Anda di halaman 1dari 18

TINJAUAN PUSTAKA

RINITIS ALERGIKA

Tinjauan Pustaka Penyakit Terbanyak di Puskesmas Setia Budi

DISUSUN OLEH :

HASMAWATI

2005730028

FAKULTAS KESEHATAN DAN KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2009

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan
tinjauan pustaka yang berjudul Rinitis alergika Rinitis alergika merupakan salah
satu penyakit yang termasuk dalam lingkup data penyakit saluran napas bagian
atas atas lainnya pada pencatatan diagnosis sesuai ICD 9. Penyakit lain pada
saluran napas bagian atas menduduki posisi keenam pada puskesmas kecamatan
Setiabudi tahun 2006.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dokter pembimbing
baik dari fakultas maupun dari puskesmas kecamatan Setia Budi dan rekan-rekan
yang telah membantu penulis dalam pembuatan tinjauan pustaka ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan tinjauan pustaka ini masih


banyak terdapat kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam pembuatan tinjauan pustaka
selanjutnya.

Jakarta, 2009

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………. i

DAFTAR ISI …………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang …………………………………………… 1

1.2 Tujuan ……………………………………………………. 1

BAB II TEORI

2.1 Definisi …………………………………………………… 2

2.2 Etiologi …………………………………………………… 2

2.3 Patogenesis ………………………………………………... 2

2.4 Faktor Resiko ……………………………………………… 6

2.5 Kriteria Diagnosa …………………………………………. 6

2.6 Penatalaksanaan …………………………………………… 8

2.7 Komplikasi ………………………………………………… 13

2.8 Prognosa …………………………………………………… 13

DAFTAR PUSTAKA

BAB I ii
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rinitis alergika merupakan salah satu penyakit yang termasuk dalam


lingkup data penyakit saluran napas bagian atas atas lainnya pada pencatatan
diagnosis sesuai ICD 09. Penyakit lain pada saluran napas bagian atas
menduduki posisi keenam pada puskesmas kecamatan Setiabudi tahun 2006.

Rinitis alergika telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema
atopic. Sutau penelitian pada sekelompok mahasiswa dengan rinitis alergi
memperlihatkan bahwa 17 hingga 19 persen dari mereka yang mederita asma;
namun, 56 hingga 74 persen pasien asmatik ternyata menderita rinitis alergika.
Tampaknya ada predisposisi herediter terhadap kondisi-kondisi ini 2.

Prevalensi rhinitis alergika pada berbagai studi epidemiology range-nya


3% - 19 %. Studi menunjukkan rhinitis alergi musiman (hay fever) ditemukan
sekitar 10 – 20 % dari populasi yang ada. Sebuah studi menunjukkan bahwa
prevalensi anak usia 6 tahun yang terdiagnosa rhinitis alergi mencaoai 42%.
Secara keseluruhan, rhinitis alergi mengenai 20-40juta individu di US dalam
setahun 3.

1.2 Tujuan

Setelah menyelesaikan pembuatan tinjauan pustaka ini diharapkan dapat


mengetahui dan menjelaskan tentang rhinitis alergika mulai dari patogenesis,
gejala klinis, kriteria diagnosis, hingga tindakan penatalaksanaan yang tepat.
BAB II
1

TEORI

2.1 Definisi

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on


Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai Ig E1.

2.2 Etiologi

Rinitis alergika adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi


alergi pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut 1.

2.3 Patogenesis

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan


tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu Immediate
Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung
sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahna dan Late Phase Allergic
Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak langsung pertama dengan alergen atau tahap sensitasi,


makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/ APC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan

2
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada
sel T helper ( Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti
interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th
1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin sperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL
13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E
(IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E
dipermukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitasi. Bila mukosa yang sudah tersensitasi terpapar dengan alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spasifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin.
Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrin D4 (LT D4), Leukotrin C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5,
IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony stimulating Factor) dll. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) 1.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus


sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf
vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adheesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6 – 8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan

3
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO). Pada fase ini selain factor spesifik (alergen), iritasi oleh factor
non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

Bila dilihat pada gambaran mikroskopik, akan tampak adanya dilatasi


pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk
mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interselular dan penebalan membrane
basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan
submukosa hidung.

