NIM : 04011281621156
CAMPAK
Pengertian Campak
Penyakit Campak dikenal juga dengan istilah morbili dalam bahasa latin dan measles
Dalam bahasa Inggris. Campak, pada masa lalu dianggap sebagai suatu hal yang harus
dialami oleh setiap anak, mereka beranggapan, bahwa penyakit Campak dapat sembuh
sendiri bila ruam sudah keluar, sehingga anak yang sakit Campak tidak perlu diobati. Ada
anggapan bahwa semakin banyak ruam keluar semakin baik. Bahkan ada upaya dari
masyarakat untuk mempercepat keluarnya ruam, dan ada pula kepercayaan bahwa penyakit
Campak akan berbahaya bila ruam tidak keluar pada kulit sebab ruam akan muncul dirongga
tubuh lain seperti dalam tenggorokan, paru-paru, perut atau usus. Hal ini diyakini akan
menyebabkan sesak napas atau diare yang dapat menyebabkan kematian.
Penyakit Campak adalah yang sangat potensial untuk menimbulkan wabah, penyakit
ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi Campak. Tanpa imunisasi, 90% dari mereka
yang mencapai usia 20 tahun pernah menderita Campak. Dengan cakupan Campak yang
mencapai lebih dari 90% dan merata sampai ke tingkat desa diharapkan jumlah kasus
Campak akan menurun oleh karena terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity).
Virus Campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan yang kuat, apabila
berada diluar tubuh manusia virus Campak akan mati. Pada temperatur kamar virus Campak
kehilangan 60% sifat infektisitasnya selama 3 5 hari. Tanpa media protein virus Campak
hanya dapat hidup selama 2 minggu dan hancur oleh sinar ultraviolet. Virus Campak
termasuk mikroorganisme yang bersifat ether labile karena selubungnya terdiri dari lemak,
pada suhu kamar dapat mati dalam 20% ether selama 10 menit, dan 50% aseton dalam 30
menit. Sebelum dilarutkan, vaksin Campak disimpan dalam keadaan kering dan beku, relatif
stabil dan dapat disimpan di freezer atau pada suhu lemari es (2-8C; 35,6-46,4F) secara
aman selama setahun atau lebih. Vaksin yang telah dipakai harus dibuang dan jangan dipakai
ulang.
c. Waktu
Dari hasil penelitian retrospektif oleh Jusak di rumah sakit umum daerah Dr. Sutomo
Surabaya pada tahun 1989, ditemukan Campak di Indonesia sepanjang tahun, dimana
peningkatan kasus terjadi pada bulan Maret dan mencapai puncak pada bulan Mei, Agustus,
September dan oktober.
Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya kasus Campak pada balita di suatu daerah adalah
:
a. Faktor Host
a.1. Status Imunisasi
Balita yang tidak mendapat imunisasi Campak kemungkinan kena penyakit Campak
sangat besar. Dari hasil penyelikan tim Ditjen PPM & PLP dan Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia tentang KLB penyakit Campak di Desa Cinta Manis Kecamatan
Banyuasin Sumatera Selatan (1996) dengan desain cross sectional, ditemukan balita yang
tidak mendapat imunisasi Campak mempunyai risiko 5 kali lebih besar untuk terkena campak
di banding balita yang mendapat Imunisasi.18
a.2. Status Gizi
Balita dengan status gizi kurang mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena
penyakit Campak dari pada balita dengan gizi baik.11
Menurut penelitian Siregar (2003) di Bogor, anak berumur 9 bulan sampai dengan 6 tahun
yang status gizinya kurang mempunyai risiko 4,6 kali untuk terserang Campak disbanding
dengan anak yang status gizinya baik.19
c. Faktor Environment
1. Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan
Desa terpencil, pedalaman, daerah sulit, daerah yang tidak terjangkau pelayanan
kesehatan khususnya imunisasi, daerah ini merupakan daerah rawan terhadap penularan
penyakit Campak.
