Anda di halaman 1dari 17

I.

REKAM MEDIK

A. Anamnesis
1. Identifikasi Pasien Pertama
Nama : Nn. D
Med.Rec/Reg : 953635
Umur : 24 tahun
Suku bangsa : Ogan Ilir
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Belum bekerja
Alamat : Pemulutan Ilir Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan
MRS : 20 Mei 2016 ( Pkl 09.05 WIB)

2. Riwayat perkawinan :
Belum menikah
3. Riwayat Reproduksi :
Riwayat menarche (-)
4. Riwayat kehamilan/melahirkan :
(-)
5. Riwayat penyakit dahulu :
Tidak ada
6. Riwayat gizi / sosioekonomi :
cukup / sedang
7. Anamnesis Khusus
Keluhan utama :
Belum pernah menstruasi
Riwayat perjalanan penyakit :
Penderita mengeluh belum pernah mengalami menstruasi hingga saat ini.
Penderita juga mengeluh payudaranya tidak tumbuh dan tetap kecil, serta tidak
tumbuhnya bulu ketiak dan bulu kemaluan. Riwaya nafsu makan biasa, riwayat
buang air kecil dan buang air besar normal.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
a. Keadaan umum : baik
Kesadaran : kompos mentis
Berat badan : 54 kg
Tinggi badan : 155 cm
IMT : 22,5
Tekanan darah : 120 / 80 mmHg
Nadi : 82 x / menit
Pernafasan : 20 x / menit
Suhu : 36,5 C

b. Keadaan khusus
Kepala : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : tekanan vena jugularis tidak meningkat, massa tidak ada
Toraks : jantung: murmur tidak ada, gallop tidak ada
paru-paru: sonor, vesikuler normal, ronki tidak ada, wheezing tidak
ada
Abdomen : Datar, lemas, simetris, hepar dan lien dalam batas normal
Ekstremitas: edema pretibial -/-, varises tidak ada, refleks fisiologis +/+,
refleks patologis -/-

2. Pemeriksaan Ginekologi
Pada pemeriksaan Ginekologi di poli FER RSMH tanggal 20 Mei 2016 pukul 09.05
WIB didapatkan :
a. Pemeriksaan luar
Pemeriksaan luar : Payudara tidak menonjol, bulu pada ketiak dan kemaluan
tidak ada. Abdomen datar, lemas, simetris, tinggi fundus uteri tak teraba, massa
(-), nyeri tekan (-), tanda cairan bebas (-), introitus vagina (+), hymen (+),
orificium urethra eksternum (+).
b. Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam dan inspekulo tidak dilakukan

2
Pemeriksaan rektal : Tonus sfingter ani baik, mukosa licin, tidak ditemukan
massa intra lumen, ampula kosong, corpus uteri tak teraba, tidak ditemukan
massa, nyeri tekan dan tanda cairan bebas.

Gambar 1. Pertumbuhan dan perkembangan seks sekunder Tanner stage I


pada pasien pertama

C. Diagnosa kerja
Amenore primer
D. Prognosis
Dubia
E. Terapi
1. R/ Ultrasonografi
2. Pemeriksaan Hormon (FSH,LH,E2,Prl,TSH)
F. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (20 Mei 2016 Pkl 14.25 WIB)
Darah rutin
Hb : 12,1 g%
Hematokrit : 36 vol%
Leukosit : 12.400/mm3
Trombosit : 362.000 /mm3
Hitung jenis : 0/2/66/25/7
Hormon
FSH : 0,36 mIU/ml Estradiol : < 5,00 pg/ml
LH : 0,884 mIU/ml TSH : 1,410 IU/mL
Progesteron: 0,292 ng/ml Testosteron : 0,040 ng/dL
Prolaktin : 7,55 ng/ml

3
Hasil USG 23 Mei 2016 (PM)
- Pada daerah retrovesika terdapat gambaran massa echogenic memanjang
tebal uk. 4 mm yang berakhir di kedua sisi lateralnya pada cornu yang
disgenesis
- Tidak tampak gambaran endoserviks sesuai dengan disgenesis uterus
- Kedua ovarium bentuk normal, ukuran kecil dan tidak mengandung
gambaran folikel didalamnya
- Kedua ginjal dalam batas normal
Kesan : Disgenesis uterus

A. Anamnesis
1. Identifikasi Pasien Kedua
Nama : Nn. M
Med.Rec/Reg : 954408
Umur : 24 tahun
Suku bangsa : Ogan Ilir
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Belum bekerja
Alamat : Dusun I Penyandingan Sungai Pinang Ogan Ilir Sumatera Selatan
MRS : 25 Mei 2016 ( Pkl 13.25 WIB)

