dalam kejadian-kejadian di lingkungan kondisi-kondisi lingkungan.
3. Hubungan yang berhukum antara tingkah-laku dan lingkungan hanya dapat di
tentukan kalau sifat-sifat tingkah-laku dan kondisi eksperimennya di devinisikan
menurut fisiknya dan di observasi di bawah kondisi-kondisi yang di control secara
seksama.
4. Data dari studi eksperimental tingkah-laku merupakan satu-satunya sumber informasi
yang dapat diterima tentang penyebab terjadinya tingkah laku.

Tabel Perbandingan Respons Elisit dan Tingkah-Laku Operan

Respons Elisit ( Refleks ) Respons Emisi atau Operan


Ada korelasi yang dapat diamati antara Ada respons bertindak mengenai
stimulus dan respons; Respons yang lingkungan yang menimbulkan
terpancing keluar terutama untuk menjaga konsekuensi yang berpengaruh pada
kesejahteraan organisme. organisasi, dan dengan demikian mengubah
tingkah-laku yang akan datang; Tidak ada
korelasi nya dengan stimulus sebelumnya.
Di kondisikan dengan substitusi stimulus; Di kondisikan melalui konsekuensi respons
Kondisioning Tipe S yang memperbesar peluang merespons,
kondisioning Tipe R.
1. Tingkah-laku organisme secara individual merupakan sumber data yang cocok.
2. Dinamika interaksi organisme dengan lingkungan itu sama untuk semua jenis
mahkluk hidup.
Berdasarkan asumsi dasar tersebut menurut Skinner unsur yang terpenting dalam belajar
adalah adanya penguatan (reinforcement ) dan hukuman (punishment). Penguatan adalah
konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya,
hukuman adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku.
Penguatan boleh jadi kompleks. Penguatan berarti memperkuat. Skinner membagi penguatan
ini menjadi dua bagian:
a. Penguatan positifadalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons
meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding). Bentuk-
bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku
(senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan
jempol), dll.
b. Penguatan negatifadalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons
meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak
menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak
memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak
senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll).
Dalam hal ini Skinner mempunyai pandangan sendiri mengenai perilakuu, yaitu :
1. Respon tidak perlu selalu ditimbulkann oleh stimulus, akan tetapi lebih kuat
terhadap pengaruh reinformance (penguatan)
2. Lebih menekankan pada studi subjek individual ketimbang generelisasi
kecendrungan kelompok
3. Menekan pada penciptaan situasi terentu terhadap terbentuknya perilaku
ketimbang motivasi di dalam diri.
Para konselor behavioral memandang kelainan perilaku sebagai kebiasaan yang
dipelajari. Karena itu dapat diubah dengan mengganti dengan kebiasaan situasi
positifyang direkayasa sehingga kelainan perilaku berubah menjadi positif.4
Kupasan yang dilakukan Skinner menghasilkan suatu sistem ringkas yang dapat
diterapkan pada dinamika perubahan tingkah laku baik di laboratorium maupun di dalam
kelas. Belajar, yang digambarkan oleh makin tingginya angka keseringan respons,
diberikan sebagai fungsi urutan ketiga unsur (SD)-(R)-(RReinsf). Skinner menyebutkan
praktek khas menempatkan binatang percobaan dalam kontigensi terminal. Maksudnya,
binatang itu harus berusaha penuh resiko, berhasil atau gagal, dalam mencari jalan lepas
dari kurungan atau makanan. Bukannya demikian itu prosedur ialah membentuk tingkah-
laku binatang itu melalui urutan sitimulus-respon-penguatan yang diatur secara seksama.
Dikelas, Skinner menggambarkan praktek tugas dan ujian sebagai suatu contoh
menempatkan pelajar yang manusia itu dalam kontigensi terminal juga. Skinner
menyarankan penerapan cara pemberian penguatan komponen tingkah laku seperti
menunjukkan perhatian pada stimulus dan melakukan studi yang cocok terhadap tingkah
laku. Hukuman harus dihindari karena adanya hasil sampingan yang bersifat emosional
dan tidak menjamin timbulnya tingkah laku positif yang diinginkan. Analisa yang
dilakukan Skinner tersebut diatas meliputi peran penguat berkondisi dan alami, penguat
positif dan negatif, dan penguat umum.
Dengan demikian beberapa prinsip belajar yang dikembangkan oleh Skinner antara lain:

