PENDAHULUAN
Kanker serviks uteri masih merupakan kanker pada wanita nomor 2 tersering
di seluruh dunia, dimana didapatkan angka 15% dari semua kanker pada
wanita. Ini merupakan kanker yang paling banyak pada wanita di negara
berkembang, yaitu 20-30% dari semua kanker wanita. Di negara maju
frekuensinya berkisar hanya 4-6%. Perbedaan yang besar ini mencerminkan
pengaruh dari skrining masal secara luas yang menggunakan metode sitologi
serviks.2
Diagnosis kanker serviks uteri tidak sulit apalagi bila tingkatannya
sudah lanjut. Yang menjadi masalah adalah bagaimana melakukan pencegahan
kanker serviks. Ini dilakukan dengan deteksi, eradikasi, dan pengamatan
terhadap lesi prakanker serviks. Kemampuan untuk deteksi dini kanker serviks,
disertai kemampuan untuk penatalaksanaan dengan tepat, akan menurunkan
angka kejadian kanker serviks.
Kejadian kanker leher rahim sering pada usia antara 30-60 tahun, dan
terbanyak pada umur 45-50 tahun, hanya 9% dari perempuan berumur kurang
dari 35 tahun yang menunjukkan keganasan serviks uteri yang invasif pada
saat didiagnosis, sedangkan 53% karsinoma in situ didapati pada 55% wanita
di bawah umur 35 tahun.3
Perjalanan penyakit karsinoma sel skuamosa serviks merupakan model
karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari proses
karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga
tumbuh menjadi invasif. Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi
invasif sekitar 10 tahun.
Karsinogenesis merupakan proses perubahan menjadi kanker, proses
ini melalui tahapan yang disebut sebagai multistep carsinogenesis. Proses
karsinogenesis secara bertahap diawali dengan proses inisiasi, dilanjutkan
dengan promosi dan berlanjut dengan progresi dari sel normal menjadi sel
2
Serviks merupakan bagian yang terpisah dari badan uterus dan biasanya
berbentuk silinder, panjangnya 2,5-3 sentimeter, mengarah ke belakang
bawah. Bagian luar dari serviks pars vaginalis (porsio) disebut ektoserviks
dan berwarna merah muda. Di bagian tengah porsio terdapat satu lubang
yang disebut ostium uteri eksternum yang berbentuk bundar pada
perempuan yang belum pernah melahirkan dan berbentuk bulan sabit pada
yang sudah melahirkan. Antara ostium uteri internum dan ostium uteri
eksternum dihubungkan oleh kanalis servikalis yang dilapisi oleh epitel
3
Pada masa bayi endoserviks beserta bibir porsio tertarik ke kanalis servikalis
sehingga SSK selalu lebih ke kranial dari ostium uteri eksternum. Karena
estrogen sudah sangat berkurang, epitel akan atropik dan menjadi tipis
sehingga pembuluh darah kapiler subepitel jelas terlihat.15 Trauma dan infeksi
mudah terjadi sehingga perdarahan-perdarahan subepitel tidak jarang
ditemukan.15
ditemukan pada sel-sel epitel. Klasifikasi yang digunakan oleh Ricard tahun
1967 menggunakan istilah Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS) untuk kedua
bentuk displasia dan karsinoma in-situ. NIS terdiri dari :
1. NIS 1, atau displasia ringan, bila polaritas sel sudah tidak baik sampai
kira-kira 1/3 tebal epitel dan atipia sel masih ringan
2. NIS 2 , atau displasia sedang, bila perubahan tersebut mencakup 1/2-3/4
tebal dan atipia sel derajat sedang
3. NIS 3, atau displasia berat dan karsinoma in situ, bila perubahan tersebut
3/4 atau seluruh tebal dan polaritas tidak teratur, atipia sel berat serta
ditemukan mitosis sel 4,7,24
Patogenesa NIS dapat dianggap sebagai suatu spektrum penyakit yang dimulai
dari displasia ringan (NIS 1), displasia sedang (NIS 2), displasia berat dan
karsinoma in situ (NIS 3) untuk kemudian berkembang menjadi karsinoma
invasif. Beberapa peneliti menemukan bahwa 30-35% NIS mengalami regresi,
yang terbanyak berasal dari NIS 1 / NIS 2. Karena tidak dapat ditentukan lesi
mana yang akan berkembang menjadi progresif dan mana yang tidak, maka
semua tingkat NIS dianggap potensial menjadi ganas sehingga harus
ditatalaksanai sebagaimana mestinya. 7,24
Untuk berlanjut menjadi karsinoma in situ umumya diperlukan waktu 5
tahun dari displasia ringan, 3 tahun dari displasia sedang dan 1 tahun dari
displasia berat. Namun tidak semua displasia akan berkembang menjadi
karsinoma. Displasia dapat mengalami regresi, menetap pada level tertentu
selama bertahun-tahun atau memburuk tergantung pada daya tahan tubuh
penderita.7,24
Dexeus dkk mengemukakan bahwa sekitar 15% displasia ringan akan
berkembang menjadi displasia sedang, 30% displasia sedang akan berkembang
menjadi displasia berat dan 40% mengalami regresi menjadi displasia ringan.
