Anda di halaman 1dari 17

KAJIAN EMISI CO 2 BERDASARKAN TAPAK KARBON SEKUNDER DARI KEGIATAN

NON AKADEMIK DI ITS SURABAYA


ASSESSMENT OF CO 2 EMISSIONS BASED ON SECONDARY CARBON FOOTPRINT
FROM NON ACADEMIC ACTIVITIES AT ITS SURABAYA

Nama : Riska Atma Puri


NRP : 3307.100.055
Jurusan : Teknik Lingkungan FTSP-ITS
Dosen Pembimbing: Abdu Fadli Assomadi SSi, MT

Abstrak
Tapak karbon di ITS merupakan suatu ukuran jumlah total dari hasil emisi karbon dioksida
yang dikeluarkan oleh aktifitas kampus ITS. Tapak karbon terdiri dari 2 jenis, yaitu tapak
karbon primer dan tapak karbon sekunder. Contoh Tapak karbon sekunder yaitu dari
penggunaan listrik. Penggunaan listrik berkontribusi besar dalam menghasilkan emisi CO 2 di
udara. Pengurangan penggunaan listrik perlu dilakukan di kampus ITS terutama dari gedung-
gedung yang digunakan untuk kegiatan non akademik.
Data penelitian lapangan ini didapatkan dengan melakukan observasi atau melakukan
wawancara. Data yang didapatkan adalah total daya dan lama pemakaian dari setiap barang-
barang elektronika. Untuk mendapatkan jumlah emisi karbon yang dihasilkan ITS adalah
dengan mengalikan data jumlah pemakaian listrik dengan faktor emisi. Dari data tersebut
dilakukan evaluasi, lokasi atau gedung yang bisa dilakukan pengurangan.
Hasil yang didapatkan dari dari perhitungan yaitu diketahui bahwa penggunaan listrik di
dari kegiatan non akademik ITS rata-rata mengeluarkan emisi CO 2 per tahun sebesar
1076298,11kg CO 2 /tahun. Gedung non akademik dapat menurunkan emisi CO 2 yang dihasilkan
dengan 3 cara dan persentase pengurangan yaitu sebesar 14,59%.

Kata kunci : emisi CO 2 , non akademik , penggunaan listrik

Abstract
Carbon footprint in ITS is a measurement of total amount of carbon dioxide emissions
that produced by campus activity in ITS. Carbon footprint divided in two kinds, namely primary
carbon footprint and secondary carbon footprint. The example of secondary carbon footprint is
electricity consumption. Electricity consumption give big contribution in produce CO 2 emission
in the air. Reduction in electricity consumption need to do in ITS expecially from buildings that
use for non academic activity.
The primary data were obtained by direct observation or interviews. The data obtained in
the form of total power and duration of use of any electrical tools and then processed using the
equation for calculating the amount of CO 2 emissions. To get the amount of carbon emission
produced by ITS is multiplied data of electricity generated with emission factor. From these data
to evaluate the location or building that reduction can be made.
Results obtained from calculating that the use of electricity from non academic in the ITS
CO 2 emissions per year for 1.076.298,11 kg CO 2 /year. Non-academic buildings can reduce CO 2
emissions produced with 3 method and the average percentage of reduction that is equal to
14,59%.

Key words: CO 2 emissions, electricity, non academic


1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer terus naik hingga mencapai 381 ppm (bagian
permil) pada tahun 2005. Meskipun pengukuran lengkap baru akan selesai sekitar April,
nilainya berkisar di angka tersebut (Hofmann, 2005). Sedangkan Untuk melestarikan
lingkungan CO 2 harus dikurangi konsentrasinya menjadi maksimal 350 ppm (Jasmin, 2010).
Sehingga terdapat kesenjangan diantaranya yaitu meningkatnya konsentrasi CO 2 disebabkan
oleh beberapa aktivitas manusia, diantaranya dari penggunaan listrik yang ikut berkontribusi
dalam menyumbang CO 2 .
Topik yang akan dibahas yaitu Kajian Emisi CO 2 Berdasarkan Tapak Karbon Sekunder
dari Kegiatan Non Akademik di ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) Surabaya.
Topik ini muncul karena selain dari kegiatan transportasi dan industri, ternyata gas CO 2
banyak dikeluarkan dari peralatan listrik yang digunakan di setiap gedung-gedung
khususnya gedung di ITS Surabaya yang menjadi tempat kegiatan mahasiswa, terutama
untuk kegiatan non akademik.
Pemilihan lokasi di ITS disebabkan karena ITS merupakan lingkungan pendidikan
ternama di Jawa Timur. Sehingga penggunaan listrik di ITS (khususnya untuk kegiatan non
akademik) perlu dikaji agar penggunaan listriknya menjadi lebih effisien dan emisi CO 2
yang dikeluarkan menjadi kecil.
Pemakaian listrik yang tidak effisien harus dikurangi, dengan cara pemakaian alat listrik
sesuai dengan fungsinya atau penggantian terhadap alat listrik tersebut. Hal ini sesuai
dengan data yang didapatkan dari BAUK tentang jumlah pemakaian listrik di ITS. ITS
disuplai oleh 2 gardu besar yang disebut dengan Gardu Rektorat dan Gardu Kampus.
Masing-masing gardu berasal dari gardu di Mulyosari dan yang satunya lagi dari Gardu
Keputih.
Gardu yang mensuplai listrik ITS pada siang hari pemakaiannya lebih banyak
dibandingkan malam hari. Hal ini dikarenakan sebagian besar aktivitas terjadi di siang hari,
harga listrik yang dikeluarkan pun lebih besar di siang hari. Pemakaian listrik di ITS sudah
cukup tinggi dan cenderung semakin meningkat dari bulan ke bulan, dan mengalami
penurunan hanya pada bulan di mana para mahasiswa sedang libur semester (BAUK, 2009).
Beberapa gedung yang telah melakukan penghematan listrik, yaitu BAUK lantai 1.
Penghematan listrik yang dilakukan dengan cara mengurangi jumlah unit lampu yang
digunakan serta pada siang hari ruangan ini telah memanfaatkan sinar matahari untuk
penerangan di dalam ruangannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Berapa besar emisi CO 2 yang dihasilkan dari pemakaian listrik di lingkungan ITS
dari kegiatan non akademik?
2. Bagaimana cara mengurangi emisi CO 2 yang dihasilkan dari penggunaan listrik di
lingkungan ITS dari kegiatan non akademik?
3. Seberapa besar pengurangan gas CO 2 dari pereduksian listrik?
4. Berapa biaya yang dikeluarkan untuk penggantian alat listrik?