4
Prof. Dr. Sofyan S. Willi, Konseling Individual Teori dan Praktek, Alfabeta, Bandung: 2004, h. 69
a) Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan,
jika benar diberi penguat.
b) Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
c) Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
d) Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
e) Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Namun lingkungan
perlu diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
f) Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebagainya.
Hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforcer.
g) Dalam pembelajaran, digunakan shaping.

a. Hukum-Hukum Belajar Skinner


Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung
merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1) Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2) Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat
melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
b. Aplikasi Teori Skinner Terhadap Pembelajaran
Beberapa aplikasi teori belajar Skinner dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
1) Bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit secara organis.
2) Hasil berlajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan
jika benar diperkuat.
3) Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
4) Materi pelajaran digunakan sistem modul.
5) Tes lebih ditekankan untuk kepentingan diagnostic
6) Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
7) Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan hukuman.
8) Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan untuk mengindari
pelanggaran agar tidak menghukum.
9) Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan diberikan kadang-
kadang (jika perlu).
10) Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis kecil-kecil, semakin meningkat
mencapai tujuan.
11) Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan shaping.
12) Mementingkan kebutuhan yang akan menimbulkan tingkah laku operan.
13) Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine.
14) Melaksanakan mastery learning yaitu mempelajari bahan secara tuntas menurut
waktunya masing-masing karena tiap anak berbeda-beda iramanya. Sehingga
naik atau tamat sekolah dalam waktu yang berbeda-beda. Tugas guru berat,
administrasi kompleks.

D. Teori Belajar Ausubel


a. Biografi Ausubel
Ausubel lahir pada tanggal 25 Oktober 1918 dan dibesarkan di Brooklyn, New York.
Ia belajar di Universitas Pennsylvania di mana ia lulus dengan pujian pada tahun 1939,
menerima sarjana jurusan Psikologi. Ausubel kemudian lulus dari sekolah kedokteran
pada tahun 1943 di Middlesex University di mana ia melanjutkan untuk menyelesaikan
magang berputar di Rumah Sakit Gouveneur, yang terletak di sisi timur lebih rendah dari
Manhattan, New York. Setelah dinas militer dengan US Public Health Service.
Ausubel meraih MA dan Ph.D. dalam Psikologi Perkembangan dari Columbia
University pada tahun 1950. Dia terus mengadakan serangkaian profesor di beberapa
sekolah pendidikan. Pada tahun 1973, Ausubel pensiun dari kehidupan akademik dan
mengabdikan dirinya untuk praktek psikiatri nya. Selama praktek psikiatri nya, Ausubel
menerbitkan banyak buku serta artikel dalam jurnal psikiatri dan psikologi. Pada usia 75
pada tahun 1994, Ausubel pensiun dari kehidupan profesional untuk mengabdikan
dirinya untuk menulis. Ausubel meninggal pada tanggal 9 Juli 2008. Ausubel
dipengaruhi oleh ajaran Jean Piaget. Mirip dengan ide-ide Piaget skema konseptual,
Ausubel terkait ini untuk penjelasan tentang bagaimana orang memperoleh pengetahuan.
David Ausubel berteori bahwa orang memperoleh pengetahuan terutama oleh yang
terkena langsung ke sana daripada melalui penemuan.
b. Teori Belajar Ausubel
Menurut Ausubel dalam Andriyani (2008, 3.20) menyatakan bahwa pada dasarnya
orang memperoleh pengetahuan melalui penerimaan, bukan melalui penemuan. Konsep
konsep, prinsip dan ide-ide yang disajikan pada pelajar akan diterima oleh pelajar. Dapat
juga konsep ini ditemukan sendiri oleh pelajar (Gagne dalam Andriyani, 2008, 3.20).
Menurut Ausubel dalam Dahar (2006, 94), belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua
dimensi, yaitu :
1) Dimensi Pertama
Berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada
pelajar melalui penerimaan atau penemuan. Pada tingkat pertama dalam belajar,
informasi dapat dikomunikasikan dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan
informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang
mengharuskan pelajar untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang
akan diajarkan.

