Anda di halaman 1dari 10

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Identifikasi Sebelum Penggunaan Selimut Plastik Untuk Mencegah

Penurunan Suhu Tubuh Pada bayi dengan berat badan lahir rendah di

ruang nicu RS Siti Khodijah Sepanjang

Pasien Bayi Ny i data diambil tanggal 23 November 2016 dirawat di ruang

Nicu dengan no. rekam medis 5211xx. Pasien bayi Ny I berusia 1 hari dengan

lahir spontan di bidan praktek selanjutnya di rujuk di RS Siti Khodijah dengan

diagnosa medis Berat bayi lahir rendah.Dengan Keluhan utama hipotermi , usia

kehamilan 30 minggu, ketuban pecah dini (-), ketuban jernih,Tanda-tanda Vital

berada pada suhu 35,2 C, Respiratory Rate 45 x/menit, tekanan nadi pada 150

x/menit, dan apgar skor 5 8, berat badan = 1350 gr. Pada observasi tanggal 23

november 2015 sebelum diberikan selimut plastik, suhu pasien 35,2 C,kaki teraba

dingin, bayi tampak lesu dan lemag, tangisan lemah,bayi tidak mau minum, bayi

tampak menggigil.

Pasien Bayi NY J data diambil tanggal 28 November 2015 dirawat di

ruang Nicu, dengan no. rekam medis 5204xx. Pasien Bayi NY J berusia 1 hari

dengan lahir spontan di RS siti khodijah sepanjang dengan diagnosa medis Berat

bayi lahir rendah dengan keluhan pertama hipotermi. Usia kehamilan 29

minggu,ketuban pecah dini (-),ketuban jernih, tanda tanda vital berada pada

suhu 35,9 C,Respiratory Rate 54x/menit, Tekanan nadi 155 x/menit, dan apgar

skor 7 8,berat badan = 1050 gr, pada tanggal 28 November 2015 jam pasien

31
32

Bayi NY J keluhan utama bayi dengan berat lahir rendah. Pasien Bayi NY J

disarankan untuk di rawat di ruang Nicu dengan suhu 35,9 , oleh karena itu pasien

bayi Ny J tergolong Hipotermi . Tanda-tanda Vital anak berada pada suhu 35,9 C,

Respiratory Rate pada 54 x/menit, tekanan nadi pada 155 x/menit, dan kesadaran

dengan jumlah skor 7 -8, bayi tampak menggigil, kaki terasa dingin, kekuatan

untuk menangis lemah, bayi tidak mau minum.

4.1.2 Identifikasi penerapan pemberian selimut plastik

Pasien Bayi Ny I dalam pemberian selimut plastik sesuai Standart

Operasional Prosedur (SOP) , dengan tetap memperhatikan ABCD (airway,

breathing, circulation, disability. Pasien dengan suhu 35,2 di sertandi tanda tanda

hipotermi seperti = pasien tampak pucat dan lemah, badan terba dingin,

menggigil, selanjutnya pasien Bayi NY I di berikan terapi selimut pelastik dengan

lama pembungkusan bayi denagn waktu 1 jam selanjutnya di lihat perkembangan

peningkatan suhu terjadi peningkatan menjadi 36,5 dan dalam waktu 2 jam di

berikutnnya selimut plastik terjadi peningkatan suhu sebesar 37 C dalam

penggunaa selimut pelastik tetap di perhatikan respon pasien dan tetap

memperhatikan ABCD.

Pasien bayi Ny. J dengan termogulasi standart dengan tidak di berikan

selimut plastik dan di tempat ruangan yang sama dengan suhu ruangan yang sama

.pasien dengan suhu 35,9 ,tubuh pasien tampak dingin, tanpa di berikan selimut

plastik perkrmbangan peningkatan suhu dalam waktu satu jam sebesar 36,1 C

dan dalam waktu 2 jam terjadi peningkatan suhu sebesar 36,2 C dengan tetap di

perhatikan respon bayi.


33

4.1.3 Identifiakasi Setelah Di berikan Selimut Plastik Untuk Mencegah

Penurunan Suhu Tubuh Pada bayi dengan berat badan lahir rendah di ruang

nicu RS Siti Khodijah Sepanjang

Pasien Bayi Ny I setelah diberikan selimut pelastik pada 1 jam setelah di

berikan terjadi peningkatan dengan suhu dari 35,2 c menjadi 36,5 c, dengan

tanda tanda bayi tampak menangis, tubuh teraba hangat, tidak terdapat tanda

tanda dehidrasi, kempuan menghisap baik,warna kulit tampak baik . Pada 2 jam

setelah di berikan selimut plastik terjadi peningktan yang signifikan suhu sebesar

27 C dengan di sertai tubuh teraba hangat, kemampuan menghisap baik, tidak

adanya tanda tanda dehidrasi, bayi tampak menangis, warna kulit tampak

membaik observasi tanda tanda vital suhu : 37 c, respiratory rate 45x/ menit, nadi

148 x/ menit.