1.3 Tujuan
Tujuan dari mengevaluasi CO 2 yang dikeluarkan dari pemakaian listrik di
lingkungan ITS ini adalah:
1. Menganalisisis berapa besar emisi CO 2 yang dihasilkan dari kegiatan non
akademik.
2. Mengevaluasi effisiensi emisi CO 2 dari alat listrik yang digunakan di tempat-
tempat non akademik.
3. Memberikan solusi kepada beberapa tempat yang untuk melakukan penggantian atau
pengurangan jam pemakaian alat listrik.
Menganalisis berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk mengganti alat tersebut.

1.4 Tinjauan Pustaka


1.4.1 Sejarah Wilayah Studi
Wilayah studi penelitian tentang kontribusi energi listrik terhadap jumlah emisi CO 2
yang dihasilkan dilakukan dikampus ITS. Tidak semua bangunan di ITS menjadi tempat
penelitian, bangunan bangunan yang digunakan untuk proses kegiatan non akademik dari
mahasiswa ITS.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya yang semula memiliki 2 (dua) jurusan
yaitu Teknik Sipil dan Teknik Mesin berubah menjadi lima yaitu: Teknik Sipil, Teknik
Elektro, Teknik Mesin, Teknik Perkapalan, dan Teknik Kimia. Jurusan- jurusan tersebut
kemudian berubah menjadi fakultas. Kemudian dengan peraturan pemerintah No. 9 tahun
1961 (ditetapkan kemudian pada tanggal 23 Maret 1961) ditetapkan bahwa Dies Natalis
Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang pertama adalah tanggal 10 Nopember 1960.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1965 berdasarkan SK Menteri No. 72
tahun 1965, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) membuka dua fakultas
baru, yaitu, Fakultas Teknik Arsitektur dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam. Dengan
demikian sejak saat itu, ITS mempunyai tujuh fakultas yang tersebar di beberapa tempat,
yaitu: Jl. Simpang Dukuh 11, Jl. Ketabang Kali 2F, Jl. Baliwerti 119-121, Jl. Basuki Rahmat
84 sebagai kantor pusat ITS.
Pada tahun 1972, Fakultas Teknik Sipil pindah ke Jl.Manyar 8, sehingga ITS semakin
terpencar. Kemudian pada akhir 1975, Fakultas Teknik Arsitektur pindah ke kampus baru di
Jl. Cokroaminoto 12A Surabaya. Demikian pula pada tahun 1973 kantor pusat ITS pindah
ke alamat yang sama. Pada tahun 1973 disusunlah rencana induk pengembangan jangka
panjang (20 tahun) sebagai pedoman pengembangan ITS selanjutnya.
Dalam perjalanan pengembangannya, ITS pada tahun 1983 mengalami perubahan
struktur organisasi yang berlaku bagi universitas atau institut sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 5 tahun 1980, Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1981 dan Keputusan
Presiden No. 58 tahun 1982, ITS berubah menjadi hanya 5 fakultas saja, yaitu Fakultas
Teknik Industri, Fakultas Teknik Perkapalan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan Fakultas Non Gelar Teknologi
(Program-Program Non Gelar).
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya merupakan lembaga pendidikan tinggi
yang berdiri mulai tahun 1957, yang dapat dikatakan sebagai salah satu kampus ternama di
Jawa Timur. Fasilitas pendukung di ITS Surabaya diantaranya yaitu graha, fasilitas olahraga
(fasor), UPT pusat bahasa dan budaya, serta masih banyak fasilitas lainnya. Berikut ini
adalah lokasi gedung-gedung non akademik ITS (Gambar 1).
Gambar 1 Peta ITS

Keterangan: tanda berwarna merah menyatakan tempat survey


gedung non akademik (ruang lingkup)

1.4.2 Pemanasan Global


Semakin meningkatnya konsentrasi gas gas rumah kaca akibat emisi ke atmosfer
menyebabkan semakin banyak panas yang terperangkap dibawahnya sehingga menyebabkan
pemanasan global. Apabila konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer mengalami peningkatan,
maka panas matahari yang terperangkap di atmosfer menjadi lebih banyak.
Akumulasi panas inilah yang akan menyebabkan peningkatan suhu permukaan bumi.
Itu sebabnya, pada saat gas rumah kaca terus meningkat, pemanasan global akan terjadi.
Gejala ini juga diikuti naiknya suhu air laut, perubahan pola iklim seperti naiknya curah
hujan, perubahan frekuensi dan intensitas badai, dan naiknya permukaan air laut akibat
mencairnya es di kutub (Hairiah, 2007).

