Anestesi
Anestesi
A. Anatomi Vertebra
Tulang vertebrae merupakan struktur kompleks yang secara garis besar terbagi atas
2 bagian. Bagian anterior tersusun atas korpus vertebra, diskus intervertebralis (sebagai
artikulasi), dan ditopang oleh ligamnetum longitudinale anterior dan posterior.
Sedangkan bagian posterior tersusun atas pedikel, lamina, kanalis vertebralis, serta
prosesus tranversus dan spinosus yang menjadi tempat otot penyokong dan pelindung
kolumna vertebrale. Bagian posterior vertebra antara satu dan lain dihubungkan dengan
sendi apofisial.
Menurut Haldeman et al (2002), Diskus intervertebralis baik anulus fibrosus
maupun nukleus pulposusnya adalah bangunan yang tidak peka nyeri,dan yang
merupakan bagian peka nyeri adalah:
Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis merupakan salah satu
faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan tentang
penyebaran analgesia lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia diperlukan
untuk menjaga keamanan tindakan anestesi spinal.
Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam spinal anestesi,
karena sebagian besar penusukan pada spinal anestesi dilakukan pada daerah ini.
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 bagian
yaitu 7 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis
mempunyai empat lengkungan yaitu daerah servikal dan lumbal melengkung ke depan,
daerah thorakal dan sakral melengkung ke belakang sehingga pada waktu berbaring
daerah tertinggi adalah L3, sedang daerah terendah adalah L5.
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu
kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater.
Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medulla
spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang
yang disebut ruang sub arakhnoid.
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga dibawah
batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid merupakan sebuah
rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh
darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medulla spinalis. Pada orang dewasa medulla
spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.
Cairan serebrospinal yang berada di ruang subarakhnoid merupakan salah satu proteksi untuk
melindungi jaringan otak dan medula spinalis terhadap trauma atau gangguan dari luar.
Pada orang dewasa volume intrakranial kurang lebih 1700 ml, volume otak sekitar 1400 ml,
volume cairan serebrospinal 52-162 ml (rata-rata 104 ml) dan darah sekitar 150 ml. 80% dari
jaringan otak terdiri dari cairan, baik ekstra sel maupun intra sel.
Rata-rata cairan serebrospinal dibentuk sebanyak 0,35 ml/menit atau 500 ml/hari, sedangkan
total volume cairan serebrospinal berkisar 75-150 ml dalam sewaktu. Ini merupakan suatu
kegiatan dinamis, berupa pembentukan, sirkulasi dan absorpsi. Untuk mempertahankan jumlah
cairan serebrospinal tetap dalam sewaktu, maka cairan serebrospinal diganti 4-5 kali dalam
sehari.
Perubahan dalam cairan serebrospinal dapat merupakan proses dasar patologi suatu kelainan
klinik. Pemeriksaan cairan serebrospinal sangat membantu dalam mendiagnosa penyakit-
penyakit neurologi. Selain itu juga untuk evaluasi pengobatan dan perjalanan penyakit, serta
menentukan prognosa penyakit. Pemeriksaan cairan serebrospinal adalah suatu tindakan yang
aman, tidak mahal dan cepat untuk menetapkan diagnosa, mengidentifikasi organisme
penyebab serta dapat untuk melakukan test sensitivitas antibiotika.
Pembentukan CSS melalui 2 tahap, yang pertama terbentuknya ultrafiltrat plasma di luar
kapiler oleh karena tekanan hidrostatik dan kemudian ultrafiltrasi diubah menjadi sekresi pada
epitel khoroid melalui proses metabolik aktif. Mekanisme sekresi CSS oleh pleksus khoroideus
adalah sebagai berikut: Natrium dipompa/disekresikan secara aktif oleh epitel kuboid pleksus
khoroideus sehingga menimbulkan muatan positif di dalam CSS. Hal ini akan menarik ion-ion
bermuatan negatif, terutama clorida ke dalam CSS. Akibatnya terjadi kelebihan ion di dalam
cairan neuron sehingga meningkatkan tekanan somotik cairan ventrikel sekitar 160 mmHg
lebih tinggi dari pada dalam plasma. Kekuatan osmotik ini menyebabkan sejumlah air dan zat
terlarut lain bergerak melalui membran khoroideus ke dalam CSS. Bikarbonat terbentuk oleh
karbonik abhidrase dan ion hidrogen yang dihasilkan akan mengembalikan pompa Na dengan
ion penggantinya yaitu Kalium. Proses ini disebut Na-K Pump yang terjadi dgnbantuan Na-K-
ATP ase, yang berlangsung dalam keseimbangan. Obat yang menghambat proses ini dapat
menghambat produksi CSS. Penetrasi obat-obat dan metabolit lain tergantung kelarutannya
dalam lemak. Ion campuran seperti glukosa, asam amino, amin danhormon tyroid relatif tidak
larut dalam lemak, memasuki CSS secara lambat dengan bantuan sistim transport membran.