2. Riwayat perkawinan :
Belum menikah
3. Riwayat Reproduksi :
Riwayat menarche (-)
4. Riwayat kehamilan/melahirkan :
(-)
5. Riwayat penyakit dahulu :
Tidak ada
6. Riwayat gizi / sosioekonomi :
cukup / sedang
7. Anamnesis Khusus

4
Keluhan utama :
Belum pernah menstruasi
Riwayat perjalanan penyakit :
Os datang ke poli FER RSMH dengan rujukan dari SpOG dikatakan
hipogonadism. Os mengaku belum pernah mendapat menstruasi, pertumbuhan
bulu/rambut ketiak dan kemaluan (-).Os juga mengaku payudaranya tidak tumbuh.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
a. Keadaan umum : baik
Kesadaran : kompos mentis
Berat badan : 48 kg
Tinggi badan : 165 cm
IMT : 17,63
Tekanan darah : 110 / 70 mmHg
Nadi : 82 x / menit
Pernafasan : 20 x / menit
Suhu : 36,6 C

b. Keadaan khusus
Kepala : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : tekanan vena jugularis tidak meningkat, massa tidak ada
Toraks : jantung: murmur tidak ada, gallop tidak ada
paru-paru: sonor, vesikuler normal, ronki tidak ada, wheezing tidak
ada
Abdomen : Datar, lemas, simetris, hepar dan lien dalam batas normal
Ekstremitas: edema pretibial -/-, varises tidak ada, refleks fisiologis +/+,
refleks patologis -/-

2. Pemeriksaan Ginekologi
Pada pemeriksaan Ginekologi di poli FER RSMH tanggal 25 Mei 2016 pukul 13.30
WIB didapatkan :
a. Pemeriksaan luar
Pemeriksaan luar : Payudara tidak menonjol, bulu pada ketiak dan kemaluan
tidak ada. Abdomen datar, lemas, simetris, tinggi fundus uteri tak teraba, massa
5
(-), nyeri tekan (-), tanda cairan bebas (-), introitus vagina (+), hymen (+),
orificium urethra eksternum (+).
b. Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam dan inspekulo tidak dilakukan
Pemeriksaan rektal : Tonus sfingter ani baik, mukosa licin, tidak ditemukan
massa intra lumen, ampula kosong, corpus uteri tak teraba, tidak ditemukan
massa, nyeri tekan dan tanda cairan bebas.

Gambar 1. Pertumbuhan dan perkembangan seks sekunder Tanner stage I


pada pasien kedua

C. Diagnosa kerja
Amenore primer
D. Prognosis
Dubia
E. Terapi
1. R/ Ultrasonografi
2. Pemeriksaan Hormon (FSH,LH,E2,Prl,TSH)
F. Pemeriksaan Penunjang
6
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (25 Mei 2016 Pkl 14.25 WIB)
Darah rutin
Hb : 12,1 g%
Hematokrit : 36 vol%
Leukosit : 12.400/mm3
Trombosit : 362.000 /mm3
Hitung jenis : 0/2/66/25/7
Hormon
FSH : 0,36 mIU/ml Estradiol : < 5,00 pg/ml
LH : 0,884 mIU/ml TSH : 1,410 IU/mL
Progesteron: 0,292 ng/ml Testosteron : 0,040 ng/dL
Prolaktin : 7,55 ng/ml

Hasil USG 10 Juni 2016 (NS)


- Pada daerah retrovesika terdapat gambaran massa echogenic memanjang
tebal uk. 4 mm yang berakhir di kedua sisi lateralnya pada cornu yang
disgenesis
- Tidak tampak gambaran endoserviks sesuai dengan disgenesis uterus
- Kedua ovarium bentuk normal, ukuran kecil dan tidak mengandung
gambaran folikel didalamnya
- Kedua ginjal dalam batas normal
Kesan : Disgenesis uterus