Pasien bayi Ny J dengan termogulasi standart dengan tidak tidak di

berikan selimut plastik pada waktu 1 jam terjadi peningktan suhu yang cukup

lambat dari 35,9 meningkat menjadi 36,1 dengan tanda tanda bayi tampak lesu,

tubuh teraba dingin,tidak ada tanda tanda dehidrasi,kemampuan menghisap

lemah,warna kulit tampak tidak merata selanjutnya pada 2 jam setelahnya terjadi

peningkatan sebesar 36,3 dengan tanda tanda bayi tampak menangis ,tubuh teraba

dingin, kemampuan menghisap lemah, warna kulit tidak merata, tidak adanya

tanda tanda dehidrasi , observasi tanda tanda vital suhu = 36,3, respiratory rate

47 x/ menit, nadi 163 x/menit.


34

4.1 Tabel hasil indikator diare sebelum dan sesudah pemberian


suplemen madu di ruang anak Rumah sakit muhammaddiyah
Gresik tanggal 20-26 November 2015

Pasien A Pasien B
Indikator Sesudah Sesudah
Sebelum Sebelum
(Selama 5 hari) ( Selama 7 Hari)
Sangat Sedikit Sedikit
Frekuensi BAB Ekstrem (1)
menggangu (2) Mengganggu (4) Mengganggu (4)
Tidak Sangat Tidak
Warna Feses Mengganggu (3)
Mengganggu (5) menggangu (2) Mengganggu (5)
Sedikit
Bising Usus Mengganggu (3) Mengganggu (3) Mengganggu (3)
Mengganggu (4)
Tidak Tidak Tidak Tidak
Darah pada Feses
Mengganggu (5) Mengganggu (5) Mengganggu (5) Mengganggu (5)
Lendir pada Tidak Sangat Sedikit
Mengganggu (3)
Feses Mengganggu (5) Mengganggu (2) Mengganggu (4)
Sangat Sedikit Sedikit
Diare Ekstrem (1)
Mengganggu (2) Mengganggu (4) Mengganggu (4)
TOTAL SKOR 18 26 14 26

4.2 Pembahasan

4.2.1 Karakteristik diare akut pada anak usia toodler di Rumah Sakit

Muhammadiyah Gresik Sebelum diberikan pemberian suplemen

madu

Dari pemaparan hasil pengkajian dari Rekam Medis, wawancara, dan hasil

observasi ke pasien A didapatkan anak didiagnosa keperawatan kekurangan

volume cairaan berhubungan dengan kehilangan cairan secara cepat, hipertermi

berhubungan dengan reaksi infeksi, dan diare berhubungan dengan BAB cair yang

berkelanjutan. Pasien A ini tergolong inflammatory diarrhea, dikarenakan

terdapat peningkatan suhu tubuh dan terdapatnya lendir pada feses.

Diare adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi

dan lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau
35

dapat pula bercampur lendir darah/lendir saja (Ngastiyah, 2005). Diare merupakan

suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak seperti biasanya.

Perubahan yang terjadi berupa peningkatan volume, keenceran dan frekuensi

dengan atau tanpa lendir darah, seperti lebih dari 3 kali/hari dan pada neonatus

lebih dari 4 kali/hari (Aziz, 2005).

Berdasarkan hasil pengkajian sebelumnya ibu pasien mengatakan bahwa

pasien mengkonsumsi kue yang diberikan oleh tetangganya, diduga kue tersebut

sudah basi yang mengandung bakteri sehingga menjadi toksik pada dinding usus.

Rangsangan dalam dinding usus (toksik) akan terjadi peningkatan air dan

elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat

peningkatan isi rongga usus (Latief, 2007). Menurut hasil pengkajian juga

didapatkan data yang mendukung bahwa Pasien A mengalami Diare Akut, dimana

diare kurang dari 7 hari yaitu selama 5 hari.

Dari pemaparan hasil pengkajian dari Rekam Medis, wawancara, dan hasil

observasi ke pasien B didapatkan anak didiagnosa keperawatan kekurangan

volume cairaan berhubungan dengan kehilangan cairan secara cepat, hipertermi

berhubungan dengan reaksi infeksi, dan diare berhubungan dengan BAB cair yang

berkelanjutan.