2) Dimensi Kedua
Menyangkut cara bagaimana pelajar dapat mengaitkan informasi pada struktur
kognitif yang telah ada. Dalam tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan
informasi itu pada pengetahuan (berupa konsep atau lainnya) yang telah dimilikinya,
dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Akan tetapi, siswa itu dapat juga hanya
mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkannya pada
konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya; dalam hal ini terjadi belajar
hafalan.
Inti dari teori belajar Ausubel adalah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar
bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang
relevan yang terdapat pada struktur kognitif seseorang (Dahar, 2006, 95). Belajar bermakna
akan terjadi apabila informasi yang baru diterima pelajar mempunyai kaitan erat dengan
konsep yang sudah ada / diterima sebelumnya dan tersimpan dalam struktur kognitifnya
(Andriyani, 2008, 3.20-3.21). Lebih lanjut Andriyani menyatakan bahwa informasi baru ini
juga dapat diterima atau dipelajari pelajar tanpa menghubungkannya dengan konsep atau
pengetahuan yang sudah ada. Cara belajar ini disebut belajar menghapal.
Kedua dimensi di atas dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Bentuk-Bentuk Belajar(Dahar, 2006, 94)


Menurut Dahar (2006, 95), Ausubel menyatakan bahwa banyak ahli pendidikan
menyamakan belajar peneriman dengan belajar hafalan sebab mereka berpendapat bahwa
belajar bermakna hanya terjadi bila pelajar menemukan sendiri pengetahuan. Namun, bila
memperhatikan gambar di atas, dapat dilihat bahwa belajar penerimaan pun dapat dibuat
bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep. Sementara
itu, belajar penemuan rendah kebermaknaanya dan merupakan belajar hafalan bila
memecahkan suatu masalah dilakukan hanya dengan coba-coba, seperti menebak teka-
teki. Belajar penemuan yang bermakna sekali hanyalah terjadi pada penelitian yang
bersifat ilmiah.
c. Tipe Tipe Belajar
Menurut Ausubel dan Robinson dalam Slameto (2010, 24) ada empat macam tipe
belajar:
a. Belajar menerima bermakna (Meaningful Reception Learning)
Belajar menerima bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis
disampaikan kepada pelajar sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru
itu dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.
b. Belajar menerima yang tidak bermakna (Reception Learning)
Belajar menerima yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun
secara logis disampaikan kepada pelajar sampai bentuk akhir, kemudian
pengetahuan yang baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan
yang ia miliki.
c. Belajar penemuan bermakna (Meaningful Discovery Learning)
Belajar dengan penemuan bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah
dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau pelajar menemukan
pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan
dengan pengetahuan yang sudah ada.
d. Belajar penemuan yang tidak bermakna (Discovery Learning)
Belajar dengan penemuan tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan
sendiri oleh pelajar tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya,
kemudian dia hafalkan.

