Anda di halaman 1dari 65

PENGARUH PEMBERIAAN SARANG TELUR LABA LABA

(Spider Silk Protein) SECARA TOPIKAL TERHADAP PROSES


PENYEMBUHAN LUKA INSISI PADA FASE INFLAMASI
TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus strain wistar)

PROPOSAL TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Salah Satu Syarat Guna

Meraih Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

Muhammad Yusak Alfaris


NPM: 12700261

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA

2016
HALAMAN PERSETUJUAN

PROPOSAL TUGAS AKHIR

PENGARUH PEMBERIAAN SARANG TELUR LABA LABA


(Spider Silk Protein) SECARA TOPIKAL TERHADAPPROSES
PENYEMBUHAN LUKA INSISI PADA FASE INFLAMASI
TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus strain wistar)

Diajukan Untuk Salah Satu syarat Guna


Meraih Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:
Muhammad Yusak Alfaris
NPM: 12700261

Menyetujui untuk diuji pada tanggal :

Pembimbing,

Drs. Mas Mansur. MT


NIK. 02327.ET

i
HALAMAN PENGESAHAN

PROPOSAL TUGAS AKHIR

PENGARUH PEMBERIAAN SARANG TELUR LABA LABA (Spider Silk


Protein) SECARA TOPIKAL TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN
LUKA INSISI PADA FASE INFLAMASI TIKUS PUTIH (Rattus
norvegicus strain wistar)

Oleh:
Muhammad Yusak Alfaris
NPM: 12700261

Telah diuji pada

Hari :
Tanggal :

dan dinyatakan lulus oleh:

Penguji I/Pembimbing Penguji II

Drs. Mas Mansur, MT Haryson Tondy Winoto, dr., Msi.Med, Sp.A


NIK. 02327.ET NIK.1151.ET

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan
kelancaran dalam menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul Pengaruh Pemberian
Sarang Telur Laba Laba (Spider Silk Protein) Secara Topikal Terhadap Proses
Penyembuhan Luka Insisi Pada Fase Inflamasi Tikus Putih (Rattus norvegicus strain
wistar).
Penulis terdorong untuk meneliti topik ini oleh karena banyak
masyarakat terdahulu yang meyakini bahwa penggunaan sarang telur laba laba
(spider silk protein) bisa menyembuhkan luka sehingga perlu dibuktikan
dengan penelitiaan ini.
Tugas akhir ini dapat selesai karena dukungan berbagai pihak. Oleh
sebab itu pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Soedarto, dr, DTM&H., PHD, SpPark. Dekan Fakultas Kedokteran
Wijaya Kusuma Surabaya yang telah memberi kesempatan kepada
penulis menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya.
2. Drs. Mas Mansur.MT Sebagai pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan arahan, serta dorongan dalam menyelesaikan Tugas
Akhir ini.
3. Haryson Tondy Winoto, dr., Msi.Med, Sp.A sebagai penguji proposal
maupun Tugas Akhir.
4. Segenap Tim Pelaksana Tugas Akhir dan Sekretariat Tugas Akhir
Fakultas Kedokteran Wijaya Kusuma Surabaya yang telah memfasilitasi
proses penyelesaian Tugas Akhir ini.
5. Semua pihak yang tidak mungkin disebut satu per satu yang telah
membantu dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan Tugas Akhir ini belum sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan segala masukan demi sempurnanya
tulisan ini.
Akhirnya kami berharap semoga tulisan Tugas Akhir ini bermanfaat
bagi berbagai pihak yang terkait.

Surabaya, 29 Mei 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR TABEL vii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan 6
D. Manfaat 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8
A. Luka 8
1. Pengertian Luka 8
2. Jenis-jenis luka 8
3. Mekanisme terjadinya luka 12
4. Klasifikasi penyembuhan luka 13
5. Proses penyembuhan luka 14
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka 23
7. Konsep perawatan luka 25
8. Tujuan perawatan luka 26
9. Cara merawat luka 26
10. Tanda-tanda penyembuhan luka insisi 27
B. Laba laba 28
C. Sarang telur laba laba (spider silk protein) 29
1. Pengetian Sarang telur laba laba ( spider silk protein ) 29
2. Aplikasi dan manfaat spider silk protein 30
3. Kandungan Sarang telur laba laba ( spider silk protein ) 33

iv
D. Tikus wistar ( Rattus norvegicus strain ) 34
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN................38
A. Kerangka Konsep 38
B. Hipotesis Penelitian 40
BAB IV METODE PENELITIAN.....................................................................41
A. Rancangan Penelitian 41
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 42
C. Populasi dan Sampel 42
D. Variabel Penelitian 44
E. Definisi Operasional 45
F. Prosedur Penelitian 46
G. Instrumen penelitian 50
H. Prosedur pengumpulan data 51
I. Alur Penelitian 53
J. Analisis Data 54
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................55

v
I. DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Regenerasi Luka.......................................................................15

Gambar II.2 Fase Inflamasi(1),Fase Prolifersi(2),Fase Remodelling(3a,3b). . .

......................................................................................................................20

Gambar III.1 Kerangka Konsep....................................................................39

Gambar IV.1 Skema Rancangan Penelitian..................................................42

Gambar IV.2 Alur Penelitian.........................................................................54

vi
DAFTAR TABEL

Tabel VI.1 Definisi Operasional Penelitian.....................................................44

vii
II. BAB I

III. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kulit memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia mulai

dari peran estetika hingga untuk menjaga kelangsungan hidup sehingga

menjaga kontinuitasnya menjadi hal yang penting (Robin

GB,2005).Gangguan pada kulit yang sering dihadapi dokter adalah luka.

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang

menyebabkan gangguan kontinuitas, sehingga terjadi pemisahan struktur

jaringan yang semula normal. Luka dapat disebabkan oleh trauma benda

tajam atau tumpul, perubahan temperatur, zat kimia, ledakan, sengatan

listrik, atau gigitan hewan. Ketika luka terjadi akan terjadi efek seperti

hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ dan lainnya berupa respon

stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri,

kematian sel. Proses setelah luka terjadi adalah proses penyembuhan luka

yang dapat di bagi dalam 3 fase yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan

remodeling jaringan ( Sjamsuhidrajat, 2010 ) .

Inflamasi merupakan respon vaskuler dan seluler terhadap luka. Fase

inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Pada fase

ini tampak kemerahan, pembengkakan, adanya rasa hangat yang diiringi

dengan rasa nyeri. (Kumar,2005). Luka insisi yaitu terdapat robekan lurus

1
2

(linier) pada kulit dan jaringan di bawahnya (Sjamsuhidrajat, 2010).

Insidennya sendiri cukup sering terjadi pada aktivitas rumah tangga sehari-

hari seperti tertusuk, ataupun tersayat pisau, yang seluruhnya merupakan

bentuk luka terbuka. Berdasarkan RISKESDAS tahun 2007, rerata

prevalensi cedera luka terbuka sebesar 25,4% dengan kasus tertinggi pada

ibu rumah tangga sebesar 32,2% akibat terluka benda tajam atau tumpul

(Woro Riyadina, 2009).

Manajemen perawatan luka diperlukan untuk meningkatkan

penyembuhan, mencegah kerusakan kulit lebih lanjut, mengurangi risiko

infeksi, dan meningkatkan kenyamanan pasien. Berbagai jenis luka yang

dikaitkan dengan tahap penyembuhan luka memerlukan manajemen luka

yang tepat. Perawatan luka saat ini sudah berkembang sangat pesat. Pada

perkembangannya, hasil penelitian perawatan luka menunjukkan bahwa

lingkungan yang lembab lebih baik dari pada lingkungan yang kering

(Gayatri,2008). Penyembuhan luka merupakan proses alamiah dari tubuh,

namun seringkali dilakukan pemberian obat-obatan untuk mempercepat

proses penyembuhan luka. Obat-obatan untuk memulihkan dan

mempertahankan kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan

penyembuhan luka, saat ini dirasakan relatif mahal. Selain itu, dengan

adanya resistensi antibiotika pada bakteri dan efek samping yang berat

pada beberapa obat-obatan sintesis menjadi alasan tersendiri untuk

mengalihkan perhatian pada terapi alternatif. (Taqwim,2013)


3

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki

keanekaragaman hayati terbesar di dunia, dengan julukan mega diversity.

Keanekaragaman hayati ini dapat dilihat dalam berbagai macam tumbuhan

yang secara tradisional dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai

macam penyakit. Pemanfaatan dan pengembangan obat tradisional di

berbagai daerah di Indonesia merupakan warisan yang turun-temurun

berdasarkan pengalaman. Saat ini banyak orang yang mencari alternatif

lain yang lebih murah dengan beralih ke obat tradisional yang berasal dari

alam sekitar dengan alasan harga dan bahan yang lebih mudah terjangkau.

Masyarakat di perkotaan bisa mendapatkan berbagai jenis obat modern

dengan mudah karena fasilitas yang cukup lengkap, sedangkan masyarakat

desa terpencil tidak dapat tergantung sepenuhnya pada obat modern karena

faktor geografis yang tidak memungkinkan ketersediaan obat-obatan

tersebut. (Dewi, Sinta Prastiana, 2010).

Pemanfaatan sarang laba-laba sebagai pengobatan sudah dilakukan

sejak dua ribu tahun yang lalu. Banyak penduduk pedesaan yang

memanfaatkan sarang laba-laba sebagai pembendungan darah ketika

terjadi luka. Menurut pakar biologi molekuler Randolph Lewis di

University of Wyoming di Laramie, sebuah cerita rakyat menuturkan nilai

potensi medis jaring laba-laba untuk mencegah infeksi, menghentikan

perdarahan, dan mengobati luka (Chattopadhyay, 2008). Spider silk

protein adalah sebuah serat biopolymer yang komposisinya merupakan

campuran dari polimer yang tidak berbentuk (yang membuat serat elastic)
4

dan rantai dari dua protein sederhana (yang memberikan kekerasan). Dari

20 asam amino, hanya glisin dan alanin yang merupakan konstituen primer

dari silk. Protein dari draglines silk adalah fibrinoin (200.000 300.000

Dalton) yang berkombinasi dengan spidroin. Biomaterial dari silk dapat

dipelajari secara in vivo maupun in vitro (Kumar, 2005). Sedangkan hasil

penelitian lain menunjukkan bahwa Spider silk protein mengandung H-

fibroin, L-fibroin dan glikoprotein (Chattopadhyay, 2008).