45% displasia berat akan berkembang menjadi karsinoma in situ dan 20%
12
lagi dibedakan histopatologi NIS 1 dan flat condyloma seperti pada konsep
NIS. Kedua kelainan histologi dinyatakan sebagai satu kelainan morfologi
yang disebabkan oleh infeksi virus anogenital. Dapat disimpulkan bahwa LIS
derajat rendah adalah manifestasi morfologi dari tahap infeksi HPV yag
produktif dari berbagai tipe HPV anogenital yang tergolong risiko rendah.
Pada LIS derajat tinggi terdapat 2 perbedaan gambaran histologi dimana
gambaran histologi pertama sesuai dengan displasia sedang (NIS 2) dan
gambaran lainnya adalah berupa gambaran displasia berat / karsinoma in situ
dimana atipik mencapai seluruh tebal epitel, dan proliferasi sel epitel atipik
dapat meluas sehingga melibatkan juga epitel kelenjar endoserviks yang
berdekatan. LIS derajat tinggi adalah tahap neoplastik dari infeksi HPV
berisiko tinggi (Tipe 16, 18, 31, 33, 35).
V. FAKTOR RISIKO
A. Perilaku seksual
Banyak faktor yang disebut-sebut mempengaruhi terjadinya kanker
serviks. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa golongan
perempuan yang mulai melakukan hubungan seksual pada usia kurang dari
20 tahun atau mempunyai pasangan seksual yang berganti-ganti lebih
berisiko untuk menderita kanker serviks. Tinjauan kepustakaan mengenai
etiologi kanker serviks menunjukkan bahwa faktor risiko lain yang penting
adalah hubungan seksual suami dengan pekerja seks komersial (PSK) dan
dari sumber itu membawa penyebab kanker (karsinogen) kepada istrinya.
Data epidemiologi yang tersusun sampai akhir abad 20, menyingkap
kemungkinan adanya hubungan antar kanker serviks dengan agen yang
dapat menimbulkan infeksi. Karsinogen ini bekerja di daerah transformasi,
menghasilkan suatu gradasi kelainan permulaan keganasan, dan paling
berbahaya bila terpapar dalam waktu 10 tahun setelah menarkhe.
14
D. Kontrasepsi hormonal
Pemakaian pil KB lebih dari 5 tahun mempunyai risiko 2 kali lebih besar
terjadinya kanker serviks. Daerah yang mengandung regulasi transkripsi
DNA virus mengandung elemen yang dapat mengenali hormon, dan dapat
meningkatkan transformasi sel oleh virus DNA. Dengan demikian maka
hormon dalam pil KB dapat meningkatkan daya karsinogenesis dari virus.
E. Status imunitas tubuh
Kanker serviks meningkat pada perempuan yang immunitasnya tertekan
seperti pada penderita yang mendapat transplantasi ginjal dan HIV.
1. HPV risiko rendah, yaitu HPV tipe 6 dan 11, 46 jarang ditemukan pada
karsinoma invasif.