II. PERMASALAHAN :
1. Apakah penyebab amenorea pada kasus-kasus ini ?
2. Apakah penatalaksanaan cukup adekuat?

III. ANALISA KASUS


1. Amenorea adalah keadaan tidak adanya haid untuk sedikitnya 3 bulan berturut turut.
Amenorea dibagi menjadi dua yaitu amenorea primer dan amenorea sekunder. Kita
berbicara tentang amenorea primer apabila seorang wanita berumur 18 tahun ke atas
tidak pernah dapat haid, sedang pada amenorea sekunder penderita pernah mendapat
haid, tetapi kemudian tidak dapat lagi.1 Hunter dan Heiman mendiagnosa amenorea
primer bila seorang wanita dengan tanda seks sekunder normal yang belum mengalami
7
menars pada usia 16 tahun. Apabila tanda seks sekunder tidak terdapat maka dapat
didiagnosa pada usia yang lebih dini yaitu 14 tahun. 2 Amenorea primer umumnya
mempunyai sebab sebab yang lebih berat dan lebih sulit untuk diketahui, seperti
kelainan kelainan kongenital dan kelainan kelainan genetik. Adanya amenorea
sekunder lebih menunjuk kepada sebab sebab yang timbul kemudian dalam kehidupan
wanita, seperti gangguan gizi, gangguan metabolisme, tumor tumor, penyakit infeksi
dan lain lain.
Klasifikasi Amenorea Patologik
Seperti dikatakan di atas, amenorea primer dan amenorea sekunder masing masing
mempunyai sebab sebab sendiri. Pada amenorea primer kelainan gonad memegang
peranan penting. Etilogi amenorea dibagi dalam 4 kompartemen, yaitu:
- Kompartemen I : kelainan terletak pada organ target uterus atau outflow tract
- Kompartemen II : kelainan pada ovarium.
- Kompartemen III : kelainan pada pituitri anterior
- Kompartemen IV : kelainan pada sistem syaraf pusat (hipotalamus)
Evaluasi amenorre dilakukan melalui langkah sebagai berikut : 1,2
1. Menyingkirkan kemungkinan hamil, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran
kadar TSH, prolaktin, dan uji progesteron. Pada pasien galaktorrhea, dilakukan
pengukuran kadar TSH dan prolaktin, serta ditambahkan dengan pencitraan sella
tursica.
2. Uji progesteron bertujuan untuk mengukur kadar estrogen endogen dan kompetensi
traktus outflow. Pada pasien diberikan serangkaian agen progestasional yang akan
secara total menghambat aktivitas estrogenik. Terdapat 3 macam pilihan pemberian
yaitu secara parenteral dengan progesteron dalam minyak (200 mg IM); pemberian
micronized progesterone (Duphastone) peroral 300 mg perhari; atau pemberian
preparat aktif medroxyprogesterone acetat (Provera) peroral 10 mg perhari selama 5
hari. Dalam jangka waktu 2-7 hari setelah pemberian preparat progesteron, pasien
akan mengalami perdarahan pervaginam atau bisa juga tidak. Jika pasien
mengalami perdarahan pervaginam, artinya diagnosis anovulasi telah dapat
ditegakkan. Adanya traktus outflow yang fungsional dan uterus dengan lapisan
endometrium yang secara adekuat telah disiapkan oleh estrogen endogen telah
behasil dikonfirmasi. Gambaran ini menunjukkan adanya estrogen serta fungsi
minimal ovarium, hipofisis, dan SSP. Bila tidak disertai dengan adanya

