I. Pendahuluan
Tuberkulosis adalah penyakit klasik familial. Penyebaran Mycobacterium
tuberculosis orang-ke-orang serumah merupakan penyebaran utama di dunia
sekarang ini. Seiring meningkatnya tuberkulosis di banyak negara-negara industri,
isu terkait pengawasan dan kontrol terhadap ibu hamil serta anak-anak menjadi
meningkat.1
Berdasarkan laporan WHO, angka kejadian kasus baru tuberkulosis di dunia
mencapai lebih dari 8 juta per tahun. Sebelum tahun 1985, di Amerika Serikat
tuberkulosis pada wanita hamil dan bayi baru lahir merupakan suatu hal yang
langka. Namun, akhir 1980 dan era 1990-an tuberkulosis meningkat di tajam di
Amerika Serikat. Indonesia menempati urutan ketiga dengan angka kejadian
450.000 kasus baru per tahun dan angka kematian 175.000 kasus per tahun.
Selama tahun 1989-1990 dari 4.300 persalinan di RS Cipto Mangunkusumo, 150
orang ibu didiagnosis tuberkulosis paru (prevalensi 3,48%).1-3
Tuberkulosis pada kehamilan merupakan masalah tersendiri karena selain
mengenai ibu, juga dapat mengenai bayi yang dikandung atau dilahirkannya.
Keterlambatan diagnosis tuberkulosis pada neonatus sering terjadi karena
keterlambatan diagnosis tuberkulosis pada ibu. Oleh karena itu riwayat perjalanan
penyakit ibu hamil sangat penting diketahui untuk mencegah keterlambatan
diagnosis.2,4
Pengaruh kehamilan terhadap kejadian dan prognosis tuberkulosis telah
menjadi perdebatan dan bahan diskusi sejak lama. Kehamilan dianggap dapat
meningkatkan, memperburuk, atau bahkan tidak mempunyai pengaruh terhadap
prognosis tuberkulosis. Pada kehamilan terdapat perubahan-perubahan pada sistem
humoral, imunologis, peredaran darah, sistem pernafasan, seperti terdesaknya
diafragma ke atas, sehingga paru-paru terdorong ke atas dan volume residu
pernafasan berkurang. Sedangkan pada kehamilan pemakaian oksigen bertambah
kira-kira 25% dibandingkan di luar kehamilan. Apabila penyakitnya berat atau
prosesnya luas dapat menyebabkan hipoksia sehingga hasil konsepsi dapat
2
II. Terminologi
Pendekatan praktis terminologi tuberkulosis mengikuti jejak natural sejarah
penyakit tersebut, dimana terbagi atas 3 tahap, yaitu : paparan (exposure), infeksi
(infection), dan penyakit (disease).1
Tahap paparan (exposure), berupa kontak selang waktu <3 bulan pada orang
dewasa tersangka atau penderita tuberkulosis paru. Bayi yang lahir di keluarga
penderita tuberkulosis aktif dimasukkan dalam tahap exposure. Pada tahap ini, tes
tuberkulin kulit bayi negatif, hasil rontgen thoraks normal, dan bayi bebas dari
gejala dan tanda-tanda tuberkulosis. Bayi pada tahap paparan sulit untuk benar-
benar dianggap sudah terjangkiti M. tuberculosis dikarenakan perkembangan dari
hipersensitivitas tipe lambat terhadap tes kulit tuberkulin yang membutuhkan
waktu minimal 3 bulan setelah masuknya organisme tersebut.1
Tahap Infeksi (infection) M. tuberculosis pada seseorang terjadi bila hasil tes
kulit tuberkulin atau interferon- release assay positif namun tak tampak gejala
maupun tanda infeksi tuberkulosis. Pada tahap ini, rontgen thoraks dapat normal
atau menunjukkan gambaran granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru atau
nodul regional limfe. Tujuan tatalaksana M. tuberculosis tahap infeksi adalah
mencegah penyakit tersebut di masa depan. Pada neonatus, progresifitas dari
infeksi menjadi tahap penyakit (disease) dapat terjadi secara cepat dalam hitungan
beberapa minggu sampai bulan. Bayi dengan tes kulit tuberkulin positif tanpa
ditatalaksanai, 40% berkembang menjadi tahap penyakit (disease).1,2
3
Tahap penyakit (disease) terjadi bila sudah terdapat manifestasi gejala atau
tanda atau radiologis yang disebabkan oleh kuman M. tuberculosis. Penting untuk
mendapat gambaran radiologis yang baik sebab sekitar 25%-35% anak-anak yang
menderita tuberkulosis menunjukkan keterlibatan ekstrapulmonum.2 Sekitar 10%-
20% anak-anak dan dewasa imunokompeten pada tahap penyakit (disease)
didapati hasil tes tuberkulin kulit negatif, hal ini biasanya disebabkan
imunosupresi tuberkulosis itu sendiri. Tes kulit tuberkulin negatif pada tahap
penyakit dari M. tuberculosis lebih tinggi pada neonatus dan bayi kecil, terutama
pada bentuk tuberkulosis yang mengancam jiwa, seperti jenis miliar atau
meningitis.1
III. Mikrobakteriologi
Karakteristik mycobacteria adalah nonmotile, pleomorfik tanpa bentukan spora,
gram positif batang dengan panjang 1-5 m, ramping dan agak melengkung. M.
