Anda di halaman 1dari 2

Individualism vs Collectivism suku Batak

Seperti yang telah kita pahami mengenai Individualism vs Collectivism merupakan sebuah dimesni
dimana individu dapat menempatkan diri dalam sebuah lingkungan, apakah mereka cenderung
memikirkan kepentingan dirinya sendiri dan keluarga (Individualism), atau peduli terhadap kepentingan
bersama dalam kelompok tersebut.

Berdasarkan buku yang kami baca dari karangan Bapak Drs. Suharnomo dijelaskan bahwa skor IDV
(Individualism) dari suku batak sekitar 26,97, dimana skor tersebut terbilang cukup rendah. Tapi, jika
dibandingkan dengan skor IDV (versi Hofstede) dari Skala nasional yang memperoleh skor sekitar 14,
dapat diindikasikan bahwa masyarakat lebih bersikap Individualis bila dibandingkan dengan masyarakat
Indonesia pada umumnya. Hal ini mungkin dapat dipicu oleh tingkat pencapaian yang ingin dicapai oleh
masyarakat batak, Karen ada silosofi dalam budaya yang disebut hamoraon (kekayaan), dimana guna
mencapai hasil yang maksimal mereka akan mengurangi waktu guna mengurangi waktu untuk
menjalankan interaksi sosial dengan kelompok komunitasnya.

Pada paragraf sebelumnya dibahas bahwa masyarakat mau tidak mau mulai bersikap individualis, tapi,
sebenarnya mereka masih memiliki prinsip yang ajarkan turun-menurun dalam kebudayaan mereka,
yaitu, Dalihan Natolu. Dalihan Natolu artinya tiga aturan utama yang harus dipatuhi sebagai orang
Batak, yaitu Somba Marhula-hula (Hormat kepada keluarga pihak istri), Elek Marboru (harus bisa
mengayomi wanita), Manat Mardongan Tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga). Dalam
pengertian tersebut dapat kita pahami betapa pentingnya sebuah hubungan dalam budaya suku batak.
Dengan mengutip dari prinsip kita dapat mempelajari bagaimana seharusnya sikap seorang manajer
dalam menjalankan suatu kegiatan guna mencapai tujuan bersama.

Kata Somba memiliki arti sifat hormat, jika dalam kebudayaan batak menginginkan agar masyarakatnya
untuk hormat kepada pihak wanita, disini kita dapat meletakkan prinsip kepada seorang manajer agar
mampu untuk hormat/respect kepada siapapun sekalipun orang tersebut adalah bawahannya. Dengan
memberikan sebuah sikap seperti itu seharusnya dapat menciptakan lingkungan yang harmonis. Dan
yang selanjutnya kata Elek.

Kata Elek memilik arti sifat Mengayomi, disini seharusnya seorang manajer mampu mengayomi seluruh
bawahannya secara bijaksan guna memberikan kepuasan yang setimpal terhadap usaha yang telah
diberikan oleh bawahannya. Seorang manajer seharusnya memahami bahwa dia tidak dapat mencapai
tujuannya seorang sendiri tanpa adanya topangan yang telah dikerahkan oleh para bawahannya. Disini
seorang manajer dapat memberi bawahannya sebuah hadiah sebagai sebuah apresiasi kepada
bawahannya atas usaha yang telah dilakukannya, atau dengan mendengarkan masukan-masukan dari
bawahannya apabila masukan tersebut dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan
perusahaan. Dan yang terakhir adalah Manat.

Kata Manat memiliki arti Hati-hati, disini seorang manajer harus berhati-hati dalam bersikap agar tidak
memberikan kesan yang buruk di mata rekan kerjanya. Mereka harus mampu menjaga sikap kepada
semua orang, seperti kepada bawahannya agar tidak mengecewakan mereka atas semua usaha yang
telah merekan kerahkan dengan memberi sebuah teguran keras hanya karena kesalahan kecil yang
masih dapat diperbaiki dengan cepat. Hal tersebut tidak sebanding dengan semua jerih payah yang telah
dilakukan oleh bawahannya. Jadi, untuk menjadi seorang Manajer alangkah lebih baik jika mereka dapat
berhati-hati dalam bersikap.

Masculin vs Feminity suku Batak

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2015 pada 100 responden masyarakat etnis batak
menghasilkan sebuah penemuan baru, dimana masyarakat batak memiliki skor diatas 65 pada dimensi
Masculinity, bila dibandingkan dengan skor MAS masyarakat Indonesia pada umumnya yang berkisar
pada angka 46 (versi Hofstde). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat batak cenderung bersifat
maskulin bila dibandingkan dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Masyarakat denga skor
maskulinitas yang tinggi biasanya bersifat materialistis, dimana mereka cenderung mengumpulan harta
sebanyak-banyaknya. Hal ini didasari oleh p3 prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat batak, yaitu
hamoraon (kekayaan), hagabeon (kebahagiaan) dan hasangapon (kehormatan). Prinsip tersebut
nantinya akan digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan yang telah mereka capai.

Sifat maskulin yang ada pada masyarakat batak sebenarnya sangat muudah kita jumpai, seperti
banyaknya masyarakt batak yang merantau ke kota-kota besar di Indonesia. Mereka tidak takut untuk
mengadu nasib di negeri orang, yang terpenting bagi mereka harus mampu mencapai apa yang telah
menjadi ambisinya, mau tidak mau mereka akan mencoba untuk berdaptasi dengan lingkungan sekitar.

Masyarakat Batak sangatlah kontras dengan Masyarakat Jawa, dimana masyarakat Batak akan berbicara
secara terang-terangan mengenai suatu hal, dimana hal tersebut merupakan cerminan dari filosofi
masyarakat batak, yaitu lamot hata ni begu, risi-risi hata ni jolma yang artinya orang harus berbicara apa
adanya walaupun terkadang hal tersebut sangatlah menyakitkan. Masyarakat Batak sangatlah berambisi
untuk memperoleh kejayaan yang sangat melekat pada prinsip hidupnya (3H). dalam masyarakat Batak
dapat kita peroleh kesimpulan bahwa mereka menjalani hidup mereka untuk bekerja, hal tersebut
sangatlah sesuai dengan skor masculinity yang mereka peroleh,jadi jangan heran karena Negara-negara
dengan skor MAS yang tinggi pasti akan menjalani hidupnya seperti masyarakat batak bahkan lebih
parah.

Anda mungkin juga menyukai