Stadium Erupsi
Batuk pilek bertambah, suhu badan meningkat oleh karena panas tinggi, kadan-
kadang anak kejang-kejang, disusul timbulnya rash (bercak merah yang spesifik), timbul
setelah 3 7 hari demam. Rash timbul secara khusus yaitu mulai timbul di daerah belakang
telinga, tengkuk, kemudian pipi, menjalar keseluruh muka, dan akhirnya ke badan. Timbul
rasa gatal dan muka bengkak.
Adapun komplikasi yang terjadi disebabkan oleh adanya penurunan daya tahan tubuh
secara umum sehingga mudah terjadi infeksi tumpangan. Hal yang tidak diinginkan adalah
terjadinya komplikasi karena dapat mengakibatkan kematian pada balita, keadaan inilah yang
menyebabkan mudahnya terjadi komplikasi sekunder seperti : Otitis media akut, Ensefalitis,
Bronchopneumonia, dan Enteritis.
1. Bronchopneumonia
Bronchopneumonia dapat terjadi apabila virus Campak menyerang epitel saluran pernafasan
sehingga terjadi peradangan disebut radang paru-paru atau Pneumonia. Bronchopneumonia
dapat disebabkan virus Campak sendiri atau oleh Pneumococcus, Streptococcus, dan
Staphylococcus yang menyerang epitel pada saluran pernafasan maka Bronchopneumonia ini
dapat menyebabkan kematian bayi yang masih muda, anak dengan kurang kalori protein.
Otitis media akut dapat disebabkan invasi virus Campak ke dalam telinga tengah.
Gendang telinga biasanya hyperemia pada fase prodormal dan stadium erupsi. Jika terjadi
invasi bakteri pada lapisan sel mukosa yang rusak karena invasi virus terjadi otitis media
purulenta.
3. Ensefalitis
Ensefalitis adalah komplikasi neurologic yang paling jarang terjadi, biasanya terjadi pada
hari ke 4 7 setelah terjadinya ruam. Kejadian ensefalitis sekitar 1 dalam 1.000 kasus
Campak, dengan CFR berkisar antara 30 40%. Terjadinya Ensefalitis dapat melalui
mekanisme imunologik maupun melalui invasi langsung virus Campak ke dalam otak.
4. Enteritis
Enteritis terdapat pada beberapa anak yang menderita Campak, penderita mengalami
muntah mencret pada fase prodormal. Keadaan ini akibat invasi virus ke dalam sel mukosa
usus.
1. Pencegahan Campak
a. Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial dilakukan dalam mencegah munculnya faktor
predisposisi/resiko terhadap penyakit Campak. Sasaran dari pencegahan primordial adalah
anak-anak yang masih sehat dan belum memiliki resiko yang tinggi agar tidak memiliki
faktor resiko yang tinggi untuk penyakit Campak. Edukasi kepada orang tua anak sangat
penting peranannya dalam upaya pencegahan primordial. Tindakan yang perlu dilakukan
seperti penyuluhan mengenai pendidikan kesehatan, konselling nutrisi dan penataan rumah
yang baik.
b. Pencegahan Primer
Sasaran dari pencegahan primer adalah orang-orang yang termasuk kelompok
beresiko, yakni anak yang belum terkena Campak, tetapi berpotensi untuk terkena penyakit
Campak. Pada pencegahan primer ini harus mengenal faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya Campak dan upaya untuk mengeliminasi faktor-faktor tersebut.
b.1. Penyuluhan
Edukasi Campak adalah pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan mengenai
Campak. Disamping kepada penderita Campak, edukasi juga diberikan kepada anggota
keluarganya, kelompok masyarakat beresiko tinggi dan pihak-pihak perencana kebijakan
kesehatan. Berbagai materi yang perlu diberikan kepada pasien Campak adalah definisi
penyakit Campak, faktor-faktor yang berpengaruh pada timbulnya Campak dan upaya-upaya
menekan Campak, pengelolaan Campak secara umum, pencegahan dan pengenalan
komplikasi Campak.
b.2. Imunisasi
Di Indonesia sampai saat ini pencegahan penyakit campak dilakukan dengan
vaksinasi Campak secara rutin yaitu diberikan pada bayi berumur 9 15 bulan. Vaksin yang
digunakan adalah Schwarz vaccine yaitu vaksin hidup yang dioleh menjadi lemah.