tuberculosis terlihat berkelompok dan mirip manik-manik. Secara biologis
komponen dinding sel mycobacteria merupakan bagian terkuat. Komposisi
dinding selnya adalah 20%-60% lipid yang berikatan dengan protein dan
karbohidrat. Komposisi inilah yang diyakini membuat mycobacteria lebih resisten
terhadap cahaya, alkali, asam, dan aktivitas bakterisidal antibodi dibandingkan
dengan bakteri lainnya. Pertumbuhan M. tuberculosis lambat, dengan masa
pertumbuhan 12 sampai 24 jam pada media padat.1
Ciri khas mycobacteria adalah basil tahan asam, dimana dengan pewarnaan
aryl methane tertentu terlihat kompleks mycolate stabil yang tidak hilang dengan
pencucian alkohol 95% ditambah asam klorida. Sel tampak berwarna merah bila
dengan pewarnaan karbol fuchsin (Ziehl-Neelsen atau Pewarna Kinyoun) atau
berwarna ungu bila diwarnai dengan pewarna crystal violet atau dibawah sinar
ultraviolet dengan pewarnaan Truant auramine-rhodamine tampak flouresensi
kuning-hijau menyala. Truant auramine-rhodamine merupakan pewarnaan paling
sensitif diantara pewarnaan lainnya terutama bila hanya dijumpai jumlah bakteri
4
yang ada sedikit. Sampel yang dibuat sedikitnya harus terlihat 10.000 sel/mm 2
kuman pada pemeriksaan pulasan pewarnaan tahan asam.1
Baru-baru ini, dikembangkan sistem baru dimana kultur dan sensitivitas
dilakukan secara simultan pada media cair. Sistem ini microscopic observed drug
susceptibility (MODS)- mampu memperoleh hasil dalam 7 hari. Metodologi
MODS juga efektif untuk anak-anak, dimana menunujukkan peningkatan hasil
dibandingkan dengan teknik kultur tradisional (87% vs 55%) dan penurunan waktu
menuju kultur positif (10 hari vs 24 hari).1
Isolasi M. tuberculosis cukup sulit dari bayi maupun anak-anak dengan
tuberkulosis. Bayi dan anak-anak dengan tuberkulosis paru jarang memproduksi
sputum sebagaimana pada tuberkulosis paru dewasa. Sumber kultur pada anak-
anak diperoleh dari hasil aspirasi lambung, diambil diawal pagi hari, sebagai hasil
sekresi pernafasan yang ditelan semalaman. Pada anak yang lebih tua, hasil kultur
diperoleh dari aspirasi lambung yang diperoleh pada pagi hari selama 3 hari
berturut-turut, dimana diperoleh hasil sekitar 20%-40%. Pada bayi, hasil yang
diperoleh biasanya lebih tinggi, >75%. Pada bayi dengan kongenital tuberkulosis
pulmonum, kultur M. tuberculosis dapat diperoleh dari aspirasi trakea dikarenakan
banyaknya kuman tersebut di paru-paru. Induksi kultur sputum, diperoleh dengan
cara melakukan penghisapan melalui selang nasogastric setelah pemberian
albuterol, nebulisasi oksigen, dan perkusi dada, aman dan efektif pada bayi usia 1
bulan. Hasil dari 1 induksi kultur sputum sama dengan hasil dari 3 spesimen
aspirasi lambung, dimana hasil dari induksi kultur sputum lebih bersifat positif dan
lebih mudah diperoleh untuk pasien rawat jalan.1
Beberapa jenis amplikasi asam nukleat telah dikembangkan untuk mendeteksi
adanya M. tuberculosis dari sampel pasien. Bentuk utama dari studi tentang
amplikasi asam nukleat pada anak-anak penderita tuberkulosis adalah reaksi rantai
polimerase (polymerase chain reaction (PCR)), dimana menggunakan urutan
spesifik DNA sebagai marker untuk mikroorganisme. Teknik PCR bervariasi,
sebagian besar elemen insersi mikrobakterial IS6110 sebagai marker DNA untuk
5
IV. Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO, angka kejadian kasus baru tuberkulosis di dunia
mencapai lebih dari 8 juta per tahun. Sebelum tahun 1985, di Amerika Serikat
tuberkulosis pada wanita hamil dan bayi baru lahir merupakan suatu hal yang
langka. Namun, akhir 1980 dan era 1990-an tuberkulosis meningkat di tajam di
Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, 6% kasus tuberkulosis terjadi pada individu
usia <15 tahun dan hampir 40% terjadi pada usia 15 sampai 44 tahun. Terdapat 16
wanita hamil dengan tuberkulosis aktif, dan 7 dari 11 yang diperiksa menderita
positif HIV. Di Indonesia, kasus baru tuberkulosis hampir separuhnya adalah
wanita, dan menyerang sebagian besar wanita pada usia produktif. Kira-kira 1-3%
dari semua wanita hamil menderita tuberkulosis. Indonesia menempati urutan
ketiga dengan angka kejadian 450.000 kasus baru per tahun dan angka kematian
175.000 kasus per tahun. Selama tahun 1989-1990 dari 4.300 persalinan di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, 150 orang ibu didiagnosis tuberkulosis paru
(prevalensi 3,48%).1-3
Tuberkulosis pada kehamilan merupakan masalah tersendiri karena selain
mengenai ibu, juga dapat mengenai bayi yang dikandung atau dilahirkannya.