Penggunaan dengan substrat hewan kini sedang marak diteliti,

salah satunya penelitian Prasetyo dkk (2010) mengenai jaring laba laba

yang mempunyai aktivitas hemostatik. Penelitian Chattopadhyay Et al

hanya berupaya menunjukkan aktifitas hemostatik Spider Silk Protein

(SSP) melalui pemendekan Clotting Time and Bleeding Time (CTBT)

pada tingkat genus tetragnathidae. Efek hemostatik ini diperankan melalui

metabolisme energi trombosit. Namun sejauh ini masih belum ada

penelitian yang menjelaskan mekanisme aktifitas tersebut. Berdasarkan

uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai

pengaruh pemberian sarang telur laba laba (Spider silk protein) dalam

proses penyembuhan luka insisi, sehingga dapat diaplikasikan dalam

penatalaksanaan perawatan luka insisi. Hal ini dilakukakan karena sarang

telur laba laba merupakan salah satu substrat hewan dengan produksi yang

melimpah.
5

Sarang telur laba laba sendiri memiliki beberapa elemen struktur

umum yaitu urutan protein berulang dengan dominasi alanin, glisin, dan

serin. Spider silk yang dihasilkan oleh ulat sutra dan laba-laba adalah sutra

yang paling komprehensif diselidiki, yang pertama karena

ketersediaannya, digunakan dalam tekstil dan penggunaan medis,

masyarakat dulu menggunakannya sebagai bahan jahitan, dan yang

terakhir karena sifat mekanik yang luar biasa. Sutra ulat terdiri terutama

dari fibroin, sedangkan protein utama sutra laba-laba adalah spidroin.

(Craig, 2002). Sehubungan penelitian ini masih belum dapat diterapkan

pada manusia, maka digunakan hewan coba yaitu tikus putih (Rattus

norvegicus strain wistar). Menurut Susilowati dalam Handayani (2005)

tikus wistar dapat digunakan mewakili mamalia termasuk manusia dan

telah digunakan secara efektif sebagai hewan coba untuk mempelajari

keadaan biologi dan patologi dari jaringan organ.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh pemberian sarang telur laba laba (Spider silk

protein) secara topikal terhadap proses penyembuhan luka insisi pada fase

inflamasi pada tikus putih (Rattus norvegicus strain wistar)?


6

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian sarang telur laba laba (Spider silk

protein) secara topikal terhadap proses penyembuhan luka insisi pada fase

inflamasi.

2. Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk:

a. Mengidentifikasi proses penyembuhan luka insisi pada fase inflamasi

(kemerahan, edema dan cairan pada luka).


b. Menganalisis pengaruh pemberian sarang telur laba laba (spider silk

protein) secara topikal terhadap proses penyembuhan luka insisi pada

fase inflamasi.

D. Manfaat

1. Manfaat keilmuan

Hasil penilitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

tentang peranan topikal sarang telur laba laba (spider silkprotein) pada

proses penyembuhan luka insisi dan dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan perawatan luka insisi dengan pemberian topikal sarang telur

laba laba (spider silk protein).

2. Manfaat aplikasi

Dengan mengetahui komposisi bahan yang lebih efektif dalam

mempercepat proses penyembuhan luka insisi, diharapkan menjadi suatu


7

acuan dasar penelitian selanjutnya dan dapat dikembangkan menjadi

produk plaster yang terbuat dari sarang telur laba laba (spider silk protein)

sebagai alternatif obat luka insisi.

3. Manfaat bagi peneliti


Hasil penelitian dapat menambah wawasan bagi peneliti tentang

pengaruh pemberian sarang telur laba laba (spider silk protein) secara

topikal terhadap proses penyembuhan luka insisi.


Belajar meneliti dengan menerapkan metode penelitian yang benar.

IV. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Luka

1. Pengertian Luka

Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap

manusia. Luka adalah hilang atau terputusnya kontinuitas suatu jaringan

(Mansjoer, 2000). Luka didefinisikan sebagai hilangnya integritas epitelial

dari kulit. Organ ini berperan sangat penting dalam kehidupan manusia,
8

antara lain dengan mengatur keseimbangan air serta elektrolit,

termoregulasi, dan berfungsi sebagai barier terhadap lingkungan luar

termasuk mikroorganisme. Saat barier ini rusak karena berbagai penyebab

seperti ulkus, luka bakar, trauma, atau neoplasma maka kulit tidak dapat

melaksanakan fungsinya secara adekuat. Oleh karena itu sangat penting

untuk mengembalikan integritasnya sesegera mungkin. ( Junquiera LC,

Jose Carneiro, 2005)

2. Jenis-jenis luka

Menurut Nagori dan Solanki (2011), klasifikasi luka berupa luka

terbuka dan tertutup berdasarkan penyebab dasar dari luka, serta luka akut

dan kronis. Berdasarkan fisiologi dari penyembuhan luka

a. Luka terbuka : terjadi perdarahan yang terlihat secara kasat mata

dimana darah keluar dari tubuh. Luka terbuka meliputi luka insisi,

luka laserasi, abrasi atau luka dangkal, luka tusukan kecil, luka

penetrasi, dan luka tembak.

b. Luka tertutup : pada luka jenis ini darah keluar dari sistem sirkulasi

darah tetapi tersisa di dalam tubuh. Telihat dalam bentuk luka memar.

Luka tertutup sedikit penggolongannya tetapi lebih berbahaya dari

luka terbuka. Luka tertutup meliputi benturan atau luka memar,

hematoma atau tumor darah, dan cedera yang keras.

c. Luka akut : merupakan cedera pada jaringan yang normalnya

dilanjutkan dengan proses perbaikan yang tersusun rapih dan tepat

waktu, mengakibatkan pemulihan integritas jaringan secara anatomi


9

dan fungsi dapat dipertahankan. Biasanya disebabkan oleh luka

terpotong atau insisi bedah dan proses penyembuhan luka yang

lengkap dalam kerangka waktu yang diharapkan.

d. Luka kronis : terjadi karena kegagalan penyembuhan luka dalam tahap

yang normal dan kemudian masuk ke dalam tahap inflamasi yang

patologi. Luka kronismembutuhkan periode waktu penyembuhan yang

lama, tidak sembuh, atau kekambuhan yang sering. Merupakan sebab

utama ketidakmampuan secara fisik. Infeksi lokal, hipoksia, trauma,

benda asing dan problem sistemik seperti diabetes mellitus, malnutrisi,

defisiensi fungsi imun atau obat-obatan seringkali menyebabkan luka

kronis.

Menurut Taylor dalam Ismail (2008), luka sering digambarkan

berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukkan

derajat luka. Berikut ini akan dijabarkan klasifikasi luka berdasarkan

tingkat kontaminasi, kedalaman dan luasnya luka, dan waktu

penyembuhan luka.

Berdasarkan tingkat kontaminasi luka, luka dapat dibedakan

menjadi empat yaitu:

a. Luka bersih(Clean Wounds), yaitu luka bedah tak terinfeksi yang

mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada

sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka


10

bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup. Kemungkinan

terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.


b. Luka bersih terkontaminasi(Clean-contamined Wounds), merupakan

luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau

perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi,

kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.


c. Luka terkontaminasi(Contamined Wounds), termasuk luka terbuka,

fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar

dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna, pada

kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen.

Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.


d. Luka kotor atau infeksi(Dirty or Infected Wounds), yaitu terdapatnya

mikroorganisme pada luka.

Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka. Kedalaman dan luasnya

luka menentukan keparahan tingkat luka, luka dapat dibedakan menjadi

empat macam berdasarkan kedalaman dan luasnya luka yaitu:

a. Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka

yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.


b. Stadium II : Luka Partial Thickness : yaitu hilangnya lapisan kulit

pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka

superfisial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang

yang dangkal.
c. Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit keseluruhan

meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas


11

sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya.

Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak

mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang

dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.


d. Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot,

tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.

Berdasarkan waktu penyembuhan luka, luka dapat dibedakan

menjadi dua yaitu:

a. Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan

konsep penyembuhan yang telah disepakati.


b. Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses

penyembuhan, dapat disebabkan karena faktor eksogen dan endogen.

3. Mekanisme terjadinya luka

Mekanisme terjadinya luka menurut Taylor dalam Ismail (2008)

yaitu:

a. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen

yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih

(aseptik) biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh darah

yang luka diikat (Ligasi).

b. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu

tekanan dan dikarakteristikan oleh cedera pada jaringan lunak,

perdarahan dan bengkak.


12

c. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan

benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.

d. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti

peluru atau pisau yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang

kecil.

e. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam

seperti oleh kaca atau oleh kawat.

f. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ

tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi

pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.

4. Klasifikasi penyembuhan luka

Jenis-jenis penyembuhan luka ada 3 macam menurut

Perdanakusuma (2005) yaitu:

a. Sembuh per primam atau first intention

Penyembuhan luka yang terjadi bila luka segera diusahakan bertaut,

biasanya dengan bantuan jahitan. Parut yang terjadi biasanya lebih

halus dan kecil (hair line scar). Luka bedah akan mengalami

penyembuhan primer. Tepi-tepi kulit merapat atau saling berdekatan

sehingga mempunyai resiko infeksi yang rendah.

b. Sembuh per sekundam atau second intention

Luka yang tidak mengalami penyembuhan per primam. Proses

penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini

biasanya tetap terbuka. Biasanya dijumpai pada luka-luka dengan


13

kehilangan jaringan, terkontaminasi atau terinfeksi. Luka dengan

jaringan yang hilang, seperti luka bakar, luka tekan atau luka laserasi

yang parah akan mengalami penyembuhan sekunder.Tepi luka tidak

saling berdekatan dan luka akan tetap terbuka hingga terisi oleh

jaringan parut (Perry dan Potter, 2006). Bila luka dibiarkan sembuh

sendiri tanpa dilakukan penutupan secara bedah, gap luka yang ada

diisi jaringan granulasi dan terjadi retraksi tepi luka, selanjutnya

diharapkan terjadi epitelisasi. Epitel dapat berasal dari sel basal

epidermis tepi luka atau sisa epitelial dari asesori kulit pada dasar luka

(dermis). Epitelisasi terjadi pada permukaan yang rata atau lebih

rendah. Jarak luka sekitar 1-2 cm dapat dibiarkan sembuh sendiri

dengan kecepatan perambatan dari tepi luka sekitar 0,5 mm/hari. Bila

jarak luka lebih dari 2 cm sebenarnya dapat juga dibiarkan atau

ditunggu terjadi epitelisasi tetapi memerlukan waktu yang lama.