1.4.3 Gas Rumah Kaca (GRK)


Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di atmosfer yang dihasilkan dari berbagai kegiatan
manusia. Gas ini berkemampuan untuk menyerap radiasi matahari di atmosfer sehingga
menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi lebih hangat. Meningkatnya konsentrasi
GRK di atmosfer akibat aktivitas manusia pada akhirnya menyebabkan meningkatnya suhu
permukaan bumi secara global. Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC)
mengelompokkan sumber emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dalam enam kategori sumber
diantaranya adalah (IPCC, 2006):
1. energi,
2. proses industri,
3. penggunaan zat pelarut dan produk-produk
lainnya,
4. pertanian,
5. tataguna lahan dan kehutanan,
6. limbah.
Dalam Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework
Convention on Climate Change - UNFCCC), ada enam jenis gas yang digolongkan sebagai
GRK, yaitu Karbon Dioksida (CO 2 ), Dinitroksida (N 2 O), Metana (CH 4 ),
Sulfurheksafluorida (SF 6 ), Perfluorokarbon (PFCs) dan Hidrofluorokarbon (HFCs). GRK
terutama dihasilkan dari kegiatan manusia yang berhubungan dengan penggunaan bahan
bakar fosil (minyak, gas dan batubara) seperti pada penggunaan kendaraan bermotor dan
penggunaan alat-alat elektronik. Selain itu penebangan pohon, penggundulan hutan serta
kebakaran hutan juga merupakan sumber emisi GRK. Peristiwa ERK (Efek Rumah Kaca)
menyebabkan bumi menjadi hangat dan layak untuk ditempati manusia. Jika tidak ada ERK,
maka suhu permukaan bumi akan 33C lebih dingin dibanding suhu saat ini.
Gas rumah kaca yang sangat kuat efeknya adalah sulfur Heksafluorida (SF 6 ) yang
mempunyai nilai GWP (Global Warming Potential) sebesar 23.900 GWP dari CO 2 . Potensi
pemanasan global adalah sebuah nilai yang membandingkan potensi gas rumah kaca sebagai
penyerap dan penahan sinar matahari untuk memanaskan bumi, dibandingkan dengan
potensi Karbon Dioksida. Angka GWP pada Tabel 2.2 ini yang dijadikan acuan adalah CO 2 ,
karena berdasarkan usia CO 2 berada dalam atmosfer sangat lama dan membutuhkan waktu
selama 80-120 tahun untuk bisa terurai (Killeen, 1996).

Tabel 2.1 Nilai GWP (Global Warming Potential)


Chemical
Spesies GWP 100
formula
Carbon dioxide CO 2 1
Methane CH 4 25
Nitrous oxide N2O 298
HFCs - 124 - 14800
Sulphur
SF 6 22800
hexafluoride
PFCs - 7390 - 12200
Sumber: IPCC, 2007

1.4.4 Penyebab Gas Rumah Kaca


Antropogenik adalah istilah yang umum dipakai untuk menyatakan segala sesuatu yang
terjadi di alam karena campur tangan manusia (efek, proses, obyek dan material), kejadian
tersebut sebagai lawan kata dari kejadian alami. Penyebab terjadinya pemanasan global
cukup banyak, pemahaman mendasar tentang penyebab dan proses terjadinya sangat
dibutuhkan pertimbangan pengambilan keputusan untuk menanganinya.
Pada dasarnya ada 2 faktor penyebab peningkatan emisi GRK yaitu kejadian alami dan
anthropogenik. Faktor anthropogenik masih dapat dibedakan antara faktor pembakaran BBF
(bahan bakar fossil) dan alih-guna lahan (Hairiah, 2007).

1.4.5 Carbon Footprint


Carbon Footprint merupakan suatu ukuran jumlah total dari hasil emisi karbon dioksida
yang secara langsung maupun tidak langsung yang disebabkan oleh aktifitas atau akumulasi
yang berlebih dari penggunaan produk dalam kehidupan sehari-hari (Wiedmann dan Minx,
2008).
Carbon Footprint ada 2 macam, yaitu:
1. Footprint primer adalah tolak ukur untuk emisi langsung CO 2 dari pembakaran bahan
bakar, termasuk konsumsi energi domestik dan transportasi (mobil dan pesawat terbang).
2. Footprint sekunder adalah tolak ukur emisi tidak langsung CO 2 dari lifecycle produk-
produk yang kita gunakan, dari pembuatan sampai ke penguraian. Jadi, semakin banyak
kita membeli, semakin banyak pula emisi yang dihasilkan atas nama kita (Walser, 2010).
1.4.6 Efek Rumah Kaca
Efek rumah kaca memegang peranan penting dalam melindungi kelangsungan makhluk
hidup di muka bumi. Sebagai pelindung karena gas karbondioksida, metana, dan jenis
lainnya termasuk uap air dalam konsentrasi seimbang berfungsi menahan energi panas
matahari yang memancarkan sinarnya ke bumi sehingga permukannya selalu dalam kondisi
hangat.
Efek rumah kaca adalah proses masuknya radiasi dari matahari dan terjebaknya radiasi
dalam atmosfer akibat gas rumah kaca sehingga menaikkan suhu permukaan bumi. Pada
proporsi tertentu efek rumah kacalah yang memberikan kesempatan kehidupan berbagai
mahluk di planet ini (Schnoor, 1996).