Juga insulin dan transferin memerlukan reseptor transport media. Fasilitas ini (carrier) bersifat
stereospesifik, hanya membawa larutan yang mempunyai susunan spesifik untuk melewati
membran kemudian melepaskannya di CSS.
Natrium memasuki CSS dengan dua cara, transport aktif dan difusi pasif. Kalium disekresi
ke CSS dgnmekanisme transport aktif, demikian juga keluarnya dari CSS ke jaringan otak.
Perpindahan Cairan, Mg dan Phosfor ke CSS dan jaringan otak juga terjadi terutama dengan
mekanisme transport aktif, dan konsentrasinya dalam CSS tidak tergantung pada
konsentrasinya dalam serum. Perbedaan difusi menentukan masuknya protein serum ke dalam
CSS dan juga pengeluaran CO2. Air dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke CSS dan
juga pengeluaran CO2. Air dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke CSS dan ruang
interseluler, demikian juga sebaliknya. Hal ini dapat menjelaskan efek cepat penyuntikan
intervena cairan hipotonik dan hipertonik.
Ada 2 kelompok pleksus yang utama menghasilkan CSS: yang pertama dan terbanyak
terletak di dasar tiap ventrikel lateral, yang kedua (lebih sedikit) terdapat di atap ventrikel III
dan IV. Diperkirakan CSS yang dihasilkan oleh ventrikel lateral sekitar 95%. Rata-rata
pembentukan CSS 20 ml/jam. CSS bukan hanya ultrafiltrat dari serum saja tapi
pembentukannya dikontrol oleh proses enzimatik.
CSS dari ventrikel lateral melalui foramen interventrikular monroe masuk ke dalam ventrikel
III, selanjutnya melalui aquaductus sylvii masuk ke dlam ventrikel IV. Tiga buah lubang dalam
ventrikel IV yang terdiri dari 2 foramen ventrikel lateral (foramen luschka) yang berlokasi pada
atap resesus lateral ventrikel IV dan foramen ventrikuler medial (foramen magendi) yang
berada di bagian tengah atap ventrikel III memungkinkan CSS keluar dari sistem ventrikel
masuk ke dalam rongga subarakhnoid. CSS mengisi rongga subarakhnoid sekeliling medula
spinalis sampai batas sekitar S2, juga mengisi keliling jaringan otak. Dari daerah medula
spinalis dan dasar otak, CSS mengalir perlahan menuju sisterna basalis, sisterna ambiens,
melalui apertura tentorial dan berakhir dipermukaan atas dan samping serebri dimana sebagian
besar CSS akan diabsorpsi melalui villi arakhnoid (granula Pacchioni) pada dinding sinus
sagitalis superior. Yang mempengaruhi alirannya adalah: metabolisme otak, kekuatan
hidrodinamik aliran darah dan perubahan dalam tekanan osmotik darah.
CSS akan melewati villi masuk ke dalam aliran adrah vena dalam sinus. Villi arakhnoid
berfungsi sebagai katup yang dapat dilalui CSS dari satu arah, dimana semua unsur pokok dari
cairan CSS akan tetap berada di dalam CSS, suatu proses yang dikenal sebagai bulk flow. CSS
juga diserap di rongga subrakhnoid yang mengelilingi batang otak dan medula spinalis oleh
pembuluh darah yang terdapat pada sarung/selaput saraf kranial dan spinal. Vena-vena dan
kapiler pada piameter mampu memindahkan CSS dengan cara difusi melalui dindingnya.