Penyembuhan per sekundam dimulai dari lapisan dalam dengan

pembentukan jaringan granulasi. Penyembuhan ini berjalan cukup

lama dan menghasilkan parut yang kurang baik.

c. Sembuh per tertiam atau third intention

Luka yang dibiarkan terbuka tidak ditutup selama beberapa hari

setelah tindakan debridemen setelah diyakini bersih, dibiarkan terbuka

lebih dari 2 hari, setelah itu baru dilakukan penjahitan luka atau skin

grafting. Proses ini merupakan kombinasi sembuh per primam dan


14

sembuh per sekundam. Jenis ini menghasilkan parut yang lebih baik

daripada penyembuhan per sekundam.

5. Proses penyembuhan luka

Penyembuhan luka atau perbaikan luka adalah proses alami tubuh

untuk memperbaiki kerusakan jaringan. Serangkaian proses biokimia yang

komplek akan terjadi sebagai upaya untuk memperbaiki kerusakan.

Beragam proses tersebut saling tumpang tindih dan dikategorikan menjadi

beberapa fase yaitu;

a. Fase Inflamasi

Inflamasi merupakan reaksi awal bila tubuh terkena luka (Li,2007).

Fase ini terjadi segera setelah cedera dan dapat berlangsung sampai 4-6

hari (Broughton, 2006). Reaksi awal adalah terjadinya vasodilatasi lokal,

keluarnya darah dan cairan menuju ruangan ekstravaskuler, dan

terhambatnya aliran limfatik. Semua ini mengakibatkan timbulnya tanda-

tanda utama untuk terjadinya suatu inflamasi, termasuk bengkak, merah

dan panas. Respon inflamasi akut ini biasanya antara 24-48 jam dan dapat

menetap diatas 2 minggu untuk beberapa kasus (Li, 2007). Fase ini

merupakan tahap awal yang alami untuk mengangkat jaringan debris dan

mencegah infeksi yang invasif (Gurtner, 2007).


15

Gambar 2.3 Regenerasi Luka (Dikutip dari: Schafer, 2012)

Fase ini dibagi menjadi dua yaitu respon vaskular dan respon

seluler (Li, 2007). Pada respon vaskular, perdarahan terjadi segera sesudah

jaringan cedera sebagai akibat dari terganggunya atau rusaknya pembuluh

darah. Langkah pertama dari proses penyembuhan luka adalah hemostasis.

Hemostasis terdiri dari dua proses utama: pembentukan fibrin clot dan

koagulasi. Platelet adalah sel pertama yang muncul sesudah terjadinya

cedera dan mengatur hemostasis normal. Perubahan trombin menjadi

fibrinogen dan kemudian menjadi fibrin selama agregasi platelet,

menyebabkan fibrin clot terbentuk dan menghentikan perdarahan.

Komponen ke dua dari hemostasis adalah koagulasi melalui intrinsik dan

ekstrinsik coagulation pathways. Kerusakan jaringan melepaskan

lipoprotein yang dikenal sebagai tissue factor. Platelet meningkatkan

pembentukan jaringan baru melalui pelepasan beberapa growth factors

kuat yang berpengaruh pada perbaikan luka, seperti transforming growth

factor alpha (TGF-), transforming growth factor beta (TGF-), dan

platelet-derived growth factor (PDGF) (Li, 2007).

Pada respon seluler, ciri-ciri fase inflamasi adalah masuknya

lekosit ke daerah luka Segera setelah terjadinya luka sel netrofil dalam

jumlah besar berpindah dari kapiler menuju jaringan luka, kemudian

jumlah netrofil menurun dan digantikan dengan makrofag (perubahan dari

monosit). Monosit segera berubah menjadi makrofag pada jaringan luka

fase selanjutnya, kurang lebih dalam 48 sampai 72-96 jam setelah luka
16

(Broughton, 2006 dan Gurtner, 2007). Monosit ini ditarik ke jaringan luka

oleh chemoattractans yang sama dengan netrofil, juga oleh monocyte

chemoattractant protein dan macrophage inflammatory protein, oleh

produk dari degradasi matriks ekstraseluler seperti fragmen kolagen,

fragmen fibronectin, dan trombin (Li, 2007).

Makrofag berperan penting dalam pengaturan sel seperti fungsi

fagositosis, memakan dan mencerna serta membunuh organisme patogen,

membersihkan debris jaringan dan merusak sisa netrofil, menarik fibroblas

ke jaringan luka dan memicu pembuluh darah baru. Makrofag merupakan

pabrik produksi growth factors seperti PDGF, fibroblast growth factor

(FGF), vascular endothelial growth factor (VEGF), TGF-, dan TGF-.

Dalam fase inflamasi ini, netrofil dan makrofag menghasilkan

sejumlah besar anion superoksid radikal, yang sering digambarkan sebagai

respiratory burst. Kemudian sel lain seperti fibroblas dirangsang oleh

sitokin pro inflamasi untuk memproduksi reactive oxygen spesies (ROS)

(Keller, 2006). Selain efek positif untuk membunuh bakteri, ROS ini juga

berdampak negatif, menghambat migrasi sel, merusak jaringan dan bahkan

berubah menjadi neoplasma (Keller, 2006). Untuk melindungi dari stres

oksidatif, sel-sel mempunyai beberapa sistem untuk mendetoksifikasi

ROS, yaitu secara non- enzimatik dan enzimatik. (Keller, 2006).

Suatu luka disebut luka kronis bila fase inflamasi menetap

berbulan-bulan bahkan tahunan. Fase inflamasi menetap pada keadaan

luka yang hipoksia, infeksi, defisiensi nutrisi, penggunaan obat-obatan


17

tertentu, atau faktor lain yang dihubungkan dengan respon imun pasien

(Reddy, 2012). Luka kronis membentuk jaringan nekrotik yang tercemar

oleh organisme patogen atau mengandung material asing yang tidak dapat

di fagositosis selama fase akut inflamasi. Granulosit tidak muncul,

sebaliknya sel mononuklear terutama limfosit, monosit, dan makrofag

menetap pada daerah inflamasi. Tidak ada tanda-tanda inflamasi.

Makrofag menarik fibroblas dan dalam waktu yang lama memproduksi

sejumlah besar kolagen, membentuk masa encapsulated dari jaringan

fibrous dengan lambat, suatu granuloma (Li, 2007).

b. Fase Proliferasi

Pada fase ini aktifitas seluler lebih utama. Tahap-tahap utama

meliputi pembentukan barier permeabilitas (epitelisasi), kecukupan suplai

darah (angiogenesis) dan pembentukan kembali jaringan dermis pada

jaringan yang luka (fibroplasia) (Li, 2007). Ciri-ciri fase proliferasi adalah

angiogenesis, deposit kolagen, pembentukan jaringan granulasi, epitelisasi,

dan kontraksi luka (Nayak, 2007). Fase ini akan dimulai pada hari ke 3

bersamaan dengan memudarnya fase inflamasi dan terus sampai pada hari

ke 14, bahkan lebih setelah luka, didominasi dengan pembentukan jaringan

granulasi dan epitelisasi (Reddy, 2012). Broughton (2006) menyebutkan

fase proliferasi dimulai segera setelah fase inflamasi yang berlangsung 4 -

6 hari.

Epitelisasi
18

Proses ini mengembalikan epidermis utuh seperti semula. Faktor

yang terlibat adalah migrasi keratinosit pada jaringan luka, proliferasi

keratinosit, diferensiasi neoepitelium menjadi epidermis yang berlapis-

lapis, dan mengembalikan basement membrane zone (BMZ) menjadi utuh

yang menghubungkan epidermis dan dermis (Li et al., 2007). Epidermal

growth factor (EGF), keratinocyte growth factor (KGF), dan TGF-

merupakan faktor penting untuk merangsang migrasi keratinosit,

proliferasi, dan epitelisasi. Hari ke 7-9 sesudah epitelisasi, BMZ terbentuk.

Struktur kulit pada BMZ terdiri dari banyak protein matriks ekstraseluler

seperti kolagen dan laminins. Pembentukan kembali dermis dimulai kira-

kira hari ke 3-4 setelah perlukaan, dengan ciri klinik pembentukan jaringan

granulasi, meliputi pembentukan pembuluh darah baru atau angiogenesis,

dan penumpukan fibroblas atau fibroplasia (Li, 2007).

Fibroplasia Adalah suatu proses proliferasi fibroblas, migrasi fibrin

clot ke daerah luka, dan produksi dari kolagen baru dan matriks protein

lainnya, yang terlibat dalam pembentukan jaringan granulasi. Respon awal

saat terjadinya luka, fibroblas di pinggir luka memulai proliferasi dan kira-

kira hari ke 4 dimulai migrasi menuju matriks dari bekuan luka yang kaya

kolagen, proteoglikan, dan elastin. PDGF, TGF-, EGF dan FGF

merangsang dan mengatur migrasi fibroblas dan mengatur ekspresi dari

reseptor integrin. Proliferasi fibroblas diatur dan dirangsang oleh EGF,

FGF, kondisi asam rendah oksigen yang ditemukan pada pusat luka. Sekali

fibroblas bermigrasi ke daerah luka, selanjutnya akan berubah fenotipnya


19

secara bertahap menjadi profibrotic phenotype yang fungsi utamanya juga

berubah yaitu untuk sintesa protein. Selain itu fibroblas juga berubah

fenotipnya menjadi myofibroblast yang berperan pada kontraksi luka (Li,

2007).

Gambar II.1 Fase Inflamasi (1), Fase Proliferasi (2), Fase Remodelling

(3a, 3b) (dikutipdari: Romo, 2012)

Fibroblas tampak berbentuk fusiformis diantara serabut-serabut

jaringan, memiliki tonjolan-tonjolan sitoplasma yang tidak teratur, inti

bulat telur, besar, kromatin halus, dan memiliki nukleus yang jelas

(Kalangi, 2004). Pada jaringan ikat longgar dijumpai berbentuk bintang

atau stelata sebagai akibat serabut- serabut jaringan ikat yang tidak teratur.

Fibroblas memiliki banyak mikrofilamen proaktin serta mikrotubul.

Fibroblas berfungsi untuk mensintesis matriks ekstraseluler seperti serabut

kolagen, serbut elastin, dan zat-zat amorf.

Angiogenesis (Neovaskularisasi)

Angiogenesis ditandai dengan migrasi sel endotel dan

pembentukan kapiler (Broughton, 2006). Terjadi pertumbuhan kapiler baru

pada daerah yang berdekatan dengan luka berupa tunas-tunas yang

terbentuk dari pembuluh darah dan akan berkembang menjadi

percabangan baru pada jaringan luka (Singer dan Clark, 1999). Selama
20

angiogenesis, sel endotelial juga memproduksi dan mengeluarkan

substansi biologikal aktif atau sitokin. Beberapa growth factor terlibat

dalam angiogenesis adalah VEGF, angiopoietins, FGF, dan TGF-.