1.4.7 Dampak Efek Rumah Kaca


Perubahan iklim yang dicirikan oleh peningkatan suhu udara dan perubahan besaran dan
distribusi curah hujan telah membawa dampak yang luas dalam banyak segi kehidupan
manusia dan diperkirakan akan terus memburuk . Beberapa dampak yang ditimbulkan dari
efek rumah kaca bagi kehidupan manusia:
Berkurangnya produksi tanaman pertanian oleh kejadian kekeringan dan banjir
Penurunan sumber daya air secara kualitatif maupun kuantitatif
Meningkatnya risiko kebakaran hutan
Meningkatnya risiko kehidupan manusia, epidami penyakit infeksi
Meningkatnya erosi pantai dan kerusakan bangunan dan infrastruktur pantai
Meningkatnya kerusakan ekosistem pantai seperti terumbu karang dan mangrove
Menurunnya potensi pembangkit listrik tenaga di daerah rawan kekeringan
Meningkatnya kejadian kekeringan dan kebanjiran jika emisi GRK tidak dapat dikurangi
dan distabilkan.
(Harmoni, 2009).

1.4.8 Faktor Emisi


Faktor emisi merupakan nilai rata-rata suatu parameter pencemar udara yang
dikeluarkan sumber spesifik. Faktor-faktor ini biasanya dinyatakan sebagai berat polutan
dibagi dengan satuan berat, volume, jarak, atau lamanya aktivitas yang dapat mengeluarkan
polutan. Adanya variasi tersebut, menimbulkan ekspresi faktor emisi dengan unit yang
berbeda (Anonim, 2010).

Berikut ini perhitungan faktor emisinya.

EF = FC.NCV.CEF.Oxid.44/12......................................(1)

Dimana:
EF = Emission factor
SFC = Specific fuel Consumption kiloton (kt fuel/MWh)
NCV = Net Calorific Value ton joule/kiloton fuel (TJ/kton fuel)
CEF = Carbon Emission Factor (TC/TJ)
Oxid = Oxidation factor

Setelah faktor emisi dihitung lalu:


kg CO 2 = EF . pemakaian listrik (kiloWatt)..............(2)
Emisi faktor diperoleh berdasarkan referensi penyediaan listrik yang diproduksi oleh
pembangkit listrik Pembangkit Listrik Negara (PLN). Penyediaan listrik ditentukan oleh
PLN dengan produksi pembangkit listrik menggunakan sistem interkoneksi dalam satu area
besar yaitu Jawa, Madura, dan Bali (Gusman, 2009).
Perhitungan emisi faktor dari penyediaan listrik oleh PLN menggunakan data pembangkit
dengan bahan bakar yang ada, kemudiaan dirata-rata berdasarkan alasan interkoneksi
transmisi yang disalurkan PLN ke konsumen.

1.4.9 CO 2 dari Konsumsi Listrik


Konsumsi energi listrik tidak secara langsung berkontribusi terhadap emisi CO 2 , akan
tetapi berperan dalam menghasilkan CO 2 di pusat pembangkit listrik yang berbahan bakar
fosil. Inventarisasi emisi CO 2 untuk pembangkitan energi listrik dihitung berdasarkan emisi
CO 2 dari pembakaran bahan bakar dengan menggunakan pendekatan (IPCC, 1996).
Emisi CO 2 disajikan berdasarkan total massa (ton) dan tingkat output. Beberapa alat
listrik yang sering digunakan terdapat pada Gambar 2.

Gambar 2 Peralatan Elektronika

1.4.10 Perhitungan Jejak Karbon


Jejak karbon yang disingkat CFP merupakan satuan ukuran untuk mengukur seberapa
besar pengaruh aktivitas manusia terhadap lingkungan dan terutama terhadap perubahan
iklim. CFP dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Jejak karbon primer yaitu ukuran emisi CO 2 yang bersifat langsung. Ukuran emisi ini
didapat dari hasil pembakaran bahan bakar fosil seperti untuk kendaraaan dan
transportasi.
b. Jejak karbon sekunder yaitu ukuran emisi CO 2 yang bersifat tak langsung. Hal ini didapat
dari daur ulang hidup dari produk-produk yang kita gunakan, seperti listrik yang
digunakan untuk menyalakan mesin, peralatan elektronik dan sebagainya.
Pada umumnya, perhitungan jejak karbon dilakukan dengan mengidentifikasi
penggunaan energi yang berupa ukuran emisi yang bersifat langsung hingga penggunaan
peralatan elektronik.
Emisi CO 2 dari konsumsi energi diperoleh dari hasil kali antara volume penggunaan
listrik dengan faktor emisi CO 2 . Perhitungan emisi CO 2 merupakan cara pencarian jumlah
CO 2 yang dilepaskan di suatu daerah sebagai konsekuensi kegiatan produksi dengan
konsumsi bahan bakar, untuk menghitung emisi CO 2 diperlukan data konsumsi atau
produksi bahan tertentu dan faktor emisinya. Sebagai contoh maka dapat menggunakan
faktor emisi yang sudah ditentukan oleh IPCC (2006).