Keterlambatan diagnosis tuberkulosis pada neonatus sering terjadi karena
keterlambatan diagnosis tuberkulosis pada ibu. Oleh karena itu riwayat perjalanan
penyakit ibu hamil sangat penting diketahui untuk mencegah keterlambatan
diagnosis. Sebagian besar tuberkulosis pada kehamilan sering kali tanpa gejala
yang khas, maka sekitar 30% ibu terdiagnosis tuberkulosis setelah bayi yang
dilahirkan di ketahui menderita tuberkulosis kongenital. Seperti dikutip dari
Suwondo dkk, Good menyebutkan gejala klinis tuberkulosis pada kehamilan
berupa batuk (74%), penurunan berat badan (41%), demam (30%), nafsu makan
menurun (30%) dan hemoptisis (19%).5-7
Infeksi tuberkulosis perinatal dapat terjadi secara kongenital (pranatal), pada
saat persalinan (natal) maupun transmisi pasca natal. Pada tipe kongenital,
transmisi terjadi karena penyebaran hematogen melalui vena umbilikalis atau
7
aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Pada tipe natal transmisi dari ibu selama
proses persalinan dan pasca natal oleh ibu atau orang dewasa lain secara infeksi
droplet.7,8 Untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis kongenital, bayi harus
terbukti diagnosis tuberkulosis dan memenuhi salah satu dari kriteria Beitzke yang
telah di revisi yaitu (1). lesi pada minggu pertama kehidupan, (2). kompleks primer
hati atau granuloma hati kaseosa, (3). infeksi tuberkulosis pada plasenta atau pada
infeksi traktus genitalia, (4). kemungkinan transmisi pasca natal telah disingkirkan.
Kejadian tuberkulosis kongenital sangat jarang. Di seluruh dunia sejak tahun
1935 tercatat 329 kasus tuberkulosis kongenital. 6,10 Abughali dkk1 melaporkan dari
tahun 1980-1994 hanya terdapat 58 kasus tuberkulosis kongenital. Hal yang
menyebabkan rendahnya angka kejadian tuberkulosis kongenital adalah (1). Pada
wanita dengan tuberkulosis genitalia biasanya mengalami infertilitas, (2).
tuberkulosis pada orang dewasa umumnya merupakan tuberkulosis pasca primer
yang terlokalisasi di paru, tuberkulosis primer sistemik jarang terjadi pada orang
dewasa. Sedangkan kondisi sistemik dengan penyebaran hematogen diperlukan
untuk terjadinya tuberkulosis kongenital, (3). Adanya sawar plasenta yang dapat
mencegah masuknya M. tuberculosis ke dalam sirkulasi janin, (4) Tuberkel yang
menempel pada plasenta sangat jarang pecah sehingga M.tuberculosis tidak dapat
mencapai dan menginfeksi janin, (5) Kemungkinan terdiagnosis sebagai
tuberkulosis kongenital kecil oleh karena umumnya terdiagnosis sebagai penyakit
lain.
Data mengenai tuberkulosis perinatal di Departemen Kesehatan Anak FKUI
RSCM dilaporkan oleh. Rahajoe N. pada tahun 1996 melaporkan, 26 (16,4%) dari
171 kasus tuberkulosis dengan biakan positif adalah anak di bawah usia 1 tahun
dengan usia termuda adalah 4 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa sumber
penularan yang paling mungkin adalah ibu.2,3
8
Infeksi tuberkulosis pada neonatus yang terjadi saat persalinan (natal), dapat
terjadi karena tertelan atau terhisapnya cairan amnion yang terinfeksi
M.tuberculosis oleh neonatus saat proses persalinan. Pada penularan ini kuman
yang teraspirasi dapat menyebabkan fokus primer di paru atau di usus. Penularan
infeksi tuberkulosis pasca natal merupakan penularan tuberkulosis pada neonatus
yang paling sering, yaitu melalui inhalasi udara (droplet infection) oleh ibu atau
orang dewasa lain penderita tuberkulosis aktif di sekitar neonatus. Kuman
tuberkulosis mencapai alveolus paru terutama pada lobus tengah dan lobus bawah
yang kaya akan oksigen sehingga umumnya fokus primer akan terdapat di sini,
walaupun semua lobus bisa saja menjadi fokus primer.1,5,7
menjadi hamil, seringkali hasil konsepsi sering berimplantasi pada tuba fallopii
dari pada uterus.1,14
Jika bayi lahir dari ibu tuberkulosis, umumnya mempunyai berat badan lahir
rendah, kecil masa kehamilan, resiko persalinan prematur menjadi dua kali lipat,
dan kematian perinatal meningkat enam kali lipat. Resiko ini berhubungan dengan
keterlambatan diagnosis, pengobatan yang tidak teratur, dan luasnya kelainan paru.
Tidak cukup bukti bahwa tuberkulosis paru meningkatkan kejadian abortus
spontan atau kelainan kongenital.3,15
Rute Transmisi1-3
Tuberkulosis pada neonatus dapat berupa kongenital tuberkulosis (didapat dalam
rahim) maupun neonatal tuberkulosis (didapat diawal kehidupan berasal dari ibu,
anggota keluarga lainnya, teman, atau pembantu). Tuberkulosis kongenital
diperoleh melalui 3 cara, yaitu :
1. Dari plasenta yang terinfeksi (tuberkel pada plasenta yang pecah) melalui
vena umbilikalis
2. Inhalasi cairan ketuban yang terinfeksi
3. Tertelan cairan ketuban yang terinfeksi
Sedangkan neonatal tuberkulosis diperoleh melalui 4 cara, yaitu :
1. Inhalasi infeksi droplet
2. Menelan infeksi droplet
3. Menelan air susu terifeksi (teoritis)
4. Kontaminasi dari kulit atau membran mukosa yang mengalami trauma.
Infeksi kongenital pada janin dapat pula terjadi akibat aspirasi atau tertelan
cairan ketuban yang terinfeksi. Ruptur lesi kaseosa pada plasenta langsung menuju
16
ruang amniotik sehingga basil dapat tertelan atau terhisap oleh janin. Terhisap atau
tertelan cairan ketuban terinfeksi merupakan penyebab tersering kongenital
tuberkulosis terutama apabila ada fokus primer multipel di paru-paru, usus, atau
telinga tengah pada janin. Kongenital tuberkulosis yang disebabkan oleh aspirasi,
kompleks primernya dapat berada di hepar, paru-paru, atau keduanya.