8
galaktorrhea, dan kadar prolaktin serta TSH normal, maka tidak diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut lagi.
Gambaran hanya beberapa bercak darah setelah pemberian rangkaian medikasi
progesteron mencerminkan kadar marginal estrogen endogen. Pasien dengan hasil
seperti ini harus terus diamati dengan cermat dan secara periodik dievaluasi ulang,
oleh karena respon positif yang marginal dapat melanjut ke respon negatif.
Perdarahan dengan jumlah lebih banyak dari beberapa bercak darah, dikategorikan
sebagai respon lepas obat yang positif. Terdapat 2 situasi klinis yang berkaitan
dengan respon lepas obat negatif, meskipun terdapat kadar estrogen endogen yang
adekuat. Pada kedua situasi ini, endometrium mengalami desidualisasi dan oleh
karena itu tidak gugur setelah terjadi withdrawal progestin eksogen. Kondisi
pertama berupa endometrium yang mengalami desidualisasi sebagai respon
terhadap kadar androgen yang tinggi. Pada kondisi klinis kedua yang jarang terjadi,
dijumpai endometrium yang mengalami desidualisasi oleh tingginya kadar
progesteron atau androgen, kaitannya dengan defisiensi enzim adrenal spesifik.
Respon klinis seperti ini tidak jarang dijumpai pada pasien dengan
hiperandrogenemia bermakna yang disertai dengan anovulasi dan polikistik
ovarium.
Terapi minimal pada wanita anovulatorik adalah pemberian preparat progesteron
secara bulanan, misalnya medroxyprogesterone acetat 5 mg perhari selama 2
minggu pertama tiap bulannya, atau pemberian pil kontrasepsi oral dosis rendah
dengan siklus seperti biasa. Jika pasien anovulatorik gagal mengalami withdrawal
bleeding dengan pemberian program progestin bulanan, hal ini merupakan tanda
(dengan pasien tidak dalam keadaan hamil) bahwa ia telah berpindah ke kategori
withdrawal bleed negatif, dan keseluruhan sisa kerangka kerja harus disesuaikan.
3. Jika rangakaian pemberian medikasi progestasional tidak menyebabkan terjadinya
withdrawal bleeding, berarti terdapat abnormalitas traktus outflow organ target atau
proliferasi awal endometrium karena estrogen tidak terjadi. Selanjutnya dilakukan
langkah kedua, yaitu uji E-P. Pemberian estrogen aktif secara peroral dengan
jumlah dan durasi tertentu untuk menstimulasi proliferasi endometrium dan
kemudian terjadi withdrawal bleeding akan menunjukkan bahwa pasien memiliki
uterus yang reaktif dan saluran yang paten. Dosis yang diberikan adalah 1,25 mg
conjugated estrogen atau 2 mg estradiol setiap hari selama 21 hari. Pada akhir
rangkaian ini diberikan preparat progesteron aktif peroral (medroxyprogesterone
9
acetat 10 mg per hari selama 5 hari) untuk dapat mencapai withdrawal bleeding.
Dengan cara ini, kapasitas kompartemen I diuji dengan menggunakan estrogen
eksogen. Jika tidak terjadi withdrawal bleeding, maka dapat diberikan rangkaian
estrogen kedua dengan tujuan untuk validasi. Jika memang tidak terjadi perdarahan,
maka dapat ditegakkan diagnosis adanya defek pada kompartemen I (meliputi
endometrium, saluran genitalis). Jika terjadi perdarahan, maka dapat disimpulkan
bahwa sistem kompartemen I memiliki kemampuan fungsional yang normal jika
distimulasi secara adekuat oleh estrogen.
4. Langkah 3 didesain untuk menentukan apakah kekurangan estrogen terjadi karena
adanya gangguan pada folikel ovarium (kompartemen II) atau pada poros hipofisis-
SSP (kompartemen III dan IV). Dalam rangka untuk memproduksi estrogen,
dibutuhkan ovarium yang mengandung apparatus folikuler normal dan
gonadotropin hipofisis yang adekuat untuk menstimulasi apparatus tersebut.
Langkah ini melibatkan pemeriksaan kadar gonadotropin (FSH dan LH) pasien,
sehingga setelah dilakukan langkah 2 harus diberikan jeda waktu selama 2 minggu
sebelum dilakukan langkah 3. Hasil pemeriksaan gonadotropin dapat digolongkan
menjadi :
a. Gonadotropin tinggi, artinya terdapat kegagalan ovarium. Etiologi lain yang
memungkinkan peningkatan kadar gonadotropin adalah tumor terkait kanker
paru, gonadotropin secreting pituitary adenoma, perimenopausal, sindrom
insensitivitas/ resisten ovarium, premature ovarian failure, dan defisiensi enzim
P450C17.
b. Gonadotropin normal, dapat disebabkan karena heterogenisitas hormon
glikoprotein.
c. Gonadotropin rendah, artinya terdapat kelainan pada hipofisis (kompartemen III)
atau SSP-hipotalamus (kompartemen IV). Kelainan hipofisis anterior meliputi
pituitary prolactin-secreting adenoma, nonfunctioning adenoma. Kelainan
kompartemen IV dapat disebabkan oleh amenorre hipotalamus, bulimia,
anoreksia, eating disorder, dan sindroma Kallman.
5. Pada kasus dengan kadar gonadotropin normal atau rendah, maka harus dilakukan
pemeriksaan MRI sella tursica untuk mengevaluasi adanya tumor ekstrasellar dan
the empty sella tursica. Pada kasus ini juga dapat dilanjutkan dengan langkah 4,
yaitu uji klomifen sitrat atau uji GnRH. Uji ini bertujuan untuk membedakan
apakah kelainan pada pituitari atau SSP-hipotalamus yang menyebabkan amenorre.

10
a. Uji klomifen sitrat. Dilakukan dengan memberikan klomifen sitrat 100 mg/hari
selama 5-7 hari. Uji klomifen sitrat positif bila ditemukan peningkatan kadar
FSH-LH 2 kali lipat selama tes, dan kadar estradiol minimal 200 pg/ml 7 hari
setelah tes. Uji klomifen sitrat yang positif menandakan fungsi hipofisis normal.
b. Uji GnRH. Sekresi GnRH endogen tidak dapat dinilai pada manusia karena
dekapeptida ini dimetabolisme dengan cepat dalam waktu 2-4 menit di sirkulasi
perifer. Untuk menentukan apakah hipogonadotropin disebabkan karena
defisiensi GnRH alami akibat defek di hipothalamus atau karena defek langsung
di hipofisis, harus dilakukan uji menggunakan GnRH agonis. Uji GnRH juga
penting untuk menilai derajat maturasi poros hipothalamus-hipofisis-gonad.
Sampel darah pertama diambil lima belas menit sebelum penyuntikan GnRH dan
kadarnya dipakai sebagai nilai awal. Selanjutnya dilakukan penyuntikan agonis
GnRH 100 g intravena, 30 dan 60 menit kemudian diambil sampel darah, hal
ini dianggap cukup untuk interpretasi klinik. Respon yang normal adalah
peningkatan LH mencapai sekurang-kurangnya 20 mIU/ml setelah 30 menit dan
FSH mencapai 5 mIU/ml setelah menit ke 60, dikatakan uji GnRH positif. Uji
GnRH positif berarti terjadi defisiensi releasing hormone yang dihasilkan oleh
hipotahalamus, sedangkan uji GnRH yang negatif berarti kelainan pada
hipofisis.4