1.4.11 Karbon Kalkulator


Menghitung jejak karbon akan menolong baik individu maupun kelompok, untuk
mengetahui berapa besar sumbangan emisi karbon yang telah diberikan kepada dunia pada
satu periode tertentu. Untuk melakukannya, alat bantu seperti karbon kalkulator diperlukan.
Idealnya, pengukuran jejak karbon bertujuan untuk mengukur paparan karbon akibat
gaya hidup dan konsumsi langsung individual atau kelompok terhadap barang dan jasa.
Kadang ada juga yang menghitung dengan pendekatan yang berbeda atau lebih detail.
Contoh penghitungan jejak karbon yang paling sederhana adalah konsumsi energi, biasanya
tenaga listrik, perjalanan dengan menggunakan motor/mobil, dan lain-lain.
Gambar 3 Contoh Perhitungan Emisi CO 2
Sumber: Institute for Essential Services Reforms (IESR), 2011

1.4.12 Kebutuhan Listrik Nasional


Meningkatnya pendapatan, jumlah penduduk di seluruh wilayah Indonesia diprakirakan
total kebutuhan listrik nasional selama periode 2008-2030 meningkat rata-rata sebesar 9,8%
per tahun. Kebutuhan listrik akan meningkat dari 140 TWh pada tahun 2008 menjadi 1.097
TWh pada tahun 2030. Pemanfaatan listrik pada sektor industri diperkirakan akan terus
dominan dengan pasar sekitar 40% dari total kebutuhan pada tahun 2030.
Wilayah pemakaian kebutuhan listrik untuk rumah tangga mencapai 35% diikuti oleh
sektor komersial sebesar 18% dan sektor publik sebesar 7%. Pertumbuhan kebutuhan listrik
yang cukup pesat mengakibatkan diperlukannya penambahan kapasitas pembangkit yang
cukup besar pula. Total kapasitas pembangkit listrik nasional dan Independent Power
Producer (PLN dan IPP) meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 9% per tahun
dari 30,3 GW pada tahun 2008 menjadi 201 GW pada tahun 2030 (Sugiono, 2010).
Gambar 4 Peningkatan Kebutuhan Listrik Nasional (Sugiono, 2010)

1.4.13 Pembangkit Jawa Bali


PT PJB (Pembangkit Jawa Bali) melaksanakan kegiatan usaha antara lain sebagai
penyediaan tenaga listrik yang ekonomis, bermutu tinggi dan handal, melaksanakan
pembangunan dan pemasangan pembangkit, pemeliharaan dan pengoperasian pembangkit,
serta usaha-usaha lain yang berkaitan dengan kegiatan perseroan dalam rangka
memanfaatkan secara maksimal potensi yang dimiliki. Beberapa pembangkit yang
bekerjasama untuk mengalirkan listrik Jawa-Bali adalah:

1. Unit Pembangkit Gresik


Unit Pembangkit (UP) Gresik setiap tahun membangkitkan energi listrik rata-rata
12.814 GWh yang disalurkan melalui saluran udara tegangan tinggi 150 kV dan saluran
udara tegangan ekstra tinggi 500 kV ke sistem interkoneksi Jawa, Madura, dan Bali.
Bahan bakar yang digunakan ada 3 jenis yaitu: PLTG dan PLTGU menggunakan
HSD/gas, sedangkan PLTU menggunakan MFO/gas kemudian PLTG Gili Timur-Madura
menggunakan HSD.

2. Unit Pembangkit Paiton


Unit Pembangkit (UP) Paiton mampu membangkitkan energi listrik rata-rata 5.606
GWh dan disalurkan melalui Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV ke
sistem interkoneksi Jawa, Madura, dan Bali. UP Paiton menggunakan bahan bakar berupa
batu bara dengan nilai kalori antara 4.830 5140 Kcl/kg dengan menggunakan bahan
bakar HSD.
Selama 1 tahun, UP Paiton membutuhkan bahan bakar batubara 2.578.900 ton,
HSD 3.330 Kiloliter, air penambahan boiler 438.000 ton, dan air servis dipenuhi oleh
sumber air tanah (air sumber) di desa kelontong yang disalurkan ke unit pengolah air
dengan pipa sepanjang 10 km.

3. Unit Pembangkit Brantas


Unit Pembangkit (UP) Brantas (PLTA) setiap tahun mampu memproduksi energi
listrik sebesar 1.034 GWh, sebagian energi disalurkan melalui Saluran Udara Tegangan
Tinggi (SUTT) 70 kV dan 150 kV dan selebihnya melalui saluran distribusi 20 kV.

4. Unit Pembangkit Muara karang


Setiap tahun energi listrik yang dihasilkan rata-rata 7.900 GWh yang disalurkan
melalui SUTET dan SUTT 150 kv ke sisitem interkoneksi Jawa, Madura, dan Bali. UP
Muara Karang mengoperasikan 5 unit PLTU dan 1 unit PLTGU dengan total daya 1.208
MW. UP Muara Karang menggunakan 3 jenis bahan bakar, yaitu:
Menggunakan MFO/HSD,
Menggunakan gas,
Campuran gas dan minyak.

5. Unit Pembangkitan Muara Tawar


Unit Pembangkit (UP) Muara Tawar setiap tahun mampu membangkitkan energi
listrik rata-rata 3.130 GWh dan disalurkan melalui saluran udara tegangan ekstra tinggi
ke sistem interkoneksi Jawa, Madura, dan Bali. Bahan bakar yang digunakan yaitu gas.
.
6. Unit Pembangkit Cirata
Unit ini memanfaatkan waduk seluas 62 km2. PLTA Cirata mengoperasikan 8 x 126
MW dan mampu memproduksi listrik setara dengan pembangkit termal yang
menggunakan BBM 428 ton (PJB, 2010).

