16 04 055
3. Etiologi
Penyebab cedera kepala adalah tabrakan lalu lintas kendaraan bermotor, rumah
dan kecelakaan kerja, jatuh, dan serangan. Kecelakaan sepeda juga merupakan
penyebab umum cedera kepala yang berhubungan dengan kematian dan cacat,
terutama di kalangan anak-anak. (Wikipedia, 2009)
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi pada kecelakaan lalu
lintas. (Mansjoer, 2000:3)
4. Patofisiologi
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya trauma kepala yang terjadi. Ada 2 mekanisme cedera yang bisa
terjadi, yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).
Cedera percepatan (aselerasi) terjadi ketika benda yang bergerak membentur kepala
yang diam. Sedangkan, cedera perlambatan (deselerasi) terjadi ketika kepala
membentur objek yang relatif tidak bergerak, misalnya tanah (Gallo, 1996:226).
Kombinasi mekanisme ini mengakibatkan terjadinya cedera pada jaringan otak
dan menimbulkan kerusakan pada sawar darah otak (Blood Brain Barrier). Cedera
jaringan tersebut mengakibatkan degranulasi sel-sel mast yang terdapat dalam
jaringan otak. Degranulasi ini memacu pelepasan histamin yang menimbulkan efek
vaskuler berupa peningkatan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler
(Price, 2005:62).
Peningkatan permeabilitas kapiler memicu terjadinya eksudasi cairan dari
intravaskuler ke jaringan interstisiil otak dan menimbulkan edema serebral (Price,
2005:1168).
Selain itu, trauma yang terjadi menimbulkan destruksi pada vaskuler di daerah
kepala. Destruksi ini menimbulkan hematoma. Hematoma dan edema serebral dapat
berpengaruh pada peningkatan TIK. Peningkatan TIK didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh
jaringan otak (1400 gram), darah (sekitar 75ml), dan cairan serebrospinal (sekitar
75ml). Keseluruhan volume tersebut menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal
sebesar 4-15 mmHg. Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga komponen ini
mengakibatkan desakan pada ruang dan menaikkan tekanan intrakranial (Price,
2005:1167).
Peningkatan TIK yang terjadi mempengaruhi kecepatan aliran darah ke otak
dan penekanan pada pusat pernafasan medulla oblongata dan pons. Penurunan
kecepatan aliran darah ke otak (Cerebral Blood Flow) mengakibatkan berkurangnya
suplai darah ke otak, sehingga memunculkan masalah perfusi jaringan serebral tidak
efektif (Nanda, 2005:233). Sedangkan, penekanan pada medulla oblongata dan pons
menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi pernafasan (Guyton, 2007:539).
Gangguan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa pola nafas tidak efektif
(Nanda, 2005:27). Kombinasi antara gangguan suplai O2 ke otak dan gangguan pada
fungsi pernafasan akibat penekanan fungsi pernafasan membutuhkan tindakan
pemasangan intubasi ETT dan mayo yang bertujuan untuk mempertahankan
kepatenan jalan nafas dan membantu pemenuhan kebutuhan oksigen secara adekuat.
Keadaan ini dapat mengurangi respon batuk pada pasien, dan membuat sekret
menumpuk pada saluran pernafasan. Penumpukan sekret ini menimbulkan masalah
keperawatan berupa bersihan jalan nafas tidak efektif (Nanda, 2005:4).
Selain itu, trauma kepala juga mengakibatkan terjadinya destruksi vaskuler.
Destruksi ini mengakibatkan hilangnya/ berkurangnya cairan dalam intravaskuler.
Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa kekurangan volume cairan
tubuh (Nanda, 2005:89). Selain itu, trauma kepala juga menimbulkan lesi pada daerah
kepala. Lesi ini dapat menjadi pintu masuk bagi agen infeksius untuk menyerang
pertahanan tubuh. Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa risiko
infeksi (Nanda, 2005:121).