Gambar 2. Evaluasi amenorre


Dikutip dari Hunter dan Heiman 3

11
Dari anamnesis pasien kita mendapatkan informasi bahwa penderita belum pernah
mengalami menstruasi, payudaranya tidak mengalami perkembangan serta bulu ketiak
dan kemaluannya tidak ada. Dari pemeriksaan fisik didapatkan : Pemeriksaan luar :
Payudara tidak menonjol, bulu pada ketiak dan kemaluan tidak ada, tinggi fundus uteri
tak teraba. Dari pemeriksaan rektal tidak teraba corpus uteri sehingga saat masuk
pasien didiagnosa dengan amenorea primer. Pasien ini kemudian dilakukan
pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan USG dan laboratorium. Dari hasil
pemeriksaan ultrasonografi didapatkan kesan suatu disgenesis uterus dengan ukuran
gonad yang kecil sedangkan dari pemeriksaan hormonal dengan nilai FSH dan LH yang
rendah dibawah 5 IU/L. Setelah adanya hasil ultrasonografi dan laboratorium pasien ini
diklasifikasikan sebagai hipogonadotropin hipogonadism.
Hipogonadotropin hipogonadisme adalah sindrom klinis yang ditandai oleh
kegagalan gonad akibat defisiensi gonadotropin karena disfungsi pada susunan saraf
pusat, hipothalamus, atau hipofisis. Sindrom ini bisa bersifat kongenital atau didapat
dengan gejala klinis bervariasi tergantung onset dan besarnya defisiensi hormon yang
terjadi. Hipogonadotropin hipogonadisme karena disfungsi hipothalamus dapat
disebabkan karena fungsional, gangguan psikiatri, mutasi gen pada neuron dan reseptor
serta karena lesi struktural atau organik.5
Tabel 1. Etiologi hipogonadotropin hipogondadisme
Kelainan pituitari Kelainan hipothalamus
A. Tumor A. Fungsional amenorre hipothalamus
1. Prolaktinoma 1. Stress
2. Tumor pituitari yang 2. Olahraga
mensekresi hormon lain 3. Terkait nutrisi : kehilangan berat badan
(gonadotroph adenoma, berlebihan, diet, malnutrisi, kelainan
thyrotroph adenoma, makan (anoreksia nervosa, bulimia)
somatotroph adenoma, 4. Pseudocyesis
corticotroph adenoma) B. Kelainan lain
3. Pituitari incidentaloma 1. Congenital isolated gonadotropin
B. Empty sella syndrome deficiency
C. Lesi infiltratif pituitari a. Sindroma Kallman
(hemokromatosis, lymphocytic b. Isolated hypogonadotropic
hypophysitis) hypogonadism
D. Mutasi reseptor FSH, mutasi 2. Infeksi: tuberkulosis, sifilis, ensefalitis/
reseptor LH, dan Fragile X meningitis, sarkoidosis
syndrome 3. Chronic debilitating disease
E. Penyakit autoimun 4. Tumor: craniopharyngioma, germinoma,
F. Galaktosemia hamartoma, langerhans sell histiocytosis,
teratoma, endodermal sinus tumor,
metastasis karsinoma.
Dikutip dari ASRM 4
12
Jika hasil pemeriksaan gonadotropin ternyata rendah, atau berada dalam kisaran
normal, maka diperlukan satu lokalisasi akhir untuk membedakan antara hipofisis
ataupun SSP-hipothalamik, sebagai penyebab amenorre. Hal ini dapat dicapai dengan
melakukan pemeriksaan radiologis terhadap sella tursica untuk mencari tanda
terjadinya perubahan yang abnormal.1,2
Patofisiologi fungsional amenorre hipothalamus berhubungan dengan penekanan
pulsasi sekresi GnRH atau pola pulsasi GnRH yang abnormal. Penyebab fungsional
amenore hipothalamus yang sering dikaitkan adalah penurunan berat badan,
peningkatan latihan fisik dan stress, namun bagaimana sebenarnya mekanisme yang
menyebabkan gangguan dalam sekresi GnRH masih belum diketahui. Stres dan
penurunan berat badan akan menginduksi perubahan kadar beta endorphin yang dapat
mempengaruhi sekresi GnRH oleh hipothalamus.6 Frisch menyimpulkan bahwa jumlah
lemak tubuh yang kritikal sangat penting untuk mencapai dan mempertahankan fungsi
reproduksi yang normal. Leptin merupakan hormon adiposit yang berhubungan
dengan penyimpanan energi untuk reproduksi. Konsentrasi leptin meningkat pada
obesitas dan akan menurun dengan cepat selama puasa. Reseptor leptin terdapat di
neuron hipothalamus dan akan mengontrol keseimbangan energi dan fungsi
reproduksi. Leptin meregulasi sintesis dan sekresi GnRH, gonadotropin dan steroid
seks dan pada hipogonadotropin hipogonadisme ditemukan defisiensi leptin.6,7
Defisiensi GnRH terisolasi yang disertai anosmia (sindrom Kallmann) atau tanpa
defisit olfaktori disebut hipogonadotropin hipogonadisme terisolasi (isolated
hypogonadotrpin hypogonadism/ IHH) karena tidak adanya GnRH atau karena
kegagalan hipofisis untuk mengenal GnRH. Sindrom Kallmann terjadi karena
kegagalan neuron GnRH bermigrasi dari bulbus olfaktori ke hipothalamus selama
perkembangan embrio sehingga keadaan hipogonadotropin hipogonadism terjadi
bersamaan dengan anosmia atau hiposmia. Sindrom Kallmann maupun IHH
menyebabkan gagalnya fungsi gametosis dan produksi steroid seks. Kelainan ini pada
wanita muncul dengan berbagai variasi genotip, mulai dari gambaran enukhoid yang
klasik sampai perkembangan payudara yang moderat. Amenore primer adalah hal
yang sering menyertai dan pada ovarium biasanya hanya terdapat folikel primordial.
Kadar FSH dan LH sering berada di bawah dari kadar normal yang dapat diukur.
Sebagian besar pasien memberikan respon pelepasan FSH dan LH terhadap stimulasi
GnRH bisa berupa tidak terjadinya peningkatan FSH dan LH, peningkatan FSH dan
LH yang sesuai dan peningkatan salah satu komponen saja, FSH atau LH. Ovarium