1.4.14 Profil PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur


Untuk sampai ke pelanggan di Jawa Timur, energi listrik yang berasal dari seluruh
pembangkit yang ada di Pulau Jawa dan Bali akan melampaui beberapa kelompok sistem,
terutama hal-hal teknis yang menyangkut pendistribusian secara maksimal dan efisien.
Untuk mengatur produksi pembangkit tersebut, PLN membentuk beberapa perusahaan
antara lain PT. PJB dan PT. Indonesia Power, hasil produksinya akan disalurkan oleh PLN
hingga ke gardu induk melalui pengaturan transmisi dan beban. Listrik yang keluar dari
gardu induk, dikelola oleh PT. PLN distribusi Jawa Timur hingga ke pelanggan.
Sebagai ujung tombak pelayanan listrik ke pelanggan, hingga akhir tahun 2004 PT. PLN
distribusi Jawa Timur yang kini memiliki 6,5 juta pelanggan telah mampu menjual listrik
sebesar 1.152.907.858 kWh perbulanya yang terdistribusi ke seluruh 29 kabupaten, 607
kecamatan dan 8.042 desa di Jawa Timur.
Kebutuhan energi listrik di Jawa Timur bisa mencapai 3.100 MW pada saat beban
puncak. Perbedaan beban puncak pada waktu siang dan malam tidaklah berbeda secara
signifikan. Hal ini menandakan bahwa indsutri terus berproduksi pada waktu siang maupun
malam. Sedangkan untuk pelanggan kelompok rumah tangga R-1 jelas banyak meyerap
penggunaan energi listriknya pada malam hari (PJB, 2010).

1.4.15 Hemat Energi Listrik Cegah Perubahan Iklim


Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan untuk mengurangi atau mengatasi emisi CO 2
yang dikeluarkan dapat dilakukan dari hal kecil, seperti pada Gambar 5.
Gambar 5 Tindakan untuk mereduksi CO 2
(Greentopia, 2010)

Perubahan iklim merupakan akibat dari pemanasan global yang dipicu oleh efek rumah
kaca. Efek rumah kaca ini akibat Karbon Dioksida (CO 2 ). Ada tiga faktor yang sangat
mempengaruhi perubahan iklim yakni, transportasi, industri, dan rumah tangga. Ketiganya
merupakan penyumbang emisi CO 2 . Cara lain mencegah perubahan iklim adalah adalah
dengan menghemat penggunaan alat-alat elektronik atau listrik. Misalnya, efektif
menggunakan komputer. Alat-alat elektronik atau listrik juga menyumbang CO 2
(Greentopia, 2010).

1.4.16 Lampu Hemat Energi


Lampu hemat energi (LHE) atau compact fluorescent adalah salah satu bentuk
pengembangan lampu fluorescent. Lampu hemat energi ini terdiri dari ballast elektronik dan
tabung gelas.
Ballast elektronik terdiri dari komponen-komponen semikonduktor yang berfungsi
sebagai:
1. Pembangkit tegangan induksi yang tinggi agar terjadi pelepasan elektron di dalam
tabung.
2. Membatasi arus yang melalui tabung setelah lampu bekerja normal.
Proses kerjanya berlaku sebagai saklar yang bekerja pada setiap siklus gelombang dari
sumber tegangan dan dirancang untuk menggunakan arus listrik secara hemat dan eisien
selama periode pengaturan yang telah ditentukan (Anonim, 2006).

2. Metode

2.1 Kerangka Penelitian dan Langkah Kerja


Sumber yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jurnal ilmiah, buku, laporan tugas
akhir, dan semua informasi yang mendukung penelitian seperti dari internet mengenai
Carbon Footprint. Kerangka penelitian dan langkah kerja yang akan dilakukan dalam
penelitian (Gambar 6 dan 7).
2.1.1 Pengumpulan data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian lapangan ini yaitu berupa data primer dan
data sekunder. Data primer didapatkan dari survey secara langsung ke tempat tersebut
dan melakukan wawancara kepada orang yang berwenang (bagian rumah tangga).
Data sekunder didapatkan dari BAUK, berupa jumlah pemakaian listrik ITS. Data
yang dibutuhkan yaitu alat elektronik apa saja atau alat yang menggunakan listrik di
tempat tersebut, jumlah unit, daya dari setiap alat, dan lama pemakaian rata-rata per
hari.

1. LATAR BELAKANG 4. PENGUMPULAN DATA


IDEAL FAKTA
Untuk melestarikan Konsentrasi karbon Data sekunder Dokumen dari BAUK
lingkungan CO2 harus dioksida di atmosfer terus
dikurangi konsentrasinya naik hingga mencapai 381
menjadi maksimal 350 ppm (bagian permil) pada
GAP
ppm 2005 Pertanyaan
(Jasmin, 2010) (Hofmann, 2005) Wawancara/survei 1.Nama gedung
Data primer langsung 2. Nama Alat
Meningkatnya konsentrasi CO2 disebabkan oleh beberapa 3. Jumlah alat
aktivitas manusia, diantaranya dari penggunaan listrikyang 4. Daya
ikut berkontribusi dalam menyumbang CO2. 5. Lama
pemakaian
2. 3. HASIL dan
RUMUSAN MASALAH TUJUAN 5. PEMBAHASAN
1.Berapa besar emisi CO2 1.Menganalisisis berapa 1.Diperoleh besarnya emisi
yang dihasilkan dari besar emisi CO2 yang CO2 yang dikeluarkan
pemakaian listrik di dihasilkan dari dari listrik non akademik
lingkungan ITS dari pemakaian listrik non ITS
kegiatan non akademik? akademik
2. Bagaimana cara 2. Diperoleh tempat mana saja
mengurangi emisi CO2 2. Mengevaluasi effisiensi
yang memerlukan
yang dihasilkan dari emisi CO2 dari alat
pereduksian CO2 dan
penggunaan listrik di listrik yang digunakan di KESIMPULAN
diperoleh cara pereduksian
lingkungan ITS dari tempat-tempat non
yang tepat
kegiatan non akademik? akademik