Modus transmisi kongenital tuberkulosis biasanya melalui tali pusat. Organ
yang paling sering terlibat adalah hepar dan paru-paru, diikuti oleh tulang
belakang, tulang, traktus gastrointestinal, kelenjar adrenal, limpa, ginjal, nodus
limfe abdominal, dan juga kulit. Gambaran histologisnya sama seperti gambaran
pada tuberkulosis dewasa yaitu tuberkel dan granuloma. Keterlibatan susunan
syaraf pusat dilaporkan < 50% kasus. Kasus-kasus fatal terdiagnosis setelah
dilakukan otopsi.
Rute infeksi terhadap neonatus M. tuberculosis yang didapat postnatal paling
sering melalui inokulasi udara, jadi sulit membedakan antara infeksi postnatal atau
prenatal akuisitas hanya melalui penampakan klinis saja. Semua orang dewasa
yang terlibat di lingkungan neonatus berpotensi menjadi sumber penularan
termasuk paramedis. Sekitar 40% janin dengan terinfeksi M. tuberculosis yang
tidak diobati berkembang menjadi penyakit setelah 1 atau 2 tahun kemudian.
Estimasi data menunjukkan 9% sampai 15% ibu dengan tuberkulosis menularkan
infeksi ke janinnya dimasa post partum, dimana akan lebih tinggi lagi nilainya
pada ibu dengan tuberkulosis yang tidak diobati atau baru terdiagnosis diakhir usia
kehamilannya.
Portal masuk M. tuberculosis ke neonatus jarang melalui kulit maupun mukosa
membran. Lesi primer yang paling sering dilaporkan adalah adanya trauma minor
pada kepala dan lesi pada mukosa mulut. Dari kedua hal tersebut utamanya adalah
melihat adanya pembesaran limfe regional. Laporan kasus terkait portal kulit
maupun mukosa membran pada genitalia neonatus pria pasca sirkumsisi.
17
Hepatospleenomegali 76
Distress Pernafasan 72
Demam 48
Limfadenopati 38
Abdominal Distensi 24
Letargi atau Iritabel 21
Discharge Telinga 17
Lesi Kulit Papular 14
Vomitus, Apneu, Sianosis, Jaundice, Kejang, Petechiae Masing-masing <10
Dikutip dari Jeffrey R. Starke, dkk.1
Gambar 2. Radiografi Thoraks dari bayi usia 1 bulan dengan kongenital tuberkulosis
Dikutip dari Jeffrey R. Starke, dkk.1
Penampakan klinis tuberkulosis pada bayi baru lahir sama dengan klinis pada
sepsis bakterialis dan infeksi kongenital dengan sifilis dan sitomegalovirus,
disertai abnormalitas dari nilai fungsi hati. Bayi dengan gejala dan tanda sepsis
atau infeksi viral yang tidak berespon terhadap terapi antibiotika kuat dan dengan
infeksi kongenital yang tidak jelas patut untuk dicurigai suatu kongenital
tuberkulosis. Ibu penderita tuberkulosis atau kelompok risiko tinggi tuberkulosis
termasuk dalam kecurgiaan kongenital tuberkulosis. Riwayat penyakit dahulu dan
keluarga bukan merupakan titik berat untuk meningkatkan kecurigaan terhadap
kongenital tuberkulosis. Kecurigaan perlu ditingkatkan apabila diperoleh data
mengenai penyakit ibu berupa unexplained pneumonia, bronkhitis, efusi pleura,
penyakit meningeal, atau endometritis sesaat sebelum, selama, atau setelah
kehamilan. Riwayat tuberkulosis dalam keluarga dapat digali dari evaluasi
terhadap kedua orang tua dan anggota keluarga lainnya termasuk pembantu di
rumah.
Sedapat mungkin plasenta diperiksa dan dilakukan kultur M. tuberculosis. Hasil
tes kulit tuberkulin pada awal pemeriksaan biasanya negatif, menjadi positif selang
13 bulan pengobatan. Diagnosis tegak jika didapat basil tahan asam pada cairan
atau jaringan tubuh atau melalui kultur M. tuberculosis. Hasil positif pada
pengecatan basil tahan asam terhadap bayi baru lahir yang diperoleh dari aspirasi
lambung dini hari dipertimbangkan sebagai indikasi suatu tuberkulosis, meskipun
cara ini sering menghasilkan positif palsu. Untuk hasil yang lebih akurat diperoleh
dari pengecatan langsung basil tahan asam dari cairan telinga tengah, tulang
belakang, aspirasi trakea, atau dari biopsi jaringan.
Obat yang paling sering digunakan untuk menatalaksanai infeksi dan penyakit M.