Perluasan rongga subarakhnoid ke dalam jaringan sistem saraf melalui perluasaan sekeliling
pembuluh darah membawa juga selaput piametr disamping selaput arakhnoid. Sejumlah kecil
cairan berdifusi secara bebas antara cairan ekstraselluler dan css dalam rongga perivaskuler
dan juga sepanjang permukaan ependim dari ventrikel sehingga metabolit dapat berpindah dari
jaringan otak ke dalam rongga subrakhnoid. Pada kedalaman sistem saraf pusat, lapisan pia
dan arakhnoid bergabung sehingga rongga perivaskuler tidak melanjutkan diri pada tingkatan
kapiler.
Cairan serebrospinal dibentuk dari kombinasi filtrasi kapiler dan sekresi aktif dari epitel. CSS
hampir meyerupai ultrafiltrat dari plasma darah tapi berisi konsentrasi Na, K, bikarbonat,
Cairan, glukosa yang lebih kecil dankonsentrasi Mg dan klorida yang lebih tinggi. Ph CSS
lebihrendah dari darah
B. ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal termasuk ke dalam teknik neuroaksial blok, yang terdiri dari blokade
spinal, kaudal, dan epidural. Blokade spinal, kaudal, dan epidural pertama kali
digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad ke 20 Blok sentral tersebut secara
luas digunakan sebelum tahun 1940 sampai meningkatnya laporan tentang terjadinya
gangguan neurologis permanen. Akan tetapi, suatu penelitian epidemiologis yang besar
tahun 1950 menunjukkan bahwa sesungguhnya komplikasi jarang terjadi bila blok
dilakukan dengan teknik yang benar dan penggunaan obat anestesi lokal yang lebih
aman
Anestesi atau analgesi spinal pertama diberikan pada tahun 1885 oleh James
Leonard Corning (1855-1923), yang merupakan seorang ahli saraf di New York. Ia
bereksperimen dengan kokain pada saraf tulang belakang anjing, tetapi ketika itu dia
secara tidak sengaja menembus duramater. Anestesi spinal pertama direncanakan untuk
operasi pada manusia dilakukan oleh Agustus Bier (1861- 1949) tanggal 16 Agustus
1898, di Kiel, ketika ia menyuntikkan 3 ml larutan kokain 0,5% pada pasien 34
tahunSetelah menggunakannya pada 6 pasien, dia dan asistennya masing-masing
menyuntikkan kokain ke dalam tulang belakang pasien yang lain. Karena
efektifivitasnya (anestesi spinal), maka mereka merekomendasikan anestesi spinal
untuk operasi kaki, tetapi mereka akhirnya tidak menggunakan lagi anestesi spinal
karena toksisitas kokain. Sampai saat ini Agustus Bier dikenal sebagai Bapak anestesi
spinal.
Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Spinal
Ada kontraindikasi absolut dan relatif terhadap anestesi spinal. Satu- satunya
kontraindikasi absolut adalah penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan,
hipovolemia, penyakit neurologis tertentu, koagulopati darah, dan peningkatan tekanan
intrakranial Kontraindikasi relatif meliputi sepsis yang berbeda dari tempat tusukan
(misalnya, korioamnionitis atau infeksi ekstremitas bawah) dan lama operasi yang
waktunya belum bisa diperkirakan. Dari kasus yang pertama, jika pasien diobati dengan
antibiotik dan tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan
Indikasi
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada
kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan
prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal L2-
L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap
medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan (Bupivacain 20 mg)
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar
likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu
dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa 6cm. Posisi:
Posisi Duduk
Pasien duduk di atas meja operasi
Dagu di dada
Tangan istirahat di lutut
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang
menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang
subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 untuk menghasilkan onset
anestesi yang cepat dengan derajat keberhasilan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana,
dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang
mempengaruhi distribusi anestesi lokal diruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan
mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal
Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Pada pemakaian sehari- hari, obat
ini dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan amino amida. Ikatan ester
mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan oleh plasma esterase, mula kerja lambat,
lama kerja pendek dan hanya sedikit menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah
menjadi tidak aktif oleh hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan lebih
banyak menembus jaringan. Kelompok ester antara lain procaine, chloroprocaine dan
tetracaine. Kelompok amida antara lain lidocaine, mepivacaine, bupivacaine dan etidocaine.
Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain5% sudah ditinggalkan
karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain menjadi pilihan utama untuk
anestesi spinal saat ini. Anestesi lokal dapat dibuat isobarik, hiperbarik atau hipobarik terhadap
cairan serebrospinal. Barisitas anestesi lokal mempengaruhi penyebaran obat tergantung dari
posisi pasien. Larutan hiperbarik disebar oleh gravitasi, larutan hipobarik menyebar
berlawanan arah dengan gravitasi dan isobarik menyebar lokal pada tempat injeksi. Setelah
disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat anestesi lokal akan dipengaruhi oleh
berbagai faktor terutama yang berhubungan dengan hukum fisika dinamika dari zat yang
disuntikkan, antara lain Barbotase (tindakan menyuntikkan sebagian zat anestesi lokal ke
dalam cairan serebrospinal, kemudian dilakukan aspirasi bersama cairan serebrospinal dan
penyuntikan kembali zat anestesi lokal yang telah bercampur dengan cairan serebrospinal),
volume, berat jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah penyuntikan
1. Gravitasi: Cairan serebrospinal pada suhu 37C mempunyai BJ 1,003- 1,008. Jika
larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal akan bergerak oleh
gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan larutan hipobarik akan bergerak
berlawanan arah dengan gravitasi seperti menggantung dan jika larutan isobarik akan
tetap dan sesuai dengan tempat injeksi.
2. Postur tubuh : Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula spinalisnya dan
volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin banyak sehingga penderita yang
lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih banyak dari pada yang pendek.
3. Tekanan intra abdomen: Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan bendungan
saluran pembuluh darah vena abdomen dan juga pelebaran saluran-saluran vena di
ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural akan menyempit dan akhirnya akan
menyebabkan penekanan ke ruang subarakhnoid sehingga cepat terjadi penyebaran
obat anestesi lokal ke kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan seperti ini.
4. Anatomi kolumna vertebralis :Anatomi kolumna vertebralis akan mempengaruhi
lekukan-lekukan saluran serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi tinggi
anestesi spinal pada penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik.
5. Tempat penyuntikan : Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang
dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan penyebaran
obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L4- 5.
6. Manuver valsava : Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih besar jika
tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara mengedan.
7. Volume obat : Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu percobaan yang
dilakukan oleh Anellson (1984), dikatakan bahwa penyebaran maksimal obat kearah
sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit pada semua jenis volume obat (1,5 cc,
2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula kerja untuk tercapainya blok motorik akan bertambah pendek
waktunya dengan bertambahnya volume. Makin besar volume obat makin tinggi level
blok sensoriknya.
8. Konsentrasi obat : Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain 0,75%
hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat kearah sefalad lebih tinggi beberapa
segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik. Lama kerja obat akan lebih
panjang secara bermakna pada penambahan volume obat bupivakain 0,75%. Demikian
pula perubahan kardiovaskuler akan berbeda bermakna pada bupivakain 0,75%
hiperbarik.
9. Posisi tubuh : Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan tidak ada
pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada tubuh, sedangkan pada jenis
larutan hiperbarik akan dipengaruhi posisi tubuh. Pada larutan hiperbarik posisi
terlentang bisa mencapai level blok T4 pada posisi duduk hanya mencapai T8.
10. Lateralisasi : Lateralisasi pada larutan dengan posisi berbaring miring (lateral
dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan bahwa 5 menit setelah
penyuntikan obat, penyebaran obat pada sisi bawah mencapai T6,sedangkan pada sisi
atas mencapai T7.
Mekanisme anestetikum lokal yaitu dengan menghambat hantaran saraf bila dikenakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Bahan ini bekerja pada tiap bagian
susunan saraf. Anestetikum lokal mencegah terjadi pembentukan dan konduksi impuls saraf.
Tempat kerjanya terutama di membran sel, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja.
Potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat permeabilitas membrane ringan
pada membran. Proses inilah yang dihambat oleh anestetikum lokal, hal ini terjadi akibat
adanya perubahan voltase muatan listrik. Dengan semakin bertambahnya efek anestesi lokal di
dalam saraf, maka ambang rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan
peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman
konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan kemungkinan
menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi saraf.
Komplikasi intraoperatif:
1. Komplikasi kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi karena
vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola
sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang
akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan
pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau
fenilefedrin.
Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal.
Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun
hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau hipoksia
bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek
bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,Ringer
laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah penyuntikan
anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati
dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-4menit sampai
mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik
berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.
Komplikasi respirasi
1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru
normal.
2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi
berat dan iskemia medulla.
4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-tanda tidak
adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.
Komplikasi postoperative:
Komplikasi gastrointestinal
1. Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis
berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal
serta komplikasi delayed,pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak.
Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi.
Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.
2. Nyeri kepala
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri
kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi
epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum
yang digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri
kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda
dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 48
jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di
area oksipital dan menjalar ke retro orbital, dan sering disertai dengan tanda
meningismus, diplopia, mual, dan muntah.
Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila
pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan
berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 48
jam harus di coba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau
intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava
akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural,
seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan
tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti
suntikan salin kedalam epidural untuk menghentikan kebocoran.
3. Nyeri punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan jarum
yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan
atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan
jarum dapat di obati secara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu
yang singkat sahaja.
Komplikasi neurologik
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi neurologik
yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah
anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic
hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam beberapa
hari.
Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin
dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan.
Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat
yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.
Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya
terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh
defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat
reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal.
Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.
Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda spinal.
Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada spinal maupun
epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural adalah jarang, tapi
tetap berlaku.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang berlaku karena
ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh
darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang menyebar ke
ruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah
jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada
2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya tidak merata dan adalah
sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya akibat dari kerusakan
didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri :
kekurangan bekalan darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan bekalan darah dari
arteri-arteri yang diganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi
yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi
aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya
sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal menggunakan
obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin yang
menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau pembuluh darah yang memberikan
bekalan darah.
Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan
aliran darah. Infeksi dari spinal adalah sangat jarang kecuali dari penyebaran bacteria secara
hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada
pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran ke bakteri ke
spinal. Oleh yang demikian, penggunaan anestesi spinal pada pasien dengan bakteremia
merupakan kontra indikasi relatif. Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan
menyebabkan araknoiditis. Tanda dan symptom yang paling prominen pada komplikasi ini
adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh
itu, adalah tidak benar jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi
kulit loka pada area lumbar atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini
adalah dengan pemberian antibiotik dan drenase jika perlu.
Dengan kemajuan teknik anestesi saat ini, tujuan utama pemberian premedikasi tidak hanya
untuk mempermudah induksi ataupun mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan namun
yang terpenting adalah mengurangi resiko morbiditas perioperatif sehingga akan mempercepat
proses pemulihan setelah anestesi dan pembedahan. Premedikasi adalah tindakan awal
anestesia dengan memberikan obat-obatan pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan
antikholinergik, sedasi/trankuilizer, dan analgetik. Premedikasi dapat menggunakan satu obat
atau kombinasi dari beberapa obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergantung tujuan dari
premedikasi itu sendiri.
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, yang meliputi bebas dari rasa
takut, cemas, bebas nyeri, dan mencegah mual-muntah. Kunjungan preanestesi dan
pemberian simpati serta sedikit pengertian dalam masalah yang dihadapi pasien
seringkali membantu pasien dalam mengatasi rasa sakit dan khawatir dalam
menghadapi operasi.
Setelah selesai tindakan pembedahan, paseien harus dirawat sementara di ruang pulih
sadar (recovery room : RR) sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi
dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan).
PACU atau RR biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi. Hal ini disebabkan untuk
mempermudah akses bagi pasien untuk (1) perawat yang disiapkan dalam merawat pasca
operatif (perawat anastesi) (2) ahli anastesi dan ahli bedah (3) alat monitoring dan peralatan
khusus penunjang lainnya.
Alat monitoring yang terdapat di ruang ini digunakan untuk memberikan penilaian terhadap
kondisi pasien. Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah alat bantu pernafasan : oksigen,
laringoskop, set trakheostomi, peralatan bronkhial, kateter nasal, ventilator mekanik dan
peralatan suction. Selain itu di ruang ini juga harus terdapat alat yang digunakan untuk
memantau status hemodinamika dan alat-alat untuk mengatasi permasalahan hemodinamika,
seperti : apparatus tekanan darah, peralatan parenteral, plasma ekspander, set intravena, set
pembuka jahitan, defibrilator, kateter vena, torniquet. Bahan-bahan balutan bedah, narkotika
dan medikasi kegawatdaruratan, set kateterisasi dan peralatan drainase.
Selain alat-alat tersebut diatas, pasien post operasi juga harus ditempatkan pada tempat tidur
khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan akses bagi pasien, seperti : pemindahan
darurat. Dan dilengkapi dengan kelengkapan yang digunakan untuk mempermudah perawatan.
