Anda di halaman 1dari 30

I.

PENDAHULUAN
Kanker serviks uteri masih merupakan kanker pada wanita nomor 2 tersering
di seluruh dunia, dimana didapatkan angka 15% dari semua kanker pada
wanita. Ini merupakan kanker yang paling banyak pada wanita di negara
berkembang, yaitu 20-30% dari semua kanker wanita. Di negara maju
frekuensinya berkisar hanya 4-6%. Perbedaan yang besar ini mencerminkan
pengaruh dari skrining masal secara luas yang menggunakan metode sitologi
serviks.2
Diagnosis kanker serviks uteri tidak sulit apalagi bila tingkatannya
sudah lanjut. Yang menjadi masalah adalah bagaimana melakukan pencegahan
kanker serviks. Ini dilakukan dengan deteksi, eradikasi, dan pengamatan
terhadap lesi prakanker serviks. Kemampuan untuk deteksi dini kanker serviks,
disertai kemampuan untuk penatalaksanaan dengan tepat, akan menurunkan
angka kejadian kanker serviks.
Kejadian kanker leher rahim sering pada usia antara 30-60 tahun, dan
terbanyak pada umur 45-50 tahun, hanya 9% dari perempuan berumur kurang
dari 35 tahun yang menunjukkan keganasan serviks uteri yang invasif pada
saat didiagnosis, sedangkan 53% karsinoma in situ didapati pada 55% wanita
di bawah umur 35 tahun.3
Perjalanan penyakit karsinoma sel skuamosa serviks merupakan model
karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari proses
karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga
tumbuh menjadi invasif. Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi
invasif sekitar 10 tahun.
Karsinogenesis merupakan proses perubahan menjadi kanker, proses
ini melalui tahapan yang disebut sebagai multistep carsinogenesis. Proses
karsinogenesis secara bertahap diawali dengan proses inisiasi, dilanjutkan
dengan promosi dan berlanjut dengan progresi dari sel normal menjadi sel
2

kanker atau malignant cell.1

II. ANATOMI DAN HISTOLOGI SERVIKS


A. Anatomi serviks
Serviks adalah bagian uterus yang terendah dan menonjol ke puncak
vagina sehingga serviks seolah-olah terbagi menjadi pars vaginalis (porsio)
dan pars supravaginalis.3,5

Gambar 1. Penampang frontal uterus dan vagina; 1. Ostium uteri eksternum;


2. Ostium uteri internum; 3. Kanalis sevikalis; 4. Porsio; 5. Serviks pars
5
supravaginalis; 6. Forniks lateralis; 7. Vagina; 8. Kavum uteri
Dikutip dari Rustam Harahap

Serviks merupakan bagian yang terpisah dari badan uterus dan biasanya
berbentuk silinder, panjangnya 2,5-3 sentimeter, mengarah ke belakang
bawah. Bagian luar dari serviks pars vaginalis (porsio) disebut ektoserviks
dan berwarna merah muda. Di bagian tengah porsio terdapat satu lubang
yang disebut ostium uteri eksternum yang berbentuk bundar pada
perempuan yang belum pernah melahirkan dan berbentuk bulan sabit pada
yang sudah melahirkan. Antara ostium uteri internum dan ostium uteri
eksternum dihubungkan oleh kanalis servikalis yang dilapisi oleh epitel
3

endoserviks. Biasanya panjang kanalis servikalis ialah 2,5 sentimeter,


berbentuk lonjong, lebarnya kira-kira 5 milimeter dengan bagian paling
lebar kira-kira 8 milimeter dan mempunyai lipatan mukosa yang
memanjang. Serviks sendiri disusun oleh sedikit otot polos (terutama pada
endoserviks), jaringan elastik, dan banyak jaringan ikat sehingga kanalis
servikalis mudah diperlebar dengan dilatator. Jika terjadi infeksi pada
kanalis servikalis, perlekatan dan pembengkakkan lipatan-lipatan mukosa
dapat terjadi sehingga spekulum endoserviks sulit ataupun tidak mungkin
dimasukkan dan penilaian kanalis servikalis tidak dapat dilakukan secara
kolposkopik 3,5
Pembuluh darah serviks berada pada bagian kanan kirinya, arteri berasal
dari cabang servikovaginalis arteri uterina dan arteri vaginalis. Secara
langsung dari arteri uterina.
Serviks diinervasi oleh susunan saraf otonom baik susunan saraf
simpatis maupun saraf parasimpatis. Susunan saraf simpatis berasal dari
daerah T5-L2 yang mengirimkan serat-serat yang bersinaps pada satu atau
beberapa pleksus yang terdapat pada dinding abdomen belakang atau di
dalam pelvis sehingga yang sampai di serviks adalah serat postganglionik.
Serat parasimpatik berasal dari daerah S2-S4 dan bersinaps dalam pleksus
belikat atau pada dinding uterus. Karena otot lebih banyak terdapat di
sekitar ostium uteri internum, maka inervasi di daerah tersebut lebih
banyak daripada di ostium uteri eksternum. Serat simpatis ternyata lebih
banyak ditemukan daripada serat parasimpatis. Serat sensorik serviks
sangat erat hubungannya dengan serat saraf otonom dan memasuki
susunan saraf pusat melalui daerah torakolumbal dan daerah sakral. Serat-
serat saraf dalam stroma terlihat berjalan sejajar dengan serat otot
walaupun ujung-ujung saraf sensorik belum pernah ditemukan. Umumnya
biopsi pada serviks dapat dilakukan tanpa pembiusan, sedangkan
4

melebarkan endoserviks terutama daerah ostium uteri internum kadang-


kadang menimbulkan perasaan nyeri.
B. Histologi serviks
Epitel berlapis skuamosa yang menutupi porsio disebut epitel skuamosa
asli (native squamous epithelium). Epitel tersebut mengalami perubahan
secara siklik oleh hormon-hormon steroid ovarium sehingga terjadi
penambahan, pematangan dan pelepasan sel epitel. Dengan demikian
seluruh ketebalan epitel yang biasanya hanya 0,20-0,32 milimeter dalam
keadaan normal akan digantikan seluruhnya dalam 4-5 hari. 23
1. Epitel skuamosa
Epitel skuamosa serviks yang matang terdiri dari beberapa lapisan sel
dan dipisahkan dari stroma dibawahnya oleh lapisan mukopolisakarida
yang disebut membrana basalis :
a.Lapisan paling dalam yang berbatasan dengan stroma disebut lapisan
basal atau lapisan sel germinal, yang berfungsi sebagai pembaharu
dan disusun oleh satu atau dua lapis sel berbentuk lonjong, berdiri
tegak lurus seperti pagar terhadap membrana basalis. Sel-sel
tersebut mengandung sedikit sitoplasma, inti lonjong, banyak
ribosome dan mitokondria.23
b. Lapisan parabasal yang berada tepat di atas lapisan basal, ditempati
oleh sel-sel parabasal yang berfungsi untuk pertumbuhan sel. Pada
lapisan ini terlihat banyak desmosoma, tonofilamen dan permulaan
pembentukan glikogen 23
c.Lapisan intermedier yang terdapat di atas lapisan parabasal.
Ditempati oleh sel-sel yang mengalami pematangan. Semakin ke
luar, sel-sel semakin matang, sitoplasma semakin banyak dan
mengandung banyak glikogen, sedangkan inti sel tetap besarnya.23
5

