Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN TRAUMA KEPALA

NOVELDI PITNA, S.Kep

16 04 055

PRESEPTOR LAHAN PRESEPTOR INSTITUSI

(Hasnawaty, S.Kep.,Ns) (Dr. Ns. Makassau Plasay,.,M.Kes.M.EDM)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR
2017
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian
Trauma kepala adalah (terbuka dan tertutup) terdiri dari : fraktur tengkorak,
komusio (gegar) serebri, kontusio (memar)/laserasi dan perdarahan serebral
(subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak). (Doenges, 2000:
270)
Cedera kepala mengacu pada trauma kepala. Hal ini mungkin atau mungkin tidak
termasuk trauma pada otak. Namun, istilah cedera otak dan cedera kepala sering
digunakan secara bergantian dalam literatur kedokteran. (Wikipedia, 2009)
Cedera kepala dapat didefinisikan sebagai segala perubahan dalam fungsi mental
atau fisik yang berkaitan dengan pukulan ke kepala. (Medscape, 2009)

Gambar 1. Fraktur tengkorak pada trauma kepala


2. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan
morfologi cedera (Mansjoer, 2000: 3)
a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter
1) Trauma Tumpul
Contohnya : Trauma akibat kecepatan tinggi (tabrakan mobil) dan
kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
2) Trauma Tembus
Contohnya : luka tembus peluru, dan cedera tembus lainnya
b. Keparahan Cedera : berdasarkan skala koma Glasgow (GCS)
1) Ringan : GCS 14-15
2) Sedang : GCS 9-13
3) Berat : GCS 3-8
c. Morfologi
1) Fraktur Tengkorak
a) Kranium : linear/stelatum; depresi/nondepresi; terbuka/tertutup.
b) Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal; dengan/tanpa
kelumpuhan nervus VII
2) Lesi Intrakranial
a) Fokal : epidural, subdural, intraserebral
b) Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus
Menurut Doenges (2000: 270) klasifikasi cedera kepala dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Trauma otak primer terjadi karena benturan langsung atau tak langsung
(akselerasi/deselerasi otak).
b. Trauma otak sekunder merupakan akibat dari trauma saraf (melalui akson)
yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipotensi
sistemik.
Sementara menurut Price (2003:1174) cedera kepala diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Hematoma Epidural
Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah parietotemporal akibat
robekan arterial mengineal media. Tanda dan gejala tampak bervariasi,
penderita hematoepidural yang khas memiliki riwayat cedera kepala dengan
periode tidak sadar dalam jangka waktu pendek, diikuti periode lusid.

Gambar 3. Hematoma epidural dalam fosa temporalis (Price, 2006:1174)


b. Hematoma Subdural
Pada umumnya hematoma subdural berasal dari vena. Hematoma ini timbul
akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural
dibagi lagi menjadi tipe akut, subakut dan kronik yang memiliki gejala dan
prognosis yang berbeda-beda.

Gambar 4. Hematoma subdural (Price, 2006: 1174)


1) Hematoma subdural akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting
dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera. Hematoma subdural akut
terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang
tampaknya mengalami trauma kepala minor dan sering kali berkaitan
dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan bermotor. Defisit neurologik
progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang
otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan tekanan.
Keadaan ini cepat menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah.
2) Hematoma subdural subakut
Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna
dalam jangka waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah
cedera. Hematoma ini disebabkan oleh pendarahan vena kedalam ruang
subdural. Riwayat klinis yang khas pada penderita hemotoma subdural
subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidakkesadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
bertahap.
3) Hematoma subdural kronik
Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat sepele atau terlupakan
dan sering kali akibat cedera ringan. Tanda dan gejala dari Hematoma
subdural kronik biasanya tidak spesifik, tidak terlokalisasi dan dapat
disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.

Gambar 5. Brain Hematoma (Wikipedia, 2009)

3. Etiologi
Penyebab cedera kepala adalah tabrakan lalu lintas kendaraan bermotor, rumah
dan kecelakaan kerja, jatuh, dan serangan. Kecelakaan sepeda juga merupakan
penyebab umum cedera kepala yang berhubungan dengan kematian dan cacat,
terutama di kalangan anak-anak. (Wikipedia, 2009)
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi pada kecelakaan lalu
lintas. (Mansjoer, 2000:3)