Vaksin ini diberikan secara subkutan sebanyak 0,5 ml. vaksin campak tidak boleh diberikan
pada wanita hamil, anak dengan TBC yang tidak diobati, penderita leukemia.
Vaksin Campak dapat diberikan sebagai vaksin monovalen atau polivalen yaitu vaksin
measles-mumps-rubella (MMR). vaksin monovalen diberikan pada bayi usia 9 bulan,
sedangkan vaksin polivalen diberikan pada anak usia 15 bulan.
Penting diperhatikan penyimpanan dan transportasi vaksin harus pada temperature antara 2C
- 8C atau 4C, vaksin tersebut harus dihindarkan dari sinar matahari. Mudah rusak oleh zat
pengawet atau bahan kimia dan setelah dibuka hanya tahan 4 jam.
c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya untuk mencegah atau menghambat timbulnya
komplikasi dengan tindakan-tindakan seperti tes penyaringan yang ditujukan untuk
pendeteksian dini Campak serta penanganan segera dan efektif. Tujuan utama kegiatan-
kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasi orang-orang tanpa gejala yang
telah sakit atau penderita yang beresiko tinggi untuk mengembangkan atau memperparah
penyakit.
Memberikan pengobatan penyakit sejak awal sedapat mungkin dilakukan untuk mencegah
kemungkinan terjadinya komplikasi. Edukasi dan pengelolaan Campak memegang peran
penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien berobat.
d. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat komplikasi.
Kegiatan yang dilakukan antara lain mencegah perubahan dari komplikasi menjadi kecatatan
tubuh dan melakukan rehabilitasi sedini mungkin bagi penderita yang mengalami kecacatan.
Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien pasien dengan dokter
mapupun antara dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya. Penyuluhan juga sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan penyakit Campak.
Dalam penyuluhan ini yang perlu disuluhkan mengenai :
d.1. Maksud, tujuan, dan cara pengobatan komplikasi kronik
d.2. Upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan
d.3. Kesabaran dan ketakwaan untuk dapat menerima dan memanfaatkan keadaan hidup
dengan komplikasi kronik.
Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait juga sangat
diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu.
Penanggulangan Campak
Pada sidang CDC/PAHO/WHO, tahun 1996 menyimpulkan bahwa penyakit Campak
dapat dieradikasi, karena satu-satunya pejamu/reservoir Campak hanya pada manusia serta
tersedia vaksin dengan potensi yang cukup tinggi yaitu effikasi vaksin 85% dan dirperkirakan
eradikasi dapat dicapai 10 15 tahun setelah eliminasi.
Word Health Organisation (WHO) mencanangkan beberapa tahapan dalam upaya eradikasi
(pemberantasan) penyakit Campak dengan tekanan strategi yang berbeda-beda pada setiap
tahap yaitu :
a. Tahap Reduksi
b. Tahap Eliminasi
Cakupan imunisasi sangat tinggi 95% dan daerah-daerah dengan cakupan imunisasi
rendah sudah sangat kecil jumlahnya, kasus Campak sudah sangat jarang dan KLB hampir
tidak pernah terjadi. Anak-anak yang dicurigai rentan (tidak terlindung) harus diselidiki dan
diberikan imunisasi Campak.
c. Tahap Eradikasi
Cakupan imunisasi sangat tinggi dan merata, serta kasus Campak sudah tidak
ditemukan. Pada sidang The World Health Assambley (WHA) tahun 1998, menetapkan
kesepakatan Eradikasi Polio (ERAPO), Eliminasi Tetanus Noenatorum (ETN) dan Reduksi
Campak (RECAM). Kemudian pada Technical Consultative Groups (TGC) Meeting di Dakka
Bangladesh tahun 1999, menetapkan bahwa reduksi campak di Indonesia berada pada tahap
reduksi dengan pencegahan Kejadian Luar Biasa (KLB).