Seperti tiang infus, side rail, tempat tidur beroda, dan rak penyimpanan catatan medis dan
perawatan. Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pegaruh anastesi,
yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernafasan adekuat, saturasi oksigen minimal 95% dan
tingkat kesadaran yang baik. Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan
pasien untuk dikeluarkan dari PACU adalah :
Fungsi pulmonal yang tidak terganggu
Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
Orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang
Haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam
Mual dan muntah dalam kontrol
Nyeri minimal
Kamar pulih sadar merupakan perluasan kamar operasi, harus terbuka sepanjang hari dan
pengamatan secara intensif yang dilakukan didalamnya. Hal ini dapat diartikan karena pada
masa transisi tersebut kesadaran penderita belum pulih secara sempurna sehingga
kecenderungan terjadinya sumbatan jalan napas lebih besar dan ditambah lagi reflek
perlindungan seperti reflek batuk, muntah maupun menelan belum kembali normal,
kemungkinan terjadi aspirasi yang sangat di rasakan dimana pengaruh obat anestesi dan trauma
pasca operasi masih belum hilang dan masih mengancam status respirasi dan kardiovaskuler
penderita. Upaya pengamatan yang amat cermat terhadap tanda-tanda vital penderita
merupakan modal dasar yang amat ampuh dalam mencegah penyulit yang tidak diinginkan.
SKOR BROMAGE
Bromage score merupakan salah satu indikator respon motorik pasca anestesi.
Bernilai 0 jika terdapat gerakan penuh tungkai
Bernilai 1 jika tak mampu ekstensi tungkai
Bernilai 2 jika tak mampu fleksi lutut
Bernilai 3 jika tak mampu fleksi pergelangan kaki
Jika nilai bromage score kurang dari sama dengan 2, pasien boleh pindah ke ruangan
BAB III
LAPORAN ANESTESI
A.PREOPERASI
1. Lembar imformed consent (+) : sebelum melakukan tindakan anestesi keluarga pasien
diberi tahun tentang cara dan resiko dari obat anestesi yang akan di masukkan ke
dalam tulang vertebra, baik keluarga dan pasien telah setuju.
2. Pasien puasa 6 jam sebelum dilakukan operasi
3. Terpasang RL 20 tetes/menit
4. ACC anestesi ASA II SAB
5. Persiapan obat dan alat anestesi
Bupivaciain 0,5%
Fentanyl 1 ampl = 50 mcq/ ml ( sedian 2 ml)
Jarum spinal no.25 G
Spuit 5 cc
Kanus nasal
Inhalasi 02 3 liter/ menit
Kesadaran : komposmentis
B.PREMEDIKASI
Injeksi ondansetron 8 mg
Injeksi ketorolac 30 mg
C.INRAOPERASI
Tanggal 21-06-2016
Induksi:fentanyl 20 mcq
Recain : 15 mg
Mulai anestesi 8:50
1 Pasien masuk
Pemasangan manset dan pulse oximeter untuk memantau TD,N dan
SP02
Kesadaran : komposmentis
Tanda vital :
Nadi : 88 x/menit
Spo2 : 100%
PEMBAHASAN
Pasien ini didiagnosis DKP, malposisi, G2P1A0 berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik.
Sebelum dilakukan operasi pasien diminta untuk puasa lebih dari 6 jam, dan menambahkan
cairan isotonic menggunakan RL. Untuk obat premedikasi menggunakan ondansetron 8 mg
dan ketorolac 30 mg, bertujuan untuk mencegah efek samping yang mungkin bisa terjadi.
Ondansetron termasuk obat 5-HT3 reseptor antagonis dengan menghambat aktivitas aferen
everen vagal sehingga menekan terjadi reflek muntah. Ketorolac termasuk anti nyeri , untuk
mengurangi rasa sakit derajat sedang .
Induksi menggunakan buvicane , merupaka obat anestesi local jenis amida yang masa
kerjanya panjang . obat ini mmembelokade yang bersifat reversible pada perambatan impuls
sepanjang serabut saraf dengan cara mencegah pergerakan ion-ion batrium melalui membrane
sel kedalam sel. Obat ini digunakan pada operasi perut sekitar 45 60 menit.
Adjuvant menggunakan fentanyl , merupakan obat narkotik (opioid). Dosis yang digunakan
20 mcq , moderate 2-20 mcq/kg, high 20-50 mcq. Dosis rendah untuk menghindari respiratory
depression.
DAFTAR PUSTAKA