Tuberkulosis dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini. INH andalan pengobatan
untuk infeksi TBC dan penyakit pada bayi, anak-anak, dan orang dewasa, karena
murah, sangat efektif dalam mencegah multiplikasi basil 20ntramuscula, dengan
berat molekul yang rendah mudah terdifusi ke seluruh jaringan dalam tubuh, dan
intramuskuler tidak beracun untuk anak-anak. Dapat diberikan secara oral atau
20Intramuscular. Pemberian per oral, dalam beberapa jam kadar yang tinggi sudah
dicapai dalam plasma, sputum, dan cairan serebrospinal dan bertahan selama
minimal 6 sampai 8 jam. Karena multiplikasi lambat M. tuberculosis, dosis harian
total dapat diberikan pada satu waktu. Efek toksik utama INH adalah neuritis
perifer dan hepatitis. Neuritis perifer, akibat inhibisi kompetitif dari piridoksin.
Pada beberapa anak bergizi baik, konsentrasi serum piridoksin agak tertekan oleh
INH, tapi tanda-tanda klinis tidak jelas. Bagi sebagian besar anak-anak, tidak perlu
diberi piridoksin tambahan. Namun, pada wanita hamil, anak-anak dan remaja
terinfeksi HIV, remaja diet tidak adekwat, anak-anak dari kelompok etnis dengan
asupan susu dan daging rendah, dan bayi menyusui, suplemen piridoksin (25-
50 mg/hari) sangat penting.1-3
Hepatotoksisitas INH, jarang pada anak-anak, frekuensi meningkat seiring usia
dan tidak mampu dicegah dengan pemberian suplementasi piridoksin. Serum
aspartat aminotransferase dan serum alanine aminotransferase kadang-kadang
meningkat sementara selama pengobatan dengan INH, namun biasanya kembali
normal secara spontan. Abnormalitas enzim hati umum pada remaja yang
mendapat INH dan biasanya menghilang secara spontan, tetapi dapat hepatitis
berat. Neonatus biasanya mentolerir INH baik, namun beberapa ahli
merekomendasikan pemantauan biokimia rutin dalam beberapa bulan pertama
terapi. Dosis umum INH pada anak-anak adalah 10-20 mg/kg/hari, sampai
maksimal 300 mg/hari. INH tersedia dalam tablet 100 & 300 mg. Sediaan sirup
INH dalam sorbitol (10 mg/mL), namun, tidak stabil pada suhu kamar dan harus
tetap dingin. Banyak anak-anak mengalami intoleransi gastrointestinal yang
21
signifikan (mual, muntah) saat pemberian suspensi INH, akan tetapi sebaliknya
neonatus dan bayi mentolerir volume rendah dari suspensi dengan baik.
sebelumnya. RIF dapat dibuat menjadi suspensi yang mudah digunakan pada
anak-anak. RIF ditoleransi dengan baik oleh neonatus dan bayi. Kejadian hepatitis,
leukopenia, dan trombositopenia sangat rendah. RIF digunakan tunggal hanya
ketika mengobati infeksi M. tuberkulosis yang disebabkan oleh organisme resisten
INH. Pemakaian INH, 20 mg/kg, dan RIF, 15-20 mg/kg (dosis maksimal harian
600 mg), dapat menimbulkan hepatotoksisitas. Karena itu, ketika menggunakan
keduanya bersamaan, dosis INH harus, 10 mg/kg, dan RIF, 15-20 mg/kg.1-3
Pirazinamid (PZA) berkontribusi pada bakterisidal M. tuberculosis, terutama
pada pH rendah seperti dalam makrofag. Mekanisme PZA masih kontroversi. PZA
tidak berpengaruh pada ekstraseluler basil tuberkulosis in vitro tetapi jelas
memberikan kontribusi terhadap bakterisidal basil intraseluler. Resistensi primer
sangat jarang, kecuali Mycobacterium bovis. Obat berdifusi mudah ke semua
bidang, termasuk cairan serebrospinal. Dosis lazim anak harian 30-40 mg/kg
(dosis maksimal harian 2 g) atau 50 mg/kg intermiten. Dosis optimal untuk bayi
dan anak belum dapat dipastikan tegas karena tidak ada penelitian farmakokinetik
formal yang dilaporkan. Dosis dewasa ditoleransi dengan baik oleh bayi dan anak-
anak, dimana dalam konsentrasi tinggi pada cairan serebrospinal tinggi dan efektif
dalam uji terapi untuk TB aktif pada anak-anak. Efek maksimum PZA tamapak
selama 2 bulan pertama terapi. Hepatotoksisitas dapat terjadi pada dosis tinggi
tetapi jarang pada dosis biasa. PZA secara rutin menyebabkan peningkatan
konsentrasi asam urat serum dengan menghambat ekskresi melalui ginjal. Reaksi
toksik berupa flushing, hipersensitivitas kulit, arthralgia, dan gout. 1-3
Etambutol (EMB) telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai obat
pendamping untuk INH pada orang dewasa. Dosis oral yang biasa adalah 15
mg/kg/hari. Pada dosis ini, obat bersifat bakteriostatik, peran utamanya mencegah
munculnya resistensi terhadap obat lain. Namun, pada dosis 25 mg/kg/hari atau 50
mg/kg diberikan 2x/minggu, EMB memiliki sifat bakterisidal. Sayangnya, pada
dosis yang lebih tinggi ini, terjadi neuritis optik atau buta warna merah-hijau pada
beberapa orang dewasa. Meskipun kejadian toksisitas oftalmologi pada anak-anak
23
sangat rendah, EMB tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada anak
dengan tes visual dan diskriminasi warna jelek. Akan tetapi, tetap sering dan aman
digunakan pada anak dengan tuberkulosis yang mengancam jiwa atau tuberkulosis
yang resistan terhadap obat. 1-3
Streptomisin (STM) adalah obat yang digunakan sebagai penghubung
(conjuction) dengan INH dan RIF pada tuberkulosis mengancam jiwa. STM
bersifat bakterisidal dan ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dalam dosis biasa
20-40 mg/kg/hari IM hingga 1 g. Biasanya, STM dihentikan dalam waktu 1-3
bulan jika terdapat perbaikan klinis yang pasti. 1-3
Prinsip Umum
Tuberkulum bacillus dapat dibunuh hanya selama replikasi, yang terjadi di antara
organisme yang aktif secara metabolik. Mereka aktif secara metabolik dan
mereplikasi secara bebas ketika tekanan oksigen tinggi dan pH netral atau alkali.