4. Patofisiologi
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya trauma kepala yang terjadi. Ada 2 mekanisme cedera yang bisa
terjadi, yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).
Cedera percepatan (aselerasi) terjadi ketika benda yang bergerak membentur kepala
yang diam. Sedangkan, cedera perlambatan (deselerasi) terjadi ketika kepala
membentur objek yang relatif tidak bergerak, misalnya tanah (Gallo, 1996:226).
Kombinasi mekanisme ini mengakibatkan terjadinya cedera pada jaringan otak
dan menimbulkan kerusakan pada sawar darah otak (Blood Brain Barrier). Cedera
jaringan tersebut mengakibatkan degranulasi sel-sel mast yang terdapat dalam
jaringan otak. Degranulasi ini memacu pelepasan histamin yang menimbulkan efek
vaskuler berupa peningkatan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler
(Price, 2005:62).
Peningkatan permeabilitas kapiler memicu terjadinya eksudasi cairan dari
intravaskuler ke jaringan interstisiil otak dan menimbulkan edema serebral (Price,
2005:1168).
Selain itu, trauma yang terjadi menimbulkan destruksi pada vaskuler di daerah
kepala. Destruksi ini menimbulkan hematoma. Hematoma dan edema serebral dapat
berpengaruh pada peningkatan TIK. Peningkatan TIK didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh
jaringan otak (1400 gram), darah (sekitar 75ml), dan cairan serebrospinal (sekitar
75ml). Keseluruhan volume tersebut menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal
sebesar 4-15 mmHg. Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga komponen ini
mengakibatkan desakan pada ruang dan menaikkan tekanan intrakranial (Price,
2005:1167).
Peningkatan TIK yang terjadi mempengaruhi kecepatan aliran darah ke otak
dan penekanan pada pusat pernafasan medulla oblongata dan pons. Penurunan
kecepatan aliran darah ke otak (Cerebral Blood Flow) mengakibatkan berkurangnya
suplai darah ke otak, sehingga memunculkan masalah perfusi jaringan serebral tidak
efektif (Nanda, 2005:233). Sedangkan, penekanan pada medulla oblongata dan pons
menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi pernafasan (Guyton, 2007:539).
Gangguan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa pola nafas tidak efektif
(Nanda, 2005:27). Kombinasi antara gangguan suplai O2 ke otak dan gangguan pada
fungsi pernafasan akibat penekanan fungsi pernafasan membutuhkan tindakan
pemasangan intubasi ETT dan mayo yang bertujuan untuk mempertahankan
kepatenan jalan nafas dan membantu pemenuhan kebutuhan oksigen secara adekuat.
Keadaan ini dapat mengurangi respon batuk pada pasien, dan membuat sekret
menumpuk pada saluran pernafasan. Penumpukan sekret ini menimbulkan masalah
keperawatan berupa bersihan jalan nafas tidak efektif (Nanda, 2005:4).
Selain itu, trauma kepala juga mengakibatkan terjadinya destruksi vaskuler.
Destruksi ini mengakibatkan hilangnya/ berkurangnya cairan dalam intravaskuler.
Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa kekurangan volume cairan
tubuh (Nanda, 2005:89). Selain itu, trauma kepala juga menimbulkan lesi pada daerah
kepala. Lesi ini dapat menjadi pintu masuk bagi agen infeksius untuk menyerang
pertahanan tubuh. Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa risiko
infeksi (Nanda, 2005:121).

5. Manifestasi Klinik
Gangguan tanda vital, apatis, letargi, berkurangnya perhatian, menurunnya
kemampuan untuk mempergunakan percakapan kognitif yang tinggi, hemiparesis,
kelainan pupil, pusing menetap, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan bicara,
hipoksia, hipotensi sistemik, hilangnya autoregulasi aliran darah, inflamsi, edema,
peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi dalam waktu singkat (Price.
2003:1177 ).
Menurut Doengoes (2000: 270-272) tanda dan gejala dari cedera kepala yaitu:
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise), keterbatasan yang ditimbulkan oleh
kondisinya.
Tanda : Ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter.
Kelemahan secara umum, keterbatasan dalam rentang gerak,
hipotonia.
b. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis, beberapa
penyakit jantung kongenital (abses otak).
Tanda : Tekanan darah meningkat, nadi menurun dan tekanan nadi berat
(berhubungan dengan peningkatan TIK dan pengaruh pada pusat
vasomotor). Takikardi, disritmia (pada fase akut).
c. Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, kesulitan menelan (pada periode akut).
Tanda : Anoreksia, muntah, turgor kulit jelek, membran mukosa kering.
d. Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri (pada
periode akut).
e. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala (mungkin merupakan gejala pertama dan biasanya
berat), parestesia, terasa kaku pada semua pernafasan yang terkena,
kehilangan sensasi (kerusakan pada saraf kranial), gangguan dalam
penglihatan seperti diplopia (fase awal dari beberapa infeksi).
Tanda : Status mental/tingkat kesadaran, letargi sampai kebingungan yang
berat sehingga menjadi koma, delusi dan halusinasi/psikosis
organik (ensefalitis).
f. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala (berdenyut dengan hebat, frontal) mungkin akan
diperburuk oleh ketegangan leher/punggung kaku, nyeri pada
gerakan okular, fotosensitivitas, sakit tenggorok nyeri.
Tanda : Tampak terus terjaga, perilaku distraksi/ gelisah, menangis/
mengaduh/ mengeluh.
g. Pernafasan
Gejala : Adanya riwayat infeksi sinus atau paru (abses otak).
Tanda : Peningkatan kerja pernapasan (episode awal), perubahan mental
(letargi sampai koma) dan gelisah.

