RINITIS ALERGIKA
DISUSUN OLEH :
HASMAWATI
2005730028
2009
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan
tinjauan pustaka yang berjudul Rinitis alergika Rinitis alergika merupakan salah
satu penyakit yang termasuk dalam lingkup data penyakit saluran napas bagian
atas atas lainnya pada pencatatan diagnosis sesuai ICD 9. Penyakit lain pada
saluran napas bagian atas menduduki posisi keenam pada puskesmas kecamatan
Setiabudi tahun 2006.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dokter pembimbing
baik dari fakultas maupun dari puskesmas kecamatan Setia Budi dan rekan-rekan
yang telah membantu penulis dalam pembuatan tinjauan pustaka ini.
Jakarta, 2009
Penulis,
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II TEORI
DAFTAR PUSTAKA
BAB I ii
PENDAHULUAN
Rinitis alergika telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema
atopic. Sutau penelitian pada sekelompok mahasiswa dengan rinitis alergi
memperlihatkan bahwa 17 hingga 19 persen dari mereka yang mederita asma;
namun, 56 hingga 74 persen pasien asmatik ternyata menderita rinitis alergika.
Tampaknya ada predisposisi herediter terhadap kondisi-kondisi ini 2.
1.2 Tujuan
TEORI
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
2.3 Patogenesis
2
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada
sel T helper ( Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti
interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th
1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin sperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL
13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E
(IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E
dipermukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitasi. Bila mukosa yang sudah tersensitasi terpapar dengan alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spasifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin.
Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrin D4 (LT D4), Leukotrin C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5,
IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony stimulating Factor) dll. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) 1.
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6 – 8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
3
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO). Pada fase ini selain factor spesifik (alergen), iritasi oleh factor
non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan
kacang-kacangan.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
member gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member gejala asma
bronchial dan rhinitis alergi.
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
5
Faktor resiko rhinitis alergika antara lain 3:
Membedakan rhinitis alergi dengan jenis rhinitis yang lain dapat menjadi susah
karena kriteria diagnosis terhadap berbagai bentuk dari rhinitis tidak begitu jelas,
penentuan diagnosis yang tepat sangat diperlukan karena terapi yang efektif bagi
rhinitis alergi (misalkan antihistamin dan korticosteroid nasal) kemungkinan
kurang efektif terhadap tipe rhinitis yang lain 4
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala
rhinitis alergika yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin meruppakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Gejala lainnya adalah keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat dan mata gatal, yang
kadang-kadang dosertai dengan banyak airmata (lakrimasi). Sering kali gejala
yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan
oleh pasien. Evaluasi yang baik meliputi onset dan lamanya gejala, adanya
keterkaitan dengan musim atau waktu tertentu, respon terhadap pengobatan,
terpapar dengan alergen, dan keterkaitan dengan lingkungan 1,3.
- Faktor Pencetus
- Riwayat makanan
Pemeriksaan fisik
7
Pemeriksaan pada nasal sebaiknya dilakukan pada pasien dengan riwayat
rhinitis, termasuk pemeriksaan saluran nasal, sekresi, septum, aliran udara, dan
menentukan apakah terdapat polyp nasi atau tidak.
In vitro1 :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergika juga menderita asma bronchial
atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada
bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RATS (Radio Immuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin
8
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adnya infeksi bakteri.
In vivo 2:
Alergen dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point titration/SET), SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi. Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini dilakukan adalah
Intracutaneus provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku
emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena
itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis
makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.
2.6 Penatalaksanaan
Eliminasi alergen
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Pasien yang peka terhadap debu harus
hidup dalam lingkungan sebersih mungkin. Setiap ruangan harus sungguh-
sungguh dijaga bebas dari benda-benda pengumpul debu seperti karpet dan
gorden. Pasien yang peka terhadap kapang harus menghindari tidur di tempat
yang lembab seperti, kamar tidur di lanatai bawah tanah. Jendela harus ditutup
pada malam hari, karena udara malam sering kali mengandung kapang. Pasien
yang peka terhadap asap harus menghindari ruangan penuh asap, serta
menghindarkan beberapa makanan yang terkait dengan timbulnya gejala.
Medikamentosa
9
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral.
◦ Anti histamin
Generasi pertama
CTM
Dws : 4 – 12 mg hs or 2 - 12 mg BID
2 -5 thn : 2 - 6 mg q d - BID
Generasi kedua
◦ Dekongestan
Pseudoefedrin :
◦ Nasal dekongestan : 10
Mometasone :
Kombinasi antihistamin-dekongestan
Kortikosteroid
Ipratropium Bromida
Sodium Kromoglikat
Leukotriene Modifier
Imunoterapi
(3) mengalami gejala sepanjang tahun yang memerlukan terapi setiap hari, atau
2.7 Komplikasi
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu factor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.
3. Sinusitis paranasal
2.8 Prognosa
Gejala rhinitis alergi dapat ditangani dengan baik. Pada beberapa kasus ( terutama
pada anak-anak) seiring dengan pertumbuhan, system imun menjadi kurang
sensitive terhadap alergen. Meskipun, umumnya suatu substansi yang
menyebabkan alergi pada seseorang, dapat terus mempengaruhi dalam waktu
yang lama. Beberapa kasus rhinitis alergi yang parah membutuhkan imunoteraoy
atau tindakan operatif untuk pada jaringan di dalam hidung atau sinus 5.
DAFTAR PUSTAKA
1 Irawati Nina, dkk. Rinitis Alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
13
Tenggorok Kepala dan Leher Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2007:
hlm. 128
2 Peter A. Hilger, M.D. Penyakit Hidung. BOIES Buku Ajar Penyakit THT
Edisi6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1997: hlm.210