Kondisi lingkungan untuk pertumbuhan yang terbaik dalam kavitas, yang
mengarah ke populasi bakteri yang lebih besar. Anak-anak dengan tuberkulosis
paru dan penderita tuberkulosis ekstra paru usia berapapun terinfeksi basil
tuberkulum dalam jumlah jauh lebih kecil karena tidak adanya populasi kavitas,
namun, tidak demikian pada neonatus dengan kongenital tuberkulosis yang
cenderung memiliki jumlah organisme jauh lebih besar. 1-3
Ukuran populasi basil tuberkulosis pada pasien menentukan ketepatan terapi.
Pasien dengan populasi bakteri yang besar (dewasa dengan kavitas atau infiltrat
yang luas), banyak terdapat mutan yang resisten terhadap obat tunggal, dan
setidaknya harus menggunakan 2 obat anti tuberkulosis. Sebaliknya, pasien
dengan infeksi M. tuberculosis tapi belum manifestasi menjadi penyakit, dengan
populasi bakteri sangat kecil (sekitar 103-104 organisme), jarang terdapat mutan
yang resisten terhadap obat, maka dapat dipakai obat tunggal. Mutan yang resisten
terhadap obat bisa ada atau tidak ada, pada anak-anak usia lebih tua dengan
tuberkulosis paru dan memiliki populasi sedang. Secara umum, pasien-pasien
24
kategori kini harus ditangani dengan 2 obat. Neonatus dan bayi dengan penyakit
tuberkulosis dengan populasi mikobakterial yang besar, membutuhkan pengobatan
beberapa obat untuk mendapat efek penyembuhan. 1-3
Wanita Hamil
Satu-satunya obat yang tercatat mempunyai efikasi baik melawan infeksi M.
tuberculosis pada wanita hamil adalah INH. Bayi dan anak-anak mentolerir INH
sangat baik, dan efek samping jarang terjadi. Efek samping lebih sering terjadi
pada orang dewasa. Antara 7%-20% orang dewasa muda yang diterapi INH
mengalami peningkatan asimtomatik kadar serum transaminase hati, 1%-2%
menderita gejala hepatitis, dimana apabila obat dihentikan segera maka gejala
menjadi reversibel. Bagi sebagian besar orang dewasa muda, monitoring untuk
hepatitis dilakukan secara klinis. Beberapa ahli merekomendasikan wanita hamil
dalam pengobatan INH harus dipantau pemeriksaan rutin biokimia untuk hepatitis.
Serum enzim hati normal bila meningkat 3-4 kali dan tidak memerlukan
penghentian obat. Tidak terbukti pemberian INH pada wanita hamil mempunyai
efek merugikan terhadap liver janin. Efek merugikan dari INH adalah neuritis
perifer yang disebabkan oleh penghambatan metabolisme piridoksin. Piridoksin
(25-50 mg/hari) harus diberikan kepada wanita hamil dan bayi menyusui karena
kadar piridoksin dalam ASI rendah, sekalipun sang ibu telah mendapat suplemen
vitamin. 1-3
Saat ini CDC (Centers for Disease Control and Prevention) merekomendasikan
peengobatan dewasa dan anak-anak yang terinfeksi M. tuberculosis dengan INH
selama 9 bulan. Obat ini diminum setiap hari di bawah pengawasan sendiri. Bila
dianggap adherensi pasien rendah dan jumlah sumber daya pengawas yang
memadai, INH dapat diberikan 2 kali seminggu dibawah pengawasan langsung
(direct observed therapy). Direct observed therapy mengharuskan seorang petugas
kesehatan mengamati langsung pasien saat minum obat antituberkulosis. Secara
umum, direct observed therapy harus digunakan untuk semua pasien dengan
25
kehamilan. Dalam 650 kasus di mana wanita hamil dengan pemberian EMB, tidak
terbukti malformasi janin. RIF melakukan aksi dengan cara menghambat
polimerase RNA DNA-dependent disertai kemampuan melintasi barrier plasenta
sehingga timbul kekhawatiran tentang penggunaannya dalam kehamilan. Hanya
3% dari 446 janin intrauterin dengan RIF mengalami abnormalitas, dibandingkan
dengan EMB (2%) dan INH (1%). Abnormalitas yang pernah dicatat diantaranya
cacat ekstremitas, kelainan sistem saraf pusat, dan hipoprotrombinemia.
Perdarahan pada bayi baru lahir juga pernah dilaporkan setelah penggunaan RIF
pada ibu. Insiden abnormalitas janin tidak terpapar obat antituberkulosis berkisar
1-6%. Secara umum, efek kuat antituberkulosis regimen RIF melebihi
kekhawatiran tentang efeknya terhadap janin. Wanita tidak hamil yang mendapat
RIF harus dikonseling kontrasepsi, karena pemakaian RIF dapat mengganggu
efektivitas kontrasepsi oral, sehingga dapat menyebabkan kehamilan yang tidak
diinginkan pada wanita penderita tuberkulosis.1-3
STM dapat menembus sawar darah plasenta. Penggunaannya dalam kehamilan
kini dibatasi oleh ketersediaan obat yang lebih baik dan efeknya pada janin.