Pasien B ini tergolong inflammatory diarrhea, dikarenakan terdapat

peningkatan suhu tubuh dan terdapatnya lendir pada feses. Berdasarkan hasil

pengkajian sebelumnya ibu pasien mengatakan bahwa pasien mengkonsumsi

ketan, diamana ketan belum dapat dicerna dengan baik oleh dinding usus sehingga

menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi

pergeseran air dan elektrolit. Menurut latief (2007) Mekanisme dasar yang
36

menyebabkan diare ialah gangguan osmotic, akibat terdapatnya makanan atau zat

yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus

meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi

rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkanya

sehingga timbul diare. Menurut hasil pengkajian juga didapatkan data yang

mendukung bahwa Pasien B mengalami Diare Akut, dimana diare kurang dari 7

hari yaitu selama 7 hari.

4.2.2 Karakteristik Penerapan Pemberian Suplemen Madu

Pasien A tergolong sudah mengenal madu sebelumnya, karena menurut

orang tua Pasien telah di berikan madu sejak umur 24 bulan. Cara pemberian

madu juga dengan cara dilarutkan dengan air.

Menurut Harli M (2001) madu untuk penyembuhan atau pengobatan,

madu akan lebih baik dikonsumsi dalam air karena akan memudahkan penyerapan

didalam tubuh. Madu tersebut sebaiknya dikonsumsi dua jam sebelum makan atau

tiga jam sesudah makan, penulis tidak menjelaskan alasan waktunya. Usia Pasien

A juga sudah bisa mengkonsumsi madu menurut The National Honey Board

(2007) dan organisasi lainya merekomendasikan agar tidak memberikan madu

pada bayi usia kurang dari satu tahun. Menurut dinkes tahun 2011 pemberian obat

haruslah mengedepankan 8B + 1W (Benar pasien, Benar Obat, Benar Dosis,

Benar waktu, Benar Rute, Benar Dokumentasi, Benar Expired, benar Informasi,

Waspada Efek Samping).

Pemberian suplemen madu mengusung 8B+1W benar pasien bahwa pasien

A mengalami diare akut, benar obat diberikan madu sebagai terapi, dosis
37

pemberian 20 ml, pemberian dilakukan sesudah makan yaitu pada jam 8 pagi, 5

sore dan 7 malam, diberikan per oral dengan cara pemberian madunya dilarutkan

berbarengan dengan susu formula dikarenakan Pasien A tidak kooperatif dalam

pemberian madu yang dilarutkan dengan air biasa sehingga peneliti berinisiatif

untuk mencampukan madu tersebut dengan susu formula, Menurut Dokter

spesialis anak Jarfis dalam bukunya ath-thibbusy-syiby mengungkapkan bahwa

madu merupakan unsur yang paling baik untuk mencampuri susu formula,

kemudian didokumentasikan di asuhan keperawatan, madu yang diberikan juga

tidak dalam masa expired, sebelum itu harus diberikan informasi kepada keluarga

pasien A tentang pemberian madu, dan yang terakhir harus dilakukan observasi

secara berkala untuk meminimalisir efek samping.

Pasien B tergolong belum mengenal madu sebelumnya karena menurut

orang tua Pasien belum pernah mengkonsumsi madu sebelumnya, sehingga timbul

sedikit kekhawatiran akan pemberian suplemen madu untuk diare akut anak.

Peneliti menjelaskan tentang madu beserta manfaatnya untuk kesembuhan diare

pasien B bahwa madu sebagai pengganti rehidrasi oral yang mengandung

elektrolit standart seperti yang direkomendasikan WHO/UNICEF dan usia pasien

B sudah berusia 1 tahun dimana menurut rekomendasi The National Honey Board

(2007) sudah bisa mengkonsumsi madu.

Pemberian suplemen madu mengusung 8B+1W benar pasien

bahwa pasien B mengalami diare akut, benar obat diberikan madu sebagai terapi,

dosis pemberian 20 ml, pemberian dilakukan sesudah makan yaitu pada jam 8

pagi, 5 sore dan 7 malam, Dalam pemberian madu untuk pasien B ini diberikan

dengan cara dicampur dengan air hangat dan diberikan secara berkala melalui
38

sendok teh.. Menurut Muhilal, 2-3 sendok makan madu 2x sehari sudah cukup

memadai untuk kesehatan tubuh, namun untuk penyembuhan atau pengobatan,

madu akan lebih baik dikonsumsi dalam air karena akan memudahkan penyerapan

didalam tubuh. Madu tersebut sebaiknya dikonsumsi dua jam sebelum makan atau

tiga jam sesudah makan, penulis tidak menjelaskan alasan waktunya (Harli, 2001),

kemudian didokumentasikan di asuhan keperawatan, madu yang diberikan juga

tidak dalam masa expired, sebelum itu harus diberikan informasi kepada keluarga

pasien B tentang pemberian madu, dan yang terakhir harus dilakukan observasi

secara berkala untuk meminimalisir efek samping.