5. Manifestasi Klinik
Gangguan tanda vital, apatis, letargi, berkurangnya perhatian, menurunnya
kemampuan untuk mempergunakan percakapan kognitif yang tinggi, hemiparesis,
kelainan pupil, pusing menetap, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan bicara,
hipoksia, hipotensi sistemik, hilangnya autoregulasi aliran darah, inflamsi, edema,
peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi dalam waktu singkat (Price.
2003:1177 ).
Menurut Doengoes (2000: 270-272) tanda dan gejala dari cedera kepala yaitu:
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise), keterbatasan yang ditimbulkan oleh
kondisinya.
Tanda : Ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter.
Kelemahan secara umum, keterbatasan dalam rentang gerak,
hipotonia.
b. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis, beberapa
penyakit jantung kongenital (abses otak).
Tanda : Tekanan darah meningkat, nadi menurun dan tekanan nadi berat
(berhubungan dengan peningkatan TIK dan pengaruh pada pusat
vasomotor). Takikardi, disritmia (pada fase akut).
c. Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, kesulitan menelan (pada periode akut).
Tanda : Anoreksia, muntah, turgor kulit jelek, membran mukosa kering.
d. Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri (pada
periode akut).
e. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala (mungkin merupakan gejala pertama dan biasanya
berat), parestesia, terasa kaku pada semua pernafasan yang terkena,
kehilangan sensasi (kerusakan pada saraf kranial), gangguan dalam
penglihatan seperti diplopia (fase awal dari beberapa infeksi).
Tanda : Status mental/tingkat kesadaran, letargi sampai kebingungan yang
berat sehingga menjadi koma, delusi dan halusinasi/psikosis
organik (ensefalitis).
f. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala (berdenyut dengan hebat, frontal) mungkin akan
diperburuk oleh ketegangan leher/punggung kaku, nyeri pada
gerakan okular, fotosensitivitas, sakit tenggorok nyeri.
Tanda : Tampak terus terjaga, perilaku distraksi/ gelisah, menangis/
mengaduh/ mengeluh.
g. Pernafasan
Gejala : Adanya riwayat infeksi sinus atau paru (abses otak).
Tanda : Peningkatan kerja pernapasan (episode awal), perubahan mental
(letargi sampai koma) dan gelisah.
6. Pemeriksaan Diagnostik
MRI : sama dengan CT scan dengan/tanpa menggunakan kontras.
Angiografi serebral menunujukan kelainan serkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
Sinar X mendeteksi adanya perubahaan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang.
Pungsi lumba, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid.
GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah arteri atau oksigenasi yang
akan dapat meningkatkan TIK.
Kimia/Elaktrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK/perubahan mental.
Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran. (Doenges, 2000:272)
7. Penatalaksanaan
Pasien harus diberikan 100% oksigen, dan monitoring jantung serta 2 IV line
harus diberikan bagi pasien dengan TBI (trauma brain injury) berat, intubasi
endotracheal (melalui intubasi cepat) untuk mengamankan jalan napas dan
mencegah hipoksemia. Jika dilaksanakan dengan tepat, intubasi cepat akan
mencegah peningkatan TIK dan mengurangi terjadinya komplikasi. Saat
melakukan intubasi cepat, sangat penting untuk mengimobilisasi tulang leher
dengan adekuat dan menggunakan sedasi kuat atau agen induksi.
Karena hipotensi dapat mengakibatkan menurunnya perfusi serebral, sangatlah
penting untuk dilakukan pengontrolan tekanan darah. Pemberian resusitasi cairan
dengan cairan kristaloid. CT scan juga dilakukan dengan berkonsultasi dengan
bagian medis neurologi untuk menentukan dilakukannya suatu operasi. Semua
pasien dengan indikasi trauma intrakranial, posisi tempat tidur harus ditinggikan
sebesar 30.(Jhon: 2004;778)
8. Komplikasi
Komplikasi cedera kepala berat menurut Mansjoer (2000:7) sebagai berikut:
Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen
dan terjadi pada 2-6 pasien dengan cedera kepala tertutup.
Fistel karotis kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis dan
bruit orbital, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai
hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antideuretik.
Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan
predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukan resiko meningkat untuk
kejang lanjut dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.
9. Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama
pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai
prognostik yang besar. Skor pasien 3-4 memungkinkan meninggal 85% atau tetap
dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih
kemungkinan meninggal hanya 5-10%. Sindrom pasca konkusi berhubungan dengan
sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi,
iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang banyak berkembang pada pasien cedera
kepala.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pengkajian Awal
Pengkajian ini dibuat dengan cepat selama pertemuan pertama dengan pasien yang
meliputi ABC (Airway, Breathing, Circulation)
Pengkajian Data Masalah
Objektif Subjektif
Airway Terdapat sumbatan atau Pasien Bersihan jalan nafas
penumpukan secret mengatkan tidak efektif
Adanya suara nafas tambahan :
tidak bisa
terdengar adanya suara snoring
mengeluarkan
(+)
sekretnya
Breathing Perubahan frekuensi nafas Pasien Pola nafas tidak efektif
(Takipnea) mengatakan
Irama nafas abnormal (cepat
merasa sesak
dan dangkal)
atau sulit
Nafas spontan tetapi tidak
bernafas
adekuat
Circulation Perubahan tekanan darah Risiko kekurangan
Perubahan frekuensi jantung
volume cairan
(takikardia)
Akral dingin
Hidung dan mulut
mengeluarkan darah atau
perdarahan masif
Anemis (+)
Disability Mata : pupil anisokor Pasien Perfusi jaringan
Reaksi cahaya menurun
mengatakan (serebral) tidak
Penurunan GCS
Peningkatan TIK merasa efektif
Kerusakan system saraf pusat Nyeri akut
lemas/lemah,
Mual
atau neuromuskular
mual dan Gangguan
terasa nyeri mobilitas fisik
Gangguan
pada kepala
komunikasi verbal
Gangguan
persepsi sensori
Risiko cedera
Eksposure Kepala terdapat lesi Risiko Infeksi
b. Pengkajian Dasar
1) Identitas pasien
Tgl/j Stat
am us
Rua perk
ngan awin
No an
RM Sum
Diag ber
nosa infor
med masi
ik Aga
Nam ma
a Pen
pasi didi
en kan
Um Peke
ur rjaa
Jeni n
s Suk
kela u/ba
min ngsa
Ala
mat
2) Riwayat sakit dan kesehatan
Keluhan utama saat MRS
Keluhan utama saat pengkajian
Riwayat penyakit saat ini
Riwayat alergi
Riwayat pengobatan
Riwayat penyakit sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan pembentukan
lendir/sekret
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan
dengan disfungsi neuromuscular karena
penurunan aliran darah otak dan
penekanan pusat pernafasan di medulla
oblongata dan pons
c. Perfusi jaringan serebral tidak efektif
berhubungan dengan kerusakan
transportasi oksigen melewati membran
kapiler atau alveolar karena
peningkatan TIK
d. Risiko Kekurangan volume cairan
berhubungan dengan dengan
kehilangan volume cairan tubuh secara
aktif
e. PK: Shock hipovolemi
f. Nyeri akut berhubungan dengan
peningkatan tekanan intracranial
g. Mual berhubungan dengan depresi
sistem saraf pusat/ trauma kepala
h. Gangguan mobilitas fisik berhubungan
dengan gangguan neuromuskular
i. Kerusakan komunikasi verbal
berhubungan dengan kerusakan fungsi
motoris otot-otot bicara
j. Gangguan persepsi sensori
berhubungan dengan kesalahan
interpretasi sekunder tehadap cedera
serebrovaskular
k. Risiko infeksi brehubungan dengan
tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma
l. Risiko cedera berhubungan dengan
perubahan fungsi serebral sekunder
akibat hipoksia
3. Perencanaan
RENCANA KEPERAWATAN
DIAGNOSA
NO. TUJUAN &
KEPERAWATAN INTERVENSI RASIONAL
KRITERIA HASIL
1 Bersihan jalan nafas tidak Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