Berbagai tipe sel termasuk keratinosit, fibroblas, dan sel endotelial

menghasilkan endothelial growth factor. VEGF ini terdapat dalam kadar

rendah pada kulit normal, sebaliknya kadarnya tinggi pada waktu

penyembuhan luka. Keadaan mempengaruhi timbulnya growth factor (Li,

2007). Angiogenesis berlangsung proporsional untuk perfusi darah dan

tekanan parsial oksigen arteri (Ueno, 2006).

Kontraksi Luka

Kontraksi dari luka dimulai segera sesudah terjadinya perlukaan

dan mencapai puncaknya 2 minggu. Derajat kontraksi luka bervariasi

tergantung kedalaman luka. Untuk luka yang dalam, kontraksi merupakan

bagian penting dari penyembuhan dan lebih dari 40% menurun dalam

ukuran luka. Luka dengan kedalaman yang parsial, kontraksi kurang

penting (Li, 2007). Myofibroblast adalah mediator utama dari proses

kontraksi karena kemampuannya untuk meluas dan menarik. Selama

pembentukan jaringan granulasi, secara bertahap fibroblas berubah

menjadi myofibroblast yang memegang peranan pada kontraksi luka

(Broughton, 2006), dengan ciri ikatan mikrofilamen aktin (tidak terlihat

pada kulit yang normal) (Li, 2007) yang mampu meregenerasi matriks dan

kontraksi (Gurtner, 2007). Fibronectin membantu dalam kontraksi luka.


21

c. Fase Remodeling

Merupakan fase terpanjang penyembuhan luka yaitu pematangan

proses, yang meliputi perbaikan yang sedang berlangsung pada jaringan

granulasi yang membentuk lapisan epitel yang baru dan meningkatkan

tegangan pada luka (Ueno, 2006). Remodeling meliputi deposit dari

matriks (Li, 2007), deposit kolagen pada tempatnya (Broughton, 2006),

dan kontraksi scar (Gurtner, 2007). Pada fase remodeling kekuatan

peregangan jaringan ditingkatkan karena cross-linking intermolekular dari

kolagen melalui hidroksilasi yang membutuhkan vitamin C (Reddy, 2012).

Satu dari ciri-ciri fase ini adalah perubahan komposisi matriks

ekstraseluler. Kolagen tipe III muncul pertama kali sesudah 48 72 jam

dan maksimal disekresi antara 5 7 hari. Jumlah kolagen total meningkat

pada awal perbaikan, mencapai maksimum antara 2 sampai 3 minggu

sesudah cedera (Li et al., 2007). Kolagen tipe III yang diproduksi oleh

fibroblas selama fase proliferasi akan diganti oleh kolagen tipe I selama

beberapa bulan berikutnya melalui proses yang lambat dari kolagen tipe III

(Gurtner, 2007). Selama periode 1 tahun atau lebih, dermis secara bertahap

kembali kepada fenotip yang stabil seperti sebelum cedera, dan komposisi

terbanyak adalah kolagen tipe I. Kekuatan regangan yang merupakan

penilaian dari fungsi kolagen, meningkat 40% kekuatannya dalam jangka

waktu 1 bulan dan terus meningkat sampai 1 tahun, mencapai lebih dari

70% kekuatannya dari normal pada akhir fase remodeling (Li, 2007).
22

Proses perubahan dari dermis dilaksanakan melalui kontrol yang

ketat antara sintesa kolagen baru dan lisis dari kolagen lama yang

dilakukan oleh matrix metalloprotein (MMP). MMP biasanya tidak

terdeteksi atau kadarnya sangat rendah pada jaringan sehat, dan timbul

selama perbaikan luka. Aktifitas katalitik dari MMP juga dikontrol oleh

inibitor jaringan dari metaloprotein. Keseimbangan antara aktifitas MMP

dan inhibitornya juga merupakan hal penting dalam perbaikan luka dan

remodeling (Li, 2007). Ketidakseimbangan yang terjadi dapat

menyebabkan keterlambatan penyembuhan luka atau berlebihnya jaringan

fibrosis sehingga menyebabkan jaringan parut, hipertropi scar atau bahkan

keloid. Keadaan ini dapat terjadi pada penderita diabetes, infeksi, usia

lanjut, dan nutrisi yang buruk (Li, 2007).

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka

Menurut (Nagori dan Solanki, 2011) dan (Wayne PA dan Flanagan,

2006) faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka yaitu:

a. Status imunologi atau kekebalan tubuh: Penyembuhan luka adalah

proses biologis yang kompleks, terdiri dari serangkaian peristiwa

berurutan bertujuan untuk memperbaiki jaringan yang terluka. Peran

sistem kekebalan tubuh dalam proses ini tidak hanya untuk mengenali

dan memerangi antigen baru dari luka, tetapi juga untuk proses

regenerasi sel.
b. Kadar gula darah: Peningkatan gula darah akibat hambatan sekresi

insulin, seperti pada penderita diebetes melitus, juga menyebabkan


23

nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel, akibatnya terjadi penurunan

protein dan kalori tubuh.


c. Rehidrasi dan pencucian luka: Dengan dilakukan rehidarasi dan

pencucian luka, jumlah bakteri di dalam luka akan berkurang,

sehingga jumlah eksudat yang dihasilkan bakteri akan berkurang.


d. Nutrisi: Nutrisi memainkan peran ter- tentu dalam penyembuhan luka.

Misalnya, vitamin C sangat penting untuk sintesis kolagen, vitamin A

meningkatkan epitelisasi, dan seng (zinc) diperlukan untuk mitosis sel

dan proliferasi sel. Semua nutrisi, termasuk protein, karbohidrat,

lemak, vitamin, dan mineral, baik melalui dukungan parenteral

maupun enteral, sangat dibutuhkan. Malnutrisi menyebabkan berbagai

pe- rubahan metabolik yang mempengaruhi penyembuhan luka.


e. Kadar albumin darah: Albumin sangat berperan untuk mencegah

edema, albumin berperan besar dalam penentuan tekanan onkotik

plasma darah. Target albumin dalam penyembuhan luka adalah 3,5-5,5

g/dl.
f. Suplai oksigen dan vaskulerisasi: Oksigen merupakan prasyarat untuk

proses reparatif, seperti proliferasi sel, pertahanan bakteri,

angiogenesis, dan sintesis kolagen. Penyembuhan luka akan terhambat

bila terjadi hipoksia jaringan.


g. Nyeri: Rasa nyeri merupakan salah satu pencetus peningkatan hormon

glukokortikoid yang menghambat proses penyembuhan luka.


h. Kortikosteroid: Steroid memiliki efek antagonis terhadap faktor-faktor

pertumbuhan dan deposisi kolagen dalam penyembuhan luka. Steroid

juga menekan sistem kekebalan tubuh/sistem imun yang sangat

dibutuhkan dalam penyembuhan luka.


24

i. Infeksi di daerah luka : Infeksi pada luka merupakan alasan terkuat

bagi kegagalan penyembuhan luka. Organisme terpenting adalah

Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Corynebacerium sp,

Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa .


j. Umur tua : Pada usia lanjut terjadi keterlambatan penyembuhan luka

yang disebabkan karena aktifitas dan pertumbuhan fibroblas yang

berkurang dan produksi kolagen menurun, juga kontraksi luka yang

melambat .

7. Konsep perawatan luka

Menurut Perdanakusuma (2005), prinsip utama dalam perawatan

luka telah dikemukakan sejak 1900 SM di Mesir dan masih digunakan

sampai sekarang adalah pembersihan luka (wound cleansing), penutupan

luka (wound closure) dan perlindungan luka (coverage). Penatalaksanaan

luka secara umum adalah:

a. Penilaian luka
Penilaian luka meliputi penilaian tentang ukuran dan dalam luka,

penilaian warna, kelembaban dan fleksibilitas kulit di sekitar luka

serta penilaian tepi luka dan perlekatan ke dasar luka.


b. Preparasi bed luka
Istilah preparasi bed luka umumnya digunakan dalam mengelola luka

kronik. Preparasi bed luka merupakan suatu proses pembuangan

barrier yang terdapat di luka untuk mempersiapkan luka supaya dapat

melalui proses penyembuhan luka dengan baik yang dapat dilakukan

dengan cara debridement, bacterial balance dan exudates

management.
c. Penutupan luka
25

Penutupan luka dapat dilakukan bila keadaan luka sudah bersih dan

tidak infeksi. Luka dapat menutup tanpa prosedur pembedahan secara

persekundam terjadi proses epitelisasi. Selain itu dapat pula dilakukan

penjahitan primer (perprimam), skin grafting dan flap.


d. Dressing
Dressing bertujuan melindungi luka dari trauma dan infeksi. Dalam

kondisi lembab (moist) penyembuhan luka lebih cepat 50% dibanding

luka kering.

8. Tujuan perawatan luka

Menurut Ismail (2008), perawatan luka memiliki beberapa tujuan

antara lain yaitu untuk:

a. Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka


b. Absorbsi drainase
c. Menekan dan imobilisasi luka
d. Mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis
e. Mencegah luka dari kontaminasi bakteri
f. Meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing
g. Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien

9. Cara merawat luka

Perawatan luka memiliki beberapa tehnik, berikut ini cara merawat

luka menurut Ismail (2008), adalah:

a. Usahakan agar luka tetap bersih selama proses penyembuhan.


b. Bersihkan luka dengan larutan saline solution.
c. Gunakan antiseptik yang alamiah.
d. Perbanyak intake protein dalam tubuh ketika sedang terluka. Terutama

pasca operasi, kebutuhan kalori dan protein dalam tubuh akan

meningkat 20-50 persen.


e. Perbanyak intake berbagai vitamin dan zat lainnya.
f. Peningkatan penyembuhan luka dapat dilakukan dengan

penatalaksanaan debridement, mengontrol mikroorganisme,


26

mengurangi edema, meningkatkan aliran darah dan oksigenasi, dan

memicu pertumbuhan jaringan.