d. Lapisan superfisial yang terdapat paling luar, terdiri dari sel-sel


yang paling matang dengan inti piknotik, agak meninggi di tengah
sel, sitoplasma banyak dan mengandung banyak glikogen. Sel
berbentuk pipih dan langka akan desmosoma. Microridges terlihat
pada batas sel, biasanya paralel dengan batas sel tersebut.23
2. Epitel kolumner
Kanalis servikalis dan lipatan / kelenjar dilapisi oleh selapis sel epitel
torak tinggi yang menghasilkan sekret. Kelenjar endoserviks
sebenarnya bukan kelenjar asli tetapi hanyalah merupakan lipatan
epitel yang masuk ke stroma serviks dan berbentuk daun kemangi dan
beberapa kolateral buntu. Kedalaman lipatan tersebut dapat mencapai
7,83 milimeter dari permukaan. Inti sel endoserviks biasanya terletak di
basal sedangkan sitoplasmanya terletak tinggi. Kadang-kadang terlihat
sel dengan silia tidak bersekresi, yang bertugas membagi dan
membersihkan lendir. Sambungan skuamokolumner (SSK) ialah garis
atau bidang yang menjadi penyatu antara lapisan epitel skuamosa
dengan lapisan epitel kolumner endoserviks. Secara morfogenetik
terdapat dua SSK yaitu SSK asli yang menjadi tempat pertemuan
antara epitel skuamosa asli dengan epitel kolumner dan SSK baru yang
menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa di daerah
transformasi dengan epitel kolumner.23
3. Daerah transformasi
Pada masa reproduksi, pada kebanyakan perempuan, epitel kolumner
endoserviks menjorok ke porsio sehingga terbentuk apa yang disebut
eversio atau ektropion atau ektopia. Eversio tersebut terlihat berwarna
merah mengelilingi ostium uteri eksternum dan sering disebut oleh
klinikus sebagai erosi porsio uteri. Istilah erosi porsio uteri sebaiknya
tidak digunakan lagi karena umumnya daerah merah disekitar ostium
6

uteri eksternum bukanlah daerah dimana epitel terkelupas. Tetapi


sebagai akibat pembuluh darah kapiler yang berada di bawah epitel
kolumner yang menjorok keluar atau oleh pembuluh darah yang berada
di daerah transformasi. Istilah yang dianjurkan oleh Herbeck dan
Menken untuk daerah merah tersebut ialah eritroplakia. Istilah erosi
vera masih digunakan pada keadaan-keadaan yang secara kolposkopik
terlihat perlepasan epitel. Secara histologik terlihat papil-papil tumpul
yang dilapisi epitel selapis kolumner dan dibawahnya terdapat stroma
yang biasanya meradang kronik. Cara terjadinya eversio belum
diketahui. Menurut Hamperl dan Kaufman, eversio terjadi mungkin
sebagai akibat penguakan kedua bibir porsio karena volumenya
meningkat sebagai akibat peningkatan kadar estrogen. Untuk
melindungi stroma endoserviks di daerah eversio, terjadi perubahan
lapisan epitel dari selapis kolumner menjadi berlapis skuamosa.
Perubahan tersebut dimungkinkan karena pH vagina menjadi rendah
sekali sehingga sel-sel cadangan di bawah epitel kolumner menjadi
sangat aktif. Proses perubahan epitel kolumner menjadi epitel
skuamosa disebut metaplasia. Fluhman dan Francisco mengusulkan
nama prosoplasia squamosa. Proses metaplasia harus dianggap sebagai
peristiwa normal karena terdapat pada kebanyakan perempuan. Daerah
yang terjadi sebagai akibat proses metaplasia disebut daerah
transformasi atau daerah transisi. Daerah tersebut selalu meluas ke arah
kanalis servikalis sehingga SSK baru juga bergerak ke arah yang sama.
Efek samping dari proses metaplasia ialah pembentukan kista Nabothi
sebagai akibat tertutupnya muara kelenjar endoserviks. 7,13,23
Menurut Jordan dan Singer pada proses metaplasia terdapat 3 tahap,
yaitu:
7

Tahap 1 : Sel cadangan menjadi beberapa lapis, belum berdiferensiasi


dan biasanya hal itu mulai pada puncak villi
Tahap 2 : Pembentukan beberapa lapisan sel yang belum
berdiferensiasi meluas ke bawah dan samping villus sehingga villi
menjadi satu
Tahap 3 : Penyatuan beberapa vili menjadi lengkap sehingga di dapat
kan daerah yang licin permukaannya 5,23

Gambar 2. Proses metaplasi


Dikutip dari Burke

Dengan berlanjutnya waktu, pematanganpun terjadi dan stroma vili


yang terdahulu menjadi menghilang. Akibat proses metaplasia ini
secara morfogenetik terdapat dua sambungan skuamokolumner.
Pertama adalah SSK original dimana epitel skuamosa asli yang
menutupi porsio vaginalis bertemu dengan epitel kolumner
endoserviks. Pertemuan antara kedua epitel ini berbatas jelas. Kedua
adalah SSK fungsional yang merupakan pertemuan apitel skuamosa
metaplastik dengan epitel kolumner. Daerah diantara kedua SSK
tersebut disebut daerah tranformasi. 23,24
8