Gambar 2. Tanda dan Gejala Cedera Kepala

6. Pemeriksaan Diagnostik
MRI : sama dengan CT scan dengan/tanpa menggunakan kontras.
Angiografi serebral menunujukan kelainan serkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
Sinar X mendeteksi adanya perubahaan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang.
Pungsi lumba, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid.
GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah arteri atau oksigenasi yang
akan dapat meningkatkan TIK.
Kimia/Elaktrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK/perubahan mental.
Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran. (Doenges, 2000:272)

7. Penatalaksanaan
Pasien harus diberikan 100% oksigen, dan monitoring jantung serta 2 IV line
harus diberikan bagi pasien dengan TBI (trauma brain injury) berat, intubasi
endotracheal (melalui intubasi cepat) untuk mengamankan jalan napas dan
mencegah hipoksemia. Jika dilaksanakan dengan tepat, intubasi cepat akan
mencegah peningkatan TIK dan mengurangi terjadinya komplikasi. Saat
melakukan intubasi cepat, sangat penting untuk mengimobilisasi tulang leher
dengan adekuat dan menggunakan sedasi kuat atau agen induksi.
Karena hipotensi dapat mengakibatkan menurunnya perfusi serebral, sangatlah
penting untuk dilakukan pengontrolan tekanan darah. Pemberian resusitasi cairan
dengan cairan kristaloid. CT scan juga dilakukan dengan berkonsultasi dengan
bagian medis neurologi untuk menentukan dilakukannya suatu operasi. Semua
pasien dengan indikasi trauma intrakranial, posisi tempat tidur harus ditinggikan
sebesar 30.(Jhon: 2004;778)

Penatalaksanaan cedera kepala menurut Plantz (1998;526)


Jika pasien dengan GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi. Dengan diberikan
tekanan PCO2 sebanyak 25-30 mmHg dapat mengakibatkan vasokontriksi
cerebral dan membantu menurunkan TIK. Namun bila hiperventilasi ini diberikan
secara berlebihan dapat mengakibatkan penurunan perfusi cerebral
Penanganan kejang : kejang biasanya diberikan phenytoin dengan atau tanpa
benzoidiazepines
Penanganan luka pada kulit kepala: berikan irigasi yang berlebih, penekanan harus
diberikan untuk mengontrol perdarahan dan luka ditutup dengan jaritan.

8. Komplikasi
Komplikasi cedera kepala berat menurut Mansjoer (2000:7) sebagai berikut:
Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen
dan terjadi pada 2-6 pasien dengan cedera kepala tertutup.
Fistel karotis kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis dan
bruit orbital, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai
hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antideuretik.
Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan
predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukan resiko meningkat untuk
kejang lanjut dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.

9. Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama
pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai
prognostik yang besar. Skor pasien 3-4 memungkinkan meninggal 85% atau tetap
dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih
kemungkinan meninggal hanya 5-10%. Sindrom pasca konkusi berhubungan dengan
sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi,
iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang banyak berkembang pada pasien cedera
kepala.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pengkajian Awal
Pengkajian ini dibuat dengan cepat selama pertemuan pertama dengan pasien yang
meliputi ABC (Airway, Breathing, Circulation)
Pengkajian Data Masalah
Objektif Subjektif
Airway Terdapat sumbatan atau Pasien Bersihan jalan nafas
penumpukan secret mengatkan tidak efektif
Adanya suara nafas tambahan :
tidak bisa
terdengar adanya suara snoring
mengeluarkan
(+)
sekretnya
Breathing Perubahan frekuensi nafas Pasien Pola nafas tidak efektif
(Takipnea) mengatakan
Irama nafas abnormal (cepat
merasa sesak
dan dangkal)
atau sulit
Nafas spontan tetapi tidak
bernafas
adekuat
Circulation Perubahan tekanan darah Risiko kekurangan
Perubahan frekuensi jantung
volume cairan
(takikardia)
Akral dingin
Hidung dan mulut
mengeluarkan darah atau
perdarahan masif
Anemis (+)
Disability Mata : pupil anisokor Pasien Perfusi jaringan
Reaksi cahaya menurun
mengatakan (serebral) tidak
Penurunan GCS
Peningkatan TIK merasa efektif
Kerusakan system saraf pusat Nyeri akut
lemas/lemah,
Mual
atau neuromuskular
mual dan Gangguan
terasa nyeri mobilitas fisik
Gangguan
pada kepala
komunikasi verbal
Gangguan
persepsi sensori
Risiko cedera
Eksposure Kepala terdapat lesi Risiko Infeksi