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan


serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus
menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan
yang ireversibel, yaitu terjasi proliferasi jaringan ikat dan hyperplasia mukosa,
sehingga tampak mukosa hidung menebal.

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas1 :


1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya tungau debu rumah, (D. pteronyssinus, D.farinae,
B.tropicalis)I, kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucingm anjing),
rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).

2. Alergen ingestan yang masuk melalui saluran cerna, berupa makanan, 4

misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan
kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya


penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit dengan jaringan


mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
member gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member gejala asma
bronchial dan rhinitis alergi.

Klasifikasi Rinitis alergika

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu


atau kurang dari 4 minggu

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4


minggu

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergika dibagi


menjadi :
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolah raga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang
mengganggu.

2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut


diatas.

2.4 Faktor Resiko

5
Faktor resiko rhinitis alergika antara lain 3:

1. Riwayat keluarga yang atopi

2. Serum IgE > 100 IU/mL sebelum usia 6 tahun

3. Sosioekonomi menengah keatas

4. Paparan terhadap alergen dalam ruangan (binatang dan debu)

5. Skin prick test positif

2.5 Kriteria Diagnosa

Membedakan rhinitis alergi dengan jenis rhinitis yang lain dapat menjadi susah
karena kriteria diagnosis terhadap berbagai bentuk dari rhinitis tidak begitu jelas,
penentuan diagnosis yang tepat sangat diperlukan karena terapi yang efektif bagi
rhinitis alergi (misalkan antihistamin dan korticosteroid nasal) kemungkinan
kurang efektif terhadap tipe rhinitis yang lain 4

Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala
rhinitis alergika yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin meruppakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Gejala lainnya adalah keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat dan mata gatal, yang
kadang-kadang dosertai dengan banyak airmata (lakrimasi). Sering kali gejala
yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan
oleh pasien. Evaluasi yang baik meliputi onset dan lamanya gejala, adanya
keterkaitan dengan musim atau waktu tertentu, respon terhadap pengobatan,
terpapar dengan alergen, dan keterkaitan dengan lingkungan 1,3.

Anamnesis yang dianjurkan untuk mendiagnosis rhinitis 3 :

- Gejala : durasi, waktu timbulnya efek setelah pajanan, efek terhadap


kehidupan sehari-hari,

- Faktor Pencetus

- Lingkungan ; rumah, tempat kerja, sekolah, dan lain lain

- Riwayat alergi yang lain ( asma, eksema, konjungtivitis)


- Riwayat pengobatan, trauma, dan terapi yang sedang dijalani saat ini

- Riwayat makanan

- Riwayat keluarga, termasuk penyakit alergi

- Gejala sistem lain

Pemeriksaan fisik
7
Pemeriksaan pada nasal sebaiknya dilakukan pada pasien dengan riwayat
rhinitis, termasuk pemeriksaan saluran nasal, sekresi, septum, aliran udara, dan
menentukan apakah terdapat polyp nasi atau tidak.

Pada rinoskopi anterior, tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat


atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Jika gejala persisten, mukosa
inferior akan tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya
bayangan gelapdidaerah bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder
akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu anak-
anak akan tampak sering menggosok-gosok hidung (allergic salute), karena gatal
dengan punggung tangan. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan
membentuk garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut
(allergic crease). Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi. Dinding posterior
faring tampak granuler dan edema, serta dinding lateral faring menebal. Lidah
tampak seperti gambar peta.
Pemeriksaan penunjang

In vitro1 :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergika juga menderita asma bronchial
atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada
bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RATS (Radio Immuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin
8
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adnya infeksi bakteri.