13
juga akan memberikan respon terhadap stimulasi GnRH atau gonadotropin eksogen
bila fungsi hipofisis normal dan ovulasi serta kehamilan mungkin terjadi.8
Etiologi hipogonadotropin hipogonadisme pada pasien ini dapat disimpulkan:
1. Amenorea pada pasien ini masih mungkin disebabkan karena kelainan pada
hipofisis/pituitari, sehingga disarankan untuk melakukan:
a. Pemeriksaan MRI sella tursika untuk mengevaluasi adanya tumor hipofisis dan
empty sella syndrome. Tidak adanya galaktorrea dan kadar prolaktin yang
normal, kemungkinan etiologi prolaktinoma dapat disingkirkan, sehingga
dipikirkan penyebab lain seperti tumor non-prolaktin. Pada pasien ini juga
tidak didapatkan kelainan lapangan pandang ataupun gejala nyeri kepala.
b. Kadar ferritin serum. Hemokromatosis dapat mempengaruhi fungsi
hipothalamus dan hipofisis, sehingga menyebabkan defisiensi gonadotropin
terisolasi. Kadar ferritin serum yang normal dapat menyingkirkan
kemungkinan hemokromatosis.8
2. Amenorre pada pasien ini masih mungkin disebabkan karena kelainan pada
hipothalamus, yang secara garis besar dibagi menjadi: (a) fungsional amenorre
hipothalamus dan (b) defisiensi GnRH terisolasi (sindroma Kallmann dan isolated
hypogonadotrpin hypogonadism).8,9 Pasien memiliki IMT normal, tidak berada
dalam kondisi stress, tidak malnutrisi, tidak dalam proses diet, jarang berolahraga,
kehilangan berat badan berlebih disangkal, kelainan makan disangkal, sehingga
kemungkinan fungsional amenorre hipothalamus dapat disingkirkan. Pasien
dengan sindroma Kallmann disertai dengan kelainan fenotip termasuk defek
kraniofasial (cleft lip/palate, high-arched palate, hipertelorisme okular, agenesis
dental), anosmia, tuli neurosensorial, kelainan jari (clinodactyly, syndactyly,
camprodactyly), agenesis renal unilateral, dan defek neurologis (kelainan
okulomotor, synkinesis bimanual, atau mirror hand movements, ataksia serebellar).
Pada pasien ini tidak ditemukan anosmia atau kelainan fenotip yang terkait,
sehingga kemungkinan sindroma Kallmann dapat disingkirkan.
Isolated hypogonadotrpin hypogonadism (IHH) merupakan kemungkinan
penyebab amenorre pada pasien ini. IHH tidak disertai dengan anosmia maupun
kelainan fenotip lainnya. Defisiensi GnRH disebabkan mutasi gen KISS1/KISS1R,
TAC3/TAC3R, dan GnRH1/GnRHR yang berperan dalam mengkode neuropeptida
dan protein yang terlibat dalam perkembangan dan migrasi neuron GnRH.
Spektrum klinis IHH bervariasi, yaitu: (a) berat (amenorre primer, absent
pertumbuhan seks sekunder) dan (b) ringan (amenorre primer, telarche spontan).8,9