Strategi operasional yang dilakukan ditingkat Puskesmas untuk mencapai reduksi Campak
tersebut adalah :
a. Imunisasi rutin pada bayi 9 11 bulan (UCI Desa 80%)
b. Imunisasi tambahan (suplemen)
b.1 Catch up compaign : memberikan imunisasi Campak sekali saja pada anak SD kelas 1 s/d
6 tanpa memandang status imunisasi.
b.2 Selanjutnya untuk tahun berikutnya secara rutin diberikan imunisasi Campak pada murid
kelas 1 SD (bersama dengan pemberian DT ) pelaksanaan secara rutin dikenal dengan istilah
BIAS (bulan imunisasi anak sekolah) Campak. Tujuannya adalah mencegah KLB pada anak
sekolah dan memutuskan rantai penularan dari anak sekolah kepada balita.
b.3 Crash program Campak : memberikan imunisasi Campak pada anak umur 6 bulan - > 5
tahun tanpa melihat status imunisasi di daerah risiko tinggi campak.
b.4 Ring vaksinasi : Imunisasi Campak diberikan dilokasi pemukiman di sekitar lokasi KLB
dengan umur sasaran 6 bulan (umur kasus campak termuda) tanpa melihat status imunisasi.
c. Surveilans (surveilan rutin, system kewaspadaan dini dan respon kejadian luar biasa).
e. Pemeriksaan laboratorium
Pada tahap reduksi Campak dengan pencegahan kejadiaan luar biasa : pemeriksaan
laboratorium dilakukan terhadap 10 15 kasus baru pada setiap kejadiaan luar biasa.
Pemantauan kegiatan reduksi Campak pada tingkat Puskesmas dilakukan dengan cara
kenaikan sebagai berikut :
Evaluasi kegiatan reduksi Campak dilakukan dengan menggunakan beberapa indikator yaitu :
a. Cakupan imunisasi tingkat desa/kelurahan. Apakah cakupan imunsasi Campak sudah >
90%
b. Jumlah kasus Campak (laporan W2). Diharapkan kelengkapan laporan W2 > 90%.
c. Indikator manajemen kasus Campak dengan kecepatan rujukan. Diharapkan CFR < 3%.
d. Indikator tindak lanjut hasil penyelidikan. Dimana cakupan sweeping hasil imunisasi di
daerah potensial KLB > 90%, dan cakupan sweeping vitamin A dosis tinggi > 90%.
Cara Pengukuran
Cara pemeriksaan kadar Hb yang digunakan Laboratorium pada penelitian ini adalah
cara fotoelektrik atau Sianmethemoglobin. fotoelektrik atau Sianmethemoglobin
dilakukan dengan prinsip untuk mengubah Hb darah menjadi Sianmethemoglobin
dalam larutan yang berisi kalium sianida. Absorbansi larutan diukur pada panjang
gelombang 540 nm atau filter hijau. Larutan Drabkin yang dipakai pada cara ini
mengubah Hb, oksiHb, metHb dan karboksiHb menjadi Sianmethemoglobin. Kadar Hb
ditentukan dari perbandingan absorbansinya dengan absorbansi standard
Sianmethemoglobin.
Metode ini adalah metode yang dianjurkan oleh International Commitee for
Standardization in Hematology (ICSH). Kelebihan dari metode ini adalah cara
pengukuran kadar Hb dengan teliti karena semua jenis Hb dapat diukur. Standar
Sianmethemoglobin yang ditanggung kadarnya bersifat stabil. Kesalahan cara ini dapat
mencapai kira-kira 2%. Kelemahan dari cara ini adalah kekeruhan dalam suatu sampel
darah dapat mengganggu pembacaan dalam fotokalorimeter dan menghasilkan
absorbansi dan kadar Hb yang lebih tinggi dari sebenarnya contohnya pada keadaan
leukositosis dan lipemia.