In vivo 2:

Alergen dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point titration/SET), SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi. Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini dilakukan adalah
Intracutaneus provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku
emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena
itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis
makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.
2.6 Penatalaksanaan

Eliminasi alergen

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Pasien yang peka terhadap debu harus
hidup dalam lingkungan sebersih mungkin. Setiap ruangan harus sungguh-
sungguh dijaga bebas dari benda-benda pengumpul debu seperti karpet dan
gorden. Pasien yang peka terhadap kapang harus menghindari tidur di tempat
yang lembab seperti, kamar tidur di lanatai bawah tanah. Jendela harus ditutup
pada malam hari, karena udara malam sering kali mengandung kapang. Pasien
yang peka terhadap asap harus menghindari ruangan penuh asap, serta
menghindarkan beberapa makanan yang terkait dengan timbulnya gejala.

Medikamentosa
9

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral.

◦ Anti histamin

 Generasi pertama

 CTM

 Dws : 4 – 12 mg hs or 2 - 12 mg BID

 Anak : 2 thn: 4 - 12 mg hs or 2 - 12 mg BID

6 -11 thn : 2 - 8 mg q d - BID, 12 mg/d max

2 -5 thn : 2 - 6 mg q d - BID
 Generasi kedua

 Fexofonadine : Dws :60mg bd atau 180mg 1kali


sehari, anak >12 thn 60mg 2x/hari , 6-11thn 30mg
2x/hari

 Cetirizine : Dws : 5-10mg 1x/hari , anak >6 thn 5 –


10mg 1X/hari, 2-5thn : 2,5 atau 5 mg 1kali/hari

◦ Dekongestan

 Pseudoefedrin :

 D : 30-60 mg 4 – 6 jam sekali

 Anak : 6 – 11 thn : 30mg 4 – 6 jam sekali

2 – 5 thn : 15 mg 4 – 6 jam sekali

◦ Nasal dekongestan : 10

 Mometasone :

◦ D : 4 semprot sebagai dosis single, anak 3-11thn : 2


semprot sebagai dosis single

Kombinasi antihistamin-dekongestan

Kombinasi antihistamin dengan dekongestan banyak digunakan. Kombinasi


loratadine atau fexofenadin dengan pseudoefedrine banyak tersedia dan
memberikan efek yang lebih baik dibandingkan pemberian antihistamin secara
tersendiri.

Kortikosteroid

Preparat kortikosteroid topikal memiliki efek melalui mekanisme multipel,


yaitu vasokontriksi dan mengurangi edema, menekan produksi sitokin dan
menghambat influks sel radang. Preparat ini merupakan terapi yang paling efektif
pada rinitis alergi terutama derajat berat. Yang termasuk pada golongan
kortikosteroid topikal ini yaitu budesonid, beklometason, flunisolid, flutikason,
mometaso furoat dan triamnicolon asetonid. Tidak didapatkan efek samping
sistemik yang signifikan pada dewasa, tetapi pada anak dilaporkan terdapat
hambatan pertumbuhan pada pemakaian beclomethasone intranasal. Efek samping
lokal yang timbul berupa kering dan iritasi pada mukosa hidung serta epistaksis
ringan. Dalam pemakaiannya, harus diberitahukan kepada pasien agar dalam
menyemprotkan obat tidak mengarah ke septum karena dapat terjadi erosi mukosa
yang akhirnya menimbulkan perforasi septum.

Kortikosteroid oral digunakan pada kasus tertentu dengan gejala hidung


yangsangat berat. Contoh obat yang digunakan yaitu prednison atau
metiprednisolon.