b. Pengkajian Dasar
1) Identitas pasien
Tgl/j Stat
am us
Rua perk
ngan awin
No an
RM Sum
Diag ber
nosa infor
med masi
ik Aga
Nam ma
a Pen
pasi didi
en kan
Um Peke
ur rjaa
Jeni n
s Suk
kela u/ba
min ngsa
Ala
mat
2) Riwayat sakit dan kesehatan
Keluhan utama saat MRS
Keluhan utama saat pengkajian
Riwayat penyakit saat ini
Riwayat alergi
Riwayat pengobatan
Riwayat penyakit sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga

c. Pengkajian Berdasarkan Persistem


Pengkajian Data Masalah
Objektif Subjektif
Breathing Adanya Suara nafas Bersihan
tambahan : terdengar nafas tidak
Pola nafa
adanya suara snoring (+)
Perubahan frekuensi nafas efektif
Irama nafas abnormal
(cepat dan dangkal).
Nafas spontan tetapi tidak
adekuat
Blood Perubahan tekanan darah Perfusi j
Perubahan kedalaman dan
(seberal)
irama nadi
efektif
Perubahan frekuensi
Risiko
jantung (takikardia)
kekurangan
Akral dingin
Hidung dan mulut volume cai
Pk
mengeluarkan darah atau
hipovolem
perdarahan masif
Anemis (+)
Brain Kepala terdapat lesi Perfusi j
CT Scan Kepala : cedera
(serebral)
otak berat
efektif
Penurunan GCS
Nyeri akut
Peningkatan TIK
Mual
Kerusakan system saraf
pusat atau neuromuskular Gangguan
mobilitas f
Gangguan
komunikas
Gangguan
persepsi se
Risiko infe
Risiko ced
Bladder -
Bowel -
Bone -

d. Pengkajian Terus Menerus


Dikaji saat perawatan pada pasien secara
kontinu

2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan pembentukan
lendir/sekret
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan
dengan disfungsi neuromuscular karena
penurunan aliran darah otak dan
penekanan pusat pernafasan di medulla
oblongata dan pons
c. Perfusi jaringan serebral tidak efektif
berhubungan dengan kerusakan
transportasi oksigen melewati membran
kapiler atau alveolar karena
peningkatan TIK
d. Risiko Kekurangan volume cairan
berhubungan dengan dengan
kehilangan volume cairan tubuh secara
aktif
e. PK: Shock hipovolemi
f. Nyeri akut berhubungan dengan
peningkatan tekanan intracranial
g. Mual berhubungan dengan depresi
sistem saraf pusat/ trauma kepala
h. Gangguan mobilitas fisik berhubungan
dengan gangguan neuromuskular
i. Kerusakan komunikasi verbal
berhubungan dengan kerusakan fungsi
motoris otot-otot bicara
j. Gangguan persepsi sensori
berhubungan dengan kesalahan
interpretasi sekunder tehadap cedera
serebrovaskular
k. Risiko infeksi brehubungan dengan
tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma
l. Risiko cedera berhubungan dengan
perubahan fungsi serebral sekunder
akibat hipoksia
3. Perencanaan
RENCANA KEPERAWATAN
DIAGNOSA
NO. TUJUAN &
KEPERAWATAN INTERVENSI RASIONAL
KRITERIA HASIL
1 Bersihan jalan nafas tidak Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
efektif berhubungan keperawatan selama 3 X 15 menit 1. Kaji kepatenan jalan nafas 1. Obstruksi dapat disebabkan oleh
dengan pembentukan diharapkan pasien dapat akumulasi sekret, perlengketan
lendir/sekret mempertahankan kepatenan jalan mukosa, perdarahan, spasme bronkus,
nafas dengan kriteria hasil : dan/atau masalah dengan posisi
Tidak terdapat suara nafas trakeostomi/selang endotrakeal
tambahan (rales, ronchi,
wheezing, crakels, snoring) 2. Evaluasi gerakan dada dan auskultasi 2. Gerakan dada simetris dengan bunyi
Frekuensi nafas dalam untuk bunyi nafas bilateral nafas melalui area paru menunjukkan
batas normal (RR 16- letak selang tepat/ tak menutup jalan
24x/menit) nafas. Obstruksi jalan nafas bawah
Irama nafas regular (mis. Pneumonia/atelektasis)
Tidak terdapat produksi menghasilkan perubahan pada bunyi
sekret/sputum nafas seperti ronchi, mengi
Ekspansi dada simetris,
tidak terdapat penggunaan 3. Awasi letak selang endotrakeal 3. Selang endotrakeal dapat masuk ke
otot bantu pernafasan, tidak bronkus kanan, sehingga menghambat
ada retraksi dada aliran udara ke paru kiri dan pasien
Tidak ada dispnea, berisiko untuk pneumothorak tegangan
orthopnea
4. Pasien intubasi biasanya mengalami
4. Catat peningkatan dispnea, sekret reflek batuk tak efektif atau pasien
terlihat pada selang dapat mengalami gangguan
endotrakeal/trakeostomi, suara nafas neuromuskuler atau neurosensori
tambahan (rales, ronchi, wheezing,
crakels, snoring)
5. Penghisapan tidak harus rutin, dan
5. Hisap sekret sesuai kebutuhan, batasi lamanya harus dibatasi untuk
penghisapan 15 detik atau kurang menurunkan bahaya hipoksia.