10. Tanda-tanda penyembuhan luka insisi

Penyembuhan luka insisi memiliki tanda-tanda, berikut ini

beberapa tanda-tanda penyembuhan luka insisi menurut Ismail (2008)

adalah:

a. Tidak ada perdarahan dan munculnya tepi bekuan di tepi luka.


b. Tepi luka akan didekatkan dan dijepit oleh fibrin dalam bekuan selama

satu atau beberapa jam setelah pembedahan ditutup.


c. Inflamasi (kemerahan dan bengkak) pada tepi luka selama 1 3 hari.
d. Penurunan inflamasi ketika bekuan mengecil.
e. Jaringan granulasi mulai mempertemukan daerah luka. Luka bertemu

dan menutup selama 7 10 hari. Peningkatan inflamasi digabungkan

dengan panas dan drainase mengindikasikan infeksi luka. Tepi luka

tampak meradang dan bengkak.


f. Pembentukan bekas luka.
g. Pembentukan kolagen mulai 4 hari setelah perlukan dan berlanjut

sampai 6 bulan atau lebih. Pengecilan ukuran bekas luka lebih satu

periode atau setahun. Peningkatan ukuran bekas luka menunjukkan

pembentukan keloid.

B. Laba laba

Laba-laba adalah sejenis hewan berbuku-buku (arthropoda) dengan

dua segmen tubuh, empat pasang kaki, tak bersayap, dan tak memiliki

mulut pengunyah. Semua jenis laba-laba digolongkan ke dalam ordo

Araneae dan bersama dengan kalajengking, ketonggeng, tungau semuanya

berkaki delapan dimasukkan ke dalam kelas Arachnida. Bidang studi


27

mengenai laba-laba disebut arachnologi (Sebastian dan Peter

2009) .Araneae adalah ordo terbesar dalam arachnida dan peringkat

ketujuh dalam total keragaman spesies di antara seluruh ordo

organismse.Laba-laba dapat ditemukan di seluruh dunia di setiap benua

kecuali di Antarktika, dan telah bertahan lama di hampir semua habitat

dengan perkecualian kolonisasi udara dan laut (Sebastian dan Peter

2009 ) . Tidak semua laba-laba membuat jaring untuk menangkap mangsa,

akan tetapi semuanya mampu menghasilkan benang sutera yakni helaian

serat protein yang tipis namun kuat dari kelenjar (disebut spinneret) yang

terletak di bagian belakang tubuhnya. Serat sutera ini amat berguna untuk

membantu pergerakan laba-laba, berayun dari satu tempat ke tempat lain,

menjerat mangsa, membuat kantung telur, melindungi lubang sarang, dan

lain-lain ( Foelix dan Rainer F 1996 ).

C. Sarang telur laba laba (spider silk protein)

1. Pengetian Sarang telur laba laba ( spider silk protein )

Sarang telur laba laba atau biasanya disebut gamet atau cocoon

adalah sebuah serat biopolymer yang komposisinya merupakan campuran

dari polimer yang tidak berbentuk (yang membuat serat elastic) dan rantai

dari dua protein sederhana (yang memberikan kekerasan). Dari 20 asam

amino, hanya glisin dan alanin yang merupakan konstituen primer dari

silk. Protein dari draglines silk adalah fibrinoin (200.000 300.000

Dalton) yang berkombinasi dengan spidroin. Biomaterial dari silk dapat

dipelajari secara in vivo maupun in vitro. Sarang telur laba laba terbuat
28

dari jaring laba-laba yang dipintal untuk menyimpan telur (Kumar, 2005).

Jaring laba laba merupakan bahan alami dengan sifat yang unik,

menunjukkan kekuatan yang luar biasa dan elastisitas. Berbagai penelitian

telah menunjukkan degradasi in vivo dari sutra laba-laba alam cukup

lambat, dan materi muncul untuk memberikan matriks yang cocok untuk

pertumbuhan sel, untuk adhesi, pertumbuhan dan diferensiasi sel, protein

sutra laba-laba, juga disebut spidroins, memiliki potensi untuk membentuk

perancah yang baik karena sifat mekanik, elastisitas dan struktur hidrofilik

dan hidrofobik. Namun, dalam beberapa kasus derajat yang berbeda dari

respon inflamasi untuk jaring laba-laba pernah dilaporkan. Namun,

sebagian besar kasus yang mendorong untuk dilakukan penelitian lebih

lanjut tentang manfaat dalam aplikasi medis di masa depan (Widhe, 2012).

Menurut Zhao ( 2005 ) Laba laba yang berbeda memiliki kelenjar

yang berbeda untuk menghasilkan berbagai jenis jaring laba laba , seperti

konstruksi web, menangkap mangsa, pertahanan, atau mobilitas. Setiap

serat memberikan berbagai jenis jaring laba laba ;

a. Dragline : fiber ini digunakan sebagai tepi luar dari jaring laba laba ,

sifartnya elastis dan sekuat baja.

b. Tubiliform : fiber ini digunakan untuk melindungi kantung telur,

sifatnya sangat kaku.

c. Capture spiral : Serat ini sangat lengket, dan melar oleh keadaan

lingkungan, dan digunakan untuk jalur menangkap musuh.


29

d. Minor Ampullate : fiber ini digunakan untuk tujuan pembangunan

spider silk protein .

e. Aciniform: fiber ini digunakan untuk membungkus mangsa yang telah

ditangkap, tipe ini tiga kali lebih keras dari sutra dragline.

2. Aplikasi dan manfaat spider silk protein

Menurut Rohit S.Gole and Prateek Kumar (2005) secara garis besar

pemanfaatan jaring laba-laba dibagi menjadi tiga kelompok;

a. Sebagai bahan tekstil

Jaring laba-laba mempunyai keistimewaan yaitu kuat dalam menahan

tekanan dan memiliki elastisitas yang baik, sehingga sangat baik untuk

digunakan sebagai bahan tekstil seperti rompi anti peluru, pakaian

yang resistant terhadap robekan, sabuk pengaman, parasut dan jaring.

b. Sebagai bahan polimer yang ramah lingkungan

Jaring laba-laba memiliki sifat bioaktif yang baik terhadap lingkungan

sehingga sangat baik untuk bahan polimer pembuatan plastic atau

fiberglass contohnya botol biodegradable.

c. Sebagai bahan biomedis

Karena memiliki sifat anti bakteri dan biocompatible, sehingga dapat

dimanfaatkan dalam medis sebagai benang jahit pada pembedahan,

bahan perekat pada tendon, serta bahan untuk pembuat ligament

buatan.

Ada catatan yang menunjukkan bahwa spider silk protein secara

historis telah digunakan oleh manusia dan sekarang subjek penelitian ke


30

dalam aplikasi bioteknologi. Salah satu penggunaan tradisional yang

terkait dengan tesis ini adalah bahwa petani di Pegunungan Carpathian

diterapkan bagian dari tubular berbentuk jaring laba-laba Atypus sebagai

perban topikal untuk menyembuhkan luka. Hal ini diyakini bermanfaat

karena sifat antiseptik dari spider silk protein. Penggunaan tradisional

lainnya termasuk Nephila jaringnya digunakan untuk menangkap ikan

kecil. Di daerah-daerah tertentu di Madagaskar, laba-laba sutra juga telah

diamati digunakan dalam tas dan pakaian ( Vollrath , 2001 )

Jaring laba-laba digunakan untuk berbagai tujuan yang berbeda

seperti membuat sarang telur laba laba , konstruksi kepompong dan untuk

menyetorkan sperma. Jaring laba laba merupakan bahan yang sangat kuat,

sangat ringan yang juga memiliki kekuatan elastis yang luar biasa.

Beberapa jenis dapat meregang hingga 140% dari panjang mereka sendiri

tanpa terjadi kerusakan (Vollrath dan Ksatria 2001). Ini sama dengan

polyaramid komersial (nylon aromatik) filamen yang dianggap sebagai

patokan dalam bahan sintetis (Vollrath dan Ksatria 2001). Jaring laba laba

awalnya dalam bentuk cair di dalam laba-laba, dan menjadi jaring laba

laba saat terkena udara. Berat jaring laba-laba bentuk cair adalah sepuluh

kali lebih sedikit dari yang bentuk padat, dan sementara itu awalnya larut

dalam bentuk cair, setelah dipadatkan menjadi tidak larut (Foelix 1996).

Meskipun tidak larut bila terkena udara, jaring laba laba yang tidak

terkena air tidak akan berubah sifat nya . spider silk protein yang kering
31

memiliki kapasitas peregangan 30%, spider silk protein yang basah

memiliki kapasitas peregangan 300% (Foelix 1996).

Penggunaan spider silk protein saat ini telah membantu dalam

regenarasi mamalia neuronal (Almelling, 2006). Studi ini menemukan

bahwa spider silk protein ternyata tidak menimbulkan respon autoimun

pada sel manusia. Poin ini penting karena jika materialnya tidak beracun

akan cepat dihancurkan oleh sistem kekebalan manusia dan tidak

menimbulkan kerusakan. Pemanfaatan bioteknologi lain sutra laba-laba

saat ini untuk digunakan sebagai rekombinan partikel jaring laba-laba

sebagai alternatif pemberian obat (Lammel dan Schwab, 2010). Studi ini

menemukan bahwa tingkat pelepasan obat yang konstan bias diwujudkan

untuk jangka waktu dua minggu menggunakan jaring laba-laba, dan

disimpulkan bahwa partikel jaring laba laba memiliki potensi tinggi untuk

digunakan dalam berbagai aplikasi. Spider silk protein juga telah

disarankan digunakan sebagai material penahan beban (Brown, 2011).

Untuk penggunaan potensi masa depan dengan aplikasi mulai dari

tendon buatan karat panel bebas telah diusulkan (Jadhav, 2009). Sutra

laba-laba telah disarankan sebagai bahan pengganti yang cocok untuk

banyak produk yang sudah ada seperti pakaian, tali, sabuk pengaman,

pelindung tubuh, parasut dan botol biodegradable, yang semuanya bisa

menunjukkan baik manfaat biaya dan lingkungan jika terbuat dari jaring

laba-laba dari pada bahan buatan manusia saat ini (Jadhav, 2009). Pada

pengobatan tradisional Eropa, jaring laba-laba digunakan untuk membantu


32

penyembuhan luka dan mengurangi perdarahan (Technical Learning

College, 2011).

3. Kandungan Sarang telur laba laba ( spider silk protein )

Spider silk protein sebagian besar terdiri dari asam amino non-

esensial tetapi komposisi yang tepat bervariasi (Vollrath dan Ksatria 2001).

Spider silk protein mengandung serat bipolimer. Komposisinya merupakan

campuran dari polimer yang dapat membuat seratnya elastik dan memiliki

gabungan 2 rantai protein sederhana yang dapat memberikan kekuatan

pada jaring tersebut. Protein yang terdapat di jaring laba-laba adalah

fibroin (200-300 kDa). Fibroin mengandung 40% glisin dan 25% alanin,

sisanya berupa glutamin, serin, leusin, valin, prolin, tirosin, dan arginin

(Gole, 2006). Fibroin mampu mendukung perlekatan sel endotel serta

membentuk struktur seperti pembuluh darah mikro ketika fibroin

diselubungi oleh fibronektin atau kolagen (Unger, 2004 dan Fuchs, 2006).