Gambar 3. Daerah Transformasi


Dikutip dari Burke

III. PERUBAHAN FISIOLOGIK EPITEL SERVIKS


Pada genitalia bagian bawah janin terdapat 3 jenis epitel, yaitu :
A. Epitel kolumner di daerah endoserviks
B. Epitel skuamosa asli di vestibulum vagina dan ektoserviks
C. Epitel metaplastik asli (epitel skuamosa yang terjadi dengan proses
metaplasia pada janin atau bayi yang belum berumur 1 bulan).
Dengan adanya ketiga jenis epitel tersebut terdapat beberapa sambungan epitel
yang menghubungkan satu epitel dengan epitel lainnya. Sambungan
skuamokolumner asli menghubungkan epitel skuamosa dengan epitel
kolumner sedangkan sambungan skuamokolumner baru menghubungkan epitel
metaplasi asli dengan epitel kolumner. Umumnya yang dimaksud dengan
sambungan skuamokolumner ialah sambungan skuamokolumner baru.22
Janin yang berumur kurang dari 30 minggu mempunyai epitel kolumner
yang datar dan beberapa kelenjar menuju stroma. Jika metaplasi terjadi pada
9

epitel kolumner demikian, akan didapatkan daerah tranformasi yang lebih


datar dan pembuluh darah lebih sedikit. Sambungan skuamokolumner (SSK)
biasanya terlihat setinggi atau kranial terhadap ostium uteri eksternum.21
Janin yang berumur lebih dari 30 minggu mempunyai epitel kolumner dengan
papil-papil di bagian kaudal dan kelenjar-kelenjar yang lebih dalam di bagian
kranial. Metaplasi yang terjadi pada epitel demikian akan menghasilkan daerah
transformasi yang berisi aneka ragam pembuluh darah. SSK biasanya terlihat
kaudal dari ostium uteri eksternum dan akan menetap pada minggu-minggu
terakhir kehamilan.27
Pada saat kelahiran, kebanyakan SSK terlihat kaudal, hanya sebagian kecil
kranial terhadap ostium uteri eksternum. Kemungkinan lain walaupun jarang
ialah SSK terlihat kaudal terhadap fornik atau terlihat pulau-pulau metaplasi
berada dekat SSK.23
Epitel bayi yang baru lahir terlihat sangat berdiferensiasi. Diferensiasi
tersebut akan menghilang jika pengaruh hormon dari ibu yang berada dalam
darah bayi habis. Sampai saat pancaroba mulai, terlihat epitel skuamosa
menjadi atropik dan SSK menetap letaknya.13
Pada masa pancaroba sampai masa pematangan seks, terlihat perubahan-
perubahan pada epitel karena pengaruh hormon dan keaktifan seks. SSK
terlihat seluruhnya di ektoserviks atau dekat ke ostium uteri eksternum.13
Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya eversio dan penguakan ostium
uteri eksternum hanyalah sedikit. Pada primi lebih sering terjadi eversio karena
susunan otot di bagian luar porsio. Otot tersebut dapat rusak pada persalinan
sehingga pada kehamilan selanjutnya lebih sering terjadi penguakan.24
Pada persalinan timbul ulserasi, laserasi dan perdarahan di bawah epitel.
Hal tersebut lebih sering terjadi pada primi dan di bibir depan porsio tetapi
pengaruhnya terhadap timbulnya eversio hanya kecil, penyembuhan
biasanya terjadi 6-12 minggu kemudian 15
10

Pada masa bayi endoserviks beserta bibir porsio tertarik ke kanalis servikalis
sehingga SSK selalu lebih ke kranial dari ostium uteri eksternum. Karena
estrogen sudah sangat berkurang, epitel akan atropik dan menjadi tipis
sehingga pembuluh darah kapiler subepitel jelas terlihat.15 Trauma dan infeksi
mudah terjadi sehingga perdarahan-perdarahan subepitel tidak jarang
ditemukan.15

IV. PERUBAHAN NEOPLASTIK EPITEL SERVIKS


Proses terjadinya kanker serviks sangat erat hubungannya dengan proses
metaplasia. Masuknya bahan-bahan yang dapat mengubah perangai sel secara
genetik atau mutagen pada saat fase aktif metaplasia dapat menimbulkan sel-
sel yang berpotensi ganas. Perubahan biasanya terjadi pada daerah SSK atau
daerah transformasi. Mutagen tersebut berasal dari dari agen-agen yang
ditularkan secara hubungan seksual dan diduga bahwa HPV memegang
peranan penting.1-6
Sel-sel yang mengalami mutasi dapat berkembang menjadi sel displasia.
Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat dan karsinoma
insitu dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia
dan karsinoma insitu dikenal juga sebagai tingkat prakanker 4-6
Displasia mencakup pengertian berbagai gangguan maturasi epitel skuamosa
yang secara sitologik dan histologik berbeda dari epitel normal. tetapi tidak
memenuhi persyaratan sel karsinoma. Perbedaan derajat displasia didasarkan
atas tebal sel basal yang berproliferasi dan adanya kelainan sel yang atipik.
Sedangkan karsinoma insitu adalah gangguan maturasi epitel skuamosa yang
meliputi seluruh tebal epitel tetapi membran basalis masih utuh.5,7
Proses lain adalah proses metaplasia yang mengalami kegagalan dalam
berdeferensiasi, terjadi atipikal metaplasi sehingga terbentuk sel-sel dengan
kelainan pada inti sel, baik ukuran, bentuk maupun struktur kromatinnya.
Derajat kelainan epitel didasarkan pada kelainan polaritas dan atipia yang
11

ditemukan pada sel-sel epitel. Klasifikasi yang digunakan oleh Ricard tahun
1967 menggunakan istilah Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS) untuk kedua
bentuk displasia dan karsinoma in-situ. NIS terdiri dari :
1. NIS 1, atau displasia ringan, bila polaritas sel sudah tidak baik sampai
kira-kira 1/3 tebal epitel dan atipia sel masih ringan
2. NIS 2 , atau displasia sedang, bila perubahan tersebut mencakup 1/2-3/4
tebal dan atipia sel derajat sedang
3. NIS 3, atau displasia berat dan karsinoma in situ, bila perubahan tersebut
3/4 atau seluruh tebal dan polaritas tidak teratur, atipia sel berat serta
ditemukan mitosis sel 4,7,24
Patogenesa NIS dapat dianggap sebagai suatu spektrum penyakit yang dimulai
dari displasia ringan (NIS 1), displasia sedang (NIS 2), displasia berat dan
karsinoma in situ (NIS 3) untuk kemudian berkembang menjadi karsinoma
invasif. Beberapa peneliti menemukan bahwa 30-35% NIS mengalami regresi,
yang terbanyak berasal dari NIS 1 / NIS 2. Karena tidak dapat ditentukan lesi
mana yang akan berkembang menjadi progresif dan mana yang tidak, maka
semua tingkat NIS dianggap potensial menjadi ganas sehingga harus
ditatalaksanai sebagaimana mestinya. 7,24
Untuk berlanjut menjadi karsinoma in situ umumya diperlukan waktu 5
tahun dari displasia ringan, 3 tahun dari displasia sedang dan 1 tahun dari
displasia berat. Namun tidak semua displasia akan berkembang menjadi
karsinoma. Displasia dapat mengalami regresi, menetap pada level tertentu
selama bertahun-tahun atau memburuk tergantung pada daya tahan tubuh
penderita.7,24
Dexeus dkk mengemukakan bahwa sekitar 15% displasia ringan akan
berkembang menjadi displasia sedang, 30% displasia sedang akan berkembang
menjadi displasia berat dan 40% mengalami regresi menjadi displasia ringan.
45% displasia berat akan berkembang menjadi karsinoma in situ dan 20%
12

mengalami regresi menjadi displasia sedang. Semua kasus karsinoma in


situ akan berkembang menjadi karsinoma mikroinvasif kemudian invasif.4
Dari penelitian histokimia sulit membedakan pada tingkat mana displasia
menjadi irreversibel. Antara displasia berat dan karsinoma in situ tidak ada
perbedaan secara bermakna baik histopatologi dan sitologi sehingga displasia
berat dan karsinoma in situ dimasukkan dalam NIS 3.7,24