14
Pasien ini dengan amenorre primer, pertumbuhan seks sekunder Tanner I, sehingga
mungkin menderita IHH.
3. Untuk membedakan etiologi penyebab hipogonadotropin hipogonadisme ini,
apakah kelainan pada hipofisis atau hipothalamus, dapat dilakukan uji klomifen
sitrat atau uji GnRH. Pada pasien ini, belum dilakukan salah satu uji tersebut.

2. Tujuan terapi kasus hipogonadotropin hipogonadisme pada wanita dewasa adalah


induksi dan mempertahankan pubertas yang normal, serta induksi ovulasi bila
menginginkan fertilitas. Bila pasien menginginkan fertilitas maka induksi ovulasi dapat
dilakukan dengan hormon gonadotropin eksogen atau dengan pemberian GnRH pulsatil,
sedangkan pada wanita yang tidak ingin hamil maka kontrasepsi oral dapat diberikan
untuk menimbulkan mentruasi dan sebagai substitusi estrogen.10,11
Kondisi hipogonadotropin hipogonadisme terjadi akibat produksi FSH dan LH
rendah oleh hipofisis, sehingga pemberian gonadotropin eksogen bertujuan mengambil
alih fungsi hipofisis.11 Terapi gonadotropin meliputi aktivitas FSH dan LH untuk
menstimulasi steroidogenesis dan follikulogenesis secara efektif. FSH eksogen
bertujuan menstimulasi proliferasi sel-sel granulosa dan pertumbuhan folikel,
sedangkan LH menstimulasi produksi androgen di sel-sel teka yang selanjutnya
dikonversi menjadi estrogen oleh sel-sel granulosa melalui proses aromatisasi. Target
utama terapi adalah merangang pertumbuhan dan perkembangan folikel matur tunggal.12
Pada siklus alamiah, terdapat konsep batas ambang minimal kadar FSH yang
menyebabkan tumbuhnya satu folikel dominan, sementara folikel lainnya mengalami
atresia. Konsep ini dikenal sebagai FSH window concept. Pemberian FSH eksogen
dimaksudkan untuk memodifikasi prinsip dasar tersebut, yaitu dengan memperpanjang
lama window FSH dan kadar di atas ambang minimal, sehingga folikel yang akan
mengalami perkembangan menjadi lebih banyak dibandingkan dengan siklus alami.
Induksi ovulasi telah dikembangkan untuk mencapai dua tujuan utama, yaitu :
1. mono-ovulasi pada wanita dengan oligoovulasi, anovulasi, atau tidak ada folikel
matur
2. maturasi multiofolikel untuk mendapatkan atau meningkatkan jumlah oosit, yang
biasa disebut stimulasi ovarium.13
Pada kasus hipogonadotropin hipogonadisme, hasil klinis optimal dicapai dengan
kombinasi pemberian FSH dan LH, lalu diakhiri pemberian hMG; atau kombinasi FSH
dan salah satu dari rekombinan LH atau hCG dosis rendah. Berbagai jenis gonadotropin
eksogen adalah human menopausal gonadotropin (hMG), purified urinary FSH (u-
15
FSH), highly purified urinary FSH, rekombinan FSH (r-FSH), dan rekombinan LH (r-
LH), dan rekombinan hCG. Kombinasi gonadotropin yang direkomendasikan untuk
hipogonadotropin hipogonadisme adalah hMG yang mengandung 75 IU FSH dan 75 IU
LH perampul. 13
Masalah pertama pada kasus-kasus ini adalah mencari etiologi amenorre, apakah
kelainan di tingkat hipofisis atau hipothalamus, melalui uji GnRH. Masalah kedua
adalah mengkonfirmasi apakah ovarium dapat merespon baik apabila terapi terhadap
kondisi hipogonadotropin hipogonadisme diberikan. Respon baik ovarium artinya
fungsi ovarium untuk folikulogenesis dan ovulasi. Hal ini dapat diketahui dengan
pemberian gonadotropin eksogen yang bermaksud mengambil alih peran hipofisis.
Sonmezer, dkk. menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa kadar anti-Mullerian
hormone (AMH) serum berhubungan dengan respon ovarium pada pasien
hipogonadotropik hipogonadism idiopatik (IHH) yang menjalani program IVF. Untuk
mengetahui respon ovarium pada kondisi hipogonadotropin hipogonadisme cukup
menantang karena pasien mengalami amenorre atau siklus menstruasi irregular dengan
ukuran ovarium yang kecil. Pada penelitian ini diketahui bahwa diameter folikel
ovarium independen gonadotropin >4 mm bertindak sebagai sumber utama AMH,
berdasarkan temuan bahwa kadar serum AMH tidak ditekan secara total pada pasien
IHH. Terdapat hubungan positif antara kadar AMH serum dan oosit (metaphase II),
embrio, tingkait puncak serum estradiol, dan jumlah folikel >14 mm dan >17 mm.
Sehingga pada kasus ini dapat disarankan pemeriksaan AMH serum untuk mengetahui
respon ovarium.14
Pada kasus ini, setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dibuatlah
diagnosa kerja : Amenorea primer . Ditatalaksanai dengan pemeriksaan ultrasonografi
dan pemeriksaan hormon. Dan setelah didapatkan hasil ultrasonografi berupa
disgenesis uterus dan ukuran gonad yang kecil serta hasil pemeriksaan hormon dengan
hipogonadotropin maka pasien didiagnosis dengan amenorea primer e.c
hipogonadotropin hipogonadism, lalu dikonsulkan ke konsulen dengan saran untuk
dilakukan analisa kariotipe. Namun karena alasan ekonomi pasien belum dilakukan
analisa kariotipe. Pada kasus ini juga belum dilakukan uji GnRH untuk mengetahui
penyebab dari keadaan hipogonadotropin dan hipogonadism apakah dari kompartemen
III ( kelainan hipofisis/pituitari) atau kompartemen IV (kelainan SSP-hipotalamus).
Jadi penatalaksanaan pada kasus ini belum adekuat.