Sebuah review dari 206 bayi intra uterine yang terpajan STM, 34 (17%)
mengalami kerusakan signifikan saraf kranial kedelapan, abnormalitasnya mulai
dari kerusakan vestibular ringan sampai tuli bilateral yang dalam. Efek buruk STM
dari periode awal embriogenesis dan selama kehamilan berlangsung. Hal ini
menyebabkan kapreomisin, kanamisin, amikasin dan, aminoglikosida lain dengan
aktivitas antituberkulosis, diasumsikan memiliki potensi beracun sama dengan
STM.1-3
Sedikit diketahui tentang efek PZA terhadap janin. Banyak ahli yang
menggunakan PZA selama kehamilan menyatakan tidak terdapat efek buruk
terhadap luaran kehamilan. Etionamide dikaitkan dengan efek teratogenik
nonspesifik. Efek sistem saraf pusat dari sikloserin dan efek gastrointestinal asam
paraaminosalisil pada orang dewasa membuat penggunaannya dalam kehamilan
kurang diminati.1-3
27
kelenjar getah bening), bahwa penyakit ini tidak menyebar dan bahwa efek racun
dari obat tidak muncul. Radiologi thoraks ulangan dapat dilakukan 1-2 bulan
setelah pengobatan untuk mengetahui sejauh mana perluasan maksimal penyakit
sebelum terapi dilakukan, setelah itu, pemeriksaan dilakukan bila diperlukan saja.2
Prognosis
Prognosis kongenital tuberkulosis di era sebelum pengobatan kimiawi adalah jelek.
Hughesdon melaporkan, 3 bayi meninggal pada hari pertama kehidupan, 8
meninggal usia antara 18-30 hari, 15 meninggal antara usia 31-60 hari, dan 3 bayi
meninggal usia antara 65-112 hari. Sedangkan Hageman, dkk. melaporkan saat
INH diperkenalkan pertama kali tahun 1952, dari 26 pasien lahir, 12 meninggal
dan 9 dari mereka tidak diobati, diagnosis tegak saat otopsi. Di era modern, angka
kematian berkisar 38%. Dari semua penyebab mortalitas bayi, angka kematian
bayi 3,4 kali lipat lebih tinggi dengan ibu pengidap tuberkulosis.1
Prognosis kongenital tuberkulosis biasanya lebih buruk dari tuberkulosis
didapat post natal. Komplikasi TB pada neonatus adalah koagulasi intravascular
diseminata, meningitis, gagal napas, perforasi usus dan syok sepsis. Hampir 50%
dari kasus kongenital tuberkulosi dilaporkan meninggal, meskipun dengan
penanganan yang intensif. Hal ini disebabkan karena keterlambatan diagnosis dan
komplikasi. Oleh karena itu deteksi dini ibu dan neonatus dengan TB serta
penanganan yang baik pada neonatus sangat penting untuk memperkecil angka
kematian TB pada neonatus.2,3
VIII. Tatalaksana Neonatus Lahir Dari Ibu Dengan Tes Kulit Tuberkulin Positif1
Tata laksana TB pada neonatus mencakup beberapa aspek yaitu ibu, bayi yang
dilahirkan dan lingkungan keluarga. Ibu yang terdiagnosis TB berdasarkan
pemeriksaan fisik, radiologik dan bakteriologik menjelang atau saat persalinan
harus diisolasi. Bila ibu telah didiagnosis TB aktif pada kehamilan, pengobatan
anti tuberkulosis (OAT) langsung diberikan tanpa mengesampingkan efek samping
30
OAT pada janin. Obat yang rekomendasi oleh WHO dan Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI) yaitu kombinasi rifampisin, isoniasid, pirazinamid dan
etambutol. Regimen OAT sama seperti pada kasus TB lainnya kecuali streptomisin
tidak diberikan karena bersifat teratogenik. Pada ibu yang telah cukup mendapat
pengobatan sebelumnya selama kehamilan, pada umumnya selama persalinan
proses tuberkulosis sudah tenang.
Dokter ahli kebidanan bersama dokter anak harus saling berdikusi sebelum bayi
dilahirkan. Setelah bayi dilahirkan segera lakukan pemeriksaan patologi anatomi
plasenta dan pemeriksaan mikrobiologi dari darah vena umbilikalis untuk mencari
gambaran tuberkel dan atau kuman TB. Setelah ibu diisolasi, evaluasi klinis dan
foto toraks dilakukan pada neonatus. Gejala klinis TB kongenital sulit dibedakan
dengan sepsis bakterial pada umumnya. Sehingga bila gejala klinis sesuai dengan
sepsis bakterialis dapat diberikan terapi kombinasi anti tuberkulosis dan antibiotik.
Pemantauan klinis pada neonatus meliputi apakah terdapat prematuritas, berat lahir
rendah, distres pernapasan, hepato-splenomegali, demam, letargi, toleransi minum
yang buruk, gagal tumbuh, atau distensi abdomen.