Gambar 4. Skema lesi prakanker LIS


Dikutip dari Kurman 7

Seiring dengan berkembangnya penelitian biomolekuler mengenai HPV serta


penelitian mengenai tipe dan patogenesanya serta sistim pelaporan Bethesda,
maka Richard pada tahun 1990 memodifikasi konsep NIS menjadi konsep Lesi
Intraepitel Serviks (LIS) dimana gambaran histologi LIS derajat rendah sama
seperti pada NIS 1. Pada LIS derajat rendah juga terjadi proliferasi sel basal
dan sel parabasal. Juga didapati yaitu akantosis, papilomatosis dan berbagai
variabel, yang paling sering dijumpai yaitu akantosis, papilomatosis dan
penebalan epitel seperti pada flat condyloma. Pada LIS derajat rendah tidak
13

lagi dibedakan histopatologi NIS 1 dan flat condyloma seperti pada konsep
NIS. Kedua kelainan histologi dinyatakan sebagai satu kelainan morfologi
yang disebabkan oleh infeksi virus anogenital. Dapat disimpulkan bahwa LIS
derajat rendah adalah manifestasi morfologi dari tahap infeksi HPV yag
produktif dari berbagai tipe HPV anogenital yang tergolong risiko rendah.
Pada LIS derajat tinggi terdapat 2 perbedaan gambaran histologi dimana
gambaran histologi pertama sesuai dengan displasia sedang (NIS 2) dan
gambaran lainnya adalah berupa gambaran displasia berat / karsinoma in situ
dimana atipik mencapai seluruh tebal epitel, dan proliferasi sel epitel atipik
dapat meluas sehingga melibatkan juga epitel kelenjar endoserviks yang
berdekatan. LIS derajat tinggi adalah tahap neoplastik dari infeksi HPV
berisiko tinggi (Tipe 16, 18, 31, 33, 35).

V. FAKTOR RISIKO
A. Perilaku seksual
Banyak faktor yang disebut-sebut mempengaruhi terjadinya kanker
serviks. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa golongan
perempuan yang mulai melakukan hubungan seksual pada usia kurang dari
20 tahun atau mempunyai pasangan seksual yang berganti-ganti lebih
berisiko untuk menderita kanker serviks. Tinjauan kepustakaan mengenai
etiologi kanker serviks menunjukkan bahwa faktor risiko lain yang penting
adalah hubungan seksual suami dengan pekerja seks komersial (PSK) dan
dari sumber itu membawa penyebab kanker (karsinogen) kepada istrinya.
Data epidemiologi yang tersusun sampai akhir abad 20, menyingkap
kemungkinan adanya hubungan antar kanker serviks dengan agen yang
dapat menimbulkan infeksi. Karsinogen ini bekerja di daerah transformasi,
menghasilkan suatu gradasi kelainan permulaan keganasan, dan paling
berbahaya bila terpapar dalam waktu 10 tahun setelah menarkhe.
14

Keterlibatan peranan pria tersebut terlihat dari adanya korelasi antara


kejadian kanker serviks dengan kanker penis di wilayah tertentu. Lebih
jauh meningkatnya kejadian tumor pada perempuan monogami yang
suaminya sering berhubungan seksual dengan banyak perempuan lain
menimbulkan konsep 'pria berisiko tinggi' sebagai vektor dari agen yang
dapat menimbulkan infeksi.1,3,4,24,25
Banyak penyebab yang dapat menimbulkan kanker serviks, tetapi
penyakit ini sebaiknya digolongkan ke dalam infeksi menular seksual
(IMS). Penyakit kelamin dan keganasan serviks keduanya berkaitan secara
bebas, dan diduga terdapat korelasi non kausal antara beberapa penyakit
akibat hubungan seksual dengan kanker serviks 24,25
B. Merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai
rokok atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic
hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada perempuan perokok
konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di
dalam serum. Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah
menurunkan status imun sehingga dapat menjadi karsinogen infeksi virus.25
C. Nutrisi
Banyak sayur-sayuran dan buah-buahan mengandung bahan-bahan
antioksidan dan berkhasiat mencegah kanker misalnya advokat, brokoli,
kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam dan tomat. Dari beberapa
penelitian ternyata defisiensi asam folat, vitamin C, vitamin E, beta karoten
dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks. Vitamin E, vitamin
C dan beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat. Antioksidan
dapat melindungi DNA / RNA terhadap pengaruh buruk radikal bebas yang
terbentuk akibat aksi dan karsinogen bahan kimia. Vitamin E banyak
terdapat dalam minyak nabati.3,25
15

D. Kontrasepsi hormonal
Pemakaian pil KB lebih dari 5 tahun mempunyai risiko 2 kali lebih besar
terjadinya kanker serviks. Daerah yang mengandung regulasi transkripsi
DNA virus mengandung elemen yang dapat mengenali hormon, dan dapat
meningkatkan transformasi sel oleh virus DNA. Dengan demikian maka
hormon dalam pil KB dapat meningkatkan daya karsinogenesis dari virus.
E. Status imunitas tubuh
Kanker serviks meningkat pada perempuan yang immunitasnya tertekan
seperti pada penderita yang mendapat transplantasi ginjal dan HIV.

VI. FAKTOR ETIOLOGIK


Beberapa peneliti mengatakan bahwa mutagen yang dapat merubah perangai
sel berasal dari agen-agen yang ditularkan melalui hubungan sex. HPV diduga
memegang peranan penting. Pada penelitian biomolekuler HPV tampak jelas
bahwa HPV anogenital memegang peranan penting dalam patogenesis kanker
serviks, pada 90-95% kanker serviks telah dibuktikan berhubungan dengan
infeksiHPV risiko tinggi. Lungu, dkk. dalam penelitiannya menggunakan
polymerase chain reaction (PCR), mendapatkan 88% LIS derajat tinggi
ditemukan partikel HPV tipe 16,18, dan 31, sedangkan hanya pada 7% yang
ditemukan HPV tipe yang lain. Willet, dkk. dan Franquement, dkk. dengan
teknik hibridasi in situ menemukan lebih dari 70% HPV tipe 16 dalam LIS
derajat tinggi.7,8
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa HPV tipe 6 dan 11 ditemukan
pada 35% kondiloma akuminata dan CIN 1, 10% pada CIN II dan III dan
hanya 1% pada karsinoma invasif. HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada 10%
kondiloma akuminata dan CIN I, 51 % pada CIN II dan 111, dan 63% pada
karsinoma invasif. Disimpulkan bahwa terdapat 3 golongan tipe HPV dalam
hubungannya dengan kanker serviks, yaitu:
16