6. Meningkatkan drainase sekret dan


6. Ubah posisi/berikan cairan dalam ventilasi pada semua segmen paru,
kemampuan individu menurunkan risiko atelektasis

7. Meningkatkan ventilasi pada semua


7. Ubah posisi/berikan cairan dalam segmen paru dan alat drainase sekret
kemampuan individu
Kolaborasi :
Kolaborasi : 8. Meningkatkan ventilasi dan
8. Berikan bronkodilator IV dan aerosol membuang sekret dengan relaksasi
sesuai indikasi otot halus/spasme bronkus
2 Pola nafas tidak efektif Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
berhubungan dengan keperawatan selama 3 X 15 menit 1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman 1. Intubasi, ventilasi mekanik lama,
disfungsi neuromuscular diharapkan pola nafas pasien pernapasan ketidakmampuan umum, malnutrisi,
karena penurunan aliran efektif dengan kriteria hasil : usia, dan prosedur invansif adalah
darah otak dan penekanan Tidak terdapat suara nafas factor dimana pasien potensial
pusat pernafasan di tambahan (rales, ronchi, mengalami infeksi dan lama sembuh
medulla oblongata dan wheezing, crakels, snoring)
pons Frekuensi nafas dalam 2. Auskultasi suara napas dan adanya 2. Untuk mengidentifikasi adanya
batas normal (RR 16- suara-suara tambahan yang tidak masalah paru atau obstruksi jalan napas
24x/menit) normal yang membahayakan oksigenasi
Irama nafas regular serebral
Refleks gag dan reflex
menelan (+) 3. Kaji reflex yang penting untuk 3. Kemampuan memobilisasi atau
bernapas gag reflek dan reflex membersihkan sekresi penting untuk
menelan pemeliharaan jalan napas.

4. Pertahankan ketinggian bagian 4. Untuk memudahkan ekspansi


kepala tempat tidur paru/ventilasi paru dan dapat
menurunkan adanya kemungkinan lidah
jatuh dan menyumbat saluran
pernapasan serta menghindari risiko
peningkatan TIK

5. Pantau penggunaan dari obat- 5. Dapat meningkatkan gangguan/


obatan depresan pernapasan, seperti komplikasi pernapasan
sedative
3 Perfusi jaringan jaringan Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
serebral tidak efektif keperawatan selama 3 X 15 menit 1. Kaji tanda-tanda vital : 1. Pengkajian tanda tanda vital
berhubungan dengan diharapkan perfusi jaringan mengindikasikan :
kerusakan transportasi serebral efektif dengan kriteria Pantau tekanan darah, catat adanya Peningkatan tekanan darah
oksigen melewati hasil : hipertensi sistolik dan tekanan nadi sistemik yang diikuti oleh
membran kapiler atau Reaksi pupil positif, penurunan tekanan darah diastolik
alveolar karena isokor (nadi yang membesar) merupakan
peningkatan TIK GCS 9 - 13 tanda terjadinya peningkatan TIK
TTV normal (TD 120 - Frekuensi jantung, catat adanya Perubahan pada ritme (paling
90/ 90 - 70 mmHg; Nadi 80 - bradikardia, takikardia, atau bentuk sering bradikardia) dan disritmia
100x/menit regular) disritmia lainnya dapat timbul yang mencerminkan
BGA dalam batas normal adanya depresi/trauma batang otak
(pH 7,35 7,40; PaCO2 35- pada pasien yang tidak mempunyai
45mmHg; PaO2 95 - kelainan jantung sebelumnya
100mmHg)
Saturasi O2 : 95 - 100%
2. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS 2. Mengkaji adanya kecenderungan
pada tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi, perluasan, dan
perkembangan kerusakan SSP.

3. Evaluasi keadaan pupil, catat 3. Reaksi pupil diatur oleh saraf


ukuran, ketajaman, kesamaan antara kranial III (okulomotor) dan berguna
kiri dan kanan, dan reaksinya terhadap untuk menentukan apakah batang otak
cahaya masih baik. Ukuran/kesamaan
ditentukan oleh keseimbangan antara
persarafan simpatis dan parasimpatis.
Respon terhadap cahaya mencerminkan
fungsi yang terkombinasi dari saraf
kranial optikus dan okulomotor.