3. Memberikan solusi kepada beberapa


3. Seberapa besar 3.Diperoleh solusi yang tepat
tempat yang memang harus dilakukan
pengurangan gas CO2 untuk pereduksian
penggantian atau pengurangan jam
dari pereduksian listrik?
pemakaian alat listrik
4. Berapa biaya yang 4. Menganalisis berapa besar biaya yang 4. Diperoleh besarnya biaya
dikeluarkan untuk dikeluarkan untuk mengganti alat tersebut yang dikeluarkan
penggantian alat

Gambar 6 Kerangka Penelitian

2.1.2 Menghitung emisi CO 2 pada kondisi sebenarnya


Menghitung emisi CO 2 diawali dengan menghitung faktor emisi, dimana faktor
emisi ini didapatkan dari menghitung emisi CO 2 dari setiap pembangkit yang
memasok listrik ke Jawa dan Bali.
Faktor emisi rata-rata ditentukan oleh jenis bahan bakar yang digunakan oleh
pembangkit tersebut, rumus mencari faktor emisi yaitu menggunakan persamaan 1
(halaman 13).
Mengumpulkan data primer Mengumpulkan data sekunder:
Melakukan wawancara di setiap gedung yang 1. Data pemakaian listrik di ITS dari BAUK
masuk ke dalam ruang lingkup untuk 2. Berapa besar pembayaran listrik yang dikeluarkan ITS
mendapatkan alat apa saja yang ada, jumlah, untuk gedung non akademik
jenis/merk, daya dan lama pemakaian 3. Mencari harga satuan dari alat listrik yang akan diganti

Analisis data 1 Sebelum pereduksian


Faktor emisi = SFC.NCV.CEF.Oxid.44/12
kg CO2 = faktor emisi x pemakaian listrik

Analisis data 2 setelah pereduksian


Faktor emisi = SFC.NCV.CEF.Oxid.44/12
kg CO2 = faktor emisi x pemakaian listrik

Besarnya gas CO2 yang tereduksi= kg CO2 sebelum pereduksian kg CO2 setelah pereduksian

Perhitungan biaya yang dikeluarkan untuk penggantian

Penulisan laporan

Kesimpulan

Gambar 7 Langkah Kerja


Nilai-nilai SFC, NCV, CEF, Oxid dapat dilihat pada Tabel 3.1 Tabel 3.4

Tabel 3.1 IPCC Referensi SFC


Jenis SFC Dalam MWh
SFC BATUBARA OC (ton) 0,465
SFC PLTU MFO OC (Kl) 0,23
SFC PLTU gas OC (mmscf) 0,0085
SFC PLTGU HSD CC(Kl) 0,194
SFC PLTGU GAS
0,00826
CC(mmscf)
Sumber:UNFCCC CDM PDD- Version 02,2004 Gusman,2009

Tabel 3.2 IPCC Indonesian Spesifik NCVs


Bahan bakar NCV Satuan
Batubara 23 TJ/Kt Fuel
Crude Oil 42,66 TJ/Kt Fuel
Gas/Diesel Oil 42,66 TJ/Kt Fuel
Natural gas 42,77 TJ/Kt Fuel
Sumber: Revised 1996 IPCC Guidelines for National Green house Gas Inventories,
Reference Manual Table 1-2

Tabel 3.3 IPCC Referensi CEFs


Bahan bakar CEF Satuan
Batubara 26,2 tC/TJ
Crude Oil 20 tC/TJ
Gas/Diesel Oil 20,2 tC/TJ
Natural gas 15,3 tC/TJ
Sumber: Revised 1996 IPCC Guidelines for National Green house Gas Inventories,
Reference Manual Table 1

Tabel 3.4 IPCC Referensi Oxidation Factors


Bahan bakar Oxid Satuan
Batubara 0,98 -
Gas 0,995 -
Oil 0,99 -
Sumber: Revised 1996 IPCC Guidelines for National Green house Gas

SFC adalah Spesific Fuel Consumption yang merupakan data spesifik konsumsi bahan
bakar yang nilai nya didapatkan dari sumber IPCC. Dalam tabel yang ada di IPCC
pemilihan nilai SFC dilihat berdasarkan pembangkit yang mengalirkan listrik.
NCV adalah nilai Net Calorific Volume per unit massa atau volume bahan bakar
(TJ/ton fuel). Nilai ini didapatkan dari IPCC seperti yang telah di uraikan pada bab 2,
pemilihan nilai NCV berdasarkan pada bahan bakar yang digunakan untuk pengaliran
listrik pada alat listrik yang akan diuji.
CEF adalah Carbon Emission Factor, yaitu faktor emisi karbon yang nilainya
ditentukan dari bahan bakar yang digunakan.
Oxid adalah Oxidation Factor yang pemilihannya nilainya juga berdasarkan pada bahan
bakar.
Tabel 3.5 Konversi Massa Karbon per Unit dari Konsumsi Bahan Bakar
Faktor
Fuel Satuan
Konversi
Batubara 0.98 Kt fuel/KT fuel
Crude Oil 0.0009 Kt fuel/kiloliter
Gas/Diesel
0.0009 Kt fuel/kiloliter
Oil
Natural
0.019922 Kt fuel/mmscf
Gas
Sumber : UNFCCC CDM-PDD-Version 02, dalam Gusman, 2009

Faktor dari masing-masing pembangkit diketahui lalu menghitung faktor emisi


rata-rata. Faktor emisi rata-rata inilah yang digunakan untuk perhitungan selanjutnya,
perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada bab IV pembahasan.
Menghitung emisi CO 2 dari setiap gedung non akademik menggunakan persamaan 3
berikut ini.