1. HPV risiko rendah, yaitu HPV tipe 6 dan 11, 46 jarang ditemukan pada
karsinoma invasif.
2. HPV risiko sedang, yaitu HPV tipe 33, 35, 40, 43, 51, 56, 58.
3. HPV risiko tinggi, yaitu HPV tipe 16, 18, 31 sering ditemukan pada
karsinoma invasif.7,9
Dengan demikian infeksi HPV ini merupakan faktor inisiasi untuk terjadinya
proliferasi dan perubahan morfologi. Proses perubahan morfologi dan
proliferasi disebut sebagai fase laten dan untuk bermanifestasinya diperlukan
faktor-faktor promotor seperti nikotin, virus lain, atau mutasi acak.7-9

VII. PATOGENESIS BERKAITAN DENGAN ETIOLOGI INFEKSI HPV


Seiring dengan berkembangnya penelitian biomolekuler HPV tampak makin
jelas bahwa HPV anogenital memegang peranan penting dalam patogenesis
terjadinya karsinoma serviks. Pada 90-95% karsinoma serviks invasif
dibuktikan adanya HPV berisiko tinggi. Pada suatu penelitian menggunakan
tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction) oleh Lungu dan kawan-kawan
didapati bahwa pada 88% SIL derajat tinggi ditemukan partikel HPV tipe 16,
18, dan 31 sedangkan hanya 7% yang ditemukan berbagai tipe HPV.
Willet dan kawan-kawan serta Franquement dan kawan-kawan dengan teknik
hibridisasi insitu menemukan lebih dari 70% HPV tipe 16 di dalam SIL derajat
tinggi. HPV menginfeksi epitel serviks melalui sel basal, sel cadangan, dan
basal like cell dari epitel skuamosa immatur pada zona tranformasi. HPV
dapat menyebabkan infeksi laten. Pada keadaan ini DNA virus berada dalam
inti sel basal berupa lingkaran bebas yang dinamakan episome. Replikasi
episomal DNA mengikuti dan bersamaan dengan replikasi sel epitel. Pada
infeksi laten tidak tampak efek sitopatik maupun gejala klinis. Infeksi laten
dapat menghilang, sebagian kecil berkembang menjadi infeksi yang produktif.
LIS derajat rendah disebabkan oleh HPV berisiko rendah seperti HPV 6,
17

11, 42, 43, 44. bila HPV menginfeksi sel basal, terjadi regulasi yang baik
antara sel basal dengan DNA HPV. Pada tahap mitosis dari sel basal, ekspresi
gen HPV dihambat sehingga sel basal tetap normal morfologinya. Ekspresi
DNA HPV akan muncul pada tingkat keratinosit, dimana sel tidak membelah
lagi. E6 dan E& dari ORF DNA HPV akan mengaktifkan sintesis DNA
sehingga inti membesar dan hiperkromatik, yang akan menghasilkan gambaran
atipik. Sedang E4 dan ORF akan mengikat fellagrin, suatu protein sitokeratin
pada keratinosit, dengan akibat hilangnya matriks sitokeratin dan tumbuh
kavitas dalam sitoplasma yang dinamakan koilositosis. Pada tahap ini
dihasilkan partikel virus yang infeksius.
LIS derajat tinggi disebabkan oleh HPV berisiko tinggi, yaitu tipe 16, 18,
31, 33, 35. Yang berperan dalam patogenesis adalah onkoprotein E6 dan E7
dari HPV 16, 18. E6 mengikat protein tumor supresor P53 dan E7 akan
berkaitan dengan protein tumor supresor Rb dimana afinitas integrasi kedua
onkoprotein pada HPV 16 & 18 lebih besar dibandingkan dengan HPV
berisiko rendah. Hilangnya ekspresi onkogen P53, yang merupakan pengatur
apoptosis, dan Rb menyebabkan hilangnya regulasi siklus sel dan terjadinya
proliferasi tidak terkontrol. Hiperproliferasi sel basal menghasilkan gambaran
displasia sedang dan berat, yang selanjutnya dapat berkembang menjadi
fenotip ganas bila disertai mutagen eksternal atau predisposisi genetik dari
host.
Selain mekanisme integrasi, dapat terjadi mutasi pada E2 dari early gene
expression. E2 berperan mengatur onkogen E6 dan E7. apabila terjadi
kehilangan kontrol pada E6 dan E7 , ekspresi onkogen dalam populasi sel akan
menghilang atau berkurang sehingga sel tetap membelah. Infeksi HPV ini
merupakan faktor inisiasi untuk terjadinya proliferasi dan perubahan
morfologi. Keadaan ini disebut fase laten dan memerlukan faktor promotor
sepeti nikotin, jenis virus lain atau mutasi acak untuk dapat bermanifestasi.
18

VIII. TERMINOLOGI
Dikenal beberapa sistem pelaporan hasil pemeriksaan tes Pap yaitu sistem
Papanicolaou, sistem deskriptif, Neoplasia Intaepitelial Serviks, sistem
Bethesda dan revisinya. Terminologi pelaporan yang semula banyak digunakan
mengacu pada klasifikasi Papanicolaou (Papanicolaou dan Traut 1943), yang
dinyatakan dalam kelas I-kelas V . Klasifikasi ini kemudian ditinggalkan.
Pada tahun 1953 Reagen mengajukan terminologi displasia-karsinoma in
situ. Displasia serviks merupakan spektrum heteroplastik yang meliputi epitel
skuamosa atau epitel metaplastik. Tampak pertumbuhan hiperplastik epitel
yang ditandai oleh adanya kegagalan maturasi dan diferensiasi dengan
perubahan inti yang hiperkromatik dan abnormal. Richard pada tahun 1967
menyebutkan istilah neoplasia intraepitel serviks (NIS) yang menggambarkan
abnormalitas intraepitel serviks sebagal proses berkesinambungan dari
penyakit yang bervariasi dalam derajatnya. Pengertian NIS I meliputi displasia
ringan, NIS 2 displasia sedang, dan NIS 3 mempersatukan istilah displasia
berat dan karinoma in situ. Richart sendiri pada tahun 1990 memodifikasi NIS
sebagai NIS derajat rendah dan NIS derajat tinggi yang berguna untuk
kepentingan klinik. LIS derajat tinggi meliputi kondiloma atipik,
displasia sedang (NIS 2), displasia berat (NIS 3) dan karsinoma in situ. 6
Pada tahun 1988 pertemuan para ahlisitopatologi pada lokakarya di National
Institutes of Health Campus Bethesda, di Maryland pada tanggal 12-13
Desember 1988 melahirkan sistem Bethesda. Motivasi utama untuk mengubah
sistem yang lama adalah adanya nilai negatif palsu yang tinggi (12-69%).