d. Penerapan Teori Ausubel dalam Pembelajaran


Untuk menerapkan konsep belajar Ausubel dalam mengajar, selain konsep-konsep
yang telah dibahas terdahulu ada beberapa konsep lain yang perlu diperhatikan yaitu
konsep pengaturan awal, diferensiasi progresif, penyesuaian integratif, dan belajar
superordinat (Dahar, 2006, 100)
Menurut Dahar (2006, 100-104) Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan untuk
menerapkan teori Ausubel:
1) Pengaturan awal
Pengaturan Awal adalah perangkat pedagogik yang membantu menerapkan prinsip-
prinsip dengan menghubungkan kesenjangan antara apa yang pelajar sudah ketahui
dan apa yang perlu ia ketahui. Pengaturan awal mengarahkan para pelajar ke materi
yang akan merekapelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi
yang berhubungan dengan materi itu, sehingga dapat digunakan dalam menanamkan
pengetahuan baru. Pengaturanan awal ini berisi konsep-konsep atau ide-ide yang
diberikan kepada pelajar jauh sebelum materi pelajaran yang sesungguhnya diberikan
(Andriyani, 2008, 3.23).
2) Diferensiasi Progresif
Diferensiasi progresif artinya proses penyusunan konsep yang akan diajarkan.
Menurut Ausubel dalam Dahar (2011, 101), pengembangan konsep berlangsung
paling baik jika unsur-unsur yang paling umum atau paling inklusif diperkenalkan
terlebih dahulu, kemudian baru diberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih
khusus dari konsep itu. Dengan perkataan lain, model belajar menurut Ausubel pada
umumnya berlangsung dari umum ke khusus.
3) Belajar Superordinat
Dahar (2006, 103) menyebutkan belajar superordinat terjadi bila konsep-konsep yang
telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur suatu konsep yang lebih luas,
lebih inklusif. Sedangkan menurut Andriyani (2008, 3.23) untuk menerapkan strategi
mengajar seperti ini perlu dilakukan analisis konsep. Lanjutnya Andriyani mengatakan
analisis konsep dilakukan untuk menemukan kemudian menghubungkan konsep-konsep
utama dari suatu mata pelajaran sehingga dapat diketahui mana konsep yang paling utama
dan superordinat dan mana konsep yang lebih khusus dan subordinat.
4) Penyesuaian Integratif
Untuk mencapai penyesuaian integratif, materi pelajaran hendaknya disusun
sedemikian rupa hingga kita menggerakkan hierarki konseptual dari atas hingga ke bawah
selama informasi disajikan. Menurut Ausubel dalam Dahar (2006, 103), dalam mengajar
bukan hanya urutan menurut diferensiasi progresif yang diperhatikan, melainkan juga
harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru dihubungkan pada konsep-konsep
superordinat. Andriyani (2008, 3.24) tahap ini guru menjelaskan dan menunjukkan secara
jelas perbedaan dan persamaan materi yang baru dengan materi yang telah dijelaskan
terlebih dahulu yang telah dikuasai pelajar. Dengan demikian pelajar akan mengetahui
alasan dan manfaat materi yang akan dijelaskan tersebut.
Menurut Ausubel dan Novak (Dahar, 2006, 98) ada tiga kebaikan belajar bermakna,
yaitu :
1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat
2. Informasi baru tyang telah dikaitkan dengan konsep-konsep relevan sebelumnya dapat
meningkatkan konsep yang telah dikuasai sebelumnya sehingga memudahkan proses
belajar mengajar berikutnya untuk memberi pelajaran yang mirip.
3. Informasi yang pernah dilupakan setelah pernah dikuasai sebelumnya, meninggalkan
bekas sehingga memudahkan proses belajar mengajar untuk materi pelajaran yang
mirip walaupun telah lupa.
E. Teori Belajar Gagne
a. Biorgrafi Gagne
Robert Mills Gagne adalah seorang ilmuwan psikologi yang lahir di Andover
Utara,Massachusettspada 21 Agustus 1916 dan meninggal pada 28 April 2002. Tahun
1937 Gagne memperoleh gelar A.B. dari Yale University dan tahun 1940 memperoleh
gelar Ph.D. dari Brown University dalam bidang psikologi. Beliau adalah seorang
professor dalam bidang psikologi dan psikologi pendidikan di Connecticut College for
women(19401949, Penn State University dari tahun 1945-1946, serta professor di
Tallahasse, Florida State University mulai tahun 1969.Antara tahun 1949-1958, Gagne
menjadi Direktur Perceptual and Motor Skills Laboratory US Air Force.
Pada waktu inilah dia mulai mengembangkan teori Conditions of Learning yang
mengarah pada hubungan tujuan pembelajaran dan kesesuaiannya dengan desain
pengajaran. Teori ini dipublikasikan pada tahun 1965. Gagne merupakan seorang tokoh
psikologi yang mengembangkan teori belajar dan pengajaran.Walaupun pada awal
karirnya, dia adalah seorang behaviorist, namun belakangan dia memusatkan perhatian
pada pengaruh pemrosesan informasi terhadap belajar dan memori.Dia juga dikenal
sebagai seorang psikolog eksperimental yang berkonsentrasi pada belajar dan
pengajaran.Kontribusi besar Gagne dalam pengembangan pengajaran adalah tulisan-
tulisannya tentang: Instructional Systems Design, The Condition of Learning (1965), dan
Principles of Instructional Design (Gagne). Ketiga karyanya tersebut telah mendominasi
bagaimana melaksanakan pengajaran untuk berbagai topik pelajaran di sekolah.
Karyanya tentang The condition of Learning, merupakan tulisan yang dibuatnya ketika
melaksanakan latihan militer di Angkatan Udara Amerika.
b. Teori Belajar Gagne
Gagne mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam
kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus-menerus, bukan hanya
disebabkan oleh pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama
dengan isi ingatannya mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya
berubah dari sebelum ia mengalami situasi dengan setelah mengalami situasi tadi.
Belajar dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor dari luar siswa di mana keduanya
saling berinteraksi.
Gagne menggunakan matematika sebagai sarana untuk menyajikan dan mengaplikasi
teori-teorinya tentang belajar. Menurut Gagne (dalam Ismail, 1998), objek belajar
matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak langsung. Objek langsung adalah
transfer belajar, kemampuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, disiplin
pribadi dan apresiasi pada struktur matematika. Sedangkan objek langsung belajar
matematika adalah fakta, keterampilan, konsep dan prinsip.
1. Fakta (fact) adalah perjanjian-perjanjian dalam matematika seperti simbol-simbol
matematika, kaitan simbol 3 dengan kata tiga merupakan contoh fakta.
2. Keterampilan (skills) adalah kemampuan memberikan jawaban yang benar dan
cepat. Misalnya pembagian cara singkat, penjumlahan pecahan dan perkalian
pecahan.
3. Konsep (concept) adalah ide abstrak yang memungkinkan kita mengelompokkan
objek ke dalam contoh dan bukan contoh. Himpunan, segitiga, kubus, dan jari-jari
adalah merupakan konsep dalam matematika.
4. Prinsip (principle) merupakan objek yang paling kompleks. Prinsip adalah
sederetan konsep beserta dengan hubungan diantara konsep-konsep tersebut.
Gagne mengemukakan 5 macam hasil belajar atau kapabilitas tiga bersifat kognitif,
satu bersifat afektif dan satu bersifat psikomotor. Gagne membagi hasil belajar menjadi lima
kategori kapabilitas sebagai berikut:

1) Informasi Verbal
Kapabilitas informasi verbal merupakan kemampuan untuk mengkomunikasikan
secara lisan pengetahuannya tentang fakta-fakta. Informasi verbal diperoleh secara
lisan, membaca buku dan sebagainya. Informasi ini dapat diklasifikasikan sebagai
fakta, prinsip, nama generalisasi.
2) Keterampilan Intelektual
Kapabilitas keterampilan intelektual merupakan kemampuan untuk dapat
memperbedakan, menguasai konsep, aturan, dan memecahkan masalah. Kemampuan-
kemampuan tersebut diperoleh melalui belajar. Kapabilitas keterampilan intelektual
menurut Gagne dikelompokkan dalam 8 tipe belajar yaitu:
a) Belajar Isyarat
Belajar isyarat adalah belajar yang tidak diniati atau tanpa kesengajaan, timbul
sebagai akibat suatu rangsangan (stimulus) sehingga menimbulkan suatu respon
emosional pada individu yang bersangkutan.
b) Belajar Stimulus Respon
Belajar stimulus respon adalah belajar untuk merespon suatu isyarat, berbeda
dengan pada belajar isyarat pada tipe belajar ini belajar yang dilakukan diniati atau
sengaja dan dilakukan secara fisik. Belajar stimulus respon menghendaki suatu
stimulus yang datangnya dari luar sehingga menimbulkan terangsangnya otot-otot
kemudian diiringi respon yang dikehendaki sehingga terjadi hubungan langsung yang
terpadu antara stimulus dan respon.
c) Belajar Rangkaian Gerak
Belajar rangkaian gerak merupakan perbuatan jasmaniah terurut dari dua kegiatan
atau lebih stimulus respon. Setiap stimulus respon dalam suatu rangkaian
berhubungan erat dengan stimulus respon yang lainnya yang masih dalam rangkaian
yang sama.
d) Belajar Rangkaian Verbal
Pada belajar rangkaian gerak merupakan perbuatan jasmaniah, maka pada belajar
rangkaian verbal merupakan perbuatan lisan. Jadi, belajar rangkaian verbal adalah
perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau lebih stimulus respon. Setiap stimulus
respon dalam satu rangkaian berkaitan dengan stimulus respon lainnya yang masih
dalam rangkaian yang sama.