4.2.3 Karakteristik diare akut pada anak usia toodler di Rumah Sakit

Muhammadiyah Gresik Sebelum diberikan pemberian suplemen

madu

Menurut hasil observasi pasien A suplemen madu dapat menurunkan diare

tanggal 21 November sampai dengan 25 November 2015, yakni untuk sebelum

pemberian suplemen madu diare anak pada skor 18 dan setelah pemberian terapi

selama 5 hari diare pada anak pada skor 26. Menurut hasil observasi pasien B

dimana suplemen madu dapat menurunkan diare tanggal 20 November sampai

dengan 26 November 2015, yakni untuk sebelum pemberian suplemen madu diare

anak pada skor 16 dan setelah pemberian terapi selama 7 hari diare pada anak

pada skor 26.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Cholid, sofyan (2011), dimana
39

didapatkan hasil Perbedaan frekuensi diare antara 2 kelompok terjadi pada hari

ke-2, hari ke-4 dan hari ke-5. Rerata lama rawat diare cair akut pada kelompok

suplementasi madu 59,46 jam, kelompok kontrol 71,20 jam. Perawatan hari ke 3

kelompok suplementasi madu mengalami kesembuhan 50%, kelompok kontrol

25%. Proporsi kenaikan berat badan pada kelompok suplementasi 82,9%

sedangkan kelompok kontrol 80%, sehingga disimpulkan ada pengaruh pemberian

suplemen madu terhadap penurunan diare akut pada anak usia toodler.

Dari melihat hasil penelitian, maka peneliti berkesimpulan bahwa madu

mempunyai dampak yang baik untuk pasien A karena dapat mempercepat

penyembuhan diare, ini dibuktikan dengan lama rawat di rumah sakit yang lebih

cepat 2 hari dari ALOS yaitu rata-rata 7. Begitu juga dengan Pasien B, keadaan

kondisi pasien B ditinjau dari hasil skoring awal pasien B lebih kecil

dibandingkan dengan pasien A. Pasien B dalam hari ketiga juga terjadi penurunan

keadaan berdasarkan hasil skoring.

Madu dapat menurunkan frekuensi diare, paling tidak ada empat faktor

yang bertanggung jawab terhadap antibakteri pada madu menurut Departement of

Biochemistry faculty of Medicine of Universiti of Malaya. Pertama, kadar gula

madu yang tinggi akan menghambat pertumbuhan bakteri sehingga bakteri

tersebut tidak dapat hidup dan berkembang. Kedua, tingkat keasaman madu yang

tinggi (pH 3,65) akan mengurangi pertumbuhan dan daya hidupnya sehingga

bakteri tersebut mati. Ketiga, adanya senyawa radikal hydrogen peroksida yang

bersifat dapat membunuh mikroorganisme pathogen. Dan faktor keempat, adanya

senyawa organic yang bersifat antibakteri. Senyawa organic tersebut tipenya

bermacam-macam yang telah teridentifikasi antara lain seperti polyphenol,


40

flavonoid, dan glikosida. Peneliti belum dapat menjelaskan kenapa terjadi

peningkatan frekuensi diare pada pengamatan perawatan hari ke-3 pada pasien B.

Pemberian suplementasi madu pada terapi standar pasien diare akut,

terbukti memperpendek lama rawat, Dari hasil data awal berupa ALOS didapatkan

di rumah sakit muhammadiyah gresik, toodler dengan diare akut biasanya

mendapatkan perawatan selama 7 hari. Sedangkan setelah ada pemberian

suplementasi madu anak hanya mendapatkan perawatan selama 5 hari untuk

pasien A, berbeda dengan pasien B yang memerlukan waktu perawatan di rumah

sakit yang lebih lama yaitu 7 hari peneliti berasumsi pasien B belum dapat

mengoptimalisasi fungsi madu sebagai prebiotik dikarenakan belum terbiasa

mengkonsumsi madu. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan penelitian yang

dilakukan secara in vitro dan in vivo yang mengungkapkan efek antibakterial

madu belum bekerja secara optimal pada anak 1 tahun kebawah seperti yang

dilakukan oleh Haffejee I.E dan Moosa A yang meneliti efek madu untuk terapi

gastroenteritis pada anak-anak.

Beberapa keterbatasan penelitian yaitu dengan adanya pemberian obat zinc

pada pasien dapat membantu efek terapi suplemen madu, dalam penelitian

berikutnya adanya kelompok control dengan dua kelompok, kelompok satu

dengan menggunakan zinc saja dan kelompok dua menggunakan suplemen zinc

dan madu.

Anda mungkin juga menyukai