Tabel 1. Perbandingan sistem klasifikasi sitologi


Bethesda System Dysplasia/CIN System Papanicolaou System
Within normal limits Normal I
Infection (organism should be Inflammatory atypia II
19

specified) (organism)
Reactive and reaparative changes
Squamous cell abnormalities
Atypical squamous cells Squamous atypia III
1. of undetermined HPV atypia, exclude LSIL
significance (ASC-US)
2. exclude high-grade Exclude HSIL
lesions (ASC-H)
Low-grade squamous HPV atypia
Intraepitheal lesion (LSIL) Mild dysplasia CIN 1
High-grade squamous Moderate dysplasia CIN 2 III
Intraepitheal lesion (HSIL)
Squamous cell carcinoma Severe dysplasia CIN 3 IV
Carcinoma in situ
Squamous cell carcinoma V
10
Dikutip dari Haltch KD dan Berek JS

IX. DIAGNOSIS
Pemeriksaan sitologi, kolposkopi, dan biopsi merupakan komponen
utama yg saling mendukung dalam menegakkan diagnosis lesi
prakanker serviks.
A. Sitologi
Pemeriksaan sitologi pertama kali diperkenalkan oleh Dr. George
Papanicolaou dan Aurel Babel (1928), sedangkan pemakaian spatula
diperkenalkan oleh Dr. J. Ernest Ayre (1947). Pemeriksaan ini tergolong
sederhana, mudah dikerjakan dan tidak menimbulkan rasa nyeri dan
trauma. Sel-sel yang berasal dari eksfoliasi serviks diambil dan diwarnai
secara khusus. Sel-sel abnormal dapat terlihat dibawah mikroskop.7
Tes Pap merupakan faktor penting dalam menurunkan kejadian
karsinoma invasif dengan menemukan lesi prainvasif dan penjelasan
20

patogenesis kanker serviks. Program penapisan tes Pap berdampak


terhadap penurunan jumlah wanita dengan kanker invasif, 46 sampai
78%.1
Dengan ketelitian yang melebihi 90% bila dilakukan dengan
baik, pemeriksaan sitologi (tes Pap) ini sangat bermanfaat untuk
mendeteksi lesi secara dini. Sitodiagnosis yang tepat tergantung
pada sediaan yang representatif, fiksasi dan pewarnaan yang baik,
dan interpretasi yang tepat. 62% kesalahan disebabkan karena
pengambilan sample yang tidak adekuat dan 23% karena kesalahan
interpretasi. Sediaan sitologi harus meliputi komponen ektoserviks
dan endoserviks. NIS lebih mungkin terjadi pada SSK sehingga
komponen endoserviks menjadi sangat penting dan harus tampak
dalam sediaan. Bila komponen endoserviks saja yang diperiksa
kemungkinan negatif palsu dari NIS kira-kira 5%.
B. Kolposkopi
Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan kolposkop, yaitu
suatu alat seperti mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya di
dalamnya (pembesaran 6-40 kali).
Hampir semua NIS terjadi di daerah transformasi, yaitu daerah yang
terbentuk akibat proses metaplasia. Daerah ini dapat dilihat seluruhnya
dengan kolposkopi sehingga biopsi dapat dilakukan dengan lebih terarah.
Jadi tujuan pemeriksaan kolposkopi bukan untuk membuat diagnosis
histologik tetapi menentukan dimana biopsi harus dilakukan.
Pemeriksaan kolposkopi dapat mempertinggi ketepatan diagnosis sitologi
menjadi hampir mendekati 100%.
Dengan kolposkopi, dapat dilihat epitel normal dan abnormal, zona
transformasi, baik yang normal maupun yang atipik, SSK, dan gambaran
pembuluh darah yang normal maupun atipik. Penilaiannya dilakukan
21

dengan memakai indeks kolposkopi Reid atau sistem kolposkopi modem.


C. Biopsi
Biopsi dilakukan didaerah abnormal jika SSK terlihat seluruhnya dengan
kolposkopi, bila SSK hanya terlihat sebagian kelainan didalam kanalis
servikalis tidak dapat dinilai, maka contoh jaringan diambil dengan
konisasi.4,11,12 Beberapa cara lain yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis lesi prakanker serviks, yaitu: servikografi, Pap net, tes
molekuler DNA HPV dan metode skrining sederhana, misalnya inspeksi
visual dengan asam asetat (IVA), dan inspeksi visual dengan asam asetat
dan pembesaran gineskopi (IVAB). Adapun perbandingan kualitas dari
beberapa metode diatas, dapat dilihat pada label di bawah ini.

X. PENATALAKSANAAN SITOLOGI ABNORMAL


Sampai saat ini penanganan sitologi abnormal masih diperdebatkan, apakah
perlu terapi atau tidak. Sebagian ahli berpendapat, untuk lesi derajat rendah
mungkin tidak diperlukan terapi, tetapi sebagian lagi berpendapat sebaliknya.
Bagi yang setuju untuk dilakukan terapi, mereka berpegang pada salah satu
hasil penelitian dari Ostor, bahwa semua lesi mempunyai kecenderungan untuk
berkembang ke arah derajat yang lebih tinggi. 13
Berikut ini akan dibahas mengenai SIL derajat rendah, SIL derajat tinggi,
ASCUS, dan AGUS, beserta algoritma penatalaksanaannya.
A. LIS derajat rendah
LIS derajat rendah meliputi perubahan-perubahan sel berhubungan dengan
infeksi HPV, displasia ringan, dan CIN 1. LIS derajat rendah dahulu
dilaporkan sepadan dengan Pap kelas III (Papanicolaou), Displasia Ringan
(Reagen) dan NIS 1 (Richart). Kriteria : Sel individual atau dalam
lembaran, perubahan sitologi biasanya terbatas pada sel-sel dengan
sitoplasma tipe matur atau superfisial, secara keseluruhan sel besar, dengan
22

sitoplasma matur dan banyak, inti membesar lebih dari 3 kali ukuran inti
sel intermediet sehingga N/C ratio meningkat sedikit, hiperkhromasia inti
bervariasi, disertai variasi ukuran,jumlah dan bentuk inti, sering dijumpai
binukleasi atau multinukleasi, kromatin granuler kasar tersebar rata,
kemungkinan lain tampak berkabut, atau opaque, anak inti umumnya tidak
tampak, atau bila ada tidak tampak jelas, kontour membran inti sedikit
irreguler atau halus, batas sel jelas, perinuclear cavitation (koilocytosis)
merupakan gambaran khas, tetapi bukan patognomonis, kemungkinan lain
sitoplasma tampak padat dan orangeophilic (keratinisasi). Sel ini juga
harus menunjukkan abnormalitas inti. Sel dengan perinuclear hallo tanpa
abnormalitas inti tak dapat dimasukkan dalam LG-SIL