2. HPV risiko sedang, yaitu HPV tipe 33, 35, 40, 43, 51, 56, 58.
3. HPV risiko tinggi, yaitu HPV tipe 16, 18, 31 sering ditemukan pada
karsinoma invasif.7,9
Dengan demikian infeksi HPV ini merupakan faktor inisiasi untuk terjadinya
proliferasi dan perubahan morfologi. Proses perubahan morfologi dan
proliferasi disebut sebagai fase laten dan untuk bermanifestasinya diperlukan
faktor-faktor promotor seperti nikotin, virus lain, atau mutasi acak.7-9
11, 42, 43, 44. bila HPV menginfeksi sel basal, terjadi regulasi yang baik
antara sel basal dengan DNA HPV. Pada tahap mitosis dari sel basal, ekspresi
gen HPV dihambat sehingga sel basal tetap normal morfologinya. Ekspresi
DNA HPV akan muncul pada tingkat keratinosit, dimana sel tidak membelah
lagi. E6 dan E& dari ORF DNA HPV akan mengaktifkan sintesis DNA
sehingga inti membesar dan hiperkromatik, yang akan menghasilkan gambaran
atipik. Sedang E4 dan ORF akan mengikat fellagrin, suatu protein sitokeratin
pada keratinosit, dengan akibat hilangnya matriks sitokeratin dan tumbuh
kavitas dalam sitoplasma yang dinamakan koilositosis. Pada tahap ini
dihasilkan partikel virus yang infeksius.
LIS derajat tinggi disebabkan oleh HPV berisiko tinggi, yaitu tipe 16, 18,
31, 33, 35. Yang berperan dalam patogenesis adalah onkoprotein E6 dan E7
dari HPV 16, 18. E6 mengikat protein tumor supresor P53 dan E7 akan
berkaitan dengan protein tumor supresor Rb dimana afinitas integrasi kedua
onkoprotein pada HPV 16 & 18 lebih besar dibandingkan dengan HPV
berisiko rendah. Hilangnya ekspresi onkogen P53, yang merupakan pengatur
apoptosis, dan Rb menyebabkan hilangnya regulasi siklus sel dan terjadinya
proliferasi tidak terkontrol. Hiperproliferasi sel basal menghasilkan gambaran
displasia sedang dan berat, yang selanjutnya dapat berkembang menjadi
fenotip ganas bila disertai mutagen eksternal atau predisposisi genetik dari
host.
Selain mekanisme integrasi, dapat terjadi mutasi pada E2 dari early gene
expression. E2 berperan mengatur onkogen E6 dan E7. apabila terjadi
kehilangan kontrol pada E6 dan E7 , ekspresi onkogen dalam populasi sel akan
menghilang atau berkurang sehingga sel tetap membelah. Infeksi HPV ini
merupakan faktor inisiasi untuk terjadinya proliferasi dan perubahan
morfologi. Keadaan ini disebut fase laten dan memerlukan faktor promotor
sepeti nikotin, jenis virus lain atau mutasi acak untuk dapat bermanifestasi.
18
VIII. TERMINOLOGI
Dikenal beberapa sistem pelaporan hasil pemeriksaan tes Pap yaitu sistem
Papanicolaou, sistem deskriptif, Neoplasia Intaepitelial Serviks, sistem
Bethesda dan revisinya. Terminologi pelaporan yang semula banyak digunakan
mengacu pada klasifikasi Papanicolaou (Papanicolaou dan Traut 1943), yang
dinyatakan dalam kelas I-kelas V . Klasifikasi ini kemudian ditinggalkan.