Gambar 5: Nilai ambang batas penentuan kadar Hb menurut WHO
Implikasi klinik:
1) Neutrofil
Nilai normal:
Segmen: 36% - 73% SI unit : 0,36 0,73
Batang: 0% - 12% SI unit : 0,00 0,12
2) Eosinofil
Nilai normal : 0% - 6%
Eosinofil memiliki kemampuan memfagosit, eosinofil aktif terutama pada tahap
akhir infl amasi ketika terbentuk kompleks antigen-antibodi. Eosinofil juga aktif
pada reaksi alergi dan infeksi parasit sehingga peningkatan nilai eosinofil dapat
digunakan untuk mendiagnosa atau monitoring penyakit. Pada kasus ini, terjadi
eosinofilia yaitu peningkatan jumlah eosinofil lebih dari 6% atau jumlah absolut
lebih dari 500. Penyebabnya antara lain: respon tubuh terhadap neoplasma,
penyakit Addison, reaksi alergi, penyakit collagen vascular atau infeksi parasit.
3) Basofil
Nilai normal : 0% - 2%
Fungsi basofil masih belum diketahui. Sel basofil mensekresi heparin dan histamin.
Jika konsentrasi histamin meningkat, maka kadar basofil biasanya tinggi. Jaringan
basofil disebut juga mast sel.
4) Monosit
Nilai normal : 0%-11%
Deskripsi: Monosit merupakan sel darah yang terbesar. Sel ini berfungsi sebagai
lapis kedua pertahanan tubuh, dapat memfagositosis dengan baik dan termasuk
kelompok makrofag. Manosit juga memproduksi interferon.
5) Limfosit
Nilai normal : 15% - 45%
Merupakan sel darah putih yang kedua paling banyak jumlahnya. Sel ini kecil dan
bergerak ke daerah inflamasi pada tahap awal dan tahap akhir proses inflamasi.
Merupakan sumber imunoglobulin yang penting dalam respon imun seluler tubuh.
Kebanyakan limfosit terdapat di limfa, jaringan limfatikus dan nodus limfa. Hanya
5% dari total limfosit yang beredar pada sirkulasi.
B. Pemeriksaan Fisik (khusus dan umum)
Dalam pemeriksaan fisik, terdapat beberapa komponen yang perlu dilakukan, yaitu
inspeksi, perkusi, palpasi dan auskultasi.
A. Inspeksi
Inspeksi adalah memeriksa dengan melihat dan mengingat. Inspeksi merupakan
metode observasi yang digunakan dalam pemeriksaan fisik. Inspeksi yang merupakan
langkah pertama dalam memeriksa seorang pasien atau bagian tubuh meliputi :
general survey dari pasien.General survey merupakan bagian penting dan dilakukan
pada permulaan pemeriksaan fisik. Bahkan ada beberapa pemeriksaan general survey
yang dilakukan sebelum anamnesis, seperti mengamati cara berjalan pasien, ekspresi
wajah, tingkat kesadaran, dan lain-lain. Pemeriksaan general survey sangat efektif
untuk mengarahkan diagnosis karena terkadang kita sudah bisa menduga diagnosis at
the first sight (pada pandangan pertama). Tetapi dugaan tersebut harus tetap
dibuktikan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang bila diperlukan.
Yang diobservasi saat inspeksi antara lain status/tingkat kesadaran, adanya tanda
distress, data yang didapat saat berjabat tangan, cara berpakaian, ekspresi wajah,
status mental, dan cara merawat diri pasien, habitus/bangunan tubuh, postur dan
gerakan tubuh, cara berjalan, inspeksi tangan, bau badan dan mulut, status nutrisi
pasien, serta ada atau tidaknya oedema.
B. Palpasi
Merupakan metode pemeriksaan dengan cara meraba menggunakan satu atau dua
tangan. Dengan palpasi dapat terbentuk gambaran organ tubuh atau massa abnormal
dari berbagai aspek :
Ukuran : sebisa mungkin menggunakan ukuran 3 dimensi yang objektif
(panjang x lebar x tinggi, dalam centimeter), atau dibandingkan dengan ukuran
umum suatu benda (sebesar kedelai, kelereng, telur puyuh, dan lainlain).