Pada suatu studi implantasi fibroin, fibroin mampu mendukung

vaskularisasi jaringan ikat retikular (Dicko, 2004).

Spider silk protein juga kaya akan vitamin K yang sangat berguna

untuk pembekuan darah. Spider silk protein sudah teruji sebagai material

alami (biokompatibel) yang dapat membantu regenerasi serabut-serabut sel

saraf. Sebuah bahan biomaterial yang bernama silkbone (oxford

biomaterials), tersusun atas protein jaring laba laba dan komponen mineral

tulang, dapat terserap oleh jaringan tulang dan memiliki kemampuan


33

mekanis yang baik. Biomaterial ini dapat diterima tubuh manusia dan akan

tergantikan oleh jaringan tulang yang baru (Foelix, 1996).

D. Tikus wistar ( Rattus norvegicus strain )

Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang

sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model

guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu

dalam skala penelitian atau pangamatan laboratorik. Tikus termasuk hewan

mamalia, oleh sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin

tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya (Smith dan

Mangkoewidjojo, 1988). Tikus merupakan hewan laboratorium yang

banyak digunakan dalam penelitian dan percobaan antara lain untuk

mempelajari pengaruh obat-obatan, toksisitas, metabolisme, embriologi

maupun dalam mempelajari tingkah laku (Malole dan Pramono,

1989).Tikus putih (Rattus norvegicus) berasal dari Asia Tengah dan

penggunaannya telah menyebar luas di seluruh dunia (Malole dan

Pramono, 1989). Penelitian menggunakan tikus percobaan akan

bermanfaat jika digunakan dalam demonstrasi fisiologi dan farmakologi.

Anatomi dan fisiologis tikus mendukung suatu penelitian percobaan nutrisi

dengan menggunakan metode ad libitum. (Smith dan Mangkoewidjojo,

1988).

Malole dan Pramono (1989) menjelaskan sifat-sifat yang dimiliki

tikus atau rat (Rattus Norvegicus) antara lain mudah dipelihara dan relatif

sehat, sehingga memenuhi kriteria sebagai hewan percobaan di dalam


34

suatu penelitian. Klasifikasi dari tikus wistar (Rattus norvegicus) adalah

sebagai berikut.

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus Galur/Strain : Sprague dawley

Alasan penggunanaan Rattus norvegicus sebagai hewan percobaan

adalah keran bintang ini memiliki berbagai keunggulan antara lain;

a. Banyak gennya yang relatif mirip dengan manusia

b. Rattus norvegicus adalah binatang menyusui ( mamalia )

c. Kemampuan berkembang biak Rattus norvegicus sangat tinggi, relatif

cocok untuk digunakan dalam eksperimen masal.

d. Tipe bentuk badan tikus kecil, mudah dipelihara dan obat yang

digunakan dibadannya dapat relatif cepat termanifestasi.

Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain,

yaitu bahwa tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak

lazim di tempat esofagus yang bermuara ke dalam lambung, serta tidak

memiliki kantong empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus liar antara lain lebih

cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya

lebih cepat berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan


35

laboratorium adalah sangat mudah ditangani, dapat ditinggal sendirian

dalam kandang asal dapat mendengarsuara tikus lain dan berukuran cukup

besar sehingga memudahkan pengamatan (Smith dan Mangkoewidjojo,

1988).

Tikus Putih (Rattus norvegicus) Terdapat beberapa galur tikus yang

sering digunakan dalam penelitian. Galurgalur tersebut antara lain: Wistar,

Sprague-Dawley, Long Evans, dan Holdzman (Kohn dan Bartold, 1984).

Dalam penelitian ini digunakan galur Sprague-Dawley dengan ciri-ciri

berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada

badannya (Malole dan Pramono, 1989). Siklus hidup tikus putih (Rattus

norvegicus) jarang lebih dari tiga tahun, berat badan pada umur empat

minggu dapat mencapai 35-40 g dan setelah dewasa rata-rata 200-250 g,

tetapi bervariasi tergantung pada galur. Tikus jantan tua dapat mencapai

bobot badan 500 g, tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 g (Smith dan

Mangkoewidjojo, 1988).

Kebutuhan pakan bagi seekor tikus setiap harinya kurang lebih

sebanyak 10% dari bobot tubuhnya jika pakan tersebut berupa pakan

kering dan dapat ditingkatkan sampai 15% dari bobot tubuhnya jika pakan

yang dikonsumsi berupa pakan basah. Kebutuhan minum seekor tikus

setiap hari kira-kira 15-30 ml air. Jumlah ini dapat berkurang jika pakan

yang dikonsumsi sudah banyak mengandung air (Smith dan

Mangkoewidjojo, 1988). Rata-rata pemberian pakan harian untuk tikus

Sprague-Dawley selama periode pertumbuhan dan reproduksi mendekati


36

15-20 g untuk jantan dan 10-15 g untuk betina (National Research

Council, 1978).

Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa pada

kondisi dimana pakan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas maka

tikus dapat mengurangikonsumsi energinya, tetapi jika nafsu makan

berlebih, tikus dapat meningkatkan penggantian energi. Pakan yang

diberikan pada tikus umumnya tersusun dari komposisi alami dan mudah

diperoleh dari sumber daya komersial. Namun demikian, pakan yang

diberikan pada tikus sebaiknya mengandung nutrien dalam komposisi

yang tepat. Pakan ideal untuk tikus yang sedang tumbuh harus memenuhi

kebutuhan zat makanan antara lain protein 12%, lemak 5%, dan serat kasar

kira-kira 5%, harus cukup mengandung vitamin A, vitamin D, asam

linoleat, tiamin, riboflavin, pantotenat, vitamin B12, biotin, piridoksin dan

kolin serta mineral-mineral tertentu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).


V. BAB III

VI. KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep
Tikus putih

Luka insisi

Perawatan luka dengan sarang telur


Kandungan:
laba laba
Protein Fibroin, Alanin, Glisin, Vitamin K

Fase inflamasi
f 0-5 hariMikroskopi

Fibroblas meningkat
Makroskopi Kolagen meningkat
PMN (Neutrofil meningkat)
Sel MN (Limfosit, Monosit
Meningkat
Kemerahan pada kulit f
berkurang
Edema berkurang
Luka kering
Penyembuhan luka

VII.

Keterangan: : Tidak Diteliti


: Diteliti f

Gambar III.1 Kerangka Konsep

37
38

Penjelasan kerangka penelitian

Luka insisi (insiced wounds) terjadi karena teriris oleh instrument

yang tajam, misalnya terjadi akibat pembedahan (Ismail,

2008).Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena

berbagai kegiatan bio-seluler dan bio-kimia terjadi berkisanambungan.

Menurut Taylor (2009) proses penyembuhan luka terjadi secara normal

tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu

untuk mendukung penyembuhan jaringan. Perawatan luka dengan sarang

telur laba-laba sebagai pengobatan sudah dilakukan sejak dua ribu tahun

yang lalu. Banyak penduduk pedesaan yang memanfaatkan sarang telur

laba-laba sebagai pembendungan darah ketika terjadi luka.

Sarang telur laba laba mengandung beberpa kandungan asam

amino non-essensial yaitu alanin dan glisin serta mengandung protein

fibroin. Protein fibroin dilansir mempunyai aktivitas hemostatik ( Kim,

2007 ). Pada hewan, Alanin yang terkombinasi dengan arginine dan glycin,

mampu menurunkan kolestrol darah . Sedangkan glycin merupakan

komponen dari GTF ( Glucose Tolerance Factor ) dan gluthation. Glycin

bahan penting dari kolagen dan betain, juga dari keratin dan protein inti

( nucleotida ). Dalam susunan saraf, glycin bekerja sebagai

neurotransmitter-inhibisi ( seperti GABA ), dan bersifat mendetoksifikasi

hati dengan jalan mengikat radikal bebas dan toksin, serta mempercepat

penyembuhan luka. (Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja , 2007).


39

Pada proses penyembuhan luka insisi tahap awal yaitu fase

inflamasi. Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-

kira hari kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan

menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya

dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi),

dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar

dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama jala fibrin yang

terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Sementara

itu terjadi reaksi inflamasi (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2010). Adapun

tanda-tanda pada proses penyembuhan luka ( fase inflamasi ) secara

makroskopis tidak ada kemerahan, tidak terdapat edema, luka kering.

Sedangkan secara mikroskopis yaitu, peningkatan fibroblast dan kolagen

PMN meningkat, sel MN meningkat.

A. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah:

H0 : Tidak ada pengaruhpengaruh pemberiaan sarang telur laba laba

(spider silk protein) secara topikal terhadap proses penyembuhan

luka insisi pada fase inflamasi padatikus putih (Rattus norvegicus

wistar).

H1 : Ada pengaruh pemberiaan sarang telur laba laba (spider silk

proteinsecara topikal terhadap proses penyembuhan luka insisi

pada fase inflamasi padatikus putih (Rattus norvegicus wistar).


VIII. BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitiaan ini merupakan penelitiaan Eksperimental Laboratoris .

Subyek penelitiaan adalah 18 ekor tikus wistar ( rattus norvegicus strain )

yang diberi 2 macam perlakuaan, yaitu kontrol (K1) dengan pemberiaan

normal salin dan perlakuan (P1) dengan pemberiaan sarang telur laba laba

( spider silk protein ) secara topikal serta luka ditutupi denganBasic

dressing pack steril. Secara sistematis rancangan penelitiaan tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut.

K1 N-

S
A

P1 N+

Gambar IV.1.Skema Rancangan Penelitian

Keterangan :

S : Unit eksperimen

K1 : Kelompok kontrol, yakni tikus yang dilukai dengan pemberian

normal salin

P1 : Kelompok perlakuaan, yakni tikus yang dilukai dan diberi sarang

telur laba laba ( spider silk protein ) secara topikal.

40
41

N- : Pengamatan penyembuhan luka fase inflamsi pada kelompok kontrol

dengan melihat kemerhan di sekitar luka, edema jaringan disekitar

luka, cairan pada luka.

N+ : Pengamatan penyembuhan luka fase inflamasi pada kelompok

perlakuaan dengan melihat kemerhan di sekitar luka, edema jaringan

disekitar luka, cairan pada luka.

A : Analisis menggunakan uji Independent Samples Test (t-test).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Universitas

Wijaya Kusuma Surabaya mulai bulan Juni 2016 .