Pada tahun 1953 Reagen mengajukan terminologi displasia-karsinoma in
situ. Displasia serviks merupakan spektrum heteroplastik yang meliputi epitel
skuamosa atau epitel metaplastik. Tampak pertumbuhan hiperplastik epitel
yang ditandai oleh adanya kegagalan maturasi dan diferensiasi dengan
perubahan inti yang hiperkromatik dan abnormal. Richard pada tahun 1967
menyebutkan istilah neoplasia intraepitel serviks (NIS) yang menggambarkan
abnormalitas intraepitel serviks sebagal proses berkesinambungan dari
penyakit yang bervariasi dalam derajatnya. Pengertian NIS I meliputi displasia
ringan, NIS 2 displasia sedang, dan NIS 3 mempersatukan istilah displasia
berat dan karinoma in situ. Richart sendiri pada tahun 1990 memodifikasi NIS
sebagai NIS derajat rendah dan NIS derajat tinggi yang berguna untuk
kepentingan klinik. LIS derajat tinggi meliputi kondiloma atipik,
displasia sedang (NIS 2), displasia berat (NIS 3) dan karsinoma in situ. 6
Pada tahun 1988 pertemuan para ahlisitopatologi pada lokakarya di National
Institutes of Health Campus Bethesda, di Maryland pada tanggal 12-13
Desember 1988 melahirkan sistem Bethesda. Motivasi utama untuk mengubah
sistem yang lama adalah adanya nilai negatif palsu yang tinggi (12-69%).
specified) (organism)
Reactive and reaparative changes
Squamous cell abnormalities
Atypical squamous cells Squamous atypia III
1. of undetermined HPV atypia, exclude LSIL
significance (ASC-US)
2. exclude high-grade Exclude HSIL
lesions (ASC-H)
Low-grade squamous HPV atypia
Intraepitheal lesion (LSIL) Mild dysplasia CIN 1
High-grade squamous Moderate dysplasia CIN 2 III
Intraepitheal lesion (HSIL)
Squamous cell carcinoma Severe dysplasia CIN 3 IV
Carcinoma in situ
Squamous cell carcinoma V
10
Dikutip dari Haltch KD dan Berek JS
IX. DIAGNOSIS
Pemeriksaan sitologi, kolposkopi, dan biopsi merupakan komponen
utama yg saling mendukung dalam menegakkan diagnosis lesi
prakanker serviks.
A. Sitologi
Pemeriksaan sitologi pertama kali diperkenalkan oleh Dr. George
Papanicolaou dan Aurel Babel (1928), sedangkan pemakaian spatula
diperkenalkan oleh Dr. J. Ernest Ayre (1947). Pemeriksaan ini tergolong
sederhana, mudah dikerjakan dan tidak menimbulkan rasa nyeri dan
trauma. Sel-sel yang berasal dari eksfoliasi serviks diambil dan diwarnai
secara khusus. Sel-sel abnormal dapat terlihat dibawah mikroskop.7
Tes Pap merupakan faktor penting dalam menurunkan kejadian
karsinoma invasif dengan menemukan lesi prainvasif dan penjelasan
20
sitoplasma matur dan banyak, inti membesar lebih dari 3 kali ukuran inti
sel intermediet sehingga N/C ratio meningkat sedikit, hiperkhromasia inti
bervariasi, disertai variasi ukuran,jumlah dan bentuk inti, sering dijumpai
binukleasi atau multinukleasi, kromatin granuler kasar tersebar rata,
kemungkinan lain tampak berkabut, atau opaque, anak inti umumnya tidak
tampak, atau bila ada tidak tampak jelas, kontour membran inti sedikit
irreguler atau halus, batas sel jelas, perinuclear cavitation (koilocytosis)
merupakan gambaran khas, tetapi bukan patognomonis, kemungkinan lain
sitoplasma tampak padat dan orangeophilic (keratinisasi). Sel ini juga
harus menunjukkan abnormalitas inti. Sel dengan perinuclear hallo tanpa
abnormalitas inti tak dapat dimasukkan dalam LG-SIL
Gambar. 5 LGSIL/HPV
23
Gambar.6 LGSIL/NIS
Jika hasil tes Pap berupa suatu LIS derajat rendah, termasuk diantaranya
infeksi HPV dan displasia ringan (NIS), maka ada 2 pilihan
penatalaksanaannya, yaitu: (1) segera melakukan pemeriksaan kolposkopi
dan (2) follow up tes Pap sitologi secara periodik.Keuntungan melakukan
kolposkopi segera pada LIS derajat rendah adalah :
1. Kolposkopi dapat melakukan biopsi terarah untuk mendapatkan
diagnosis akurat hispatologi.