efektif berhubungan keperawatan selama 3 X 15 menit 1. Kaji kepatenan jalan nafas 1. Obstruksi dapat disebabkan oleh
dengan pembentukan diharapkan pasien dapat akumulasi sekret, perlengketan
lendir/sekret mempertahankan kepatenan jalan mukosa, perdarahan, spasme bronkus,
nafas dengan kriteria hasil : dan/atau masalah dengan posisi
Tidak terdapat suara nafas trakeostomi/selang endotrakeal
tambahan (rales, ronchi,
wheezing, crakels, snoring) 2. Evaluasi gerakan dada dan auskultasi 2. Gerakan dada simetris dengan bunyi
Frekuensi nafas dalam untuk bunyi nafas bilateral nafas melalui area paru menunjukkan
batas normal (RR 16- letak selang tepat/ tak menutup jalan
24x/menit) nafas. Obstruksi jalan nafas bawah
Irama nafas regular (mis. Pneumonia/atelektasis)
Tidak terdapat produksi menghasilkan perubahan pada bunyi
sekret/sputum nafas seperti ronchi, mengi
Ekspansi dada simetris,
tidak terdapat penggunaan 3. Awasi letak selang endotrakeal 3. Selang endotrakeal dapat masuk ke
otot bantu pernafasan, tidak bronkus kanan, sehingga menghambat
ada retraksi dada aliran udara ke paru kiri dan pasien
Tidak ada dispnea, berisiko untuk pneumothorak tegangan
orthopnea
4. Pasien intubasi biasanya mengalami
4. Catat peningkatan dispnea, sekret reflek batuk tak efektif atau pasien
terlihat pada selang dapat mengalami gangguan
endotrakeal/trakeostomi, suara nafas neuromuskuler atau neurosensori
tambahan (rales, ronchi, wheezing,
crakels, snoring)
5. Penghisapan tidak harus rutin, dan
5. Hisap sekret sesuai kebutuhan, batasi lamanya harus dibatasi untuk
penghisapan 15 detik atau kurang menurunkan bahaya hipoksia.
6. Menentukan kecukupan
6. Monitor BGA dan/atau saturasi O2 pernapasan (kemunculan dari
hipoksia/asidosis) dan mengindikasikan
kebutuhan akan terapi; adekuatnya
oksigen sangat penting dalam
mempertahankan metabolisme otak
Kolaborasi :
Kolaborasi : 7. Memberikan obat sesuai indikasi :
7. Berikan obat sesuai indikasi : Diuretik dapat digunakan pada fase
Diuretik, mis. manitol, furosemid akut untuk menurunkan TIK
Menurunkan inflamasi
Steroid, mis. deksametason, metil
prednisolon, Obat pilihan untuk mengatasi dan
Antikonvulsan, mis. fenitoin mencegah terjadinya aktivitas kejang
Dapat diindikasikan untuk
menghilangkan nyeri dan dapat
Analgesik berakibat negatif pada TIK tetapi
harus digunakan dengan hati-hati
untuk mencegah gangguan
pernapasan
Dapat digunakan untuk
mengendalikan kegelisahan, agitasi
Sedatif Menurunkan atau mengendalikan
demam dan meningkatakan
Antipiretik metabolisme serebral atau
peningkatan kebutuhan terhadap
oksigen
Kolaborasi Kolaborasi
7. Berikan antibiotik sesuai indikasi 7. Terapi profilaktik dapat digunakan
pada psien yang mengalami trauma
(perlukaan), kebocoran CSS, atau
setelah dilakukan pembedahan untuk
menurunkan risioko terjadinya infeksi
nosokomial
Campbell, J.E. 2004. BTLS: Basic Trauma Life Support for EMT-B and the First
Responden, 4th Ed. New Jersey: Pearson Education
Doenges, Marilynn E. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta :
EGC
Gallo, Hudak. 1996. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC
Guyton. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika
Price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Volume 1 dan 2. Jakarta : EGC
Wikipedia, the Free Encyclopedia. 2009. Brain Injury. (Online).
(http://en.Wikipedia.org/wiki/braininjury, Diakses tanggal 26 Maret 2010).