4. Kepala yang miring pada salah


4. Pertahakan kepala/leher pada posisi satu sisi menekan vena jugularis
tengah atau pada posisi netral, hindari menghambat aliran darah vena, yang
pemakaian bantal besar pada kepala selanjutnya akan meningkatkan TIK

5. Meningkatkan aliran balik vena


5. Tinggikan kepala pasien 15-450 dari kepala sehingga akan mengurangi
sesuai indikasi/yang dapat ditolerir kongesti dan edema atau risiko
terjadinya peningkatan TIK

6. Menentukan kecukupan
6. Monitor BGA dan/atau saturasi O2 pernapasan (kemunculan dari
hipoksia/asidosis) dan mengindikasikan
kebutuhan akan terapi; adekuatnya
oksigen sangat penting dalam
mempertahankan metabolisme otak

Kolaborasi :
Kolaborasi : 7. Memberikan obat sesuai indikasi :
7. Berikan obat sesuai indikasi : Diuretik dapat digunakan pada fase
Diuretik, mis. manitol, furosemid akut untuk menurunkan TIK
Menurunkan inflamasi
Steroid, mis. deksametason, metil
prednisolon, Obat pilihan untuk mengatasi dan
Antikonvulsan, mis. fenitoin mencegah terjadinya aktivitas kejang
Dapat diindikasikan untuk
menghilangkan nyeri dan dapat
Analgesik berakibat negatif pada TIK tetapi
harus digunakan dengan hati-hati
untuk mencegah gangguan
pernapasan
Dapat digunakan untuk
mengendalikan kegelisahan, agitasi
Sedatif Menurunkan atau mengendalikan
demam dan meningkatakan
Antipiretik metabolisme serebral atau
peningkatan kebutuhan terhadap
oksigen

8. Menurunkan hipoksemia, yang


8. Kolaborasi pemberian oksigen mana dapat meningkatkan vasodilatasi
dan volume darah serebral yang
meningkatkan TIK
4 Risiko kekurangan Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
volume cairan keperawatan selama 3 X 6 jam 1. Kaji tanda-tanda vital (terutama 1. Perubahan dapat menunjukkan
berhubungan dengan diharapkan volume cairan tekanan darah dan frekuensi efek hipovolemia
dengan kehilangan adekuat dengan kriteria hasil : jantung/nadi) (perdarahan/dehidrasi). Penurunan
volume cairan tubuh TTV normal (TD 120- sirkulasi darah dapat terjadi dari
secara aktif 90/90-70 mmHg, Nadi 80- peningkatan kehilangan cairan
100x/menit) mengakibatkan hipotensi dan
GCS 8-13 takikardia
Hematokrit : 42-50%
Hb : 13-18 gr/dl 2. Observasi demam, perubahan 2. Gejala-gejala tersebut
Tidak terjadi tanda-tanda tingkat kesadaran , turgor kulit buruk, menunjukkkan
anemis kulit dan membran mukosa kering, akral dehidrasi/hemokonsentrasi dan tanda
Turgor kulit normal/baik dingin, konjungtiva pucat tanda anemis
(elastis)
Akral hangat 3. Monitor dan pertahankan intake
dan output cairan 3. Pamasukan pasien dapat menurun
selama periode krisis. Dehidrasi dapat
menurunkan haluaran urin
Kolaborasi:
4. Berikan cairan IV sesuai indikasi Kolaborasi :
4. Mempertahankan keseimbangan
cairan/elektrolit pada tak adanya
pemasukan melalui oral. Cairan harus
diberikan segera (khususnya pada
keterlibatan SSP) untuk menurunkan
hemokonsentrasi dan mencegah
infark
5. Berikan tranfusi darah sesuai
indikasi 5. Memperbaiki/menornalkan
kapasitas pembawa oksigen untuk
memperbaiki anemia, dan berguna
untuk mengatasi perdarahan.
Penggantian cairan/darah tergantung
pada derajat hipovolemia dan
lamanya perdarahan (akut atau
kronis)

6. Monitor hasil laboratorium 6. Peningkatan menunjukkan


(pemeriksaan hematokrit, Hb, elektrolit hemokonsentrasi. Kehilangan
serum, dan urine) kemampuan ginjal untuk
mengkonsentrasikan urine dapat
mengakibatkan penrunan elektrolit
serum.
5 Risiko infeksi Setelah diberikan asuhan Mandiri : Mandiri :
berhubungan dengan port keperawatan selama 3 X 24 jam 1. Berikan perawatan aseptik dan 1. Untuk menghindari terjadinya
entry kuman (destruksi diharapkan tidak terjadi infeksi antiseptik, pertahankan tehnik cuci infeksi nosokomial dari petugas
jaringan di daerah frontal dengan kriteria hasil : tangan yang baik kesehatan kepada pasien
dan peningkatan paparan TTV normal (Tax 36,50
lingkungan) 37,20C) 2. Observasi daerah kulit yang mengalami 2. Deteksi dini perkembangan infeksi
Hasil pemeriksaan kerusakan, catat karakteristik dari memungkinkan untuk melakukan
laboratorium normal drainase dan adanya inflamasi tindakan dengan segera dan
(Leukosit 5.000 10.000/ l) pencegahan terhadap komplikasi
Tidak terjadi tanda tanda selanjutnya.
infeksi pada lesi/ luka (color,
dolor, rubor, dan tumor) 3. Kaji tanda-tanda vital, terutama suhu 3. Mengkaji keadaan umum pasien;
Tidak terdapat produksi peningkatan suhu merupakan salah
sekret/sputum satu indikator terjadinya infeksi
Mulut pasien tampak
bersih 4. Batasi pengunjung yang dapat 4. Menurunkan pemajanan terhadap
menularkan infeksi pembawa kuman penyebab infeksi