Gambar. 5 LGSIL/HPV
23

Gambar.6 LGSIL/NIS

Jika hasil tes Pap berupa suatu LIS derajat rendah, termasuk diantaranya
infeksi HPV dan displasia ringan (NIS), maka ada 2 pilihan
penatalaksanaannya, yaitu: (1) segera melakukan pemeriksaan kolposkopi
dan (2) follow up tes Pap sitologi secara periodik.Keuntungan melakukan
kolposkopi segera pada LIS derajat rendah adalah :
1. Kolposkopi dapat melakukan biopsi terarah untuk mendapatkan
diagnosis akurat hispatologi.
2. Kolposkopi mengurangi rentang waktu progresifitas lesi intraepitel
serviks dalam melakukan follow up tes Pap.
3. Kolposkopi dapat mendeteksi kemungkinan negatif palsu dari sitologi,
termasuk juga untuk memberi ketenangan pada pasien. 14

Gambar 7. Bagan penatalaksanaan LGSIL


LGSIL

Ulang Tes Pap 4-6 bln

Abnomal SIL Tes Pap normal


24

Kolposkopi 3x normal kembali Tes Pap annual

Normal / memuaskan
Follow up Tes Pap annual
Dikutip dari Andrijono 1

B. LIS derajat tinggi


Para ahli sepakat bahwa semua hasil LIS derajat tinggi harus diterapi,
tetapi masih terdapat kontroversi pada aspek hubungan natural history,
diagnosis dan pilihan terapi untuk LIS derajat tinggi. LIS derajat tinggi
meliputi gambaran Displasia Sedang/ NIS 2, dan Displasia berat/ NIS3 dan
karsinoma insitu. LIS derajat tinggi dahulu dilaporkan sepadan dengan Pap
kelas III-IV (Papanicolaou), displasia sedang/ berat/ karsinoma insitu
(reagen) dan NIS 2 dan NIS 3(Richart). Kriteria: Perubahan seluler
mempengaruhi sel yang lebih kecil atau kurang matur dibandingkan
dengan LG-SIL, Sel individual dalam lembaran atau dalam kelompok
berbentuk syncytial-like, Kelompok (cluster) hiperkromatik harus diperiksa
secara hati-hati, Ukuran bervariasi, mulai dari seukuran sel-sel LG-SIL
sampai seukuran sel tipe basal, Hiperkromasia inti disertai variasi ukuran
dan bentuk inti, Derajat pembesaran inti lebih bervariasi daripada LG-SIL,
Kromatin dapat granuler halus atau kasar dan tersebar rata, Kontour
membran inti sangat ireguler dan sering menunjukkan indentasi atau
takikan (grooves), Anak inti umumnya tak dijumpai, tetapi kadang-kadang
terlihat terutama apabila HG-SIL meluas ke kelenjar endoserviks,
Penampakan sitoplasma bervariasi, bisa tampak imatur, halus , berenda
(lacy), atau metaplastik padat. Kadang-kadang sitoplasma matur dan
keratinisasi padat.
25

Gambar.8
HGSIL

Gambar 9. Bagan penatalaksanaan LIS derajat tinggi


LIS derajat berat
HGSIL

Kolposkopi

Bila kolposkopi lesi memuaskan Bila kolposkopi lesi tidak memuaskan


Dilakukan biopsi terarah dilakukan tindakan konisasi/LLETZ
Untuk pemeriksaan histopatologi
Dikutip dari Kusuma 14

C. ASCUS
ASC merupakan sel-sel dengan perubahan sitologi curiga LIS yang secara
kualitatif maupun kuantitatif tidak mencukupi untuk suatu interpretasi
definitif. Dengan kata lain merupakan istilah yang meliputi kelainan seluler
melebihi kelainan yang disebabkan perubahan reaktif/ inflamasi akan tetapi
tidak termasuk dalam batasan lesi intraepitel.
Pelaporan ASCUS sangat dianjurkan pada suatu laboratorium
sitologi untuk membedakan ASCUS cenderung ke arah peradangan
26

(ASCUS favoring inflammation) dan ASCUS cenderung ke arah neoplasia


(ASCUS favoring neoplasia). Sekarang ASCUS dibedakan menjadi 2 yaitu
ASC-US dan ASC-H.10
Hal ini penting karena penatalaksanaannya sedikit berbeda; bila
cenderung ke arah peradangan mungkin dapat dilakukan follow up saja,
tetapi bila cenderung ke arah neoplasia disarankan untuk langsung
dilakukan kolposkopi. Penanganan hasil tes Pap ASCUS masih
kontroversial. Perlu diketahui bahwa dari suatu penelitian diketahui bahwa
sekitar 70% ASCUS dapat regresi ke normal dan 7-8% menjadi
progresif ke LIS derajat tinggi, sedangkan yang menjadi kanker invasif
hanya 0,25%. Di beberapa negara maju dianjurkan untuk dilakukan
deteksi dengan pemeriksaan DNA HPV (Hybrid capture II).
Kriteria ASCUS : Inti 2,5 sampai 3 kali inti sel intermediet, N/C ratio
meningkat ringan, Hiperkromasia inti dan distribusi kromatin ireguler
minimal, bentuk inti irregular minimal, Abnormalitas inti berhubungan
dengan sitoplasma orangeophilic (atypical parakeratosis)
Gambar 10.

ASCUS

Kriteria ASC-H : Sel-sel biasanya individual atau dalam fragmen-fragmen


kecil kurang dari 10 sel, kadang-kadang pada apusan konvensional
mengapung dalam mukus, Sel-sel seukuran sel metaplastik dengan inti
kurang lebih 1,5 sampai 2,5 kali normal, N/C ratio mendekati HSIL,
Hiperkhromasia, iregularitas khromatin, dan abnormalitas bentuk inti dgn
fokal-fokal ireguler sesuai interpretasi HSIL.
Gambar 11.
27