Tekstur permukaan : Tekstur berguna untuk membedakan dua titik sebagai
titik-titik terpisah meskipun letaknya sangat berdekatan. Paling baik dideteksi
dengan ujung jari. Perbedaan kecil dapat diketahui dengan menggerakkan
ujung jari di atas daerah yang dicurigai. Deskripsinya adalah kering, kasar,
halus, tunggal, berkelompok atau noduler, menonjol atau datar.
Konsistensi massa : Konsistensi paling baik diraba dengan ujung jari,
tergantung pada densitasnya dan ketegangan dinding organ tubuh yang
berongga. Hasilnya berupa konsistensi kistik, lunak, kenyal seperti karet atau
keras seperti papan.
Lokasi massa
Suhu : sama dengan suhu bagian tubuh di sekitarnya atau lebih hangat. - Rasa
nyeri pada suatu organ atau bagian tubuh. - Denyutan atau getaran : denyut
nadi, kualitas ictus cordis. - Batas-batas organ di dalam tubuh : misalnya batas
hati. Dinilai pula apakah massa bersifat mobile (mudah digerakkan) atau
terfiksasi terhadap kulit dan organ di sekitarnya.
Suatu benjolan dapat diperiksa dengan palpasi menggunakan seluruh telapak tangan
atau jari. Dinilai di mana lokasinya, bagaimana bentuknya, berapa ukurannya,
bagaimana konsistensinya, bagaimana tekstur permukaan massa, adanya nyeri tekan,
suhu kulit di atas massa dibandingkan dengan suhu kulit di sekitarnya, dan mobilitas
massa terhadap kulit dan organ di sekitarnya. Dilakukan penilaian juga terhadap
keadaan limfonodi regional.
Hiperekstensi jari tengah tangan kiri. Tekan distal sendi interfalangeal pada
permukaan lokasi yang hendak diperkusi. Pastikan bahwa bagian yang lain dari
tangan kiri tidak menyentuh area perkusi.
Posisikan lengan kanan agak dekat ke permukaan tubuh yang akan diperkusi.
Jari tengah dalam keadaan fleksi sebagian, relaksasi dan siap untuk mengetuk.
Dengan gerakan yang cepat namun relaks, ayunkan pergelangan tangan kanan
mengetok jari tengah tangan kiri secara tegak lurus, dengan sasaran utama sendi
distal interfalangeal. Dengan demikian, kita mencoba untuk mentransmisikan
getaran melalui tulang sendi ke dinding dada. Ketoklah dengan menggunakan
ujung jari, dan bukan badan jari (kuku harus dipotong pendek).
Tarik tangan anda sesegera mungkin untuk menghindari tumpukan getaran yang
telah diberikan. Buatlah ketukan seringan mungkin yang dapat menghasilkan
suara yang jelas.
Lakukan perkusi secara urut dan sistematis. Bandingkan area perkusi kanan dan
kiri secara simetris dengan pola tertentu
Tabe
l:
Mac
am-
mac
am
suar
a
perk
usi
D. Auskultasi
Auskultasi adalah pemeriksaan dengan cara mendengarkan bunyi yang berasal dari
dalam tubuh, yang meliputi frekuensi, intensitas, durasi dan kualitasl, dengan bantuan
alat yang disebut stetoskop.
Frekuensi adalah ukuran jumlah getaran sebagai siklus per menit. Siklus yang banyak
perdetik menghasilkan bunyi dengan frekuensi tinggi dan sebaliknya. Intensitas
adalah ukuran kerasnya bunyi dalam desibel, lamanya disebut durasi. Kemampuan
kita untuk mendengarkan bunyi mempunyai batas tertentu, sehingga diperlukan suatu
alat bantu yaitu stetoskop. Alat ini digunakan untuk memeriksa paru-paru (berupa
suara nafas), jantung (berupa bunyi dan bising jantung), abdomen (berupa peristaltik
usus) dan aliran pembuluh darah. Dengan auskultasi akan dihasilkan suara akibat
getaran benda padat, cair atau gas yang berfrekuensi antara 15 sampai 20.000/detik.