Bila pada pemantauan klinis terdapat limfadenopati, lesi di kulit, atau sekret
pada telinga dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dan atau patologi anatomi. Bila
didapatkan hepatomegali selama pemantauan klinis dilakukan pemeriksaan USG
abdomen, dan bila ditemukan kompleks primer maka dilanjutkan dengan biopsi
hati. Pemantauan klinis kadang-kadang perlu dilakukan dalam jangka waktu
tertentu. Gejala klinis TB kongenital dapat timbul segera setelah lahir atau hingga
minggu kedua dan ketiga kehidupan. Bila pada neonatus terdapat gejala TB maka
diagnosisnya adalah TB perinatal dan terapi TB langsung diberikan. Terapi yang
dianjurkan adalah isoniasid dosis 5-10 mg/kgBB/hari, rifampisin dosis 10-15
mg/kgBB/hari dan pirazinamid dosis 25-35 mg/kgBB/hari. Lakukan pemeriksaan
bilas lambung sebelum pemberian terapi. Setelah terapi TB selama 1 bulan (usia 1
bulan) lakukan pemeriksaan uji tuberkulin. Namun pada neonatus dengan gejala
klinis TB dan didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan penunjang (foto toraks,
31
diberikan profilaksis sekunder selama 6-12 bulan. Pemberian BCG hanya dapat
dilakukan apabila bayi belum terinfeksi M.tuberculosis yaitu pada saat 3 bulan dan
uji tuberkulin negatif.
Tata laksana terhadap lingkungan meliputi lingkungan keluarga. Harus dicari
adanya sumber penularan atau keluarga lain yang tertular melalui pemeriksaan
klinis, laboratorium maupun radiologis.
Gambar 3. Alur tatalaksana bayi yang lahir dari ibu terduga TB atau ibu penderita TB
Dikutip dari Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak-Depkes.20
33
IX. Ringkasan
TB Perinatal, meskipun jarang, akan terus terjadi, khususnya di kalangan
kelompok berisiko tinggi. Transmisi intrauterin ke janin terjadi terutama pada
wanita hamil mengalami infeksi M. tuberculosis awal dan penyakit tuberkulosis.
TBC Postnatal, biasanya diperoleh dari seorang ibu, anggota keluarga dekat yang
lain, atau pengasuh dengan kavitas TB. Pikirkan segala kemungkinan tuberkulosis
dengan melakukan anamnesis yang tepat dan pengujian tuberkulin pasien hamil,
terutama mereka yang berasal dari kelompok berisiko tinggi, sehingga tuberkulosis
34
dapat didiagnosis dan diobati secara tepat pada ibu dan bayi baru lahir. Jika hal itu
dapat dilakukan maka akan menghasilkan hasil yang sangat baik.
Rujukan
1. Jeffrey R. Starke, Andrea T. Cruz. In : Infectious Disease Of The Fetus And Newborn Infant.
Remington & Klein. 2005; Chapter 18 : 577-600.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis Paru. Dalam : Konferensi Kerja VIII
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta. November. 1998
3. Warow NN. Tuberkulosis Paru Pada Kehamilan. Dalam : Buku Ajar Fetomaternal. Surabaya :
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. 2004: 704-21.
4. Kelompok Kerja Tuberkulosis Aanak Depkes IDAI. Diagnosis dan Tatalaksana TB Anak. 2008
5. Rahajoe NN. Tatalaksana Bayi dari Ibu Pengidap Tuberkulosis. Dalam: Marwoto W, Rachimhadhi
T, Pusponegoro TS. Penyunting. Penanganan terpadu Infeksi Perinatal. Jakarta Balai Penerbit
FKUI.1996:12-6
6. Starke JR, Munoz F. Tuberculosis In: Behrman. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16.
Philadelphia. WB Saunders Company, 2000.h.886-97
7. Anderson GD. Tuberculosis in pregnancy. Seminars in Perinatology 1997;21:328-35
8. Adis International Editors. Managing pregnant women with tuberculosis. J Paed Obst Gynaecol
1997;Jan/Feb:25-8
9. Abughali N, Annable W, Kumar M. Congenital tuberculosis. Pediatr Infect Dis J 1994;13:738-41
10. Starke JR. Tuberculosis an old disease but a new threat to the mother, fetus and neonate. Dalam:
Stoll BJ, Weisman LE. penyunting. Clinics in Perinatology. Philadelphia. WB Saunders Company,
1997.h.107-2.
11. Akinbami LJ, Selby DM, Slonim AD. Hepatosplenomegaly and pulmonary infiltrates in an Infant.
J Pediatr.2001;139:124-9
12. Mazade MA, Evans EM, Starke JR. Congenital tuberculosis presenting as sepsis syndrome: Case
report and review of the literature. Pediatr Infect Dis J 2001;20:439-42
13. Damian RF, Arredondo-Garcia. Pregnancy and tuberculosis: Influence of treatment on perinatal
Outcome. Am J Perinatol 1998;15:303-5
14. Pejham S, Altman R, Li KL. Congenital tuberculosis with facial nerve palsy. Pediatr Infect Dis J,
2002;21:1085-6
15. Wise GJ, Marella VK. Genitourinary manifestation of tuberculosis. Urol Clin North Am
2003;30:111-21
16. AAP 2000 Red Book: Report of committee on infectious Disease. Edisi ke-25. American
Academy of Pediatrics, 2000.h.594-613
17. Hamadeh MA, Glassroth J. Tuberculosis and pregnancy. Hougen TJ. Digitalis use in
children: an Chest 1992;101:1114-20
18. Anuntaseree W, Suntotnlohanakul S, Mintarnun W. Disseminated tuberculosis in a 2-
months-old infant.Pediatr Pulmonol 1992;13:255-8
19. Foo AL, Tan KK, Chay OM. Congenital tuberculosis. Tubercle and Lung Dis 1993;74:59-
61
20. Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Jakarta; 2016.