5. Lakukan perawatan luka pada lesi 5. Menghindari terjadinya infeksi


yang lebih luas
6. Lakukan oral hygiene 6. Menurunkan kemungkinan
terjadinya pertumbuhan bakteri pada
mulut akibat penggunaan ETT

Kolaborasi Kolaborasi
7. Berikan antibiotik sesuai indikasi 7. Terapi profilaktik dapat digunakan
pada psien yang mengalami trauma
(perlukaan), kebocoran CSS, atau
setelah dilakukan pembedahan untuk
menurunkan risioko terjadinya infeksi
nosokomial

8. Ambil bahan pemeriksaan laboratorium 8. Peningkatan/ penurunan nilai


sesuai indikasi (khususnya leukosit) leukosit mastikan adanya infeksi dan
mengidentifikasi organism penyebab
dan untuk menentukan obat pilihan
yang sesuai.
4. Manajemen Keperawatan Intensif dan Evaluasi
No Manajemen Evaluasi
1 Oksigenasi Kaji kondisi awal dan kondisi Tidak terdapat suara
dasar pasien, serta indikasi nafas tambahan (rales, ronchi,
bantuan napas yang diperlukan wheezing, crakels, snoring)
oleh pasien. Frekuensi nafas dalam
Awasi klien dengan alat invasif
batas normal (RR 16-
seperti trakeostomi Jackson
24x/menit)
hindari terjadinya regurgitasi dan
Irama nafas regular
aspirasi ke dalam laring.
Tidak terdapat produksi
Pasien dapat diposisikan miring
sekret/sputum
atau seperti posisi koma untuk
Ekspansi dada simetris,
mengurangi aspirasi.
Hindari untuk memfleksikan leher tidak terdapat penggunaan
karena berpengaruh buruk pada otot bantu pernafasan, tidak
jalan napas dan peningkatan TIK. ada retraksi dada
Perubahan posisi yang teratur dan
Tidak ada dispnea,
penggunaan tempat tidur
orthopnea
rotokinetik dapat mengurangi
Refleks gag dan reflex
penumpukan sekret pada lapang
menelan (+)
paru dependent
Reaksi pupil positif,
Secara rutin dan terus- menerus
isokor
perawat harus mengkaji frekuensi
GCS 9 - 13
dan upaya pernapasan klien, bila
TTV normal (TD 120 -
diperlukan lakukan pemeriksaan
90/ 90 - 70 mmHg; Nadi 80 -
AGD untuk mengetahui
100x/menit regular)
efektivitas ventilasi pasien.
Bila penghisapan diperlukan maka BGA dalam batas normal
pasien harus dihiperoksigenasi (pH 7,35 7,40; PaCO2 35-
sebelum, selama dan sesudahnya 45mmHg; PaO2 95 -
untuk menghindari cedera otak 100mmHg)
sekunder akibat hipoksia dan Saturasi O2 : 95 - 100%
peningkatan TIK.
Pada pasien dengan ventilator
untuk mengukur pola napas
(kemampuan mandiri pasien)
dapat digunakan kapnografi
2 Mobilisasi Berikan posisi yang benar kepada Kepala pasien pada posisi
Pasien pasien karena hal ini dapat 15o-45o sesuai indikasi/yang
membantu menghambat tonus dapat ditolerir
abnormal Tidak terjadi atrofi otot
Perhatikan bila terjadi postur
otot ekstrimitas
tubuh abnormal : hal ini umum
Tidak terdapat dekubitus
terjadi pada pasien cedera kepala
Tidak terdapat suara
adalah posisi opistotonik. Rotasi
nafas tambahan (rales, ronchi,
batang tubuh dan fleksi
wheezing, crakels, snoring)
ekstremitas bawah akan
Frekuensi nafas dalam
membantu menghentikan posisi
batas normal (RR 16-
ini. Usahakan untuk
24x/menit)
merelaksasikan tonus-tonus otot.
Irama nafas regular
Hindari terjadinya kontraktur
Tidak terdapat produksi
dengan menggerakkan secara rutin
sekret/sputum
atau terapi ROM secara pasif dan
Ekspansi dada simetris,
reguler pada pasien.
Hindari kerusakan kulit karena tidak terdapat penggunaan
hilangnya fungsi motorik pasien. otot bantu pernafasan, tidak
Hal ini terjadi karena penekanan, ada retraksi dada
kelembaban, gesekan dan Tidak ada dispnea,
penurunan sensasi. orthopnea
Tempat tidur yang digunakan
harus mendistribusikan BB pasien
secara merata.
Penggunaan bantalan lunak diatas
dan dibawah tonjolan tulang.
3 Infeksi Perawat yang bekerja di ICU TTV normal (Tax 36,50
terutama harus menyadari praktik 37,20C)
aseptik. Klien berisiko terhadap Hasil pemeriksaan
infeksi karena alasan sebagai laboratorium normal
berikut : (Leukosit 5.000 10.000/ l)
1) Klien ICU merupakan klien
Tidak terjadi tanda
penyakit kritis dan sering kali
tanda infeksi pada lesi/ luka
memiliki lebih banyak
(color, dolor, rubor, dan
penyakit yang mendasari
tumor)
dibanding klien lainnya.
Tidak terdapat produksi
2) Peralatan invasif seperti selang
sekret/sputum
intravena dan intraarterial lebih
Mulut pasien tampak
banyak digunakan
3) Penggunaan antibiotik bersih
spektrum luas secara
berlebihan, menimbulkan
mikroorganisme resistan yang
nantinya menyebabkan infeksi.
Perawat mengkaji mekanisme
pertahanan tubuh yang dimiliki
oleh klien di ICU
Petugas ICU selalu ingat untuk
melakukan standar precauion dan
APD
Melakukan kontrol dan eliminasi
agen infeksius, dengan
megindikasikan tempat-tempat
yang mungkin menjadi sumber
infeksi bagi klien (desinfektan,
sterilisasi)
Lakukan personal hyigene secara
teratur pada klien, terutama klien
yang tidak sadar dalam waktu
yang lama
Lakukan tindakan aseptik untuk
tindakan medis dan perawat untuk
mengurangi paparan organisme
pada klien ICU.
Penuhi asupan akan nutrisi dan
cairan klien untuk menjaga
metabolisme tetap adekuat.
Lakukan kontrol dan eliminasi
reservoar
Awasi dan batasi interaksi klien
dan pengunjung yang berisiko.