Emisi CO 2 = Daya x lama pemakaian x faktor emisi rata-


rata.......................................(3)

2.1.3 Evaluasi penghematan


Tindakan yang dilakukan setelah menghitung jumlah emisi CO 2 yang dihasilkan
dari setiap gedung, lalu langkah selanjutnya yaitu melakukan tindakan penghematan.
Evaluasi merupakan langkah awal, saat melakukan survey tentunya dapat melihar
alat-alat mana saja yang berpotensi timbulnya pemborosan.
Alat-alat yang berpotensi menimbulkan pemborosan bisa dilakukan tindakan
seperti penggantian atau pengurangan jam pemakaian.

2.1.4 Menghitung emisi CO 2 pada kondisi setelah reduksi


Tindakan penghematan atau reduksi emisi CO 2 yang telah ditentukan saat
evaluasi, kemuduan diterapkan. Perhitungan emisi CO 2 yang dihasilkan setelah
reduksi menggunakan cara yang sama seperti perhitungan emisi CO 2 pada kondisi
sebenarnya.
Hal yang membedakan hanya pada daya atau lamanya waktu pemakaian. Besarnya
reduksi yang dilakukan yaitu emisi CO 2 pada kondisi sebenarnya dikurangi dengan
emisi CO 2 setelah reduksi.

2.1.5 Perhitungan biaya


Perhitungan biaya ini dilakukan untuk menghitung biaya yang dikeluarkan jika
tindakan reduksi yang dilakukan adalah penggantian alat.
Nilai harga dari barang yang diganti didapatkan dari survey di tempat elektronika,
sehingga harga yang didapatkan benar-benar sesuai keadaan sebenarnya.
Perhitungan besarnya biasa yang bisa dihemat dari hasil evaluasi atau pereduksian
dihitung dengan cara, besarnya listrik yang bisa dihemat dikalikan dengan harga per
kWh.

3. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan setelah melakukan perhitungan penghematan emisi
CO 2 di gedung-gedung non akademik yaitu:
1. Jumlah rata-rata emisi CO 2 /tahun yang dikeluarkan oleh ITS untuk kegiatan non
akademik sebesar 1.076.298,11 kg CO 2 /tahun
2. Tindakan yang dilakukan untuk penghematan penggunaan listrik yaitu dengan
mengganti lampu-lampu TL dan pengurangan waktu pemakaian saat jam istirahat.
3. Persentase penghematan atau reduksi CO 2 terjadi diseluruh gedung non akademik
secara keseluruhan yaitu 14,59%.
4. Biaya yang dikeluarkan dari tindakan penghematan dari kegiatan non akademik yaitu
penggantian lampu menjadi lampu hemat energi yaitu sebesar Rp. 81.297.400.

Daftar Pustaka

Anonim. 1996. Revised 1996 Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC)


Guidelines for National Green house Gas.
Anonim. 2006. Revised 2006 Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC)
Guidelines for National Green house Gas.
Anonim. 2006. Lampu Hemat Energi. <URL:http://jiunkpe/s1/elkt/2006/jiunkpe-ns-s1-
2006-23402118-8287-harmonisa-chapter2.pdf>
Anonim. 2007. Revised 2006 Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC)
Guidelines for National Green house Gas.
Anonim. 2009. Pemakaian listrik (KWh). BAUK, ITS.
Anonim. 2010. Pembangkit Jawa Bali. <URL: http://www.pjb.com/Pembangkit Jawa Bali>
Armel, M., Diah, R., dan Moekti H.S. 2004. Bumi makin panas ancaman perubahan iklim
di indonesia .Jakarta.
Harmoni, A. 2009. Dampak Sosial Ekonomi Perubahan Iklim. Jakarta: Fakultas Ilmu
Komputer dan Teknologi Informasi, Universitas Gunadarma
David, J.H. 2005. Konsentrasi karbon dioksida. Kantor penelitian Atmosfer di Lembaga
Kelautan dan Atmosfer Nasional AS.
Greentopia. March 2010. How to Prevent the Bad Impact from Climate Change. <URL:
http://thegreentopia.blogspot.com/2010/03/how-to-prevent-bad-impact-from-
climate.html>.
Hairiah, K. 2007. Perubahan Iklim Global: Penyebab Terjadinya Peningkatan GRK.
Malang: Universitas Brawijaya, Fakultas Pertanian.
Institute for Essential Services Reforms (IESR). 2011. Kalkulator jejak karbon. <URL:
http://karbonkalkulator.iesr-indonesia.org/index.php/member/home>.
Jasmin, F. 2010. Ambang Batas CO 2 di Atmosfer. <URL: http://www.iklimkarbon.com>.
Schnoor, J. L. 1996. Environmental Modelling : Fate and Transport of Pollutants in
Water, Air and Soil. John Wiley and Sons Inc.
Sugiono, A. 2010. Peran pltn dalam mendukung komitmen Pemerintah untuk
mengurangi emisi CO 2. Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi
(PTPSE) BPPT. Jakarta.
Walser, M.L. 2010. Carbon footprint. Articles of Encilopedia of Earth.
<URL:http://www.eoearth.org/article/Carbon_footprint>
Wiedmann, T. dan Minx, J. 2008. A Definition of 'Carbon Footprint'. In: C. C. Pertsova,
Ecological Economics Research Trends: Chapter 1, pp. 1-11, Nova Science
Publishers, Hauppauge NY, USA. (Italy) as a case study .Environmental
Impact Assessment Review, Vol 29, pp. 39-50.

Anda mungkin juga menyukai