Secara umum dibedakan atas suara bernada rendah dan tinggi. Suara yang bernada
rendah antara lain bising 77 presistolik, bising mid-diastolik, bunyi jantung I, II, III,
dan IV. Suara yang bernada tinggi antara lain bising sistolik dan gesekan perikard
(pericardial friction rub). Membran/diafragma akan menyaring suara dengan frekuensi
rendah bernada rendah (low frequency, low pitched) sehingga yang terdengar adalah
suara bernada tinggi. Bagian mangkuk akan menyaring suara dengan frekuensi tinggi
(high frequency, high pitched) sehingga suara yang terdengar adalah suara bernada
rendah bila mangkuk ditekan lembut pada kulit. Bila mangkuk ditekan keras pada
kulit, maka kulit dan mangkuk akan berfungsi seperti membran, sehingga yang
terdengar adalah suara berfrekuensi tinggi. Auskultasi paru untuk mendengar suara
nafas. Pernafasan yang tenang dan dangkal akan menimbulkan bising vesikuler yang
dalam keadaan normal terdengar di seluruh permukaan paru kecuali di belakang
sternum dan di antara kedua skapula dimana bising nafas Membran/ diafragma
Mangkuk/ bell Ear pieces/ ear plug 78 adalah bronkovesikuler. Bising vesikuler
ditandai dengan masa inspirasi panjang dan masa ekspirasi pendek. Auskultasi
jantung berguna untuk menemukan bunyi-bunyi yang diakibatkan oleh adanya
kelainan pada struktur jantung dengan perubahan-perubahan aliran darah yang
ditimbulkan selama siklus jantung. Untuk dapat mengenal dan menginterpretasikan
bunyi jantung dengan tepat perlu dikenal dengan baik siklus jantung.
Bunyi jantung diakibatkan karena getaran dengan masa amat pendek. Bunyi timbul
akibat aktifitas jantung dapat dibagi dalam :
Bunyi jantung 1: disebabkan karena getaran menutupnya katup atrioventrikuler
terutama katup mitral, getaran karena kontraksi otot miokard serta aliran cepat saat
katup semiluner mulai terbuka. Pada keadaan normal terdengar tunggal.
Bunyi jantung 2: disebabkan karena getaran menutupnya katup semiluner aorta
maupun pulmonal.
Teknik auskultasi: Dalam melakukan auskultasi ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu:
Analisis Masalah
Epidemiologi campak
Di Indonesia, campak masih menempati urutan 5 dari 10 penyakit utama pada bayi
dan anak balita (1-4Tahun) berdasarkan SKRT tahun 1985/1986. KLB masih terus
dilaporkan diantaranya KLB di pulau Bangka pada tahun1971 dengan angkan
kematian 12% dan Bengkulu, Palembang pada tahun1981 dengan 15%.
REFERENSI
Regina. 2008. Campak. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/122973-S-5431-Faktor-faktor-
Tinjauan%20pustaka.pdf
Halim, Ricky. 2016. Campak Pada Anak.
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/download/31/28
Panjaitan, Dody. 2008. Karakteristik Anak Penderita Campak di Puskesmas Sibuhuan
Kecamatan Barumn Kabupaten Padang Lawas Tahun 2008.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/26215
Andriani, Julia. 2009. Morbili/Measles/Campak. files-of-drsMed.tk
Tommy. 2009. Campak. http://journal.unair.ac.id/searching_na.html
Mulyo, Annang. 2015. Dasar- Dasar Pemeriksaan Fisik.
http://prodikedokteran.fk.uns.ac.id/wp-content/uploads/2015/09/GABUNGAN MANUAL-
SEMESTER-1-Edisi-2015.pdf
Musrifani, Adenin Dian. 2012. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ibu Terhadap Status
Imunisasi Dasar Pada Anak Usia 12-23 Bulan di Puskesmas Medan Marelan Tahun 2012.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/37198/