4 Pemenuhan Pemberian terapi nutrisi Berat badan sesuai dengan


Nutrisi disesuaikan dengan kondisi dan berat badan ideal pasien
Tonus otot pasien dalam
kemampuan klien, seperti: alat
batas normal
invasif yang terpasang pada tubuh
Albumin 3,0 5,5 gr/dL
klien. LDL < 100mg/dL
Perawat harus memantau HDL > 55 mg/dL
Trigliserida < 150 mg/dL
perkembangan kemampuan pasien
Glukosa darah puasa 70
terhadap penerimaan nutrisi yang
115 mg/dL
diberikan, seperti penghentian Kolesterol 150 310 mg/dL
Natrium 135 145 mEq/L
parenteral untuk kemudian
Kalium 3,5 5,2 mEq/L
mengubahnya dalam bentuk
enteral dengan pelatihan menelan
sebelumnya.
Ha l- hal yang harus diperhatikan
untuk pemenuhan nutrisi pasien
ICU :
1) kemampuan menelan pasien,
2) status pernapasan klien,
3) kekuatan batuk klien,
5 Farmakologi Mengkaji kebutuhan pasien Pemberian sesuai dengan
terhadap obat-obatan sesuai prinsip 6 B plus (Benar obat,
dengan terapi medis yang orang, cara pemberian,
diberikan waktu, dosis, dokumentasi,
Kaji riwayat reaksi sensitifitas
efek samping terhadap obat
pada klien
yang lain, dan efek samping
Lakukan penyimpanan obat
dengan instruksi sebelumnya terhadap makanan)
Tidak terjadi tanda tanda
kepada pasien dan keluarga
alergi (sesak, mual, muntah,
mengenai indikasi dan efek
gatal gatal, dll)
obatnya, penyimpanan sebaiknya
dilakukan secara sentral untuk
semua pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Campbell, J.E. 2004. BTLS: Basic Trauma Life Support for EMT-B and the First
Responden, 4th Ed. New Jersey: Pearson Education
Doenges, Marilynn E. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta :
EGC
Gallo, Hudak. 1996. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC
Guyton. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika
Price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Volume 1 dan 2. Jakarta : EGC
Wikipedia, the Free Encyclopedia. 2009. Brain Injury. (Online).
(http://en.Wikipedia.org/wiki/braininjury, Diakses tanggal 26 Maret 2010).

Anda mungkin juga menyukai