2. Kolposkopi mengurangi rentang waktu progresifitas lesi intraepitel
serviks dalam melakukan follow up tes Pap.
3. Kolposkopi dapat mendeteksi kemungkinan negatif palsu dari sitologi,
termasuk juga untuk memberi ketenangan pada pasien. 14
Normal / memuaskan
Follow up Tes Pap annual
Dikutip dari Andrijono 1
Gambar.8
HGSIL
Kolposkopi
C. ASCUS
ASC merupakan sel-sel dengan perubahan sitologi curiga LIS yang secara
kualitatif maupun kuantitatif tidak mencukupi untuk suatu interpretasi
definitif. Dengan kata lain merupakan istilah yang meliputi kelainan seluler
melebihi kelainan yang disebabkan perubahan reaktif/ inflamasi akan tetapi
tidak termasuk dalam batasan lesi intraepitel.
Pelaporan ASCUS sangat dianjurkan pada suatu laboratorium
sitologi untuk membedakan ASCUS cenderung ke arah peradangan
26
ASCUS
ASC-H
D. AGUS
Terminologi sistem Betesda 2001 memasukan perubahan pelaporan
abnormalitas sel kelenjar untuk dapat mencerminkan dengan baik
pengetahuan dan pemahaman neoplasia glanduler mutakhir pada sitologi
servikal. Terminologi ini merupakan perluasan subkategori AGUS
(Atypical Glandular cells of Undetermined Significant). Bila didapatkan
AGUS pada pap smear, maka perlu dilakukan pemeriksaan kolposkopi,
kuretase endoserviks, biopsi atau kuretase endometrium. Bila prosedur
diagnostik tersebut belum menjawab asal kelainan sel, maka dilakukan pap
smear ulang, bila tetap AGUS maka dilanjutkan prosedur konisasi dan
laparoskopi diagnostik.2 Angka positif palsu pada tes Pap AGUS adalah
sekitar 2%, tetapi pada penelitian lain lebih tinggi. Akan tetapi pada wanita
dengan tes Pap sel glanduler abnormal sering disertai juga LIS derajat
tinggi/NIS 3, adenokarsinoma in situ dan kanker invasif.14
Gambar. 13
28
Atypical Glandular
Cell
AGUS
AGUS positif
Dikutip dari Kusuma14
Konisasi
XI. RINGKASAN
1. Jumlah kasus dan kematian akibat kanker serviks cukup tinggi, khususnya
di negara-negara yang sedang berkembang, dimana banyak sekali kasus
ditemukan sudah pada stadium lanjut, untuk itu diperlukan penanganan
yang komprehensif.
2. Pemeriksaan skrining secara dini dengan tes Pap dapat mencegah
perkembangan penyakit kanker serviks.
3. Pembagian lesi prakanker serviks menjadi derajat rendah dan derajat tinggi,
tetapi ada juga lesi yang tidak dapat ditentukan signifikansinya (ASCUS
dan AGUS) yang perlu pengamatan lebih lanjut.
4. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis lesi
prakanker serviks, misalnya dengan sitologi, kolposkopi, biopsi, konisasi.
XII. RUJUKAN
1. Andrijono. Kanker serviks. Sinopsis Kanker Ginekologi. Jakarta, 2003: 14-28.
2. Campion M. Preinvasive disease. In: Berek JS, Hacker NF. Practical gynecologic
oncology. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000; 271-315.
3. Mardjikoen P. Tumor Ganas Alat Genital. Dalam : Winkjosastro H. Saifuddin AB,
Rachimhadhi T. Editor. Ilmu Kandungan. Edisi kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 1999;380-9.
4. Sjamsuddin S. Pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran
2001;133::9-14.
5. Harahap RE. Neoplasia Intraepithelial Serviks (NIS). Jakarta:UI Press, 1984:1-77.
6. Hardida HL. Sensitifitas dan Spesifisitas Inspeksi Visual dengan Asam Asetat untuk
Mendeteksi Dini Keganasan Leher Rahim pada Wanita dengan Eritroplakia. Tesis pada
30