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah Tikus Putih yang sudah di

diberi luka insisi . Total 20 ekor.

2. Sampel

a. Besar Sampel

Penghitungan besar sampel minimal ditentukan dengan

menggunakan rumus besar sampel eksperimental dari Federer dengan

menggunakan rumus (Sudigdo & Sofyan, 2002):

P (n-1) 15

Keterangan:
42

P : jumlah perlakuan

n : jumlah sampel tiap kelompok perlakuan

Berdasarkan rumus diatas dapat dilakukan perhitungan jumlah

sampel sebagai berikut:

P (n-1) 15

2 (n-1) 15

2n-2 15

2n 17

n9

Jadi pada penelitian ini didapatkan jumlah sampel dalam setiap

kelompok adalah 9 ekor tikus. Jumlah sampel secara keseluruhan

dibutuhkan 18 ekor tikus.

b. Cara Pengambilan Sampel

Pemilihan sampel dilakukan secara randomisasi dengan cara

simple random sampling. Pemilihan sampel ini dilakukan dengan cara

menempelkan kertas yang bernomor 1 sampai sampai 18 pada setiap

marmut, kemudian membuat gulungan nomor dari 1 sampai 18, kumpulan

gulungan nomor dikocok, dan diambil acak dengan mata tertutup. Dalam

penelitian ini ada 2 kelompok perlakuan, yaitu pemberian sarang telur laba

laba secara topikaldan pemberian normal salin 0,9% (kontrol). Sembilan

tikus pertama yang terpilih merupakan kelompok pemberian sarang telur

laba laba dan sembilan tikus lainnya adalah kelompok kontrol dengan

normal salin.
43

3. Kriteria sampel

a. Kriteria Inklusi

- Tikus jantan galur Wistar sehat (bergerak aktif).

- Umur 2-3 bulan.

- Berat badan 180-200 gram.

b.Kriteria Eksklusi

- Tikus sakit atau mati sebelum mendapat perlakuan.

c. Kriteria Drop Out

- Tikus mati.

- Tikus tampak sakit (gerakan tidak aktif, tidak mau makan, rambut

kusam atau rontok).

D. Variabel Penelitian

Adapun variabel yang akan diteliti adalah :

1. Variabel Bebas

Pemberiaan topikal sarang telur laba laba (spider silk protein)

a. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah proses penyembuhan luka

pada fase inflamasi yaitu kemerahan di sekitar luka, edema jaringan

disekitar luka, cairan pada luka.

c. Variable kendali

Variabel kendali adalah variabel yang nilainya dikendalikan dalam

penelitian (Nursalam, 2008). Pada penelitian ini, variabel kendali yang

digunakan adalah penyamaan jenis yaitu tikus putih (Rattus


44

norvegicus wistar), usia 2-3 bulan,berat badan antara 150-250 gram,

jenis kelamin jantan, makanan dan minuman yang sama, perawatan

dan sanitasi kandang, kondisi (sehat dan tidak mendapatkan

pengobatan sebelumnya), masa adaptasi yang sama yaitu 3 hari,

pembuatan luka insisi pada tikus, lokasi luka, diameter dan kedalaman

luka yang sama, pemberian identitas pada tikus.

E. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala


1 Perawatan Perawatan luka insisi Dilakukan
luka menggunakan topikal perawatan luka
menggunakan sarang telur laba laba insisi dengan
sarang teluryang mengandung mengoleskan
laba laba
fibroin yang sarang telur laba
secara mempunyai aktivitas laba (spider silk
topikal. hemostatik dan glisin protein) pada hari
yang dapat ke -0, ke-2, ke-4
mempercepat dan hari ke -6
penyembuhan luka
2 Proses Proses penyembuhan Fase inflamasi: Lembar
penyembuhan luka insisi yang Tidak ada warna Observasi Ordinal
luka insisi dimulai dari hari kemerahan pada dan
pertama post trauma luka dan sekitarnya penggaris
terjadinya
penyembuhan luka Tidak ada edema Lembar
yang dihitung dalam pada luka dan Observasi Ordinal
hitungan hari sekitarnya dan
penggaris

Tidak terdapat Lembar


eksudat pada luka Observasi Ordinal
dan sekitarnya dan
penggaris
45

F. Prosedur Penelitian

1. Alat dan bahan

a. Obat pembiusan (Lidokain 1%)


b. Spuit 2,5 ml
c. Cucing
d. Sarung tangan steril
e. Hewan coba tikus
f. Pisau cukur
g. Pisau bedah
h. Alat ukur (penggaris)
i. Kasa steril
j. Hipafik
k. Basic dressing pack steril
l. Perlak
m. Jas lab
n. Tempat sampah medis
o. Tempat sampah non medis
p. Gunting plester
q. Plester
r. Alkohol 70%
s. Sarang telur laba laba (spider silk protein)
t. Normal saline 0,9%

2. Prosedur Kerja

Prosedur kerja menyiapkan topikal sarang telur laba laba

Prosedur pembuatan topikal sarang telur laba laba tediri dari

langkahlangkah sebagai berikut:

a. Membersihkan sarang telur laba laba yang sudah di dapat

b. Meletakkan sarang telur laba laba dalam cucing steril

c. Topikal sarang telur laba laba siap digunakan

Prosedur kerja pembiusan hewan coba

Sebelum pembuatan luka insisi pada hewan coba yaitu tikus

(Rattus norvegicus strain wistar) terlebih dahulu hewan coba dibius,


46

menurut Zakariya (2009) prosedur kerja pembiusan hewan coba terdiri

atas langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menentukan terlebih dahulu daerah yang akan dibuat luka insisi yaitu

punggung dengan pertimbangan permukaan punggung lebih luas dari

anggota tubuh yang lain dan mudah untuk dilakukan perlakuan.

b. Mencuci tangan lalu memakai sarung tangan steril.

c. Mencukur bulu daerah punggung 3-5 cm, di sekitar daerah area kulit

yang akan dibuat insisi.

d. Mencuci tangan terlebih dahulu kemudian memakai sarung tangan

steril

e. Melakukan pembiusan lokal menggunakan lidokain 1% di daerah

yang akan dilakukan insisi.

f. Menunggu lebih kurang 30 detik sampai obat anestesi bereaksi.

Prosedur kerja pembuatan luka insisi

Menurut Zakariya (2009) pembuatan luka insisi pada penelitian ini

terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:

a. Memasang perlak dan alaskan di bawah tubuh tikus yang akan

diinsisi.
b. Mencuci tangan dan memakai sarung tangan steril.
c. Melakukan disinfeksi daerah kulit yang telah dicukur dengan alkohol

70%
d. Memasang duk berlubang steril pada daerah yang akan dilakukan

insisi.
47

e. Melakukan penyayatan pada kulit dengan cara yang steril dengan

menggunakan pisau bedah dengan panjang luka 3 cm dengan

kedalaman luka sampai area subkutan (1 mm).


f. Melakukan perawatan luka dengan cara yang steril, yaitu

menambahkan sarng telur laba laba secara topikal serta untuk

kelompok kontrol cukup dirawat dengan cairan fisiologis normal salin

0,9%.
g. Menutup luka dengan kasa steril, dan memasang hipafik di atas posisi

luka.
h. Melepas duk lubang steril dan merapikan peralatan yang sudah

dipakai
i. Melepas sarung tangan
j. Mencuci tangan kembali.

Prosedur kerja perawatan luka

Menurut Gaylene (2000) prosedur perawatan luka terdiri dari

langah-langkah sebagai berikut:

a. Mencuci tangan terlebih dahulu

b. Memakai sarung tangan nonsteril

c. Menempatkan perlak yang dilapisi kain di bawah luka yang dirawat

d. Mengatur posisi tikus senyaman mungkin untuk memudahkan

perlakuan tindakan perawatan luka

e. Menempatkan bengkok dan plastik terbuka di dekat marmut yang

akan dirawat lukanya


48

f. Melepaskan perban luka

g. Melepaskan sarung tangan nonsteril

h. Mencuci tangan

i. Memasang sarung tangan steril

j. Memasang duk lubang steril

k. Membuka kasa penutup luka

l. Melakukan observasi makroskopis mengenai kondisi luka post insisi

pada hari ke-0,ke-2, dan ke-5 pasca insisi, cek bila ada cairan yang

tidak normal, kaji jumlah, warna dan bau dari cairan.

m. Menggunakan teknik aseptik dan ambil kasa steril letakkan di

basicdressingpack steril

n. Membersihkan luka dengan bahan pembersih luka normal saline 0,9%

menggunakan kasa steril

o. Menggunakan kasa steril setiap satu kali pembersihan dibuang dan

pelaksanaan perawatan luka dijaga sterilitasnya.

p. Mengeringkan luka dengan kasa kering

q. Menambahkan sarang telur laba laba untuk kelompok perlakuan

sedangkan untuk kelompok kontrol diberikan normal saline 0,9%

dalam proses perawatannya

r. Menutup luka dengan kasa steril dan dipasang hipafik

s. Melepaskan duk lubang steril

t. Merapikan peralatan yang telah dipakai

u. Memastikan posisi perban luka aman


49

v. Melepaskan sarung tangan

w. Mencuci tangan kembali

G. Instrumen penelitian

Instrumen yang digunakan untuk menilai proses

penyembuhan luka adalah lembar observasi yang dimodifikasi dari

Watono (2007). Lembar observasi berisi proses penyembuhan dari

Gaylene (2000). Kriteria penyembuhan luka insisi menurut Gaylene dalam

adalah waktu yang diperlukan untuk penyembuhan luka insisi yang

dihitung dalam hitungan hari. Luka insisi yang mengalami proses

penyembuhan adalah luka yang memiliki tanda-tanda yaitu: (1). Tidak ada

kemerahan pada luka dan sekitarnya, Diameter < 0,5 cm = 3, Diameter 0,6

2 cm = 2, Diameter > 2 cm = 1, (2). Tidak ada edema jaringan sekitar

luka, jarak edema dari luka yang diinsisi <0,5 cm = 3, jarak edema dari

luka yang diinsisi 0,6 2 cm = 2, jarak edema dari luka yang diinsisi > 2

cm = 1. (3). Luka kering, tidak ada cairan = 3, ada cairan = 2, cairan

dengan pus = 1.

H. Prosedur pengumpulan data

Pemilihan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling.

Simple random sampling dilakukan dengan cara memberi nomor pada

setiap tikus dari 1 sampai 18, kemudian membuat gulungan nomor dari 1

sampai 18, kumpulan gulungan nomor dikocok, dan diambil acak dengan

mata tertutup. Sembilan tikus pertama yang terpilih adalah kelompok


50

pemberian sarang telur laba laba dan sembilan tikus lainnya adalah

kelompok kontrol.