e) Belajar Memperbedakan
Belajar memperbedakan adalah belajar membedakan hubungan stimulus respon
sehingga bisa memahami bermacam-macam objek fisik dan konsep, dalam merespon
lingkungannya, anak membutuhkan keterampilan-keterampilan sederhana sehingga
dapat membedakan suatu objek dengan objek lainnya, dan membedakan satu simbol
dengan simbol lainnya. Terdapat dua macam belajar memperbedakan yaitu
memperbedakan tunggal dan memperbedakan jamak.
f) Belajar Pembentukan Konsep
Belajar pembentukan konsep adalah belajar mengenal sifat bersama dari benda-
benda konkret, atau peristiwa untuk mengelompokkan menjadi satu.
g) Belajar Pembentukan Aturan
Aturan terbentuk berdasarkan konsep-konsep yang sudah dipelajari. Aturan
merupakan pernyataan verbal, dalam matematika misalnya adalah: teorema, dalil, atau
sifat-sifat.
h) Belajar Memecahkan Masalah (Problem Solving)
Belajar memecahkan masalah adalah tipe belajar yang lebih tinggi derajatnya dan
lebih kompleks daripada tipe belajar aturan (rule learning). Pada tiap tipe belajar
memecahkan masalah, aturan yang telah dipelajari terdahulu untuk membuat
formulasi penyelesaian masalah.
3) Strategi Kognitif
Kapalilitas strategi kognitif adalah kemampuan untuk mengkoordinasikan
serta mengembangkan proses berpikir dengan cara merekam, membuat analisis dan
sintesis. Kapabilitas ini terorganisasikan secara internal sehingga memungkinkan
perhatian, belajar, mengingat, dan berfikir anak terarah. Contoh tingkah laku akibat
kapabilitas strategi kognitif, adalah menyusun langkah-langkah penyelesaian masalah
matematika.
4) Sikap
Kapabilitas sikap adalah kecenderungan untuk merespon secara tepat terhadap
stimulus atas dasar penilaian terhadap stimulus tersebut. Respon yang diberikan oleh
seseorang terhadap suatu objek mungkin positif mungkin pula negatif, hal ini
tergantung kepada penilaian terhadap objek yang dimaksud, apakah sebagai objek
yang penting atau tidak. Contoh, seseorang memasuki toko buku yang didalamnya
tersedia berbagai macam jenis buku, bila orang tersebut memiliki sikap positif
terhadap matematika, tentunya sikap terhadap matematika yang dimiliki
mempengaruhi orang tersebut dalam memilih buku matematika atau buku yang lain
selain buku matematika.
5) Keterampilan Motorik
Untuk mengetahui seseorang memiliki kapabilitas keterampilan motorik, kita
dapat melihatnya dari segi kecepatan, ketepatan, dan kelancaran gerakan otot-otot,
serta anggota badan yang diperlihatkan orang tersebut. Kemampuan dalam
mendemonstrasikan alat-alat peraga matematika merupakan salah satu contoh tingkah
laku kapabilitas ini. Contoh lain yang lebih sederhana misalnya kemampuan
menggunakan penggaris, jangka, sampai kemampuan menggunakan alat-alat tadi
untuk membagi sama panjang suatu garis lurus.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

1. Di dalam teori belajar Thorndike bahwa stimulus adalah suatu perubahan dari
lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk
beraksi atau berbuat sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang
dimunculkan karena adanya perangsang.
2. Percobaan Thorndike inilah yang menghasilkan teori trial and error yaitu bahwa
belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam
melaksanakan coba-coba ini, bahwa seseorang akan cenderung untuk
meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil.
3. Pavlov menyatakan bahwa perkembangan itu pada hakikatnya merupakan
kumpulan dari sejumlah refleks yang karena sudah terlatih sedemikian rupa
hingga akhirnya membentuk tingkah laku seseorang yang bersifat konstan atau
bisa diartikan sebagai gerak konstan yang bersifat otomatis.
4. menurut Skinner unsur yang terpenting dalam belajar adalah adanya penguatan
(reinforcement ) dan hukuman (punishment). Penguatan adalah konsekuensi yang
meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya,
hukuman adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu
perilaku.
5. Inti dari teori belajar Ausubel adalah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar
bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-
konsep yang relevan yang terdapat pada struktur kognitif seseorang
6. Gagne mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam
kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus-menerus, bukan
hanya disebabkan oleh pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu situasi
stimulus bersama dengan isi ingatannya mempengaruhi siswa sedemikian rupa
sehingga perbuatannya berubah dari sebelum ia mengalami situasi dengan setelah
mengalami situasi tadi.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Baharuddin,M.Pd.I, Pendidikan dan Psikkologi Perkembangan, Ar-Ruzz Media,


Jogjakarta:2014

Daniel Cervone, Lawrence A. Pervin, Kepribadian Teori dan Penelitian, Salemba Humanika, jakarta, 2012, h.
130

Prof. Dr. Sofyan S. Willi, Konseling Individual Teori dan Praktek, Alfabeta, Bandung: 2004

Anda mungkin juga menyukai