16
VI. RUJUKAN
1. Speroff L, Fritz MA. Amenorre. In: Speroff L, Fritz MA, eds. Clinical gynecologic endocrinology and
infertility. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2005:402-38.
2. Speroff L, Fritz MA. Amenorre. In: Speroff L, Fritz MA, eds. Clinical gynecologic endocrinology and
infertility. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2011:435-94.
3. Hunter TM, Heiman DL. Amenorrhea: evaluation and tretament. Am Fam Physic. 2006;73(8):1-9.
4. The Practice Committe of The American Society of Reproductive Medicine (ASRM). Current evaluation
of amenorrhea. Fertil Steril. 2008;90:S219-25.
5. Singh N, Mathew A, Chauhan RC, Parvathavarthini. Development of secondary sexual characters in a
case of idiopathic hypogonadotropic hypogonadism. Int J Contemp Pediatr. 2014;1(1):55-7.
6. Helm KD, Nass RM, Evans WS. Physiologic and pathophysiological alterations of the neuroendocrine
components of the reproductive axis. In: Strauss JF, Barbieri RL, eds. Yen and Jaffes Reproductive
Endocrinology. 6th ed. Philadelphia: Saunders. 2009:441-88.
7. Ahima RS. Body fat, leptin and hypothalamic amenorrhea. N Eng J Med. 2004;351(10):959-62.
8. Silveira LF, Latronico AC. Approach to the patient with hypogonadotropic hypogonadism. J Clin
Endocrinol Metab. 2013;98(5):1781-8.
9. Pittleloud PN. Hypogonadotropic hypogonadism and amenorrhea. Available at:
http://www.sgrm.org/wb/media/Womens_Health/Presentations_2014/Pitteloud_Nelly_09.01.14.pdf Cited
in: December 1, 2015.
10. Liu JH, Patel B. Central causes of amenorrhea. [Updated 2013 Jan 24]. In: De Groot LJ, Beck-Peccoz P,
Chrousos G, et al., editors. Endotext [Internet]. South Dartmouth (MA): MDText.com, Inc.; 2000.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK278939/
11. Messinis IE. Ovulation induction: a mini review. Hum Reprod. 2005;20(10):2688-97.
12. The Practice Committe of The American Society of Reproductive Medicine (ASRM). Use of exogenous
gonadotropins in anovulatory women: a technical bulletin. Fertil Steril. 2008;90:S7-12.
13. Permadi W. Gonadotropin. In: Samsulhadi, Hendarto H, eds. Induksi ovulasi dan stimulasi ovarium.
Jakarta: Sagung Seto. 2013:49-63.
14. Sonmezer M, Ozmen B, Atabekoglu CS, Pappucu EG, Ozkavukeu S, Pabuccu R. Serum anti-Mullerian
hormone levels correlate with ovarian response in idiopathic hypergonadotropic hypogonadism. J Assist
Reprod Genet. 2012;29:597-602.

17

Anda mungkin juga menyukai