Ipratropium Bromida

Ipratropium bromida intranasal dalam bentuk larutan 0,03% merupakan


11
suatu agen antikolinergik yang cukup efektif dalammengurangi sekresi hidung,
tetapi tidak signifikan terhadap gejala hidung yang lain. Pemberian preparat ini
sangatt membantu bila rinore tidak dapat dikurangi dengan kortikosteroid topikal
dan/atau antihistamin. Selain itu, dapat pula diberikan pada pasien yang
mengalami rinore akut dengan sebab yang jelas sebagai profilaksis. Efek samping
yang sering timbul yaitu iritasi hidung, timbulnya krusta dan epistaksis ringan.2,4

Sodium Kromoglikat

Sediaan sodium kromoglikat intranasal sudah tersebar penggunaannya


dalam terapi rinitis alergi. Biasanya kurang efektif bila dibandingkan dengan
antihistamin atau kortikosteroid. Pemberian optimal 4-6 kali sehari. Idealnya, obat
ini diberikan sebelum gejala mayor timbul karena cara kerjanya sebagai
stabilisator sel mast. Jika diberikan 4 kali sehari, obat ini sama efektif dengan
antihistamin dalam mengurangi bersin, rinore dan gatal pada hidung. Selain itu,
dapat juga digunakan sebagai profilaksis akut sebelum terpapar dengan alergen
yang sudah diketahui.

Leukotriene Modifier

Golongan obat ini merupakan antagonis reseptor leukotrien. Pengaruhnya


terhadap gejala rinitis yaitu dengan dihambatnya produksi leukotrien dapat
mengurangi gejala, terutama sumbatan hidung, karena diduga leukotrien berperan
dalam menyebabkan sumbatan hidung pada rinitis alergi. Akan tetapi, obat ini
bukan merupakan pilihan utama untuk rinitis.

Imunoterapi

Imunoterapi alergen sangat efektif dalam mengendalikan gejala rinitis


alergi yang berat. Penelitian-penelitian pada dekade terakhir ini mengemukakan
bahwa imunoterapi alergen menyebabkan toleransi terhadap limfosit T alergen
spesifik dengan adanya penurunan pengeluaran mediator dan inflamasi jaringan.
Pemberian imunoterapi dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan :
12

(1) tidak responsif terhadap kombinasi pengendalian lingkungan dan medikasi

(2) mengalami efek samping medikasi yang cukup berat

(3) mengalami gejala sepanjang tahun yang memerlukan terapi setiap hari, atau

(4) menginginkan pengendalian jangka panjang terhadap gejala alergi.

2.7 Komplikasi

Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah 1:

1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu factor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.

2. Otitis media efusi yang residif, terutama pada anak-anak

3. Sinusitis paranasal

2.8 Prognosa

Gejala rhinitis alergi dapat ditangani dengan baik. Pada beberapa kasus ( terutama
pada anak-anak) seiring dengan pertumbuhan, system imun menjadi kurang
sensitive terhadap alergen. Meskipun, umumnya suatu substansi yang
menyebabkan alergi pada seseorang, dapat terus mempengaruhi dalam waktu
yang lama. Beberapa kasus rhinitis alergi yang parah membutuhkan imunoteraoy
atau tindakan operatif untuk pada jaringan di dalam hidung atau sinus 5.

DAFTAR PUSTAKA

1 Irawati Nina, dkk. Rinitis Alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
13
Tenggorok Kepala dan Leher Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2007:
hlm. 128

2 Peter A. Hilger, M.D. Penyakit Hidung. BOIES Buku Ajar Penyakit THT
Edisi6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1997: hlm.210

3 Mark S Dykewicz, MD, et al. Diagnosis and Management of Rhinitis: Complete


Guidelines of the Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma and
Immunology. Annals of allergy, asthma, & immunology. Volume 81, november
(part II), 1998 : hlm. 478
4 Agency for Healthcare Research and Quality. Evidence report/technology
assessment No. 54. Management of allergic and nonallergic rhinitis. May 2002.
Didapat dari : http://www.ahrq.gov/clinic/tp/rhintp.htm . Diunduh 17 Januari
2009

5 David M. Quillen, M.D , et al, Diagnosing Rhinitis: Allergic vs. Nonallergic.


Didapat dari : http://www.aafp.org/afp/20060501/1583.htm . Diunduh 17 Januari
2009

6 Allergic Rhinitis, Medline plus, Update Date: 10/30/2006. Didapat dari :


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm.Diunduh 17 Januari
2009

Anda mungkin juga menyukai