ASC-H

Gambar 12. Bagan penatalaksanaan ASCUS


ASCUS

Ulangi pap smear KOLPOSKOPI Tes HP V


Setup 4-6 bulan

Dikutip dari Haltch KD dan Berek JS10

D. AGUS
Terminologi sistem Betesda 2001 memasukan perubahan pelaporan
abnormalitas sel kelenjar untuk dapat mencerminkan dengan baik
pengetahuan dan pemahaman neoplasia glanduler mutakhir pada sitologi
servikal. Terminologi ini merupakan perluasan subkategori AGUS
(Atypical Glandular cells of Undetermined Significant). Bila didapatkan
AGUS pada pap smear, maka perlu dilakukan pemeriksaan kolposkopi,
kuretase endoserviks, biopsi atau kuretase endometrium. Bila prosedur
diagnostik tersebut belum menjawab asal kelainan sel, maka dilakukan pap
smear ulang, bila tetap AGUS maka dilanjutkan prosedur konisasi dan
laparoskopi diagnostik.2 Angka positif palsu pada tes Pap AGUS adalah
sekitar 2%, tetapi pada penelitian lain lebih tinggi. Akan tetapi pada wanita
dengan tes Pap sel glanduler abnormal sering disertai juga LIS derajat
tinggi/NIS 3, adenokarsinoma in situ dan kanker invasif.14
Gambar. 13
28

Atypical Glandular
Cell

Gambar 14. Bagan penatalaksanaan AGUS

AGUS

Cenderung neoplasia tanpa kualifikasi

Kolposkopi kuretase endoserviks kolposkopi kuretase endoserviks

Negatif positif positif negatif


29

Konisasi kecuali kanker konisasi Tes Pap 4-6 bulan


Kecuali kanker sampai 4x dbn

AGUS positif
Dikutip dari Kusuma14
Konisasi

XI. RINGKASAN
1. Jumlah kasus dan kematian akibat kanker serviks cukup tinggi, khususnya
di negara-negara yang sedang berkembang, dimana banyak sekali kasus
ditemukan sudah pada stadium lanjut, untuk itu diperlukan penanganan
yang komprehensif.
2. Pemeriksaan skrining secara dini dengan tes Pap dapat mencegah
perkembangan penyakit kanker serviks.
3. Pembagian lesi prakanker serviks menjadi derajat rendah dan derajat tinggi,
tetapi ada juga lesi yang tidak dapat ditentukan signifikansinya (ASCUS
dan AGUS) yang perlu pengamatan lebih lanjut.
4. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis lesi
prakanker serviks, misalnya dengan sitologi, kolposkopi, biopsi, konisasi.

XII. RUJUKAN
1. Andrijono. Kanker serviks. Sinopsis Kanker Ginekologi. Jakarta, 2003: 14-28.
2. Campion M. Preinvasive disease. In: Berek JS, Hacker NF. Practical gynecologic
oncology. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000; 271-315.
3. Mardjikoen P. Tumor Ganas Alat Genital. Dalam : Winkjosastro H. Saifuddin AB,
Rachimhadhi T. Editor. Ilmu Kandungan. Edisi kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 1999;380-9.
4. Sjamsuddin S. Pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran
2001;133::9-14.
5. Harahap RE. Neoplasia Intraepithelial Serviks (NIS). Jakarta:UI Press, 1984:1-77.
6. Hardida HL. Sensitifitas dan Spesifisitas Inspeksi Visual dengan Asam Asetat untuk
Mendeteksi Dini Keganasan Leher Rahim pada Wanita dengan Eritroplakia. Tesis pada
30

Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unsri/RSMH. Palembang, 2001.


7. Wright TC, Kurman RJ, Ferenzy A. Precancerous lesions of the cervix. In: Kurman RJ.
Ed. Blaustein's pathology of the female genital tract 4a' ed. New York: Springer-Verlag,
1994 ;229-277.
8. Sulastri H. Patologi Neoplasma Intraepithelial Skuamosa (NIS). Kursus kolposkopi pra-
PIT POGI XII. Palembang, 2001.
9. Kaufman RH. Adam E. Vonka V. Human papillomavirus infection and cervical
carcinoma. Clin obstet Gynecol 200;43:363-80.
10. Hatch KD, Berek JS. Intraepithelial Disease of the Cervix, Vagina, and Vulva. In Berek
JS, Adashi EY, Hillard PA. Novak's Gynecology. 13a' ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2002;471-505.
11. Sjamsuddin S. Kolposkopi serviks normal. Kursus kolposkopi pra-PIT POGI XII.
Palembang, 2001.
12. Nuranna L. kolposkopi serviks abnormal. Kursus kolposkopi pra-PIT XII. Palembang,
2001.
13. Pinto AP, Crum CP. Natural hystory of cervical neoplasia: defining progression its
consequence. Clin Obstet Gynecol 2000;43:352-62.
14. Kusuma F. Moegni EM. Penatalaksanaan tes Pap abnormal. Cermin Dunia Kedokteran
2001-133:19-22.
15. Sahil MF. Diagnosis dan penatalaksanaan lesi prakanker serviks. Lokakarya
penanggulangan kanker serviks di Indonesia. PIT XII POGI. Palembang 2001.
16. Nuranna L. Terapi NIS dengan eksisi. Dalam; Sjamsuddin S, Indarti J. Editor. Kolposkopi
dan neoplasia intraepitel serviks. Edisi pertama. Jakarta: PPSKl, 2000;62-9.
17. Saleh AZ. Pendekatan lihat dan obati (see and treat) dalam penatalaksanaan neoplasma
intraepitel serviks. Kursus kolposkopi pra-PIT POGI XII. Palembang, 2001.
18. Montz FJ. Management of high-grade cervical intraepithelial neoplasia and low-grade
squamous intraepithelial lesion and potential complivations. Clin Obstet Gynecol
2000;43:394-409.
19. Luesley DM, Barasso R. The diagnosis end treatment of cervical intraepithelial neoplasia
In: Luseley DM and Barasso R. Cancer and precancer of the cervix. V, ed. Philadelphia.
Chapman and Hall Medical, 1998:166-183.
20. Coppleson M, Atkinson KH, Dalrymple JC. Cervical squamous and glanduler
intraepithelial neoplasia: clinical features and review of management. In : Coppleson M,
Monaghan JW, Morrow CP, Tattersall MHN. Eds. Gynecologic oncology. 2d ed. New
York Churchill Livingstone, 1992, 571-607.
21. Moegni EM. Terapi NIS dengan eksisi elektrosurgikal (LLETZ). Kursus pra-PIT POGI
XII. Palembang, 2001.
22. Bar-Am A. Daniel Y, Ron IG. Et al. Combined colposcopy, loop conization, and laser
vaporization reduces recurrent abnormal cytology and residual disease in cervical
dysplasia. Gynecol Oncol 2000;78:47-51.
23. Malcolm A. Joe J, Anne M, Et al. A text and atlas of integrated colposcopy, V ed.
Philadelphia. Chapman and Hall Medical, 1998:1-36; 71-85.
24. Piver MS. Handbook of gynecologic oncology. 2nd ed. Little brown and company, 1995:
79-103.
25. Rohan TE, Shah KV. Cervical cancer : from etiology to prevention. Vol. 2. Kluwer
academic publishers, 2004.

Anda mungkin juga menyukai