Tahap selanjutnya sampel yang telah terpilih untuk setiap

kelompok diberi penandaan dengan cara memberi nomor pada punggung

tikus dengan spidol permanen dan selanjutnya diplester. Tikus pada

kelompok srang telur laba laba ditandai mulai dari P1-P9, kemudian

kelompok kontrol ditandai dengan K1-K9.

Tahap selanjutnya bagian punggung tikus dicukur dan dianastesi

dengan lidokain. Luka insisi dibuat dengan cara melakukan penyayatan

pada kulit dengan cara yang steril dengan menggunakan pisau bedah

dengan panjang luka 3 cm dengan kedalaman luka sampai area subkutan

(1 mm). Setelah itu, pada masing-masing kelompok dilakukan perawatan

luka insisi menggunakan sarang telur laba laba untuk kelompok perlakuan

dan kelompok kontrol hanya dibilas dengan normal salin. Perawatan luka

insisi dilakukan 2 hari sekali setelah dilakukan perlukaan yaitu pada hari

ke-0, ke-2, dan ke-4. Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap proses

penyembuhan luka pada hari ke-2, dan hari ke-5. Penilaian luka dilakukan

pada hari ke-2, dan ke-5 untuk melihat kondisi luka pada fase inflamasi.

Aspek yang dinilai pada proses penyembuhan luka adalah Fase inflamasi

(hari ke-2 dan ke-5): kemerahan, edema, luka terlihat kering.


51

Alur penelitian
I. Alur Penelitian

Unit eksperimen di aklimatisasi selama 3 hari

Penukuran berat badan

K1 P1

Pembuatan luka insisi pada sisi punggung tikus

Pemberian topikal sarang telur laba laba pada P1 dan normal


salin 0,9% pada K1

Perawatan luka dilakukan 2 hari sekali setelah dilakukan


perlakuan yaiti pada hari ke-0,ke-2, dan ke-4

Penilaian proses penyembuhan luka pada hari ke-2 dan ke-


5

Analisis data dan penarikan kesimpulan


52

Gambar IV.2 Alur penelitian

J. Analisis Data

Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah

Independent Samples Test (t-test)untuk menguji pengaruh pemberian

sarang telur laba laba terhadap proses penyembuhan luka pada fase

inflamasi yaitu kemerahan luka, edema, dan cairan pada luka. Data Diolah

dengan menggunakan program SPSS 17 for windows.


53
IX. DAFTAR PUSTAKA

Ali Taqwim (2013) . Periodontal Dressing-containing Green Tea


Epigallocathechin gallate Increases Fibroblasts Number in Gingival Artifical
Wound Model . Journal of Dentistry Indonesia 2013, Vol. 20, No. 3, 68-72

Allmeling, C., A. Jokuszies (2006). "Use of spider silk fibres as an innovative


material in a biocompatible artificial nerve conduit." Journal of Cellular and
Molecular Medicine 10(3): 770-777.

Broughton II, G., Janis, J.E., Attiger, C.E. 2006. Wound healing : an overview.
Plastic Reconstruction Surgery 117 (supplement). Vol. 01, p.3

Brown CP, R. F., Traversa E, Licoccia S. (2011). "Spider silk as a load bearing
biomaterial: tailoring mechanical properties via structural modifications."
Nanoscale Materials and Modeling-Relations among Processing,
Microstructure and Mechanical Properties.Vol.3.p.6

Chattopadhyay (2008). Protein expression of silk venom of Indian spiders


(Tetragnathidae) and effect on hemostatic activity. Pharmacognosy
Magazine. Vol 4. Issue 15 (Suppl). Jul-Sep. 2008. India

Craig, C.L., Riekel, C (2002). Comparative architecture of silks, fibrous proteins


and their encoding genes in insects and spiders. Comparative Biochemistry
and Physiology B- Biochemistry & Molecular Biology 2002; 133(4):493-
507.

Departemen Kesehatan. Riset kesehatan dasar; laporan nasional badan penelitian


dan pengembangan kesehatan. Jakarta: Depkes RI; 2008.

Dewi, Sinta Prastiana (2010) Perbedaan Efek Pemberian Lendir Bekicot


(Achatina fulica) dan Gel Bioplacenton Terhadap Penyembuhan Luka
Bersih Pada Tikus Putih. Other thesis, Universitas Negeri Sebelas Maret.

Dicko, C., Vollrath, F., & Kenney, J. M (2004), Spider silk protein refolding is
controlled by changing pH. Biomacromolecules, 5(3), p.704-710.

Foelix, R. (1996), Biology of spiders. New York: Oxford University Press, Ed. I ,
P.3.

Gayatri (2008). Perbandingan Penyembuhan Luka Terbuka Menggunakan Balutan


Madu Atau Balutan Normal Salin-Povidone Iodine . Jurnal Keperawatan
Indonesia, Volume 12, No. 1, hal 34-39

54
55

Gurtner, G.C. (2007). Wound Healing : Normal and Abnormal. Grabb dan Smiths
Plastic Surgery. Sixth Edition. Philadelphia. p. 15-22.

Handayani D.I, Barid I, Rahayu Y.C, Kurniawati A, Y ustisia Y . (2005). Petunjuk


Praktikum Biologi Mulut. FKG Jember. Hal 5-10

Ismail. (2008), Luka dan Perawatannya. http://images.mailmkes.multiply.com.


Tanggal 25 Maret 2016 Jam 14.00 WIB.

Jadhav, D. (2009). "Light wieght and rip proof fabrics from spider silk."
http://www.fibre2fashion.com/industry-article/17/1618/light-weight-and-
rip-proof-fabrics-from-spider-silk1.asp.Diakses pada tanggal 7 april pukul
19.00 WIB

Junquiera LC dan Jose Carneiro (2005). Basic histology: text and atlas. New
York: McGraw- Hill. Edisi ke-11.p.5

Kalangi, S.J.R (2004). Peran kolagen pada persembuhan luka :


http://www.dexamedika.com/tes/htdocs/dexamedika/articlefiles/kolagen/.
Diakses pada tanggal 15 mei 2016 pada pukul 19.00 WIB

Keller, U., Kumin, A., Braun, S., Werner, S. (2006) . Reactive Oxygen Species
and Their Detoxification in Healing Skin Wounds. Journal of Investigative
Dermatology Symposium Proceedings. Volume 11.

Kim H.S. 2007 . Preparation of porous chitosan/fibroin-hydroxyapatite composite


matrix for tissue engineering , Macromoloculer Research , Vol. 15, No. 1,pp
65-73 (2007)

Kumar. 2005. Spiders silk: Investigation of spinning process, web material and
its properties. Biological Sciences and Bioengineering. IIT . Kanpur .

Lammel, A dan M. Schwab (2010). "Recombinant spider silk particles as drug


delivery vehicles." Biomaterials.Vol.(8),p.40

Li, J., Chen, J dan Kirsner, R. (2007). Pathophysiology of acute wound healing.
Clinics in Dermatology. Vol: 25. p. 9-18.

Malole MBM, Pramono USC, 1989. Penggunaan hewan-hewan percobaan di


laboratorium. Pusat antar universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mansjoer, A(2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi 3. Jakarta: Media


Aesculapius.hal 88-90

Nagori, B.D. dan Solanki, R. (2011). Role of Medicinal Plants in Wound Healing.
Research Journal of Medicinal Plant 5 (4). p. 392-405.
56

Nayak, B.S., Sandiford, S., Maxwell, A. (2007). Evaluation of the Wound-healing


Activity of Ethanolic Extract of Morinda citrifolia L.Leaf. Evid Based
Complement Alternative Medicine; 6 (3). p. 351-356.

Perdanakusuma, D. (2005). Skin Grafting. Surabaya: Airlangga University Press,


hal: 3-11.

Potter, P. dan Anne Griffin Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan.
Ed. 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedoktran EGC, Hal: 1853-1857.

Reddy, G.A.K., Priyanka, B., Saranya, Ch.S., Kumar, C.K.A. (2012). Wound
Healing Potential Of Indian Medicinal Plants. International Journal of
Pharmacy Review & Research. Vol: 2. p. 75-78.

Robin GB, Tony B. Lecture notes: dermatologi. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga;
2005
Rohit S.Gole dan Prateek Kumar (2005). Spiders silk: Investigation of spinning
process, web material and its properties. Department of Biological Sciences
and Bioengineering, Indian Institute of Technology Kanpur, Kanpur-
208016.

Romo, T. 2012. Skin Wound Healing. Medscape reference. Available from:


http://www.charite.de/klinphysio/bioinfo/3_k-pathophy-
fromm/05ws_skripten/Krause/webscript_krause.htm. Accessed : October
10, 2012.

Schafer, M. and Werner, S. 2012. Cancer as an overhealing wound : An old


hypothesis revisited. Institute of Cell Biology. Vol: 9. p. 628-638.

Sebastian, P.A.; Peter, KV, ed. (2009). Spiders of India (dalam bahasa Inggris).
Hyderabad, India: Universities Press (India) Private Ltd

Sjamsuhidajat dan Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3. Jakarta:
EGC.

Singer, A.J. and Clark, R.A.F. 1999. Cutaneus Wound Healing. N England
Medicine. 341 (10) : 738-754.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. Pemeliharaan, pembiakan, dan penggunaan hewan


percobaan di daerah tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia; 1988.

Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja (2007) . Obat obat penting : khasiat ,
penggunaan , dan efek efek sampingnya , VI , PT elex media komputindo,
jakarta , hal 887-889
57

Ueno, C., Hunt, T.K., Hopf, H.W. 2006. Using Physiology to Improve Surgical
Wound Outcomes. Plastic Reconstruction Surgery; 117 (supplement): 59S-
71S.

Vollrath, F. and D. P. Knight (2001). "Liquid crystalline spinning of spider silk."


Nature 410(6828): 541-548.

Wayne PA dan Flanagan (2006). Managing chronic wound pain in primary care.
Practice Nursing. Vol.12. p.31.

Widhe, M., Johansson, J., Hedhammar, M. & Rising, A. Current progress and
limitations of spider silk for biomedical applications. Biopolymers 97, 468
478 (2012).

Woro Riyadina . (2009) .Pola dan Determinan Sosiodemografi Cedera Akibat


Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia . Maj Kedokt Indon, Volum: 59, p.10

Zhao, A. C., T. F. Zhao. (2005). "Unique molecular architecture of egg case silk
protein in a spider, Nephila clavata." Journal of Biochemistry 138(5): 593-
604

Anda mungkin juga menyukai